REVISI SKRIPSI - JOSEPH SATRIA - 2010.070.126

90
1 BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam era globalisasi, kebutuhan manusia yang terus meningkat mendorong industri untuk terus menerus menyediakan segala kebutuhan manusia secara berkualitas dan efisien. Salah satu upaya untuk mendukung kemajuan ini adalah dengan menciptakan peralatan industri terbaru dengan teknologi tinggi. Semakin tinggi teknologi yang digunakan, semakin tinggi pula produktivitas dan efisiensi kerja yang dicapai. Namun, seringkali perusahaan kurang mempertimbangkan pengadaan kompetensi untuk mengantisipasi risiko bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan di tempat kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 menunjukkan, bahwa 68% pekerja Indonesia saat ini bekerja dengan gaji rendah dan pekerjaan berisiko serta tidak memiliki kontrak kerja yang aman, termasuk perlindungan sosial atau perwakilan pekerja (Abidin, 2010). Oleh karena itu, dibutuhkan konsep keselamatan dan kesehatan kerja sebagai upaya untuk melindungi pekerja dari bahaya akibat kecelakaan kerja, seperti yang dirumuskan dalam UU No. 1 Tahun 1970 tentang perlindungan teknis atau keselamatan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi pekerja yang wajib dipenuhi oleh semua perusahaan. Keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan mencegah dan mengurangi segala bentuk risiko kecelakaan kerja. Jika konsep keselamatan dan kesehatan kerja ini diabaikan, maka akan timbul potensi bahaya di lingkungan kerja. Berdasarkan keterangan Direktur Pelayanan PT Jamsostek, Djoko Sungkono, dalam Pos Kota dikatakan bahwa angka kecelakaan kerja lima tahun terakhir cenderung naik. Pada tahun 2007 terdapat 83.714 kasus kecelakaan kerja, tahun 2008 terdapat 94.736 kasus, tahun 2009 terdapat 96.314 kasus, tahun 2010 terdapat 98.711 kasus dan tahun 2011 terdapat 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus kecelakaan kerja per hari. Beliau juga mengungkapkan bahwa banyaknya kasus kecelakaan kerja ini juga

Transcript of REVISI SKRIPSI - JOSEPH SATRIA - 2010.070.126

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam era globalisasi, kebutuhan manusia yang terus meningkat

mendorong industri untuk terus menerus menyediakan segala kebutuhan manusia

secara berkualitas dan efisien. Salah satu upaya untuk mendukung kemajuan ini

adalah dengan menciptakan peralatan industri terbaru dengan teknologi tinggi.

Semakin tinggi teknologi yang digunakan, semakin tinggi pula produktivitas dan

efisiensi kerja yang dicapai. Namun, seringkali perusahaan kurang

mempertimbangkan pengadaan kompetensi untuk mengantisipasi risiko bahaya

yang dapat mengakibatkan kecelakaan di tempat kerja. Badan Pusat Statistik

(BPS) tahun 2009 menunjukkan, bahwa 68% pekerja Indonesia saat ini bekerja

dengan gaji rendah dan pekerjaan berisiko serta tidak memiliki kontrak kerja yang

aman, termasuk perlindungan sosial atau perwakilan pekerja (Abidin, 2010). Oleh

karena itu, dibutuhkan konsep keselamatan dan kesehatan kerja sebagai upaya

untuk melindungi pekerja dari bahaya akibat kecelakaan kerja, seperti yang

dirumuskan dalam UU No. 1 Tahun 1970 tentang perlindungan teknis atau

keselamatan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi pekerja yang wajib

dipenuhi oleh semua perusahaan. Keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan

mencegah dan mengurangi segala bentuk risiko kecelakaan kerja.

Jika konsep keselamatan dan kesehatan kerja ini diabaikan, maka akan

timbul potensi bahaya di lingkungan kerja. Berdasarkan keterangan Direktur

Pelayanan PT Jamsostek, Djoko Sungkono, dalam Pos Kota dikatakan bahwa

angka kecelakaan kerja lima tahun terakhir cenderung naik. Pada tahun 2007

terdapat 83.714 kasus kecelakaan kerja, tahun 2008 terdapat 94.736 kasus, tahun

2009 terdapat 96.314 kasus, tahun 2010 terdapat 98.711 kasus dan tahun 2011

terdapat 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus kecelakaan kerja per hari. Beliau

juga mengungkapkan bahwa banyaknya kasus kecelakaan kerja ini juga

2

menyebabkan meningkatnya jumlah klaim kecelakaan kerja, yaitu Rp219,7 miliar

pada tahun 2007, Rp297,9 miliar pada tahun 2008, Rp328,5 miliar pada tahun

2009, Rp401,2 miliar pada tahun 2010 dan Rp504 miliar pada tahun 2011. Maka

dari itu, Jamsostek menyambut baik penerbitan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No.50 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (SMK3) yang diharapkan dapat menurunkan angka kecelakaan

kerja (Pos Kota, Jumat 1 Juni 2012).

Sementara itu, Kepala Divisi Teknis Pelayanan PT Jamsostek, Afdiwar

Anwar, menyatakan bahwa dalam tahun 2012 setiap hari ada 9 pekerja peserta

Jamsostek yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Menurutnya, tingginya

angka kecelakaan kerja ini disebabkan oleh adanya pengabaian atas keselamatan

dan kesehatan kerja di lingkungan perusahaan yang bersangkutan (Antara News,

Kamis 28 Februari 2013).

Selain itu, ILO (International Labour Organization), sebagai badan PBB

yang berfokus pada masalah pekerja di seluruh dunia, memperkirakan bahwa

setiap tahun sekitar 24 juta orang meninggal karena kecelakaan dan gangguan

kesehatan di lingkungan kerja, termasuk didalamnya 360.000 kecelakaan fatal dan

1,95 juta disebabkan oleh penyakit fatal. Sekitar 4% atau senilai USD 1,25 trilyun

dari Global Gross Domestic Product (GDP) dialokasikan untuk biaya dari

kehilangan waktu kerja akibat kecelakaan dan gangguan kesehatan di lingkungan

kerja, kompensasi untuk para pekerja, terhentinya produksi, dan biaya-biaya

pengobatan pekerja. Penyakit paru paru yang terjangkit pada para pekerja di

perusahaan pertambangan, seperti minyak, gas dan perusahaan sejenisnya,

diakibatkan oleh adanya paparan asbes, batu bara dan silica, masih menjadi

perhatian di negara-negara maju dan berkembang. Bahkan kematian akibat

kecelakaan kerja dari paparan debu asbes saja sudah mencapai angka 100.000 dan

selalu bertambah setiap tahunnya (International Labour Organization,2012).

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting bagi

perusahaan, karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan

karyawan, tetapi juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Rasmussen (2000), pada dasarnya keselamatan dan kesehatan kerja

3

mengarah pada interaksi pekerja dengan mesin atau peralatan yang digunakan,

interaksi pekerja dengan lingkungan kerja, dan interaksi pekerja dengan mesin

dan lingkungan kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu upaya

untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman untuk mencapai

produktivitas setinggi-tingginya. Oleh karena itu, keselamatan dan kesehatan kerja

mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali.

Upaya ini diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya

kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan. Tiga faktor utama yang

mempengaruhi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja adalah: manusia,

bahan, dan metode yang digunakan. Artinya, ketiga unsur tersebut tidak dapat

dipisahkan dalam mencapai penerapan keselamatan dan kesehatan kerja yang

efektif dan efisien (Heryuni, 1991).

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai dinamika psikologis,

seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berpikir, motivasi,

persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya (Azwar S, 2005). Tiga faktor yang

mempengaruhi perilaku kesehatan individu yaitu : faktor dasar (predisposing

factor), faktor pendukung (enabling factor) dan faktor pendorong (reinforcing

factor). Faktor dasar (predisposing factor) mencakup pengetahuan, sikap,

kebiasaan, kepercayaan, norma sosial dan unsur lain yang terdapat dalam diri

individu di dalam masyarakat yang terwujud dalam motivasi atau alasan

seseorang berperilaku. Faktor pendukung (enabling factor) merupakan faktor

yang menjadi pendukung seseorang berperilaku, seperti sumber daya, potensi

masyarakat, peralatan dan fasilitas serta peraturan. Faktor pendorong (reinforcing

factor) merupakan faktor lingkungan yang dominan dalam membentuk perilaku,

seperti sikap dan perilaku seseorang yang terwujud dalam dukungan sosial

(Green, 2000).

Menurut Suizer (1999), salah seorang praktisi behavioral safety,

mengemukakan bahwa para praktisi telah melupakan aspek utama dalam

mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek perilaku para pekerja.

Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Dominic Cooper (1999) yang berpendapat

walaupun sulit untuk dikontrol secara tepat, 80-95% dari seluruh kecelakaan kerja

4

yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior. Pendapat Cooper tersebut didukung

oleh penelitian Heinrich (1931) tentang penyebab kecelakaan, dimana ia

melakukan analisis terhadap 75.000 laporan kecelakaan di perusahaan yang

menunjukkan bahwa sebesar 88% kecelakaan disebabkan oleh unsafe acts,

sedangkan 10% unsafe condition dan 2% unavoidable.

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Prasetiyo (2011),

tindakan tidak aman merupakan faktor penyumbang terbesar kecelakaan kerja,

yang merupakan cerminan dari perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja.

Tindakan tidak aman ini dapat dilihat dari hasil kesalahan yang dilakukan oleh

pekerja yang terlibat secara langsung maupun kesalahan pihak manajemen.

Tindakan tidak aman yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar,

memungkinkan sebagai penyebab terjadinya suatu kecelakaan. Maka dari itu, para

tenaga kerja yang berperilaku secara baik dan sehat akan memperkecil terjadinya

risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan dalam bekerja.

Lebih lanjut dalam penelitian Prasetyo (2011) dikatakan bahwa seringkali

para karyawan dalam suatu perusahaan dihadapkan pada persoalan di dalam

keluarga maupun perusahaan. Tekanan persoalan tersebut dapat berupa aspek

emosional, fisiologis dan psikologis. Selain itu, terbatasnya biaya pemeliharaan

kesehatan dapat menurunkan produktivitas karyawan. Pihak manajemen

perusahaan seharusnya mampu mengakomodasi persoalan karyawan sejauh yang

terkait dengan kepentingan perusahaan. Pertimbangannya adalah unsur

keselamatan dan kesehatan karyawan memegang peranan penting dalam

peningkatan mutu kerja karyawan. Semakin cukup kuantitas dan kualitas fasilitas

keselamatan dan kesehatan kerja, maka semakin tinggi pula mutu kerja

karyawannya. Dengan demikian perusahaan akan semakin diuntungkan dalam

upaya pencapaian tujuannya.

PT. PDP merupakan salah satu perusahaan swasta di Indonesia yang

bergerak dalam sektor energi, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap

(PLTGU) Musi 2 kapasitas 19.83 MW di kota Palembang, Sumatera Selatan. PT.

PDP didirikan pada tanggal 30 Maret 2005 berdasarkan Akte Pendirian

Perusahaan No. 34. PDP didirikan untuk membantu mengatasi defisit energi

5

listrik di wilayah usaha PT. PLN (Persero) WS2JB berdasarkan Peraturan Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral No. 482-12/40/600.2/2006. Selain itu, dengan

berdirinya PLTGU Musi 2, PT. PDP juga ikut berperan serta dalam mensukseskan

program pemerintah melalui PT. PLN (Persero) dalam mengurangi

ketergantungan pemakaian bahan bakar solar.

Berdasarkan kontrak Jual Beli Listrik antara PT. PLN (Persero) WS2JB

dan PT. PDP, PT. PDP memiliki kewajiban untuk mendistribusikan energi listrik

kapasitas 19.83 MW selama 20 tahun. Untuk menjaga tingkat ketersediaan energi

listrik selama periode kontrak, PT. PDP melakukan kontrak Perjanjian Jual Beli

Gas (PJBG) tanggal 30 Mei 2006 dengan Pertamina EP Sumatera Selatan selama

20 Tahun. Di samping itu untuk menjaga kehandalan pembangkit dalam

beroperasi, PT. PDP melakukan kontrak perawatan (Full Maintenance Contract)

dengan Turbomach selama 15 tahun.

Pada awal mulai beroperasi tanggal 24 Juni 2006, PT. PDP

mendistribusikan energi listriknya sebesar 13.83 MW dengan 3 unit Pembangkit

Listrik Tenaga Gas (PLTG) kapasitas 4.61 MW dari Caterpillar-Turbomach

Swiss. Setelah 1 tahun beroperasi, PT. PDP memutuskan untuk menambah 1 unit

steam turbin kapasitas 6 MW dari Jianglian Jianxi Energy Corporation dengan

mengoptimalkan gas buang (sisa hasil pembakaran) 3 unit pembangkit gas turbin

yang telah terpasang. Dengan ditambahnya 1 unit steam turbin ini perusahaan

dapat melakukan penghematan bahan bakar dari yang sebelumnya 60% dari harga

jual beli listrik menjadi 40%. Tujuan utama dari pembangkit kombinasi tersebut

adalah untuk meningkatkan efisiensi termal yang cukup tinggi mencapai 50 %.

Hal ini dikarenakan pertumbuhan akan energi listrik yang meningkat pesat.

Sedangkan penggunaan turbin gas sebagai pembangkit energi listrik (PLTG)

mempunyai efisiensi termal rendah yaitu 30 % dan pembangkit tenaga uap

(PLTU) memiliki efisiensi termal 35 %. Sehingga dibutuhkan suatu pembangkit

listrik dengan siklus kombinasi yang menghasilkan energi lebih besar. Dengan

dioperasikannya pembangkit steam turbin pada tanggal 26 September 2009 ini

diharapkan dapat membantu mengurangi defisit kelistrikan di kota Palembang.

6

Berdasarkan bidang usaha, PT. PDP merupakan salah satu perusahaan

yang sangat membutuhkan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dengan

baik. Berdasarkan data riwayat kecelakaan tahun 2011, tercatat 1 kecelakaan berat

yang hampir menyebabkan kematian (terkena gas karena tidak memakai masker),

12 kecelakaan sedang (cedera pada bagian tubuh, kejatuhan benda, tertusuk benda

tajam dan lainnya) dan 9 kecelakaan ringan (lecet, tergores, tersengat listrik atau

luka ringan lainnya). Sedangkan, pada tahun 2012, terdapat 3 kecelakaan berat

(patah tulang, terpapar bahan kimia dari turbin, jatuh dari ketinggian), 8

kecelakaan sedang (terjepit, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan lainnya)

dan 11 kecelakaan ringan (lecet, tersandung, tergores dan luka ringan lainnya).

Maka dari itu, risiko pekerjaan yang dimiliki oleh para karyawan didalamnya

tergolong berbahaya.

Selain itu, pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar gas dan uap

dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan tenaga kerja dan masyarakat

sekitar apabila proses pemeliharaannya (maintenance) tidak dikelola dengan

benar. Pada PDP tercatat banyak pengeluaran pengobatan untuk para

karyawannya. Berdasarkan data riwayat kesehatan tahun 2011, tercatat

pengeluaran perusahaan mencapai Rp. 59.643.739,00 untuk biaya pengobatan.

Sedangkan, pada tahun 2012 tercatat pengeluaran perusahaan mencapai

Rp.53.445.700,00 untuk biaya pengobatan. Penyebab yang paling mungkin adalah

radiasi, pencemaran udara dan pencemaran air akibat unsur -unsur gas alam dan

hasil pembuangan. Dalam hal ini, kelalaian petugas dalam menjalankan proses

maintenance merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran. Sedangkan,

gejala yang tercatat sering timbul pada karyawan adalah gangguan pernafasan,

gangguan kardiovascular, iritasi pada mata dan hidung dan kanker.

Berdasarkan hasil wawancara pada bulan Maret 2014 dengan Manager

bagian pemeliharaan dan K3 PT. PDP, Bapak H, rendahnya kesadaran para

karyawan akan konsep kesehatan dan keselamatan kerja membuka peluang-

peluang terjadinya gangguan seperti pada data di atas. Menurut beliau, hingga saat

ini kelengkapan APD (Alat Pelindung Diri) yang disediakan perusahaan hanya

berupa helm (safety helmet), sarung tangan (gloves) dan masker saja. Berdasarkan

7

informasi yang didapatkan dari wawancara, APD yang tersedia memang belum

lengkap sehingga tidak memenuhi standar untuk menunjang keselamatan dan

kesehatan para karyawan. Namun, di luar keterbatasan APD, Bapak H juga

mengatakan bahwa para karyawan seringkali tidak mengikuti SOP yang

diberikan, seperti keharusan memakai helm, sarung tangan atau masker saat

berada di lapangan. Sedangkan, permasalahan pada sektor Combined Cycle Power

Plant terletak pada golongan kimiawi (gas, uap, debu, kabut, asap, awan, cairan,

abu dan benda padat ) yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan. Hal

ini dapat memicu berbagai macam risiko timbulnya penyakit dan gangguan

kesehatan pada karyawan operasional yang bekerja di area tersebut. Dengan

adanya berbagai tuntutan tentang masalah kesehatan dan keselamatan kerja, maka

perusahaan harus dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan

perlindungan pada karyawan dengan melakukan program-program tentang

kesehatan dan keselamatan kerja.

Menurut British Medical Association, risiko ada dan terjadi sebagai akibat

dari suatu tindakan atau aksi tidak dapat dijamin, sehingga risiko secara efektif

mengandung unsur ketidakpastian. Selain itu, risiko diartikan sebagai adanya

kemungkinan kehilangan akibat suatu kejadian yang tidak diharapkan (Yates,

1992). Dalam penelitian ini, karyawan operasional memunculkan perilaku yang

dihadapkan kepada situasi yang memiliki risiko, yaitu perilaku yang berpeluang

untuk menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain, di masa

sekarang maupun di masa yang akan datang.

Segala perilaku merupakan hasil dari proses psikologis dari dalam diri

individu yang bersangkutan sehingga perilaku-perilaku yang berisiko akan

berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini dikarenakan terdapat persepsi yang

berbeda-beda akan keyakinan atau keputusan yang diambil oleh individu akan

alternatif yang tersedia. Contohnya, ketika perusahaan telah menyediakan APD

(Alat Pelindung Diri) berupa helm (safety helmet), sarung tangan (gloves) dan

masker bagi para karyawan operasional, namun mereka tidak menggunakan APD

tersebut dengan baik. Padahal, mereka sudah mengenali dan mempunyai

pengetahuan yang cukup mengenai bahaya yang ada di tempat kerja. Dapat

8

dikatakan persepsi pekerja terhadap bahaya yang ada masih rendah (perceived risk

rendah). Perilaku berisiko ini kemudian membuka peluang terjadinya masalah

keselamatan dan gangguan kesehatan bagi karyawan operasional.

Jika para karyawan mengalami kecelakaan kerja maka mungkin saja

produktivitas terganggu. Menurut Hariandja (2007), produktivitas merupakan

kemampuan karyawan atau perusahaan dalam berproduksi dibandingkan dengan

input yang digunakan. Suatu perusahaan dapat dikatakan produktif apabila para

karyawannya mampu menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan produktivitas

yang diharapkan, mampu melakukannya dalam waktu yang singkat dan efisien,

serta mampu menghasilkan lebih banyak dari target. Konsep produktivitas kerja

dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi individu dan dimensi perusahaan.

Dimensi individu melihat produktivitas dalam kaitannya dengan karakteristik-

karakteristik kepribadian individu yang muncul dalam bentuk sikap mental dan

mengandung makna keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk

meningkatkan kualitas kehidupannya. Sedangkan dimensi perusahaan melihat

produktivitas dalam kerangka hubungan teknis antara masukan (input) dan

keluaran (output). Oleh karena itu dalam pandangan ini, terjadinya peningkatan

produktivitas tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas, tetapi juga dapat dilihat dari

aspek kualitas.

Namun demikian, dalam penelitian Anoraga (1998), menyatakan bahwa

menentukan satu faktor yang dominan dalam mengukur produktivitas kerja para

karyawan tidaklah mudah karena banyak faktor lain yang berperan dan saling

memiliki ketergantungan satu dengan yang lain. Begitu pula dengan prediksi

peneliti, bahwa tetap terbuka adanya kemungkinan beberapa faktor lain yang

mungkin dapat berperan dalam mempengaruhi produktivitas karyawan

operasional selain perilaku berisiko, seperti faktor ergonomi, kelelahan (fatigue),

near miss, motivasi, kebisingan, homogenitas, jenis pekerjaan, geografis,

demografis dan sebagainya.

