Kontroversi Takwil

22
Al-Qur’an Tradisi islam telah menyodorkan dua metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an), yakni tafsir dan takwil. Meski demikian, tradisi islam juga menunjukkan, bahwa tafsirlah yang mendominasi pembacaan teks (nash al-qur’an) selama ini. Sedangkan takwil oleh mayoritas ulama justru dianggap sebagai “tafsir sesat”, karena itu terlarang. Padahal menurut Nasr Hamid Abu Zaid, takwil merupakan metodologi pembacaan al-Qur’an yang produktif dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer umat islam. Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhûm Al-Nash (Studi atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid) Oleh Achmad Sudja’i* Kata Kunci: al-Qur’an, tafsir, takwil, teks. Pendahuluan Al-Qur’an, dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zaid, merupakan teks inti (core texts) dalam tradisi agama Islam. Oleh karena itu ia menempati posisi sentral dan memiliki signifikansi khusus dalam membentuk peradaban Islam. Nasr Hamid Abu Zaid menyebut peradaban yang terbangun dalam tradisi Arab-Islam sebagai peradaban teks 1 . Meski demikian, bukan berarti teks (al-Qur’an) an sich yang memproduksi peradaban Arab-Islam. Sebab teks apapun tidak dapat membangun peradaban dengan sendirinya, kecuali jika teks (al-nash) tersebut berdialektika dengan realitas (budaya) dan manusia secara produktif. Lantas dialektika antara manusia, realitas, dan teks (nash al- Qur’an) tersebut akan melahirkan yang namanya peradaban Arab-Islam. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam merupakan suatu peradaban yang landasan epistemologinya dibangun melalui dialektika manusia dengan realitas kesejarahannya di satu sisi dan proses dialog kreatif manusia dengan teks (nash al-Qur’an) disisi lain.

Transcript of Kontroversi Takwil

Page 1: Kontroversi Takwil

Al-Qur’anTradisi islam telah menyodorkan dua metodologi

pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an),

yakni tafsir dan takwil. Meski demikian, tradisi

islam juga menunjukkan, bahwa tafsirlah yang

mendominasi pembacaan teks (nash al-qur’an)

selama ini. Sedangkan takwil oleh mayoritas

ulama justru dianggap sebagai “tafsir sesat”,

karena itu terlarang. Padahal menurut Nasr

Hamid Abu Zaid, takwil merupakan metodologi

pembacaan al-Qur’an yang produktif dalam

menjawab persoalan-persoalan kontemporer

umat islam.

Kontroversi Takwil

dalam Kitab Mafhûm Al-Nash

(Studi atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid)

Oleh Achmad Sudja’i*

Kata Kunci: al-Qur’an, tafsir, takwil, teks.

PendahuluanAl-Qur’an, dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zaid, merupakan teks

inti (core texts) dalam tradisi agama Islam. Oleh karena itu ia menempati

posisi sentral dan memiliki signifikansi khusus dalam membentuk

peradaban Islam. Nasr Hamid Abu Zaid menyebut peradaban yang

terbangun dalam tradisi Arab-Islam sebagai peradaban teks1.

Meski demikian, bukan berarti teks (al-Qur’an) an sich yang

memproduksi peradaban Arab-Islam. Sebab teks apapun tidak dapat

membangun peradaban dengan sendirinya, kecuali jika teks (al-nash)

tersebut berdialektika dengan realitas (budaya) dan manusia secara

produktif. Lantas dialektika antara manusia, realitas, dan teks (nash al-

Qur’an) tersebut akan melahirkan yang namanya peradaban Arab-Islam.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam

merupakan suatu peradaban yang landasan epistemologinya dibangun

melalui dialektika manusia dengan realitas kesejarahannya di satu sisi

dan proses dialog kreatif manusia dengan teks (nash al-Qur’an) disisi

lain.

Page 2: Kontroversi Takwil

300 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

Jika demikian, kebutuhan akan sebuah metodologi untuk membaca

teks (nash al-Qur’an) adalah suatu keniscayaan. Lebih jauh, metodologi

ini diharapkan mampu membaca teks (nash al-Qur’an) secara objektif,

epistemologis, dan paradigmatik, sehingga umat islam mampu menjawab

dan menghadapi problem-problem kontemporer yang komplek. Pada

akhirnya, teks (nash al-Qur’an) mampu menjadi hudan bagi menyelesaikan

problem-problem kemanusiaan masa kini dan al-Qur’an shâlihun likulli

zamân wa makân.

Pada titik inilah Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan takwil sebagai

sebuah metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) yang

produktif. Sebagai diketahui tradisi Islam memang telah menawarkan

dua metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) yang dikenal

dengan nama tafsir (al-tafsir) dan takwil (al-takwil).

Akan tetapi, menurut Nasr Hamid Abu Zaid, dalam bukunya,

Mafhûm al-Nash: Dirâsah fi Ulûm al-Qur’ân, Tekstualitas al-Qur’an (Kritik

terhadap Ulumul Qur’an), takwil sebagai metodologi pembacaan teks (nash

al-Qur’an) justru oleh mayoritas ulama dianggap “sesat” dan karena itu

terlarangm, sehingga tafsirlah yang kemudian mendominasi pembacaan

teks (nash al-Qur’an) selama ini. Bagi Nasr Hamid abu Zaid, takwil

merupakan metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) yang

produktif dibanding dengan tafsir.

Oleh karena itu, kajian seputar teks (nash al-Qur’an), tidak akan

bisa terlepas dari kajian terhadap tafsir (al-tafsîr) atau takwil (al-takwîl).

Keduanya bagaikan dua sisi mata uanga yang tidak bisa dipisahkan.

Perjalanan Intetelektual Nasr Abu ZaidNasr Abu Zaid lahir Qahâfah, 19 Juli 1943. Ia berasal dari sebuah

keluarga biasa. Ayahnya seorang petani. Pada akhirnya sang ayah menjual

sebidang tanahnya dan kemudian membuka toko kecil untuk menjual

sebagian kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Ia adalah putra pertama

dari tiga bersaudara.

Sebagai pemuda muslim di Mesir, baginya mencari ilmu adalah sebuah

kebutuhan primer. Bertandang ke kuttâb (lembaga pendidikan tradisional)

untuk menghafal al-Qur’ân dan ilmu-ilmu lainnya adalah program harian

yang tak dapat ditinggalkan begitu saja. Maka sudah menjadi konsekuensi

logis, di usia yang cukup muda ia telah hafal al-Qur’ân.

Page 3: Kontroversi Takwil

301Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

Ketika Nasr Hamid Abu Zaid berumur 14 tahun ayahnya meninggal

dunia. Sebelum ajal menjemput sang ayah berpesan kepadanya, “Wahai

anakku, kamu bukan anak kecil lagi, kalau seumpanya saya meninggal

malam ini, diesok hari kamu harus tetap pergi ke sekolah untuk mengikuti

ujian. Karena ujian ini merupakan tangga untuk dapat memasuki sekolah

lanjutan pertama (I’dâdiyah). Ini sebuah namûdzaj yang sangat bagus dari

kasih-sayang seorang ayah supaya anaknya kelak dapat menjadi panutan

masyarakat. Akhirnya sang ayah pulang ke rahmatullah, karena serangan

jantung.

