[Revisi] BAB II_Pb Dan Anemia
-
Upload
imasari-aryani -
Category
Documents
-
view
218 -
download
2
description
Transcript of [Revisi] BAB II_Pb Dan Anemia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Timah Hitam (Plumbum/Pb)
Keterlibatan aktivitas manusia terutama dalam proses industrialisasi di abad 19 dan 20
telah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan logam Pb dalam industri
menghasilkan polutan yang bersifat merugikan kehidupan biologik. Sumber utama polusi Pb
pada lingkungan berasal dari proses pertambangan, peleburan dan pemurnian logam
tersebut, hasil limbah industri, dan asap kendaraan bermotor (Darmono, 2001).
1. Sifat Fisik dan Kimiawi Pb
Timbal yang kita kenal sehari – hari dengan timah hitam dan dalam bahasa
ilmiahnya dikenal dengan kata plumbum dan kelompok logam–logam golongan IV – A
pada tabel periodik unsur kimia. Logam tersebut mempunyai nomor atom (NA) 82
dengan bobot atau berat (BA) 207,2 adalah suatu logam berat berwarna kelabu kebiru –
biruan dan lunak dengan titik leleh 327ºC dan titik didih 1.620ºC. Pada suhu 550 - 660ºC.
Pb menguap dan bereaksi dengan oksigen dalam udara yang kemudian membentuk
timbal oksida. Bentuk oksida yang paling umum adalah timbal (II). Walaupun bersifat
lunak dan lentur, Pb sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit larut dalam air
dingin, air panas dan air asam timah hitam dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan
asam sulfat pekat (Palar, 1994).
2. Penggunaan Pb
Penggunaan Pb semakin meningkat seiring dengan meningkatnya penggunaan pada
penambangan, peleburan, pembersih, dan berbagai industri. Tabel 2.1. menunjukkan
beberapa industri yang menggunakan Pb.
Tabel 2.1. Bentuk persenyawaan Pb dan kegunaannya (Palar, 2004).
No. Bentuk Persenyawaan Kegunaan
1 Pb + Si Kabel telefon
2 Pb + As + Sn + Bi Kabel listrik
3 Pb + Ni Senyawa azida untuk bahan peledak
4 Pb + Cr + Mo + Cl Untuk pewarnaan pada cat
5 Pb + asetat Pengkilapan keramik dan bahan antiapi
6 Pb + Te Pembangkit listrik tenaga panas
7 Tetrametil-Pb (CH3)-Pb
Tetraetil-Pb (C2H5)4-Pb
Aditif untuk bahan bakar kendaraan bermotor
Pb sebagai salah satu zat yang dicampurkan ke dalam bahan bakar (premium dan
premix), yaitu (C2H5)4Pb atau Tetra Ethyl Lead (TEL) yang digunakan sebagai bahan
aditif, yang berfungsi meningkatkan angka oktan sehingga penggunaannya akan
menghindarkan mesin dari gejala “ngelitik” yaitu berfungsi sebagai pelumas bagi kerja
antarkatup mesin (intake & exhause valve) dengan dudukan katup valve seat serta valve
guide. Keberadaan octane booster dibutuhkan dalam bensin agar mesin bisa bekerja
dengan baik (Widowati dkk, 2008).
Untuk mengendalikan efek negatif pada pekerja, Occupational Safety and Health
Association (OSHA) telah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Pb anorganik,
debu, dan uapnya 0,05 mg/m3 sedangkan untuk TEL adalah 0,075 mg/m3. Menurut
World Health Organization (WHO) pajanan timbal yang diperkenankan untuk pekerja
laki-laki 40 µg/dL dan untuk pekerja perempuan adalah 30 µg/dL (DeRoos, 1997 dan
OSHA, 2005).
3. Pb pada Bahan Bakar
Timah hitam di tambahkan pada bahan bakar kendaraan bermotor dalam bentuk
senyawa organik tetraalkylead, terdiri dari tetramethyllead (TML), tetraethylead (TEL),
dan campuran alkil triethylmethylead, diethylmehyllead dan ethyltrimethyllead. Tidak ada
timah hitam yang ditambahkan pada bahan bakar solar (diesel) dan minyak tanah. TEL
dan TML secara bersama – sama ditambahkan ke dalam bensin sebagai aditif anti
ketukan mesin dan menaikkan angka oktan bensin. TEL berbentuk cairan berat dengan
kerapatan 1,659 g/ml, titik didih 200ºC = 390ºF dan larut dalam bensin (Briggs dkk,
1995).
4. Pb pada Udara
Kandungan Pb di udara sangat berhubungan dengan padat tidaknya lalu lintas
kendaraan bermotor. Sebagai contoh De Jonghe et al.,1981 melaporkan jumlah alkyl-lead
di udara Belgium adalah 0,0003 μg/m3 (ruralarea), dan maksimum 0,40 μg/m3. Menurut
Royset dan Thomassen 1987, jumlah alkyl-lead dalam asap mobil bervariasi antara 0,1
sampai 15 μg/m3, dimana antara alkyl-lead di tempat parkir mobil diperkirakan 0,5 mg
Pb/hari/mobil (DeRoos, 1997).
5. Penyerapan Pb Melalui Pernafasan
Proses masuknya persenyawaan Pb ke dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur,
yaitu melalui makanan dan minuman, udara, dan perembesan atau penetrasi pada selaput
atau lapisan kulit. Sebagian besar dari Pb yang terhirup pada saat bernafas akan masuk ke
dalam pembuluh darah paru dan kemudian diedarkan ke seluruh jaringan dan organ tubuh
(Palar, 2004).
Penyerapan Pb melalui pernafasan tergantung pada tiga proses yaitu deposisi,
pembersihan mukosilier, dan pembersihan alveoler. Deposisi (penumpukan) partikel Pb
dalam paru-paru maksimal (63%) ukuran sebesar 1 μm dan minimal 39%) pada 0,1 μm.
Orang yang sedang istirahat volume pernafasan sebesar 10 L/menit. Untuk pembersihan
Pb yang ada pada paru dibutuhkan pembersihan silier yang merupakan kombinasi aliran
selaput lendir dan aktivitas silier melalui proses pemindahan partikel-partikel yang ada
pada laring dan faring (Zens dkk, 1994).
Pembersihan alveoler memerlukan tiga tahap yaitu : 1) memindahkan gerakan
mukosilier, 2) berjalan melalui membran-membran sampai pada jaringan paru, dan 3)
berjalan melalui jaringan paru sampai pada kelenjar limpa dan darah. Proses fagositosis
oleh makrofag alveoli merupakan mekanisme penting bagi pemindahan partikel-partikel
dengan gerakan mukosilier (Zens dkk, 1994).
Prosentase Pb udara yang terhirup akan mencapai darah diperkirakan sekitar 30%
sampai 40% (rata-rata 37%) tergantung pada:
a. ukuran partikel
b. daya larut
c. volume pernafasan
d. variasi psikologis individu
e. kondisi psikologis yang memengaruhi penyerapan paru (Baselt, 1988).
Pembersihan mukosilier pada perokok lebih lambat daripada yang bukan perokok.
Infeksi paru-paru akut, bronchitis akut dan bronchitis kronis dapat menghambat aktivitas
silier. Berbagai faktor yang mempengaruhi terhirupnya Pb kemudian masuk ke paru-paru,
tidak hanya secara teoritis akan tetapi kenyataan perlu mendapat perhatian terhadap
tingkat konsentrasi Pb dalam udara, sehingga dapat merubah atau menekan kandungan Pb
dalam darah pada pekerja yang tidak terlindungi (Palar, 1994).
6. Metabolisme Pb dalam Tubuh
Pb masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan yang merupakan
jalan pemajanan terbesar dan melalui saluran pencernaan, terutama pada anak-anak dan
orang dewasa dengan kebersihan perorangan yang kurang baik. Absorbsi Pb udara pada
saluran pernafasan 40% dan pada saluran pencernaan 5-10%, kemudian Pb
didistribusikan ke dalam darah 95% terikat pada sel darah merah, dan sisanya terikat pada
plasma. Sebagian Pb di simpan pada jaringan lunak dan tulang. Ekskresi terutama melalui
ginjal dan saluran pencernaan (Palar, 1994).
Gambar 2.1. Metabolisme Pb dalam tubuh manusia (Palar, 1994).
ABSORPSI PENYIMPANAN EKSKRESI
Pernafasan
Inhalasi
Saluran nafas atas
40%
Pernafasan
InhalasiFaring
Paru
Saluran cerna
Darah
SSP/otak/
jaringan
Tulang 90%
Kulit
Ginjal
Usus besar
Keringat, Rambut
Urin
Tinja
a. Absorpsi
Absorpsi Pb memiliki saluran pernafasan dipengaruhi oleh tiga proses yaitu
deposisi, pembersinan mukosiliar, dan pembersihan alveolar. Deposisi terjadi di
nasofaring, saluran trakeobronkhial, dan alveolus. Deposisi tergantung pada ukuran
partikel Pb volume pernafasan dan daya larut. Partikel yang lebih besar banyak di
deposit pada saluran pernafasan bagian atas dibanding partikel yang lebih kecil.
Pembersihan mukosiliar membawa partikel di saluran pernafasan bagian atas ke
nasofaring kemudian ditelan. Rata-rata 10- 30% Pb yang terinhalasi diabsorbsi
melalui paru-paru, dan sekitar 5-10% dari yang tertelan diabsorbsi melalui saluran
cerna. Fungsi pembersihan alveolar adalah membawa partikel ke ekskalator
mukosiliar, menembus lapisan jaringan paru kemudian menuju kelenjar limfe dan
aliran darah. Sebanyak 30-40% Pb yang di absorbsi melalui saluran pernapasan akan
masuk ke aliran darah. Masuknya Pb ke aliran darah tergantung pada ukuran partikel
daya larut, volume pernafasan dan variasi faal antar individu (Palar, 1994).
b. Distribusi dan penyimpanan
Timah hitam yang diabsorsi diangkut oleh darah ke organ-organ tubuh
sebanyak 95% Pb dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagian Pb plasma dalam
bentuk yang dapat berdifusi dan diperkirakan dalam keseimbangan dengan pool Pb
tubuh lainnya. Yang dibagi menjadi dua yaitu ke jaringan lunak (sumsum tulang,
sistem saraf, ginjal, hati) dan ke jaringan keras (tulang, kuku, rambut, gigi). Gigi dan
tulang panjang mengandung Pb yang lebih banyak dibandingkan tulang lainnya.
Pada gusi dapat terlihat lead line yaitu pigmen berwarna abu abu pada perbatasan
antara gigi dan gusi.11 Hal itu merupakan ciri khas keracunan Pb. Pada jaringan
lunak sebagian Pb disimpan dalam aorta, hati, ginjal, otak, dan kulit. Timah hitam
yang ada di jaringan lunak bersifat toksik (Palar, 1994).
c. Ekskresi
Ekskresi Pb melalui beberapa cara, yang terpenting adalah melalui ginjal dan
saluran cerna. Ekskresi Pb melalui urine sebanyak 75 - 80%, melalui feces 15% dan
lainnya melalui empedu, keringat, rambut, dan kuku. Ekskresi Pb melalui saluran
cerna dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar saliva, pankreas dan kelenjar
lainnya di dinding usus, regenerasi sel epitel, dan ekskresi empedu. Sedangkan
Proses ekskresi Pb melalui ginjal adalah melalui filtrasi glomerulus. Kadar Pb dalam
urine merupakan cerminan pajanan baru sehingga pemeriksaan Pb urine dipakai
untuk pajanan okupasional. Pada umumnya ekskresi Pb berjalan sangat lambat.
Timah hitam waktu paruh di dalam darah kurang lebih 25 hari, pada jaringan lunak
40 hari sedangkan pada tulang 25 tahun. Ekskresi yang lambat ini menyebabkan Pb
mudah terakumulasi dalam tubuh, baik pada pajanan okupasional maupun non
okupasional (Nordberg, 1998).
7. Toksikologi Pb
a. Bentuk-bentuk utama keracunan Pb
1.) Keracunan Pb anorganik
a.) Keracunan akut
Keracunan akut Pb anorganik sekarang jarang terjadi, keracunan ini
biasanya disebabkan oleh inhalasi Pb oksida dalam jumlah besar di industri
atau pada anak kecil yang disebabkan karena tertelannya cat yang
mengandung Pb dalam dosis besar. Bila absorbsi Pb lebih lambat, maka kolik
abdomen dan ensefalopati dapat ditemukan dalam beberapa hari. Gangguan
yang menyerupai keracunan Pb yaitu appenditis, ulkus peptik dan pankreatitis
(Palar, 1994).
b.) Keracunan kronis
Manifestasi keracunan kronik Pb yang paling sering adalah kelemahan,
anoreksia keguguran, tremor, turunnya berat badan, sakit kepala dan gejala-
gejala saluran pencernaan. Hubungan nyeri abdomen yang berulang dan
kelemahan otot penggerakan tanpa nyeri menunjukkan kemungkinan adanya
keracunan Pb. Gejala neurologik paling khas yang ditemukan pada keracunan
kronik Pb adalah wristdrop (pergelangan tangan terkulai). Diagnosis
keracunan Pb ditegaskan dengan mengukur kadar Pb dalam darah dan
mengidentifikasikan kelainan metabolisme porfirin (Palar, 1994).
2.) Keracunan Pb organik
Keracunan Pb organik biasanya disebabkan oleh Pb tetraetil atau
tetrametil, yang digunakan sebagai zat antiknock dalam bensin. Pb organik
sangat mudah menguap dan larut dalam lemak. Jadi zat ini dapat dengan mudah
di absorbsi melalui kulit dan saluran pernafasan. Keracunan Pb organik yang
berat dapat menimbulkan gangguan akut sistem saraf pusat. Hal ini dapat
berkembang dengan cepat, menimbulkan halusinasi, imsomnia, sakit kepala, dan
iritabilitas (mirip gejala putus alkohol berat). Pb tetraetil dan tetrametil
dimetabolisme oleh hati menjadi Pb trialkil dan anorganik. Pb trialkil berperan
penting pada sindrom keracunan akut. Kebanyakan pemaparan Pb organik
terjadi pada waktu pembersihan tangki penyimpanan bensin atau terhisapnya
bensin yang mengandung Pb. Pemaparan Pb organik yang masif menimbulkan
kejang-kejang yang dapat berakhir dengan koma dan kematian (Palar, 1994).
b. Dampak kesehatan yang ditimbulkan plumbum
Gejala maupun tanda-tanda secara klinis akibat terpapar Pb akan timbul
berbeda-beda. Plumbum akan beracun baik dalam bentuk logam maupun bentuk
garamnya seperti Pb karbonat, Pb tetra oksida, Pb monoksida, Pb sulfida dan Pb
asetat merupakan keracunan Pb yang sering terjadi. Pb dapat masuk ke dalam tubuh
melalui pernafasan 85%, pencernaan 14%, dan kulit 1%, setelah seseorang disebut
berada dalam udara yang tercemar Pb. Paparan udara yang tercemar Pb sebesar l
μg/Nm3 berpeluang menyumbangkan 2,5-5,3 μg/dL Pb dalam darah seseorang yang
berada dalam tempat tersebut. Ketika akumulasi Pb dalam darah seseorang mencapai
10 μg/dl maka dapat terjadi penurunan IQ sebesar < 2,5 point. Apabila hal tersebut
juga terjadi pada orang dewasa, maka efek yang timbul adalah beberapa gejala
berbagai sakit dan penyakit, seperti mengganggu fungsi ginjal, saluran pencernaan,
sistem saraf menurunkan fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa dan
meningkatkan spermatozoa abnormal serta dapat menyebabkan aborsi spontan
(Fardiaz, 2001).
Kadar Pb dibandingkan dengan Biological Exposure Index (BRI) atau nilai
indeks untuk pajanan biologi, nilainya pada orang dewasa normal adalah 10 s.d 25
μg/dl. Dampak Pb terhadap kesehatan manusia dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2. Dampak Pb terhadap kesehatan manusia (Fardiaz, 2001).
Kadar Pb
(µg/dL)
Dampak Kesehatan
Anak Dewasa
0 s.d 10 Penurunan tingkat kecerdasan
Gangguan pertumbuhan tulang
-
10 s.d. 30 Gangguan metabolisme vit. D Gangguan sistolik tekanan darah
Gangguan protoporphyrin eritrosit
Gangguan sistem saraf pusat
10 s.d. 50 Gangguan sintesa hemoglobin Gangguan ginjal
Infertilitas (pada pria)
Anemia Anemia
50 s.d. 100 Gangguan ginjal
Gangguan otak dan saraf pusat
Gangguan sintesa hemoglobin
>100 Kematian Kematian
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa bila manusia terpapar oleh Pb dalam
normal atau batasan toleransi, maka daya racun yang dimiliki oleh Pb tetap akan
bekerja dan bila jumlah yang diserap telah mencapai ambang atau bahkan melebihi
batas ambang maka individu yang terpapar akan memperlihatkan gejala keracunan
Pb yang lebih banyak menyerang bagian tubuh (Fardiaz, 2001).
