REVISI SKRIPSI - JOSEPH SATRIA - 2010.070.126
-
Upload
joseph-satria -
Category
Documents
-
view
50 -
download
0
Transcript of REVISI SKRIPSI - JOSEPH SATRIA - 2010.070.126
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam era globalisasi, kebutuhan manusia yang terus meningkat
mendorong industri untuk terus menerus menyediakan segala kebutuhan manusia
secara berkualitas dan efisien. Salah satu upaya untuk mendukung kemajuan ini
adalah dengan menciptakan peralatan industri terbaru dengan teknologi tinggi.
Semakin tinggi teknologi yang digunakan, semakin tinggi pula produktivitas dan
efisiensi kerja yang dicapai. Namun, seringkali perusahaan kurang
mempertimbangkan pengadaan kompetensi untuk mengantisipasi risiko bahaya
yang dapat mengakibatkan kecelakaan di tempat kerja. Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2009 menunjukkan, bahwa 68% pekerja Indonesia saat ini bekerja
dengan gaji rendah dan pekerjaan berisiko serta tidak memiliki kontrak kerja yang
aman, termasuk perlindungan sosial atau perwakilan pekerja (Abidin, 2010). Oleh
karena itu, dibutuhkan konsep keselamatan dan kesehatan kerja sebagai upaya
untuk melindungi pekerja dari bahaya akibat kecelakaan kerja, seperti yang
dirumuskan dalam UU No. 1 Tahun 1970 tentang perlindungan teknis atau
keselamatan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi pekerja yang wajib
dipenuhi oleh semua perusahaan. Keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan
mencegah dan mengurangi segala bentuk risiko kecelakaan kerja.
Jika konsep keselamatan dan kesehatan kerja ini diabaikan, maka akan
timbul potensi bahaya di lingkungan kerja. Berdasarkan keterangan Direktur
Pelayanan PT Jamsostek, Djoko Sungkono, dalam Pos Kota dikatakan bahwa
angka kecelakaan kerja lima tahun terakhir cenderung naik. Pada tahun 2007
terdapat 83.714 kasus kecelakaan kerja, tahun 2008 terdapat 94.736 kasus, tahun
2009 terdapat 96.314 kasus, tahun 2010 terdapat 98.711 kasus dan tahun 2011
terdapat 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus kecelakaan kerja per hari. Beliau
juga mengungkapkan bahwa banyaknya kasus kecelakaan kerja ini juga
2
menyebabkan meningkatnya jumlah klaim kecelakaan kerja, yaitu Rp219,7 miliar
pada tahun 2007, Rp297,9 miliar pada tahun 2008, Rp328,5 miliar pada tahun
2009, Rp401,2 miliar pada tahun 2010 dan Rp504 miliar pada tahun 2011. Maka
dari itu, Jamsostek menyambut baik penerbitan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No.50 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) yang diharapkan dapat menurunkan angka kecelakaan
kerja (Pos Kota, Jumat 1 Juni 2012).
Sementara itu, Kepala Divisi Teknis Pelayanan PT Jamsostek, Afdiwar
Anwar, menyatakan bahwa dalam tahun 2012 setiap hari ada 9 pekerja peserta
Jamsostek yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Menurutnya, tingginya
angka kecelakaan kerja ini disebabkan oleh adanya pengabaian atas keselamatan
dan kesehatan kerja di lingkungan perusahaan yang bersangkutan (Antara News,
Kamis 28 Februari 2013).
Selain itu, ILO (International Labour Organization), sebagai badan PBB
yang berfokus pada masalah pekerja di seluruh dunia, memperkirakan bahwa
setiap tahun sekitar 24 juta orang meninggal karena kecelakaan dan gangguan
kesehatan di lingkungan kerja, termasuk didalamnya 360.000 kecelakaan fatal dan
1,95 juta disebabkan oleh penyakit fatal. Sekitar 4% atau senilai USD 1,25 trilyun
dari Global Gross Domestic Product (GDP) dialokasikan untuk biaya dari
kehilangan waktu kerja akibat kecelakaan dan gangguan kesehatan di lingkungan
kerja, kompensasi untuk para pekerja, terhentinya produksi, dan biaya-biaya
pengobatan pekerja. Penyakit paru paru yang terjangkit pada para pekerja di
perusahaan pertambangan, seperti minyak, gas dan perusahaan sejenisnya,
diakibatkan oleh adanya paparan asbes, batu bara dan silica, masih menjadi
perhatian di negara-negara maju dan berkembang. Bahkan kematian akibat
kecelakaan kerja dari paparan debu asbes saja sudah mencapai angka 100.000 dan
selalu bertambah setiap tahunnya (International Labour Organization,2012).
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting bagi
perusahaan, karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan
karyawan, tetapi juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Rasmussen (2000), pada dasarnya keselamatan dan kesehatan kerja
3
mengarah pada interaksi pekerja dengan mesin atau peralatan yang digunakan,
interaksi pekerja dengan lingkungan kerja, dan interaksi pekerja dengan mesin
dan lingkungan kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu upaya
untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman untuk mencapai
produktivitas setinggi-tingginya. Oleh karena itu, keselamatan dan kesehatan kerja
mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali.
Upaya ini diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya
kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan. Tiga faktor utama yang
mempengaruhi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja adalah: manusia,
bahan, dan metode yang digunakan. Artinya, ketiga unsur tersebut tidak dapat
dipisahkan dalam mencapai penerapan keselamatan dan kesehatan kerja yang
efektif dan efisien (Heryuni, 1991).
Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai dinamika psikologis,
seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berpikir, motivasi,
persepsi, sikap, reaksi dan sebagainya (Azwar S, 2005). Tiga faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan individu yaitu : faktor dasar (predisposing
factor), faktor pendukung (enabling factor) dan faktor pendorong (reinforcing
factor). Faktor dasar (predisposing factor) mencakup pengetahuan, sikap,
kebiasaan, kepercayaan, norma sosial dan unsur lain yang terdapat dalam diri
individu di dalam masyarakat yang terwujud dalam motivasi atau alasan
seseorang berperilaku. Faktor pendukung (enabling factor) merupakan faktor
yang menjadi pendukung seseorang berperilaku, seperti sumber daya, potensi
masyarakat, peralatan dan fasilitas serta peraturan. Faktor pendorong (reinforcing
factor) merupakan faktor lingkungan yang dominan dalam membentuk perilaku,
seperti sikap dan perilaku seseorang yang terwujud dalam dukungan sosial
(Green, 2000).
Menurut Suizer (1999), salah seorang praktisi behavioral safety,
mengemukakan bahwa para praktisi telah melupakan aspek utama dalam
mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek perilaku para pekerja.
Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Dominic Cooper (1999) yang berpendapat
walaupun sulit untuk dikontrol secara tepat, 80-95% dari seluruh kecelakaan kerja
4
yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior. Pendapat Cooper tersebut didukung
oleh penelitian Heinrich (1931) tentang penyebab kecelakaan, dimana ia
melakukan analisis terhadap 75.000 laporan kecelakaan di perusahaan yang
menunjukkan bahwa sebesar 88% kecelakaan disebabkan oleh unsafe acts,
sedangkan 10% unsafe condition dan 2% unavoidable.
Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Prasetiyo (2011),
tindakan tidak aman merupakan faktor penyumbang terbesar kecelakaan kerja,
yang merupakan cerminan dari perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja.
Tindakan tidak aman ini dapat dilihat dari hasil kesalahan yang dilakukan oleh
pekerja yang terlibat secara langsung maupun kesalahan pihak manajemen.
Tindakan tidak aman yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar,
memungkinkan sebagai penyebab terjadinya suatu kecelakaan. Maka dari itu, para
tenaga kerja yang berperilaku secara baik dan sehat akan memperkecil terjadinya
risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan dalam bekerja.
Lebih lanjut dalam penelitian Prasetyo (2011) dikatakan bahwa seringkali
para karyawan dalam suatu perusahaan dihadapkan pada persoalan di dalam
keluarga maupun perusahaan. Tekanan persoalan tersebut dapat berupa aspek
emosional, fisiologis dan psikologis. Selain itu, terbatasnya biaya pemeliharaan
kesehatan dapat menurunkan produktivitas karyawan. Pihak manajemen
perusahaan seharusnya mampu mengakomodasi persoalan karyawan sejauh yang
terkait dengan kepentingan perusahaan. Pertimbangannya adalah unsur
keselamatan dan kesehatan karyawan memegang peranan penting dalam
peningkatan mutu kerja karyawan. Semakin cukup kuantitas dan kualitas fasilitas
keselamatan dan kesehatan kerja, maka semakin tinggi pula mutu kerja
karyawannya. Dengan demikian perusahaan akan semakin diuntungkan dalam
upaya pencapaian tujuannya.
PT. PDP merupakan salah satu perusahaan swasta di Indonesia yang
bergerak dalam sektor energi, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap
(PLTGU) Musi 2 kapasitas 19.83 MW di kota Palembang, Sumatera Selatan. PT.
PDP didirikan pada tanggal 30 Maret 2005 berdasarkan Akte Pendirian
Perusahaan No. 34. PDP didirikan untuk membantu mengatasi defisit energi
5
listrik di wilayah usaha PT. PLN (Persero) WS2JB berdasarkan Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral No. 482-12/40/600.2/2006. Selain itu, dengan
berdirinya PLTGU Musi 2, PT. PDP juga ikut berperan serta dalam mensukseskan
program pemerintah melalui PT. PLN (Persero) dalam mengurangi
ketergantungan pemakaian bahan bakar solar.
Berdasarkan kontrak Jual Beli Listrik antara PT. PLN (Persero) WS2JB
dan PT. PDP, PT. PDP memiliki kewajiban untuk mendistribusikan energi listrik
kapasitas 19.83 MW selama 20 tahun. Untuk menjaga tingkat ketersediaan energi
listrik selama periode kontrak, PT. PDP melakukan kontrak Perjanjian Jual Beli
Gas (PJBG) tanggal 30 Mei 2006 dengan Pertamina EP Sumatera Selatan selama
20 Tahun. Di samping itu untuk menjaga kehandalan pembangkit dalam
beroperasi, PT. PDP melakukan kontrak perawatan (Full Maintenance Contract)
dengan Turbomach selama 15 tahun.
Pada awal mulai beroperasi tanggal 24 Juni 2006, PT. PDP
mendistribusikan energi listriknya sebesar 13.83 MW dengan 3 unit Pembangkit
Listrik Tenaga Gas (PLTG) kapasitas 4.61 MW dari Caterpillar-Turbomach
Swiss. Setelah 1 tahun beroperasi, PT. PDP memutuskan untuk menambah 1 unit
steam turbin kapasitas 6 MW dari Jianglian Jianxi Energy Corporation dengan
mengoptimalkan gas buang (sisa hasil pembakaran) 3 unit pembangkit gas turbin
yang telah terpasang. Dengan ditambahnya 1 unit steam turbin ini perusahaan
dapat melakukan penghematan bahan bakar dari yang sebelumnya 60% dari harga
jual beli listrik menjadi 40%. Tujuan utama dari pembangkit kombinasi tersebut
adalah untuk meningkatkan efisiensi termal yang cukup tinggi mencapai 50 %.
Hal ini dikarenakan pertumbuhan akan energi listrik yang meningkat pesat.
Sedangkan penggunaan turbin gas sebagai pembangkit energi listrik (PLTG)
mempunyai efisiensi termal rendah yaitu 30 % dan pembangkit tenaga uap
(PLTU) memiliki efisiensi termal 35 %. Sehingga dibutuhkan suatu pembangkit
listrik dengan siklus kombinasi yang menghasilkan energi lebih besar. Dengan
dioperasikannya pembangkit steam turbin pada tanggal 26 September 2009 ini
diharapkan dapat membantu mengurangi defisit kelistrikan di kota Palembang.
6
Berdasarkan bidang usaha, PT. PDP merupakan salah satu perusahaan
yang sangat membutuhkan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dengan
baik. Berdasarkan data riwayat kecelakaan tahun 2011, tercatat 1 kecelakaan berat
yang hampir menyebabkan kematian (terkena gas karena tidak memakai masker),
12 kecelakaan sedang (cedera pada bagian tubuh, kejatuhan benda, tertusuk benda
tajam dan lainnya) dan 9 kecelakaan ringan (lecet, tergores, tersengat listrik atau
luka ringan lainnya). Sedangkan, pada tahun 2012, terdapat 3 kecelakaan berat
(patah tulang, terpapar bahan kimia dari turbin, jatuh dari ketinggian), 8
kecelakaan sedang (terjepit, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan lainnya)
dan 11 kecelakaan ringan (lecet, tersandung, tergores dan luka ringan lainnya).
Maka dari itu, risiko pekerjaan yang dimiliki oleh para karyawan didalamnya
tergolong berbahaya.
Selain itu, pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar gas dan uap
dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan tenaga kerja dan masyarakat
sekitar apabila proses pemeliharaannya (maintenance) tidak dikelola dengan
benar. Pada PDP tercatat banyak pengeluaran pengobatan untuk para
karyawannya. Berdasarkan data riwayat kesehatan tahun 2011, tercatat
pengeluaran perusahaan mencapai Rp. 59.643.739,00 untuk biaya pengobatan.
Sedangkan, pada tahun 2012 tercatat pengeluaran perusahaan mencapai
Rp.53.445.700,00 untuk biaya pengobatan. Penyebab yang paling mungkin adalah
radiasi, pencemaran udara dan pencemaran air akibat unsur -unsur gas alam dan
hasil pembuangan. Dalam hal ini, kelalaian petugas dalam menjalankan proses
maintenance merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran. Sedangkan,
gejala yang tercatat sering timbul pada karyawan adalah gangguan pernafasan,
gangguan kardiovascular, iritasi pada mata dan hidung dan kanker.
Berdasarkan hasil wawancara pada bulan Maret 2014 dengan Manager
bagian pemeliharaan dan K3 PT. PDP, Bapak H, rendahnya kesadaran para
karyawan akan konsep kesehatan dan keselamatan kerja membuka peluang-
peluang terjadinya gangguan seperti pada data di atas. Menurut beliau, hingga saat
ini kelengkapan APD (Alat Pelindung Diri) yang disediakan perusahaan hanya
berupa helm (safety helmet), sarung tangan (gloves) dan masker saja. Berdasarkan
7
informasi yang didapatkan dari wawancara, APD yang tersedia memang belum
lengkap sehingga tidak memenuhi standar untuk menunjang keselamatan dan
kesehatan para karyawan. Namun, di luar keterbatasan APD, Bapak H juga
mengatakan bahwa para karyawan seringkali tidak mengikuti SOP yang
diberikan, seperti keharusan memakai helm, sarung tangan atau masker saat
berada di lapangan. Sedangkan, permasalahan pada sektor Combined Cycle Power
Plant terletak pada golongan kimiawi (gas, uap, debu, kabut, asap, awan, cairan,
abu dan benda padat ) yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan. Hal
ini dapat memicu berbagai macam risiko timbulnya penyakit dan gangguan
kesehatan pada karyawan operasional yang bekerja di area tersebut. Dengan
adanya berbagai tuntutan tentang masalah kesehatan dan keselamatan kerja, maka
perusahaan harus dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan
perlindungan pada karyawan dengan melakukan program-program tentang
kesehatan dan keselamatan kerja.
Menurut British Medical Association, risiko ada dan terjadi sebagai akibat
dari suatu tindakan atau aksi tidak dapat dijamin, sehingga risiko secara efektif
mengandung unsur ketidakpastian. Selain itu, risiko diartikan sebagai adanya
kemungkinan kehilangan akibat suatu kejadian yang tidak diharapkan (Yates,
1992). Dalam penelitian ini, karyawan operasional memunculkan perilaku yang
dihadapkan kepada situasi yang memiliki risiko, yaitu perilaku yang berpeluang
untuk menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain, di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang.
Segala perilaku merupakan hasil dari proses psikologis dari dalam diri
individu yang bersangkutan sehingga perilaku-perilaku yang berisiko akan
berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini dikarenakan terdapat persepsi yang
berbeda-beda akan keyakinan atau keputusan yang diambil oleh individu akan
alternatif yang tersedia. Contohnya, ketika perusahaan telah menyediakan APD
(Alat Pelindung Diri) berupa helm (safety helmet), sarung tangan (gloves) dan
masker bagi para karyawan operasional, namun mereka tidak menggunakan APD
tersebut dengan baik. Padahal, mereka sudah mengenali dan mempunyai
pengetahuan yang cukup mengenai bahaya yang ada di tempat kerja. Dapat
8
dikatakan persepsi pekerja terhadap bahaya yang ada masih rendah (perceived risk
rendah). Perilaku berisiko ini kemudian membuka peluang terjadinya masalah
keselamatan dan gangguan kesehatan bagi karyawan operasional.
Jika para karyawan mengalami kecelakaan kerja maka mungkin saja
produktivitas terganggu. Menurut Hariandja (2007), produktivitas merupakan
kemampuan karyawan atau perusahaan dalam berproduksi dibandingkan dengan
input yang digunakan. Suatu perusahaan dapat dikatakan produktif apabila para
karyawannya mampu menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan produktivitas
yang diharapkan, mampu melakukannya dalam waktu yang singkat dan efisien,
serta mampu menghasilkan lebih banyak dari target. Konsep produktivitas kerja
dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi individu dan dimensi perusahaan.
Dimensi individu melihat produktivitas dalam kaitannya dengan karakteristik-
karakteristik kepribadian individu yang muncul dalam bentuk sikap mental dan
mengandung makna keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya. Sedangkan dimensi perusahaan melihat
produktivitas dalam kerangka hubungan teknis antara masukan (input) dan
keluaran (output). Oleh karena itu dalam pandangan ini, terjadinya peningkatan
produktivitas tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas, tetapi juga dapat dilihat dari
aspek kualitas.
Namun demikian, dalam penelitian Anoraga (1998), menyatakan bahwa
menentukan satu faktor yang dominan dalam mengukur produktivitas kerja para
karyawan tidaklah mudah karena banyak faktor lain yang berperan dan saling
memiliki ketergantungan satu dengan yang lain. Begitu pula dengan prediksi
peneliti, bahwa tetap terbuka adanya kemungkinan beberapa faktor lain yang
mungkin dapat berperan dalam mempengaruhi produktivitas karyawan
operasional selain perilaku berisiko, seperti faktor ergonomi, kelelahan (fatigue),
near miss, motivasi, kebisingan, homogenitas, jenis pekerjaan, geografis,
demografis dan sebagainya.
Di PT. PDP, produktivitas individu mendapat pengamatan berdasarkan
kinerja individu dan unit (kelompok divisi). Produktivitas dapat dilihat
berdasarkan apa yang dilakukan individu pada pekerjaannya. Apa yang dilakukan
9
individu dapat diukur berdasarkan kehadiran, keluar-masuk kerja, kecelakaan
kerja dan keluahan-keluhan. Selain itu, dapat dilakukan pengamatan oleh sesama
unit kerja, supervisor ataupun bawahan.
Saat ini, PT. PDP memiliki 84 karyawan operasional. Mereka dibagi
menjadi empat bagian pekerjaan, yaitu operator dan maintenance gas turbine,
operator dan maintenance steam turbine, operator dan maintenance electrical,
operator dan maintenance water system (cooling system dan osmosis). Keempat
bagian pekerjaan tersebut memiliki ketergantungan satu dengan yang lain
sehingga jika salah satu unit mengalami masalah, maka pasti akan mempengaruhi
unit yang lain. Di dalam setiap unit terdiri dari 3-4 karyawan operasional untuk
mengoperasikan dan memelihara kinerja mesin. Dalam penelitian ini, kecelakaan
kerja dapat menyebabkan individu tidak dapat bekerja sehingga akan memberi
masalah bagi unit dimana karyawan operasional tersebut bekerja.