Pada tahun 1954, usianya menjelang 10 tahun. Ia bergabung dengan

organisasi Ikhwân Muslimîn cabang Qahâfah. Disana ia berjumpa dengan

Hudlaybiy yang saat itu sebagai pengarah umum Ikhwân Muslimîn.

Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat Thanthâ.

“Pada waktu itu saya dipilih sebagai pemimpin barisan, karena suara saya

lantang sekali. Di barisan pertama saya melantunkan Allâhu Akbar, Allâhu

Akbar, Walillâhu al-hamdu, tegasnya. Ketika ia berjalan di depan podium,

seseorang mengangkatnya untuk duduk di depan podium, kemudian

Hudlaybiy menyalaminya dan memberinya sebuah kompas. Hudlaybiy

berharap, “Kompas ini nanti bisa menunjukkan hidupmu di masa mendatang”.

Nashr kecil sangat bahagia sekali di kala itu, tapi di kemudian hari

seorang anak mencuri kompas pemberian Hudhaibiy tadi, sampai

akhirnya tidak ia temukan. Ia pulang ke rumah dengan tetesan air mata.

Perasaan sedih itu menghilang, ketika pembimbing umum Ikhwân

Muslimîn merangkulnya. Pada hari berikutnya, ia berangkat ke Ibrahim

Rajab, pengawas sekolah dasar di Qahâfah hanya untuk meminta agar

meletakkannya pada usrah Ikhwân Muslimin, tapi Ibrahim Rajab berkata,

“Kamu masih kecil”, Nasr kecil menyangkalnya, “Tidak, kamu harus

meletakkan saya di keluarga Ikhwân Muslimîn.

Akhirnya Ibrâhïm Rajab memenuhi permintaannya dan

memasukkannya pada usrah Umar bin Khatthâb. Di sinilah awal mula

Nasr kecil diringkus oleh pihak keamanan karena dituduh terlibat dalam

kecamuknya politik pada tahun 1945, namanya termaktub sebagai anggota

Ikhwân Muslimîn.

Pada tahun 1957, setelah menerima ijazah sekolah dasar ia

berkeinginan untuk bisa melanjutkan sekolah ke Azhar, layaknya seorang

yang hafal al-Qurân. Namun keinginan hanya tinggal keinginan saja, ia

melanjutkan ke sekolah umum jurusan pabrik, hal ini karena dipengaruhi

Page 4: Kontroversi Takwil

302 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

oleh pamannya yang kebetulan sebagai kepala sekolah umum jurusan

pabrik di Kufru al-Ziyâd. Kendatipun demikian, ia masih menyisihkan

waktu untuk membaca karya al-Manfaluthiy secara sembunyi-sembunyi.

Selain itu ia juga membaca karyanya Yusuf al-Sibâ’iy, Taufîq al-Hakîm,

al-’Aqqâd, Najîb Mahfûd dan Thahâ Husein.

Kebiasaan yang setiap hari dipupuknya itu justru menjadi motivasi

bagi Nasr Hamid Abu Zaid untuk melanjutkan sekolah lanjutan atas

umum. Kemudian, ia memasuki jurusan di mana Thaha Husein menjadi

gurunya. Setelah meraih diploma di sekolah pabrik, ia bekerja di sebuah

perusahaan kabel dan non kabel dari tahun 1961 hingga tahun 1968.

Pekerjaan inipun tidak banyak menjadi penghambat untuk

mengembangkan kreasinya di bidang keilmuan, namun justru mengadakan

kegiatan ilmiah bersama Jabîr ‘Ushfûr, Jâr al-Nâbiy, Sayyid al-Hulwu,

Moh.Mansi Qindîl, Farîd Abu Sa’dah, Moh. Shâleh dan Sa’îd Kafrâwiy.

Pada tahun 1968 ia menyelesaikan sekolah Tsânawiah umum,

kemudian melanjutkan studi ke universitas Kairo fakultas Adab. Tahun

1972 Nasr Hamid Abu Zaid lulus dengan predikat natijah Imtiyâz.

Kemudian meraih gelar magister dengan judul tesis Qadliyatu al-Majâz fi

al-Qur’ân ‘inda al-Mu’tazilah pada tahun 1976 dengan predikat natijah

Imtiyâz juga. Pada tahun 1981, ia telah menyelesaikan disertasinya untuk

meraih gelar doktoral dengan dengan judul Ta’wîlu al-Qur’ân inda

Muhyiddîn al-Arabiy, dengan natijah Martabah Ma’a al-Syaraf al-ûla. Sampai

disini, petualangan menuntut ilmu secara akademis berhenti, sebab ia

diangkat menjadi asisten dosen. Ia pun menulis buku, Mafhum al-Nash:

Dirosah fi Ulum al-Qur’an, Tekstualitas al-Qur’an (Kritik terhadap Ulumul

Qur’an) .

Keinginannya untuk meraih gelar profesor sangat menggebu-gebu,

sehingga akhirnya mencoba untuk mengajukan karya-karyanya. Namun

pada bulan Maret tahun 1993 pengajuannya mentok berdasarkan

keputusan Dr. Abd. Shabûr Syâhîn. Baru kemudian gelar profesor tadi

dapat diraih pada tanggal 31 juli 1995 dengan pergantian pembimbing

dan kaidah-kaidah dasar yang dilakukan oleh pembimbing.

Berselang dua minggu kemudian, Mahkamah Pembanding Kairo

mengeluarkan keputusan tentang penceraian akad nikah Nashr Abu Zaid

dengan istrinya, Ibtihâl Yûnis, alumnus fakultas Adab jurusan bahasa

Prancis pada tahun 1988 yang menulis disertasi al-Harbu al-Ahliyyah al-

Isbaniyyah wa al-Mutsaqqif al-Faransiy. Ibtihal Yûnis masih saja bersikeras

Page 5: Kontroversi Takwil

303Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

untuk hidup berdampingan dengan sang suami, kendatipun harus

hengkang ke Belanda setelah mendapatkan suaka politik dan mengajar

di sebuah universitas di sana. Kepada wartawan al-’Arabiy ia

mengungkapkan, bahwa sikapnya itu bukan semata-mata sebagai

konpensasi dari Mesir, maksudnya kalau nanti ia diminta untuk kembali

ke Mesir, niscaya akan menerimanya, sebagaimana keluar dari Mesir tidak

memiliki maksud tertentu untuk bernaung di bawah buaian barat seperti

yang dilaksanakan oleh Taslima Nasreen dan Salman Rusydi.2

Tafsir dan TakwilSebagaimana penulis katakan, tafsir dan takwil merupakan warisan

metodologis pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) dalam tradisi

Islam. Karena itu, Nasr Hamid Abu Zaid berusaha untuk menyajikan

kembali kajian tentang tafsir dan takwil dari perspektif yang berbeda

dengan para ulama kuno (salaf). Kajian ini ia tuangkan dalam bukunya,

Mafhûm al-Nash: Dirâsah fi Ulûm al-Qur’ân, Tekstualitas al-Qur’an (Kritik

terhadap Ulumul Qur’an). Dimana ia mencoba untuk mendudukan secara

proporsional hubungan antara tafsir dan takwil sebagai metodologi

pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an). Nasr memandang, selama

ini tradisi pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) lebih condong pada

tafsir, dan mengabaikan, bahkan memberangus akan takwil sebagai

pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) yang absah.

