Ringkasan TAKWIL

22
1. TAKWIL a) Pengertian Takwil Secara Etimologi, takwil dirujuk dari kata لّ و ؤ ي- لّ و أyang berarti At-Tafsir, Al-Marja, Al-Mashir. Pendapat ini diambil dari hadist: ا أل صام وللا ا ر ف هّ صام ألد ن مArtinya : “Barang siapa yang puasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak puasa dan tidak ada batasannya.” Takwil dalam bahasan lain juga bisa berupa al-jaza, seperti firman Allah SWT لا ي و أ ي ن س ح ر وأ ي خ% ألك ذArtinya : “…yang demikian itu, lebih utama dan lebih baik akibatnya…” Secara Terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan takwil. Para ulama salaf mendefinisikan takwil antara lain sebagai berikut: 1.Imam Al-Ghozali dalam kitab Al-Mustasyfa ر ه ا) ه ألظ ي عل دل ى ي ى ألد عن م ل أ ن م ن) لظ أ ى عل8 ب ل ع ه أ8 ر ب صي ي ل ي ل ده ذ ض ع ي مال ت ح أ ن ع اره8 ي ع ل ي اءو ي ل أ أن. Artinya :“Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafadz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafadz zhahir”. 2.Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasyfa ده ض ع ي ل ي ل د8 ماله ي ت ح ع أ م ه ي م ر ه ا) ه ألظ ؤل ل ر مد ي غ ى عل) ظ ف ل ل ل أ م ح. Artinya : “Membawa lafadz zhahir yang membawa ihtimal probabilitas kepada makna lain yang didukung dalil” (Syafe’i, 2007: 170). Mata Kuliah : Ushul Fiqih Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Transcript of Ringkasan TAKWIL

Page 1: Ringkasan TAKWIL

1. TAKWIL

a) Pengertian Takwil

Secara Etimologi, takwil dirujuk dari kata - يؤو�ل ,yang berarti At-Tafsir أو�ل

Al-Marja, Al-Mashir. Pendapat ini diambil dari hadist:

ال وال صام فاال الد�هر صام من

Artinya : “Barang siapa yang puasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak

puasa dan tidak ada batasannya.”

Takwil dalam bahasan lain juga bisa berupa al-jaza, seperti firman Allah SWT

تأويال وأحسن خير ذالك

Artinya : “…yang demikian itu, lebih utama dan lebih baik akibatnya…”

Secara Terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan takwil.

Para ulama salaf mendefinisikan takwil antara lain sebagai berikut:

1. Imam Al-Ghozali dalam kitab Al-Mustasyfa

عليه يدل الذى المعنى من الظن علئ اغلب به يصير دليل يعضده احتمال عن عبارة التاءويل ان.الظاهر

Artinya :“Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan

makna dari lafadz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil

dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan

oleh lafadz zhahir”.

2. Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasyfa

يعضده بدليل احتماله مع منه الظاهر مدلوله غير علي اللفظ .حمل

Artinya : “Membawa lafadz zhahir yang membawa ihtimal probabilitas

kepada makna lain yang didukung dalil” (Syafe’i, 2007: 170).

Kaum Muhadditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan definisi yang

dikemukakan ulama ushul fiqih, yaitu:

1. Menurut Wahab Khallaf

بدليل ظاهر عن اللفظ صرف

Artinya : “Memalingkan lafadz dari zhahirnya, karena ada dalil”.

2. Menurut Abu Zarhah

فيه الظاهر هؤ ليس و يحتمله اخر معني الي معناه ظاهر عن اللفظ اخراج

Artinya : “Takwil adalah mengeluarkan lafadz dari artinya yang zhahir

kepada makna lain tetapi bukan zhahirnya” (Syafe’i, 2007: 171).

b) Dalil-Dalil Penunjang Takwil

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 2: Ringkasan TAKWIL

Secara ringkas, dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai

berikut:

1. Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2. Ijma’.

3. Kaidah-kaidah umum syari’at yang diambil dari Al-Qur’an dan sunnah.

4. Kaidah-kaidah fiqh yang menetapkan bahwa pembentuk syari’at

memperhatikan hal-hal yang bersifat juz’i tanpa batas, yang diterima dan

diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam

berijtihad dengan ra’yu.