Selain itu, berdasarkan penjelasan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa sudah sewajarnya apabila tenaga kerja
juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program
pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan demi terwujudnya perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Jadi, bukan hanya perusahaan saja
yang bertanggung jawab dalam masalah ini, tetapi para karyawan juga harus ikut
berperan aktif dalam hal ini agar dapat tercapai kesejahteraan bersama.
Dilihat dari berbagai kemungkinan, perilaku berisiko (risk behavior) para
karyawan operasional yang mengabaikan Alat Pelindung Diri (APD) yang telah
disediakan oleh perusahaan berpeluang untuk menimbulkan kerugian baik
terhadap diri sendiri maupun orang lain, baik sekarang maupun masa yang akan
datang. Perilaku berisiko ini kemudian membuka peluang terjadinya masalah
keselamatan dan gangguan kesehatan bagi karyawan operasional. Ketika individu
tidak dapat memberikan kontribusi pada unit, maka mempengaruhi produktivitas
unit dan perusahaan secara keseluruhan.
Berdasarkan observasi peneliti pada lokasi PLTGU, memang terdapat
banyak sekali pengabaian pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), terutama sarung
tangan dan masker. Selain itu, peneliti juga menemukan dalam peraturan
10
perusahaan, bahwa setiap pekerja seharusnya mendapat penutup telinga karena
suara bising dari mesin-mesin turbin dapat membahayakan pendengaran. Namun,
dalam kenyataannya tidak ada satupun yang menggunakan alat penutup telinga
karena memang tidak tersedia.
Berdasarkan wawancara dengan direktur PT. MGK dan manajer PT. PDP,
penerapan konsep keselamatan dan kesehatan kerja memang belum menjadi
perhatian utama bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan perusahaan baru berdiri
kurang dari 10 tahun sehingga masih banyak aspek-aspek lain yang lebih
diprioritaskan. Selain itu, direktur PT. MGK memberi izin kepada peneliti untuk
bekerja sama melakukan penelitian yang berkaitan dengan keselamatan dan
kesehatan kerja sehingga akan ada hubungan timbal balik antara peneliti dan
perusahaan.
Berdasarkan pembahasan mengenai perilaku berisiko, keselamatan dan
kesehatan kerja, produktivitas dan karyawan operasional PLTGU di atas, peneliti
merumuskan masalah penelitian, yakni apakah terdapat hubungan antara perilaku
berisiko dan produktivitas karyawan operasional di Pembangkit Listrik Tenaga
Gas dan Uap (PLTGU) PT. PDP ? Selain itu, menarik untuk diteliti seberapa
derajat tingkat perilaku berisiko karyawan operasional di PLTGU PT. PDP?
Ditinjau dari tiga dimensi yang membentuk variabel perilaku berisiko, perlu untuk
diteliti dimensi manakah yang memiliki derajat tingkat perilaku berisiko paling
kuat? Kemudian dari tiga dimensi yang sama, dimensi manakah yang paling
berhubungan dengan produktivitas karyawan operasional?
I.B. TUJUAN PENELITIAN
I.B.1. TUJUAN UMUM
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku
berisiko dan produktivitas karyawan operasional di Pembangkit Listrik Tenaga
Gas dan Uap (PLTGU) PT. PDP.
11
I.B.2. TUJUAN KHUSUS
1. Untuk mengukur derajat tingkat perilaku berisiko karyawan operasional di
PLTGU PT.PDP.
2. Untuk mencari tahu dimensi yang memiliki derajat tingkat perilaku berisiko
paling kuat.
3. Untuk mencari tahu dimensi yang paling berhubungan dengan produktivitas
karyawan operasional.
I.C. MANFAAT PENELITIAN
I.C.1. MANFAAT TEORITIS
Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan kepada ilmu
pengetahuan Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) di
Fakultas Psikologi Unika Atmajaya terutama mengenai kesehatan dan
keselamatan kerja para karyawan operasional di Pembangkit Listrik Tenaga Gas
dan Uap (PLTGU), mengingat masih sedikit penelitian di Fakultas Psikologi
Atmajaya mengenai topik ini.
I.C.2. MANFAAT PRAKTIS
1. Memberikan data untuk dipertimbangkan oleh PLTGU PT. PDP dalam
menentukan berbagai kebijakan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja
untuk meningkatkan produktivitas kerja para karyawan operasional di
PLTGU PT. PDP.
2. Memberikan masukan dan informasi bagi pembuatan Standard Operating
Procedure (SOP) pada PLTGU PT. PDP.
12
I.D. URGENSI PENELITIAN
Perilaku berisiko karyawan operasional dapat menyebabkan kecelakaan
kerja, seperti kecelakaan kecil (minor), besar (mayor) atau kematian (fatal).
Kecelakaan kerja tersebut dapat menyebabkan penurunan produktivitas bagi
karyawan operasional dan perusahaan. Bahkan dapat menyebabkan area
operasional berhenti total. Selain mempengaruhi produktivitas dirinya sendiri,
kecelakaan kerja akibat perilaku berisiko akan memberikan pengaruh yang besar
bagi perusahaan maupun masyarakat. Berikut ini adalah kerugian yang mungkin
terjadi :
1. Dari sisi individu, perilaku berisiko karyawan operasional memiliki risiko
kecelakaan kerja yang tinggi (hingga kematian) karena bekerja pada sektor
energi, yaitu pembangkit listrik tenaga gas dan uap. Selain itu, kecelakaan
kerja akibat perilaku berisiko dapat menghambat produktivitas kerja karyawan
operasional dalam menjalankan proses produksi listrik bagi perusahaan.
2. Dari sisi perusahaan, hambatan proses produksi listrik tersebut dapat
menyebabkan kerugian finansial, meningkatnya dana operasional dan dana
kompensasi bagi perusahaan. Selain itu, perusahaan memiliki risiko
kehilangan izin kerjanya jika dianggap gagal menerapkan konsep keselamatan
dan kesehatan bagi karyawannya.
3. Dari sisi masyarakat, hambatan yang dialami oleh perusahaan akan
mengakibatkan defisit energi listrik bagi kota Palembang dan sekitarnya. Hal
ini dapat menyebabkan pemadaman bergilir sehingga pada akhirnya
menghambat aktivitas masyarakat.
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitan, dan sistematika penulisan. Lebih
13
lanjut, dalam BAB I terdapat pemaparan mengenai urgensi dan pentingnya
penelitian mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.
BAB II berisi tinjauan kepustakaan terkait penelitian ini mengenai teori
dan model perilaku, keselamatan dan kesehatan kerja, teori produktivitas kerja
dan gambaran mengenai pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU).
BAB III berisi metodologi dan prosedur penelitian yang digunakan di
dalam penelitian ini.
BAB IV berisi gambaran umum hasil penelitian berupa data yang
didapatkan secara detil. Selain itu, bab ini akan memaparkan perbandingan antara
satu data dengan data lainnya.
Akhirnya, BAB V akan memaparkan hasil penelitian beserta kesimpulan,
diskusi dan saran terkait hasil penelitian.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.A. PERILAKU BERISIKO
II.A.1. DEFINISI PERILAKU BERISIKO
Menurut kamus Oxford, risiko didefinisikan sebagai kesempatan, pilihan,
kemungkinan / probabilitas, yang mengandung arti gambling, hutang, spekulasi
dan ketidakpastian (Oxford Dictionary, 2013). Menurut Australian / NZ Standard
(4360 : 1999), risiko didefinisikan sebagai kesempatan dari sesuatu yang terjadi
yang akan mempunyai pengaruh atau dampak terhadap tujuan. Kemudian,
menurut British Medical Association (dalam Yates.1992), risiko didefinisikan
sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak diharapkan sehingga
menimbulkan dampak tidak menyenangkan.
Menurut Dolores dan Johnson (2001), perilaku manusia merupakan
sekumpulan perilaku yang dimiliki manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap,
emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi dan genetika. Sedangkan menurut Geller
(2001a), perilaku mengacu pada tingkah laku atau tindakan individu yang dapat
diamati oleh orang lain. Dengan kata lain, perilaku adalah apa yang orang katakan
atau lakukan yang merupakan hasil dari pikiran, perasaan, atau sesuatu yang
diyakininya. Maka dari itu, perilaku manusia terdiri dari semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Selain itu, determinan perilaku dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor
internal (dari dalam individu) dan faktor eksternal (stimulus dari luar individu).
Faktor internal adalah karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat
bawaan dan berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Misalnya, tingkat
pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, jenis kelamin, dan
sebagainya. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar, baik secara
fisik maupun non-fisik, seperti iklim, manusia, sosial, budaya, ekonomi, politik,
15
kebudayaan dan sebagainya. Faktor lingkungan ini seringkali menjadi faktor yang
dominan mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Heinrich (1931), perilaku berisiko adalah perilaku seseorang atau
beberapa orang yang memperbesar risiko kemungkinan terjadinya kecelakaan
kerja. Faktor penyebab kecelakaan kerja, yaitu: 88% unsafe acts, 10% unsafe
condition dan 2% unavoidable. Secara teoritis, perilaku pekerja dibagi menjadi
dua kondisi. Pertama, pekerja tidak tahu, sehingga berperilaku tidak aman. Kedua,
pekerja tahu, namun tetap berperilaku tidak aman. Pada kondisi pertama, dapat
dengan mudah diselesaikan dengan memberikan pelatihan keselamatan kerja
sehingga dapat menciptakan pengawasan dan perilaku yang diharapkan. Namun,
pada kondisi kedua lebih sulit karena perilaku berisiko yang dilakukan pekerja
disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti pribadi pekerja, jenis pekerjaan,
seberapa tinggi dukungan manajemen dan sebagainya.
Sedangkan, menurut Miner (1994), mendefinisikan perilaku berisiko
sebagai perilaku seseorang yang mengarah pada risiko terjadinya kecelakaan
kerja, seperti bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan
tanpa izin, tidak menggunakan APD, operasi pekerjaan dalam kecepatan
berbahaya, menggunakan peralatan tidak sesuai prosedur, bertindak kasar, kurang
pengetahuan, cacat tubuh atau emosi (Indonesia Safety Center, 2011).
Secara keseluruhan, peneliti mendefinisikan perilaku berisiko sebagai
suatu perilaku yang tidak sesuai standar atau prosedur sehingga menimbulkan
potensi untuk menempatkan seseorang dalam situasi yang berbahaya dan
memiliki risiko terjadinya kecelakaan kerja sehingga dapat menghambat dirinya
mencapai tujuan yang diharapkan.
II.A.2. SKILLS, RULES, KNOWLEDGES (SRK)
Dalam bukunya yang berjudul Proactive Risk Management In A Dynamic
Society, Rasmussen (2000), menjelaskan bahwa perilaku manusia dibagi menjadi
tiga bentuk, yaitu skills (kemampuan), rules (aturan), dan knowledges
(pengetahuan). Kemudian, ketika perilaku manusia berinteraksi dengan mesin,
16
tiga bentuk perilaku tersebut dapat dirumuskan menjadi tiga kerangka kerja, yaitu
skills-based behavior, rules-based behavior dan knowledges-based behavior.
Rasmussen merumuskan tiga kerangka kerja tersebut untuk ditujukan kepada
suatu pekerjaan yang berinteraksi dengan mesin, seperti operator atau karyawan
operasional. Dalam penelitian ini, tiga kerangka kerja tersebut akan digunakan
oleh peneliti untuk menyusun alat ukur perilaku berisiko. Hal ini dikarenakan
karyawan operasional memiliki pekerjaan yang berinteraksi dengan mesin.
1. Skills-based behavior
Manusia menggunakan skills based behavior ketika suatu perilaku sudah
menjadi rutinitas dan secara otomatis dapat mengambil suatu langkah yang
dibutuhkan dengan cepat terhadap suatu kondisi teknis yang cenderung rutin
dan berulang. Pada skills based behavior, manusia telah menguasai
sepenuhnya (well mastered) dan alokasi mental yang dibutuhkan sangat
minimal sehingga memungkinkan untuk mengalokasikan perhatian pada
aktivitas lain secara bersamaan.
Dalam penelitian ini, karyawan operasional dihadapkan pada rutinitas
pekerjaan terhadap mesin PLTGU yang cenderung rutin dan berulang setiap
harinya. Oleh karena sudah merasa menguasai terbiasa dengan rutinitas
tersebut, maka terbuka kemungkinan bagi karyawan operasional untuk
cenderung meremehkan dan berperilaku berisiko. Contohnya, karyawan
operasional yang sudah terbiasa mengoperasikan mesin di ruang pembakaran
gas, memilih untuk tidak menggunakan masker dan sarung tangan.
2. Rules-based behavior
Manusia menggunakan rules based behavior ketika diharuskan mengikuti
suatu peraturan dan prosedur formal ataupun informal sehingga dihadapkan
pada suatu pilihan solusi terhadap kondisi teknis yang ada dengan
menggunakan aturan “if-then” untuk memprioritaskan solusi terbaik. Pada
rules based behavior, manusia berusaha meraih suatu kemampuan dan
keahlian (acquiring skill and expertise) yang membutuhkan perhatian atau
17
fokus yang cukup besar. Manusia dihadapkan pada pilihan antara melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan.
Dalam penelitian ini, karyawan operasional harus mengikuti peraturan dan
prosedur yang diberlakukan perusahaan. Contohnya, prosedur mengatakan
bahwa pipa gas yang mengalami korosi akibat bahan kimia harus diganti
setiap kurun waktu tertentu. Karyawan operasional memiliki pilihan untuk
mengganti pipa sesuai prosedur perusahaan atau membiarkan pipa tidak
diganti karena menurutnya masih layak untuk digunakan.
3. Knowledges-based behavior
Manusia menggunakan knowledges based behavior ketika menemui
sebuah situasi dan kondisi yang baru atau berbeda dari pengalaman
sebelumnya sehingga membutuhkan perumusan baru dengan menggunakan
ilmu pengetahuan yang ada untuk mendapatkan solusi dan melakukan
antisipasi. Pada knowledges based behavior, kurangnya pengetahuan dalam
memahami situasi dan kondisi dapat mengarah pada pengambilan solusi yang
salah.
Rasmussen (2000), menjelaskan bahwa kegagalan operator atau karyawan
operasional dalam melakukan salah satu dari ketiga kerangka kerja di atas, maka
akan menyebabkan error. Pertama, skills based performance error, yaitu
ketidakmampuan operator atau karyawan operasional dalam melakukan rutinitas
pekerjaan yang berulang sehingga menimbulkan error. Kedua, rules based
performance error, yaitu ketidakmampuan operator atau karyawan operasional
dalam mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku. Ketiga, knowledges based
performance error, yaitu ketidakmampuan operator atau karyawan operasional
dalam mengatasi masalah yang berbeda dengan pengalaman yang dimilikinya.
18
II.A.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU
BERISIKO
Menurut Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi perilaku
berisiko dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor
internal antara lain :
1. Pendidikan (Education)
Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang pekerja secara langsung
maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilakunya dalam bekerja.
Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan karyawan operasional akan
mempengaruhi kecerdasan, kemampuan dan pola pikir dalam memahami
instruksi yang diberikan.
2. Pengetahuan (Knowlegde)
Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau hasil
usaha manusia untuk memahami objek tertentu. Dalam penelitian ini, tingkat
pengetahuan karyawan operasional dapat mempengaruhi pemahamannya
mengenai bahaya di tempat kerja.
Sementara itu faktor eksternal antara lain :
1. Pengawasan (monitoring)
Pengawasan merupakan proses memastikan segala aktifitas pekerjaan
terlaksana dengan lancar sesuai tujuan yang direncanakan. Pengawasan
dilakukan dengan dua cara, yaitu pengawasan preventif (sebelum memulai
pekerjaan) dan pengawasan represif (setelah atau saat pekerjaan berlangsung).
Selain itu, pengawasan juga dapat dibagi menjadi pengawasan langsung
(pemeriksaan langsung di tempat dengan memberi saran atau instruksi) dan
pengawasan tidak langsung (menganalisa dan mempelajari dokumen atau
laporan). Di PLTGU PT. PDP, tingkat pengawasan yang dilakukan
perusahaan terhadap karyawan operasional dapat mempengaruhi kemungkinan
terjadinya perilaku berisiko.
19
2. Pelatihan (Training)
Pelatihan merupakan suatu proses pendidikan bagi pekerja untuk
memperoleh pengalaman, pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat
melaksanakan pekerjaan secara efisien dan efektif. Di PLTGU PT. PDP, tidak
semua karyawan operasional (hanya 3-4 orang setiap tahun) mendapatkan
pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Karyawan operasional
yang tidak mendapatkan pelatihan terbuka kemungkinan untuk melakukan
perilaku berisiko karena tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan.
3. Hukuman (punishment)
Hukuman diberikan untuk menghilangkan perilaku yang tidak diharapkan.
Hukuman adalah tindakan paling akhir yang diambil terhadap adanya
pelanggaran yang sudah berkali-kali dilakukan setelah ditegur dan diperingati.
Hukuman merupakan faktor penting dalam penerapan program keselamatan
kerja karena diharapkan dapat memotivasi perilaku keselamatan.
II.B. KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
II.B.1. DEFINISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Dalam bahasa Inggris keselamatan disebut sebagai safety yang berarti
keadaan terbebas dari celaka (accident) dan juga hampir celaka (incident atau
near miss). Sedangkan kesehatan dalam bahasa Inggris disebut sebagai health
yang berarti keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
seseorang untuk hidup secara sosial dan ekonomis. Selain itu, kerja dalam bahasa
Inggris disebut sebagai work atau occupation yang berarti kegiatan atau usaha
untuk mencapai suatu tujuan (Geotsch, 1996).
Berdasarkan Joint Committee International Labour Organization dan
World Health Organization (2011), keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu
usaha untuk mempromosikan dan mempertahankan tingkat tertinggi dari kondisi
fisik, mental dan sosial dari para pekerja. Usaha ini dapat diwujudkan melalui
20
peningkatan kondisi kerja, kondisi kesehatan ,kondisi peralatan dan kondisi
lingkungan sehingga pekerja dapat beradaptasi dengan baik.
Menurut Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (2005),
keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu upaya untuk mencegah, mengurangi
dan menanggulangi kecelakaan melalui identifikasi, analisa dan pengendalian
bahaya secara tepat serta melaksanakannya sesuai undang-undang yang berlaku.
Menurut Hiperkes (Higiene Perusahaan Ergonomi dan Kesehatan),
keselamatan dan kesehatan kerja adalah ilmu yang menerapkan upaya
pemeliharaan demi meningkatkan kondisi lingkungan kerja serta melindungi
tenaga kerja dari risiko bahaya dan kerugian akibat kecelakaan kerja, seperti
penyakit, kebakaran, ledakan dan pencemaran lingkungan.
II.B.2. KECELAKAAN KERJA
Berdasarkan ILO (1989), kecelakaan kerja merupakan kejadian yang tidak
terencana dan tidak terkontrol, yang disebabkan oleh manusia, situasi, faktor
lingkungan atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang mengganggu proses
kerja sehingga menimbulkan cedera, kesakitan, kematian, kerusakan properti dan
kejadian tidak diinginkan lainnya. Untuk menjelaskan penyebab kecelakaan,
Heinrich (1931) melakukan analisis terhadap 75.000 laporan kecelakaan di
berbagai perusahaan. Analisis tersebut menunjukkan bahwa sebesar 88%
kecelakaan disebabkan oleh perilaku dan tindakan berbahaya.
Gambar 1. Teori Domino
21
Berdasarkan penelitian tersebut, ia mengembangkan teori domino yang terdiri dari
lima faktor tahapan kecelakaan, yaitu: lingkungan sosial (background), kesalahan
manusia (person), perilaku atau kondisi tidak aman/berbahaya (unsafe act atau
unsafe condition), kecelakaan (accident) dan cedera (injury).
Kelima faktor tersebut dianalogikan sebagai kartu domino yang posisinya
disejajarkan satu dengan yang lainnya. Apabila salah satu kartu terjatuh, maka
akan menyebabkan kartu yang lain ikut terjatuh. Untuk mengatasi hal ini, maka
Heinrich menghilangkan salah satu kartu, yaitu unsafe act dan unsafe condition
yang merupakan pusat dari susunan kartu domino. Dengan demikian, kecelakaan
dan kerugian dapat dihindarkan.