Di PT. PDP, produktivitas individu mendapat pengamatan berdasarkan

kinerja individu dan unit (kelompok divisi). Produktivitas dapat dilihat

berdasarkan apa yang dilakukan individu pada pekerjaannya. Apa yang dilakukan

9

individu dapat diukur berdasarkan kehadiran, keluar-masuk kerja, kecelakaan

kerja dan keluahan-keluhan. Selain itu, dapat dilakukan pengamatan oleh sesama

unit kerja, supervisor ataupun bawahan.

Saat ini, PT. PDP memiliki 84 karyawan operasional. Mereka dibagi

menjadi empat bagian pekerjaan, yaitu operator dan maintenance gas turbine,

operator dan maintenance steam turbine, operator dan maintenance electrical,

operator dan maintenance water system (cooling system dan osmosis). Keempat

bagian pekerjaan tersebut memiliki ketergantungan satu dengan yang lain

sehingga jika salah satu unit mengalami masalah, maka pasti akan mempengaruhi

unit yang lain. Di dalam setiap unit terdiri dari 3-4 karyawan operasional untuk

mengoperasikan dan memelihara kinerja mesin. Dalam penelitian ini, kecelakaan

kerja dapat menyebabkan individu tidak dapat bekerja sehingga akan memberi

masalah bagi unit dimana karyawan operasional tersebut bekerja.

Selain itu, berdasarkan penjelasan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa sudah sewajarnya apabila tenaga kerja

juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program

pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan demi terwujudnya perlindungan

tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Jadi, bukan hanya perusahaan saja

yang bertanggung jawab dalam masalah ini, tetapi para karyawan juga harus ikut

berperan aktif dalam hal ini agar dapat tercapai kesejahteraan bersama.

Dilihat dari berbagai kemungkinan, perilaku berisiko (risk behavior) para

karyawan operasional yang mengabaikan Alat Pelindung Diri (APD) yang telah

disediakan oleh perusahaan berpeluang untuk menimbulkan kerugian baik

terhadap diri sendiri maupun orang lain, baik sekarang maupun masa yang akan

datang. Perilaku berisiko ini kemudian membuka peluang terjadinya masalah

keselamatan dan gangguan kesehatan bagi karyawan operasional. Ketika individu

tidak dapat memberikan kontribusi pada unit, maka mempengaruhi produktivitas

unit dan perusahaan secara keseluruhan.

Berdasarkan observasi peneliti pada lokasi PLTGU, memang terdapat

banyak sekali pengabaian pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), terutama sarung

tangan dan masker. Selain itu, peneliti juga menemukan dalam peraturan

10

perusahaan, bahwa setiap pekerja seharusnya mendapat penutup telinga karena

suara bising dari mesin-mesin turbin dapat membahayakan pendengaran. Namun,

dalam kenyataannya tidak ada satupun yang menggunakan alat penutup telinga

karena memang tidak tersedia.

Berdasarkan wawancara dengan direktur PT. MGK dan manajer PT. PDP,

penerapan konsep keselamatan dan kesehatan kerja memang belum menjadi

perhatian utama bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan perusahaan baru berdiri

kurang dari 10 tahun sehingga masih banyak aspek-aspek lain yang lebih

diprioritaskan. Selain itu, direktur PT. MGK memberi izin kepada peneliti untuk

bekerja sama melakukan penelitian yang berkaitan dengan keselamatan dan

kesehatan kerja sehingga akan ada hubungan timbal balik antara peneliti dan

perusahaan.

Berdasarkan pembahasan mengenai perilaku berisiko, keselamatan dan

kesehatan kerja, produktivitas dan karyawan operasional PLTGU di atas, peneliti

merumuskan masalah penelitian, yakni apakah terdapat hubungan antara perilaku

berisiko dan produktivitas karyawan operasional di Pembangkit Listrik Tenaga

Gas dan Uap (PLTGU) PT. PDP ? Selain itu, menarik untuk diteliti seberapa

derajat tingkat perilaku berisiko karyawan operasional di PLTGU PT. PDP?

Ditinjau dari tiga dimensi yang membentuk variabel perilaku berisiko, perlu untuk

diteliti dimensi manakah yang memiliki derajat tingkat perilaku berisiko paling

kuat? Kemudian dari tiga dimensi yang sama, dimensi manakah yang paling

berhubungan dengan produktivitas karyawan operasional?

I.B. TUJUAN PENELITIAN

I.B.1. TUJUAN UMUM

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku

berisiko dan produktivitas karyawan operasional di Pembangkit Listrik Tenaga

Gas dan Uap (PLTGU) PT. PDP.

11

I.B.2. TUJUAN KHUSUS

1. Untuk mengukur derajat tingkat perilaku berisiko karyawan operasional di

PLTGU PT.PDP.

2. Untuk mencari tahu dimensi yang memiliki derajat tingkat perilaku berisiko

paling kuat.

3. Untuk mencari tahu dimensi yang paling berhubungan dengan produktivitas

karyawan operasional.

I.C. MANFAAT PENELITIAN

I.C.1. MANFAAT TEORITIS

Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan kepada ilmu

pengetahuan Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) di

Fakultas Psikologi Unika Atmajaya terutama mengenai kesehatan dan

keselamatan kerja para karyawan operasional di Pembangkit Listrik Tenaga Gas

dan Uap (PLTGU), mengingat masih sedikit penelitian di Fakultas Psikologi

Atmajaya mengenai topik ini.

I.C.2. MANFAAT PRAKTIS

1. Memberikan data untuk dipertimbangkan oleh PLTGU PT. PDP dalam

menentukan berbagai kebijakan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja

untuk meningkatkan produktivitas kerja para karyawan operasional di

PLTGU PT. PDP.

2. Memberikan masukan dan informasi bagi pembuatan Standard Operating

Procedure (SOP) pada PLTGU PT. PDP.

12

I.D. URGENSI PENELITIAN

Perilaku berisiko karyawan operasional dapat menyebabkan kecelakaan

kerja, seperti kecelakaan kecil (minor), besar (mayor) atau kematian (fatal).

Kecelakaan kerja tersebut dapat menyebabkan penurunan produktivitas bagi

karyawan operasional dan perusahaan. Bahkan dapat menyebabkan area

operasional berhenti total. Selain mempengaruhi produktivitas dirinya sendiri,

kecelakaan kerja akibat perilaku berisiko akan memberikan pengaruh yang besar

bagi perusahaan maupun masyarakat. Berikut ini adalah kerugian yang mungkin

terjadi :

1. Dari sisi individu, perilaku berisiko karyawan operasional memiliki risiko

kecelakaan kerja yang tinggi (hingga kematian) karena bekerja pada sektor

energi, yaitu pembangkit listrik tenaga gas dan uap. Selain itu, kecelakaan

kerja akibat perilaku berisiko dapat menghambat produktivitas kerja karyawan

operasional dalam menjalankan proses produksi listrik bagi perusahaan.

2. Dari sisi perusahaan, hambatan proses produksi listrik tersebut dapat

menyebabkan kerugian finansial, meningkatnya dana operasional dan dana

kompensasi bagi perusahaan. Selain itu, perusahaan memiliki risiko

kehilangan izin kerjanya jika dianggap gagal menerapkan konsep keselamatan

dan kesehatan bagi karyawannya.

3. Dari sisi masyarakat, hambatan yang dialami oleh perusahaan akan

mengakibatkan defisit energi listrik bagi kota Palembang dan sekitarnya. Hal

ini dapat menyebabkan pemadaman bergilir sehingga pada akhirnya

menghambat aktivitas masyarakat.

I.E. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitan, dan sistematika penulisan. Lebih

13

lanjut, dalam BAB I terdapat pemaparan mengenai urgensi dan pentingnya

penelitian mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.

BAB II berisi tinjauan kepustakaan terkait penelitian ini mengenai teori

dan model perilaku, keselamatan dan kesehatan kerja, teori produktivitas kerja

dan gambaran mengenai pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU).

BAB III berisi metodologi dan prosedur penelitian yang digunakan di

dalam penelitian ini.

BAB IV berisi gambaran umum hasil penelitian berupa data yang

didapatkan secara detil. Selain itu, bab ini akan memaparkan perbandingan antara

satu data dengan data lainnya.

Akhirnya, BAB V akan memaparkan hasil penelitian beserta kesimpulan,

diskusi dan saran terkait hasil penelitian.

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.A. PERILAKU BERISIKO

II.A.1. DEFINISI PERILAKU BERISIKO

Menurut kamus Oxford, risiko didefinisikan sebagai kesempatan, pilihan,

kemungkinan / probabilitas, yang mengandung arti gambling, hutang, spekulasi

dan ketidakpastian (Oxford Dictionary, 2013). Menurut Australian / NZ Standard

(4360 : 1999), risiko didefinisikan sebagai kesempatan dari sesuatu yang terjadi

yang akan mempunyai pengaruh atau dampak terhadap tujuan. Kemudian,

menurut British Medical Association (dalam Yates.1992), risiko didefinisikan

sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak diharapkan sehingga

menimbulkan dampak tidak menyenangkan.

Menurut Dolores dan Johnson (2001), perilaku manusia merupakan

sekumpulan perilaku yang dimiliki manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap,

emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi dan genetika. Sedangkan menurut Geller

(2001a), perilaku mengacu pada tingkah laku atau tindakan individu yang dapat

diamati oleh orang lain. Dengan kata lain, perilaku adalah apa yang orang katakan

atau lakukan yang merupakan hasil dari pikiran, perasaan, atau sesuatu yang

diyakininya. Maka dari itu, perilaku manusia terdiri dari semua kegiatan atau

aktivitas manusia, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Selain itu, determinan perilaku dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor

internal (dari dalam individu) dan faktor eksternal (stimulus dari luar individu).

Faktor internal adalah karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat

bawaan dan berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Misalnya, tingkat

pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, jenis kelamin, dan

sebagainya. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar, baik secara

fisik maupun non-fisik, seperti iklim, manusia, sosial, budaya, ekonomi, politik,

15

kebudayaan dan sebagainya. Faktor lingkungan ini seringkali menjadi faktor yang

dominan mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Heinrich (1931), perilaku berisiko adalah perilaku seseorang atau

beberapa orang yang memperbesar risiko kemungkinan terjadinya kecelakaan

kerja. Faktor penyebab kecelakaan kerja, yaitu: 88% unsafe acts, 10% unsafe

condition dan 2% unavoidable. Secara teoritis, perilaku pekerja dibagi menjadi

dua kondisi. Pertama, pekerja tidak tahu, sehingga berperilaku tidak aman. Kedua,

pekerja tahu, namun tetap berperilaku tidak aman. Pada kondisi pertama, dapat

dengan mudah diselesaikan dengan memberikan pelatihan keselamatan kerja

sehingga dapat menciptakan pengawasan dan perilaku yang diharapkan. Namun,

pada kondisi kedua lebih sulit karena perilaku berisiko yang dilakukan pekerja

disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti pribadi pekerja, jenis pekerjaan,

seberapa tinggi dukungan manajemen dan sebagainya.

Sedangkan, menurut Miner (1994), mendefinisikan perilaku berisiko

sebagai perilaku seseorang yang mengarah pada risiko terjadinya kecelakaan

kerja, seperti bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan

tanpa izin, tidak menggunakan APD, operasi pekerjaan dalam kecepatan

berbahaya, menggunakan peralatan tidak sesuai prosedur, bertindak kasar, kurang

pengetahuan, cacat tubuh atau emosi (Indonesia Safety Center, 2011).

Secara keseluruhan, peneliti mendefinisikan perilaku berisiko sebagai

suatu perilaku yang tidak sesuai standar atau prosedur sehingga menimbulkan

potensi untuk menempatkan seseorang dalam situasi yang berbahaya dan

memiliki risiko terjadinya kecelakaan kerja sehingga dapat menghambat dirinya

mencapai tujuan yang diharapkan.

II.A.2. SKILLS, RULES, KNOWLEDGES (SRK)

Dalam bukunya yang berjudul Proactive Risk Management In A Dynamic

Society, Rasmussen (2000), menjelaskan bahwa perilaku manusia dibagi menjadi

tiga bentuk, yaitu skills (kemampuan), rules (aturan), dan knowledges

(pengetahuan). Kemudian, ketika perilaku manusia berinteraksi dengan mesin,

16

tiga bentuk perilaku tersebut dapat dirumuskan menjadi tiga kerangka kerja, yaitu

skills-based behavior, rules-based behavior dan knowledges-based behavior.

Rasmussen merumuskan tiga kerangka kerja tersebut untuk ditujukan kepada

suatu pekerjaan yang berinteraksi dengan mesin, seperti operator atau karyawan

operasional. Dalam penelitian ini, tiga kerangka kerja tersebut akan digunakan

oleh peneliti untuk menyusun alat ukur perilaku berisiko. Hal ini dikarenakan

karyawan operasional memiliki pekerjaan yang berinteraksi dengan mesin.

1. Skills-based behavior

Manusia menggunakan skills based behavior ketika suatu perilaku sudah

menjadi rutinitas dan secara otomatis dapat mengambil suatu langkah yang

dibutuhkan dengan cepat terhadap suatu kondisi teknis yang cenderung rutin

dan berulang. Pada skills based behavior, manusia telah menguasai

sepenuhnya (well mastered) dan alokasi mental yang dibutuhkan sangat

minimal sehingga memungkinkan untuk mengalokasikan perhatian pada

aktivitas lain secara bersamaan.

Dalam penelitian ini, karyawan operasional dihadapkan pada rutinitas

pekerjaan terhadap mesin PLTGU yang cenderung rutin dan berulang setiap

harinya. Oleh karena sudah merasa menguasai terbiasa dengan rutinitas

tersebut, maka terbuka kemungkinan bagi karyawan operasional untuk

cenderung meremehkan dan berperilaku berisiko. Contohnya, karyawan

operasional yang sudah terbiasa mengoperasikan mesin di ruang pembakaran

gas, memilih untuk tidak menggunakan masker dan sarung tangan.

2. Rules-based behavior

Manusia menggunakan rules based behavior ketika diharuskan mengikuti

suatu peraturan dan prosedur formal ataupun informal sehingga dihadapkan

pada suatu pilihan solusi terhadap kondisi teknis yang ada dengan

menggunakan aturan “if-then” untuk memprioritaskan solusi terbaik. Pada

rules based behavior, manusia berusaha meraih suatu kemampuan dan

keahlian (acquiring skill and expertise) yang membutuhkan perhatian atau

17

fokus yang cukup besar. Manusia dihadapkan pada pilihan antara melakukan

sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

seharusnya dilakukan.

Dalam penelitian ini, karyawan operasional harus mengikuti peraturan dan

prosedur yang diberlakukan perusahaan. Contohnya, prosedur mengatakan

bahwa pipa gas yang mengalami korosi akibat bahan kimia harus diganti

setiap kurun waktu tertentu. Karyawan operasional memiliki pilihan untuk

mengganti pipa sesuai prosedur perusahaan atau membiarkan pipa tidak

diganti karena menurutnya masih layak untuk digunakan.

3. Knowledges-based behavior

Manusia menggunakan knowledges based behavior ketika menemui

sebuah situasi dan kondisi yang baru atau berbeda dari pengalaman

sebelumnya sehingga membutuhkan perumusan baru dengan menggunakan

ilmu pengetahuan yang ada untuk mendapatkan solusi dan melakukan

antisipasi. Pada knowledges based behavior, kurangnya pengetahuan dalam

memahami situasi dan kondisi dapat mengarah pada pengambilan solusi yang

salah.

Rasmussen (2000), menjelaskan bahwa kegagalan operator atau karyawan

operasional dalam melakukan salah satu dari ketiga kerangka kerja di atas, maka

akan menyebabkan error. Pertama, skills based performance error, yaitu

ketidakmampuan operator atau karyawan operasional dalam melakukan rutinitas

pekerjaan yang berulang sehingga menimbulkan error. Kedua, rules based

performance error, yaitu ketidakmampuan operator atau karyawan operasional

dalam mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku. Ketiga, knowledges based

performance error, yaitu ketidakmampuan operator atau karyawan operasional

dalam mengatasi masalah yang berbeda dengan pengalaman yang dimilikinya.

18

II.A.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU

BERISIKO

Menurut Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi perilaku

berisiko dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor

internal antara lain :

1. Pendidikan (Education)

Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang pekerja secara langsung

maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilakunya dalam bekerja.

Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan karyawan operasional akan

mempengaruhi kecerdasan, kemampuan dan pola pikir dalam memahami

instruksi yang diberikan.

2. Pengetahuan (Knowlegde)

Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau hasil

usaha manusia untuk memahami objek tertentu. Dalam penelitian ini, tingkat

pengetahuan karyawan operasional dapat mempengaruhi pemahamannya

mengenai bahaya di tempat kerja.

Sementara itu faktor eksternal antara lain :

1. Pengawasan (monitoring)

Pengawasan merupakan proses memastikan segala aktifitas pekerjaan

terlaksana dengan lancar sesuai tujuan yang direncanakan. Pengawasan

dilakukan dengan dua cara, yaitu pengawasan preventif (sebelum memulai

pekerjaan) dan pengawasan represif (setelah atau saat pekerjaan berlangsung).

Selain itu, pengawasan juga dapat dibagi menjadi pengawasan langsung

(pemeriksaan langsung di tempat dengan memberi saran atau instruksi) dan

pengawasan tidak langsung (menganalisa dan mempelajari dokumen atau

laporan). Di PLTGU PT. PDP, tingkat pengawasan yang dilakukan

perusahaan terhadap karyawan operasional dapat mempengaruhi kemungkinan

terjadinya perilaku berisiko.

19

2. Pelatihan (Training)

Pelatihan merupakan suatu proses pendidikan bagi pekerja untuk

memperoleh pengalaman, pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat

melaksanakan pekerjaan secara efisien dan efektif. Di PLTGU PT. PDP, tidak

semua karyawan operasional (hanya 3-4 orang setiap tahun) mendapatkan

pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Karyawan operasional

yang tidak mendapatkan pelatihan terbuka kemungkinan untuk melakukan

perilaku berisiko karena tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan.

3. Hukuman (punishment)

Hukuman diberikan untuk menghilangkan perilaku yang tidak diharapkan.

Hukuman adalah tindakan paling akhir yang diambil terhadap adanya

pelanggaran yang sudah berkali-kali dilakukan setelah ditegur dan diperingati.

Hukuman merupakan faktor penting dalam penerapan program keselamatan

kerja karena diharapkan dapat memotivasi perilaku keselamatan.

II.B. KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

II.B.1. DEFINISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Dalam bahasa Inggris keselamatan disebut sebagai safety yang berarti

keadaan terbebas dari celaka (accident) dan juga hampir celaka (incident atau

near miss). Sedangkan kesehatan dalam bahasa Inggris disebut sebagai health

yang berarti keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan

seseorang untuk hidup secara sosial dan ekonomis. Selain itu, kerja dalam bahasa

Inggris disebut sebagai work atau occupation yang berarti kegiatan atau usaha

untuk mencapai suatu tujuan (Geotsch, 1996).

Berdasarkan Joint Committee International Labour Organization dan

World Health Organization (2011), keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu

usaha untuk mempromosikan dan mempertahankan tingkat tertinggi dari kondisi

fisik, mental dan sosial dari para pekerja. Usaha ini dapat diwujudkan melalui

20

peningkatan kondisi kerja, kondisi kesehatan ,kondisi peralatan dan kondisi

lingkungan sehingga pekerja dapat beradaptasi dengan baik.

Menurut Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (2005),

keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu upaya untuk mencegah, mengurangi

dan menanggulangi kecelakaan melalui identifikasi, analisa dan pengendalian

bahaya secara tepat serta melaksanakannya sesuai undang-undang yang berlaku.

Menurut Hiperkes (Higiene Perusahaan Ergonomi dan Kesehatan),

keselamatan dan kesehatan kerja adalah ilmu yang menerapkan upaya

pemeliharaan demi meningkatkan kondisi lingkungan kerja serta melindungi

tenaga kerja dari risiko bahaya dan kerugian akibat kecelakaan kerja, seperti

penyakit, kebakaran, ledakan dan pencemaran lingkungan.