5. Hakikat kemaslahatan umum.

6. Adat yang diucapkan dan diamalkan.

7. Hikmah syari’at atau tujuan syari’at itu sendiri yang terkadang berupa maksud

yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik, dan akhlaq.

8. Qiyas.

9. Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu yang menurut 

ushuliyyah lebih dikenal dengan istilah takwil qarib.

10. Kecenderungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan

merupakan dasar umum dalam pembinaan dalam syari’at yang bersifat ijtihad

atau ijtihad dengan ra’yu juga merupakan tujuan yang dianggap berlaku

sebagaimana pendapat imam Asy Syatibi “asal pandangan melalui

kecenderungan adalah istilah lain dari maksud yang dikehendaki syari’at

sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu”.

c) Syarat-Syarat Takwil

Adapun syarat-syarat takwil adalah sebagai berikut :

1. Lafadz yang di-Takwil harus benar-benar memenuhi kriteria dan masuk dalam

kajiannya.

2. Takwil harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan Takwil.

3. Lafadz mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.

4. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang Qath’i, karena nash tersebut

bagian dari aturan syara’yang umum

5. Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan

dengan dalil

d) Macam-macam takwil

Macam-macam takwil ini menurut wahbah al zuhaili dibagi menjadi dua:

1. Takwil yang jauh dari kepahaman yaitu lafadz yang tidak cukup dengan

penetapan dalil secara sederhana. Contoh:

.…

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 3: Ringkasan TAKWIL

“….Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi

Makan sepuluh orang miskin….”

Menurut golongan hanafiah bahwa sepuluh yang dimaksud dalam ayat tersebut

adalah ukuran wajib mengeluarkan makanan untuk kafaratnya.

Sehingga boleh jadi apabila terdesak dalam mengeluarkannya kita boleh

memberikan makanan satu orang miskin dengan supuluh makanan.

2. Takwil yang dekat dari pemahamannya, yaitu lafadz yang cukup dengan

penetapan dalil secara sederhana. Contoh:

..…

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak

mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu …..”

Makna qama di atas adalah merupakan takwil yang dipalingkan

dari kejelasan lafadznya. Sedang yang dimaksudkan adalah

mengerjakan shalat serta telah masuk kepada waktunya.

2. KHASH

a) Pengertian Khash

Dari segi bahasa khash berarti tertentu atau khusus. Sedangkan menurut

istilah Ushul Fiqih :                  

وXاحWدVا Vا مXعYن عXلXى Zد]لX ي الذWى XفYظ] الل Xه]و ZصXالخ

Artinya : “Lafadz yang menunjukkan satu makna tertentu.”

Satu makna tertentu itu bisa menunjukkan perorangan, seperti Ibrahim, atau

menunjukkan satu jenis, seperti Laki-laki atau menunjukkan bilangan, seperti dua

belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dll.

b) Contoh-Contoh Lafadz Khash

Lafadz khash dalam Al-Qur’an menggunakan beberapa bentuk kata yang

semuanya menunjukkan kepada kejelasan arti dan makna yang dikandungnya.

Contohnya antara lain :

1. Jelas bilangannya, contoh :

Maka kafarat (melanggar) sumpah

“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang

miskin.” (Q.S.Al-Maidah: 89)

2. Jelas keadaannya, contoh :

        “Sesudah dipenuhi”wasiat yang ia buat atau sudah dibayar utangnya.”

3. Jelas jenisnya. Contoh :

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 4: Ringkasan TAKWIL

“Di haramkan bagimu (memakan bangkai,darah,dan daging babi.”

c) Ketentuan Lafadz Khash dalam Garis Besarnya

1. Bila lafadz khash lahir dalam bentuk nash syara’(teks hukum) ia menunjukkan

artinya yang khash secara Qath’i al Dialah (penunjukan yang pasti dan

menyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu.Hukum yang berlaku

pada apa yang dituju oleh lafadz itu dalah Qath’i.

2. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafadz khash itu kepada

arti lain,maka arti khash itu dapat dialihkan kepada apa yang dia kehendaki oleh

dalil itu.

3. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat “ ’am ” dan di temukan pula hukum

yang “Khusus” dalam kasus lain, maka lafadz khash itu membatasi

pemberlakuan hukum ‘am itu. Maksudnya lafadz khash itu menjelaskan bahwa

yang dimaksud dalam lafadz ‘am itu hanya sebagian afradnya saja yaitu

sebagian yang tidak disebutkan dalam lafadz khash.

4. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khash dengan dalil ‘am terdapat

perbedaan pendapat.

Menurut ulama Hanafiyah seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya,

maka dalil khash mentakhsiskan yang ‘am karena tersedianya persyaratan

untuk takhsish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya disini ada dua

kemungkinan.

a. Bila lafadz ‘am terkemudian datangnya maka lafadz ‘am itu menasakh

lafadz khash.

b. Bila lafadz khash yang terkemudian datangnya maka lafadz lafadz khash

itu menasakh lafadz ‘am dalam sebagian mufrodnya.

Menurut jumhur ulama’tidak tergambar adanya pembenturan antara dalil ‘am

dengan dalil khusush karena keduanya bila datang pada waktu bersamaan

maka yang khash memberi penjelasan terhadap yang ‘am karena yang umum

itu adalah dalam bentuk lahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima

penjelasan disamping untuk diamalkan menurut keumumanya hingga

diketahui adanya dalil khash. Lafadz khash itulah yang menjelaskan lafadz

‘am.

3. ’AM

a) Pengertian ’Am

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 5: Ringkasan TAKWIL

‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum. Dan menurut istilah

adalah Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk

dalam pengertian lafadz itu.

Menurut istilah ‘am yaitu suatulafadz yang dipergunakan untuk

menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan

mengucapkan sekali ucapan saja, seperti lafadz “arrijal” maka lafadz ini meliputi

semua laki-laki.

Disamping pengertian ‘am diatas ada beberapa pengertian ‘am menurut

ulama’ lainnya antara lain:

1. Hanafiah yaitu “Setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadzh

maupun makna”.

2. Al-Ghazali yaitu “Suatu lafadz yang dari suatu segi menunjukkan dua makna

atau lebih”.

3. Al-Bazdawi yaitu “Lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafadzh

tersebut dalam satu kata”.

4. Menurut Uddah (dari kalangan ulama' Hanbali) "suatu lafadz yang mengumumi

dua hal atau lebih".

b) Pembagian ’Am

1. Umum Syumuliy, yaitu semua lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta

berlaku bagi seluruh pribadi, seperti:

وXاحWدXة_ نفYس_ مbن ]م XقXك خXل الذWي ]م] بك Xر اتق]وا الناس] ZهXا يX أ Xا ي

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan

kamu dari seorang diri”. (Terjemahan al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 1).

Dalam ayat ini seluruh manusia di tuntut untuk bertaqwa (memelihara diri dari

‘azhab Allah) tanpa kecuali.

2. Umum Badaliy, yaitu suatu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta

berlaku untuk sebagian pribadi, seperti:

Xتق]ونX ت Yم[ XعXلك ل Yم[ Wك Yل قXب مWن XينWالذ عXلXى XبW ]ت ك XمXا ك Xام] الصbي ]م] Yك Xي عXل XبW ]ت ك ]وا آمXن XينWالذ ZهXا يX أ Xا ي

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.(Terjemahan

al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183)

Dalam ayat ini terdapat kalimat umum tetapi umum di sini tidak dipergunakan

untuk seluruh manusia, melainkan hanya orang-orang yang percaya kepada

Allah (beriman) saja.

c) Dalalah ‘Am

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 6: Ringkasan TAKWIL

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalahal-'am merupakan

dalalahqath'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur

Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalahal-'am bersifat zanni

sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi

kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran

menentukan qath'i-nya suatu nash.

Jumhur Ulama, di antaranya Syafi'iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu

dzanniydalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz

‘am setelah ditakhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniydalalahnya, sehingga

terkenallah di kalangan jumhur ulama’ suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:

"Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish". Selain itu di kalangan jumhur ulama’

didapat pula satu faedah yang lain yang berbunyi:

يجوز ال المختص عن البحث قبل بالعام العمل

"mengerjakan sesuatu berdasarkan dalil/lafadz ‘am sebelum diteliti ada tidaknya

pentakhsisnya tidak diperbolehkan.”

Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan

pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama', Ulama Hanafiyah berpendapat

bahwa lafadz ‘am itu qath'iydalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang

mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh

bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.

Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah mengharamkan memakan daging yang

disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat

umum, yang berbunyi:

WهY Xي عXل Wالله م] Yاس WرX ]ذYك ي YمX ل مWما ]وا ]ل Yك Xأ ت XالXو

“dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah

ketika menyembelihnya”. (Terjemahan al-Qur’an Surat Al-An`âm:121)

Ayat tersebut, menurut mereka tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang

berbunyi:

يسم لم أو سمي� الله اسم علي يذبح المسلم

“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-

benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)

Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath'iy, baik dari segi wurud (turun)

maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniywurudnya, sekalipun

dzanniydalalahnya. Ulama Syafi'iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat

ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama

dzanniy.

4. AMAR

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 7: Ringkasan TAKWIL

a) Pengertian dan Bentuk - Bentuk Amar

Pengertian Amar adalah:

الوجوب سبيل على دونه هو ممن الفعل طلب

“menuntut kepada orang yang sebawahnya, untuk mengerjakan sesuatu dengan

tuntutan yg mengharuskan”.

Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah Amar

adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang

lebih rendah tingkatannya. Atau dapat didefinisikan, Suatu tuntutan (perintah) untuk

melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang

lebih rendah kedudukannya.

Adapun perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan

oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai

bentuk antara lain :

1. Perintah tegas dengan menggunakan kata amara

Seperti dalam QS. An-Nahl (16) : 90

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,

kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu

dapat mengambil pelajaran.”

2. Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas

seseorang dengan memakai kata kutiba

Seperti dalam QS. Al-Baqarah (2) : 178

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan

dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,

hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang

mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)

mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar

(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 8: Ringkasan TAKWIL

itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa

yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

3. Perintah dengan menggunakan kata faradha (mewajibkan)

QS. Al-Ahzab (33) : 50

“Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada

mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki

supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang.”

b) Kemungkinan Hukum Yang Berkenaan Dengan Amar

Suatu bentuk perintah, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib

Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk

berbagai pengertian, yaitu :

1. Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk sholat.

2. Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan.

3. Sebagai anjuran.

4. Untuk melemahkan.

c) Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Amar

Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka

ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.

1. Kaidah pertama, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai

pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib

dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.

2. Kaidah kedua, adalah suatu perintah, haruskah dilakukan berulang kali atau

cukup dilakukan sekali saja?. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqih, pada

dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan

kecuali ada dalil untuk itu.

3. Kaidah ketiga, adalah suatu perintah, dilakukan sesegera mungkin atau bisa

ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera

dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu.

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 9: Ringkasan TAKWIL

5. NAHI

a) Pengertian dan Bentuk - Bentuk Nahi

Pengertian Nahi adalah :

ب جو الو سبيل على نه دو هو ممن ك التر ء عا استد على ال الد ل القو

“ucapan yang menunjukkan permintaan untuk meninggalkan sesuatu kepada orang

sebawahnya yang sifatnya wujub/harus”.

Mayoritas ulama Ushul Fiqih mendefinisikan nahi sebagai larangan

melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang

lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

Jika lafadz khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau

bentuk berita yang bermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk

tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.

Firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah (2) : 221

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman…”

Memberikan pengertian bahwa haram bagi seorang laki-laki muslim

mengawini wanita musyrik.

Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad

Khudari Bik, Allah SWT juga memakai berbagai bentuk, diantaranya adalah:

1. Larangan tegas dengan memakai kata naha atau yang seakar dengannya yang

secara bahasa berarti melarang.

Seperti dalam QS. An-Nahl (16) : 90

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,

kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu

dapat mengambil pelajaran.”

2. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan.

Seperti dalam QS. Al-A’raf (7): 33

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 10: Ringkasan TAKWIL

“Katakanlah: “Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang

nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak

manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah

dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan

(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu

ketahui.”

3. Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.