Gambar 2. Teori Loss Causation Model
Sementara Teori Loss Causation Model adalah salah satu teori yang
dikembangkan dari teori domino Heinrich. Pada teori ini, tahapan kecelakaan
terdiri dari loss (kerugian akibat kecelakaan), incident (insiden), immediate causes
(penyebab langsung), basic causes (penyebab dasar) dan lack of control
management (kurangnya kontrol dari manajemen).
Pertama, loss merupakan dampak yang timbul akibat kecelakaan, yang
mempengaruhi produktivitas pekerja, properti dan proses kerja. Dari sisi
karyawan operasional, kerugian yang timbul berupa cedera, sakit, gangguan
mental, saraf dan efek sistemik hingga kematian. Dari sisi perusahaan, kerugian
yang timbul berupa gangguan proses produksi dan penurunan produktivitas profit.
Kedua, incident merupakan suatu kejadian dimana terjadi kontak yang
berpotensi memicu kecelakaan kerja sehingga menyebabkan kerugian atau
kerusakan. Contohnya, karyawan operasional yang melakukan perilaku berisiko
22
secara tidak sengaja melakukan kontak dengan energi kinetik, listrik, thermal,
atau kimia sehingga menyebabkan kecelakaan kerja atau gangguan kesehatan.
Ketiga, immediate causes merupakan segala situasi yang secara langsung
dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Hal tersebut mencakup perilaku dan kondisi
yang tidak sesuai standar sehingga menyebabkan terjadinya insiden. Dalam
penelitian ini, perilaku dan kondisi tidak sesuai standar, seperti tidak memberi
peringatan pada rekan kerja, pengoperasian peralatan tanpa wewenang, tidak
menggunakan alat pelindung diri (APD), penempatan peralatan yang tidak benar,
dibawah pengaruh obat-obatan, dapat memperbesar kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja.
Keempat, basic causes merupakan penyebab dasar dari gejala yang timbul
sekaligus alasan mengapa pekerja melakukan tindakan berbahaya (faktor internal)
dan mengapa kondisi lingkungan kerja berbahaya (faktor eksternal).
Kelima, lack of control management. Salah satu fungsi utama manajemen
adalah kontrol manajemen yang kuat. Dengan kontrol manajemen yang kuat,
kecelakaan akan lebih mudah dicegah atau diminimalisir. Manajemen harus
memahami program pengendalian yang dibutuhkan, standar yang digunakan,
pengukuran performa kerja yang benar sehingga dapat mendorong pekerja untuk
memenuhi standar dan memperbaiki produktivitas kerja. Dengan kata lain, setiap
perusahaan harus memiliki sistem dan standar yang tepat.
II.B.3. SAFETY PROMOTION DAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)
Untuk menghindari risiko dan kecelakaan kerja, mempromosikan
keselamatan dan kesehatan kerja merupakan cara yang efektif. Misalnya, setiap
kali akan mengoperasikan peralatan, para pekerja diwajibkan untuk membaca
kembali prosedur dan rambu-rambu keselamatan. Untuk meningkatkan efektifitas
rambu-rambu keselamatan antara lain dengan cara memperbarui rambu, poster
dan alat bantu visual secara periodik, serta melibatkan pekerja dalam membuat
pesan keselamatan. Upaya pencegahan lainnya adalah memperharui perlengkapan
23
alat pelindung diri (APD), seperti kaca mata, sepatu, sarung tangan, helm, penutup
telinga, masker dan sebagainya (Green,1991).
Selain itu, untuk menghindari risiko kecelakaan kerja, para pekerja
membutuhkan pelatihan tentang APD agar memahami pentingnya penggunaan
dan perawatan APD dengan baik. Berdasarkan penelitian Green (1991), pekerja
seringkali tidak menggunakan APD karena menimbulkan ketidaknyamanan saat
digunakan dan menambah beban tubuh sehingga menghambat gerak tubuh saat
bekerja. Oleh karena itu, APD sebaiknya didesain sesuai standar yang teruji agar
layak digunakan.
II.B.4. ZERO RISK THEORY
Naatanen dan Sumala (dalam Yates, 1994) menjelaskan, bahwa pada
umumnya sebagian besar orang akan mencari situasi yang tidak mengandung
risiko atau situasi dimana risiko yang ada tidak terlalu tinggi. Dengan kata lain,
risiko sama dengan nol. Naatanen dan Sumala menjelaskan semakin tinggi
perilaku berisiko yang ditampilkan, maka akan semakin besar pula risiko
terjadinya kecelakaan, atau disebut sebagai danger region (semakin jauh dari titik
nol). Sedangkan, semakin rendah perilaku berisiko yang ditampilkan, maka
semakin rendah pula risiko terjadinya kecelakaan, atau disebut sebagai zero risk
region (semakin dekat dengan titik nol). Menurut zero risk theory, setiap pihak
harus menjaga danger region sekecil mungkin sehingga mengarah pada
terciptanya zero risk region.
II.B.5. NEAR MISS THEORY
Bernard Borg (2002) mendefinisikan near miss sebagai kondisi tidak
terencana yang tidak menghasilkan cedera (injury), sakit (illness) dan kerusakan
(damage), namun dalam kondisi sangat nyaris dan tetap menimbulkan kerugian.
24
Gambar 3. Safety Pyramid
Berdasarkan penelitian Borg tentang kecelakaan kerja, dibuatlah tabel frekuensi
kecelakaan kerja yang disebut sebagai safety pyramid. Menurutnya, dalam setiap
300 kejadian near miss (warna biru), terdapat sekitar 29 kecelakaan ringan (warna
kuning) dan satu kecelakaan fatal (warna merah). Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu proses kerja, prosedur dan kondisi kerja.
II.C. PRODUKTIVITAS
II.C.1. DEFINISI PRODUKTIVITAS KERJA
Perusahaan dituntut untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan
produktivitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Menurut Hariandja (2007),
salah satu faktor utama yang mempengaruhi produktivitas adalah keselamatan dan
kesehatan kerja. Berdasarkan penelitian Arif Hidayat dan Retno (2013), terdapat
pengaruh yang signifikan antara keselamatan dan kesehatan kerja terhadap
produktivitas para karyawan. Sedangkan Taiwo (2009) meneliti, bahwa kesehatan
dan keselamatan di lingkungan kerja sangat berpengaruh dalam merangsang
kreativitas dan produktivitas karyawan. Produktivitas di dalam suatu perusahaan
merupakan faktor yang sangat penting karena seringkali menjadi tolok ukur
keberhasilan perusahaan. Karena itu, semakin tinggi tingkat kesehatan dan
keselamatan kerja, semakin tinggi pula tingkat produktivitas yang dicapai.
25
Menurut Hariandja (2007), konsep produktivitas kerja dapat dilihat dari
dua dimensi, yaitu dimensi individu dan dimensi organisasi. Dimensi individu
melihat produktivitas dalam kaitannya dengan karakteristik kepribadian individu
yang muncul dalam bentuk sikap mental dan perilaku yang mengandung
keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Sedangkan dimensi organisasi melihat produktivitas dalam kerangka
hubungan teknis antara masukan (input) dan keluaran (output). Oleh karena itu
dalam pandangan ini, terjadinya peningkatan produktivitas tidak hanya dilihat dari
aspek kuantitas, tetapi juga dari aspek kualitas.
Dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia, Yuniasih dan
Suwatno (2008) menyatakan bahwa produktivitas dapat diukur dengan dua
standar utama, yaitu produktivitas fisik dan produktivitas nilai. Produktivitas fisik
diukur dari aspek kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Sedangkan
produktivitas nilai diukur berdasarkan kemampuan, sikap, perilaku, disiplin,
motivasi dan komitmen terhadap pekerjaan.
Sedarmayanti (2007), dalam bukunya Sumber Daya Manusia dan
Produktivitas Kerja, mengatakan bahwa produktivitas kerja memiliki dua dimensi
yaitu efektivitas dan efisiensi. Dimensi pertama berkaitan dengan pencapaian
kinerja maksimal, dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas,
kuantitas dan waktu. Sedangkan dimensi kedua berkaitan dengan upaya
membandingkan masukan dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana
pekerjaan tersebut dilaksanakan.
Produktivitas sebagai suatu konsep menunjukkan kaitan antara hasil kerja
dan satuan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk dari seorang
tenaga kerja. Dengan demikian, seorang pekerja dikatakan memiliki tingkat
produktivitas tinggi apabila ia mampu menghasilkan produk sesuai standar atau
prosedur yang telah ditetapkan. Dalam suatu proyek atau industri, produktivitas
selalu diasumsikan sebagai produktivitas tenaga kerja, yaitu satuan pekerjaan
yang dihasilkan atau diselesaikan oleh tenaga kerja per jam (Halligan, 1992 : 48).
Menurut Bohlander dkk (2006), peningkatan produktivitas tenaga kerja
merupakan hasil kombinasi dari kemampuan tenaga kerja, motivasi dan
26
lingkungan kerja. Dalam hal kemampuan tenaga kerja, dibutuhkan pengembangan
melalui pelatihan dan pendidikan. Dalam hal motivasi, dibutuhkan job
enrichment, promosi, feedback dan rewards. Dalam hal lingkungan kerja,
dibutuhkan empowerment, tim kerja, dukungan supervisor dan budaya.
II.C.2. PRODUKTIVITAS DALAM KONTEKS KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA
Berdasarkan Safety Index Workplace (2012) dalam United States
Department of Labor, produktivitas merupakan implementasi efektif dari
menajemen kesehatan dan keselamatan kerja yang berasosiasi dengan
menurunnya biaya kompensasi pekerja (worker compensation payments), biaya
kesehatan (medical expenses) dan kehilangan atau kerugian produksi (loss
productivity). Peningkatan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja akan
berpengaruh pada produktivitas individu dan organisasi. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh peneliti, data produktivitas merupakan data sekunder, yaitu
menggunakan hasil data dari alat ukur yang dikembangkan oleh PT.PDP. Alat
ukur tersebut menggunakan definisi produktivitas berdasarkan Safety Index
Workplace (2012).
Faktor – faktor produktivitas dalam konteks keselamatan dan kesehatan
kerja dikategorikan menjadi dua, yaitu :
1. Human Factors (faktor manusia)
Sifat dan perilaku manusia merupakan faktor atau determinan yang
signifikan dalam produktivitas. Faktor manusia terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ability to work (kemampuan untuk bekerja)
Produktivitas suatu perusahaan tergantung pada kompetensi dan
kemampuan dari para karyawan yang ditentukan oleh pendidikan, pelatihan,
pengalaman, bakat dan sebagainya. Dalam penelitian ini, kompetensi karyawan
operasional, seperti pengalaman kerja, penguasaan mesin, dan pengetahuan
27
berhubungan dengan mengoperasikan mesin dan peralatan PLTGU, akan
menjadi faktor yang mendukung produktivitas kerja.
b. Willingness to work (kemauan untuk bekerja)
Motivasi dan moral dari para karyawan merupakan hal yang sangat
penting dalam produktivitas. Hal ini dapat dipengaruhi oleh gaji, partisipasi
dalam perusahaan, komunikasi, kualitas kepemimpinan, jam kerja, sanitasi,
ventilasi, kantin, transportasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini, karyawan
operasional selalu berhubungan dengan mesin dan peralatan PLTGU sehingga
menghadapi rutinitas yang sangat monoton. Maka dari itu, motivasi untuk
bekerja sangat berperan penting dalam mendukung produktivitas kerja.
2. Technological Factors (faktor teknologi)
Teknologi merupakan faktor yang signifikan dalam mempengaruhi
produktivitas dan keselamatan kerja. Misalnya, kapasitas dan lokasi mesin
produksi, desain mesin produksi, waktu untuk memasok material atau bahan bakar
mesin produksi, perbaikan dan perawatan mesin produksi, kontrol kualitas mesin
produksi serta penggunaan dan pengembangan mesin produksi. Dalam penelitian
ini, PT. PDP membutuhkan teknologi berkualitas tinggi untuk menunjang
produksi energi listrik sehingga memiliki komponen-komponen yang cukup
rumit. Setiap komponen mesin ini memiliki risiko yang bervariasi bagi karyawan
operasional.
II.D. PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS DAN UAP (PLTGU)
II.D.1 PROSES PLTGU
Proses pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) memiliki ciri yang
khas dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit yang lain, yaitu dapat menjadi
proses pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) maupun dapat juga di kombinasi
(combine cycle) melalui sisa panas yang dihasilkan PLTG sehingga menjadi
pembangkit listrik tenaga uap (PLTGU). Dalam penelitian ini, proses ini berkaitan
28
dengan karyawan operasional yang bekerja di empat bagian pekerjaan, yaitu
operator dan maintanance gas turbine, operator dan maintanance steam turbine,
operator dan maintanance electrical dan operator dan maintanance water
osmosis. Karyawan operasional memiliki risiko kecelakaan yang tinggi karena
berhadapan langsung dengan bahan kimia, seperti gas, minyak dan uap. Berikut
ini akan dijelaskan proses pembangkit listrik secara garis besar:
a. Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)
PLTG sering disebut juga dengan sistem open cycle. Pada prosesnya, gas
buangan yang dihasilkan turbin gas setelah terjadi proses produksi listrik
langsung dibuang ke cerobong exhaust (jika closed cycle tidak dibuang). Gas
buangan yang dibuang oleh gas turbin tersebut bersuhu 500 oC – 540
oC.
Gambar 4. Proses Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)
Proses awal dari PLTG adalah mempersatukan bahan-bahan yang akan
digunakan sebagai bahan pembakaran, yaitu udara, bahan bakar dan api.
Ketiga elemen tersebut akan menghasilkan pembakaran yang sempurna.
Bahan bakar dipompa dan disalurkan bersama-sama dengan udara yang sudah
terlebih dahulu dihisap dari lingkungan sekitar menggunakan
tenaga starting motor crangking (Air Intake). Kemudian, air intake disaring
melalui air filter dan dihembuskan melalui Compressor yang akan bertemu
diruang pembakaran. Pada saat itu, elemen api dihasilkan dari percikan busi
yang terdapat dalam ruang pembakaran (combustion chambers).
Kemudian, uap yang dihasilkan dari ruang pembakaran (combustion
chambers) akan memutar turbin yang telah terhubung dengan generator. Pada
29
PLTG, proses ini sering disebut sebagai GTG (Gas Turbine Generator).
Setelah itu, generator akan membangkitkan listrik 11 kV dan akan dinaikkan
tegangannya oleh trafo menjadi 150 kV dan ditransmisikan ke jaringan.
Dalam hal ini, PLTGU PT. PDP mempunyai 3 GTG.
b. Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)
Gambar 5. Proses Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap
(PLTGU)
Suhu uap yang dihasilkan ketika open cycle adalah 500oC – 540
oC. Pada
PLTGU, energi tersebut masih dapat dimanfaatkan. Maka, uap yang
dihasilkan turbin gas pada proses open cycle tersebut tidak langsung dibuang
melalui cerobong exhaust, melainkan digunakan kembali dan dialirkan ke
HRSG (Heat Recovery Steam Generator). Setelah itu, uap tersebut akan
digunakan untuk memasak air dan uap yang dihasilkan melalui pemasakan air
tersebut akan memutar turbin yang telah terhubung dengan generator. Pada
PLTGU, proses ini sering disebut sebagai STG (Steam Turbine Generator).
Energi listrik yang dihasilkan akan ditransmisikan ke jaringan. Namun,
dalam menambah efisiensi uap yang dihasilkan turbin pada proses PLTGU,
akan diarahkan ke condensator (no.17) untuk diembunkan dan nantinya akan
menghasilkan air dengan kadar elektrolit yang rendah, lalu air tersebut akan
30
dialirkan ke daerator (no.18). Di dalam daerator, air tersebut akan
dihilangkan kadar oksigennya atau gas-gas terlarut lainnya. Hal ini
dikarenakan oksigen dan gas-gas terlarut lainya akan menimbulkan korosi
pada pipa-pipa. Setelah melalui daerator, air akan di tampung feed pump
(no.19) dan kemudian dialirkan ke pipa-pipa air HRSG kembali. Inilah yang
dinamakan proses close cycle. Daya keluaran PLTGU pada GTG dan STG
adalah 100 MW. Dalam hal ini, PLTGU PT. PDP mempunyai 1 STG.
II.D.2. KOMPONEN-KOMPONEN PLTGU DAN POTENSI RISIKONYA
Secara garis besar komponen-komponen yang terdapat pada PLTGU
adalah sebagai berikut :
1. Cranking Motor
Cranking motor merupakan alat yang berfungsi sebagai penggerak awal
saat turbin belum menghasilkan tenaga penggerak generator ataupun compressor.
Motor Cranking mendapatkan suplai listrik yang berasal dari jaringan tegangan
tinggi. Karyawan operasional pada bagian pekerjaan operator dan maintanance
electrical yang berhubungan dengan crangking motor memiliki risiko tersengat
aliran listrik tegangan tinggi karena harus melakukan pengecekan atau perbaikan
secara berkala sehingga dapat menyebabkan kecelakaan fatal.
2. Air Filter
Air Filter merupakan alat yang berfungsi untuk menyaring udara bebas
agar udara yang mengalir menuju ke compressor merupakan udara yang bersih.
Karyawan operasional yang berhubungan dengan air filter tidak memiliki risiko
terjadinya kecelakaan kerja karena tidak berbahaya.
31
3. Compressor
Compressor merupakan alat yang berfungsi untuk menghisap udara dari
luar, dengan terlebih dahulu melalui air filter. Compressor menghisap udara
atmosfer dan menaikkan tekanannya menjadi beberapa kali lipat (sampai 8 kali)
tekanan semula. Udara luar ini akan diubah menjadi udara atomizing yang
sebagian kecil digunakan untuk pembakaran dan sebagian besar digunakan untuk
pendingin turbin. Karyawan operasional yang berhubungan dengan compressor
akan berhadapan dengan kebisingan dari bunyi turbin dan risiko terpapar uap
panas yang dihasilkan oleh ruang pembakaran.
4. Combustion Chamber
Combustion chamber ( ruang pembakaran ) merupakan ruang yang
berfungsi sebagai tempat pembakaran bahan bakar dan udara atomizing. Gas
panas yang dihasilkan dari proses pembakaran di combustion chamber digunakan
sebagai penggerak turbin gas. Karyawan operasional yang berhubungan dengan
combustion chamber akan memiliki risiko terpapar uap panas, serta gas dan
minyak yang digunakan untuk melakukan pembakaran.
5. Gas Turbine
Gas turbine merupakan turbin yang berputar dengan menggunakan energi
gas panas yang dihasilkan dari combustion chamber. Hasil putaran dari turbin
inilah yang akan diubah oleh generator untuk menghasilkan listrik. Karyawan
operasional yang berhubungan dengan gas turbine akan memiliki risiko terpapar
hasil pembakaran dari gas dan minyak yang memiliki suhu 500oC – 540
oC, serta
turbin yang berputar.
6. Selector Valve
Selector valve merupakan katup yang berfungsi untuk mengatur gas
buangan dari turbin gas, yang nantinya akan ditentukan apakah harus dibuang
32
langsung ke udara ataukah akan dialirkan menuju ke HRSG. Karyawan
operasional yang berhubungan dengan selector valve akan memiliki risiko
terpapar gas buang dari gas turbine.
7. GTG (Gas Turbine Generator)
GTG merupakan generator yang berfungsi sebagai alat pembangkit listrik
dengan menggunakan tenaga putaran yang dihasilkan dari turbin gas. Pada
PLTGU, satu buah generator ini menghasilkan daya 100 MW. Karyawan
operasional melakukan kontrol secara rutin pada generator sehingga memiliki
risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan yang berasal dari gas dan uap
pembakaran akibat putaran turbin, serta hidrogen yang digunakan untuk
mendinginkan mesin.
8. Steam Turbine
Steam turbine (Turbin uap) merupakan turbin yang berputar dengan
menggunakan energi uap. Uap ini diperoleh dari penguapan air yang berasal dari
HRSG (Heat Recovery Steam Generator). Karyawan operasional yang
berhubungan dengan steam turbine akan memiliki risiko terpapar uap panas
dengan suhu 500oC – 540
oC.
9.STG (Steam Turbine Generator)
STG merupakan generator yang berfungsi sebagai alat pembangkit listrik
dengan menggunakan tenaga putaran yang diperoleh dari turbin uap. Tenaga
penggeraknya berasal dari uap kering yang dihasilkan oleh HRSG dengan putaran
3000 RPM, berpendingin hidrogen dan tegangan keluar 11,5 KV. Pada PLTGU,
satu buah generator ini menghasilkan daya kurang lebihnya sekitar 200 MW.
Karyawan operasional melakukan kontrol secara rutin pada generator sehingga
memiliki risiko kecelakaan dan gangguan kesehatan yang berasal dari uap kering
hasil generator dan hidrogen yang digunakan untuk mendinginkan mesin.
33
10. HRSG ( Heat Recovery Steam Generator )
HRSG merupakan alat yang berfungsi untuk memanfaatkan gas buang dari
turbin gas untuk memperoduksi uap air bertekanan. HSRG biasanya memiliki 1
blok Combine Cycle Power Plant dengan kapasitas 500 MW. Didalamnya terdiri
dari 3 x 100 MW turbin gas dan 1 x 200 MW turbin uap yang merupakan combine
cycle dari sisa gas buang dari GTG. 100 oC tergantung dari load gas turbin dan
ambien temperatur. HRSG ini didesain untuk beroperasi pada turbin gas dengan
pembakaran natural gas dan destilate oil. 514 oC (HSD) pada outlet flow gas.
Untuk masing-masing HRSG akan membangkitkan uap sebesar 194,29 ton/jam
total flow, pada inlet flow gas.
Komponen-komponen di atas memiliki risiko yang berbeda-beda bagi
karyawan operasional. Selain itu, komponen-komponen di atas memiliki fungsi
kerja yang sangat vital bagi kelangsungan proses kerja PLTGU. Jika salah satu
komponen di atas mengalami hambatan, maka seluruh komponen lain harus
berhenti bekerja karena seluruh prosesnya saling berkesinambungan. Dengan
demikian, kecelakaan kerja akibat perilaku berisiko karyawan operasional dapat
menyebabkan proses kerja seluruh PLTGU mengalami hambatan.
Selain itu, terdapat beberapa alat bantu yang berfungsi untuk menunjang
proses PLTGU, yaitu :
1. Alat -alat bantu pada Boiler
Boiler atau ketel uap adalah suatu alat yang digunakan untuk
memproduksi uap dengan tekanan dan temperatur tertentu. Uap yang dihasilkan
digunakan untuk menggerakkan turbin uap sehingga dari turbin uap tersebut akan
didapatkan energi mekanis. Selanjutnya, energi mekanis ini akan diubah menjadi
energi listrik didalam generator. Adapun boiler sendiri mempunyai alat-alat bantu
seperti berikut :
a. Economizer
Economizer merupakan alat yang digunakan untuk memanaskan air
pengisi ketel dengan media pemanas energi kalor yang terkandung didalam gas
34
bekas. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan air pengisi ketel yang suhunya
tidak jauh berbeda dengan air yang terdapat pada boiler drum, serta untuk
menaikkan efisiensi boiler.
b. Steam Drum
Steam drum merupakan alat yang digunakan untuk memisahkan bagian
air, uap basah dan uap kering karena didalam boiler terjadi pemanasan
bertingkat. Setiap unit boiler dilengkapi oleh sebuah steam drum dan dipasang
pada bagian atas dari boiler.
c. Super Heater.
Super heater merupakan alat untuk mendapatkan uap yang betul-betul
kering karena uap yang dihasilkan boiler drum ada yang masih berupa uap
basah. Uap basah yang berasal dari boiler drum perlu dipanaskan lagi
pada super heater sehingga uap kering yang dihasilkan naik ke steam drum dan
memutar turbin uap. Setiap boiler biasanya dilengkapi dengan dua buah
super heater yaitu primary dan secondary super heater yang dipasang pada
bagian atas dari ruang pembakaran (furnace).
d. Desuper Heater
Desuper heater merupakan spray water yang digunakan untuk mengatur
temperatur uap yang dialirkan ke turbin. Alat sudah dibuat sedemikian rupa
sehingga bila temperatur uap melebihi ketentuan, maka desuper heater ini akan
menyemprotkan air yang berasal dari discharge boiler feed pump sampai
temperaturnya normal kembali.
e. Soot Blower
Soot blower merupakan alat pembersih pipa di dalam boiler yang
digunakan untuk membersihkan sisa-sisa pembakaran yang menempel, dengan
media pembersih auxiliary steam.
35
f. Boiler Feed Pump (BFP)
Boiler feed pump merupakan pompa pengisi air boiler. Pompa tersebut
memompakan deaerator storage tank ke boiler.
2. Alat-alat bantu pada turbin
Secara garis besar terdapat alat-alat yang digunakan untuk menunjang
proses kerja pada turbin, yaitu :
a. Condensor
Condensor dibuat dari sejumlah pipa-pipa kecil yang mana air laut sebagai
media pendingin dapat mengalir melalui pipa-pipa tersebut. Sedangkan, uap
yang keluar dari turbin akan memasuki sela-sela pipa condensor sehingga
terjadilah perpindahan panas dari uap ke air laut yang selanjutnya akan terjadi
pengembunan dan kondensasi uap. Uap yang sudah berubah menjadi air
didalam condensor akan ditampung didalam hot well. Berikut ini merupakan
fungsi dari condensor, yaitu :
a. Untuk meningkatkan efisiensi turbin. Dengan mengusahakan vacuum
didalam condensor, uap bekas dari turbin akan segera dapat keluar dan
tidak memberikan reaksi tekanan terhadap putaran turbin.
b.Untuk mengembunkan uap bekas dari turbin dengan media pendingin air
laut yang mengalir melalui pipa-pipa kecil didalam condensor sehingga air
kondensasi tersebut dapat dijadikan sebagai air pengisi ketel.
b. Condensate Pump
Setelah air kondensasi terkumpul pada hot well, maka air tersebut
dipompakan oleh condensate pump ke daerator tank dengan melalui heater.
c. Low Pressure Heater
Low pressure heater merupakan alat untuk memanaskan air
condensate yang berasal dari hot well, sebelum dimasukkan daerator
tank. Konstruksi pemanasan ini terdiri dari pipa-pipa air yang dilalui oleh air
36
condensat dan pada bagian luarnya dipanasi dengan uap yang diambilkan
dari extraction steam dari turbin.
d. Auxiliary Cooling Water Pump
Auxiliary cooling water pump merupakan alat yang berfungsi untuk
mensirkulasikan air pendingin yang dibutuhkan untuk mendinginkan minyak
pelumas dan gas hydrogen. Air pendingin yang disirkulasikan pleh pompa ini
didinginkan lagi oleh air laut didalam auxillary cooling water heat exchanger.
e. High Pressure Heater
High pressure heater merupakan alat yang berfungsi untuk memanaskan
air pengisi ketel yang berasal dari deaerator storage tank, yang selanjutnya
akan dikirim ke ketel lewat economizer. Konstruksi alat ini terdiri dari pipa-
pipa air yang dilalui oleh air boiler feed dan bagian luarnya dipanasi dengan
uap.
f. Daerator
Daerator merupakan alat yang berfungsi untuk membuang O2 dan gas-
gas lain yang terkandung dalam air kondensat, selain itu juga berfungsi sebagai
pemanas air kondensat. Alat ini dikonstruksikan dari tray-tray yang berlapis-
lapis sehingga memungkinkan untuk membuat partikel-partikel air condensate
yang dimasukkannya. Dengan adanya air kondensat yang sudah menjadi
partikel-partikel tersebut serta adanya uap ekstraksi yang disemprotkan, maka
akan memungkinkan O2 dan gas-gas lainnya yang terkandung didalamnya
akan terlepas dan dibuang ke atmosfir.
g. Air Ejector
Air ejector merupakan alat yang dikonstruksikan dari sebuah nozzle
sehingga bila dialiri uap akan dapat menarik udara dan gas-gas yang tidak
dapat mengembun didalam condensor sehingga condensor akan
menjadi vacuum. Dengan demikian dapat menaikkan efisiensi dari turbin.
37
Alat ini ada dua macam yaitu :
a. Primming Ejector
Primming ejector digunakan pada saat start up, kemudian bila
kemampuannya sudah mencapai batas maka penarikan vacuum dilakukan
oleh alat lain.
b. Air Ejector
Air ejector digunakan untuk menarik kevakuman setelah melalui
alat primming ejector.
II.D.3. RISIKO YANG DIHADAPI PERUSAHAAN
Dari segi masyarakat, perilaku berisiko para karyawan operasional dapat
menyebabkan kecelakaan kerja. Jika kecelakaan kerja terjadi, maka otomatis akan
mempengaruhi waktu dan proses produksi dari pembangkit listrik. Jika produksi
listrik mengalami penurunan atau keterlambatan, maka aliran listrik yang
didistribusikan ke kota Palembang akan berkurang sehingga pasokan listrik
berada dibawah standar kebutuhan. Jika pasokan listrik dibawah standar
kebutuhan, maka akan timbul upaya pemadaman listrik secara berkala atau
bergantian sehingga akan menghambat segala aktifitas masyarakat kota
Palembang.
Dari segi perusahaan, perilaku berisiko para karyawan opersional yang
menyebabkan kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi
perusahaan. Menurut Smith (2011), kerugian dapat dibagi menjadi dua, yaitu
direct loss (kerugian langsung) dan indirect loss (kerugian tidak langsung). Direct
loss adalah kerugian yang timbul secara alami akibat dari pelanggaran itu sendiri.
Contohnya, kematian atau cedera yang diderita oleh karyawan operasional karena
tidak menggunakan alat pelindung diri. Sedangkan indirect loss adalah kerugian
yang diperoleh secara tidak langsung akibat dari kerugian langsung atau
konsekuensi dari pelanggaran yang telah terjadi sebelumnya. Contohnya, akibat
adanya pekerja yang mengalami kematian atau cedera, maka perusahaan harus
menghentikan proses produksi. Perusahaan harus menjalani investigasi
38
kecelakaan yang menyebabkan lapangan kerja tidak dapat beroperasi karena
digunakan sebagai TKP (tempat kejadian perkara). Jika perusahaan harus
menghentikan proses produksinya, maka perusahaan akan menderita kerugian
akibat keterlambatan atau berhentinya produksi pasokan listrik ke kota
Palembang.
II.E. HIPOTESIS PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan hipotesis statistik sebagai
berikut:
H0 : Tidak ada hubungan antara perilaku berisiko(X) dan produktivitas (Y)
karyawan operasional PLTGU PT.PDP.
Ha : Ada hubungan antara perilaku berisiko(X) dan produktivitas (Y)
karyawan operasional PLTGU PT.PDP.
II.F. KERANGKA PENELITIAN
Kerangka penelitian ini dibuat berdasarkan konsep keselamatan dan
kesehatan kerja, yang merupakan pemikiran tentang segala upaya untuk
mencegah, mengurangi dan menanggulangi terjadinya kecelakaan. Keselamatan
dan kesehatan kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah
perilaku berisiko. Berdasarkan teori milik Jens Rasmussen (2000), dikatakan
bahwa perilaku karyawan ketika dihadapkan pada mesin terdiri dari tiga
kerangka kerja, yaitu skills (kemampuan/keterampilan), rules (aturan) dan
knowledge (pengetahuan). Selain itu, dalam penelitian milik Heinrich (1931),
dikatakan bahwa perilaku berisiko atau perilaku yang berbahaya dapat
mempengaruhi produktivitas dari karyawan, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi produktivitas dari perusahaan. Penelitian ini akan membahas
hubungan antara perilaku berisiko dan produktivitas karyawan operasional
berdasarkan konteks keselamatan dan kesehatan kerja.
39
Gambar 6. Kerangka Penelitian
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Konsep yang mendasari pengendalian bahaya dengan upaya mencegah,
mengurangi dan menanggulangi risiko kecelakaan di tempat kerja.
PERILAKU BERISIKO
Salah satu faktor yang
sangat berpengaruh
terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja pada
karyawan operasional
SKILLS, RULES, AND
KNOWLEDGES BASED
BEHAVIOR
Menggambarkan tiga tipe perilaku
berisikokaryawan operasional yang
berbeda saat berinteraksi dengan
mesin, yaitu skills based behavior,
rules based behavior dan
knowledges based behavior.
PRODUKTIVITAS DALAM
KONTEKS K3
Kecelakaan kerja akibat
perilaku berisiko akan
mempengaruhi produktivitas
karyawan sehingga pada
akhirnya akan mempengaruhi
produktivitas perusahaan.
Tinggi Rendah
40
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perilaku
berisiko dan produktivitas karyawan operasional. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode kuantitatif, yaitu salah satu jenis metode penelitian yang
sistematis, terencana dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan
desain penelitiannya. Menurut Sugiyono (2012), metode kuantitatif dapat
diartikan sebagai metode yang berlandaskan pada filsafat positivisme yang akan
digunakan untuk meneliti populasi atau sampel. Metode kuantitatif digunakan
untuk menguji sejumlah hipotesis penelitian. Peneliti ingin mendapatkan data
yang akurat berdasarkan fenomena yang empiris dan dapat diukur. Penggunaan
pendekatan kuantitatif juga mempertimbangkan sifat umum penelitian kuantitatif,
antara lain : (a) kejelasan unsur : tujuan, subjek, sumber data dan perincian sejak
awal, (b) dapat menggunakan sampel atau seluruh populasi, (c) kejelasan desain
penelitian, serta (d) kejelasan analisis data yang dilakukan setelah semua data
terkumpul (Arikunto, 2006).
Selain itu, ditinjau dari tujuan dilakukannya penelitian, penelitian ini
termasuk dalam penelitian korelasional, yaitu untuk mengetahui hubungan antara
dua atau lebih variabel (Kumar, 2005). Dalam penelitian ini, peneliti akan
menguji hubungan antara dua variabel, yaitu perilaku berisiko dan produktivitas.
III.B. VARIABEL PENELITIAN
III.B.1. DEFINISI KONSEPTUAL VARIABEL
III.B.1.a DEFINISI KONSEPTUAL PERILAKU BERISIKO
Variabel pertama dalam penelitian ini adalah perilaku berisiko. Perilaku
berisiko adalah perilaku yang memiliki potensi menempatkan seseorang dalam
41
suatu situasi yang membahayakan atau risiko yang signifikan menimbulkan
bahaya sehingga menghambat atau menghalangi dirinya untuk mencapai potensi
yang diharapkan.
Selain itu, peneliti mengambil domain untuk perilaku berisiko
menggunakan teori skills, rules, knowledges milik Jens Rasmussen (2000) yang
mengatakan bahwa perilaku manusia dapat dibagi menjadi tiga kerangka kerja,
yaitu skills based behavior, rules based behavior dan knowledges based behavior.
Domain pertama adalah skills based behavior. Skills based behavior
adalah perilaku individu yang sudah menjadi rutinitas dan secara otomatis
mengambil langkah antisipasi dengan cepat terhadap suatu kondisi teknis yang
cenderung rutin dan berulang (bdk. Rasmussen,2000).
Domain kedua adalah rules based behavior. Rules based behavior adalah
perilaku individu yang muncul ketika diharuskan untuk mengikuti suatu peraturan
dan prosedur formal atau informal sehingga dihadapkan pada suatu pilihan solusi
terhadap kondisi teknis yang ada dengan menggunakan aturan “if-then” untuk
memprioritaskan solusi terbaik (bdk. Rasmussen,2000).
Domain ketiga adalah knowledges based behavior. Knowledges based
behavior adalah perilaku individu yang muncul ketika menemui situasi dan
kondisi baru atau berbeda dari pengalaman sebelumnya sehingga membutuhkan
perumusan baru dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk
mendapatkan solusinya (bdk. Rasmussen,2000).
III.B.1.b DEFINISI KONSEPTUAL PRODUKTIVITAS KERJA
Variabel kedua dalam penelitian ini adalah produktivitas kerja.
Produktivitas kerja adalah implementasi yang efektif dari manajemen kesehatan
dan keselamatan kerja yang berasosiasi dengan menurunnya biaya kompensasi
pekerja (worker compensation payments), biaya kesehatan (medical expenses) dan
kehilangan atau kerugian produksi (loss productivity) [Safety Index Workplace ,
2012 dalam United States Department of Labor]. Definisi produktivitas menurut
Safety Index Workplace (2012) merupakan teori yang dijadikan landasan alat ukur
42
produktivitas milik PT. PDP. Dengan demikian, definisi produktivitas penelitian
ini akan mengikuti teori yang digunakan oleh PT. PDP.
III.B.2. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
Mendefinisikan variabel secara operasional merupakan tindakan
menerjemahkan sebuah konsep mengenai variabel-variabel penelitian secara
konkret ke dalam bentuk indikator suatu perilaku (Azwar, 2007). Definisi
operasional dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
III.B.2.a DEFINISI OPERASIONAL PERILAKU BERISIKO
Perilaku berisiko adalah suatu perilaku karyawan operasional yang
berpotensi menimbulkan risiko kecelakaan yang signifikan sehingga ia berada
dalam situasi dan kondisi berbahaya untuk melakukan atau melanjutkan
pekerjaannya.
Skills based behavior adalah frekuensi perilaku yang dilakukan karyawan
operasional di PLTGU PT. PDP dalam melakukan kontrol atau penanganan pada
rutinitas pekerjaan yang sudah familier berdasarkan kemampuan yang telah
dimilikinya.
Rules based behavior adalah frekuensi perilaku yang dilakukan karyawan
operasional di PLTGU PT. PDP dalam mentaati prosedur penggunaan alat
pelindung diri (APD) dan menjalankan proses kerja berdasarkan standar
operasional (SOP) yang diberlakukan oleh perusahaan.
Knowledges based behavior adalah frekuensi perilaku yang dilakukan
karyawan operasional di PLTGU PT. PDP dalam mencari informasi atau
melakukan antisipasi dan pemecahan masalah ketika dihadapkan pada situasi
yang tidak lazim dengan pengalaman, pengetahuan dan aturan atau prosedur yang
berlaku.
43
III.B.2.b DEFINISI OPERASIONAL PRODUKTIVITAS
Produktivitas didefinisikan sebagai skor yang diperoleh karyawan
operasional dari alat ukur produktivitas milik PT. PDP. Produktivitas memiliki
korelasi negatif dengan perilaku berisiko sehingga semakin tinggi skor subjek
pada alat ukur perilaku berisiko, maka produktivitas akan semakin rendah.
III.C. POPULASI PENELITIAN
Peneliti akan menggunakan seluruh populasi karyawan operasional di
PLTGU PT. PDP, Palembang, Sumatera Selatan sebagai subjek penelitian. Oleh
karena melibatkan seluruh populasi, maka peneliti tidak menggunakan teknik
pengambilan sampel. Hal ini dilakukan karena anggota populasi hanya berjumlah
84 orang karyawan operasional.
III.C.1. KARAKTERISTIK POPULASI
Peneliti menetapkan subjek penelitian ini adalah karyawan operasional
yang sedang bekerja aktif pada empat unit, yaitu operator dan maintanance gas
turbine, operator dan maintanance steam turbine, operator dan maintanance
electrical, operator dan maintanance water system (cooling system dan osmosis).
Peneliti memilih keempat unit tersebut karena memiliki potensi bahaya paling
tinggi dan berhadapan langsung dengan mesin-mesin, bahan-bahan kimia dan
listrik.
III.D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Peneliti mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian
dengan menggunakan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer
yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh organisasi atau perorangan
langsung dari objeknya. Data primer ini diperoleh melalui penyebaran kuesioner
44
mengenai masalah yang diteliti, yang telah disusun oleh peneliti, kemudian diisi
oleh responden. Sedangkan, data sekunder yaitu data yang telah diolah lebih
lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain. Data
sekunder ini diperoleh dari dokumen perusahaan yang didalamnya terdapat data
produktivitas karyawan operasional, data keselamatan dan kesehatan kerja, dan
sebagainya.
III.E. INSTRUMEN PENELITIAN
Kuesioner yang diberikan kepada subjek penelitian terdiri dari :
1. Lembar Informed Concent, yang berisi tentang tujuan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti dan kesediaan subjek mengikuti penelitian.
2. Lembar data subjek penelitian, yang berisi tentang data subjek. Data tersebut
antara lain : Nama subjek (inisial), usia, lama bekerja dan bagian pekerjaan.
3. Lembar kuesioner yang terdiri dari kuesioner mengenai perilaku berisiko
III.E.1. ALAT UKUR PERILAKU BERISIKO
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur perilaku
berisiko dari karyawan operasional PLTGU PT.PDP, yang disusun sendiri oleh
peneliti berdasarkan teori Skills, Rules and Knowledges (SRK), dimana terdapat
tiga aspek yang diukur, yaitu skills based behavior (kemampuan), rules based
behavior (aturan), dan knowledge based behavior (pengetahuan).
Kuesioner yang disusun oleh peneliti telah melalui proses expert
judgement dari dua orang pengajar (Ibu Lidia Laksana Hidajat, Dr, Psi ,MPH dan
Bapak Utama Sandjaja, PhD, Broh) di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, serta
telah dilakukan uji keterbacaan, dihasilkanlah 61 buah item pernyataan. Berikut
ini blue-print skala perilaku berisiko yang digunakan dalam penelitian :
45
Tabel 1. Blue-print Alat Ukur Perilaku Berisiko
No Domain Behavior Item Jumlah
Favorable Unfavorable 1 Skill-based
behavior 1*, 2*, 3*, 4, 6, 7, 8*,
10, 11, 12, 13, 14*,
15, 16*, 17*, 18*,
19*, 20*, 21*,50*,61*
5, 9, 22, 51*,52*
,53*, 55*, 56* 29
2 Rule-based
behavior 23*, 27, 29, 32*, 33*,
36, 37*, 38*, 39* 24, 25*, 26*, 28,
30*, 31* ,34*, 35* 17
3 Knowledge-based
behavior 40, 41*, 42*, 43*, 44,
45*, 47*, 48*, 59, 60* 46, 49*, 54, 57*,
58* 15
Jumlah 40 21 61
(*) = item sahih setelah ujicoba dengan validitas antara 0,312 - 0,788
Skala perilaku berisiko ini disusun sedemikian rupa berdasarkan tingkat
kepentingan penelitian. Pengukuran indikator variabel penelitian ini akan
menggunakan skala Likert, yaitu dengan menyusun pernyataan atau pertanyaan
yang masing-masing item diberi range skor dan digunakan untuk mengukur
perilaku para karyawan operasional. Skala Likert yang akan digunakan oleh
peneliti memiliki enam alternatif jawaban sebagai berikut :
Tabel 2. Skala Perilaku Berisiko
No Skala Skor
1 Hampir Tidak Pernah 1
2 Jarang 2
3 Kadang-kadang 3
4 Cukup Sering 4
5 Sering 5
6 Hampir Selalu 6
Peneliti menggunakan enam alternatif jawaban karena ingin mengantisipasi
jawaban responden yang in-between (jawaban tengah).
46
Pola dasar pengukuran dalam skala ini adalah metode summated rating.
Setiap item favorable maupun unfavorable terdiri dari 6 alternatif jawaban.
Sistematika pemberian skor untuk item favorable adalah skor 6 untuk jawaban
Hampir Selalu (HS), 5 untuk jawaban Sering (S), 4 untuk jawaban Cukup Sering
(CS), 3 untuk jawaban Kadang-kadang (KK), 2 untuk jawaban Jarang (J) dan 1
untuk jawaban Hampir Tidak Pernah (HTP). Pemberian skor pada item
unfavorable adalah skor 1 untuk jawaban Hampir Selalu (HS), 2 untuk jawaban
Sering (S), 3 untuk jawaban Cukup Sering (CS), 4 untuk jawaban Kadang-kadang
(KK), 5 untuk jawaban Jarang (J) dan 6 untuk jawaban Hampir Tidak Pernah
(HTP).
Semakin tinggi skor total yang diperoleh dari skala perilaku berisiko maka
menunjukkan tingkat keselamatan bekerja yang semakin rendah, sebaliknya
semakin rendah skor total yang diperoleh dari skala perilaku berisiko maka
tingkat keselamatan bekerja semakin tinggi.
III.E.2. PRODUKTIVITAS
Pada penelitian ini, data produktivitas diperoleh dari hasil pengukuran alat
ukur produktivitas yang dikeluarkan oleh PT. PDP. Data tersebut berisi hasil
produktivitas kerja setiap karyawan operasional selama satu tahun operasional.
Sedangkan, cara pengukuran dan penilaian dari alat ukur produktivitas tersebut
tidak diberitahukan pada peneliti untuk menjaga kerahasiaan perusahaan.
III.E.3. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR
Alat ukur yang valid dan reliabel diperlukan dalam setiap usaha
mengungkap aspek-aspek atau variabel-variabel yang ingin diteliti agar
kesimpulan penelitian nantinya tidak keliru dan tidak memberikan gambaran yang
jauh berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Menurut Azwar (2010), masalah
validitas berkenaan dengan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur
dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukur dapat dikatakan
47
memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya,
atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya
pengukuran tersebut. Sementara itu, konsep reliabilitas mengacu pada sejauh
mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2010). Hasil pengukuran
dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran
terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama
aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah.
III.E.3.a UJI VALIDITAS
Uji validitas digunakan untuk memastikan bahwa konstruk yang ingin
diukur benar-benar terukur dan melihat seberapa baik alat ukur itu mengukur
konstruk tersebut. Pengujian validitas pada alat ukur penelitian ini menggunakan
content validity, yaitu uji keterbacaan dan penyesuaian konten dari expert
judgement. Setelah itu, dilakukan construct validity dengan teknik internal
consistency, yaitu mengkorelasikan skor setiap item dengan skor total dari alat
ukur yang digunakan. Rumus yang digunakan untuk menguji validitas item adalah
𝒓𝒙𝒚 = 𝒏𝒑(𝜮𝒙𝒚) − (𝜮𝒙)(𝜮𝒚)
[𝒏𝒑(𝜮𝒙𝟐) − (𝜮𝒙)𝟐][𝒏𝒑(𝜮𝒚𝟐) − (𝜮𝒚)𝟐]
rxy = koefisien korelasi Pearson antara item dengan skor total
n = jumlah subjek penelitian
∑x = jumlah skor subjek dalam suatu item
∑y = jumlah skor total subjek
∑xy = jumlah total dari perkalian skor subjek dalam suatu item dengan skor
total subjek
(∑x)2 = jumlah kuadrat dari skor subjek dalam suatu item
(∑y)2 = jumlah kuadrat dari skor total subjek
Validitas item dapat dilihat dari corrected item-total correlation yang dimiliki
oleh masing-masing item di dalam alat ukur. Kriteria yang menyatakan valid
48
adalah apabila nilai r lebih besar dari 0.3 (Azwar, 2007). Berdasarkan hasil
perhitungan validitas, terdapat 40 item pada kuesioner perilaku berisiko
dinyatakan valid karena memiliki validitas antara 0,312 - 0,788 sehingga dapat
digunakan untuk kuesioner penelitian.
III.E.3.b. UJI RELIABILITAS
Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat
ukur dalam mengukur gejala yang sama. Setiap alat ukur seharusnya memiliki
kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten, yaitu skor
individu akan konsisten jika diukur dengan alat ukur yang sama pada waktu yang
berbeda dan diukur dengan alat ukur berbeda namun memiliki item yang setara.
Untuk menguji apakah alat ukur ini dapat dipercaya, maka pengujian
reliabilitas dalam alat ukur ini menggunakan pendekatan Cronbach’s Alpha
Coeficient, yaitu koefisien reliabilitas yang menunjukkan bagaimana suatu item
berhubungan positif dengan item lainnya, yang diukur berdasarkan skor murni
dari 0 – 1. Semakin mendekati 1, maka reliabilitas skala yang diukur menjadi
semakin tinggi.
𝜶 = 𝒌
𝒌 − 𝟏 (𝟏 −
𝜮𝝈𝒊𝟐
𝝈𝒙𝟐
)
α = koefisien cronbach’s alpha
k = jumlah item
𝝈𝒊𝟐 = varians skor item
𝝈𝒙𝟐 = varians skor total
Secara teknis, pengujian konsistensi item ini dilakukan dengan
menghitung koefisien korelasi antara skor pada item yang bersangkutan dengan
skor total tes. Berikut ini adalah hasil uji reliabilitas alat ukur perilaku berisiko :
Tabel 3. Hasil Uji Reliabilitas
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.930 40
49
Berdasarkan hasil uji reliabilitas di atas, dapat disimpulkan bahwa alat ukur
perilaku berisiko ini reliabel untuk mengukur konstruk.
III.F. METODE ANALISIS DATA
Setelah data penelitian dikumpulkan, peneliti akan melakukan langkah-
langkah berikut ini, yaitu :
1. Pemeriksaan data
Sebelum data diolah, data tersebut akan diperiksa kelengkapannya terlebih
dahulu. Setelah itu, peneliti melihat apakah kuesioner yang terkumpul sudah layak
untuk diolah lebih lanjut.
2. Skoring
Setelah diperiksa kelengkapannya, maka peneliti melanjutkan pemberian
skor sesuai dengan skala Likert yang digunakan dalam alat ukur.
3. Tabel Distribusi Frekuensi
Setelah pemberian skor, peneliti akan memasukkan data yang ada kedalam
tabel distribusi frekuensi agar memudahkan untuk dilakukan analisis.
III.F.1 ANALISIS NILAI RATA-RATA
Analisis nilai rata-rata (Mean Score dan Overall Mean Score) akan
memberikan gambaran mengenai perilaku berisiko. Rumus yang digunakan
adalah (Anas, 2006, h.84):
𝑴𝒆𝒂𝒏 𝑺𝒄𝒐𝒓𝒆 = 𝜮(𝒃𝒐𝒃𝒐𝒕 𝒔𝒌𝒐𝒓 𝒙 𝒇𝒓𝒆𝒌𝒖𝒆𝒏𝒔𝒊 𝒋𝒂𝒘𝒂𝒃𝒂𝒏)
𝜮𝒔𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝒓𝒆𝒔𝒑𝒐𝒏𝒅𝒆𝒏
𝑶𝒗𝒆𝒓𝒂𝒍𝒍 𝑴𝒆𝒂𝒏 𝑺𝒄𝒐𝒓𝒆 =𝜮𝑴𝑺𝟏 + 𝜮𝑴𝑺𝟐 + ⋯ + 𝜮𝑴𝑺𝒏
𝜮𝑴𝑺
50
Setelah diperoleh nilai rata-rata perilaku berisiko, maka digolongkan ke
dalam interval kelas. Skala interval kelas dapat dihitng dengan menggunakan
rumus berikut:
Keterangan:
H = Nilai tertinggi dalam skala Likert
L = Nilai terendah dalam skala Likert
k = Banyaknya tingkatan dalam skala Likert
Dengan menggunakan rumus tersebut, maka skala intervalnya adalah:
𝒊 = 𝟔 − 𝟏
𝟔= 𝟎. 𝟖𝟑
Setelah diketahui rentang interval, maka dapat dibentuk kelas interval
yang dapat digunakan untuk menggolongkan tingkatan perilaku berisiko
karyawan operasional.
Tabel 4. Skala Interval Kelas
Skala Interval Kelas Perilaku Berisiko
1,00 – 1,83 Hampir Tidak Pernah
1,84 – 2,66 Jarang
2,67 – 3,49 Kadang-kadang
3,50 – 4,32 Cukup Sering
4,33 – 5,16 Sering
5,17 – 6,00 Hampir Selalu
III.F.2. UJI HIPOTESIS
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara perilaku berisiko
dengan produktivitas karyawan operasional secara signifikan atau tidak, maka
dilakukan uji hipotesis. Pengujian ini menggunakan metode two-tailed dengan
taraf signifikansi alpha level sebesar 5% (α = 0,05), yang artinya peneliti hanya
melihat 5 kemungkinan dalam 100 kesempatan untuk melakukan kesalahan
51
dengan menolak H0 ketika sesungguhnya H0 itu benar (Gravetter & Wallnau,
2009). Dalam penelitian ini, penulis merumuskan hipotesis statistik sebagai
berikut:
H0 : Tidak ada hubungan antara perilaku berisiko(X) dan produktivitas (Y)
karyawan operasional PLTGU PT.PDP.
Ha : Ada hubungan antara perilaku berisiko(X) dan produktivitas (Y)
karyawan operasional PLTGU PT.PDP.
Pengujian hipotesis juga dapat dilakukan dengan cara membandingkan p value
(Sig.) dengan standard error (α) yang dalam penelitian ini ditetapkan sebesar 5%.
Kriteria pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Jika p value (Sig.) ≤ α, maka H0 ditolak dan Ha diterima
Jika p value (Sig.) > α, maka H0 diterima dan Ha ditolak
III.F.3. ANALISIS KOEFISIEN KORELASI (r)
Analisis koefisien korelasi bertujuan untuk mengetahui tingkat hubungan
antara variabel perilaku berisiko (X) dan variabel produktivitas (Y). Koefisien
korelasi dihitung dengan menggunakan metode Pearson Product Moment
Correlation, dengan rumus:
𝒓 = 𝑵 𝜮 𝒙𝒚 − (𝜮 𝒙)(𝜮 𝒚)
√𝑵 𝜮 𝒙𝟐 − (𝜮 𝒙)𝟐 √𝑵 𝜮 𝒚𝟐 − (𝜮 𝒚)𝟐
Keterangan:
r = koefisien korelasi
N = jumlah sampel
x = variabel X (perilaku berisiko)
y = variabel Y (produktivitas)
Besar nilai korelasi (r) akan terletak antara -1 ≤ r ≤ 1. Terdapat tiga macam
korelasi yang mungkin terjadi, yaitu : (Gravetter & Wallnau, 2009)
1. Korelasi positif (r > 0)
Artinya terdapat hubungan yang sangat kuat dan positif antara variabel X dan
Y.
52
2. Tidak ada korelasi (r = 0)
Artinya hubungan sangat lemah atau tidak hubungan antara variabel X dan Y.
3. Korelasi negatif (r < 0)
Artinya terdapat hubungan yang sangat kuat dan negatif antara variabel X dan
Y.
Setelah besar nilai korelasi diperoleh, maka nilai tersebut dapat
diinterpretasikan sesuai dengan interpretasi koefisien korelasi pada tabel 10.
Tabel 5. Interpretasi Koefisien Korelasi (Sinaga, 2012)
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0.80 - 1.00 Korelasi sangat tinggi/kuat
0.60 - 0.79 Korelasi tinggi/kuat
0.40 - 0.59 Korelasi sedang
0.20 - 0.39 Korelasi rendah/lemah
0.01 - 0.19 Korelasi sangat rendah/lemah
III.G. PROSEDUR PENELITIAN
III.G.1 PERSIAPAN
Sebelum penelitian dilakukan, peneliti terlebih dahulu melakukan studi
kepustakaan dan merumuskan masalah penelitian, kerangka berpikir dan landasan
teori yang digunakan. Setelah itu, peneliti mengidentifikasi variabel-variabel
penelitian sehingga mendapatkan suatu konstruk, definisi operasional dan
indikator. Kemudian, peneliti membuat perencanaan desain penelitian, metode
penelitian, serta perhitungan statistik yang akan digunakan untuk mengolah data.
Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti.
Alat ukur ini telah melalui content validity (uji keterbacaan dan kesesuaian konten
oleh expert judgement) dan construct validity (dengan menggunakan internal
consistency).
Dalam persiapan di lapangan, sebelum menyusun alat ukur, peneliti
meminta izin untuk melakukan survei lokasi pada tempat try out di PT. GL dan
penelitian di PT. PDP. Peneliti berhasil mendapatkan izin untuk melakukan
53
observasi secara langsung dan spesifik di beberapa tempat khusus (hanya
karyawan yang boleh masuk). Pada observasi tersebut, peneliti dapat mengamati
berbagai macam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan operasional.
Selama survei lokasi, peneliti ditemani berkeliling oleh dua orang staf dari
masing-masing perusahaan sehingga survei lokasi berjalan dengan lancar.
Setelah pembuatan alat ukur selesai, peneliti mempersiapkan surat izin
dari PT. MGK (perusahaan induk) untuk melakukan pengambilan data try out di
PT. GL maupun data penelitian di PT. PDP. Perusahaan memberikan waktu tiga
hari untuk pengambilan data di lapangan pada masing-masing lokasi. Selain itu,
peneliti juga mendapatkan izin keluar masuk daerah pembangkit listrik selama
jam operasional (08.00 – 16.00) sehingga memudahkan peneliti dalam mengambil
data.
III.G.2. PELAKSANAAN
III.G.2.a UJI COBA ALAT UKUR
Uji coba alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
menyebarkan kuesioner kepada 40 karyawan operasional yang sesuai dengan
karakteristik yang dibutuhkan dalam penelitian. Pengambilan data untuk uji coba
dilaksanakan di PLTGU PT. GL, Lahat, Sumatera Selatan. PLTGU Uji coba skala
perilaku berisiko dilakukan selama tiga hari, yaitu pada hari Kamis, 24 Juli 2014
sampai dengan Sabtu, 26 Juli 2014. Peneliti membutuhkan waktu 3 hari supaya
dapat bertemu dengan karyawan operasional dari tiga macam shift. Selain itu, ada
18 orang subjek penelitian yang diberikan waktu dua hari untuk mengisi skala
tersebut mengingat tidak memungkinkan untuk diisi dalam satu kurun waktu.
Sedangkan, sebanyak 22 orang lainnya langsung mengisi dan mengembalikan
skala pengukuran pada hari yang sama. Oleh karena kota Lahat berada di tempat
yang cukup terpencil, maka peneliti setidaknya membutuhkan waktu 6 jam
perjalanan pulang pergi antara kota Palembang dan kota Lahat dalam menuju PT.
GL. Hal ini menyebabkan peneliti kehilangan banyak waktu dan membatasi
54
pertemuan dengan peneliti dan beberapa karyawan operasional saat berada di
lapangan.
Kuesioner yang dapat dipakai untuk olah data berjumlah 32 kuesioner. Hal
ini dikarenakan ada 1 orang yang belum selesai mengisi kuesioner saat
pengembalian, 3 orang lupa membawa kuesioner saat pengembalian, 1 orang
pergi tugas keluar saat pengembalian dan 3 orang mengembalikan kuesioner,
tetapi tidak terisi penuh. Jumlah kuesioner yang tidak dapat digunakan berjumlah
8 lembar kuesioner. Data yang diperoleh dalam try out ini kemudian diolah secara
statistik menggunakan SPSS untuk uji validitas dan reliabilitas.
III.G.2.b PELAKSANAAN PENELITIAN
Setelah validitas dan reliabilitas kuesioner teruji, peneliti kembali
melakukan penyebaran kuesioner kepada seluruh populasi karyawan operasional
yang berjumlah 84 orang dan sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan dalam
penelitian. Pengambilan data untuk penelitian dilaksanakan di PLTGU PT.PDP,
Palembang, Sumatera Selatan. Pengambilan data di PT. PDP memakai prosedur
yang hampir serupa dengan try out di PT. GL karena keduanya memiliki standar
prosedur yang sama.
Peneliti mendapat izin untuk pengambilan data selama tiga hari agar dapat
bertemu dengan karyawan operasional di tiga shift kerja. Peneliti mendapatkan
pembelajaran dari cara pembagian kuesioner saat try out, dimana cukup banyak
kuesioner yang tidak kembali. Oleh karena itu, peneliti mengusahakan agar
kuesioner yang dibagikan dapat diisi dan dikembalikan pada hari yang sama. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan lupa, tugas keluar, dan sebagainya.
Meskipun demikian, peneliti tetap memberikan toleransi pengembalian kuesioner
selama dua hari kepada 14 karyawan operasional karena memang tidak
memungkinkan untuk dikembalikan pada hari yang sama. Selain itu, ada 8 orang
karyawan operasional yang hingga hari ketiga tidak dapat ditemui sehingga
membuat peneliti tidak dapat membagikan kuesioner kepada seluruh anggota
populasi.
55
Peneliti berhasil mengumpulkan 76 kuesioner dari 84 populasi karyawan
operasional yang ada. Sebanyak 8 orang karyawan operasional tidak dapat
ditemui karena berbagai sebab, seperti sakit, absen, cuti dan tugas dinas.
Sedangkan dari 76 kuesioner yang terkumpul, terdapat 2 kuesioner yang tidak
dapat digunakan untuk olah data karena 1 orang tidak mengisi secara lengkap dan
1 orang lupa membawa saat hari pengembalian. Jadi, terdapat 74 kuesioner yang
dapat digunakan untuk olah data. Melalui data tersebut, peneliti melakukan
analisis dan interpretasi data berdasarkan hasil statistik, kemudian menyusun hasil
penelitian dan kesimpulan.
56
BAB IV
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
IV.A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan 74 karyawan operasional dari 84 orang total
seluruh populasi. Karyawan operasional di Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan
Uap (PLTGU) PT. PDP terbagi dalam empat unit, yaitu: operator dan
maintenance gas turbine, operator dan maintenance steam turbine, operator dan
maintenance electrical, operator dan maintenance water system (cooling system
dan osmosis).
Tabel 6. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia
Usia Jumlah
Subjek
Prosentase
< 25 tahun 8 10,8 %
25 – 35 tahun 43 58,2 %
36 – 50 tahun 18 24,3 %
> 50 tahun 5 6,7 %
Total 74 100.00 %
Berdasarkan data di atas, mayoritas subjek berada pada usia 25 - 35 tahun,
yaitu sebanyak 43 orang atau 58,2 % populasi. Kemudian, subjek dengan usia 36 -
50 tahun merupakan jumlah terbesar kedua, yaitu sebanyak 18 orang atau 24,3 %
populasi. Sedangkan, subjek dengan usia < 25 tahun dan usia > 50 tahun tidak
memiliki jumlah yang terlalu besar.
Peneliti memprediksi bahwa faktor usia pada mayoritas subjek penelitian
ada kemungkinan mendukung terjadinya perilaku berisiko. Berkaitan dengan
faktor internal yang dimiliki, seperti motivasi dan keberanian pada golongan usia
tersebut dapat menjadi salah satu aspek yang mendorong perilaku berisiko.
57
Tabel 7. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lama Bekerja
Lama Bekerja Jumlah
subjek Prosentase
< 6 bulan 8 10,8 %
06 – 12 bulan 6 8,2 %
1 – 3 tahun 10 13,5 %
3 – 5 tahun 16 21,6 %
> 5 tahun 34 45,9 %
Total 74 100.00%
Berdasarkan data di atas, mayoritas subjek memiliki lama bekerja lebih
dari 5 tahun, yaitu sebanyak 34 orang atau 45,9 % populasi. Kemudian, subjek
dengan lama bekerja 3 – 5 tahun merupakan jumlah terbesar kedua, yaitu
sebanyak 16 orang atau 21,6 % populasi. Sedangkan, subjek dengan lama bekerja
< 6 bulan, 6 – 12 bulan dan 1 – 3 tahun tidak memiliki jumlah yang terlalu besar.
Peneliti memprediksi bahwa lama bekerja pada mayoritas subjek
penelitian ada kemungkinan mendukung terjadinya perilaku berisiko. Karyawan
operasional memiliki pekerjaan yang sangat monoton selama lebih dari 5 tahun.
Oleh karena itu, terbuka kemungkinan untuk meremehkan pekerjaannya karena
merasa sudah terbiasa dan menguasai. Hal ini dapat menjadi salah satu aspek yang
mendorong perilaku berisiko.
Tabel 8. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Bagian Pekerjaan
Bagian Pekerjaan Jumlah subjek Prosentase
operator dan maintenance gas
turbine
21 28,3 %
operator dan maintenance steam
turbine
18 24,4 %
operator dan maintenance
electrical
16 21,6 %
operator dan maintenance water
system (cooling system dan
osmosis)
19 25,7 %
Total 74 100.00 %
58
Berdasarkan data di atas, mayoritas subjek bekerja pada bagian operator
dan maintenance gas turbine, yaitu sebanyak 21 orang atau 28,3 % populasi.
Namun, subjek di empat bagian pekerjaan tersebut memiliki jumlah yang tidak
berbeda jauh. Peneliti memprediksi bahwa setiap bagian pekerjaan akan memiliki
risiko yang berbeda dan bervariasi bagi masing-masing karyawan operasional
yang bekerja di dalamnya.
IV.B. HASIL PENELITIAN
IV.B. 1. ANALISIS DESKRIPTIF
Kesimpulan hasil analisis deskriptif untuk alat ukur penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Tabel 9. Deskriptif Untuk Perilaku Berisiko Dan Produktivitas
N Minimum Maximum Mean
Std.
Deviation
Perilaku
Berisiko
74 139.00 228.00 184.7838 20.77292
Skills Based
Behavior
74 64.00 105.00 85.9054 9.14296
Rules Based
Behavior
74 40.00 70.00 56.6486 7.58952
Knowledges
Based Behavior
74 26.00 59.00 42.2297 7.50260
Produktivitas 84 56.00 77.00 66.0964 4.45743
Berdasarkan hasil analisis deskriptif di atas, jumlah karyawan operasional
(N) yang terlibat adalah 74 orang dari 84 orang total seluruh populasi. Domain
skills based behavior memiliki nilai paling kecil (minimum) sebesar 64, nilai
paling besar (maximum) sebesar 105 dan nilai rata-rata (mean) sebesar 85.9054.
Domain rules based behavior memiliki nilai paling kecil sebesar 40, nilai paling
besar sebesar 70 dan nilai rata-rata sebesar 56.6486. Domain knowledges based
behavior memiliki nilai paling kecil sebesar 26, nilai paling besar sebesar 59 dan
nilai rata-rata sebesar 42.2297. Sedangkan produktivitas memiliki nilai paling
kecil sebesar 56, nilai paling besar sebesar 77 dan nilai rata-rata sebesar 66.0964.
59
Selain itu, meninjau tiga domain yang digunakan untuk membentuk
perilaku berisiko. Peneliti akan mencari tahu domain yang memiliki derajat
tingkat perilaku berisiko paling kuat. Berikut ini adalah tabel data berdasarkan
norma skala perilaku berisiko:
Tabel 10. Deskriptif Berdasarkan Norma Skala Perilaku Berisiko
Jumlah
Item
Total
Skor
Hasil
Rata-rata
Rentang
Skor (Sesuai
Skala)
Perilaku Berisiko
Skills Based Behavior 18 6357 353.2 4.77
Rules Based Behavior 12 4192 349.3 4.72
Knowledges Based
Behavior
10 3125 312.5 4.22
Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa domain skills based behavior
memperoleh rentang skor sesuai skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.77
(skala 1-6). Dengan demikian, perilaku berisiko karyawan operasional pada
domain skills based behavior termasuk dalam kategori sering.
Kemudian, domain rules based behavior memperoleh rentang skor sesuai
skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.72 (skala 1-6). Dengan demikian,
perilaku berisiko karyawan operasional pada domain rules based behavior
termasuk dalam kategori sering.
Sedangkan domain knowledges based behavior memperoleh rentang skor
sesuai skala pengukuran perilaku berisiko sebesar 4.22 (skala 1-6). Dengan
demikian, perilaku berisiko karyawan operasional pada domain knowledges based
behavior termasuk dalam kategori cukup sering.
Maka, berdasarkan norma skala perilaku berisiko di atas, dapat
disimpulkan bahwa perilaku berisiko pada karyawan operasional lebih sering
muncul jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan dengan skills based
behavior (perilaku yang sudah menjadi rutinitas). Kemudian, perilaku berisiko
pada karyawan operasional jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan
dengan rules based behavior (perilaku yang berdasarkan peraturan dan prosedur)
tidak jauh berbeda dengan skills based behavior. Sedangkan, perilaku berisiko
60
pada karyawan operasional jika dihadapkan pada situasi pekerjaan yang berkaitan
dengan knowledges based behavior (perilaku yang dilakukan ketika dihadapkan
pada situasi dan kondisi yang baru atau berbeda dari pengalaman sebelumnya)
tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan kedua domain yang lain.
Kemudian, untuk menjawab prediksi peneliti terkait gambaran umum
subjek penelitian tentang usia, lama bekerja dan bagian pekerjaan, maka peneliti
melakukan uji beda untuk melihat apakah terdapat perbedaan pada masing-masing
kategori tersebut. Berikut ini merupakan tabel data berdasarkan uji beda perilaku
berisiko:
Tabel 11. Deskriptif Uji Beda Perilaku Berisiko Berdasarkan Usia
Sum of
Squares df
Mean
Square
F Sig
<25 tahun
Between Groups
Within Groups
Total
1244.875
1058.000
2302.875
6
1
7
207.479
1058.000
.196 .735
25 – 35
tahun
Between Groups
Within Groups
Total
7342.024
15037.650
22379.674
16
26
42
458.877
578.371
.793 .68
0
36 – 50
tahun
Between Groups
Within Groups
Total
3712.861
1944.750
5657.611
7
17
4
371.286
277.821
1.336 .36
0
>50 tahun
Between Groups
Within Groups
Total
445.200
.000
445.200
4
0
4
111.300
Berdasarkan data uji beda di atas, signifikansi berada di atas 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara keempat kelompok
usia dan produktivitas karyawan operasional. Dengan kata lain, perbedaan usia
pada karyawan operasional di PLTGU PT. PDP tidak mempengaruhi perilaku
berisiko yang ditampilkan karyawan operasional.
61
Tabel 12. Deskriptif Uji Beda Perilaku Berisiko Berdasarkan Lama Bekerja
Sum of
Squares df
Mean
Square
F Sig
< 6 bulan
Between Groups
Within Groups
Total
1044.875
1258.000
2302.875
6
1
7
207.479
1058.000
.196 .635
06 – 12
bulan
Between Groups
Within Groups
Total
1171.500
.000
1171.500
5
0
5
234.300 .196
1 – 3
tahun
Between Groups
Within Groups
Total
4001.500
1145.000
5146.500
7
2
9
571.643
572.500
.999 .58
6
3 – 5
tahun
Between Groups
Within Groups
Total
4164.333
5647.667
9812.000
9
7
16
462.704
806.810
.573 .785
> 5 tahun
Between Groups
Within Groups
Total
7038.002
5824.683
12862.686
16
18
34
439.875
323.594
1.359 .263
Berdasarkan data uji beda di atas, signifikansi berada di atas 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara kelima kelompok
berdasarkan lama bekerja dan produktivitas karyawan operasional. Dengan kata
lain, perbedaan lama bekerja pada karyawan operasional di PLTGU PT. PDP
tidak memperngaruhi perilaku berisiko yang ditampilkan karyawan operasional.
62
Tabel 13. Deskriptif Uji Beda Perilaku Berisiko Berdasarkan Bagian
Pekerjaan
Sum of
Squares Df
Mean
Square
F Sig
operator dan
maintenance
gas turbine
Between Groups
Within Groups
Total
2425.321
4547.917
6973.238
11
9
20
220.484
505.324
.436 .602
operator dan
maintenance
steam turbine
Between Groups
Within Groups
Total
4542.361
6575.417
11117.778
10
7
17
454.236
939.345
.484
.856
operator dan
maintenance
electrical
Between Groups
Within Groups
Total
5273.021
2903.417
8176.438
9
6
15
585.891
483.903
1.211 .522
operator dan
maintenance
water system
(cooling system
dan osmosis)
Between Groups
Within Groups
Total
1956.611
2263.667
4220.278
10
7
17
195.661
323.381
.605 .173
Berdasarkan data uji beda di atas, signifikansi berada di atas 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara keempat kelompok bagian
pekerjaan dan produktivitas karyawan operasional. Dengan kata lain, perbedaan
bagian pekerjaan pada karyawan operasional di PLTGU PT. PDP tidak
mempengaruhi perilaku berisiko yang ditampilkan karyawan operasional.
IV.B.2. UJI NORMALITAS
Tabel 14. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perilaku Berisiko
N 74
Normal Parameters Mean 184.7838
Std. Deviation 20.77292
Kolmogorov-Smirnov Z .624
Asymp. Sig. (2-tailed) .832
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
63
IV.B.2.a. PERILAKU BERISIKO
Gambar 7. Histogram Perilaku Berisiko
Berdasarkan histogram diatas, diketahui bahwa perilaku berisiko diperoleh
mean sebesar 184.7838 , dengan SD = 20.77292. Pada populasi, terdapat 34
subjek (45,9 %) yang memiliki skor diatas rata-rata dan 40 subjek (54,1 %)
memiliki skor di bawah rata-rata.
IV.B.2.b. PERILAKU BERISIKO PADA DOMAIN SKILLS BASED
BEHAVIOR
Gambar 8. Histogram Skill Based Behavior
Berdasarkan histogram diatas, diketahui bahwa perilaku berisiko pada
domain skill based behavior diperoleh mean sebesar 85.9054 , dengan SD =
9.14296. Pada populasi, terdapat 40 subjek (54,1 %) yang memiliki skor di atas
rata-rata dan 34 subjek (45,9 %) memiliki skor di bawah rata-rata.
64
IV.B.2.c. PERILAKU BERISIKO PADA DOMAIN RULES BASED
BEHAVIOR
Gambar 9. Histogram Rules Based Behavior
Berdasarkan histogram diatas, diketahui bahwa perilaku berisiko pada
domain rules based behavior diperoleh mean sebesar 56.6486 , dengan SD =
7.58952. Pada populasi, terdapat 37 subjek (50 %) yang memiliki skor di atas
rata-rata dan 37 subjek (50 % ) memiliki skor di bawah rata-rata.
IV.B.1.d. PERILAKU BERISIKO PADA DOMAIN KNOWLEDGES BASED
BEHAVIOR
Gambar 10. Histogram Knowlegdes Based Behavior
Berdasarkan histogram diatas, diketahui bahwa perilaku berisiko pada
domain knowledges based behavior diperoleh mean sebesar 42.2297 , dengan SD
= 7.50260. Pada populasi, terdapat 42 subjek (56,7 %) yang memiliki skor diatas
rata-rata dan 32 subjek (43,2 %) memiliki skor di bawah rata-rata.
65
IV.B.1.e. PRODUKTIVITAS
Gambar 11. Histogram Produktivitas
Berdasarkan tabel IV. 4 dan histogram diatas, diketahui bahwa
produktivitas diperoleh mean sebesar 66.0964 , dengan SD = 4.45743. Pada
populasi, terdapat 39 subjek (46,98 %) yang memiliki skor diatas rata-rata dan 44
subjek (53,01 %) memiliki skor di bawah rata-rata.
Tabel 15. Tabel Penilaian Produktivitas PLTGU PT. PDP
Selain itu, berdasarkan tabel penilaian produktivitas PLTGU PT. PDP di
atas, maka nilai mean sebesar 66.0964 berada pada kategori cukup atau average
dengan nilai konversi C+.
PRODUKTIVITAS
NILAI
HURUF NILAI ANGKA
Sangat Memuaskan A 94 – 99
Excellent A- 88 – 93
Memuaskan/baik B+ 82 – 87
Good B 74 – 81
B- 68 – 73
Cukup C+ 62 – 67
Average C 54 – 61
C- 48 – 53
Kurang D+ 42 – 47
Need Improvement D 34 – 41
D- 28 – 33
Sangat Kurang E < 28
Poor
66
IV.B.2. UJI SIGNIFIKANSI
Berdasarkan hasil perhitungan data melalui SPSS Statistics ver.17.00 ,
diperoleh bahwa taraf signifikansi (Sig.) perhitungan korelasi adalah sebesar
0,717. Karena nilai signifikansi lebih besar dari pada α (0.05), maka dapat
disimpulkan bahwa Ho gagal ditolak, yang berarti koefisien korelasi tidak
signifikan secara statistik, atau dengan kata lain secara statistik terbukti bahwa
tidak ada hubungan antara perilaku berisiko dan produktivitas.
IV.B.3. HASIL PENGUJIAN HIPOTESIS PENELITIAN
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik
korelasi Pearson Product Moment Correlation. Teknik korelasi ini dilakukan
untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku berisiko
dan produktivitas. Untuk memperjelas hubungan antara ketiga domain perilaku
berisiko terhadap produktivitas, maka diperoleh hasil korelasi sebagai berikut:
Tabel 20. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko (secara keseluruhan) Terhadap
Produktivitas
Perilaku
Berisiko
Perilaku Berisiko Produktivitas
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
74
-.043
.717
74
Produktivitas
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
-.043
.717
74
1
74
Dari perhitungan di atas, nilai korelasi antara perilaku berisiko terhadap
produktivitas secara keseluruhan adalah - 0,043. Perhitungan ini memiliki arti
bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut menunjukkan tidak ada hubungan
antara perilaku berisiko dan produktivitas.
67
Tabel 21. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko Pada Setiap Domain Terhadap
Produktivitas
Perilaku
Berisiko
Perilaku Berisiko Terhadap Produktivitas
Skills Based
Behavior
Rules Based
Behavior
Knowledges
Based
Behavior
Pearson
Correlation
-.026 -.038 -.048
Korelasi tidak signifikan pada α .717 (2-tailed)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diketahui bahwa hasil korelasi
perilaku berisiko terhadap produktivitas, pada masing-masing domain memiliki r
hitung yang negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor subjek
pada alat ukur perilaku berisiko, maka semakin rendah skor subjek pada
produktivitas. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor subjek pada alat
ukur perilaku berisiko, maka semakin tinggi skor subjek pada produktivitas.
Tabel 22. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko Pada Domain
Skills Based Behavior Terhadap Produktivitas
Skills Based
Behavior
Perilaku Berisiko Produktivitas
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
74
-.026
.827
74
Produktivitas
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
-.026
.827
74
1
74
Dari perhitungan di atas, nilai korelasi antara perilaku berisiko terhadap
produktivitas pada domain skill based behavior dan produktivitas adalah - 0,026.
Perhitungan ini memiliki arti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut
menunjukkan tidak ada hubungan antara perilaku berisiko pada domain skills
based behavior dan produktivitas.
68
Tabel 23. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko Pada Domain
Rules Based Behavior Terhadap Produktivitas
Rules Based
Behavior
Perilaku Berisiko Produktivitas
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
74
-.038
.746
74
Produktivitas
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
-.038
.746
74
1
74
Selanjutnya, nilai korelasi antara perilaku berisiko terhadap produktivitas
pada domain rule based behavior dan produktivitas adalah - 0.038. Perhitungan
ini memiliki arti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut menunjukkan
tidak ada hubungan antara perilaku berisiko pada domain rules based behavior
dan produktivitas.
Tabel 24. Hasil Korelasi Perilaku Berisiko Pada Domain
Knowledges Based Behavior Terhadap Produktivitas
Knowledges
Based
Behavior
Perilaku Berisiko Produktivitas
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
74
-.048
.683
74
Produktivitas
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
-.048
.683
74
1
74
Kemudian, nilai korelasi antara perilaku berisiko terhadap produktivitas
pada domain knowledge based behavior dan produktivitas adalah - 0,048.
Perhitungan ini memiliki arti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut
menunjukkan tidak ada hubungan antara perilaku berisiko pada domain
knowledges based behavior dan produktivitas.
69
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
V.A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara
perilaku berisiko dan produktivitas karyawan operasional di pembangkit listrik
tenaga gas dan uap (PLTGU) PT.PDP. Begitu pula, tidak ada hubungan antara
ketiga domain perilaku berisiko - skills based behavior, rules based behavior dan
knowledges based behavior - dan produktivitas karyawan operasional di PLTGU
PT. PDP.
V.B. DISKUSI
Hipotesis yang dinyatakan oleh peneliti, bahwa ada hubungan antara
perilaku berisiko dan produktivitas karyawan operasional di PLTGU PT. PDP,
ternyata tidak terbukti dalam hasil penelitian. Dengan demikian, hasil penelitian
ini tidak mendukung teori dan penelitian dari Heinrich (1931) dan Rasmussen
(1983) yang dipakai sebagai acuan penelitian.
Dalam teori Domino Heinrich (1931), dikatakan bahwa ada lima faktor
kecelakaan kerja, yaitu lingkungan sosial dan keturunan (background) , kesalahan
manusia (human error), tindakan atau kondisi tidak aman (unsafe act atau unsafe
condition), kecelakaan (accident) dan cedera (injury). Untuk memperkuat
teorinya, ia melakukan analisa terhadap 75.000 laporan kecelakaan di berbagai
macam perusahaan dan menunjukkan bahwa sebesar 88% kecelakaan kerja
disebabkan oleh perilaku atau kondisi tidak aman/berbahaya (unsafe act atau
unsafe condition). Berdasarkan penelitian tersebut, Heinrich mengembangkan
teori Domino menjadi teori Loss Causation Model yang menyatakan bahwa
tahapan kecelakaan terdiri dari loss (kerugian akibat kecelakaan), incident
(insiden), immediate causes (penyebab langsung), basic causes (penyebab dasar)
70
dan lack of control (kurangnya kontrol dari manajemen). Dalam teori tersebut
dijelaskan bahwa dampak yang timbul akibat perilaku atau kondisi tidak
aman/berbahaya dapat mempengaruhi produktivitas kerja, properti perusahaan
dan proses kerja. Kerugian yang timbul dapat berupa gangguan proses produksi,
penurunan produktivitas dan profit perusahaan. Untuk mengatasi kerugian ini,
Heinrich memberikan solusi dengan menghilangkan salah satu faktor, yaitu
perilaku atau kondisi tidak aman/berbahaya (unsafe act atau unsafe condition)
yang merupakan pusat dari susunan kartu domino. Dengan demikian, kecelakaan
dan kerugian dapat dihindarkan.
Sementara dalam teori Skills,Rules, dan Knowledges, Rasmussen (1983),
menyatakan bahwa ada tiga tipe perilaku karyawan operasional yang berbeda saat
berinteraksi dengan mesin, yaitu skills-based behavior, rules-based behavior dan
knowledges-based behavior. Lebih lanjut, dalam bukunya yang berjudul Proactive
Risk Management In A Dynamic Society, Rasmussen (2000), memaparkan bahwa
kesalahan karyawan operasional dalam melakukan ketiga tipe perilaku tersebut
dapat menyebabkan skills based performance error, rules based performance
error dan knowledges based performance error. Menurutnya, ketiga kesalahan
tersebut berhubungan erat dengan tinggi atau rendahnya produktivitas karyawan
operasional, cepat atau lambatnya proses produksi dan tercapai atau terhambatnya
target produksi perusahaan yang bersangkutan. Maka dari itu, Rasmussen
menekankan pentingnya menjaga perilaku karyawan operasional agar tetap
terintegrasi dengan baik saat berinteraksi dengan mesin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anoraga (1998), dikatakan bahwa
produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu tenaga kerja yang terlibat,
pekerjaan yang menarik, upah yang baik, keamanan dan perlindungan dalam
pekerjaan, penghayatan atas maksud dan makna pekerjaan, lingkungan kerja
(penerangan, ketenangan, perangkat kerja), promosi dan pengembangan diri
karyawan yang sejalan dengan perkembangan perusahaan, keterlibatan karyawan
dalam kegiatan perusahaan, pengertian dan simpati atas persoalan perusahaan,
kesetiaan karyawan dan disiplin kerja. Lebih jauh, dalam penelitiannya Anoraga
menyatakan bahwa menentukan satu faktor yang dominan dalam mengukur
71
produktivitas kerja para karyawan tidaklah mudah karena banyak faktor lain yang
berperan dan saling memiliki ketergantungan satu dengan yang lain. Hasil
penelitian Anoraga ini sesuai dengan prediksi peneliti, bahwa banyak faktor lain
yang lebih berpengaruh dalam produktivitas karyawan operasional daripada
perilaku berisiko.
Menurut pendapat peneliti, banyak faktor lain yang berperan dalam
mempengaruhi produktivitas karyawan operasional, seperti faktor ergonomi,
kelelahan (fatigue), near miss, motivasi, kebisingan, homogenitas, jenis pekerjaan,
geografis, demografis dan sebagainya.
Dalam penelitiannya mengenai kaitan antara faktor ergonomi dan
produktivitas kerja, Florax (2006) menyatakan bahwa lingkungan kerja yang
kondusif, seperti tata letak ruang, fasilitas kerja, lingkungan yang nyaman dan
sehat, sangat berpengaruh pada efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja para
karyawan. Florax menekankan pendekatan ergonomi pada kemampuan dan
keterbatasan fisik maupun kondisi mental dan psikologis manusia dalam
melakukan interaksi dengan mesin. Penelitian Florax ini diarahkan untuk
memperbaiki faktor ergonomi dalam mendukung performa dan produktivitas kerja
para karyawan, seperti penyesuaian tempat kerja, pengaturan suhu dan
kelembaban, pengaturan prosedur dan sistem pekerjaan. Dengan memperbaiki
faktor tersebut, para karyawan dapat meningkatkan kecepatan, ketepatan dan
keselamatan kerja sehingga kesalahan manusia dan kerusakan mesin dapat
diminimalisir. Di PLTGU PT.PDP, peneliti merasakan kelembaban dan suhu
ruangan yang sangat panas, meskipun berada di luar ruang mesin. Selain itu,
peneliti juga melihat bahwa para karyawan operasional tidak mendapat ruang
istirahat yang cukup nyaman. Maka dari itu, peneliti memprediksi bahwa faktor
ergonomi di PLTGU PT. PDP dapat menjadi salah satu faktor yang mungkin
berperan dalam mempengaruhi produktivitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mahmud dan Nafis (2011),
kelelahan (fatigue) berpengaruh pada produktivitas dari kualitas dan kuantitas
pekerjaan para karyawan. Kelelahan dapat menyebabkan karyawan cenderung
melakukan kesalahan dan bekerja tidak efisien sehingga menghambat pencapaian
72
target produksi suatu perusahaan. Kelelahan seringkali terlihat ketika karyawan
mendekati jam akhir pekerjaan. Pada saat ini, biasanya karyawan sudah
kehilangan atau kurang konsentrasi sehingga cenderung tidak teliti dalam
menjalankan pekerjaannya. Berkaitan dengan faktor ergonomi di PLTGU
PT.PDP, kelelahan yang dialami oleh karyawan operasional mungkin disebabkan
oleh kelembaban dan suhu ruangan yang sangat panas, serta tempat istirahat yang
tidak nyaman. Selain itu, standar operasional pekerjaan karyawan operasional
cukup monoton karena terus berhubungan dengan mesin. Maka dari itu, peneliti
memprediksi bahwa kelelahan (fatigue) dapat menjadi salah satu faktor yang
berperan dalam mempengaruhi produktivitas.
Berdasarkan teori Borg (2002), near miss adalah kondisi tidak terencana
yang tidak menghasilkan cedera (injury), sakit (illness) dan kerusakan (damage),
namun dalam kondisi sangat nyaris dan tetap menimbulkan kerugian. Perilaku
berisiko yang ditampilkan karyawan operasional belum tentu menghasilkan suatu
kecelakaan, tetapi menimbulkan suatu potensi yang sangat besar untuk terjadi
kecelakaan. Lebih lanjut, Borg menjelaskan bahwa terbuka kemungkinan yang
besar bagi pekerja untuk meremehkan/menyepelekan kondisi near miss karena
mereka belum merasakan akibatnya. Dalam penelitian Heinrich (1931), dikatakan
dalam setiap 300 kejadian near miss, terdapat sekitar 29 kecelakaan ringan dan 1
kecelakaan fatal. Sedangkan, sebagian besar perusahaan sering kali menghitung
produktivitas hanya berdasarkan jumlah kecelakaan yang tercatat dalam data
kecelakaan, tanpa mempedulikan jumlah kejadian near miss. Menurut peneliti,
faktor near miss ini ikut berperan dalam mempengaruhi produktivitas kerja para
karyawan. Oleh karena itu, perusahaan perlu mempertimbangkan untuk
memasukkan near miss ke dalam penilaian safety index keselamatan dan
kesehatan kerja. Dari segi biaya, biaya penanganan untuk near miss lebih kecil
daripada biaya penanganan untuk kecelakaan. Misalnya, penanganan pada
karyawan yang nyaris menimbulkan kecelakaan (near miss) cukup diberi teguran
dan pengarahan/edukasi, sedangkan penanganan pada karyawan yang mengalami
kecelakaan (accident) membutuhkan biaya medis yang besar.
73
Ugwu dan Coker (2012), meneliti bahwa motivasi karyawan dalam
bekerja berpengaruh dalam pemenuhan dan kepuasan kerja yang membawa
kepada performa dan produktivitas yang tinggi. Motivasi dimulai dengan
merealisasikan kebutuhan dan harapan individu, yang kemudian menentukan
perilaku individu tersebut. Seperti yang dikatakan Anoraga (1998), bahwa
menentukan faktor dominan yang mempengaruhi produktivitas tidaklah mudah
karena antara faktor yang satu dan yang lain saling berkaitan. Dalam hal ini,
peneliti memprediksi bahwa faktor ergonomi, kelelahan dan motivasi saling
berkaitan dalam mempengaruhi produktivitas kerja karyawan operasional.
Kemudian, Wallace (2004), meneliti bahwa faktor kebisingan dalam
jangka panjang tidak hanya merusak pendengaran dan mengganggu ketenangan,
tetapi juga dapat menyebabkan kesalahan kerja pada karyawan, seperti kesalahan
komunikasi, kecenderungan menampilkan perilaku berbahaya/tidak aman,
keletihan mental, berkurangnya kepekaan serta kemerosotan moral kerja.
Berbagai kesalahan kerja tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi
produktivitas kerja para karyawan. Berdasarkan teori near miss Borg, kesalahan
kerja tersebut belum tentu menghasilkan kecelakaan kerja, tetapi tetap dapat
memperbesar kemungkinan risiko terjadinya kondisi nyaris kecelakaan atau near
miss.Dalam penelitian yang dilakukan peneliti di PLTGU PT. PDP, karyawan
operasional mengalami gangguan kebisingan yang cukup tinggi, namun beberapa
karyawan operasional memilih untuk tidak menggunakan alat pelindung diri
(APD) berupa penutup telinga. Perilaku berisiko karyawan operasional ini
memperbesar kemungkinan terjadinya near miss. Misalnya, karyawan yang terlalu
sering mendengar suara bising mesin turbin secara tidak sadar mengalami
gangguan pendengaran ringan sehingga tidak mendengar karyawan lain yang
berkomunikasi dengannya. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan atau gagal
komunikasi sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya near miss atau
bahkan kecelakaan kerja. Peneliti memprediksi bahwa kebisingan juga dapat
menjadi salah satu faktor yang berperan mempengaruhi produktivitas.
Selanjutnya, dilihat dari karakteristik pekerjaan, peneliti memprediksi
bahwa faktor homogenitas pekerjaan karyawan operasional yang spesifik dan
74
monoton ikut berperan dalam mempengaruhi hasil penelitian. Dengan kata lain,
perilaku para karyawan operasional di PLTGU PT. PDP tidak terlalu banyak
menunjukkan variasi karena memiliki karakteristik pekerjaan yang relatif seragam
satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan hampir semua karyawan operasional
berhubungan dengan mesin. Faktor homogenitas pekerjaan ini didukung oleh hasil
uji beda perilaku berisiko pada tiga kategori, yaitu usia, lama bekerja dan bagian
pekerjaan. Dari hasil uji beda tersebut, diperoleh hasil bahwa usia, lama bekerja
dan bagian pekerjaan dari karyawan operasional tidak menunjukkan perbedaan
perilaku berisiko yang ditampilkan. Sedangkan, pada penelitian yang dilakukan
oleh Heinrich (1931), terdapat faktor heterogenitas yang tinggi karena
penelitiannya dilakukan berdasarkan analisis 75.000 laporan kecelakaan di
berbagai perusahaan dan jenis pekerjaan. Dengan kata lain, karakteristik
pekerjaan yang diteliti oleh Heinrich lebih bervariasi satu sama lain. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Heinrich memiliki perbedaan jenis pekerjaan,
faktor geografis dan demografis dengan penelitian yang dilakukan peneliti di
PLTGU PT.PDP.
Peneliti juga ingin menyoroti sebuah kasus kecelakaan kerja di perusahaan
lain (PT. SI), dimana karyawan perusahaan tersebut mengalami kecelakaan kerja
fatal hingga meninggal karena tergelincir saat memperbaiki alat bor Quori atau
alat penambangan batu kapur. Pada kasus ini, korban tidak menyadari adanya
sebuah truk yang diparkir sangat dekat di salah satu tanjakan lokasi tambang.
Truk tersebut tanpa terduga tergelincir dan mengarah kepada alat berat yang
sedang diperbaiki korban. Hal ini menyebabkan korban tidak sempat menghindar,
ia terjepit di antara truk dan alat berat sehingga kepalanya pecah. Dalam kasus
ini, perilaku berisiko ditampilkan oleh dua pihak, yaitu korban dan supir truk.
Korban melakukan perilaku berisiko karena tidak waspada atau tidak
memperhitungkan bahwa truk tersebut sewaktu-waktu bisa tergelincir ke arahnya.
Sedangkan, supir truk melakukan perilaku berisiko dengan memarkir truk di
tanjakan. Supir truk juga tidak mengganjal ban truk dan hanya mengandalkan rem
tangan yang sudah dipasangnya. Akibat dari perilaku berisiko yang tidak
diperhitungkan tersebut, maka perusahaan harus menghentikan kegiatan
75
operasionalnya untuk investigasi kecelakaan kerja. Dampak dari pemberhentian
kegiatan operasional tersebut, produktivitas perusahaan nyaris berada pada titik
nol karena tidak menghasilkan sama sekali. Jadi, di PT. SI ada hubungan antara
perilaku berisiko dan produktivitas karyawan operasional, sedangkan dalam
penelitian yang dilakukan di PLTGU PT.PDP, tidak ada hubungan antara perilaku
berisiko dan produktivitas karyawan operasional. Peneliti memprediksi bahwa
perbedaan jenis pekerjaan, faktor geografis dan demografis dari sebuah
perusahaan akan berpengaruh pada hasil penelitian.
Akhirnya, peneliti amat menyadari keterbatasan penelitian ini. Peneliti
telah berusaha dengan maksimal, namun masih banyak hal yang harus diperbaiki
dan ditambahkan untuk menyempurnakan penelitian tersebut. Peneliti telah
merancang alat ukur penelitian yang dikhususkan untuk mengukur perilaku
berisiko karyawan operasional. Peneliti juga telah mengambil seluruh populasi
karyawan operasional sebagai subjek penelitian. Namun, dalam hasil penelitian
ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku berisiko dan produktivitas
karyawan operasional sehingga tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh
para tokoh sebelumnya. Peneliti memprediksi bahwa hal tersebut dikarenakan
masih banyak faktor lain yang berperan dalam mempengaruhi produktivitas
karyawan seperti, faktor ergonomi, kelelahan (fatigue), near miss, motivasi,
kebisingan, homogenitas, jenis pekerjaan, geografis dan demografis. Seluruh
faktor tersebut memiliki peran dalam hasil penilaian data produktivitas karyawan
operasional di PLTGU PT. PDP yang hanya mencapai nilai rata-rata atau average
(C+).
Peneliti berharap bahwa penelitian yang masih jauh dari sempurna ini
dapat sedikit menyumbangkan tambahan wawasan dan informasi bagi sesama
peneliti yang lain. Karena, sebuah penelitian pada hakikatnya pastilah memiliki
makna yang berguna bagi dirinya, sesamanya serta perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya.
76
V.C. SARAN
Berdasarkan keseluruhan hasil analisis dari proses penelitian, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat metodologis dan praktis.
V.C.1. SARAN METODOLOGIS
Saran metodologis dari penelitian ini adalah:
1. Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas karyawan
operasional, seperti perbedaan lokasi geografis, jenis pekerjaan dan jenis
perusahaan. Ketiga faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Maka dari itu, peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya, dapat
diteliti mengenai hubungan antara perilaku berisiko dan produktivitas
karyawan operasional pada lokasi geografis, jenis pekerjaan dan jenis
perusahaan yang berbeda (di luar PLTGU), sehingga dapat dilihat
perbandingannya dengan penelitian ini yang mengacu pada PLTGU.
2. Peneliti berasumsi bahwa terdapat gap (jarak) antara perilaku berisiko dan
produktivitas. Hal ini dikarenakan perilaku berisiko yang ditampilkan
karyawan operasional belum tentu menyebabkan kecelakaan kerja,
walaupun tetap dapat menimbulkan potensi kecelakaan, yang disebut
sebagai near miss. Peneliti berasumsi bahwa near miss dapat menjadi
salah satu variabel moderasi tersebut. Maka dari itu, peneliti menyarankan
untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat mencari tahu dan meneliti
variabel moderasi yang mungkin menjembatani perilaku berisiko dan
produktivitas.
3. Berdasarkan hasil dari uji beda pekerjaan, lama bekerja dan usia karyawan
operasional di PLTGU PT.PDP tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan atau dengan kata lain populasi terlalu homogen karena subjek
bekerja pada bidang yang spesifik dan monoton. Maka dari itu, untuk
penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi penelitian
sehingga subjek yang didapat tidak terlalu homogen.
77
V.D.2. SARAN PRAKTIS
Saran praktis dari penelitian ini adalah:
1. Perusahaan perlu melakukan penyegaran (refreshing) kepada para
karyawan agar tidak jenuh pada pekerjaan yang kaku dan monoton.
Misalnya, mengadakan kegiatan simulasi secara rutin, seperti simulasi
kecelakaan kerja, simulasi kebakaran dan sebagainya. Hal ini diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan yang sudah dimiliki serta mengurangi
kejenuhan dalam pekerjaan.
2. Perusahaan tidak perlu lagi melakukan pembaruan atau peningkatan SOP,
tetapi lebih kepada memberikan variasi dalam menampilkan suatu
peraturan. Misalnya, mengganti rambu-rambu atau tanda-tanda
keselamatan dan kesehatan kerja yang monoton, menambah variasi alat
pelindung diri untuk menimbulkan rasa aman dan nyaman dalam bekerja
dan sebagainya.
3. Perilaku berisiko yang ditampilkan oleh karyawan operasional belum tentu
menyebabkan kecelakaan kerja, tetapi tetap memiliki potensi terjadinya
kecelakaan (near miss).Maka dari itu, perusahaan perlu menghitung
jumlah near miss yang dilakukan oleh karyawan operasional dan
memasukkan near miss ke dalam kategori safety index keselamatan dan
kesehatan kerja.Dengan demikian, situasi dan kondisi kerja yang
berbahaya dapat lebih terkontrol dengan baik. Selain itu, biaya yang
digunakan untuk melakukan penanganan near miss lebih kecil daripada
biaya yang digunakan untuk penanganan kecelakaan.
4. Perusahaan perlu melakukan pencegahan tidak hanya pada kecelakaan
besar (accident) saja, tetapi juga pada kecelakaan ringan (incident). Dalam
kaitannya dengan proses kerja, PLTGU PT. PDP memiliki risiko
kecelakaan kerja yang besar, seperti gas meledak dan kebakaran fasilitas.