II.B.2. KECELAKAAN KERJA

Berdasarkan ILO (1989), kecelakaan kerja merupakan kejadian yang tidak

terencana dan tidak terkontrol, yang disebabkan oleh manusia, situasi, faktor

lingkungan atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang mengganggu proses

kerja sehingga menimbulkan cedera, kesakitan, kematian, kerusakan properti dan

kejadian tidak diinginkan lainnya. Untuk menjelaskan penyebab kecelakaan,

Heinrich (1931) melakukan analisis terhadap 75.000 laporan kecelakaan di

berbagai perusahaan. Analisis tersebut menunjukkan bahwa sebesar 88%

kecelakaan disebabkan oleh perilaku dan tindakan berbahaya.

Gambar 1. Teori Domino

21

Berdasarkan penelitian tersebut, ia mengembangkan teori domino yang terdiri dari

lima faktor tahapan kecelakaan, yaitu: lingkungan sosial (background), kesalahan

manusia (person), perilaku atau kondisi tidak aman/berbahaya (unsafe act atau

unsafe condition), kecelakaan (accident) dan cedera (injury).

Kelima faktor tersebut dianalogikan sebagai kartu domino yang posisinya

disejajarkan satu dengan yang lainnya. Apabila salah satu kartu terjatuh, maka

akan menyebabkan kartu yang lain ikut terjatuh. Untuk mengatasi hal ini, maka

Heinrich menghilangkan salah satu kartu, yaitu unsafe act dan unsafe condition

yang merupakan pusat dari susunan kartu domino. Dengan demikian, kecelakaan

dan kerugian dapat dihindarkan.

Gambar 2. Teori Loss Causation Model

Sementara Teori Loss Causation Model adalah salah satu teori yang

dikembangkan dari teori domino Heinrich. Pada teori ini, tahapan kecelakaan

terdiri dari loss (kerugian akibat kecelakaan), incident (insiden), immediate causes

(penyebab langsung), basic causes (penyebab dasar) dan lack of control

management (kurangnya kontrol dari manajemen).

Pertama, loss merupakan dampak yang timbul akibat kecelakaan, yang

mempengaruhi produktivitas pekerja, properti dan proses kerja. Dari sisi

karyawan operasional, kerugian yang timbul berupa cedera, sakit, gangguan

mental, saraf dan efek sistemik hingga kematian. Dari sisi perusahaan, kerugian

yang timbul berupa gangguan proses produksi dan penurunan produktivitas profit.

Kedua, incident merupakan suatu kejadian dimana terjadi kontak yang

berpotensi memicu kecelakaan kerja sehingga menyebabkan kerugian atau

kerusakan. Contohnya, karyawan operasional yang melakukan perilaku berisiko

22

secara tidak sengaja melakukan kontak dengan energi kinetik, listrik, thermal,

atau kimia sehingga menyebabkan kecelakaan kerja atau gangguan kesehatan.

Ketiga, immediate causes merupakan segala situasi yang secara langsung

dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Hal tersebut mencakup perilaku dan kondisi

yang tidak sesuai standar sehingga menyebabkan terjadinya insiden. Dalam

penelitian ini, perilaku dan kondisi tidak sesuai standar, seperti tidak memberi

peringatan pada rekan kerja, pengoperasian peralatan tanpa wewenang, tidak

menggunakan alat pelindung diri (APD), penempatan peralatan yang tidak benar,

dibawah pengaruh obat-obatan, dapat memperbesar kemungkinan terjadinya

kecelakaan kerja.

Keempat, basic causes merupakan penyebab dasar dari gejala yang timbul

sekaligus alasan mengapa pekerja melakukan tindakan berbahaya (faktor internal)

dan mengapa kondisi lingkungan kerja berbahaya (faktor eksternal).

Kelima, lack of control management. Salah satu fungsi utama manajemen

adalah kontrol manajemen yang kuat. Dengan kontrol manajemen yang kuat,

kecelakaan akan lebih mudah dicegah atau diminimalisir. Manajemen harus

memahami program pengendalian yang dibutuhkan, standar yang digunakan,

pengukuran performa kerja yang benar sehingga dapat mendorong pekerja untuk

memenuhi standar dan memperbaiki produktivitas kerja. Dengan kata lain, setiap

perusahaan harus memiliki sistem dan standar yang tepat.

II.B.3. SAFETY PROMOTION DAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

Untuk menghindari risiko dan kecelakaan kerja, mempromosikan

keselamatan dan kesehatan kerja merupakan cara yang efektif. Misalnya, setiap

kali akan mengoperasikan peralatan, para pekerja diwajibkan untuk membaca

kembali prosedur dan rambu-rambu keselamatan. Untuk meningkatkan efektifitas

rambu-rambu keselamatan antara lain dengan cara memperbarui rambu, poster

dan alat bantu visual secara periodik, serta melibatkan pekerja dalam membuat

pesan keselamatan. Upaya pencegahan lainnya adalah memperharui perlengkapan

23

alat pelindung diri (APD), seperti kaca mata, sepatu, sarung tangan, helm, penutup

telinga, masker dan sebagainya (Green,1991).

Selain itu, untuk menghindari risiko kecelakaan kerja, para pekerja

membutuhkan pelatihan tentang APD agar memahami pentingnya penggunaan

dan perawatan APD dengan baik. Berdasarkan penelitian Green (1991), pekerja

seringkali tidak menggunakan APD karena menimbulkan ketidaknyamanan saat

digunakan dan menambah beban tubuh sehingga menghambat gerak tubuh saat

bekerja. Oleh karena itu, APD sebaiknya didesain sesuai standar yang teruji agar

layak digunakan.

II.B.4. ZERO RISK THEORY

Naatanen dan Sumala (dalam Yates, 1994) menjelaskan, bahwa pada

umumnya sebagian besar orang akan mencari situasi yang tidak mengandung

risiko atau situasi dimana risiko yang ada tidak terlalu tinggi. Dengan kata lain,

risiko sama dengan nol. Naatanen dan Sumala menjelaskan semakin tinggi

perilaku berisiko yang ditampilkan, maka akan semakin besar pula risiko

terjadinya kecelakaan, atau disebut sebagai danger region (semakin jauh dari titik

nol). Sedangkan, semakin rendah perilaku berisiko yang ditampilkan, maka

semakin rendah pula risiko terjadinya kecelakaan, atau disebut sebagai zero risk

region (semakin dekat dengan titik nol). Menurut zero risk theory, setiap pihak

harus menjaga danger region sekecil mungkin sehingga mengarah pada

terciptanya zero risk region.

II.B.5. NEAR MISS THEORY

Bernard Borg (2002) mendefinisikan near miss sebagai kondisi tidak

terencana yang tidak menghasilkan cedera (injury), sakit (illness) dan kerusakan

(damage), namun dalam kondisi sangat nyaris dan tetap menimbulkan kerugian.

24

Gambar 3. Safety Pyramid

Berdasarkan penelitian Borg tentang kecelakaan kerja, dibuatlah tabel frekuensi

kecelakaan kerja yang disebut sebagai safety pyramid. Menurutnya, dalam setiap

300 kejadian near miss (warna biru), terdapat sekitar 29 kecelakaan ringan (warna

kuning) dan satu kecelakaan fatal (warna merah). Hal ini dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, yaitu proses kerja, prosedur dan kondisi kerja.

II.C. PRODUKTIVITAS

II.C.1. DEFINISI PRODUKTIVITAS KERJA

Perusahaan dituntut untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan

produktivitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Menurut Hariandja (2007),

salah satu faktor utama yang mempengaruhi produktivitas adalah keselamatan dan

kesehatan kerja. Berdasarkan penelitian Arif Hidayat dan Retno (2013), terdapat

pengaruh yang signifikan antara keselamatan dan kesehatan kerja terhadap

produktivitas para karyawan. Sedangkan Taiwo (2009) meneliti, bahwa kesehatan

dan keselamatan di lingkungan kerja sangat berpengaruh dalam merangsang

kreativitas dan produktivitas karyawan. Produktivitas di dalam suatu perusahaan

merupakan faktor yang sangat penting karena seringkali menjadi tolok ukur

keberhasilan perusahaan. Karena itu, semakin tinggi tingkat kesehatan dan

keselamatan kerja, semakin tinggi pula tingkat produktivitas yang dicapai.

25

Menurut Hariandja (2007), konsep produktivitas kerja dapat dilihat dari

dua dimensi, yaitu dimensi individu dan dimensi organisasi. Dimensi individu

melihat produktivitas dalam kaitannya dengan karakteristik kepribadian individu

yang muncul dalam bentuk sikap mental dan perilaku yang mengandung

keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas

hidupnya. Sedangkan dimensi organisasi melihat produktivitas dalam kerangka

hubungan teknis antara masukan (input) dan keluaran (output). Oleh karena itu

dalam pandangan ini, terjadinya peningkatan produktivitas tidak hanya dilihat dari

aspek kuantitas, tetapi juga dari aspek kualitas.

Dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia, Yuniasih dan

Suwatno (2008) menyatakan bahwa produktivitas dapat diukur dengan dua

standar utama, yaitu produktivitas fisik dan produktivitas nilai. Produktivitas fisik

diukur dari aspek kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Sedangkan

produktivitas nilai diukur berdasarkan kemampuan, sikap, perilaku, disiplin,

motivasi dan komitmen terhadap pekerjaan.

Sedarmayanti (2007), dalam bukunya Sumber Daya Manusia dan

Produktivitas Kerja, mengatakan bahwa produktivitas kerja memiliki dua dimensi

yaitu efektivitas dan efisiensi. Dimensi pertama berkaitan dengan pencapaian

kinerja maksimal, dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas,

kuantitas dan waktu. Sedangkan dimensi kedua berkaitan dengan upaya

membandingkan masukan dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana

pekerjaan tersebut dilaksanakan.

Produktivitas sebagai suatu konsep menunjukkan kaitan antara hasil kerja

dan satuan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk dari seorang

tenaga kerja. Dengan demikian, seorang pekerja dikatakan memiliki tingkat

produktivitas tinggi apabila ia mampu menghasilkan produk sesuai standar atau

prosedur yang telah ditetapkan. Dalam suatu proyek atau industri, produktivitas

selalu diasumsikan sebagai produktivitas tenaga kerja, yaitu satuan pekerjaan

yang dihasilkan atau diselesaikan oleh tenaga kerja per jam (Halligan, 1992 : 48).

Menurut Bohlander dkk (2006), peningkatan produktivitas tenaga kerja

merupakan hasil kombinasi dari kemampuan tenaga kerja, motivasi dan

26

lingkungan kerja. Dalam hal kemampuan tenaga kerja, dibutuhkan pengembangan

melalui pelatihan dan pendidikan. Dalam hal motivasi, dibutuhkan job

enrichment, promosi, feedback dan rewards. Dalam hal lingkungan kerja,

dibutuhkan empowerment, tim kerja, dukungan supervisor dan budaya.

II.C.2. PRODUKTIVITAS DALAM KONTEKS KESELAMATAN DAN

KESEHATAN KERJA

Berdasarkan Safety Index Workplace (2012) dalam United States

Department of Labor, produktivitas merupakan implementasi efektif dari

menajemen kesehatan dan keselamatan kerja yang berasosiasi dengan

menurunnya biaya kompensasi pekerja (worker compensation payments), biaya

kesehatan (medical expenses) dan kehilangan atau kerugian produksi (loss

productivity). Peningkatan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja akan

berpengaruh pada produktivitas individu dan organisasi. Dalam penelitian yang

dilakukan oleh peneliti, data produktivitas merupakan data sekunder, yaitu

menggunakan hasil data dari alat ukur yang dikembangkan oleh PT.PDP. Alat

ukur tersebut menggunakan definisi produktivitas berdasarkan Safety Index

Workplace (2012).

Faktor – faktor produktivitas dalam konteks keselamatan dan kesehatan

kerja dikategorikan menjadi dua, yaitu :

1. Human Factors (faktor manusia)

Sifat dan perilaku manusia merupakan faktor atau determinan yang

signifikan dalam produktivitas. Faktor manusia terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Ability to work (kemampuan untuk bekerja)

Produktivitas suatu perusahaan tergantung pada kompetensi dan

kemampuan dari para karyawan yang ditentukan oleh pendidikan, pelatihan,

pengalaman, bakat dan sebagainya. Dalam penelitian ini, kompetensi karyawan

operasional, seperti pengalaman kerja, penguasaan mesin, dan pengetahuan

27

berhubungan dengan mengoperasikan mesin dan peralatan PLTGU, akan

menjadi faktor yang mendukung produktivitas kerja.

b. Willingness to work (kemauan untuk bekerja)

Motivasi dan moral dari para karyawan merupakan hal yang sangat

penting dalam produktivitas. Hal ini dapat dipengaruhi oleh gaji, partisipasi

dalam perusahaan, komunikasi, kualitas kepemimpinan, jam kerja, sanitasi,

ventilasi, kantin, transportasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini, karyawan

operasional selalu berhubungan dengan mesin dan peralatan PLTGU sehingga

menghadapi rutinitas yang sangat monoton. Maka dari itu, motivasi untuk

bekerja sangat berperan penting dalam mendukung produktivitas kerja.

2. Technological Factors (faktor teknologi)

Teknologi merupakan faktor yang signifikan dalam mempengaruhi

produktivitas dan keselamatan kerja. Misalnya, kapasitas dan lokasi mesin

produksi, desain mesin produksi, waktu untuk memasok material atau bahan bakar

mesin produksi, perbaikan dan perawatan mesin produksi, kontrol kualitas mesin

produksi serta penggunaan dan pengembangan mesin produksi. Dalam penelitian

ini, PT. PDP membutuhkan teknologi berkualitas tinggi untuk menunjang

produksi energi listrik sehingga memiliki komponen-komponen yang cukup

rumit. Setiap komponen mesin ini memiliki risiko yang bervariasi bagi karyawan

operasional.

II.D. PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS DAN UAP (PLTGU)

II.D.1 PROSES PLTGU

Proses pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) memiliki ciri yang

khas dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit yang lain, yaitu dapat menjadi

proses pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) maupun dapat juga di kombinasi

(combine cycle) melalui sisa panas yang dihasilkan PLTG sehingga menjadi

pembangkit listrik tenaga uap (PLTGU). Dalam penelitian ini, proses ini berkaitan

28

dengan karyawan operasional yang bekerja di empat bagian pekerjaan, yaitu

operator dan maintanance gas turbine, operator dan maintanance steam turbine,

operator dan maintanance electrical dan operator dan maintanance water

osmosis. Karyawan operasional memiliki risiko kecelakaan yang tinggi karena

berhadapan langsung dengan bahan kimia, seperti gas, minyak dan uap. Berikut

ini akan dijelaskan proses pembangkit listrik secara garis besar:

a. Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)

PLTG sering disebut juga dengan sistem open cycle. Pada prosesnya, gas

buangan yang dihasilkan turbin gas setelah terjadi proses produksi listrik

langsung dibuang ke cerobong exhaust (jika closed cycle tidak dibuang). Gas

buangan yang dibuang oleh gas turbin tersebut bersuhu 500 oC – 540

oC.

Gambar 4. Proses Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)

Proses awal dari PLTG adalah mempersatukan bahan-bahan yang akan

digunakan sebagai bahan pembakaran, yaitu udara, bahan bakar dan api.

Ketiga elemen tersebut akan menghasilkan pembakaran yang sempurna.

Bahan bakar dipompa dan disalurkan bersama-sama dengan udara yang sudah

terlebih dahulu dihisap dari lingkungan sekitar menggunakan

tenaga starting motor crangking (Air Intake). Kemudian, air intake disaring

melalui air filter dan dihembuskan melalui Compressor yang akan bertemu

diruang pembakaran. Pada saat itu, elemen api dihasilkan dari percikan busi

yang terdapat dalam ruang pembakaran (combustion chambers).

Kemudian, uap yang dihasilkan dari ruang pembakaran (combustion

chambers) akan memutar turbin yang telah terhubung dengan generator. Pada

29

PLTG, proses ini sering disebut sebagai GTG (Gas Turbine Generator).

Setelah itu, generator akan membangkitkan listrik 11 kV dan akan dinaikkan

tegangannya oleh trafo menjadi 150 kV dan ditransmisikan ke jaringan.

Dalam hal ini, PLTGU PT. PDP mempunyai 3 GTG.

b. Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)

Gambar 5. Proses Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap

(PLTGU)

Suhu uap yang dihasilkan ketika open cycle adalah 500oC – 540

oC. Pada

PLTGU, energi tersebut masih dapat dimanfaatkan. Maka, uap yang

dihasilkan turbin gas pada proses open cycle tersebut tidak langsung dibuang

melalui cerobong exhaust, melainkan digunakan kembali dan dialirkan ke

HRSG (Heat Recovery Steam Generator). Setelah itu, uap tersebut akan

digunakan untuk memasak air dan uap yang dihasilkan melalui pemasakan air

tersebut akan memutar turbin yang telah terhubung dengan generator. Pada

PLTGU, proses ini sering disebut sebagai STG (Steam Turbine Generator).

Energi listrik yang dihasilkan akan ditransmisikan ke jaringan. Namun,

dalam menambah efisiensi uap yang dihasilkan turbin pada proses PLTGU,

akan diarahkan ke condensator (no.17) untuk diembunkan dan nantinya akan

menghasilkan air dengan kadar elektrolit yang rendah, lalu air tersebut akan

30

dialirkan ke daerator (no.18). Di dalam daerator, air tersebut akan

dihilangkan kadar oksigennya atau gas-gas terlarut lainnya. Hal ini

dikarenakan oksigen dan gas-gas terlarut lainya akan menimbulkan korosi

pada pipa-pipa. Setelah melalui daerator, air akan di tampung feed pump

(no.19) dan kemudian dialirkan ke pipa-pipa air HRSG kembali. Inilah yang

dinamakan proses close cycle. Daya keluaran PLTGU pada GTG dan STG

adalah 100 MW. Dalam hal ini, PLTGU PT. PDP mempunyai 1 STG.

II.D.2. KOMPONEN-KOMPONEN PLTGU DAN POTENSI RISIKONYA

Secara garis besar komponen-komponen yang terdapat pada PLTGU

adalah sebagai berikut :

1. Cranking Motor

Cranking motor merupakan alat yang berfungsi sebagai penggerak awal

saat turbin belum menghasilkan tenaga penggerak generator ataupun compressor.

Motor Cranking mendapatkan suplai listrik yang berasal dari jaringan tegangan

tinggi. Karyawan operasional pada bagian pekerjaan operator dan maintanance

electrical yang berhubungan dengan crangking motor memiliki risiko tersengat

aliran listrik tegangan tinggi karena harus melakukan pengecekan atau perbaikan

secara berkala sehingga dapat menyebabkan kecelakaan fatal.

2. Air Filter

Air Filter merupakan alat yang berfungsi untuk menyaring udara bebas

agar udara yang mengalir menuju ke compressor merupakan udara yang bersih.

Karyawan operasional yang berhubungan dengan air filter tidak memiliki risiko

terjadinya kecelakaan kerja karena tidak berbahaya.

31

3. Compressor

Compressor merupakan alat yang berfungsi untuk menghisap udara dari

luar, dengan terlebih dahulu melalui air filter. Compressor menghisap udara

atmosfer dan menaikkan tekanannya menjadi beberapa kali lipat (sampai 8 kali)

tekanan semula. Udara luar ini akan diubah menjadi udara atomizing yang

sebagian kecil digunakan untuk pembakaran dan sebagian besar digunakan untuk

pendingin turbin. Karyawan operasional yang berhubungan dengan compressor

akan berhadapan dengan kebisingan dari bunyi turbin dan risiko terpapar uap

panas yang dihasilkan oleh ruang pembakaran.

4. Combustion Chamber

Combustion chamber ( ruang pembakaran ) merupakan ruang yang

berfungsi sebagai tempat pembakaran bahan bakar dan udara atomizing. Gas

panas yang dihasilkan dari proses pembakaran di combustion chamber digunakan

sebagai penggerak turbin gas. Karyawan operasional yang berhubungan dengan

combustion chamber akan memiliki risiko terpapar uap panas, serta gas dan

minyak yang digunakan untuk melakukan pembakaran.