Buku tersebut, dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh Khoirron

Nahdhliyyin dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta tahun 2001 dengan

judul Tekstualitas al-Qur’an (kritik terhadap ulumul qur’an).

Secara garis besar buku ini dibagi dalam 3 bagian :

1. Format dan formatisasi teks yang membahas tentang konsep

wahyu dan wahyu al-Qur’an, penerima pertama, makki dan madany, asbab

al-nuzul, dan nasikh mamnsukh.

2. Membahas tentang i’jaz, munasabah antar ayat dan surat,

ambiguitas dan distingsi, ‘amm dan khash, dan membahas tafsir dan takwil.

3. Membahas tentang pembagian ilmu dari al-qur’an ala pemikiran

imam al-Ghazali.

Tafsir

Page 6: Kontroversi Takwil

304 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

Tafsir secara etimologis, sebagaimana dijelaskan Nasr Hamid Abu

zaid, berasal dari kata fasara, yufsiru, fasran. Ibnu mandzur dalam karyanya,

Lisan al-Arab menyatakan kata al-fasr bermakna “pengamatan dokter

terhadap air.” Sedangkan at-tafsirah adalah “urine yang dipergunakan untuk

menunjukkan adanya penyakit, dan para dokter meneliti berdasarkan

warnanya untuk menunjukkan adanya penyakit bagi si sakit3.”

Berpijak dari makna etimologis ini, Nasr Hamid Abu zaid

memandang ada dua hal yang perlu dicermati berkaitan dengan kata

“tafsir”:

a. Tafsirah, yakni materi yang diamati dokter untuk menyingkap

penyakit. Materi yang dicermati tersebut berfungsi sebagai “medium” yang

digunakan oleh dokter untuk menemukan penyakit. “Melalui medium /

urine” itulah sang dokter berusaha mendiagnosa dan mengungkap

penyakit sang pasien. Dengan lain kata, tafsir membutuhkan tafsirah yaitu

medium yang dicermati oleh mufassir sehingga ia dapat menyingkapkan

makna yang dikehendakinya.

b. Tindakan pengamatan dari pihak dokter yaitu tindakan yang

memungkinkannya meneliti meteri dan menyingkapkan penyakit.

Jika begitu tafsir berarti menemukan penyakit, menuntut adanya

materi atau obyek, dan pengamatan atas obyek. Jelasnya, tafsir adalah

mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi (madlûl/makna) melalui

medium (dalil/tafsîrah) yang dianggap tanda bagi mufassir4.

Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘alâm dinyatakan tafsir

bermakna: at-ta’wîl, al-kasyfu, al-idhâh, al-bayân dan al-syarhu5. Yusuf

Qordhawi menyatakan tafsir menurut bahasa artinya menjelaskan dan

menerangkan. Contohnya arti tafsir adalah terdapat dalam firman Allah

:”tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang

ganjil, melinkan kami datangkan kepadamu suatut yang benar dan yang paling

baik penjelasannya (tafsirnya) (Al-Furqan : 33)”. Dengan demikian tafsir

digunakan dalam bahasa Arab berkaitan dengan usaha membuka secara

Penafsir Me-nafsir Medium

Makna

Teks

Page 7: Kontroversi Takwil

305Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

inderawi ataupun membuka secara maknawi dengan memperjelas arti-

arti yang tertangkap dari zahir redaksional6.

Adapun tafsir secara terminologi, sebagaimana kata al-Khiby dalam

kitab at-tashîl, adalah mensyarahkan al-Qur’an, menerangkan maknanya,

dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau

isyaratnya atau tujuannya.

Sedangkan al-Jurjani menjelaskan tafsir secara bahasa berati

membuka ( al-kasyfu) dan menjelaskan (al-idhhar) serta melahirkan.

Menurutnya secara istilah tafsir adalah menjelaskan makna ayat,

urusannya, kisahnya, dan sebab karenanya diturunkan ayat dengan lafadz

yang menunjuk kepadanya secara terang7.

Al-Zarkasyi, sebagaimana dikutip oleh Nasr Hamid Zaid,

menyatakan tafsir adalah ilmu tentang turunnya ayat, surat dan cerita-

cerita yang berkenaan dengan ayat, isyarat yang ada didalamnya, kronologi

makiyyah dan madaniyyah, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan

mansukh, khos dan ‘am, mutlak dan muqayyad , mujmal dan mufassal8.

Dari berbagai definisi tafsir yang dikemukakan tersebut, Nasr Hamid

Abu Zayd memandang bahwa tafsir hanya terkait erat dengan aspek-

aspek umum yang eksternal dari teks (nash al-Qur’an) seperti

pengetahuan asbab al-nuzul, cerita tetang makiyyah dan madaniyyah dan

lainnnya. Semua itu berdimensi naqliyyah yang didasarkan pada riwayat

menurut ulama kuno (salaf). Karena tafsir terkait dengan dimensi naqliyyah

maka dalam tradisi tafsir peluang untuk berijtihad menjadi sangat sempit,

jika tidak dikatakan tidak ada tempat untuk berijtihad. Dengan demikian

mufassir tak mempunyai peran aktif dan kreatif pada aspek semantik,

ijthadiyyah9.

Karena peluang ijtihad tidak mendapatkan tempat dalam tradisi tafsir,

maka secara umum tafsir didominasi oleh naql dan riwayat10.

Konsekuensinya mufassir hanya bekerja dalam batas-batas ilmu-ilmu al-

Qur’an dan ilmu bahasa. Untuk mengetahui ilmu al-Quran mufassir

berpegang pada riwayat para ulama salaf sedang dalam ilmu bahasa

mufassir menggantungkan diri pada pendapat ahli bahasa. Berbekal

dengan ulumul Qur’an dan ilmu bahasa itulah mufassir berusaha

mengungkap dan menyingkap makna-makna (madlul ) yang tersembunyi

di balik teks11 al-Qur’an al-Karim.

Page 8: Kontroversi Takwil

306 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

Takwil

Nasib takwil memang tragis di tangan mayoritas ulama, takwil

mendapat label –negatif- sebagai “tafsir sesat”. Ia dianggap tidak sesuai

dengan ajaran al-Qur”an dan al-Hadits serta menyimpang dari tradisi

al-salaf al-awwal. Dimana tradisi al-salaf al-awwal dalam memahami dan

menginterpretasikan teks-teks keagamaan senantiasa menjauhi takwil.

Imam Malik (w.795 M) misalnya, tidak membenarkan orang berkata :

“langit menurunkan hujan”, pernyataan ini harus diyakini bahwa yang

menurunkan hujan adalah Allah SWT12.