Maka dari itu, kesalahan sekecil apapun yang dilakukan oleh karyawan
operasional, terutama yang berkaitan dengan turbin gas dan turbin uap
dapat memicu bahaya kecelakaan kerja yang besar.
78
5. Perusahaan dapat mencatat near miss dan pencegahan kecelakaan ringan
dengan menggunakan green card , yaitu kartu yang diberikan kepada
karyawan operasional setiap kali melakukan suatu perilaku yang
melanggar prosedur. Kartu tersebut akan dihitung secara akumulasi
berdasarkan periode yang telah ditetapkan. Semakin banyak melakukan
pelanggaran, semakin banyak pula akumulasi green card. Misalnya,
karyawan operasional tidak menggunakan helm saat bekerja. Pengawas
akan memberinya green card yang terus diakumulasi hingga akhir tahun.
Setelah itu, sanksi diberikan berdasarkan akumulasi kartu tersebut. Dengan
adanya sanksi yang tegas dan jelas, perilaku berisiko para karyawan
operasional dapat diminimalisir.
6. Perusahaan perlu memperhatikan faktor ergonomi untuk mendukung dan
meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan operasional. Misalnya,
perusahaan dapat memberikan tempat istirahat yang lebih nyaman bagi
karyawan operasional. Khususnya, untuk para karyawan operasional yang
bekerja di ruang mesin yang memiliki kelembaban dan suhu yang sangat
panas.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2008). Hubungan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja. Jurnal
sekolah tinggi teknologi nuklir. Batan.
Adhi, A. (2013). Laka kerja SI diduga truk mundur. Diambil pada tanggal 15
Oktober 2014 dari http://surabaya.tribunnews.com/2013/09/20/laka-kerja-
si-diduga-truk-mundur.
Adrinur. (1983). Kesehatan dan produktivitas kerja. Majalah Hiperkes Edisi April
1983.
Algina, L & Crocker, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory.
Wadsworth ISE : Thomson Learning.
American Psychological Association. (2003). Publication manual of the American
Psychological Association. Edisi ke-6. Washington DC.
Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological testing (7th.ed.). New Jersey,
USA : Prentice-Hall,Inc.
Anoraga, P. 1998. Psikologi Kerja. PT Rineka Cipta, Jakarta.
Anonim. (2006). Faktor kesalahan manusia dominan penyebab kecelakaan kerja.
Diambil pada tanggal 29 Januari 2014 dari www.bpksdm.pu.go.id.
Anonim. (2012). Bussiness case for health and safety. Diambil pada tanggal 20
April 2014 dari https://www.osha.pu.go.uk.
Arikunto. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta : Rineka
Cipta.
Asfhal, C. (1990). Industrial safety and health management 2nd
Ed. Englewood
Cliffs. New Jersey : Prentice-Hall Inc.
Attwood, Dennis. A. & Joseph. M. D. (2004). Ergonomic solutions for the
process industries. Boston : Gulf Proffesional Publisher.
Azwar, S. (2005). Sikap manusia, teori dan pengukurannya edisi ke-2.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Green, L.W. (2000). Health promotion planning : An educational and
environmental approach, 2nd Edition.California : Mayfield Publishing
Company.
Blake, R.P. (1963). Industrial safety. Englewood Cliffs : Prentice Hall.
80
Blum, Milton. L & James. C. N. (1968). Industrial psychology : It’s theoritical
and social foundations. Revised Edition. New York, Harper & Row
Publisher.
Bohlander. (2006). The legal side of productivity through employee involvement
4th edition. John Wiley & Sons Inc.
Borg, B. (2002). Predictive safety from near miss and hazard reporting. CSP.
London.
Bridger, R.S. (1995). Introduction to ergonomics. Mc Graw Hill, Singapore.
British Psychological Society. (2004). Industrial safety. Diambil pada 20
November 2013 dari www.bps.org.uk.
British Medical Association. (2005). Health and safety. Diambil pada 20
November 2013 dari www.bma.org.uk.
Buraena, S. (2004). Program kesehatan lingkungan : pedoman kesehatan dan
keselamatan kerja (K3). Makassar.
Cooper, M.D. (2008) Behavioral safety survey result. Diambil pada tanggal 13
Maret 2014 dari http://www.behavioral-safety.com/survey-
results/finalsurveybscom1.html.
Cooper, M.D. (2010). Safety leadership in construction: a case study. Italian
Journal of Occupational Medicine and Ergonomics: Suppl.A Psychology,
32(1), A18-A23.
Cooper, M.D. (2003). Behavioral based safety- safety culture : a model for
understanding and quantifying a difficult concept. Professional Safety.
Danggur K,S.H, M.H. (2012). Keselamatan kesehatan kerja : membangun
SDM pekerja yang sehat, produktif dan kompetitif. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1998). Petunjuk Petugas
Kesehatan. Jakarta : Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1992). Upaya kesehatan kerja sektor
informal di Indonesia. Jakarta : Depkes RI.
Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. (2005). Keselamatan dan
kesehatan kerja. Jakarta : Depnaker RI.
81
Dolores. (2001). Theories of reasoned action and planned behavior as models : a
meta-aanalysis. Diambil pada tanggal 7 April 2014 dari
http://digitacommons.uconn.edu/chip_docs/8.
Fleming, M & Lardner. R. (2002). Strategies to promote safe behavior as part of
a health and safety management system. Norwich, Heatlh and Safety
Executive. Diambil pada tanggal 26 Januari 2014 dari
www.hse.gov.uk/research/crr_pdf/2001/crr02430.pdf
Florax, J.G.M. (2005). Space and growth : a survey of empirical evidence and
methods. Region et Development 21, hal 13-44.
Geller, E. S.(2001a). The psychology of safety handbook. USA, CRC Press LLC.
Geller, E. S.(2001b). Working safe : how to help people actively care for health
and safety. 2nd
Edition. USA, CRC Press LLC.
Geller, E, S. (1996). The psychology of safety : how to improve behaviors and
attitudes on the job. Boca Raton, FL : CRC Press.
Gravetter, F. J. & Wallnau, L. B. (2010). Statistics for behavioral science (9th ed).
Minneapolis, MN : Thomson Learning.
Green, L. W. dan Marshall W. K. (1991). Health promotion planning
aneducational and enviromental approach second edition. Mayfield
Publishing Company.
Grech, M. (2008). Human factors in maritime domain. Diambil pada tanggal 20
April 2014 dari
http://books.google.co.id/books?id=H4AjBNNZOz4C&pg=PA53&lpg=P
A53&dq=skill+based+behavior+domain&source=bl&ots=FvuuBOMiq7&
sig=4NeSYPz8TBtKC7IWVcLkkbTlENk&hl=en&sa=X&ei=BRhVU7v_
Hs-
E8gW8w4KACg&ved=0CEoQ6AEwBA#v=onepage&q=skill%20based%
20behavior%20domain&f=false
Heinrich, H. W.(1959). Industrial accident prevention. McGraw Hill : New York.
Harmanto (Komunikasi pribadi, 11 November 2013) menyatakan tentang APD
(Alat Pelindung Diri) yang ada di PT.PDP.
Health and safety environment. (2011). A joint publication of the International
Labour Organization and World Health Organization : ILO.
82
Heryuni. (1991). Pemeriksaan kadar debu dalam udara lingkungan kerja : Pusat
hiperkes dan keselamatan kerja. Jurnal higiene perusahaan, kesehatan dan
keselamatan kerja vol. XXVI no. 2.
Hofmann, D. A dan Stetzer, A. (1996). A cross-level investigation of factors
influencing unsafe behaviors and accidents. Journal of Personnel
Psychology Vol 49 No. 2 Hal 307.
Irawati, D. (2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan tidak aman
pada operator prodeuksi PT. multistrada arah sarana, Tbk tahun 2008.
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Irwin, C.E & Millstein, S.G. (1992). Risk-taking behaviours and
biopsychosocial development. In: Susman, E.J., Feagans, L.V., Ray.
Jargin, S. (2013). High risk behaviors and addiction. Thomsen : Global Informan,
Rusia.
Kerlinger, F.N. & Lee, H. B. (2000). Foundations of behavioral research (4th.ed)
Harcourt College Publisher.
Kumar, R. (2005). Research methodology 2nd
Ed. USA : Sage Publication.
Mahmud, M. & Nafis.(2011). Study the impact of fatigue and optimizing
productivity of an assembly line of garment industry. International Journal
of Scientific & Engineering Research Vol.2, Issue 11.
Mowrer, O. H. (1960). Learning Theory and Behavior. New York : Wiley.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Pedoman efisiensi energi untuk industri di Asia. (2006). Diunduh pada tanggal 15
Februari 2014 dari www.energyefficiencyasia.org.
Pembleton, P. (1994). Industrial and and technology information. Vienna :
UNIDO.
Poerwadarminta, W.J.S. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka.
Rasmussen, J. (1983). Skills, rules, and knowledge ; signals, signs, and symbols
;and other distinctions in human performance models. Journal of IEEE
Transactions On Systems, Man, And Cybernatics, Vlo -smc, No.13, May-
1983.
83
Rasmussen, J. (1994). Cognitive systems engineering. New York : Wiley -
Interscience Publication.
Rasmussen, J & Inge, S. (2000). Proactive risk management in a dynamic
society. First Edition. Karldstad : Boras.
Ravianto, J. 1985. Produktivitas dan mutu kehidupan. Lembaga sarana informasi
usaha dan produktivitas, Jakarta.
Reason, J. (1990). Human error. England : Cambridge University Press.
Ridley, J. (2009). Kesehatan dan keselamatan kerja. Jakarta : Gramedia.
Sabine, W. (1999). Building Research Station England. Diambil pada tanggal 17
Oktober 2014 dari
www.2sfu.ca/sonic.studio/handbool/absorption.coef.html.
Sedarmayanti. (2007). Sumber daya manusia dan produktivitas kerja. Jakarta :
Erlangga.
Setiap hari ada 9 pekerja peserta jamsostek meninggal akibat kecelakaan kerja.
(2013, Februari 28). Antara News. Diunduh pada tanggal 14 September
2013 dari www.antaranews.co.id.
Simanjuntak. (1991). Kelestarian usaha dan pengembangan potensi ekonomi dari
investasi melalui perlindungan tenaga kerja. Jakarta : PUSPERKES dan
DEPNAKER RI.
Singleton, W.T. 1972. Introduction to ergonomics. World Health Organization,
Jeneva.
Skinner,B. F. (1953). Science and human behavior. New York : Macmillan.
Smith, H. (2011). Direct and indirect loss. Diunduh pada tanggal 11
Februari 2014 dari www.herbertsmithfreehills.com.
Stevie, R. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan. Diambil
pada tanggal 2 November dari
http://www.academia.edu/3387190/FAKTOR FAKTOR_ YANG_
BERHUBUNGAN_DENGAN_KELELAHAN
Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Suma'mur. (1996). Keselamatan dan pencegahan kecelakaan. Jakarta : PT. Toko
Gunung Agung.
84
Suizer-Azaroff, B. & Austin, J. (2000). Behavior-based safety and injury
reduction : a survey of evidence. Professional Safety, 45(7), 19-24.
Suizer-Azaroff, B, Harris, T.C & McCann, K. (1994). Beyond training :
organizational performance management techniques. Occupational
Medicine : State of The Art Review, 9, 321-339.
Suryanto. (2012). Jamsostek: setiap hari 9 orang meninggal karena
kecelakaan kerja. Diambil pada tanggal 14 Oktober 2013 dari
http://www.antaranews.com/berita/360749/jamsostek-setiap-hari-9-
meninggal- karena-kecelakaan-kerja
Tingkat kecelakaan kerja masih tinggi. (2012, Juni 1). Pos Kota. Diunduh pada
tanggal 14 September 2013 dari www.jamsostek.co.id.
Ude, U & Coker M.A. (2012). Incentive schemes, employee motivation and
productivity in organizations in Nigeria : Analytical Linkages. Journal of
Business and Management.
Widjaja, I.G. R. (2005). Hukum perusahaan. Jakarta: Kesai
Wiegman, D.A & Shapell. S. A. (2003). A human error approach to aviation
accident analysis : The human factors analysis and clasiffication system.
Ashgate Publishing Limited : Aldershot.
Yuniasih & Suwatno. (2008). Manajemen sumber daya manusia. Bandung :
Alfabeta
85
Lampiran : Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
Selamat pagi/siang/sore/malam
Saya adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, yang saat ini
sedang melakukan penelitian dalam rangka menjalankan skripsi. Penelitian ini
mengenai “Keselamatan dan Kesehatan Kerja”.
Oleh karena itu, dalam rangka mengumpulkan data, saya memohon kesediaan
saudara untuk berkenan memberikan penilaian pada beberapa pernyataan di
bawah ini sesuai dengan perilaku saudara sehari-hari. Partisipasi saudara untuk
kuesioner ini sangat berharga untuk penelitian yang sedang saya lakukan. Selain
itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan masukan bagi perusahaan,
terutama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Maka dari itu, mohon
saudara mengisi setiap pernyataan dengan cermat dan teliti.
Data yang saudara berikan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan
untuk kepentingan penelitian ini saja. Saudara juga diperbolehkan untuk
mengundurkan diri jika merasa bahwa saudara tidak ingin meneruskan untuk
menjadi partisipan penelitian ini.
Atas waktu dan kerja sama yang saudara berikan, saya mengucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Joseph Satria
86
Data Responden
Nama / Inisial :
Usia :
Lama bekerja :
Bagian pekerjaan :
Petunjuk Pengisian
Berikut ini saudara akan diberikan sejumlah pernyataan yang berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan kerja. Saudara diminta untuk memberi tanda silang
(X) pada pilihan skala dibawah yang benar-benar menggambarkan keadaan
diri saudara.
HS : Jika hampir selalu melakukan perilaku yang dimaksud
S : Jika sering melakukan perilaku yang dimaksud
CS : Jika cukup sering melakukan perilaku yang dimaksud
KK : Jika kadang-kadang melakukan perilaku yang dimaksud
J : Jika jarang melakukan perilaku yang dimaksud
HTP : Jika hampir tidak pernah melakukan perilaku yang dimaksud
Contoh :
No Pernyataan Hampir
tidak
pernah
jarang Kadang-
kadang
Cukup
sering
sering Hampir
selalu
1 Saya datang tepat
waktu saat bekerja
X
Jawaban di atas berarti saudara hampir selalu datang tepat waktu saat bekerja.
87
No Pernyataan Hampir
Tidak
Pernah
Jarang Kadang-
Kadang
Cukup
Sering
Sering Hampir
Selalu
1 Saya mampu membuat keputusan untuk
melakukan antisipasi
2 Saya memberikan perhatian yang besar
pada setiap pekerjaan
3 Saya melanggar prosedur penggunaan
APD
4 Saya mengoperasikan mesin yang sama
setiap hari
5 Saya mampu menenangkan diri saat
terjadi kesalahan dalam bekerja.
6 Saya malu meminta bantuan
7 Saya mematuhi kebijakan perusahaan
tentang APD (Alat Pelindung Diri)
8 Saya mampu membedakan situasi
berbeda dari prosedur
9 Saya kebingungan ketika harus
melakukan antisipasi terhadap situasi
yang tidak sesuai dengan prosedur
10 Saya mengawasi mesin yang menjadi
tanggung jawab saya
11 Saya memfokuskan perhatian saat bekerja
12 Saya mendapat teguran karena salah atau
terlambat melakukan antisipasi terhadap
situasi yang tidak sesuai dengan prosedur
13 Saya mendapat pelatihan untuk
menambah pengetahuan SOP
14 Saya mampu membuat keputusan secara
88
mendadak (on the spot)
15 Saya tidak menggunakan APD
16 Saya menjalankan SOP (standar
operasional) sesuai ketentuan
17 Saya membantu rekan kerja yang
menemui situasi yang berbeda dari
prosedur
18 Saya mengalami hambatan untuk bergerak
dan beraktivitas saat bekerja karena
menggunakan APD
19 Saya memastikan kinerja mesin berjalan
dengan benar
20 Saya mengajari atau membimbing rekan
kerja yang mengalami kesulitan
21 Saya melanggar SOP yang ditetapkan
22 Saya mampu menyadari jika terdapat
situasi yang berbeda dari prosedur
23 Saya mengecek ulang kinerja mesin yang
sedang beroperasi
24 Saya butuh waktu yang lama dalam
melakukan antisipasi terhadap situasi
yang tidak sesuai dengan prosedur
25 Saya mencari informasi terkait situasi
yang terjadi
26 Saya bekerja di bagian yang sama setiap
hari
27 Saya gugup saat melakukan antisipasi
terhadap situasi yang tidak sesuai dengan
prosedur
89
28 Saya mengecek ulang proses kerja sesuai
dengan SOP
29 Saya mendapat pelatihan untuk situasi
situasi yang berbeda dari prosedur
30 Saya gelisah ketika menemui situasi yang
berbeda dari prosedur
31 Saya mengecek ulang proses kerja yang
telah dilakukan
32 Saya menggunakan APD karena
mendapat pengawasan
33 Saya mengawasi lingkungan kerja di
sekitar saya
34 Saya melakukan kesalahan dalam SOP
35 Saya mampu mempraktikkan apa yang
diajarkan saat pelatihan terkait APD
36 Saya terlambat melakukan antisipasi
terhadap situasi yang tidak sesuai dengan
prosedur
37 Saya memperingatkan rekan kerja agar
tidak melakukan kesalahan
38 Saya sungkan bertanya ketika mencari
penyelesaian atau jalan keluar
39 Saya bertanya pada rekan kerja yang lebih
mengerti
40 Saya mampu melakukan antisipasi dengan
cepat terhadap situasi yang tidak sesuai
dengan prosedur
90
Lampiran : Hasil Uji Validitas
Scale Mean if Item
Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's Alpha
if Item Deleted
VAR00001 194.6333 528.930 .670 .927
VAR00002 194.5667 539.357 .428 .929
VAR00003 194.6333 540.309 .351 .929
VAR00004 194.6667 537.333 .412 .929
VAR00005 196.1000 521.748 .405 .929
VAR00006 194.5000 541.845 .464 .929
VAR00007 195.7000 518.355 .481 .928
VAR00008 194.8333 536.971 .375 .929
VAR00009 195.1333 523.223 .547 .927
VAR00010 194.6000 541.628 .312 .929
VAR00011 195.0000 532.690 .441 .928
VAR00012 194.6333 537.826 .400 .929
VAR00013 195.4667 510.395 .477 .929
VAR00014 194.4000 539.972 .541 .929
VAR00015 194.7000 522.769 .549 .927
VAR00016 195.2333 515.633 .494 .928
VAR00017 195.8333 520.902 .391 .929
VAR00018 194.6667 523.609 .612 .927
VAR00019 194.6000 525.766 .546 .927
VAR00020 194.7000 526.562 .523 .928
VAR00021 195.0333 517.620 .642 .926
VAR00022 195.3333 528.506 .469 .928
VAR00023 196.0333 526.585 .437 .928
VAR00024 196.1333 520.809 .421 .929
VAR00025 195.7333 520.340 .468 .928
VAR00026 195.6333 519.551 .567 .927
VAR00027 196.2333 526.461 .374 .929
VAR00028 196.0000 506.138 .539 .928
VAR00029 196.4333 522.392 .371 .930
VAR00030 195.5000 514.948 .565 .927
VAR00031 195.9333 518.478 .564 .927
VAR00032 195.0667 532.409 .485 .928
VAR00033 195.0333 528.723 .546 .928
VAR00034 195.1333 519.223 .788 .926
VAR00035 195.0667 524.271 .702 .927
VAR00036 195.0333 531.206 .462 .928
VAR00037 194.9333 511.857 .742 .925
VAR00038 194.8000 516.234 .664 .926
VAR00039 195.4667 517.568 .574 .927
VAR00040 195.9667 529.826 .418 .929