5. Gas Turbine

Gas turbine merupakan turbin yang berputar dengan menggunakan energi

gas panas yang dihasilkan dari combustion chamber. Hasil putaran dari turbin

inilah yang akan diubah oleh generator untuk menghasilkan listrik. Karyawan

operasional yang berhubungan dengan gas turbine akan memiliki risiko terpapar

hasil pembakaran dari gas dan minyak yang memiliki suhu 500oC – 540

oC, serta

turbin yang berputar.

6. Selector Valve

Selector valve merupakan katup yang berfungsi untuk mengatur gas

buangan dari turbin gas, yang nantinya akan ditentukan apakah harus dibuang

32

langsung ke udara ataukah akan dialirkan menuju ke HRSG. Karyawan

operasional yang berhubungan dengan selector valve akan memiliki risiko

terpapar gas buang dari gas turbine.

7. GTG (Gas Turbine Generator)

GTG merupakan generator yang berfungsi sebagai alat pembangkit listrik

dengan menggunakan tenaga putaran yang dihasilkan dari turbin gas. Pada

PLTGU, satu buah generator ini menghasilkan daya 100 MW. Karyawan

operasional melakukan kontrol secara rutin pada generator sehingga memiliki

risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan yang berasal dari gas dan uap

pembakaran akibat putaran turbin, serta hidrogen yang digunakan untuk

mendinginkan mesin.

8. Steam Turbine

Steam turbine (Turbin uap) merupakan turbin yang berputar dengan

menggunakan energi uap. Uap ini diperoleh dari penguapan air yang berasal dari

HRSG (Heat Recovery Steam Generator). Karyawan operasional yang

berhubungan dengan steam turbine akan memiliki risiko terpapar uap panas

dengan suhu 500oC – 540

oC.

9.STG (Steam Turbine Generator)

STG merupakan generator yang berfungsi sebagai alat pembangkit listrik

dengan menggunakan tenaga putaran yang diperoleh dari turbin uap. Tenaga

penggeraknya berasal dari uap kering yang dihasilkan oleh HRSG dengan putaran

3000 RPM, berpendingin hidrogen dan tegangan keluar 11,5 KV. Pada PLTGU,

satu buah generator ini menghasilkan daya kurang lebihnya sekitar 200 MW.

Karyawan operasional melakukan kontrol secara rutin pada generator sehingga

memiliki risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan yang berasal dari uap kering

hasil generator dan hidrogen yang digunakan untuk mendinginkan mesin.

33

10. HRSG ( Heat Recovery Steam Generator )

HRSG merupakan alat yang berfungsi untuk memanfaatkan gas buang dari

turbin gas untuk memperoduksi uap air bertekanan. HSRG biasanya memiliki 1

blok Combine Cycle Power Plant dengan kapasitas 500 MW. Didalamnya terdiri

dari 3 x 100 MW turbin gas dan 1 x 200 MW turbin uap yang merupakan combine

cycle dari sisa gas buang dari GTG. 100 oC tergantung dari load gas turbin dan

ambien temperatur. HRSG ini didesain untuk beroperasi pada turbin gas dengan

pembakaran natural gas dan destilate oil. 514 oC (HSD) pada outlet flow gas.

Untuk masing-masing HRSG akan membangkitkan uap sebesar 194,29 ton/jam

total flow, pada inlet flow gas.

Komponen-komponen di atas memiliki risiko yang berbeda-beda bagi

karyawan operasional. Selain itu, komponen-komponen di atas memiliki fungsi

kerja yang sangat vital bagi kelangsungan proses kerja PLTGU. Jika salah satu

komponen di atas mengalami hambatan, maka seluruh komponen lain harus

berhenti bekerja karena seluruh prosesnya saling berkesinambungan. Dengan

demikian, kecelakaan kerja akibat perilaku berisiko karyawan operasional dapat

menyebabkan proses kerja seluruh PLTGU mengalami hambatan.

Selain itu, terdapat beberapa alat bantu yang berfungsi untuk menunjang

proses PLTGU, yaitu :

1. Alat -alat bantu pada Boiler

Boiler atau ketel uap adalah suatu alat yang digunakan untuk

memproduksi uap dengan tekanan dan temperatur tertentu. Uap yang dihasilkan

digunakan untuk menggerakkan turbin uap sehingga dari turbin uap tersebut akan

didapatkan energi mekanis. Selanjutnya, energi mekanis ini akan diubah menjadi

energi listrik didalam generator. Adapun boiler sendiri mempunyai alat-alat bantu

seperti berikut :

a. Economizer

Economizer merupakan alat yang digunakan untuk memanaskan air

pengisi ketel dengan media pemanas energi kalor yang terkandung didalam gas

34

bekas. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan air pengisi ketel yang suhunya

tidak jauh berbeda dengan air yang terdapat pada boiler drum, serta untuk

menaikkan efisiensi boiler.

b. Steam Drum

Steam drum merupakan alat yang digunakan untuk memisahkan bagian

air, uap basah dan uap kering karena didalam boiler terjadi pemanasan

bertingkat. Setiap unit boiler dilengkapi oleh sebuah steam drum dan dipasang

pada bagian atas dari boiler.

c. Super Heater.

Super heater merupakan alat untuk mendapatkan uap yang betul-betul

kering karena uap yang dihasilkan boiler drum ada yang masih berupa uap

basah. Uap basah yang berasal dari boiler drum perlu dipanaskan lagi

pada super heater sehingga uap kering yang dihasilkan naik ke steam drum dan

memutar turbin uap. Setiap boiler biasanya dilengkapi dengan dua buah

super heater yaitu primary dan secondary super heater yang dipasang pada

bagian atas dari ruang pembakaran (furnace).

d. Desuper Heater

Desuper heater merupakan spray water yang digunakan untuk mengatur

temperatur uap yang dialirkan ke turbin. Alat sudah dibuat sedemikian rupa

sehingga bila temperatur uap melebihi ketentuan, maka desuper heater ini akan

menyemprotkan air yang berasal dari discharge boiler feed pump sampai

temperaturnya normal kembali.

e. Soot Blower

Soot blower merupakan alat pembersih pipa di dalam boiler yang

digunakan untuk membersihkan sisa-sisa pembakaran yang menempel, dengan

media pembersih auxiliary steam.

35

f. Boiler Feed Pump (BFP)

Boiler feed pump merupakan pompa pengisi air boiler. Pompa tersebut

memompakan deaerator storage tank ke boiler.

2. Alat-alat bantu pada turbin

Secara garis besar terdapat alat-alat yang digunakan untuk menunjang

proses kerja pada turbin, yaitu :

a. Condensor

Condensor dibuat dari sejumlah pipa-pipa kecil yang mana air laut sebagai

media pendingin dapat mengalir melalui pipa-pipa tersebut. Sedangkan, uap

yang keluar dari turbin akan memasuki sela-sela pipa condensor sehingga

terjadilah perpindahan panas dari uap ke air laut yang selanjutnya akan terjadi

pengembunan dan kondensasi uap. Uap yang sudah berubah menjadi air

didalam condensor akan ditampung didalam hot well. Berikut ini merupakan

fungsi dari condensor, yaitu :

a. Untuk meningkatkan efisiensi turbin. Dengan mengusahakan vacuum

didalam condensor, uap bekas dari turbin akan segera dapat keluar dan

tidak memberikan reaksi tekanan terhadap putaran turbin.

b.Untuk mengembunkan uap bekas dari turbin dengan media pendingin air

laut yang mengalir melalui pipa-pipa kecil didalam condensor sehingga air

kondensasi tersebut dapat dijadikan sebagai air pengisi ketel.

b. Condensate Pump

Setelah air kondensasi terkumpul pada hot well, maka air tersebut

dipompakan oleh condensate pump ke daerator tank dengan melalui heater.

c. Low Pressure Heater

Low pressure heater merupakan alat untuk memanaskan air

condensate yang berasal dari hot well, sebelum dimasukkan daerator

tank. Konstruksi pemanasan ini terdiri dari pipa-pipa air yang dilalui oleh air

36

condensat dan pada bagian luarnya dipanasi dengan uap yang diambilkan

dari extraction steam dari turbin.

d. Auxiliary Cooling Water Pump

Auxiliary cooling water pump merupakan alat yang berfungsi untuk

mensirkulasikan air pendingin yang dibutuhkan untuk mendinginkan minyak

pelumas dan gas hydrogen. Air pendingin yang disirkulasikan pleh pompa ini

didinginkan lagi oleh air laut didalam auxillary cooling water heat exchanger.

e. High Pressure Heater

High pressure heater merupakan alat yang berfungsi untuk memanaskan

air pengisi ketel yang berasal dari deaerator storage tank, yang selanjutnya

akan dikirim ke ketel lewat economizer. Konstruksi alat ini terdiri dari pipa-

pipa air yang dilalui oleh air boiler feed dan bagian luarnya dipanasi dengan

uap.

f. Daerator

Daerator merupakan alat yang berfungsi untuk membuang O2 dan gas-

gas lain yang terkandung dalam air kondensat, selain itu juga berfungsi sebagai

pemanas air kondensat. Alat ini dikonstruksikan dari tray-tray yang berlapis-

lapis sehingga memungkinkan untuk membuat partikel-partikel air condensate

yang dimasukkannya. Dengan adanya air kondensat yang sudah menjadi

partikel-partikel tersebut serta adanya uap ekstraksi yang disemprotkan, maka

akan memungkinkan O2 dan gas-gas lainnya yang terkandung didalamnya

akan terlepas dan dibuang ke atmosfir.

g. Air Ejector

Air ejector merupakan alat yang dikonstruksikan dari sebuah nozzle

sehingga bila dialiri uap akan dapat menarik udara dan gas-gas yang tidak

dapat mengembun didalam condensor sehingga condensor akan

menjadi vacuum. Dengan demikian dapat menaikkan efisiensi dari turbin.

37

Alat ini ada dua macam yaitu :

a. Primming Ejector

Primming ejector digunakan pada saat start up, kemudian bila

kemampuannya sudah mencapai batas maka penarikan vacuum dilakukan

oleh alat lain.

b. Air Ejector

Air ejector digunakan untuk menarik kevakuman setelah melalui

alat primming ejector.

II.D.3. RISIKO YANG DIHADAPI PERUSAHAAN

Dari segi masyarakat, perilaku berisiko para karyawan operasional dapat

menyebabkan kecelakaan kerja. Jika kecelakaan kerja terjadi, maka otomatis akan

mempengaruhi waktu dan proses produksi dari pembangkit listrik. Jika produksi

listrik mengalami penurunan atau keterlambatan, maka aliran listrik yang

didistribusikan ke kota Palembang akan berkurang sehingga pasokan listrik

berada dibawah standar kebutuhan. Jika pasokan listrik dibawah standar

kebutuhan, maka akan timbul upaya pemadaman listrik secara berkala atau

bergantian sehingga akan menghambat segala aktifitas masyarakat kota

Palembang.

Dari segi perusahaan, perilaku berisiko para karyawan opersional yang

menyebabkan kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi

perusahaan. Menurut Smith (2011), kerugian dapat dibagi menjadi dua, yaitu

direct loss (kerugian langsung) dan indirect loss (kerugian tidak langsung). Direct

loss adalah kerugian yang timbul secara alami akibat dari pelanggaran itu sendiri.

Contohnya, kematian atau cedera yang diderita oleh karyawan operasional karena

tidak menggunakan alat pelindung diri. Sedangkan indirect loss adalah kerugian

yang diperoleh secara tidak langsung akibat dari kerugian langsung atau

konsekuensi dari pelanggaran yang telah terjadi sebelumnya. Contohnya, akibat

adanya pekerja yang mengalami kematian atau cedera, maka perusahaan harus

menghentikan proses produksi. Perusahaan harus menjalani investigasi

38

kecelakaan yang menyebabkan lapangan kerja tidak dapat beroperasi karena

digunakan sebagai TKP (tempat kejadian perkara). Jika perusahaan harus

menghentikan proses produksinya, maka perusahaan akan menderita kerugian

akibat keterlambatan atau berhentinya produksi pasokan listrik ke kota

Palembang.

II.E. HIPOTESIS PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis merumuskan hipotesis statistik sebagai

berikut:

H0 : Tidak ada hubungan antara perilaku berisiko(X) dan produktivitas (Y)

karyawan operasional PLTGU PT.PDP.

Ha : Ada hubungan antara perilaku berisiko(X) dan produktivitas (Y)

karyawan operasional PLTGU PT.PDP.

II.F. KERANGKA PENELITIAN

Kerangka penelitian ini dibuat berdasarkan konsep keselamatan dan

kesehatan kerja, yang merupakan pemikiran tentang segala upaya untuk

mencegah, mengurangi dan menanggulangi terjadinya kecelakaan. Keselamatan

dan kesehatan kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah

perilaku berisiko. Berdasarkan teori milik Jens Rasmussen (2000), dikatakan

bahwa perilaku karyawan ketika dihadapkan pada mesin terdiri dari tiga

kerangka kerja, yaitu skills (kemampuan/keterampilan), rules (aturan) dan

knowledge (pengetahuan). Selain itu, dalam penelitian milik Heinrich (1931),

dikatakan bahwa perilaku berisiko atau perilaku yang berbahaya dapat

mempengaruhi produktivitas dari karyawan, yang pada akhirnya akan

mempengaruhi produktivitas dari perusahaan. Penelitian ini akan membahas

hubungan antara perilaku berisiko dan produktivitas karyawan operasional

berdasarkan konteks keselamatan dan kesehatan kerja.

39

Gambar 6. Kerangka Penelitian

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Konsep yang mendasari pengendalian bahaya dengan upaya mencegah,

mengurangi dan menanggulangi risiko kecelakaan di tempat kerja.

PERILAKU BERISIKO

Salah satu faktor yang

sangat berpengaruh

terhadap keselamatan dan

kesehatan kerja pada

karyawan operasional

SKILLS, RULES, AND

KNOWLEDGES BASED

BEHAVIOR

Menggambarkan tiga tipe perilaku

berisikokaryawan operasional yang

berbeda saat berinteraksi dengan

mesin, yaitu skills based behavior,

rules based behavior dan

knowledges based behavior.

PRODUKTIVITAS DALAM

KONTEKS K3

Kecelakaan kerja akibat

perilaku berisiko akan

mempengaruhi produktivitas

karyawan sehingga pada

akhirnya akan mempengaruhi

produktivitas perusahaan.

Tinggi Rendah

40

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perilaku

berisiko dan produktivitas karyawan operasional. Metode penelitian yang

digunakan adalah metode kuantitatif, yaitu salah satu jenis metode penelitian yang

sistematis, terencana dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan

desain penelitiannya. Menurut Sugiyono (2012), metode kuantitatif dapat

diartikan sebagai metode yang berlandaskan pada filsafat positivisme yang akan

digunakan untuk meneliti populasi atau sampel. Metode kuantitatif digunakan

untuk menguji sejumlah hipotesis penelitian. Peneliti ingin mendapatkan data

yang akurat berdasarkan fenomena yang empiris dan dapat diukur. Penggunaan

pendekatan kuantitatif juga mempertimbangkan sifat umum penelitian kuantitatif,

antara lain : (a) kejelasan unsur : tujuan, subjek, sumber data dan perincian sejak

awal, (b) dapat menggunakan sampel atau seluruh populasi, (c) kejelasan desain

penelitian, serta (d) kejelasan analisis data yang dilakukan setelah semua data

terkumpul (Arikunto, 2006).

Selain itu, ditinjau dari tujuan dilakukannya penelitian, penelitian ini

termasuk dalam penelitian korelasional, yaitu untuk mengetahui hubungan antara

dua atau lebih variabel (Kumar, 2005). Dalam penelitian ini, peneliti akan

menguji hubungan antara dua variabel, yaitu perilaku berisiko dan produktivitas.

III.B. VARIABEL PENELITIAN

III.B.1. DEFINISI KONSEPTUAL VARIABEL

III.B.1.a DEFINISI KONSEPTUAL PERILAKU BERISIKO

Variabel pertama dalam penelitian ini adalah perilaku berisiko. Perilaku

berisiko adalah perilaku yang memiliki potensi menempatkan seseorang dalam

41

suatu situasi yang membahayakan atau risiko yang signifikan menimbulkan

bahaya sehingga menghambat atau menghalangi dirinya untuk mencapai potensi

yang diharapkan.

Selain itu, peneliti mengambil domain untuk perilaku berisiko

menggunakan teori skills, rules, knowledges milik Jens Rasmussen (2000) yang

mengatakan bahwa perilaku manusia dapat dibagi menjadi tiga kerangka kerja,

yaitu skills based behavior, rules based behavior dan knowledges based behavior.

Domain pertama adalah skills based behavior. Skills based behavior

adalah perilaku individu yang sudah menjadi rutinitas dan secara otomatis

mengambil langkah antisipasi dengan cepat terhadap suatu kondisi teknis yang

cenderung rutin dan berulang (bdk. Rasmussen,2000).

Domain kedua adalah rules based behavior. Rules based behavior adalah

perilaku individu yang muncul ketika diharuskan untuk mengikuti suatu peraturan

dan prosedur formal atau informal sehingga dihadapkan pada suatu pilihan solusi

terhadap kondisi teknis yang ada dengan menggunakan aturan “if-then” untuk

memprioritaskan solusi terbaik (bdk. Rasmussen,2000).

Domain ketiga adalah knowledges based behavior. Knowledges based

behavior adalah perilaku individu yang muncul ketika menemui situasi dan

kondisi baru atau berbeda dari pengalaman sebelumnya sehingga membutuhkan

perumusan baru dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk

mendapatkan solusinya (bdk. Rasmussen,2000).

III.B.1.b DEFINISI KONSEPTUAL PRODUKTIVITAS KERJA

Variabel kedua dalam penelitian ini adalah produktivitas kerja.

Produktivitas kerja adalah implementasi yang efektif dari manajemen kesehatan

dan keselamatan kerja yang berasosiasi dengan menurunnya biaya kompensasi

pekerja (worker compensation payments), biaya kesehatan (medical expenses) dan

kehilangan atau kerugian produksi (loss productivity) [Safety Index Workplace ,

2012 dalam United States Department of Labor]. Definisi produktivitas menurut

Safety Index Workplace (2012) merupakan teori yang dijadikan landasan alat ukur

42

produktivitas milik PT. PDP. Dengan demikian, definisi produktivitas penelitian

ini akan mengikuti teori yang digunakan oleh PT. PDP.

III.B.2. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

Mendefinisikan variabel secara operasional merupakan tindakan

menerjemahkan sebuah konsep mengenai variabel-variabel penelitian secara

konkret ke dalam bentuk indikator suatu perilaku (Azwar, 2007). Definisi

operasional dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

III.B.2.a DEFINISI OPERASIONAL PERILAKU BERISIKO

Perilaku berisiko adalah suatu perilaku karyawan operasional yang

berpotensi menimbulkan risiko kecelakaan yang signifikan sehingga ia berada

dalam situasi dan kondisi berbahaya untuk melakukan atau melanjutkan

pekerjaannya.

Skills based behavior adalah frekuensi perilaku yang dilakukan karyawan

operasional di PLTGU PT. PDP dalam melakukan kontrol atau penanganan pada

rutinitas pekerjaan yang sudah familier berdasarkan kemampuan yang telah

dimilikinya.

Rules based behavior adalah frekuensi perilaku yang dilakukan karyawan

operasional di PLTGU PT. PDP dalam mentaati prosedur penggunaan alat

pelindung diri (APD) dan menjalankan proses kerja berdasarkan standar

operasional (SOP) yang diberlakukan oleh perusahaan.

Knowledges based behavior adalah frekuensi perilaku yang dilakukan

karyawan operasional di PLTGU PT. PDP dalam mencari informasi atau

melakukan antisipasi dan pemecahan masalah ketika dihadapkan pada situasi

yang tidak lazim dengan pengalaman, pengetahuan dan aturan atau prosedur yang

berlaku.

43

III.B.2.b DEFINISI OPERASIONAL PRODUKTIVITAS

Produktivitas didefinisikan sebagai skor yang diperoleh karyawan

operasional dari alat ukur produktivitas milik PT. PDP. Produktivitas memiliki

korelasi negatif dengan perilaku berisiko sehingga semakin tinggi skor subjek

pada alat ukur perilaku berisiko, maka produktivitas akan semakin rendah.

III.C. POPULASI PENELITIAN

Peneliti akan menggunakan seluruh populasi karyawan operasional di

PLTGU PT. PDP, Palembang, Sumatera Selatan sebagai subjek penelitian. Oleh

karena melibatkan seluruh populasi, maka peneliti tidak menggunakan teknik

pengambilan sampel. Hal ini dilakukan karena anggota populasi hanya berjumlah

84 orang karyawan operasional.

III.C.1. KARAKTERISTIK POPULASI

Peneliti menetapkan subjek penelitian ini adalah karyawan operasional

yang sedang bekerja aktif pada empat unit, yaitu operator dan maintanance gas

turbine, operator dan maintanance steam turbine, operator dan maintanance

electrical, operator dan maintanance water system (cooling system dan osmosis).

Peneliti memilih keempat unit tersebut karena memiliki potensi bahaya paling

tinggi dan berhadapan langsung dengan mesin-mesin, bahan-bahan kimia dan

listrik.

III.D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Peneliti mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian

dengan menggunakan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer

yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh organisasi atau perorangan

langsung dari objeknya. Data primer ini diperoleh melalui penyebaran kuesioner

44

mengenai masalah yang diteliti, yang telah disusun oleh peneliti, kemudian diisi

oleh responden. Sedangkan, data sekunder yaitu data yang telah diolah lebih

lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain. Data

sekunder ini diperoleh dari dokumen perusahaan yang didalamnya terdapat data

produktivitas karyawan operasional, data keselamatan dan kesehatan kerja, dan

sebagainya.

III.E. INSTRUMEN PENELITIAN

Kuesioner yang diberikan kepada subjek penelitian terdiri dari :

1. Lembar Informed Concent, yang berisi tentang tujuan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti dan kesediaan subjek mengikuti penelitian.

2. Lembar data subjek penelitian, yang berisi tentang data subjek. Data tersebut

antara lain : Nama subjek (inisial), usia, lama bekerja dan bagian pekerjaan.

3. Lembar kuesioner yang terdiri dari kuesioner mengenai perilaku berisiko

III.E.1. ALAT UKUR PERILAKU BERISIKO

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur perilaku

berisiko dari karyawan operasional PLTGU PT.PDP, yang disusun sendiri oleh

peneliti berdasarkan teori Skills, Rules and Knowledges (SRK), dimana terdapat

tiga aspek yang diukur, yaitu skills based behavior (kemampuan), rules based

behavior (aturan), dan knowledge based behavior (pengetahuan).

Kuesioner yang disusun oleh peneliti telah melalui proses expert

judgement dari dua orang pengajar (Ibu Lidia Laksana Hidajat, Dr, Psi ,MPH dan

Bapak Utama Sandjaja, PhD, Broh) di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, serta

telah dilakukan uji keterbacaan, dihasilkanlah 61 buah item pernyataan. Berikut

ini blue-print skala perilaku berisiko yang digunakan dalam penelitian :

45

Tabel 1. Blue-print Alat Ukur Perilaku Berisiko

No Domain Behavior Item Jumlah

Favorable Unfavorable 1 Skill-based

behavior 1*, 2*, 3*, 4, 6, 7, 8*,

10, 11, 12, 13, 14*,

15, 16*, 17*, 18*,

19*, 20*, 21*,50*,61*

5, 9, 22, 51*,52*

,53*, 55*, 56* 29

2 Rule-based

behavior 23*, 27, 29, 32*, 33*,

36, 37*, 38*, 39* 24, 25*, 26*, 28,

30*, 31* ,34*, 35* 17

3 Knowledge-based

behavior 40, 41*, 42*, 43*, 44,

45*, 47*, 48*, 59, 60* 46, 49*, 54, 57*,

58* 15

Jumlah 40 21 61

(*) = item sahih setelah ujicoba dengan validitas antara 0,312 - 0,788

Skala perilaku berisiko ini disusun sedemikian rupa berdasarkan tingkat

kepentingan penelitian. Pengukuran indikator variabel penelitian ini akan

menggunakan skala Likert, yaitu dengan menyusun pernyataan atau pertanyaan

yang masing-masing item diberi range skor dan digunakan untuk mengukur

perilaku para karyawan operasional. Skala Likert yang akan digunakan oleh

peneliti memiliki enam alternatif jawaban sebagai berikut :

Tabel 2. Skala Perilaku Berisiko

No Skala Skor

1 Hampir Tidak Pernah 1

2 Jarang 2

3 Kadang-kadang 3

4 Cukup Sering 4

5 Sering 5

6 Hampir Selalu 6

Peneliti menggunakan enam alternatif jawaban karena ingin mengantisipasi

jawaban responden yang in-between (jawaban tengah).

46

Pola dasar pengukuran dalam skala ini adalah metode summated rating.

Setiap item favorable maupun unfavorable terdiri dari 6 alternatif jawaban.

Sistematika pemberian skor untuk item favorable adalah skor 6 untuk jawaban

Hampir Selalu (HS), 5 untuk jawaban Sering (S), 4 untuk jawaban Cukup Sering

(CS), 3 untuk jawaban Kadang-kadang (KK), 2 untuk jawaban Jarang (J) dan 1

untuk jawaban Hampir Tidak Pernah (HTP). Pemberian skor pada item

unfavorable adalah skor 1 untuk jawaban Hampir Selalu (HS), 2 untuk jawaban

Sering (S), 3 untuk jawaban Cukup Sering (CS), 4 untuk jawaban Kadang-kadang

(KK), 5 untuk jawaban Jarang (J) dan 6 untuk jawaban Hampir Tidak Pernah

(HTP).

Semakin tinggi skor total yang diperoleh dari skala perilaku berisiko maka

menunjukkan tingkat keselamatan bekerja yang semakin rendah, sebaliknya

semakin rendah skor total yang diperoleh dari skala perilaku berisiko maka

tingkat keselamatan bekerja semakin tinggi.

III.E.2. PRODUKTIVITAS

Pada penelitian ini, data produktivitas diperoleh dari hasil pengukuran alat

ukur produktivitas yang dikeluarkan oleh PT. PDP. Data tersebut berisi hasil

produktivitas kerja setiap karyawan operasional selama satu tahun operasional.

Sedangkan, cara pengukuran dan penilaian dari alat ukur produktivitas tersebut

tidak diberitahukan pada peneliti untuk menjaga kerahasiaan perusahaan.

III.E.3. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

Alat ukur yang valid dan reliabel diperlukan dalam setiap usaha

mengungkap aspek-aspek atau variabel-variabel yang ingin diteliti agar

kesimpulan penelitian nantinya tidak keliru dan tidak memberikan gambaran yang

jauh berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Menurut Azwar (2010), masalah

validitas berkenaan dengan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur

dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukur dapat dikatakan

47

memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya,

atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya

pengukuran tersebut. Sementara itu, konsep reliabilitas mengacu pada sejauh

mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2010). Hasil pengukuran

dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran

terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama

aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah.

III.E.3.a UJI VALIDITAS

Uji validitas digunakan untuk memastikan bahwa konstruk yang ingin

diukur benar-benar terukur dan melihat seberapa baik alat ukur itu mengukur

konstruk tersebut. Pengujian validitas pada alat ukur penelitian ini menggunakan

content validity, yaitu uji keterbacaan dan penyesuaian konten dari expert

judgement. Setelah itu, dilakukan construct validity dengan teknik internal

consistency, yaitu mengkorelasikan skor setiap item dengan skor total dari alat

ukur yang digunakan. Rumus yang digunakan untuk menguji validitas item adalah

𝒓𝒙𝒚 = 𝒏𝒑(𝜮𝒙𝒚) − (𝜮𝒙)(𝜮𝒚)

[𝒏𝒑(𝜮𝒙𝟐) − (𝜮𝒙)𝟐][𝒏𝒑(𝜮𝒚𝟐) − (𝜮𝒚)𝟐]

rxy = koefisien korelasi Pearson antara item dengan skor total

n = jumlah subjek penelitian

∑x = jumlah skor subjek dalam suatu item

∑y = jumlah skor total subjek

∑xy = jumlah total dari perkalian skor subjek dalam suatu item dengan skor

total subjek

(∑x)2 = jumlah kuadrat dari skor subjek dalam suatu item

(∑y)2 = jumlah kuadrat dari skor total subjek

Validitas item dapat dilihat dari corrected item-total correlation yang dimiliki

oleh masing-masing item di dalam alat ukur. Kriteria yang menyatakan valid

48

adalah apabila nilai r lebih besar dari 0.3 (Azwar, 2007). Berdasarkan hasil

perhitungan validitas, terdapat 40 item pada kuesioner perilaku berisiko

dinyatakan valid karena memiliki validitas antara 0,312 - 0,788 sehingga dapat

digunakan untuk kuesioner penelitian.

III.E.3.b. UJI RELIABILITAS

Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat

ukur dalam mengukur gejala yang sama. Setiap alat ukur seharusnya memiliki

kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten, yaitu skor

individu akan konsisten jika diukur dengan alat ukur yang sama pada waktu yang

berbeda dan diukur dengan alat ukur berbeda namun memiliki item yang setara.

Untuk menguji apakah alat ukur ini dapat dipercaya, maka pengujian

reliabilitas dalam alat ukur ini menggunakan pendekatan Cronbach’s Alpha

Coeficient, yaitu koefisien reliabilitas yang menunjukkan bagaimana suatu item

berhubungan positif dengan item lainnya, yang diukur berdasarkan skor murni

dari 0 – 1. Semakin mendekati 1, maka reliabilitas skala yang diukur menjadi

semakin tinggi.

𝜶 = 𝒌

𝒌 − 𝟏 (𝟏 −

𝜮𝝈𝒊𝟐

𝝈𝒙𝟐

)

α = koefisien cronbach’s alpha

k = jumlah item

𝝈𝒊𝟐 = varians skor item

𝝈𝒙𝟐 = varians skor total

Secara teknis, pengujian konsistensi item ini dilakukan dengan

menghitung koefisien korelasi antara skor pada item yang bersangkutan dengan

skor total tes. Berikut ini adalah hasil uji reliabilitas alat ukur perilaku berisiko :

Tabel 3. Hasil Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.930 40

49

Berdasarkan hasil uji reliabilitas di atas, dapat disimpulkan bahwa alat ukur

perilaku berisiko ini reliabel untuk mengukur konstruk.

III.F. METODE ANALISIS DATA

Setelah data penelitian dikumpulkan, peneliti akan melakukan langkah-

langkah berikut ini, yaitu :

1. Pemeriksaan data

Sebelum data diolah, data tersebut akan diperiksa kelengkapannya terlebih

dahulu. Setelah itu, peneliti melihat apakah kuesioner yang terkumpul sudah layak

untuk diolah lebih lanjut.

2. Skoring

Setelah diperiksa kelengkapannya, maka peneliti melanjutkan pemberian

skor sesuai dengan skala Likert yang digunakan dalam alat ukur.

3. Tabel Distribusi Frekuensi

Setelah pemberian skor, peneliti akan memasukkan data yang ada kedalam

tabel distribusi frekuensi agar memudahkan untuk dilakukan analisis.

III.F.1 ANALISIS NILAI RATA-RATA

Analisis nilai rata-rata (Mean Score dan Overall Mean Score) akan

memberikan gambaran mengenai perilaku berisiko. Rumus yang digunakan

adalah (Anas, 2006, h.84):

𝑴𝒆𝒂𝒏 𝑺𝒄𝒐𝒓𝒆 = 𝜮(𝒃𝒐𝒃𝒐𝒕 𝒔𝒌𝒐𝒓 𝒙 𝒇𝒓𝒆𝒌𝒖𝒆𝒏𝒔𝒊 𝒋𝒂𝒘𝒂𝒃𝒂𝒏)

𝜮𝒔𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝒓𝒆𝒔𝒑𝒐𝒏𝒅𝒆𝒏

𝑶𝒗𝒆𝒓𝒂𝒍𝒍 𝑴𝒆𝒂𝒏 𝑺𝒄𝒐𝒓𝒆 =𝜮𝑴𝑺𝟏 + 𝜮𝑴𝑺𝟐 + ⋯ + 𝜮𝑴𝑺𝒏

𝜮𝑴𝑺

50

Setelah diperoleh nilai rata-rata perilaku berisiko, maka digolongkan ke

dalam interval kelas. Skala interval kelas dapat dihitng dengan menggunakan

rumus berikut:

Keterangan:

H = Nilai tertinggi dalam skala Likert

L = Nilai terendah dalam skala Likert

k = Banyaknya tingkatan dalam skala Likert

Dengan menggunakan rumus tersebut, maka skala intervalnya adalah:

𝒊 = 𝟔 − 𝟏

𝟔= 𝟎. 𝟖𝟑

Setelah diketahui rentang interval, maka dapat dibentuk kelas interval

yang dapat digunakan untuk menggolongkan tingkatan perilaku berisiko

karyawan operasional.

Tabel 4. Skala Interval Kelas

Skala Interval Kelas Perilaku Berisiko

1,00 – 1,83 Hampir Tidak Pernah

1,84 – 2,66 Jarang

2,67 – 3,49 Kadang-kadang

3,50 – 4,32 Cukup Sering

4,33 – 5,16 Sering

5,17 – 6,00 Hampir Selalu

III.F.2. UJI HIPOTESIS

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara perilaku berisiko

dengan produktivitas karyawan operasional secara signifikan atau tidak, maka

dilakukan uji hipotesis. Pengujian ini menggunakan metode two-tailed dengan

taraf signifikansi alpha level sebesar 5% (α = 0,05), yang artinya peneliti hanya

melihat 5 kemungkinan dalam 100 kesempatan untuk melakukan kesalahan

51

dengan menolak H0 ketika sesungguhnya H0 itu benar (Gravetter & Wallnau,

2009). Dalam penelitian ini, penulis merumuskan hipotesis statistik sebagai

berikut:

H0 : Tidak ada hubungan antara perilaku berisiko(X) dan produktivitas (Y)

karyawan operasional PLTGU PT.PDP.

Ha : Ada hubungan antara perilaku berisiko(X) dan produktivitas (Y)

karyawan operasional PLTGU PT.PDP.

Pengujian hipotesis juga dapat dilakukan dengan cara membandingkan p value

(Sig.) dengan standard error (α) yang dalam penelitian ini ditetapkan sebesar 5%.

Kriteria pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Jika p value (Sig.) ≤ α, maka H0 ditolak dan Ha diterima

Jika p value (Sig.) > α, maka H0 diterima dan Ha ditolak

III.F.3. ANALISIS KOEFISIEN KORELASI (r)

Analisis koefisien korelasi bertujuan untuk mengetahui tingkat hubungan

antara variabel perilaku berisiko (X) dan variabel produktivitas (Y). Koefisien

korelasi dihitung dengan menggunakan metode Pearson Product Moment

Correlation, dengan rumus:

𝒓 = 𝑵 𝜮 𝒙𝒚 − (𝜮 𝒙)(𝜮 𝒚)

√𝑵 𝜮 𝒙𝟐 − (𝜮 𝒙)𝟐 √𝑵 𝜮 𝒚𝟐 − (𝜮 𝒚)𝟐

Keterangan:

r = koefisien korelasi

N = jumlah sampel

x = variabel X (perilaku berisiko)

y = variabel Y (produktivitas)

Besar nilai korelasi (r) akan terletak antara -1 ≤ r ≤ 1. Terdapat tiga macam

korelasi yang mungkin terjadi, yaitu : (Gravetter & Wallnau, 2009)

1. Korelasi positif (r > 0)

Artinya terdapat hubungan yang sangat kuat dan positif antara variabel X dan

Y.

52

2. Tidak ada korelasi (r = 0)

Artinya hubungan sangat lemah atau tidak hubungan antara variabel X dan Y.

3. Korelasi negatif (r < 0)

Artinya terdapat hubungan yang sangat kuat dan negatif antara variabel X dan

Y.

Setelah besar nilai korelasi diperoleh, maka nilai tersebut dapat

diinterpretasikan sesuai dengan interpretasi koefisien korelasi pada tabel 10.

Tabel 5. Interpretasi Koefisien Korelasi (Sinaga, 2012)

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0.80 - 1.00 Korelasi sangat tinggi/kuat

0.60 - 0.79 Korelasi tinggi/kuat

0.40 - 0.59 Korelasi sedang

0.20 - 0.39 Korelasi rendah/lemah

0.01 - 0.19 Korelasi sangat rendah/lemah

III.G. PROSEDUR PENELITIAN

III.G.1 PERSIAPAN

Sebelum penelitian dilakukan, peneliti terlebih dahulu melakukan studi

kepustakaan dan merumuskan masalah penelitian, kerangka berpikir dan landasan

teori yang digunakan. Setelah itu, peneliti mengidentifikasi variabel-variabel

penelitian sehingga mendapatkan suatu konstruk, definisi operasional dan

indikator. Kemudian, peneliti membuat perencanaan desain penelitian, metode

penelitian, serta perhitungan statistik yang akan digunakan untuk mengolah data.

Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti.

Alat ukur ini telah melalui content validity (uji keterbacaan dan kesesuaian konten

oleh expert judgement) dan construct validity (dengan menggunakan internal

consistency).

Dalam persiapan di lapangan, sebelum menyusun alat ukur, peneliti

meminta izin untuk melakukan survei lokasi pada tempat try out di PT. GL dan

penelitian di PT. PDP. Peneliti berhasil mendapatkan izin untuk melakukan

53

observasi secara langsung dan spesifik di beberapa tempat khusus (hanya

karyawan yang boleh masuk). Pada observasi tersebut, peneliti dapat mengamati

berbagai macam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan operasional.

Selama survei lokasi, peneliti ditemani berkeliling oleh dua orang staf dari

masing-masing perusahaan sehingga survei lokasi berjalan dengan lancar.

Setelah pembuatan alat ukur selesai, peneliti mempersiapkan surat izin

dari PT. MGK (perusahaan induk) untuk melakukan pengambilan data try out di

PT. GL maupun data penelitian di PT. PDP. Perusahaan memberikan waktu tiga

hari untuk pengambilan data di lapangan pada masing-masing lokasi. Selain itu,

peneliti juga mendapatkan izin keluar masuk daerah pembangkit listrik selama

jam operasional (08.00 – 16.00) sehingga memudahkan peneliti dalam mengambil

data.

III.G.2. PELAKSANAAN

III.G.2.a UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan

menyebarkan kuesioner kepada 40 karyawan operasional yang sesuai dengan

karakteristik yang dibutuhkan dalam penelitian. Pengambilan data untuk uji coba

dilaksanakan di PLTGU PT. GL, Lahat, Sumatera Selatan. PLTGU Uji coba skala

perilaku berisiko dilakukan selama tiga hari, yaitu pada hari Kamis, 24 Juli 2014

sampai dengan Sabtu, 26 Juli 2014. Peneliti membutuhkan waktu 3 hari supaya

dapat bertemu dengan karyawan operasional dari tiga macam shift. Selain itu, ada

18 orang subjek penelitian yang diberikan waktu dua hari untuk mengisi skala

tersebut mengingat tidak memungkinkan untuk diisi dalam satu kurun waktu.

Sedangkan, sebanyak 22 orang lainnya langsung mengisi dan mengembalikan

skala pengukuran pada hari yang sama. Oleh karena kota Lahat berada di tempat

yang cukup terpencil, maka peneliti setidaknya membutuhkan waktu 6 jam

perjalanan pulang pergi antara kota Palembang dan kota Lahat dalam menuju PT.

GL. Hal ini menyebabkan peneliti kehilangan banyak waktu dan membatasi

54

pertemuan dengan peneliti dan beberapa karyawan operasional saat berada di

lapangan.

Kuesioner yang dapat dipakai untuk olah data berjumlah 32 kuesioner. Hal

ini dikarenakan ada 1 orang yang belum selesai mengisi kuesioner saat

pengembalian, 3 orang lupa membawa kuesioner saat pengembalian, 1 orang

pergi tugas keluar saat pengembalian dan 3 orang mengembalikan kuesioner,

tetapi tidak terisi penuh. Jumlah kuesioner yang tidak dapat digunakan berjumlah

8 lembar kuesioner. Data yang diperoleh dalam try out ini kemudian diolah secara

statistik menggunakan SPSS untuk uji validitas dan reliabilitas.