Seperti dalam QS. At-Taubah (9) : 34

“...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak

menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka,

(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”

b) Kemungkinan Hukum Yang Berkenaan Dengan Nahi

Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam

penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain :

1. Menunjukkan hukum haram

2. Sebagai anjuran untuk meninggalkan

3. Penghinaan

c) Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Nahi

Para ulama Ushul Fiqih merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan

dengan larangan, antara lain :

1. Kaidah pertama, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram

melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan

hukum lain.

2. Kaidah kedua, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang

dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju

kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak

diluar esensi perbuatan itu.

3. Kaidah ketiga, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap

kebalikannya.

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 11: Ringkasan TAKWIL

6. MUTLAQ DAN MUQAYYAD

a) Pengertian Mutlaq Dan Muqayyad

Mutlaq ialah lafadz-lafadz yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak

ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan, seperti firman Allah SWT:

المجادلة ( : Xة_ قXب Xر Yر] ي WرYحX )۳فXت

Artinya :

“Maka (wajib atasnya) memerdekakan seseorang hamba hamhaya”

(QS. Mujadilah : 3)

Muqqayad ialah suatu lafadz yang menunjukkan atas pengertian yang

mempunyai batas tertentu berupa perkataan (Drs. H. Syafii karim, hal 171)

b) Bentuk-Bentuk Mutlaq Dan Muqayyad

Kaidah lafadzh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk

yaitu:

1. Suatu lafadzh di pakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash

lain digunakan dengan muqayyad

2. Lafadzh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya

3. Lafadzh mutlaq dan muqayyad yang belaku pada nash itu berbeda.

4. Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukum sedangkan sebab hukumnya

sama.

5. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya

(prof. Dr. Rahmat Syafei, MA hal 212-213)

c) Hukum Lafadzh Mutlaq Dan Muqayyad

1. Tidak berbeda (sama) hukum dan sebabnya, dalam hal ini mutlaq harus

dibawa kepada muqayyad, artinya muqayyad menjadi penjesan terhadap mutlaq

2. Berbeda hukum dan sebabnya dalam hal ini masing-masing mutlaq dan

muqayyad tetap pada tempatnya sendiri muqayyad tidak menjadi penjelasan

mutlak

3. Berbeda hukum tetapi sebabnya sama, dalam hal ini masing-masing mutlaq dan

muqqayad tetap pada tempatnya sendiri (Drs. H. Syafi’I Karim, hal 172-174)

7. MANTUQ DAN MAFHUM

a) Pengertian Mantuq Dan Mafhum

Mantuq ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz ditempat

pembicaraan . Mafhum ialah pengertian yang dinjukkan oleh lafadz tidak ditempat

pembicaan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.

Seperti firman Allah SWT :

االسراء ( : ]ف ا X Xه]ما ل Yق]لX ت X )۲۳فXال

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 12: Ringkasan TAKWIL

Artinya :

“maka sekali-kali Janganlah kamu mengatakan Kepada dua orang ibu Bapak

perkataan “ah””. (QS. Al Isra : 23)

b) Pembagian Mantuq

Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.

2. Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang

dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan.

c) Dalalah Mafhum

Dilalah mafhum dibedakan menjadi dua macam yaitu mafhum muwafaqah, dan

mafhum mukhalfah.

1. Mafhum muwafaqah adalah pemahaman terhadap makna yang tidak ada dalam

teks, akan tetapi dilalah ini masih satu ruh dengan teksnya. Mafhum muwafaqah

ini dibagi menjadi dua bagian:

a. Fahwal Khitab yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya

daripada yang diucapkan.

b. Lahnal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan

diucapkan.

2. Mafhum Mukhalafah

Mafhum Mukhalafah adalah pemahaman terhadap makna dimana maknanya itu

berbeda dengan yang ada dalam teks. Seperti pada contoh diatas yang

menerangkan larangan berkata ‘ah’ dapat diambil mafhum mukhalafahnya,

yakni kewajiban untuk selalu berkata yang baik pada kedua orang tua.

Macam-macam mafhum mukhalafah :

a. Mafhum Shifat yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu

sifatnya.

b. Mafhum ’illat yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya.

c. Mafhum ’adat yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan

tertentu.

d. Mafhum ghayah yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada

ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafadz ghayah ini adakalanya ”ilaa” dan

dengan ”hakta”.

e. Mafhum had yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad

diantara adat-adatnya.

f. Mafhum Laqaab yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim

fa’il, seperti sabda Nabi Muhammad SAW.