Karenanya menggunakan takwil dalam memahami teks-teks

keagamaan (khususnya nash al-Qur’an maupun al-Hadits) adalah

penyimpangan atau pencemaran atas roh suci syari’at. Sebab wahyu adalah

“titah Tuhan” yang absolut, benar dan mutlak. Sebagian ulama besar

berpendapat – dalam persoalan ayat-ayat mutasyabih- bahwa ta’wilnya

tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah. Oleh karena itu mereka

mengharamkan takwil dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.

Alasannnya takwil tak lain dan tak bukan adalah pekerjaan orang-orang

yang dalam hatinya terdapat kecenderungan sesat13. Sehingga pendukung

takwil oleh pendukung mainstream ulama divonis sebagai “gerakan sesat”,

“ilhad”, “zindiq” dan “bid’ah/herersy”, yang bertentangan dengan ahlu al-

sunnah wa al-jama’ah 14.

Akibatnya istilah takwil dalam pemikiran agama resmi atau ideologi

penguasa diposisikan marjinal. Istilah takwil berubah menjadi istilah yang

“dibenci” bahkan “dimusuhi”. Maka terjadilah distorsi besar-besaran dan

pemberangusan terhadap “takwil” atas nama “tafsir”. Suara yang

menyerukan takwil harus menghadapi tekanan (represi) baik dari ulama

atau penguasa yang berkolaborasi dengan ulama . Istilah ta’wil tabu untuk

dibicarakan dan menjdi wacana yang terpinggirkan.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

kompleksitas problematika yang melilit umat islam “suara Ta’wil” kembali

muncul kepermukaan. Sebab “tafsir resmi” dinilai kurang bisa atau tidak

mampu merespon perkembangan serta tantangan jaman yang semakin

menunjukkan intensitasnya. Sebenarnya kebutuhan akan perlunya

penggunaan ta’wil dalam memahami dan menggali spirit teks-teks

keagamaan sudah tumbuh. Sebab solusi atas problem kontemporer tak

cukup hanya berpegang teguh pada interpretasi generasi awal yang hanya

mengandalkan pada naql dan riwayat saja.

Page 9: Kontroversi Takwil

307Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

Untuk itu perlu adanya inovasi dan kreatifitas serta kerja ektra dari

pemikir kontemporer untuk menginterpretasi teks-teks keagamaan yang

semakin hari kehilangan elan vitalnya. Dan itu hanya bisa terwujud

apabila ada keseimbangan fungsi antara “takwil” dan “tafsir”. Dengan

demikian menghidupkan kembali takwil adalah satu keniscayaan untuk

merealisasikan islam sebagai rahmat bagi alam semesta.

Kebutuhan akan menghidupkan takwil ini juga dinyatakan oleh Dr.

Yusuf Qordhawi: “Takwil adalah kebutuhan yang tak dapat ditinggalakan.

Ia dapat diwajibkan oleh akal, syariat, atau bahasa arab. Orang yang

menolak itu berarti telah keluar dari jalur yang benar dan terperososk

dalam lubang kesalahan seperti yang dilakukan kelompok zahiriyah.”15

Meski demikian, takwil masih juga menjadi menjadi istilah yang

dicurigai, dianggap “tafsir sesat” dan terancam eksistensinya oleh wacana

agama resmi. Padahal kebutuhan akan ta’wil sangat mendesak bagi

pemecahan problem kontemporer saat ini. Ini jika menghendaki islam

bisa survive dan jargon “islam rahmatan lil’akamiin” serta “islâm shâlih likulli

zamân wa makân” membumi.

Kondisi semacam ini oleh Nasr Hamid Abu Zaid dianggap sebagai

fenomena kemunduran umat Islam. Dimana umat islam hanya mengekor

dan mereproduksi produk-produk intelektual generasi tua—yang tentunya

cocok untuk jaman mereka— tanpa mau menelurkan produk yang relevan

dengan tuntutan kontemporer16. Sehingga yang terjadi bukan persoalan

berkurang dan terselesaikan, justru persoalan semakin ruwet.

Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan keprihatinannya.

“Merasa cukup dengan hasil interpretasi generasi petama terhadap teks dan

membatasi peran mufassir modern hanya dengan meriwayatkannya dari ulama

kuno membawa konsekuensi yang berbahaya dalam kehidupan sosial, mungkin

masyarakat akan memegangi interpretasi tersebut secara literal dan

menjadikannya sebagai aqidah dan akibatnya merasa cukup dengan

kebenaran –kebenaran azali atau imanen, sebagai kebenaran-kebenaran final

dan menjauhi metode ‘eksperimental’ dalam mengkaji fenomena-fenemona

alam dan kemanusiaan dan mungkin ilmu pengetahuan berubah menjadi

agama dan kemudian agama berubah menjadi khurafat, kelakar dan sisa-sisa

masa lalu. Kedua sikap tersebut masing-masing eksis dalam realitas dan yang

jejak-jejaknya kita rasakan dalam perdebatan antara kelompok sekuler dan

pemuka agama17"

Untuk itu, Nasr Hamid Abu Zaid menghendaki agar umat islam

mengakji kembali tafsir dan takwil serta mendudukannya secara

Page 10: Kontroversi Takwil

308 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

proporsional. Sehingga dalam melakukan pembacaan terhadap teks-teks

agama (khususnya al-Qur’an) melahirkan “tafsir yang produktif” untuk

menghadapi tantangan jaman global ini.

Lebih jauh perlu adanya pemahaman tentang takwil secara

proporsional sehingga kita tidak terjebak pada konflik yang tak produktif

sebagaimana pengalaman masa lalu.

Kaitannya dengan metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-

Qur’an) Nasr Hamid Abu Zaid lebih banyak menggunakan isti­lah takwil

dari pada istilah tafsir. Istilah tafsir ini lebih populer di kalangan ulama

Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Dalam tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah

istilah takwil dinisbatkan pada pemahaman kelompok-kelompok yang

mereka nilai ‘menyimpang’, “sesat,” seperti tradisi takwil Mu’tazilah,

Khawarij, filsafat, dan tasawuf.

Padahal, menurut Nasr Hâmid Abu Zaid, Al-Quran sendiri lebih

banyak memakai istilah takwil dari pada tafsir. Kalimat tafsîr, hanya

muncul satu kali dalam Al Quran, sedangkan kata takwil muncul dalam

al-Qur’an sebanyak 17 kali. Ini menunjukkan kata ta’wil lebih populer

pemakaiannya dalam bahasa pada umumnya dan khususnya pada teks

(nash al-Qur’an) daripada kata tafsir.

Selain itu, sebenarnya penggunaan isti­lah tafsir baru populer sejak

abad IV H., setelah sebelumnya pengunaan istilah takwil lebih populer.

Pelabelan yang negatif dan tendesius pada istilah takwil ini dalam tradisi

Sunni lebih disebabkan benturan politik dan ideologi18.

Hasil analisis Nasr Abu Zaid menyatakan bahwa takwil dalam al-

Qur’an mengambil dua bentuk:

a. Takwil yang membutuhkan mediator (tafsîrah). Yakni ta’wil yang

berkaitan dengan mimpi (ahlâm), ahâdîs dan ru’yah. Dalam konteks ini,

takwil dilakukan atas ungkapan-ungkapan verbal (ahâdîs) yang

digunakan oleh orang-orang yang bermimpi untuk menjelaskan gambar-

gambar yang dilihat dalam tidurnya. Di sini focus takwil adalah gambar-

gambar yang dijelaskan lewat mediator / tafsirah yang berupa ahadis/cerita

(QS: 12:6,44,15,100)19.

b. Takwil yang tidak membutuhkan mediator (tafsîrah). Takwil

model ini bisa dilihat dalam kasus kisah nabi Yusuf yang mampu

memberitahukan sesuatu yang sebelum terjadi. Di sini takwil adalah

memberitahukan “kejadian” sebelum terjadi secara factual. Dimana

Page 11: Kontroversi Takwil

309Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

makna peristiwa dapat ditemukan dan diprediksi secara langsung

sebelum peristiwa terjadi20.

Sejalan dengan takwil ini adalah takwil terhadap perbuatan-

perbuatan yang dilakukan oleh Khidzir bersama nabi Musa. Pertama,

khidzir melubangi kapal yang mereka tumpangi. Kedua, Khidzir

membunuh anah kecil. Dan ketiga, Khidzir memperbaiki tembok rumah

yang akan runtuh. Takwil atas perbuatan-perbuatan Khidzir “yang khâriq

al-‘adah” adalah upaya mengungkapkan makna yang tersembunyi dibalik

perbuatan-perbuatan tersebut21.

Dengan demikian, usaha mengungkapkan makna atau tujuan-tujuan

yang tersembunyi dari perbuatan-perbuatan tersebut—atau berusaha

mentakwilkannya—berarti berusaha mengungkapkan sebab–sebab hakiki.

Upaya mengungkapkan sebab-sebab hakiki berarti mengungkapkan asal-

usul (dasar-dasar) perbuatan-perbuatan tersebut22.

Takwil dalam konteks ini sejalan dengan kata ta’wil yang secara

etimologis berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali/pulang, ruju’. Kata

‘ala, ya’ulu, awlan, ma’alan, yang berarti raja’a. sedangkan kata ta’wil sendiri

merupakan bentuk taf’il. Dari kata awwala, yu’awwilu, ta’wilan, yang bentuk

dasarnya dari ‘ala, ya’ulu, yang berarti pulang/kembali23.

Sachiko Murata menyatakan bahwa takwil berasal dari akar kata

yang sama dengan awwal, “pertama,” yang merupakan nama salah satu

Tuhan (Allah). Karena Tuhan adalah yang Pertama, maka takwil adalah

membawa sesuatu kembali kepada yang Pertama. Perbedaan takwil

dengan tafsir menurut Murata adalah takwil merupakan metodologi

pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) dengan memperhatikan

implikasi-implikasi yang tersembunyi dibalik makna harfiah teks.

Sedangkan tafsir adalah pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an)

berdasarkan atas apa yang diturunkan pada kita lewat tradisi (naql/

riwayat), sementara takwil menambahkan perenungan pribadi24. Artinya

dengan takwil seseorang melakukan pembacaan terhadap teks (nash al-

Qur’an) berdasarkan naql / riwayat plus melakukan ijtihad intekeltual

untuk mengungkap makna, tujuan, atau maksud yang dikehendaki Yang

Pertama (Tuhan).

Dengan demikian, secara harfiah pengertian takwil adalah kembali

pada asal-usul sesuatu; apakah itu berbentuk perbuatan atau cerita.

Kembali pada asal-usul dimaksudkan untuk mengunkap makna dan

signifikansinya. Khidzir, misalnya, mentakwilkan perbuatan-perbuatannya

Page 12: Kontroversi Takwil

310 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

dengan mengungkapkan sebab-sebab dan alasan-alasan yang sebenarnya

dari perbuatan-perbuatannya.

Juru ta’wil mimpi juga mengungkapkan “asal-usul” sebenarnya yang

tersembunyi di balik gambar-gambar (mimpi) yang dilihat oleh orang yang

tidur. Sebab setiap peristiwa, perbuatan atau cerita memiliki sisi “ yang

zahir dan yang batin”. Sisi “yang batin” hanya dapat diungkap melalui ta’wil

dengan cara mengembalikan “apa yang zahir” pada asal usul dan sebab-

sebab yang sebenarnya25 atau pada Yang Pertama.

Takwil, selain bermakna kembali pada yang asal , takwil juga berarti

sampai pada tujuan, memperbaiki dan menata sesuatu agar sampai pada

tujuan. Kembali pada asal merupakan gerak balik (set back) sedangkan

sampai tujuan adalah gerak dinamis. Pada bagian lain, takwil bisa berarti

akibat atau konsekuensi (QS 17:35)26.

Dari pemaparan arti takwil, baik “kembali ke asal usul”, “sampai pada

tujuan” atau “konsekuensi” disatukan oleh makna morfologi ari bentuk

taf’il yang mengacu makna gerak. Jelasnya, takwil adalah menggerakkan

sesuatu atau gejala; apakah kembali pada asal usulnya, atau merawat

dan mengatur tujuan dan “akibatnya”. Gerak ini bukan gerak materi,

namun gerak mental-intelektual dalam menangkap gejala atau fenomena.

Hal ini berpijak dari penggunaan kata ta’wil yang senantiasa berkaitan

dengan ahâdîs, ahlâm, ru’ya, hubb. Keterkaitan ini menunjukkan ta’wil

meruapakan gerak “mental-intelektual” untuk “mengungkapkan asal

usulnya,” “makna yang sebenarnya” dengan merujuk “kembali ke belakang,”

“kembali ke Yang Pertama,” atau sampai pada tujuan melalui

“pengaturan”27.

Sedangkan pengertian takwil secara terminologi ada beberapa

pendapat, antara lain; dalam Ensiklopedi Islam, Cyril Glasse menyatakan

takwil merupakan penafsiran yang khas, yakni sebuah penelitian untuk

mencapai pengertian yang hakiki akan sebuah ungkapan teks (nash) al-

Qur’an atau teks lainnya yang kebanyakan bercorak mistis28.

Di sini takwil bisa kita dipahami sebagai sebuah upaya untuk

menyingkap sesuatu yang hakiki yang tersembunyi dibalik teks.

Sedangkan bercorak mistis merupakan lebel yang simplifikasi. Sebab, kata

Yusuf Qardhawi, tidak ada madzhab dalam islam—dalam ilmu kalam,

fikih, atsar, atau tasawuf—yang tidak melakukan takwil meskipun mereka

berbeda-beda dalama kadar penggunaannya ada yang meluaskan dan

ada yang menyempitkannya sekupnya29.