III.G.2.b PELAKSANAAN PENELITIAN

Setelah validitas dan reliabilitas kuesioner teruji, peneliti kembali

melakukan penyebaran kuesioner kepada seluruh populasi karyawan operasional

yang berjumlah 84 orang dan sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan dalam

penelitian. Pengambilan data untuk penelitian dilaksanakan di PLTGU PT.PDP,

Palembang, Sumatera Selatan. Pengambilan data di PT. PDP memakai prosedur

yang hampir serupa dengan try out di PT. GL karena keduanya memiliki standar

prosedur yang sama.

Peneliti mendapat izin untuk pengambilan data selama tiga hari agar dapat

bertemu dengan karyawan operasional di tiga shift kerja. Peneliti mendapatkan

pembelajaran dari cara pembagian kuesioner saat try out, dimana cukup banyak

kuesioner yang tidak kembali. Oleh karena itu, peneliti mengusahakan agar

kuesioner yang dibagikan dapat diisi dan dikembalikan pada hari yang sama. Hal

ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan lupa, tugas keluar, dan sebagainya.

Meskipun demikian, peneliti tetap memberikan toleransi pengembalian kuesioner

selama dua hari kepada 14 karyawan operasional karena memang tidak

memungkinkan untuk dikembalikan pada hari yang sama. Selain itu, ada 8 orang

karyawan operasional yang hingga hari ketiga tidak dapat ditemui sehingga

membuat peneliti tidak dapat membagikan kuesioner kepada seluruh anggota

populasi.

55

Peneliti berhasil mengumpulkan 76 kuesioner dari 84 populasi karyawan

operasional yang ada. Sebanyak 8 orang karyawan operasional tidak dapat

ditemui karena berbagai sebab, seperti sakit, absen, cuti dan tugas dinas.

Sedangkan dari 76 kuesioner yang terkumpul, terdapat 2 kuesioner yang tidak

dapat digunakan untuk olah data karena 1 orang tidak mengisi secara lengkap dan

1 orang lupa membawa saat hari pengembalian. Jadi, terdapat 74 kuesioner yang

dapat digunakan untuk olah data. Melalui data tersebut, peneliti melakukan

analisis dan interpretasi data berdasarkan hasil statistik, kemudian menyusun hasil

penelitian dan kesimpulan.

56

BAB IV

ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

IV.A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Penelitian ini melibatkan 74 karyawan operasional dari 84 orang total

seluruh populasi. Karyawan operasional di Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan

Uap (PLTGU) PT. PDP terbagi dalam empat unit, yaitu: operator dan

maintenance gas turbine, operator dan maintenance steam turbine, operator dan

maintenance electrical, operator dan maintenance water system (cooling system

dan osmosis).

Tabel 6. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia

Usia Jumlah

Subjek

Prosentase

< 25 tahun 8 10,8 %

25 – 35 tahun 43 58,2 %

36 – 50 tahun 18 24,3 %

> 50 tahun 5 6,7 %

Total 74 100.00 %

Berdasarkan data di atas, mayoritas subjek berada pada usia 25 - 35 tahun,

yaitu sebanyak 43 orang atau 58,2 % populasi. Kemudian, subjek dengan usia 36 -

50 tahun merupakan jumlah terbesar kedua, yaitu sebanyak 18 orang atau 24,3 %

populasi. Sedangkan, subjek dengan usia < 25 tahun dan usia > 50 tahun tidak

memiliki jumlah yang terlalu besar.

Peneliti memprediksi bahwa faktor usia pada mayoritas subjek penelitian

ada kemungkinan mendukung terjadinya perilaku berisiko. Berkaitan dengan

faktor internal yang dimiliki, seperti motivasi dan keberanian pada golongan usia

tersebut dapat menjadi salah satu aspek yang mendorong perilaku berisiko.

57

Tabel 7. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lama Bekerja

Lama Bekerja Jumlah

subjek Prosentase

< 6 bulan 8 10,8 %

06 – 12 bulan 6 8,2 %

1 – 3 tahun 10 13,5 %

3 – 5 tahun 16 21,6 %

> 5 tahun 34 45,9 %

Total 74 100.00%

Berdasarkan data di atas, mayoritas subjek memiliki lama bekerja lebih

dari 5 tahun, yaitu sebanyak 34 orang atau 45,9 % populasi. Kemudian, subjek

dengan lama bekerja 3 – 5 tahun merupakan jumlah terbesar kedua, yaitu

sebanyak 16 orang atau 21,6 % populasi. Sedangkan, subjek dengan lama bekerja

< 6 bulan, 6 – 12 bulan dan 1 – 3 tahun tidak memiliki jumlah yang terlalu besar.

Peneliti memprediksi bahwa lama bekerja pada mayoritas subjek

penelitian ada kemungkinan mendukung terjadinya perilaku berisiko. Karyawan

operasional memiliki pekerjaan yang sangat monoton selama lebih dari 5 tahun.

Oleh karena itu, terbuka kemungkinan untuk meremehkan pekerjaannya karena

merasa sudah terbiasa dan menguasai. Hal ini dapat menjadi salah satu aspek yang

mendorong perilaku berisiko.

Tabel 8. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Bagian Pekerjaan

Bagian Pekerjaan Jumlah subjek Prosentase

operator dan maintenance gas

turbine

21 28,3 %

operator dan maintenance steam

turbine

18 24,4 %

operator dan maintenance

electrical

16 21,6 %

operator dan maintenance water

system (cooling system dan

osmosis)

19 25,7 %

Total 74 100.00 %

58

Berdasarkan data di atas, mayoritas subjek bekerja pada bagian operator

dan maintenance gas turbine, yaitu sebanyak 21 orang atau 28,3 % populasi.

Namun, subjek di empat bagian pekerjaan tersebut memiliki jumlah yang tidak

berbeda jauh. Peneliti memprediksi bahwa setiap bagian pekerjaan akan memiliki

risiko yang berbeda dan bervariasi bagi masing-masing karyawan operasional

yang bekerja di dalamnya.

IV.B. HASIL PENELITIAN

IV.B. 1. ANALISIS DESKRIPTIF

Kesimpulan hasil analisis deskriptif untuk alat ukur penelitian ini adalah

sebagai berikut :

Tabel 9. Deskriptif Untuk Perilaku Berisiko Dan Produktivitas

N Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation

Perilaku

Berisiko

74 139.00 228.00 184.7838 20.77292

Skills Based

Behavior

74 64.00 105.00 85.9054 9.14296

Rules Based

Behavior

74 40.00 70.00 56.6486 7.58952

Knowledges

Based Behavior

74 26.00 59.00 42.2297 7.50260

Produktivitas 84 56.00 77.00 66.0964 4.45743

Berdasarkan hasil analisis deskriptif di atas, jumlah karyawan operasional

(N) yang terlibat adalah 74 orang dari 84 orang total seluruh populasi. Domain

skills based behavior memiliki nilai paling kecil (minimum) sebesar 64, nilai

paling besar (maximum) sebesar 105 dan nilai rata-rata (mean) sebesar 85.9054.

Domain rules based behavior memiliki nilai paling kecil sebesar 40, nilai paling

besar sebesar 70 dan nilai rata-rata sebesar 56.6486. Domain knowledges based

behavior memiliki nilai paling kecil sebesar 26, nilai paling besar sebesar 59 dan

nilai rata-rata sebesar 42.2297. Sedangkan produktivitas memiliki nilai paling

kecil sebesar 56, nilai paling besar sebesar 77 dan nilai rata-rata sebesar 66.0964.

59

Selain itu, meninjau tiga domain yang digunakan untuk membentuk

perilaku berisiko. Peneliti akan mencari tahu domain yang memiliki derajat

tingkat perilaku berisiko paling kuat. Berikut ini adalah tabel data berdasarkan

norma skala perilaku berisiko:

Tabel 10. Deskriptif Berdasarkan Norma Skala Perilaku Berisiko

Jumlah

Item

Total

Skor

Hasil

Rata-rata

Rentang

Skor (Sesuai

Skala)

Perilaku Berisiko

Skills Based Behavior 18 6357 353.2 4.77

Rules Based Behavior 12 4192 349.3 4.72

Knowledges Based

Behavior

10 3125 312.5 4.22

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa domain skills based behavior

memperoleh rentang skor sesuai skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.77

(skala 1-6). Dengan demikian, perilaku berisiko karyawan operasional pada

domain skills based behavior termasuk dalam kategori sering.

Kemudian, domain rules based behavior memperoleh rentang skor sesuai

skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.72 (skala 1-6). Dengan demikian,

perilaku berisiko karyawan operasional pada domain rules based behavior

termasuk dalam kategori sering.

Sedangkan domain knowledges based behavior memperoleh rentang skor

sesuai skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.22 (skala 1-6). Dengan

demikian, perilaku berisiko karyawan operasional pada domain knowledges based

behavior termasuk dalam kategori cukup sering.

Maka, berdasarkan norma skala perilaku berisiko di atas, dapat

disimpulkan bahwa perilaku berisiko pada karyawan operasional lebih sering

muncul jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan dengan skills based

behavior (perilaku yang sudah menjadi rutinitas). Kemudian, perilaku berisiko

pada karyawan operasional jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan

dengan rules based behavior (perilaku yang berdasarkan peraturan dan prosedur)

tidak jauh berbeda dengan skills based behavior. Sedangkan, perilaku berisiko

60

pada karyawan operasional jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan

dengan knowledges based behavior (perilaku yang dilakukan ketika dihadapkan

pada situasi dan kondisi yang baru atau berbeda dari pengalaman sebelumnya)

tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan kedua domain yang lain.

Kemudian, untuk menjawab prediksi peneliti terkait gambaran umum

subjek penelitian tentang usia, lama bekerja dan bagian pekerjaan, maka peneliti

melakukan uji beda untuk melihat apakah terdapat perbedaan pada masing-masing

kategori tersebut. Berikut ini merupakan tabel data berdasarkan uji beda perilaku

berisiko:

Tabel 11. Deskriptif Uji Beda Perilaku Berisiko Berdasarkan Usia

Sum of

Squares df

Mean

Square

F Sig

<25 tahun

Between Groups

Within Groups

Total

1244.875

1058.000

2302.875

6

1

7

207.479

1058.000

.196 .735

25 – 35

tahun

Between Groups

Within Groups

Total

7342.024

15037.650

22379.674

16

26

42

458.877

578.371

.793 .68

0

36 – 50

tahun

Between Groups

Within Groups

Total

3712.861

1944.750

5657.611

7

17

4

371.286

277.821

1.336 .36

0

>50 tahun

Between Groups

Within Groups

Total

445.200

.000

445.200

4

0

4

111.300

Berdasarkan data uji beda di atas, signifikansi berada di atas 0,05

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara keempat kelompok

usia dan produktivitas karyawan operasional. Dengan kata lain, perbedaan usia

pada karyawan operasional di PLTGU PT. PDP tidak mempengaruhi perilaku

berisiko yang ditampilkan karyawan operasional.

61

Tabel 12. Deskriptif Uji Beda Perilaku Berisiko Berdasarkan Lama Bekerja

Sum of

Squares df

Mean

Square

F Sig

< 6 bulan

Between Groups

Within Groups

Total

1044.875

1258.000

2302.875

6

1

7

207.479

1058.000

.196 .635

06 – 12

bulan

Between Groups

Within Groups

Total

1171.500

.000

1171.500

5

0

5

234.300 .196

1 – 3

tahun

Between Groups

Within Groups

Total

4001.500

1145.000

5146.500

7

2

9

571.643

572.500

.999 .58

6

3 – 5

tahun

Between Groups

Within Groups

Total

4164.333

5647.667

9812.000

9

7

16

462.704

806.810

.573 .785

> 5 tahun

Between Groups

Within Groups

Total

7038.002

5824.683

12862.686

16

18

34

439.875

323.594

1.359 .263

Berdasarkan data uji beda di atas, signifikansi berada di atas 0,05 sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara kelima kelompok

berdasarkan lama bekerja dan produktivitas karyawan operasional. Dengan kata

lain, perbedaan lama bekerja pada karyawan operasional di PLTGU PT. PDP

tidak memperngaruhi perilaku berisiko yang ditampilkan karyawan operasional.

62

Tabel 13. Deskriptif Uji Beda Perilaku Berisiko Berdasarkan Bagian

Pekerjaan

Sum of

Squares Df

Mean

Square

F Sig

operator dan

maintenance

gas turbine

Between Groups

Within Groups

Total

2425.321

4547.917

6973.238

11

9

20

220.484

505.324

.436 .602

operator dan

maintenance

steam turbine

Between Groups

Within Groups

Total

4542.361

6575.417

11117.778

10

7

17

454.236

939.345

.484

.856

operator dan

maintenance

electrical

Between Groups

Within Groups

Total

5273.021

2903.417

8176.438

9

6

15

585.891

483.903

1.211 .522

operator dan

maintenance

water system

(cooling system

dan osmosis)

Between Groups

Within Groups

Total

1956.611

2263.667

4220.278

10

7

17

195.661

323.381

.605 .173

Berdasarkan data uji beda di atas, signifikansi berada di atas 0,05 sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara keempat kelompok bagian

pekerjaan dan produktivitas karyawan operasional. Dengan kata lain, perbedaan

bagian pekerjaan pada karyawan operasional di PLTGU PT. PDP tidak

mempengaruhi perilaku berisiko yang ditampilkan karyawan operasional.

IV.B.2. UJI NORMALITAS

Tabel 14. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Perilaku Berisiko

N 74

Normal Parameters Mean 184.7838

Std. Deviation 20.77292

Kolmogorov-Smirnov Z .624

Asymp. Sig. (2-tailed) .832

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

63

IV.B.2.a. PERILAKU BERISIKO

Gambar 7. Histogram Perilaku Berisiko

Berdasarkan histogram diatas, diketahui bahwa perilaku berisiko diperoleh

mean sebesar 184.7838 , dengan SD = 20.77292. Pada populasi, terdapat 34

subjek (45,9 %) yang memiliki skor diatas rata-rata dan 40 subjek (54,1 %)

memiliki skor di bawah rata-rata.

IV.B.2.b. PERILAKU BERISIKO PADA DOMAIN SKILLS BASED

BEHAVIOR

Gambar 8. Histogram Skill Based Behavior

Berdasarkan histogram diatas, diketahui bahwa perilaku berisiko pada

domain skill based behavior diperoleh mean sebesar 85.9054 , dengan SD =

9.14296. Pada populasi, terdapat 40 subjek (54,1 %) yang memiliki skor di atas

rata-rata dan 34 subjek (45,9 %) memiliki skor di bawah rata-rata.

64

IV.B.2.c. PERILAKU BERISIKO PADA DOMAIN RULES BASED

BEHAVIOR

Gambar 9. Histogram Rules Based Behavior

Berdasarkan histogram diatas, diketahui bahwa perilaku berisiko pada

domain rules based behavior diperoleh mean sebesar 56.6486 , dengan SD =

7.58952. Pada populasi, terdapat 37 subjek (50 %) yang memiliki skor di atas

rata-rata dan 37 subjek (50 % ) memiliki skor di bawah rata-rata.

IV.B.1.d. PERILAKU BERISIKO PADA DOMAIN KNOWLEDGES BASED

BEHAVIOR

Gambar 10. Histogram Knowlegdes Based Behavior

Berdasarkan histogram diatas, diketahui bahwa perilaku berisiko pada

domain knowledges based behavior diperoleh mean sebesar 42.2297 , dengan SD

= 7.50260. Pada populasi, terdapat 42 subjek (56,7 %) yang memiliki skor diatas

rata-rata dan 32 subjek (43,2 %) memiliki skor di bawah rata-rata.

65

IV.B.1.e. PRODUKTIVITAS

Gambar 11. Histogram Produktivitas

Berdasarkan tabel IV. 4 dan histogram diatas, diketahui bahwa

produktivitas diperoleh mean sebesar 66.0964 , dengan SD = 4.45743. Pada

populasi, terdapat 39 subjek (46,98 %) yang memiliki skor diatas rata-rata dan 44

subjek (53,01 %) memiliki skor di bawah rata-rata.

Tabel 15. Tabel Penilaian Produktivitas PLTGU PT. PDP

Selain itu, berdasarkan tabel penilaian produktivitas PLTGU PT. PDP di

atas, maka nilai mean sebesar 66.0964 berada pada kategori cukup atau average

dengan nilai konversi C+.

PRODUKTIVITAS

NILAI

HURUF NILAI ANGKA

Sangat Memuaskan A 94 – 99

Excellent A- 88 – 93

Memuaskan/baik B+ 82 – 87

Good B 74 – 81

B- 68 – 73

Cukup C+ 62 – 67

Average C 54 – 61

C- 48 – 53

Kurang D+ 42 – 47

Need Improvement D 34 – 41

D- 28 – 33

Sangat Kurang E < 28

Poor

66

IV.B.2. UJI SIGNIFIKANSI

Berdasarkan hasil perhitungan data melalui SPSS Statistics ver.17.00 ,

diperoleh bahwa taraf signifikansi (Sig.) perhitungan korelasi adalah sebesar

0,717. Karena nilai signifikansi lebih besar dari pada α (0.05), maka dapat

disimpulkan bahwa Ho gagal ditolak, yang berarti koefisien korelasi tidak

signifikan secara statistik, atau dengan kata lain secara statistik terbukti bahwa

tidak ada hubungan antara perilaku berisiko dan produktivitas.

IV.B.3. HASIL PENGUJIAN HIPOTESIS PENELITIAN

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik

korelasi Pearson Product Moment Correlation. Teknik korelasi ini dilakukan

untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku berisiko

dan produktivitas. Untuk memperjelas hubungan antara ketiga domain perilaku

berisiko terhadap produktivitas, maka diperoleh hasil korelasi sebagai berikut:

Tabel 20. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko (secara keseluruhan) Terhadap

Produktivitas

Perilaku

Berisiko

Perilaku Berisiko Produktivitas

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

1

74

-.043

.717

74

Produktivitas

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

-.043

.717

74

1

74

Dari perhitungan di atas, nilai korelasi antara perilaku berisiko terhadap

produktivitas secara keseluruhan adalah - 0,043. Perhitungan ini memiliki arti

bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut menunjukkan tidak ada hubungan

antara perilaku berisiko dan produktivitas.

67

Tabel 21. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko Pada Setiap Domain Terhadap

Produktivitas

Perilaku

Berisiko

Perilaku Berisiko Terhadap Produktivitas

Skills Based

Behavior

Rules Based

Behavior

Knowledges

Based

Behavior

Pearson

Correlation

-.026 -.038 -.048

Korelasi tidak signifikan pada α .717 (2-tailed)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diketahui bahwa hasil korelasi

perilaku berisiko terhadap produktivitas, pada masing-masing domain memiliki r

hitung yang negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor subjek

pada alat ukur perilaku berisiko, maka semakin rendah skor subjek pada

produktivitas. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor subjek pada alat

ukur perilaku berisiko, maka semakin tinggi skor subjek pada produktivitas.

Tabel 22. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko Pada Domain

Skills Based Behavior Terhadap Produktivitas

Skills Based

Behavior

Perilaku Berisiko Produktivitas

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

1

74

-.026

.827

74

Produktivitas

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

-.026

.827

74

1

74

Dari perhitungan di atas, nilai korelasi antara perilaku berisiko terhadap

produktivitas pada domain skill based behavior dan produktivitas adalah - 0,026.

Perhitungan ini memiliki arti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut

menunjukkan tidak ada hubungan antara perilaku berisiko pada domain skills

based behavior dan produktivitas.

68

Tabel 23. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko Pada Domain

Rules Based Behavior Terhadap Produktivitas

Rules Based

Behavior

Perilaku Berisiko Produktivitas

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

1

74

-.038

.746

74

Produktivitas

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

-.038

.746

74

1

74

Selanjutnya, nilai korelasi antara perilaku berisiko terhadap produktivitas

pada domain rule based behavior dan produktivitas adalah - 0.038. Perhitungan

ini memiliki arti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut menunjukkan

tidak ada hubungan antara perilaku berisiko pada domain rules based behavior

dan produktivitas.

Tabel 24. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko Pada Domain

Knowledges Based Behavior Terhadap Produktivitas

Knowledges

Based

Behavior

Perilaku Berisiko Produktivitas

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

1

74

-.048

.683

74

Produktivitas

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

-.048

.683

74

1

74

Kemudian, nilai korelasi antara perilaku berisiko terhadap produktivitas

pada domain knowledge based behavior dan produktivitas adalah - 0,048.

Perhitungan ini memiliki arti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut

menunjukkan tidak ada hubungan antara perilaku berisiko pada domain

knowledges based behavior dan produktivitas.

69

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

V.A. KESIMPULAN

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara

perilaku berisiko dan produktivitas karyawan operasional di pembangkit listrik

tenaga gas dan uap (PLTGU) PT.PDP. Begitu pula, tidak ada hubungan antara

ketiga domain perilaku berisiko - skills based behavior, rules based behavior dan

knowledges based behavior - dan produktivitas karyawan operasional di PLTGU

PT. PDP.

V.B. DISKUSI

Hipotesis yang dinyatakan oleh peneliti, bahwa ada hubungan antara

perilaku berisiko dan produktivitas karyawan operasional di PLTGU PT. PDP,

ternyata tidak terbukti dalam hasil penelitian. Dengan demikian, hasil penelitian

ini tidak mendukung teori dan penelitian dari Heinrich (1931) dan Rasmussen

(1983) yang dipakai sebagai acuan penelitian.

Dalam teori Domino Heinrich (1931), dikatakan bahwa ada lima faktor

kecelakaan kerja, yaitu lingkungan sosial dan keturunan (background) , kesalahan

manusia (human error), tindakan atau kondisi tidak aman (unsafe act atau unsafe

condition), kecelakaan (accident) dan cedera (injury). Untuk memperkuat

teorinya, ia melakukan analisa terhadap 75.000 laporan kecelakaan di berbagai

macam perusahaan dan menunjukkan bahwa sebesar 88% kecelakaan kerja

disebabkan oleh perilaku atau kondisi tidak aman/berbahaya (unsafe act atau

unsafe condition). Berdasarkan penelitian tersebut, Heinrich mengembangkan

teori Domino menjadi teori Loss Causation Model yang menyatakan bahwa

tahapan kecelakaan terdiri dari loss (kerugian akibat kecelakaan), incident

(insiden), immediate causes (penyebab langsung), basic causes (penyebab dasar)

70

dan lack of control (kurangnya kontrol dari manajemen). Dalam teori tersebut

dijelaskan bahwa dampak yang timbul akibat perilaku atau kondisi tidak

aman/berbahaya dapat mempengaruhi produktivitas kerja, properti perusahaan

dan proses kerja. Kerugian yang timbul dapat berupa gangguan proses produksi,

penurunan produktivitas dan profit perusahaan. Untuk mengatasi kerugian ini,

Heinrich memberikan solusi dengan menghilangkan salah satu faktor, yaitu

perilaku atau kondisi tidak aman/berbahaya (unsafe act atau unsafe condition)

yang merupakan pusat dari susunan kartu domino. Dengan demikian, kecelakaan

dan kerugian dapat dihindarkan.

Sementara dalam teori Skills,Rules, dan Knowledges, Rasmussen (1983),

menyatakan bahwa ada tiga tipe perilaku karyawan operasional yang berbeda saat

berinteraksi dengan mesin, yaitu skills-based behavior, rules-based behavior dan

knowledges-based behavior. Lebih lanjut, dalam bukunya yang berjudul Proactive

Risk Management In A Dynamic Society, Rasmussen (2000), memaparkan bahwa

kesalahan karyawan operasional dalam melakukan ketiga tipe perilaku tersebut

dapat menyebabkan skills based performance error, rules based performance

error dan knowledges based performance error. Menurutnya, ketiga kesalahan

tersebut berhubungan erat dengan tinggi atau rendahnya produktivitas karyawan

operasional, cepat atau lambatnya proses produksi dan tercapai atau terhambatnya

target produksi perusahaan yang bersangkutan. Maka dari itu, Rasmussen

menekankan pentingnya menjaga perilaku karyawan operasional agar tetap

terintegrasi dengan baik saat berinteraksi dengan mesin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anoraga (1998), dikatakan bahwa

produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu tenaga kerja yang terlibat,

pekerjaan yang menarik, upah yang baik, keamanan dan perlindungan dalam

pekerjaan, penghayatan atas maksud dan makna pekerjaan, lingkungan kerja

(penerangan, ketenangan, perangkat kerja), promosi dan pengembangan diri

karyawan yang sejalan dengan perkembangan perusahaan, keterlibatan karyawan

dalam kegiatan perusahaan, pengertian dan simpati atas persoalan perusahaan,

kesetiaan karyawan dan disiplin kerja. Lebih jauh, dalam penelitiannya Anoraga

menyatakan bahwa menentukan satu faktor yang dominan dalam mengukur

71

produktivitas kerja para karyawan tidaklah mudah karena banyak faktor lain yang

berperan dan saling memiliki ketergantungan satu dengan yang lain. Hasil

penelitian Anoraga ini sesuai dengan prediksi peneliti, bahwa banyak faktor lain

yang lebih berpengaruh dalam produktivitas karyawan operasional daripada

perilaku berisiko.

Menurut pendapat peneliti, banyak faktor lain yang berperan dalam

mempengaruhi produktivitas karyawan operasional, seperti faktor ergonomi,

kelelahan (fatigue), near miss, motivasi, kebisingan, homogenitas, jenis pekerjaan,

geografis, demografis dan sebagainya.

Dalam penelitiannya mengenai kaitan antara faktor ergonomi dan

produktivitas kerja, Florax (2006) menyatakan bahwa lingkungan kerja yang

kondusif, seperti tata letak ruang, fasilitas kerja, lingkungan yang nyaman dan

sehat, sangat berpengaruh pada efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja para

karyawan. Florax menekankan pendekatan ergonomi pada kemampuan dan

keterbatasan fisik maupun kondisi mental dan psikologis manusia dalam

melakukan interaksi dengan mesin. Penelitian Florax ini diarahkan untuk

memperbaiki faktor ergonomi dalam mendukung performa dan produktivitas kerja

para karyawan, seperti penyesuaian tempat kerja, pengaturan suhu dan

kelembaban, pengaturan prosedur dan sistem pekerjaan. Dengan memperbaiki

faktor tersebut, para karyawan dapat meningkatkan kecepatan, ketepatan dan

keselamatan kerja sehingga kesalahan manusia dan kerusakan mesin dapat

diminimalisir. Di PLTGU PT.PDP, peneliti merasakan kelembaban dan suhu

ruangan yang sangat panas, meskipun berada di luar ruang mesin. Selain itu,

peneliti juga melihat bahwa para karyawan operasional tidak mendapat ruang

istirahat yang cukup nyaman. Maka dari itu, peneliti memprediksi bahwa faktor

ergonomi di PLTGU PT. PDP dapat menjadi salah satu faktor yang mungkin

berperan dalam mempengaruhi produktivitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mahmud dan Nafis (2011),

kelelahan (fatigue) berpengaruh pada produktivitas dari kualitas dan kuantitas

pekerjaan para karyawan. Kelelahan dapat menyebabkan karyawan cenderung

melakukan kesalahan dan bekerja tidak efisien sehingga menghambat pencapaian

72

target produksi suatu perusahaan. Kelelahan seringkali terlihat ketika karyawan

mendekati jam akhir pekerjaan. Pada saat ini, biasanya karyawan sudah

kehilangan atau kurang konsentrasi sehingga cenderung tidak teliti dalam

menjalankan pekerjaannya. Berkaitan dengan faktor ergonomi di PLTGU

PT.PDP, kelelahan yang dialami oleh karyawan operasional mungkin disebabkan

oleh kelembaban dan suhu ruangan yang sangat panas, serta tempat istirahat yang

tidak nyaman. Selain itu, standar operasional pekerjaan karyawan operasional

cukup monoton karena terus berhubungan dengan mesin. Maka dari itu, peneliti

memprediksi bahwa kelelahan (fatigue) dapat menjadi salah satu faktor yang

berperan dalam mempengaruhi produktivitas.

Berdasarkan teori Borg (2002), near miss adalah kondisi tidak terencana

yang tidak menghasilkan cedera (injury), sakit (illness) dan kerusakan (damage),

namun dalam kondisi sangat nyaris dan tetap menimbulkan kerugian. Perilaku

berisiko yang ditampilkan karyawan operasional belum tentu menghasilkan suatu

kecelakaan, tetapi menimbulkan suatu potensi yang sangat besar untuk terjadi

kecelakaan. Lebih lanjut, Borg menjelaskan bahwa terbuka kemungkinan yang

besar bagi pekerja untuk meremehkan/menyepelekan kondisi near miss karena

mereka belum merasakan akibatnya. Dalam penelitian Heinrich (1931), dikatakan

dalam setiap 300 kejadian near miss, terdapat sekitar 29 kecelakaan ringan dan 1

kecelakaan fatal. Sedangkan, sebagian besar perusahaan sering kali menghitung

produktivitas hanya berdasarkan jumlah kecelakaan yang tercatat dalam data

kecelakaan, tanpa mempedulikan jumlah kejadian near miss. Menurut peneliti,

faktor near miss ini ikut berperan dalam mempengaruhi produktivitas kerja para

karyawan. Oleh karena itu, perusahaan perlu mempertimbangkan untuk

memasukkan near miss ke dalam penilaian safety index keselamatan dan

kesehatan kerja. Dari segi biaya, biaya penanganan untuk near miss lebih kecil

daripada biaya penanganan untuk kecelakaan. Misalnya, penanganan pada

karyawan yang nyaris menimbulkan kecelakaan (near miss) cukup diberi teguran

dan pengarahan/edukasi, sedangkan penanganan pada karyawan yang mengalami

kecelakaan (accident) membutuhkan biaya medis yang besar.

73

Ugwu dan Coker (2012), meneliti bahwa motivasi karyawan dalam

bekerja berpengaruh dalam pemenuhan dan kepuasan kerja yang membawa

kepada performa dan produktivitas yang tinggi. Motivasi dimulai dengan

merealisasikan kebutuhan dan harapan individu, yang kemudian menentukan

perilaku individu tersebut. Seperti yang dikatakan Anoraga (1998), bahwa

menentukan faktor dominan yang mempengaruhi produktivitas tidaklah mudah

karena antara faktor yang satu dan yang lain saling berkaitan. Dalam hal ini,

peneliti memprediksi bahwa faktor ergonomi, kelelahan dan motivasi saling

berkaitan dalam mempengaruhi produktivitas kerja karyawan operasional.

Kemudian, Wallace (2004), meneliti bahwa faktor kebisingan dalam

jangka panjang tidak hanya merusak pendengaran dan mengganggu ketenangan,

tetapi juga dapat menyebabkan kesalahan kerja pada karyawan, seperti kesalahan

komunikasi, kecenderungan menampilkan perilaku berbahaya/tidak aman,

keletihan mental, berkurangnya kepekaan serta kemerosotan moral kerja.

Berbagai kesalahan kerja tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi

produktivitas kerja para karyawan. Berdasarkan teori near miss Borg, kesalahan

kerja tersebut belum tentu menghasilkan kecelakaan kerja, tetapi tetap dapat

memperbesar kemungkinan risiko terjadinya kondisi nyaris kecelakaan atau near

miss.Dalam penelitian yang dilakukan peneliti di PLTGU PT. PDP, karyawan

operasional mengalami gangguan kebisingan yang cukup tinggi, namun beberapa

karyawan operasional memilih untuk tidak menggunakan alat pelindung diri

(APD) berupa penutup telinga. Perilaku berisiko karyawan operasional ini

memperbesar kemungkinan terjadinya near miss. Misalnya, karyawan yang terlalu

sering mendengar suara bising mesin turbin secara tidak sadar mengalami

gangguan pendengaran ringan sehingga tidak mendengar karyawan lain yang

berkomunikasi dengannya. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan atau gagal

komunikasi sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya near miss atau

bahkan kecelakaan kerja. Peneliti memprediksi bahwa kebisingan juga dapat

menjadi salah satu faktor yang berperan mempengaruhi produktivitas.

Selanjutnya, dilihat dari karakteristik pekerjaan, peneliti memprediksi

bahwa faktor homogenitas pekerjaan karyawan operasional yang spesifik dan

74

monoton ikut berperan dalam mempengaruhi hasil penelitian. Dengan kata lain,

perilaku para karyawan operasional di PLTGU PT. PDP tidak terlalu banyak

menunjukkan variasi karena memiliki karakteristik pekerjaan yang relatif seragam

satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan hampir semua karyawan operasional

berhubungan dengan mesin. Faktor homogenitas pekerjaan ini didukung oleh hasil

uji beda perilaku berisiko pada tiga kategori, yaitu usia, lama bekerja dan bagian

pekerjaan. Dari hasil uji beda tersebut, diperoleh hasil bahwa usia, lama bekerja

dan bagian pekerjaan dari karyawan operasional tidak menunjukkan perbedaan

perilaku berisiko yang ditampilkan. Sedangkan, pada penelitian yang dilakukan

oleh Heinrich (1931), terdapat faktor heterogenitas yang tinggi karena

penelitiannya dilakukan berdasarkan analisis 75.000 laporan kecelakaan di

berbagai perusahaan dan jenis pekerjaan. Dengan kata lain, karakteristik

pekerjaan yang diteliti oleh Heinrich lebih bervariasi satu sama lain. Selain itu,

penelitian yang dilakukan oleh Heinrich memiliki perbedaan jenis pekerjaan,

faktor geografis dan demografis dengan penelitian yang dilakukan peneliti di

PLTGU PT.PDP.

Peneliti juga ingin menyoroti sebuah kasus kecelakaan kerja di perusahaan

lain (PT. SI), dimana karyawan perusahaan tersebut mengalami kecelakaan kerja

fatal hingga meninggal karena tergelincir saat memperbaiki alat bor Quori atau

alat penambangan batu kapur. Pada kasus ini, korban tidak menyadari adanya

sebuah truk yang diparkir sangat dekat di salah satu tanjakan lokasi tambang.

Truk tersebut tanpa terduga tergelincir dan mengarah kepada alat berat yang

sedang diperbaiki korban. Hal ini menyebabkan korban tidak sempat menghindar,

ia terjepit di antara truk dan alat berat sehingga kepalanya pecah. Dalam kasus

ini, perilaku berisiko ditampilkan oleh dua pihak, yaitu korban dan supir truk.

Korban melakukan perilaku berisiko karena tidak waspada atau tidak

memperhitungkan bahwa truk tersebut sewaktu-waktu bisa tergelincir ke arahnya.

Sedangkan, supir truk melakukan perilaku berisiko dengan memarkir truk di

tanjakan. Supir truk juga tidak mengganjal ban truk dan hanya mengandalkan rem

tangan yang sudah dipasangnya. Akibat dari perilaku berisiko yang tidak

diperhitungkan tersebut, maka perusahaan harus menghentikan kegiatan

75

operasionalnya untuk investigasi kecelakaan kerja. Dampak dari pemberhentian

kegiatan operasional tersebut, produktivitas perusahaan nyaris berada pada titik

nol karena tidak menghasilkan sama sekali. Jadi, di PT. SI ada hubungan antara

perilaku berisiko dan produktivitas karyawan operasional, sedangkan dalam

penelitian yang dilakukan di PLTGU PT.PDP, tidak ada hubungan antara perilaku

berisiko dan produktivitas karyawan operasional. Peneliti memprediksi bahwa

perbedaan jenis pekerjaan, faktor geografis dan demografis dari sebuah

perusahaan akan berpengaruh pada hasil penelitian.

Akhirnya, peneliti amat menyadari keterbatasan penelitian ini. Peneliti

telah berusaha dengan maksimal, namun masih banyak hal yang harus diperbaiki

dan ditambahkan untuk menyempurnakan penelitian tersebut. Peneliti telah

merancang alat ukur penelitian yang dikhususkan untuk mengukur perilaku

berisiko karyawan operasional. Peneliti juga telah mengambil seluruh populasi

karyawan operasional sebagai subjek penelitian. Namun, dalam hasil penelitian

ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku berisiko dan produktivitas

karyawan operasional sehingga tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh

para tokoh sebelumnya. Peneliti memprediksi bahwa hal tersebut dikarenakan

masih banyak faktor lain yang berperan dalam mempengaruhi produktivitas

karyawan seperti, faktor ergonomi, kelelahan (fatigue), near miss, motivasi,

kebisingan, homogenitas, jenis pekerjaan, geografis dan demografis. Seluruh

faktor tersebut memiliki peran dalam hasil penilaian data produktivitas karyawan

operasional di PLTGU PT. PDP yang hanya mencapai nilai rata-rata atau average

(C+).

Peneliti berharap bahwa penelitian yang masih jauh dari sempurna ini

dapat sedikit menyumbangkan tambahan wawasan dan informasi bagi sesama

peneliti yang lain. Karena, sebuah penelitian pada hakikatnya pastilah memiliki

makna yang berguna bagi dirinya, sesamanya serta perkembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya.

76

V.C. SARAN

Berdasarkan keseluruhan hasil analisis dari proses penelitian, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan manfaat metodologis dan praktis.

V.C.1. SARAN METODOLOGIS

Saran metodologis dari penelitian ini adalah:

1. Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas karyawan

operasional, seperti perbedaan lokasi geografis, jenis pekerjaan dan jenis

perusahaan. Ketiga faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Maka dari itu, peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya, dapat

diteliti mengenai hubungan antara perilaku berisiko dan produktivitas

karyawan operasional pada lokasi geografis, jenis pekerjaan dan jenis

perusahaan yang berbeda (di luar PLTGU), sehingga dapat dilihat

perbandingannya dengan penelitian ini yang mengacu pada PLTGU.

2. Peneliti berasumsi bahwa terdapat gap (jarak) antara perilaku berisiko dan

produktivitas. Hal ini dikarenakan perilaku berisiko yang ditampilkan

karyawan operasional belum tentu menyebabkan kecelakaan kerja,

walaupun tetap dapat menimbulkan potensi kecelakaan, yang disebut

sebagai near miss. Peneliti berasumsi bahwa near miss dapat menjadi

salah satu variabel moderasi tersebut. Maka dari itu, peneliti menyarankan

untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat mencari tahu dan meneliti

variabel moderasi yang mungkin menjembatani perilaku berisiko dan

produktivitas.

3. Berdasarkan hasil dari uji beda pekerjaan, lama bekerja dan usia karyawan

operasional di PLTGU PT.PDP tidak ditemukan perbedaan yang

signifikan atau dengan kata lain populasi terlalu homogen karena subjek

bekerja pada bidang yang spesifik dan monoton. Maka dari itu, untuk

penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi penelitian

sehingga subjek yang didapat tidak terlalu homogen.

77

V.D.2. SARAN PRAKTIS

Saran praktis dari penelitian ini adalah:

1. Perusahaan perlu melakukan penyegaran (refreshing) kepada para

karyawan agar tidak jenuh pada pekerjaan yang kaku dan monoton.

Misalnya, mengadakan kegiatan simulasi secara rutin, seperti simulasi

kecelakaan kerja, simulasi kebakaran dan sebagainya. Hal ini diharapkan

dapat mengembangkan kemampuan yang sudah dimiliki serta mengurangi

kejenuhan dalam pekerjaan.

2. Perusahaan tidak perlu lagi melakukan pembaruan atau peningkatan SOP,

tetapi lebih kepada memberikan variasi dalam menampilkan suatu

peraturan. Misalnya, mengganti rambu-rambu atau tanda-tanda

keselamatan dan kesehatan kerja yang monoton, menambah variasi alat

pelindung diri untuk menimbulkan rasa aman dan nyaman dalam bekerja

dan sebagainya.

3. Perilaku berisiko yang ditampilkan oleh karyawan operasional belum tentu

menyebabkan kecelakaan kerja, tetapi tetap memiliki potensi terjadinya

kecelakaan (near miss).Maka dari itu, perusahaan perlu menghitung

jumlah near miss yang dilakukan oleh karyawan operasional dan

memasukkan near miss ke dalam kategori safety index keselamatan dan

kesehatan kerja.Dengan demikian, situasi dan kondisi kerja yang

berbahaya dapat lebih terkontrol dengan baik. Selain itu, biaya yang

digunakan untuk melakukan penanganan near miss lebih kecil daripada

biaya yang digunakan untuk penanganan kecelakaan.

4. Perusahaan perlu melakukan pencegahan tidak hanya pada kecelakaan

besar (accident) saja, tetapi juga pada kecelakaan ringan (incident). Dalam

kaitannya dengan proses kerja, PLTGU PT. PDP memiliki risiko

kecelakaan kerja yang besar, seperti gas meledak dan kebakaran fasilitas.

Maka dari itu, kesalahan sekecil apapun yang dilakukan oleh karyawan

operasional, terutama yang berkaitan dengan turbin gas dan turbin uap

dapat memicu bahaya kecelakaan kerja yang besar.

78

5. Perusahaan dapat mencatat near miss dan pencegahan kecelakaan ringan

dengan menggunakan green card , yaitu kartu yang diberikan kepada

karyawan operasional setiap kali melakukan suatu perilaku yang

melanggar prosedur. Kartu tersebut akan dihitung secara akumulasi

berdasarkan periode yang telah ditetapkan. Semakin banyak melakukan

pelanggaran, semakin banyak pula akumulasi green card. Misalnya,

karyawan operasional tidak menggunakan helm saat bekerja. Pengawas

akan memberinya green card yang terus diakumulasi hingga akhir tahun.

Setelah itu, sanksi diberikan berdasarkan akumulasi kartu tersebut. Dengan

adanya sanksi yang tegas dan jelas, perilaku berisiko para karyawan

operasional dapat diminimalisir.

6. Perusahaan perlu memperhatikan faktor ergonomi untuk mendukung dan

meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan operasional. Misalnya,

perusahaan dapat memberikan tempat istirahat yang lebih nyaman bagi

karyawan operasional. Khususnya, untuk para karyawan operasional yang

bekerja di ruang mesin yang memiliki kelembaban dan suhu yang sangat

panas.

79

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2008). Hubungan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja. Jurnal

sekolah tinggi teknologi nuklir. Batan.

Adhi, A. (2013). Laka kerja SI diduga truk mundur. Diambil pada tanggal 15

Oktober 2014 dari http://surabaya.tribunnews.com/2013/09/20/laka-kerja-

si-diduga-truk-mundur.

Adrinur. (1983). Kesehatan dan produktivitas kerja. Majalah Hiperkes Edisi April

1983.

Algina, L & Crocker, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory.

Wadsworth ISE : Thomson Learning.

American Psychological Association. (2003). Publication manual of the American

Psychological Association. Edisi ke-6. Washington DC.

Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological testing (7th.ed.). New Jersey,

USA : Prentice-Hall,Inc.

Anoraga, P. 1998. Psikologi Kerja. PT Rineka Cipta, Jakarta.

Anonim. (2006). Faktor kesalahan manusia dominan penyebab kecelakaan kerja.

Diambil pada tanggal 29 Januari 2014 dari www.bpksdm.pu.go.id.

Anonim. (2012). Bussiness case for health and safety. Diambil pada tanggal 20

April 2014 dari https://www.osha.pu.go.uk.

Arikunto. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta : Rineka

Cipta.

Asfhal, C. (1990). Industrial safety and health management 2nd

Ed. Englewood

Cliffs. New Jersey : Prentice-Hall Inc.

Attwood, Dennis. A. & Joseph. M. D. (2004). Ergonomic solutions for the

process industries. Boston : Gulf Proffesional Publisher.

Azwar, S. (2005). Sikap manusia, teori dan pengukurannya edisi ke-2.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Green, L.W. (2000). Health promotion planning : An educational and

environmental approach, 2nd Edition.California : Mayfield Publishing

Company.

Blake, R.P. (1963). Industrial safety. Englewood Cliffs : Prentice Hall.

80

Blum, Milton. L & James. C. N. (1968). Industrial psychology : It’s theoritical

and social foundations. Revised Edition. New York, Harper & Row

Publisher.

Bohlander. (2006). The legal side of productivity through employee involvement

4th edition. John Wiley & Sons Inc.

Borg, B. (2002). Predictive safety from near miss and hazard reporting. CSP.

London.

Bridger, R.S. (1995). Introduction to ergonomics. Mc Graw Hill, Singapore.

British Psychological Society. (2004). Industrial safety. Diambil pada 20

November 2013 dari www.bps.org.uk.

British Medical Association. (2005). Health and safety. Diambil pada 20

November 2013 dari www.bma.org.uk.

Buraena, S. (2004). Program kesehatan lingkungan : pedoman kesehatan dan

keselamatan kerja (K3). Makassar.

Cooper, M.D. (2008) Behavioral safety survey result. Diambil pada tanggal 13

Maret 2014 dari http://www.behavioral-safety.com/survey-

results/finalsurveybscom1.html.

Cooper, M.D. (2010). Safety leadership in construction: a case study. Italian

Journal of Occupational Medicine and Ergonomics: Suppl.A Psychology,

32(1), A18-A23.

Cooper, M.D. (2003). Behavioral based safety- safety culture : a model for

understanding and quantifying a difficult concept. Professional Safety.

Danggur K,S.H, M.H. (2012). Keselamatan kesehatan kerja : membangun

SDM pekerja yang sehat, produktif dan kompetitif. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1998). Petunjuk Petugas

Kesehatan. Jakarta : Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1992). Upaya kesehatan kerja sektor

informal di Indonesia. Jakarta : Depkes RI.

Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. (2005). Keselamatan dan

kesehatan kerja. Jakarta : Depnaker RI.

81

Dolores. (2001). Theories of reasoned action and planned behavior as models : a

meta-aanalysis. Diambil pada tanggal 7 April 2014 dari

http://digitacommons.uconn.edu/chip_docs/8.

Fleming, M & Lardner. R. (2002). Strategies to promote safe behavior as part of

a health and safety management system. Norwich, Heatlh and Safety

Executive. Diambil pada tanggal 26 Januari 2014 dari

www.hse.gov.uk/research/crr_pdf/2001/crr02430.pdf

Florax, J.G.M. (2005). Space and growth : a survey of empirical evidence and

methods. Region et Development 21, hal 13-44.

Geller, E. S.(2001a). The psychology of safety handbook. USA, CRC Press LLC.

Geller, E. S.(2001b). Working safe : how to help people actively care for health

and safety. 2nd

Edition. USA, CRC Press LLC.

Geller, E, S. (1996). The psychology of safety : how to improve behaviors and

attitudes on the job. Boca Raton, FL : CRC Press.

Gravetter, F. J. & Wallnau, L. B. (2010). Statistics for behavioral science (9th ed).

Minneapolis, MN : Thomson Learning.

Green, L. W. dan Marshall W. K. (1991). Health promotion planning

aneducational and enviromental approach second edition. Mayfield

Publishing Company.

Grech, M. (2008). Human factors in maritime domain. Diambil pada tanggal 20

April 2014 dari

http://books.google.co.id/books?id=H4AjBNNZOz4C&pg=PA53&lpg=P

A53&dq=skill+based+behavior+domain&source=bl&ots=FvuuBOMiq7&

sig=4NeSYPz8TBtKC7IWVcLkkbTlENk&hl=en&sa=X&ei=BRhVU7v_

Hs-

E8gW8w4KACg&ved=0CEoQ6AEwBA#v=onepage&q=skill%20based%

20behavior%20domain&f=false

Heinrich, H. W.(1959). Industrial accident prevention. McGraw Hill : New York.

Harmanto (Komunikasi pribadi, 11 November 2013) menyatakan tentang APD

(Alat Pelindung Diri) yang ada di PT.PDP.

Health and safety environment. (2011). A joint publication of the International

Labour Organization and World Health Organization : ILO.

82

Heryuni. (1991). Pemeriksaan kadar debu dalam udara lingkungan kerja : Pusat

hiperkes dan keselamatan kerja. Jurnal higiene perusahaan, kesehatan dan

keselamatan kerja vol. XXVI no. 2.

Hofmann, D. A dan Stetzer, A. (1996). A cross-level investigation of factors

influencing unsafe behaviors and accidents. Journal of Personnel

Psychology Vol 49 No. 2 Hal 307.

Irawati, D. (2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan tidak aman

pada operator prodeuksi PT. multistrada arah sarana, Tbk tahun 2008.

Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Irwin, C.E & Millstein, S.G. (1992). Risk-taking behaviours and

biopsychosocial development. In: Susman, E.J., Feagans, L.V., Ray.

Jargin, S. (2013). High risk behaviors and addiction. Thomsen : Global Informan,

Rusia.

Kerlinger, F.N. & Lee, H. B. (2000). Foundations of behavioral research (4th.ed)

Harcourt College Publisher.

Kumar, R. (2005). Research methodology 2nd

Ed. USA : Sage Publication.

Mahmud, M. & Nafis.(2011). Study the impact of fatigue and optimizing

productivity of an assembly line of garment industry. International Journal

of Scientific & Engineering Research Vol.2, Issue 11.

Mowrer, O. H. (1960). Learning Theory and Behavior. New York : Wiley.

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Pedoman efisiensi energi untuk industri di Asia. (2006). Diunduh pada tanggal 15

Februari 2014 dari www.energyefficiencyasia.org.

Pembleton, P. (1994). Industrial and and technology information. Vienna :

UNIDO.

Poerwadarminta, W.J.S. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai

Pustaka.

Rasmussen, J. (1983). Skills, rules, and knowledge ; signals, signs, and symbols

;and other distinctions in human performance models. Journal of IEEE

Transactions On Systems, Man, And Cybernatics, Vlo -smc, No.13, May-

1983.

83

Rasmussen, J. (1994). Cognitive systems engineering. New York : Wiley -

Interscience Publication.

Rasmussen, J & Inge, S. (2000). Proactive risk management in a dynamic

society. First Edition. Karldstad : Boras.

Ravianto, J. 1985. Produktivitas dan mutu kehidupan. Lembaga sarana informasi

usaha dan produktivitas, Jakarta.

Reason, J. (1990). Human error. England : Cambridge University Press.

Ridley, J. (2009). Kesehatan dan keselamatan kerja. Jakarta : Gramedia.

Sabine, W. (1999). Building Research Station England. Diambil pada tanggal 17

Oktober 2014 dari

www.2sfu.ca/sonic.studio/handbool/absorption.coef.html.

Sedarmayanti. (2007). Sumber daya manusia dan produktivitas kerja. Jakarta :

Erlangga.

Setiap hari ada 9 pekerja peserta jamsostek meninggal akibat kecelakaan kerja.

(2013, Februari 28). Antara News. Diunduh pada tanggal 14 September

2013 dari www.antaranews.co.id.

Simanjuntak. (1991). Kelestarian usaha dan pengembangan potensi ekonomi dari

investasi melalui perlindungan tenaga kerja. Jakarta : PUSPERKES dan

DEPNAKER RI.

Singleton, W.T. 1972. Introduction to ergonomics. World Health Organization,

Jeneva.

Skinner,B. F. (1953). Science and human behavior. New York : Macmillan.

Smith, H. (2011). Direct and indirect loss. Diunduh pada tanggal 11

Februari 2014 dari www.herbertsmithfreehills.com.

Stevie, R. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan. Diambil

pada tanggal 2 November dari

http://www.academia.edu/3387190/FAKTOR FAKTOR_ YANG_

BERHUBUNGAN_DENGAN_KELELAHAN

Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Suma'mur. (1996). Keselamatan dan pencegahan kecelakaan. Jakarta : PT. Toko

Gunung Agung.

84

Suizer-Azaroff, B. & Austin, J. (2000). Behavior-based safety and injury

reduction : a survey of evidence. Professional Safety, 45(7), 19-24.

Suizer-Azaroff, B, Harris, T.C & McCann, K. (1994). Beyond training :

organizational performance management techniques. Occupational

Medicine : State of The Art Review, 9, 321-339.

Suryanto. (2012). Jamsostek: setiap hari 9 orang meninggal karena

kecelakaan kerja. Diambil pada tanggal 14 Oktober 2013 dari

http://www.antaranews.com/berita/360749/jamsostek-setiap-hari-9-

meninggal- karena-kecelakaan-kerja

Tingkat kecelakaan kerja masih tinggi. (2012, Juni 1). Pos Kota. Diunduh pada

tanggal 14 September 2013 dari www.jamsostek.co.id.

Ude, U & Coker M.A. (2012). Incentive schemes, employee motivation and

productivity in organizations in Nigeria : Analytical Linkages. Journal of

Business and Management.

Widjaja, I.G. R. (2005). Hukum perusahaan. Jakarta: Kesai

Wiegman, D.A & Shapell. S. A. (2003). A human error approach to aviation

accident analysis : The human factors analysis and clasiffication system.

Ashgate Publishing Limited : Aldershot.

Yuniasih & Suwatno. (2008). Manajemen sumber daya manusia. Bandung :

Alfabeta

85

Lampiran : Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

Selamat pagi/siang/sore/malam

Saya adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, yang saat ini

sedang melakukan penelitian dalam rangka menjalankan skripsi. Penelitian ini

mengenai “Keselamatan dan Kesehatan Kerja”.

Oleh karena itu, dalam rangka mengumpulkan data, saya memohon kesediaan

saudara untuk berkenan memberikan penilaian pada beberapa pernyataan di

bawah ini sesuai dengan perilaku saudara sehari-hari. Partisipasi saudara untuk

kuesioner ini sangat berharga untuk penelitian yang sedang saya lakukan. Selain

itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan masukan bagi perusahaan,

terutama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Maka dari itu, mohon

saudara mengisi setiap pernyataan dengan cermat dan teliti.

Data yang saudara berikan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan

untuk kepentingan penelitian ini saja. Saudara juga diperbolehkan untuk

mengundurkan diri jika merasa bahwa saudara tidak ingin meneruskan untuk

menjadi partisipan penelitian ini.

Atas waktu dan kerja sama yang saudara berikan, saya mengucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Joseph Satria

86

Data Responden

Nama / Inisial :

Usia :

Lama bekerja :

Bagian pekerjaan :

Petunjuk Pengisian

Berikut ini saudara akan diberikan sejumlah pernyataan yang berkaitan dengan

keselamatan dan kesehatan kerja. Saudara diminta untuk memberi tanda silang

(X) pada pilihan skala dibawah yang benar-benar menggambarkan keadaan

diri saudara.

HS : Jika hampir selalu melakukan perilaku yang dimaksud

S : Jika sering melakukan perilaku yang dimaksud

CS : Jika cukup sering melakukan perilaku yang dimaksud

KK : Jika kadang-kadang melakukan perilaku yang dimaksud

J : Jika jarang melakukan perilaku yang dimaksud

HTP : Jika hampir tidak pernah melakukan perilaku yang dimaksud

Contoh :

No Pernyataan Hampir

tidak

pernah

jarang Kadang-

kadang

Cukup

sering

sering Hampir

selalu

1 Saya datang tepat

waktu saat bekerja

X

Jawaban di atas berarti saudara hampir selalu datang tepat waktu saat bekerja.

87

No Pernyataan Hampir

Tidak

Pernah

Jarang Kadang-

Kadang

Cukup

Sering

Sering Hampir

Selalu

1 Saya mampu membuat keputusan untuk

melakukan antisipasi

2 Saya memberikan perhatian yang besar

pada setiap pekerjaan

3 Saya melanggar prosedur penggunaan

APD

4 Saya mengoperasikan mesin yang sama

setiap hari

5 Saya mampu menenangkan diri saat

terjadi kesalahan dalam bekerja.

6 Saya malu meminta bantuan

7 Saya mematuhi kebijakan perusahaan

tentang APD (Alat Pelindung Diri)

8 Saya mampu membedakan situasi

berbeda dari prosedur

9 Saya kebingungan ketika harus

melakukan antisipasi terhadap situasi

yang tidak sesuai dengan prosedur

10 Saya mengawasi mesin yang menjadi

tanggung jawab saya

11 Saya memfokuskan perhatian saat bekerja

12 Saya mendapat teguran karena salah atau

terlambat melakukan antisipasi terhadap

situasi yang tidak sesuai dengan prosedur

13 Saya mendapat pelatihan untuk

menambah pengetahuan SOP

14 Saya mampu membuat keputusan secara

88

mendadak (on the spot)

15 Saya tidak menggunakan APD

16 Saya menjalankan SOP (standar

operasional) sesuai ketentuan

17 Saya membantu rekan kerja yang

menemui situasi yang berbeda dari

prosedur

18 Saya mengalami hambatan untuk bergerak

dan beraktivitas saat bekerja karena

menggunakan APD

19 Saya memastikan kinerja mesin berjalan

dengan benar

20 Saya mengajari atau membimbing rekan

kerja yang mengalami kesulitan

21 Saya melanggar SOP yang ditetapkan

22 Saya mampu menyadari jika terdapat

situasi yang berbeda dari prosedur

23 Saya mengecek ulang kinerja mesin yang

sedang beroperasi

24 Saya butuh waktu yang lama dalam

melakukan antisipasi terhadap situasi

yang tidak sesuai dengan prosedur

25 Saya mencari informasi terkait situasi

yang terjadi

26 Saya bekerja di bagian yang sama setiap

hari

27 Saya gugup saat melakukan antisipasi

terhadap situasi yang tidak sesuai dengan

prosedur

89

28 Saya mengecek ulang proses kerja sesuai

dengan SOP

29 Saya mendapat pelatihan untuk situasi

situasi yang berbeda dari prosedur

30 Saya gelisah ketika menemui situasi yang

berbeda dari prosedur

31 Saya mengecek ulang proses kerja yang

telah dilakukan

32 Saya menggunakan APD karena

mendapat pengawasan

33 Saya mengawasi lingkungan kerja di

sekitar saya

34 Saya melakukan kesalahan dalam SOP

35 Saya mampu mempraktikkan apa yang

diajarkan saat pelatihan terkait APD

36 Saya terlambat melakukan antisipasi

terhadap situasi yang tidak sesuai dengan

prosedur

37 Saya memperingatkan rekan kerja agar

tidak melakukan kesalahan

38 Saya sungkan bertanya ketika mencari

penyelesaian atau jalan keluar

39 Saya bertanya pada rekan kerja yang lebih

mengerti

40 Saya mampu melakukan antisipasi dengan

cepat terhadap situasi yang tidak sesuai

dengan prosedur

90

Lampiran : Hasil Uji Validitas

Scale Mean if Item

Deleted

Scale Variance if

Item Deleted

Corrected Item-

Total Correlation

Cronbach's Alpha

if Item Deleted

VAR00001 194.6333 528.930 .670 .927

VAR00002 194.5667 539.357 .428 .929

VAR00003 194.6333 540.309 .351 .929

VAR00004 194.6667 537.333 .412 .929

VAR00005 196.1000 521.748 .405 .929

VAR00006 194.5000 541.845 .464 .929

VAR00007 195.7000 518.355 .481 .928

VAR00008 194.8333 536.971 .375 .929

VAR00009 195.1333 523.223 .547 .927

VAR00010 194.6000 541.628 .312 .929

VAR00011 195.0000 532.690 .441 .928

VAR00012 194.6333 537.826 .400 .929

VAR00013 195.4667 510.395 .477 .929

VAR00014 194.4000 539.972 .541 .929

VAR00015 194.7000 522.769 .549 .927

VAR00016 195.2333 515.633 .494 .928

VAR00017 195.8333 520.902 .391 .929

VAR00018 194.6667 523.609 .612 .927

VAR00019 194.6000 525.766 .546 .927

VAR00020 194.7000 526.562 .523 .928

VAR00021 195.0333 517.620 .642 .926

VAR00022 195.3333 528.506 .469 .928

VAR00023 196.0333 526.585 .437 .928

VAR00024 196.1333 520.809 .421 .929

VAR00025 195.7333 520.340 .468 .928

VAR00026 195.6333 519.551 .567 .927

VAR00027 196.2333 526.461 .374 .929

VAR00028 196.0000 506.138 .539 .928

VAR00029 196.4333 522.392 .371 .930

VAR00030 195.5000 514.948 .565 .927

VAR00031 195.9333 518.478 .564 .927

VAR00032 195.0667 532.409 .485 .928

VAR00033 195.0333 528.723 .546 .928

VAR00034 195.1333 519.223 .788 .926

VAR00035 195.0667 524.271 .702 .927

VAR00036 195.0333 531.206 .462 .928

VAR00037 194.9333 511.857 .742 .925

VAR00038 194.8000 516.234 .664 .926

VAR00039 195.4667 517.568 .574 .927

VAR00040 195.9667 529.826 .418 .929