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 13: Ringkasan TAKWIL

8. NASAKH

a) Pengertian Nasakh

Dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau

penghapusan, misalnya dalam kalimat:

W YقXوYم ال XارX Xث أ Xاح] ي bالر YتXخXسX ن

Artinya: “Angin telah menghapus jejak suatu kaum”

Sedangkan definisi nasakh menurut ulama ushul fiqih, yang masyhur ada

dua yaitu:

Yه] عXن اخ_ Xر[ م]ت عWي| Yر Xش Yق_ WطXرWي ب عWي| Yر Xش Yم_ ح]ك bدXمX ا WاءXهW Yت ان Xان] Xي ب

Artinya: “Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil Syar’i;

yang datang kemudian.”

ر_ bخX Xأ م]ت WهW Yل مWث عWي| Yر Xش Yم_ Wح]ك ب WلفX Yم]ك ال WنXع عWي| Yر Xش Yم_ ح]ك WعYف Xر

Artinya: “Pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf

dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.”

Sedangkan secara etimologis kata nasakh dalam (النسخ) bahasa arab

digunakan dengan arti االرلة, artinya menghilangkan atau meniadakan. Contohnya :

الظل الشمس  atau (matahari menghilangkan kegelapan) نسخت الرياح نسخت

المشي .(angin melenyapkan jejak kaki) اثار

Terkadang kata itu digunakan dengan arti النقل yaitu pemindahan atau

mengalihkan sesuatu. Menghubungkan dari suatu keadaan kepada bentuk lain

disamping masih tetapnya bentuk semula.

Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila

memenuhi kriteria berikut ini:

1. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung

hukum dari Allah dan RasulNya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka

habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak

dinamakan nasakh.

2. Yang batalnya adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).

3. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian,

istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.

b) Rukun Nasakh

Rukun nasakh itu ada empat, yaitu:

1. Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang

telah ada.

2. Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.

Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah Ta’ala, karena Dialah yang

membuat hukum dan Dia pula lah yang menghapuskannya.

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 14: Ringkasan TAKWIL

3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.

4. Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.

c) Syarat-Syarat Nasakh

Sebagaimana telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran

nasakh dalam al-qur’an, namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat

tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.

Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:

1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’

2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’

3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan

hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti

dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.

4. Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.

Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:

1. Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang

menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’

telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang

menunjukkan bahwa hukum itu baik.

2. Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum

yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima

akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa

baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.

3. Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum

yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah, 2.

4. Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan

menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadis yang mutawatir, maka nasikh itu

harus sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh

hadis mutawatir dengan hadis ahad.

d) Macam-Macam Nasakh

Para ulama yang mengakui keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi

beberapa macam, diantaranya:

1. Nasakh yang tidak ada gantinya; seperti nasakh terhadap keharusan memberikan

sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.

2. Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih

ringan dan adakalanya lebih berat; seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali,

diganti dengan lima kali saja.

3. Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti

hukum rajam bagi laki-laki dan perampuan yang telah menikah.

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag

Page 15: Ringkasan TAKWIL

4. Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap

keharusan memberikan sedekah bagi orang miskin bagi mereka yang akan

berbicara kepada Nabi.

5. Nasakh hukum dan bacaan sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu

itu dengan batasan 10 kali. (HR. Bukhari dan Muslim dari A’isyah). Hukum dan

bacaan teks tersebut telah dihapus.

6. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulama

Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.

e) Pembagian Nasakh

Nasakh dapat dibagi menjadi:

1. Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh,

seperti hadis tentang ziarah kubur.

2. Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin

disesuaikan proporsinya masing-masing. Nasakh zimmi ini terbagi dalam :

a. Nasakh terhadap suatu hukum yang dicakup oleh nash terdahulu.

b. Nasakh juz’i, yaitu mengeluarkan dari keumuman nash terdahulu, apa yang

dicakup oleh nash kedua.

Mata Kuliah : Ushul FiqihDosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag