Ringkasan Blok 12

17
Mengetahui Penyakit Demam Berdarah Dengue, Penatalaksanaan, Prognosis, dan Cara Penanggulangannya Fathia Utami* NIM 10.2010.179 24 November 2014 Pendahuluan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk melalui hubungan transportasi sehingga tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah di Indonesia. Menemukan kasus DBD secara dini bukanlah hal yang mudah, karena pada awalnya perjalanan penyakit, gejala, dan tandanya tidak spesifik, sehingga sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya. Apabila DBD tidak tertangani dengan baik hasilnya dapat memburuk. Oleh karena itu perlulah untuk melakukan tindakan yang tepat dalam menangani pasien dengan penyakit DBD. Skenario 1 Tn.A 18 tahun dibawa ke keluarganya ke rumah sakit karena penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS (sebelum masuk rumah sakit). Berdasarkan keterangan keluarga, pasien telah mengalami demam terus-menerus sejak 5 hari yang lalu. Selama demam, pasien juga mengeluh mual dan myalgia. Batuk dan pilek tidak ada. 1 hari SMRS, pasien tiba-tiba mimisan kira-kira 1 sendok makan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien somnolen. Suhu 35 , tekanan darah 60 kali per palpasi, nadi sangat lemah dan cepat. Fremitus taktil pada paru kanan melemah dan terdengar redup saat diperkusi. Suara nafas vesicular paru kanan juga melemah. Akral lembab dan dingin. Hb : 16 g/dL, Ht: 54%, Leukosit : 4000/ul, dan trombosit 40.000/ul. *Alamat Korespondensi : Vania Amalia Agatha, Fakulltas Kedokteran Universitas Krida Wacana, Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat, 11510 E-mail : [email protected] Anamnesis Anamnesis yang baik mencakup : 1. Identitas Nama lengkap, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau penjaga, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama. 2. Keluhan Utama Keluhan yang dirasakan atau dialami pasien dan membawa pasien ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam kasus: penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS (sebelum masuk rumah sakit). 3. Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat perjalanan penyakit merupakan rangkaian kejadian yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama dirasakan pasien. Dalam kasus: berdasarkan keterangan keluarga, pasien telah mengalami demam terus-menerus sejak 5 hari yang lalu. Selama demam, pasien juga mengeluh mual dan myalgia. Batuk dan pilek tidak ada. 1 hari SMRS, pasien tiba-tiba mimisan kira-kira 1 sendok makan. 4. Riwayat Penyakit Dahulu Untuk mengetahui kemungkinan- kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakit sekarang. 5. Riwayat Penyakit dalam Keluarga Mencari kemungkinan penyakit herediter atau penyakit infeksi. 6. Riwayat Pribadi Meliputi data sosial, ekonomi, pendidikan, kebiasaan, pekerjaan, riwayat perkawinan. 7. Lingkungan Tempat Tinggal Termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. Dan dengan menanyakan beberapa pertanyaan yang membantu dalam mendiagnosa, yaitu: 1. Apabila terjadi syok, sudah berapa lama pasien mengalami syok? (alloanamnesis dapat dilakukan untuk pasien tidak sadar) 2. Sudah berapa lama pasien mengalami demam? 3. Bagaimana sifat demamnya? Terus – menerus atau turun – naik? 4. Apa saja keluhan penyertanya dari pasien saat sakit? Apakah terdapat pilek atau batuk? 5. Apakah ada perdarahan atau pendarahan dari tubuh pasien semenjak sakit? 6. Apakah sebelumnya sudah pernah menderita penyakit yang sama? (Untuk penyakit DBD, pertanyaan ini dapat membantu dalam mengestimasi tingkat beratnya penyakit). 1

description

ringkasan

Transcript of Ringkasan Blok 12

Mengetahui Penyakit Demam Berdarah Dengue, Penatalaksanaan, Prognosis, dan Cara PenanggulangannyaFathia Utami*

NIM 10.2010.179

24 November 2014Pendahuluan

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk melalui hubungan transportasi sehingga tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah di Indonesia. Menemukan kasus DBD secara dini bukanlah hal yang mudah, karena pada awalnya perjalanan penyakit, gejala, dan tandanya tidak spesifik, sehingga sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya. Apabila DBD tidak tertangani dengan baik hasilnya dapat memburuk. Oleh karena itu perlulah untuk melakukan tindakan yang tepat dalam menangani pasien dengan penyakit DBD.

Skenario 1

Tn.A 18 tahun dibawa ke keluarganya ke rumah sakit karena penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS (sebelum masuk rumah sakit). Berdasarkan keterangan keluarga, pasien telah mengalami demam terus-menerus sejak 5 hari yang lalu. Selama demam, pasien juga mengeluh mual dan myalgia. Batuk dan pilek tidak ada. 1 hari SMRS, pasien tiba-tiba mimisan kira-kira 1 sendok makan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien somnolen. Suhu 35, tekanan darah 60 kali per palpasi, nadi sangat lemah dan cepat. Fremitus taktil pada paru kanan melemah dan terdengar redup saat diperkusi. Suara nafas vesicular paru kanan juga melemah. Akral lembab dan dingin. Hb : 16 g/dL, Ht: 54%, Leukosit : 4000/ul, dan trombosit 40.000/ul.*Alamat Korespondensi :Vania Amalia Agatha,

Fakulltas Kedokteran Universitas Krida Wacana,

Jl. ArjunaUtaraNo.6 Jakarta Barat, 11510

E-mail :[email protected]

Anamnesis yang baik mencakup :1. IdentitasNama lengkap, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau penjaga, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.2. Keluhan UtamaKeluhan yang dirasakan atau dialami pasien dan membawa pasien ke dokter atau mencari pertolongan.

Dalam kasus: penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS (sebelum masuk rumah sakit).3. Riwayat Penyakit SekarangRiwayat perjalanan penyakit merupakan rangkaian kejadian yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama dirasakan pasien.Dalam kasus: berdasarkan keterangan keluarga, pasien telah mengalami demam terus-menerus sejak 5 hari yang lalu. Selama demam, pasien juga mengeluh mual dan myalgia. Batuk dan pilek tidak ada. 1 hari SMRS, pasien tiba-tiba mimisan kira-kira 1 sendok makan.

4. Riwayat Penyakit DahuluUntuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakit sekarang.5. Riwayat Penyakit dalam KeluargaMencari kemungkinan penyakit herediter atau penyakit infeksi.6. Riwayat Pribadi

Meliputi data sosial, ekonomi, pendidikan, kebiasaan, pekerjaan, riwayat perkawinan.7. Lingkungan Tempat Tinggal Termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.

Dan dengan menanyakan beberapa pertanyaan yang membantu dalam mendiagnosa, yaitu:

1. Apabila terjadi syok, sudah berapa lama pasien mengalami syok? (alloanamnesis dapat dilakukan untuk pasien tidak sadar)

2. Sudah berapa lama pasien mengalami demam?

3. Bagaimana sifat demamnya? Terus menerus atau turun naik?

4. Apa saja keluhan penyertanya dari pasien saat sakit? Apakah terdapat pilek atau batuk?

5. Apakah ada perdarahan atau pendarahan dari tubuh pasien semenjak sakit?

6. Apakah sebelumnya sudah pernah menderita penyakit yang sama? (Untuk penyakit DBD, pertanyaan ini dapat membantu dalam mengestimasi tingkat beratnya penyakit).

Untuk mencontohkan kasus DBD, hasil anamnesa adalah penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS. Pasien mengalami demam terus menerus sejak 5 hari yang lalu. Selama demam, pasien juga mengeluh mual dan nyeri otot seluruh tubuh, tetapi tidak ada batuk atau pilek. Pasien mengeluarkan darah dari lubang hidung kira kira sebanyak 1 sendok makan kemarin. 1

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda tanda vital dan penyakit tertentu yang terdapat pada pasien, sangat membantu dalam menegakkan diagnosa. Yang termasuk dalam pemeriksaan tanda tanda vital adalah tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu, dan tingkat kesadaran. Pada DSS kesadaran pasien akan somnolen, dengan suhu yang meningkat pada saat demam atau menurun sebagai gejala DSS. Tekanan darah menurun dapat mencapai 80 mmHg atau lebih rendah, nadi sangat cepat dan lemah, frekuensi pernapasan juga meningkat.

Pemeriksaan pada paru secara palpasi dengan menggunakan cara fremitus. Fremitus diukur dengan telapak tangan diletakkan di dada dan meminta penderita untuk menyebut 77 berulang ulang, disebut sebagai fremitus raba (tactil fremitus). Apabila didengar dengan stetoskop disebut fremitus dengar (auditory fremitus). Rabaan dapat lemah, normal, atau mengeras. Mengeras bila adanya infiltrat dan kavitas. Lalu melemah pada emfisema, pneumothoraks, hidrothoraks, ateletaksis, dan obstruksi. Pada DBD, tactil fremitus dapat melemah karena adanya cairan pada pleura ataupun pada parunya.

Pemeriksaan pada paru secara perkusi, dilakukan dengan meletakkan jari tengah pada dinding dada. Jari jari lainnya tidak menempel ke dinding lain dengan sendi pergelangan tangan sebagai poros gerak. Bunyi ketok yang didengar pada orang normal disebut sonor. Apabila terdengar bunyi redup, pekak, hypersonor, dan tympani maka perlu dicurigai pada paru tersebut. Bunyi redup memungkinkan adanya infiltrat, konsolidasi, atau cairan di dalam rongga pleura.

Pemeriksaan pada paru secara auskultasi merupakan pemeriksaan fisik yang terpenting dalam mengenal dan menilai kelainan paru. Pemeriksaan suara nafas vesikuler pada orang normal adalah suara inspirasi lebih tinggi nadanya dan tiga kali lebih panjang dibanding ekspirasi. Bunyi nafas vesikuler yang disertai ekspirasi yang memanjang dapat terjadi pada emfisema paru. Bunyi nafas yang lemah dapat disebabkan oleh adanya cairan pada pleura. Bunyi bunyi lainnya juga dapat dideteksi seperti rhoncki kering, rhoncki basah, pleura rub, dan lainnya. Pada DBD, melemahnya suara nafas vesikuler sangat memungkinkan berkaitan dengan adanya cairan pada rongga pleura.

Pemeriksaan fisik lainnya juga dilakukan, seperti penilaian status mental, keadaan kulit, kelenjar getah bening, kepala, mata, telinga, hidung, mulut, tenggorok, leher, jantung, abdomen, serta refleks refleks. Pada DSS, keadaan kulit ujung ekstremitas menjadi lembab dan dingin karena penurunan tekanan darah dan volume darah.

Pada DBD, lakukan pemeriksaan pada kulit dan conjuctiva untuk mengetahui tanda perdarahan adalah penting. Observasi kulit meliputi wajah, lengan, tungkai, dada, perut, dan paha. Lakukan juga perabaan dan penekanan pada ulu hati (epigastrium). Adanya rasa sakit atau nyeri pada ulu hati dapat disebabkan karena adanya perdarahan di lambung. Adanya hepatomegali juga memungkinkan pada kasus DBD. Uji Tourniquet (Rumple Leede) juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya perdarahan ringan. 1

Pemeriksaan penunjang

1. Uji darah

Hitung sel darah adalah suatu pemeriksaan untuk menentukan jumlah sel dalam tiap mikroliter darah. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cara manual atau otomatik. Prinsip pemeriksaan hitung sel darah cara manual adalah melakukan pengenceran darah dengan suatu larutan tertentu. Selanjutnya sel darah dalam volume pengenceran tersebut dihitung dengan menggunakan kamar hitung. Kamar hitung yang lazim digunakan adalah kamar hitung Improved Neubauer. Prinsip pengenceran pada pemeriksaan hitung sel adalah makin banyak sel yang akan dihitung, makin tinggi pengenceran yang dilakukan. Alat dan bahan yang digunakan antara lain: K3EDTA sebagai antikoagulan, pipet Thoma atau pipet Sahli, kamar hitung dan mikroskop.

Tabel 1 : Pemeriksaan Sel Darah Tepi Tn.A (dalam skenario)

NoPemeriksaan LaboratoriumNormalPasienKeterangan

1.Hemoglobin14 17 g /dL16 g/dLNormal

2.Hematokrit40 48 %54 %Meningkat

3.Leukosit5000 10000 /L4000 /LLeukopenia

4.Trombosit150000 450000 /L40000 /LTrombositopenia

1. Pemeriksaan trombosit

- Semi kuantitatif (tidak langsung)

- Langsung (Rees Ecker)

- Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi

2. Pemeriksaan hematokrit

Pemeriksaan hematokrit antara lain dengan mikro hematokrit centrifuge. Nilai normal hematokrit:

Anak anak

: 33 38 vol%

Dewasa laki laki: 40 48 vol%

Dewasa perempuan: 37 43 vol%

Untuk puskesmas misalnya yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3x kadar Hb.

3. Pemeriksaan kadar hemoglobin

Pemeriksaan kadar hemoglobin antara lain dengan cara:

Pemeriksaan kadar Hb dengan menggunakan Kalorimeter foto elektrik (Klett Summerson).

Pemeriksaan kadar hemoglobin metode Sahli

Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi

Contoh nilai normal hemoglobin (Hb):

Anak anak

: 11,5 12,5 gr / 100 ml darah

Pria dewasa

: 13 16 gr / 100 ml darah

Wanita dewasa

: 12 14 gr / 100 ml darah

4. Pemeriksaan leukosit dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45 % dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15 % dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.

2. MAC-ELISA

Digunakan untuk uji kuantitatif untuk antigen maupun antibodi. Antigen direkatkan pada microplate plastic dan antibodi dari serum penderita. Lalu ditambahkan anti human immunoglobulin yang dilabel enzim horseradish peroxidase ke subtrat, timbul perubahan warna yang dibaca dengan spektrofotometer.

Anti-dengue IgM yang dapat dideteksi oleh MAC-ELISA (IgM Antibody-Capture Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) tampak pada sebagian pasien dengan infeksi primer saat mereka masih demam, pada sebagian lain IgM ini tampak dalam 23 hari penurunan suhu tubuh. Sekali terdeteksi, kadar IgM meningkat dengan cepat dan tampak memuncak sekitar 2 minggu setelah dideteksi selama 23 bulan.

Keuntungan MAC-ELISA yaitu dapat digunakan tanpa modifikasi untuk mendeteksi IgM anti-flavivirus pada cairan serebrospinal karena IgM biasanya tidak melewati sawar darah otak.

3. Uji serologi

Uji serologi dengan serum ganda yang diambil pada masa akut

Konvalesen Imun Hemaglutinasi (IH), yaitu pengikatan komplemen (PK). Tes inhibisi-hemaglutinasi (IH) adalah pemeriksaan yang sederhana, sensitif, dan dapat ulang serta mempunyai keuntungan karena dapat menggunakan reagen yang disiapkan secara lokal. Kerugiannya adalah bahwa sampel sera harus melalui pra-penanganan dahulu dengan aseton atau kaolin, untuk menghilangkan inhibitor non-spesifik hemaglutinasi, dan kemudian diserap dengan sel-sel gender atau sel darah merah manusia golongan O, untuk menghilangkan aglutinin non-spesifik. Tes IH juga biasanya gagal untuk membedakan antara infeksi dengan flavivirus yang sangat berkaitan, misalnya antara virus dengue dan ensefalitis Jepang, atau virus dengue dan West Nile.Uji netralisasi (NT): uji dengue blot pada IH, PK dan NT dengan mencari kenaikan antibody sebanyak minimal 2 kali Uji serologi memakai serum tunggal

Uji dengue blot yang mengukur antibodi anti-dengue tanpa memandang kelas antibodinya. Uji IgG dan IgM anti-dengue yang mengukur hanya antibodi anti dengue dari kelas IgG dan IgM. Pada uji ini yang dicari adalah ada tidaknya atau titer tertentu antibodi dengue.

4. Ujian sumsum tulang

Pada awal sakit biasanya hiposelular, kemudian menjadi hiperselular pada hari ke-5 dengan gangguan maturasi dan pada hari ke-10 setelah normal.5. Isolasi virus dengue

Memeriksa darah dan jaringan pasien

6. Imunohistokimia, imunofluoresens

Menunjukkan antigen virus dengue pada jaringan autopsy, sampel serum atau cairan serebrospinal.

7. Reaksi rantai polimerasi (PCR)

Mendeteksi urutan genom virus dengue pada sampel cairan serebrospinal atau serum jaringan autopsi.

8. Pemeriksaan homeostasisDilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

9. Pemeriksaan radiologis

Dilakukan dengan foto dada dan didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. 2DIAGNOSIS BANDING

1. MALARIA

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang meyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.

ETIOLOGI

Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina.

PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN FISIK

Splenomegali, anemia dan ikterus karena hemolisis dan gangguan hepar.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Test antigen : P-F test, yaitu mendeteksi antigen dari P. Falciparum. Deteksi nya cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus.2. Test serologi, berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal.3. Test PCR, pemeriksaan ini sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan test ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Test ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin. EPIDEMIOLOGI

Hanya pada daerah dimana orang-orang mempunyai gametosit dalam darahnya dapat menjadikan nyamuk Anopheles terinfeksi. Penularan malaria terjadi kebanyakan daerah tropis dan subtropis.

PATOFISIOLOGI

Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase seksual (skizogoni) dalam hospes vertebrata termasuk manusia. Fase aseksual terbagi atas jaringan dan fase eritrosit, pada fase jaringan, sporozoit masuk ke dalam aliran darah ke sel hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit yaitu skizogoni praeritrosit. Lama fase ini berbeda untuk tiap fase. Pada akhir fase ini, skozon pecah dan marozoit keluar ( aliran darah disebut sporulasi. Pada P. Vivax dan P. Ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati sehingga dapat relaps jangka panjang dan rekurens. Sedangkan pada fase eritrosit, dimulai dari darah merozoit menyerang eritrosit membentuk tropozoit. Proses berlangsung menjadi trofozoit-skizon-merozoit berubah ( bentuk seksual.

Fase seksual yaitu parasit seksual masuk dalam lambung betina nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikro dan makrogametosit dan terjadilah pembuahan yang disebut zigot (ookinet). Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk dan menjadi ookista. Bila ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan mencapai kelenjar liur nyamuk. 4

MANIFESTASI KLINIK

Malaria mempunyai gambaran demam periodik, anemia dan splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodormal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuhan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin. Gejala klasik yaitu terjadinya Trias Malaria secara berurutan, periode dingin (15-60 menit), mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut, badan bergetar, diikuti dengan meningkatnya temperatur. Periode panas, penderita muka merah, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat. Periode berkeringat, penderita berkeringat banyak dan temperatur turun dan penderita merasa sehat.

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme yang terjadi adalah pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoisis sementara dan hemolisis. Sedangkan, pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Hal ini karena limpa merupakan organ terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian menunjukan bahwa limpa menghapuskan eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme antigenik dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi.

Gejala klinik:

Gangguan kesadaran dlm berbagai derajat seperti apatis, somnolen,delirium dan tingkah laku

Keadaan umum yg lemah (tdk bisa duduk/berdiri) GCS di bawah 7

Kejang, kaku kuduk jarang terjadi

Panas sangat tinggi

Mata atau tubuh kuning (ikterus)

Perdarahan hidung, gusi, atau sal pencernaan

Napas cepat dan atau sesak napas

Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum

Warna air seni sepeti teh tua dan dapat sampai kehitaman

Jumlah air seni kurang (oliguri) sampai tidak ada (anuria)

Telapak tangan sangat pucat Harus segera di rujukPENATALAKSANAANMedika mentosa

1. Klorokuin, merupaka 4 aminoquinolin bwesifat skizontosida darah. Secara farmakologis bekerja mengikat feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin henatin yang merupakan hasil metabolisme hemoglobin dalam parasit. Ikatan tersebut bersifat melisiskan membran parasit sehingga parasit mati. Dapat diberikan dalam bentuk tablet dan sirup. Klorokuin adalah obat anti malaria yang paling luas pemakaiannya karena mudah diperoleh. Dosis total klorokuin adalah 25 mg basa/ kg berat badan dan diberi dalam 3hari. Efek samping yang ditemukan adalah ringan yaitu pusing, vertigo, diplopia, mual, muntah dan sakit perut. Dan berdasarkam WHO, bila ditemukan resistensi plamodium terhadap klorokuin disuatu daerah >25%, maka dianjurkan untuk tidak menggunakan obat tersebut untuk anti malaria, kecuali dikombinasi dengan antimalaria lain.

2. Pirimetamin-sulfadoksin (PS) adalah obat anti malaria kombinasi antara golongan sulfonamide dengan diaminopirimidine yang bersifat skizontosida jaringan, skizontosida darah dan sporontonsidal/ obat ini dapat diberi dalam dosis tunggal namun obat ini mudah mengalami resisten. Secara farmakologis pirimetamin bekerja sebagai inhibitor enzim tertrahidrofolat, akibatnya parasit tidak mampu melanjutkan siklus hidupnya dan akhirnya difagosit sedangkan sulfadoksin berkompetisi dengan PABA (para amino benzoic acid) dalam memperebutkan enzim dihidrofolat sintetase sehingga pembentukan asam dihidropteroat terganggu dan asam folat yang diperlukan parasit tidak terbentuk. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah kulit kemerahan dengan gatal dan sindroma Steven Johnson.

3. Kina, merupakan obat anti malaria kelompok alkaloida yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis plasmodium manusia dan gametosida P. Vivax dan P. Malariae. Obat ini merupakan obat anti malaria alternatif untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin (multidrug). Mekanisme kerja kina belum jelas. Namun, kina dapat membentuk ikatan hidrogen dengan DNA yang akan menghambat sintesa protein sehingga pembelahan DNA dan perubahan menjadi RNA tidak terjadi. Efek samping yang telah dilaporkan adalah hipoglikemia, urtikaria, buta, pendengaran menurun. Anemia hemolitik, nyeri perut, nausea, muntah, dll. 32. TOKSID TIFOID

Tifoid toksik dapat berupa delirium dengan atau tanpa sindrom, semi-koma atau koma, Parkinson rigidit/transientparkinsonism,sidrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendiidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.

Semua kasus tifoid toksik, terjadi dengan pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x400 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3x5 mg. 43. SYOK SEPSIS

Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah. Sepsis sindroma yang ditamdai dengan : hyperthermia atau hhypotermia (>38 derajat ; 12.000 atau leukopenia 20%)

Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan:

a. Derajat I: demam tinggi disertai gejala tidak khas. Satu-satunya tanda perdarahan adalah tes torniquet positif atau mudah memar.

b. Derajat II: gejala derajat 1 ditambah dengan perdarahan spontan di kulit atau di tempat lain.

c. Derajat III: Ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi (nadi cepat, lemah, hipotensi, kaki/tangan dingin, lembab, sianosis, anak menjadi gelisah)

Derajat IV: terjadi syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah yang tidak dapat diperiksa.

Patofisiologis

Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang kemudian akan masuk ke pembuluh darah manusia dan akan bereplikasi. Organ sasaran dari virus ini adalah hepar, nodus limfaticus, sum-sum tulang serta paru-paru. Sebagai perlawanan, tubuh akan membentuk antibodi yang selanjutnya akan terbentuk kompleks virus-antibodi dimana virus tersebut menjadi antigennya. Kompleks antigen-antibodi akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah (autoimun). Proses ini akan menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga bocornya sel-sel darah antara lain trombosit dan eritrosit. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran pencernaan (muntah darah, berak darah), saluran pernapasan (mimisan, batuk darah), dan organ vital (jantung, hati, ginjal) yang sering mengakibatkan kematian.Pada kasus berat, renjatan terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya hematokrit. Bukti yang mendukung dugaan ini adalah ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infuse. Perdarahan pada DBD sangat kompleks dan mungkin melibatkan satu atau lebih trombositopeni, kerusakan pembuluh darah kecil, gangguan fungsi trombosit dan Disseminated Intravascular Disease (DIC). Kerusakan trombosit dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu pasien dengan trombosit lebih dari 100.000/mm3 mungkin didapat waktu perdarahan yang memanjang. DIC terjadi pada renjatan yang berkepanjangan dan berat serta menyebabkan perdarahan hebat dan irreversible shok dengan prognosis buruk.Pada prinsipnya bentuk reaksi tubuh manusia terhadap keberadaan virus dengue melalui beberapa tahapan, yaitu:

a. Bentuk reaksi pertama adalah terjadi netralisasi virus dan disusul dengan mengendapkan bentuk netralisasi virus pada pembuluh darah kecil di kulit berupa gejala ruam (rash).b. Bentuk reaksi kedua terjadi gangguan fungsi pembekuan darah sebagai akibat dari penurunan jumlah dan kualitas komponen-komponen beku darah yang menimbulkan manifestasi perdarahan.c. Bentuk reaksi ketiga terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya komponen plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah menuju ke rongga perut berupa gejala ascites dan rongga selaput paru berupa gejala efusi pleura.1Gambaran Klinik

Masa tunas 3-15 hari tetapi rata-rata 5-8 hari. Orang yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali, umumnya hanya menderita demam dengue (DD) atau demam yang ringan dengan gejala dan tanda yang tidak spesifik atau bahkan tidak memperlihatkan tanda tanda sakit sama sekali (asimptomatis). Penderita DD biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari pengobatan. Pada DD, kadang - kadang dapat juga ditemukan leukopeni, trombositopenia, tetapi tidak disertai hemokonsentrasi. Demam dengue biasanya karena infeksi primer virus dengue, pada pemeriksaan serologis hanya dapat dideteksi peningkatan (positif) IgM saja. Biasanya IgM tersebut mulai terdeteksi pada hari ke-4 demam. Sangat jarang pada pemeriksaan serologis DD terjadi reaksi silang dengan penyakit lain, seperti malaria dan tifus abdominalis. Gejala klasik dari demam dengue (DD) ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang - kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1 2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke 6 atau ke 7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekie. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya DD yang disertai dengan perdarahan seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. DD yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan dengan DBD. Pada penderita DD tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi. Hasil pemeriksaan serologis pada penderita yang diduga DD menunjukkan peninggian IgM saja.

Pada DBD, penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung 2 7 hari. Panas dapat turun pada hari ke 3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke 6 atau hari ke 7 panas mendadak turun. Kemudian adanya tanda tanda perdarahan terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut, petekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis, melena, dan hematuria. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakannya yaitu dengan meregangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquet positif pada hari hari pertama demam terdapat pada sebagian besar penderita DBD. Namun uji Touniquet positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam chikungunya), infeksi bakteri (typhus abdominalis) dan lain lain. Uji tourniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti). Petekie merupakan tanda perdarahan yang tersering ditemukan. Tanda ini dapat muncul pada hari hari pertama demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, sedangkan perdarahan gastrointestina biasanya menyertai renjatan. Kadang kadang dijumpai pula perdarahan konjungtiva serta hematuri.

Pembesaran hati (hematomegali) juga dapat terjadi pada penderita DBD. Sifat pembesaran hati adalah pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, nyeri tekan tanpa disertai ikterus, dan pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit.

Untuk syok (renjatan), gejalanya adalah kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan, dan kaki. Penderita menjadi gelisah dan sianosis di sekitar mulut. Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang. Penyebab renjatan adalah karena perdarahan, atau karena kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang terganggu.

Trombositopeni merupakan penurunan kadar trombosit dalam darah. Jumlah trombosit 100.000/l biasanya ditemukan di antara hari ke 3 77 sakit. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang setiap hari sampai suhu turun.

Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya, penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20 %, mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan. Penurunan nilai hematokrit 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.

Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita DBD ialah nyeri otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang. Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran sehingga sering didiagnosis sebagai ensefalitis. Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan gastrointestinal dan renjatan. 6,7Klasifikasi demam berdarah dengue:

a. Derajat 1 (ringan): Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinis lain dengan manisfestasi pendarahan ringan.

b. Derajat 2 (sedang): Derajat I disertai perdarahan spontan di bawah kulit dan manifestasi pendarahan lainnya.

c. Derajat 3: Ditemukan tanda renjatan dini seperti nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit terasa dingin, lembab, dan penderita tampak gelisah.

d. Derajat 4: Renjatan berat, denyut nadi dan tekanan darah tidak dapat diukur.

Epidemiologi

a. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang

DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984.b. Distribusi Penyakit DBD Menurut TempatPenyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.c. Distribusi Penyakit DBD Menurut WaktuPola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.Penularan penyakit DBD tergantung tiga faktor yaitu manusia, virus dan nyamuk. Tubuh manusia yang sakit DBD mengandung virus dengue. Virus ini ditularkan dari penderita kepada manusia yang sehat melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Di kenal ada 4 serotif virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus ini beredar sepanjang tahun pada tubuh nyamuk di daerah endemis. Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Wilayah Indonesia mempunyai dua iklim yaitu kemarau dan penghujan. Hasil pengamatan kasus DBD selama 5 tahun terakhir di Indonesia menunjukkan peningkatan kasus biasanya pada musim hujan, yakni bulan November sampai dengan Maret. Di beberapa kota, puncak penularan pertama penularan penyakit DBD terjadi bulan Januari hingga Februari, puncak kedua muncul pada bulan April sampai Juni. Virus yang banyak berkembang di masyarakat Indonesia adalah virus dengue dengan tipe 2 dan 3. 7

EtiologiPenyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang di sebarkan oleh arthhopoda. Virus ini termasuk genus Flavivirus dari family Flaviviridae. Virus ini termasuk kelompok Arthropoda Borne Viruses (Arbovirosis), yang berukuran kecil sekali, yaitu 35-45 nm. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype virus yaitu1:

a. Dengue 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.

b. Dengue 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.

c. Dengue 3 diisolasi oleh Sather.

d. Dengue 4 diisolasi oleh Sather.

Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah tipe 2 dan tipe 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue tipe 3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat.

Virus ini hidup (survive) di alam lewat dua mekanisme yaitu:

a. Melalui transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk. Dimana virus dapat ditularkan oleh nyamuk betina dan telurnya yang nantinya akan menjadi nyamuk. Virus juga dapat ditularkan dari nyamuk jantan kepada nyamuk betina melalui kontak seksual.

b. Melalui transmisi virus yang berasal dari nyamuk masuk ke dalam tubuh vertebrata seperti manusia dan kelompok kera tertentu atau sebaliknya.

Vektor penyakit DBD adalah Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Nyamuk betina infeksi dengue menularkan penyakit pada saat menghisap darah manusia. Virus yang berada di lambung nyamuk akan mengalami replikasi, kemudian akan bermigrasi dan akhirnya sampai ke kelenjar ludah. Virus masuk tubuh manusia lewat gigitan nyamuk yang menembus kulit, kemudian masuk sirkulasi darah dengan cepat. Sifat antropofilik dan menggigit berulang saat penting artinya dalam kedudukanya sebagai vektor DBD. Nyamuk betina menghisap darah pada umumnya 3 hari setelah kawin dan mulai bertelur pada hari keenam. Dengan bertambahnya darah yang dihisap, bertambah pula telur yang di produksi. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di daerah pedesaaan). Adapun ciri-ciri Aedes aegypti adalah sebagai berikut:1. Sayap dan badannya berbelang- belang atau bergaris garis putih.

2. Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, wc, tempayan, drum, dan barang yang menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan sebagainya.

3. Jarak terbang 40 m.

4. Nyamuk betina bersifat multiple biters (menggigit beberapa orang karena sebelum kenyang nyamuk tersebut sudah berpindah tempat).

5. Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi. 7Prognosis

Demam berdarah dengue dapat menjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih dini. Namun dengan manajemen medis yang baik yaitu monitoring trombosit dan hematokrit, maka mortalitasnya dapat diturunkan. Jika trombosit < 100.000/l dan hematokrit meningkat, maka perlu diwaspadai Dengue Shock Syndrome (DSS) karena bisa menyebabkan kematian.Komplikasi

Demam berdarah dengue dapat menimbulkan komplikasi:

1. Ensefalopati, komplikasi ini dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun tanpa syok.2. Kegagalan fungsi hati.

3. Miokarditis, kelainan akibat terjadinya radang pada otot jantung.

4. Gagal ginjal akut, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.5. Sindroma uremik akut dan perdarahan, komplikasi ini umumnya jarang terjadi.

6. Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.7Penatalaksanaan

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD sebaiknya dirawat di ruang rawat khusus yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan hasil pemeriksaan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD.

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan dan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan perawatan segera merupakan hal yang penting bila terdapat tanda syok untuk mengurangi angka kematian. Perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada ketrampilan para dokter untuk mencegah atau mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut:1. Non-medikamentosa

a. Tirah baringb. Diet makan lunak c. Minum banyak (22,5 liter/24 jam) dapat berupa susu, teh manis, sirup dan diberikan sedikit oralit.

2. MedikamentosaPerhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa yang terbagi dalam 5 kategori:

Protokol 1. Penanganan Tersangka (probable) DBD Dewasa Tanpa Syok Protokol 1 digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD, setelah dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit:

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke P\poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trobosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang RawatPasien yang tersangka DBD tanpa predarahan spontan dan tanpa syok maka diberikan cairan infus kristaloid per hari dengan jumlah yang dihitung menggunakan rumus berikut ini:

1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12 jam.

Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20% Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus ditingkatkan lagi menjadi 15 ml /kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa berupa perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.

Pada keadaan tersebut, jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa DIC.

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada DewasaBila berhadapan dengan penderita Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi. Oleh karena itu, penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak maksimal.

Cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan untuk SSD. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan O2 sebanyak 2-4 L/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diberikan sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-l ml/kgBB/jam), jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 1-2 jam keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 1-2 jam kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi.

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang masih menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari waktu pemberian). Untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar Hb, Ht, dan jumlah trombosit dapat digunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht. Bila nilai Ht meningkat, berarti perembesan plasma masih berlangsung dan pemberian cairan koloid menjadi pilihan. Tetapi bila nilai hematokrit menurun, artinya terjadi perdarahan (internal bleeding), penderita harus diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dberikan ulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan sebaiknya kita mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, DIC, dan infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor. 8

Pencegahan

Sebagaimana penyakit menular yang lain maka cara mencegah dan memberantas demam berdarah adalah dengan memutuskan rantai penularan. Hingga saat ini vaksin untuk mencegah demam berdarah dengue belum ada, oleh sebab itu cara mencegah/memberantas demam berdarah yang paling efektif adalah dengan memberantas nyamuk penularnya (vektor).Pemberantasan vektor dapat dilakukan dengan 2 cara:

1. Cara pemberantasan dengan insektisida

Insektisida yang lazim dipakai dalam program pemberantasan nyamuk demam berdarah adalah malathion (untuk membunuh nyamuk dewasa/adultisida) dan temephos (untuk membunuh jentik/larvasida) atau pengabutan (cold fogging=Ultra Low Volume/ULV). Dalam pemberantasan vektor demam berdarah, cara penyemprotan pada dinding-dinding (residual spraying) tidak dapat digunakan karena Aedes aegypti tidak suka hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu, pakaian yang tergantung dan lain sebagainya.

Tindakan pengasapan harus dilaksanakna dalam 2 siklus, yaitu waktu antar pengasapan pertama dan berikutnya (kedua) harus dalam interval 7 hari, dengan maksud jentik yang selamat dan menjadi nyamuk aedes dapat dibunuh pada pengasapan kedua. Pengaapan dengan menggunakan insektisida golongan organofosfat misalnya melathion dalam larutan minyak solar tidak begitu efektif dalam membunuh nyamuk dewasa dan kecil pengaruhnya dalam menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes. Tindakan pengasapan membrikan rasa aman yang semu kepada masyarakat yang dapat mengganggu program pembersihan sarang nyamuk seperti 3M dan abatisasi.

Temephos biasanya digunakan dengan menaburkan pasir temephos (sand granules) ke dalam sarang-sarang nyamuk Aedes yaitu bejana/tempat penampungan air.

2. Cara pemberantasan tanpa menggunakan insektisida

Cara pemberantasan vektor tanpa insektisida dikenal sebagai pemberantasan sarang nyamuk atau yang biasanya disebut dengan 3M. Cara ini dilakukan dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Aedes aegypti dengan membersihkan/meniadakan sarang-sarang nyamuk, dengan cara:

a. Menguras, menyikat dinding bagian dalam bak mandi/tempayan, dan tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali (perkembangan telur menjadi nyamuk: 7-10 hari).

b. Menutup rapat tempat penampungan air, seperti manutup lubang-lubang pada bambu (pagar) dengan tanah, membalik drum yang tidak dipakai yang ada di luar rumah.

c. Membersihkan pekarangan/halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol pecah dan lain-lain dan mengubur barang-barang bekas tersebut sehinga tidak menjadi sarang nyamuk.

d. Selain itu kita dapat menggunakan ikan pemakan jentik (ikan cupang) dan bakteri.

Tindakan 3M merupakan cara yang paling tepat dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD. Menurut WHO, pemberantasan jentik nyamuk Aedes dengan penaburan butiran temephos juga cukup efektif menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes atau meningkatkan angka bebas jentik, sehingga menurukan resiko terjadinya KLB penyakit DBD. 9Kesimpulan

Demam berdarah merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti betina dan Aedes albopictus betina yang tersebar di banyak negara tropis. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang infeksinya disebabkan oleh virus DBD berjenis flavivirus (terdapat 4 gen). Infeksi pertama menimbulkan DD, dan pada infeksi sekunder heterologous menyebabkan DBD yang apabila tidak tertangani dengan baik akan mengarah ke DSS. Belum ada obat dan vaksin yang langsung mematikan virus ini, namun dengan diagnosa dan penanganan yang tepat, maka penyakit dapat ditangani dengan baik sampai penyakit ini sembuh (self limiting disease).

1