Page 13: Kontroversi Takwil

311Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

Takwil menurut Al-Qasim bin Habib an-Naisaburi, al-Baghawi dan

al-Kawasib sebagaimana dikutip oleh az-Zarkasyi adalah mengalihkan

ayat pada makna yang sesuai dengan yang sebelumnya dan sesudahnya

makna yang dimungkinkan tak bertentangan dengan al-Kitab dan al-

Sunah melalui ijtihad3031. Yusuf Qardhawi menyatakan, takwil adalah

mengalihkan lafal dari makna zahirnya ke makna lain yang lemah yang

ia kandung karena ada dalil yang membuat makna lemah tersebut

menjadi kuat32.

Rachmat Taufiq Hidayat dalam buku Khazanah Istilah al-Qur’an

menyatakan bahwa takwil adalah mengartikan kata-kata (ayat-ayat) al-

Qur’an tidak secara literal (harfiyah); atau memberikan makna lain

terhadap suatu ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna yangh tersurat

sebagai hasil penalaran33.

Dari pemaran definisi takwil tersebut dapat Nasr Hamid Abu Zaid

menyatakan bahwa takwil berkaitan erat dengan istinbâth, ijtihâd,

sementara tafsir umumnya hanya mengandalkan dalil naql dan riwayat.

Perbedaan ini mengandung satu dimensi penting bagi proses takwil itu

sendiri, yaitu peran pembaca dalam menghadapi atau membaca teks (nash

al-Qur’an) dan dalam menemukan maknanya. Peran pembaca atau

mu’awwil disini bukan peran mutlak, dalam pengertian melalui takwil

teks lantas ditundukkan pada kepantingan subyektif. Kenapa bukan peran

mutlak? Karena menurut Nasr Hamid Abu Zaid, takwil harus didasarkan

pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang berkaitan dengan tesk

(nash) yang masuk dalam lingkup tafsir 34. Dengan demikian, mu’awwil

harus mempunyai kompetensi sebagai penafsir, sehingga ia bisa melakukan

takwil secara obyektif. Hal ini juga menunjukkan bahwa takwil tidak

bisa meninggalkan tafsir. Untuk melakukan takwil seseorang harus

menapaki jenjang tafsir dulu.

Nasr Hamid Abu Zaid menegaskan lagi, takwil harus didasarkan

pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang berkaitan dengan teks

(tata bahasa dan balaghah) yang termasuk dalam konsep tafsir. Maka

mu’awwil harus mengetahui benar tentang ilmu tafsir sehinga ia dapat

memberi ta’wil yang diterima terhadap teks. Yakni ta’wil yang tidak

menundukkan teks pada kepentingan pribadi kelompok dan ideologinya.

Karenanya takwil yang tidak berdasarkan pada tafsir adalah tafsir

yang ditolak (yang dilarang oleh ulama kuno). Sebab istinbâth tidak

sekadar didasarkan pada asumsi saja dan tidak pula upaya menundukkan

Page 14: Kontroversi Takwil

312 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

teks pada kepentingan dan ideologi mufassir. Istinbath harus didasarkan

pada fakta-fakta teks pada satu sisi dan data –data bahasa pada sisi lain.

Baru setelah itu tidak terjadi persoalan apabila beralih dari makna ke

tujuan, bukan langsung mengadakan lompatan pada tujuan yang

bertentangan pada makna teks35.

Gambaran di atas menunjukkan bahawa pintu gerbang untuk sampai

pada takwil adalah tafsir. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang menghimpun

semua ilmu yang mengantar menjadi takwil dengan demikian tafsir

merupakan bagian dari proses takwil itu sendiri. Hal ini menunjukkan

takwil lebih luas wilayah jangkauannya daripada tafsir36.

Perbedaan tafsir dan takwil

Mekanisme Takwil

Sebagaimana dijelaskan oleh Nasr Hamid Abu Zaid, bahwa takwil

tidak boleh menundukkan teks dibawah kepentingan politik maupun

ideologis muawwil, maka ia mensyarakatkan bahwa sebelum sampai pada

takwil, mufassir terlebih dahulu harus bekerja dalam batas-batas ilmu al-

Qur’an dan ilmu bahasa. Untuk itu seorang mufassir harus menafsirkan

menafsir al-Qur’an berdasarkan riwayat sedangkan yang berkaitan dengan

tata bahasa mufassir harus memahami kaidah-kaidah bahasa (arab).

Dimana kedua wilayah kajian ilmu ini, baik riwayat maupun ilmu bahasa,

berkaitan erat dengan teks37.

Lantas Nasr menentukan mekanisme-mekanisme takwil sebagai

berikut:

Pertama, seseorang menjadi pembaca. Pembaca tidak hanya sekedar

menjadi pembaca, namun ia harus membekali dirinya dengan ilmu-ilmu

al-Qur’an dan ilmu tata bahasa jika mampu menyingkap makna teks

No. Tafsir Takwil

1. Butuh medium

(tafsîrah)

Tidak selalu butuh medium

2. Berdasarkan naql dan

riwayat

Berdasarkan pada naql, riwayat, dan

istinbâth / ijtihâd

3. Berkaitan dengan

eksternal teks, seperti

ilmu-ilmu bahasa

Berbasis pada ilmu tafsir

4. Berhenti pada makna

lahir teks

Berpijak pada makna lahir teks

menuju makna batin

Page 15: Kontroversi Takwil

313Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

(nash al-Qur’an. Artinya, seorang pembaca harus menguasai konteks

linguistik teks Seperti ilmu Nahw, Sharaf, dan Balaghah. Sehingga kita

kita bisa menganalisis teks-teks tersebut sekaligus mengkategorisasikan.

Seperti al-taqdîm, al-ta’khîr, al-hadzf, al-idlmâr al-fashl, al-washl, al-kinâyah,

al-isti‘ârah, al-majâz, dan lain-lain.29 Disamping menguasai konteks

linguistik seorang pembaca juga disyaratkan menguasai ilmu-ilmu al-

Qur’an, seperti asbab al-nuzul, nasikh mansukh, dan lainnya.

Kedua, pada tingkatan ini pembaca menjadi mufassir. Meskipun

mufassir telah mampu menyingkap makna teks, namun ada dimensi-

dimensi semantik yang lebih dalam yang memerlukan penakwilan. Nasr

menyatakan:

Dengan pengetahuan mengenai ilmu-ilmu ini (ilmu al-Qur’an dan ilmu tata

bahasa) serta penguasaannya secara baik pembaca akan mampu menyingkap

makna teks. Dengan ilmu tersebut ia beralih dari tingkatan pembaca menjadi

seorang mufassir. Akan tetapi di dalam teks tetap ada dimensi-dimensi semantik

yang lebih dalam dan memerlukan gerak “mental intelektual” atau nalar dalam

menghadapi teks. Dimensi-dimensi tersebut memerlukan gerak takwil setelah

mufassir dengan segala perangkat ilmiahnya menguras segala kemungkinan

makna yang dapat diungkapkan melalui ilmu-ilmu tersebut. Hal ini

mengingatkan kita pada perbedaan secara bahasa antara tafsir dan takwil,

dimana yang pertama membutuhkan medium (tafsirah), sementara medium

tidak menjadi keharusan bagi yang kedua (takwil). Tafsirah di sini adalah

ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dibutuhkan oleh mufassir dalam menguak

makana teks, yaitu makna yang menjadi titik tolak mu’awwil dalam menyelami

kedalamn teks melalui “gerak mental intelektual” atau ijtihad38.

Mu’awwil dalam melakukan pembacaan terhadap teks (nash al-

Qur’an) dan berupaya menyingkap mesteri-misteri dibalik teks (nash al-

Qur’an) harus melalui tingkat pertama sebagai pembaca, kemudian naik

pada pembacaan dalam tingkatan analitis (menafsir). Melalui tingkat

analitis ini akan lahir “kata-kata kunci teks” dan makna-makna

sentralnya.

Kemudian, produk tafsir inilah yang selanjutnya digunakan mu’awwil

melakukan takwil untuk mengungkap beberapa misteri teks-teks

keagamaan (nash al-Qur’an). Selain itu, dalam melakukan pembacaan

interpretatif pembaca harus secara total “tenggelam” dan menyelami

dunia teks. Hal ini untuk menghindari takwil yang ceroboh dan dangkal.

Dengan kata lain antara pembaca dan teks terjadi “kemanunggalan”39.

Jika mekanisme yang disyaratkan Nasr Hamid Abu Zaid tersebut

dipenuhi maka dalam melakukan takwil, mu’awwil benar-benar memenuhi

Page 16: Kontroversi Takwil

314 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

syarat-syarat ilmiah-obyektif, tidak sekedar menundukkan teks-teks

keagamaan pada kepentingan politis dan ideologis idelogis semata.

Karena pada dasarnya problem pembacaan terhadap teks (nash al-

Qur’an) baik dengan tafsir atau takwil adalah dari pembacaan konteks

internal teks. Dimana pembacaan terhadap teks, memiliki dua problem.

Pertama, pluralitas pembaca, penafsir atau interpreter. Kedua, subjektifitas

pembaca, penafsir atau interpreter. Pluralitas pembaca, penafsir atau

interpreter merupakan kenyataan membaca teks yang dilakukan oleh

banyak penafsir yang memiliki latar belakang yang beranekaragam. Dan

masing-masing pembaca atau penafsir tersebut membawa pengaruh disiplin

ilmu yang digeluti, kelas sosial, perbedaan visi misi, pengalaman hidup

dan lain-lain40. Karena itu untuk menghindari subyektifitas pembaca atau

penafsir Nasr Hamid Abu Zaid mensyaratkan mekanisme-mekanisme

tersebut.

Contoh-Contoh Takwil

Faktor utama yang mendorong para ulama melakukan ta’wil adalah

untuk menyelaraskan nash-nash yang secara zahirnya bertentangan satu

sama lainnya. Sebab banyak teks-teks keagamaan yang sepintas saling

bertentangan pada level redaksionalnya. Dalam konteks ini takwil

merupakan kebutuhan yang mendesak.

Rasulullah bersbada: “tidak beriman seorang yang berzina saat ia

melakukan perzinaan itu, dan tidak beriman orang yang minum khamer saat

ia meminumnya, dan tidak beriman orang yang mencuri saat ia melakukan

pencurian”. Dan “ tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai

saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”. Dalam memahami maksud

hadis tersebut, para ulama menakwilkan bahwa keimanan yang dinafikan

yang dimaksud adalah keimanan yang sempurna. Hal ini berdsarkan

petunjuk dari nash-nash lain bahwa para pelaku maksiat tidak keluar

dari lingkup keimanan41.

Sedangkan contoh takwil yang bias ideologi, takwil yang

menundukkan teks pada kepentingan subyektif, kecenderungan pribadi

dan kepentingan kelompok, antara lain yang dilakukan oleh sekte Syi’ah.

Seperti:” binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan biinasa

(al-Lahab: 1)”. Mereka menakwilakan: “keduanya” adalah Abu Bakar dan

Umar. Dan “ …..dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk

Page 17: Kontroversi Takwil

315Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

yang nyata (Yasiin: 12). Mereka menafsirkan : dalam diri Ali bin Abi

Thalib42.

Dari takwil yang dipergunakan sekte syi’ah tersebut secara jelas

berseberangan dengan data-data bahasa maupun alat-alat bantu ilmu

tafsir, seperti ilmu asbab al-nuzul dan lainnya.

Takwil kontemporer yang mengabaikan data-data bahasa dapat kita

jumpai pada takwil yang dilakukan, misalnya, oleh Mustafa Mahmud.

Ia menakwilkan larangan Tuhan “mendekati pohon” kepada Adam dan

Hawa sebagai larangan hubungan seksual43.

Menurut Mahmud, redaksi sebelum mereka mendekati pohon adalah

bentuk mutsanna (QS 2:35). Namun setelah mereka memakannya

(melakukan hubungan seksual) maka redaksi beralih ke bentuk jamak

(….turunlah kamu …QS 2:36). Logikanya, Adam dan Hawa tadinya hanya

berdua. Namun setelah mereka berhubungan seksual (menerjang

larangan) hawa lantas mengandung. Dengan demikian setelah Hawa

mengandung mereka menjadi bertiga (Adam, Hawa dan anak yang

dikandungnya). Maka wajar bila redaksi yang semula mutsanna beralih

ke bentuk jamak.Meskipun logika yang dipakai Mahmud adalah berpijak

dari kebahasaan, namun ini bertentangan dengan kaidah bahasa. Sebab

ibu meskipun mengandung tetap dianggap sebagai wujud tunggal44.

Takwil seperti inilah yang oleh ulama kuno sebagai takwil yang

terlarang karena bertentangan dengan teks baik yang tersurat maupun

yang tersirat. Nasar menyatakan:

Dalam takwil semacam itu, teks berubah menjadi alat ideologis bagi

mu’awwil karena mengabaikan data-data bahasa dan literal. Selain itu,

taakwil semacam itu menjadikan teks hanya sekadar sebagai “pesan”

khusus yang untuk mengurainya hanya dapat dilakukan oleh sang Imam

yang ma’sum saja45.

Yusuf Qardhawi menyatakan:

Az-Zarkasyi menceritakan dari Ibnu Daqiq al-Aid. Ia berkata “kami berkata

tentang lafal-lafal yang sulit dipahami ia adalah benar dan menurut bentuk

yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dan siapa yang menakwilkan sesuatu

darinya jika takwilnya itu dekat dengan apa yang dipahami dari bahasa arab,

dan dipakai dalam kalilmaty-kalaimat mereka maka kami tidak

mengingkarinya dan tidak menyempatkan suatu stempelm bid’ah kepadanya.

Dan jika takwilnya jauh maka kami menolaknya dan menjauhui darinya dan

kembali kepada kaidah dalam iman dengan maknanya sambil membersihkan

akidah kami46

Page 18: Kontroversi Takwil

316 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

PenutupDalam melakukan pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) Nasr

Hamid Abu Zaid menghendaki agar umat islam mengembangkan takwil

sebagai upaya mengembangkan tafsir dalam tradisi islam. Kelebihan takwil

adalah ia meniscayakan pelacakan akar (al-’awdah ila al-ashl) dan

pencapaian maksud (ittijah al-ghâyah). Jika seorang penafsir hanya berhenti

pada proses penukilan (naql) dan periwayatan (riwayat), maka mu’awwil

mencoba mencari kesimpulan yang bersifat konstektual. Selain itu takwil

juga membutuhkan intervensi nalar (istinbâth/ Ijtihâd) dalam menghasilkan

makna. Dari hasil penakwilan diharapkan dapat menghasilkan dua hal:

(1) makna (al-makna) yaitu makna bahasa yang dikandung dalam teks

(nash al-Qur’an). (2) signifikansi (al-maghya), yakni makna konstekstual.

Dengan mengembangkan takwil diharapkan umat islam akan mampu

melakukan pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) secara produktif.

Sehingga mampu menjawab problema-problema kontemporer yang

dihadapi umat Islam.[]

Catatan Akhir

* Penulis adalah dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

Alamat: Jl. Merbau Raya No. 90 Banyumanik Semarang, 024-7463134,

081326512323.

1Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul

Qur’an (Yogyakarta: Lkis, 2001), h. 22Sketsa kehidupan Nasr Hamid Abu Zaid ini dimabil dari

www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo – Egypt, tanggal

10 January 20033Abu al-Fadl, Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibnu Mandzur,

Lisân al-‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), jilid V, h. 554Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit, h. 283.5 Louis Makhluf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lâm, Cet. 18(Dar al-

Masyriq, 1986) h. 2046Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an (Jakarta: Gema

Inasni Press, 1998), h. 283

Page 19: Kontroversi Takwil

317Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

7Prof. T.M. Hasbhi Ash-Syiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/

Tafsir, cet. 12 Bulan Bintang, 1989, h. 178.8Nasr Hamid Abu Zaid, op. cit. h.. 2949Nasr Hamid Abu Zaid, ibid, h. 294-29510Nasr Hamid Abu Zaid, ibid, h. 29611Nasr Hamid Abu Zaid, ibid, h.299-30012May Rahmawatie & Yudie R. Haryono (editor), Tafsir dan Modernisasi

dalam Al-Qur’an, Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan

(Jakarta: Gugus Press, 2002), h. 213.13Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1993) Cet. IV. h. 372.14Nasr Hamid Abu Zaid, op. cit. h. 27615Yusuf Qordhawi, op. cit., h. 41216Dalam bukunya Naqd Al-Khithâb Al-Dînî, menyatakan tradisi umat

Islam yang membebek di balik otoritas salaf dan tradisi (turâts) merupakan

salah salah penyebab kemunduran peradaban islam. Lihat Nashr Hâmid

Abû-Zayd, Naqd Al-Khitâb Al-Dînî , cet. 3 (Kairo: Madbûlî, , th. 1995),

h. 67-6817Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit, h. 280.18Nashr Hamid Abu-Zaid, Al-Khithâb wa Al-Ta’wîl, cet. I(Beirut: Al-

Markaz Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, 2000), h. 174-176)19Nasr Hamid Abu Zaid, ibid, h. 28620Nasr Hamid Abu Zaid, ibid. h.28721Nasr Hamid Abu Zaid, ibid. h. 28822Nasr Hamid Abu Zaid, ibid. h. 28923Nasr hamid Abu Zaid, ibid. h. 289. Lihat juga Sayyid Husain

Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, Cet. V (Bandung: Mizan,

1993), h. 51-5224Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender

dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Cet. VIII(Bandung: Mizan, 2000), h.

30025Nasr Hamid Abu Zaid, ibid. h. 28926Nasr Hamid Abu Zaid, ibid. h. 289-29027Nasr Hamid Abu Zaid, ibid. h. 29128Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), pengantar Prof. Huston

Smith, Penj. Ghufran A. Mas’adi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1996), h. 391.

Page 20: Kontroversi Takwil

318 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

29Yusuf Qordhawi, op. cit. h. 41230Nashr Hâmid Abû-Zaid, Al-Nash, Al-Sulthah, Al-Haqîqah: Al-Fikr

Al-Dînî Bayna Irâdah Al-Ma‘rifah, Wa Irâdah Al-Haymanah, cet. 2 (Beirut:

Al-Markaz Al-Tsaqâ­fî Al-‘Arabî, th. 1997), h. 68-7431Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit. h. 29532Yusuf Qordhawi, op.cit, h. 40933Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur’an (Bandung:

Mizan, 1989) Cet. I, h. 142-14334Nasr Hamid Abu Zaid, op. cit . h. 29635Nasr Hamid Abu Zaid, Ibid. h. 29736Nasr Hamid Abu Zaid, ibid. h. 29537Nasr Hamid Abu Zaid, ibid, h. 29938Nasr Hamid Abu Zaid, ibid, h. 30039Nasr Hamid Abu Zaid, ibid. h. 30240Nashr Hâmid Abû-Zaid, Al-Nash, Al-Sulthah, Al-Haqîqah: Al-Fikr

Al-Dînî Bayna Irâdah Al-Ma‘rifah, Wa Irâdah Al-Haymanah (Beirut: Al-

Markaz Al-Tsaqâ­fî Al-‘Arabî, cet. 2, th. 1997), h. 10841Yusuf Qordhawi, op. cit. h. 414-41542Yusuf Qordhawi, ibid, h. 42643May Rahmawatie & Yudie R. Haryono (editor), op. cit., h. 21344May Rahmawatie & Yudie R. Haryono (editor), ibid. h. 21445Nasr Hamid Abu Zaid, op. cit, h. 29646Yusuf Qordhawi, op. cit. h. 412

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Fadl, Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibnu Mandzur, Lisân

al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990)

Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), pengantar Prof. Huston Smith,

Penj. Ghufran A. Mas’adi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996

Hasbhi Ash-Syiddiqie Prof. T.M.,, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/

Tafsir, cet. 12, Jakarta: Bulan Bintang, 1989

Page 21: Kontroversi Takwil

319Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i

Louis Makhluf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, Beirut: Dar al-Masyriq,

1986

May Rahmawatie & Yudie R. Haryono (editor), Tafsir dan Modernisasi

dalam Al-Qur’an, Buku yang Menyesatkan dan Buku yang

Mencerahkan, Jakarta: Gugus Press, 2002

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an,

Yogyakarta: Lkis, 2001

Nashr Hâmid Abû-Zaid, Al-Nash, Al-Sulthah, Al-Haqîqah: Al-Fikr Al-

Dînî Bayna Irâdah Al-Ma‘rifah, Wa Irâdah Al-Haymanah, cet. 2,

Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqâ­fî Al-‘Arabî, 1997

Nashr Hâmid Abû-Zayd, Naqd Al-Khitâb Al-Dînî, (Kairo: Madbûlî, cet.

3, th. 1995)

Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur’an, Bandung: Mizan,

1989

Sayyid Husain Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, Bandung:

Mizan, 1993

Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,

1993)

www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Kairo – Egypt, tanggal

10 January 2003

Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, Jakarta: Gema Inasni

Press, 1998, h. 283

Page 22: Kontroversi Takwil

320 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Kontroversi Takwil... Oleh Achmad Sudja’i