Penjelasan mengapa bayi dan anak-anak lebih rentan terhadap paparan Pb, hal
ini karena beberapa alasan yaitu intake (asupan) Pb per berat badan lebih tinggi
dibandingkan dengan orang dewasa, balita sering memasukkan objek ke dalam
tubuhnya yang mengandung debu/ tanah terutama yang mengandung Pb secara
fisiologis balita memiliki uptake rate Pb lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa
dan balita masih pada masa pertumbuhan dan sistem tubuhnya belum penuh
berkembang sehingga mereka masih rentan (Shilu dkk, 2000).
Hal lain menyebutkan bahwa terdapat hubungan besarnya tingkat keracunan
dengan timbulnya keluhan subjektif. Dimana tingkat keracunan Pb pada darah antara
10-20 μg/dl, keluaran yang timbul adalah hipertensi, antara 30-40 μg/dl terjadi
hipertensi sistolik dan penurunan daya dengar dan kadar keracunan Pb 40-50 μg/dl
keluhan yang muncul yaitu neuropati kelelahan otot, sakit kepala dan nyeri perut
(Sullivan, 1992).
Pb dapat memberikan efek-efek toksik pada sistem neurologis, reproduksi
hematologi, urinaria dan jantung. Sistem saraf adalah yang paling sensitif dapat
menyebabkan lead encephalophaty yaitu suatu penyakit otak dengan gejala cerebral
edema, pingsan dan kehilangan keseimbangan. Penyakit ini umumnya menyerang
pada anak-anak dimana keracunan Pb sudah tinggi dan tidak segera diobati dan
berdampak pada kematian, ataupun jika tidak sembuh sempurna terkadang disertai
cacat akibat kerusakan otak, seperti ataksia dan penurunan daya pikir (Palar, 1994).
c. Penanganan kasus dan tindakan pencegahan
Pengobatan keracunan Pb akibat kerja adalah menghentikan penambahan timah
hitam yang memasuki tubuh penderita yang pada umumnya melewati jalan
pernafasan atau pencernaan, serta mengobatinya dengan ethylendiaminetetraacetic
(EDTA) intravenous. Ethylendiaminetetraacetic akan mengikat kation Pb dalam
tulang dan jaringan lunak. Ekskresi lebih dari 600 µg Pb dalam spesimen urin 24 jam
menandakan adanya pajanan secara signifikan. Selain menggunakan EDTA, dapat
pula digunakan 2,3 dimercapto-1-propanol. Dua macam obat ini dapat mengikat Pb
yang ada pada jaringan seperti eritrosit, otot, liver, ginjal dan tulang trabekular.
Namun pada pasien dengan pajanan yang lama, sebagian besar Pb disimpan pada
tulang padat dan otak. Keberhasilan terapi ini tergantung pada beratnya gejala klinik,
derajat disfungsi organ terminal, kadar Pb dalam darah dan sifat pajanan akut atau
kronik. Biasanya terapi ini diindikasikan untuk pasien dengan kadar Pb dalam darah
lebih dari 80 μg/dl (DeRoos, 1997).
Tindakan pengendalian yang dapat diambil guna mencegah intoksikasi Pb bisa
berupa : (a) Pengawasan ketat terhadap sumber debu atau uap Pb, (b) peningkatan
higiene industri dan higiene perorangan seperti pakaian khusus dengan aliran udara
tekanan positif bagi pekerja yang membersihkan tangki-tangki penyimpanan TEL,
tidak boleh makan, minum dan merokok di tempat kerja, (c) pemeriksaan sebelum
penempatan meliputi riwayat medis dan pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus
pada sistem hematopoetik dan kadar Hb darah, (d) pemeriksaan berkala setiap tahun
untuk mencari tanda dan gejala pajanan Pb dan uji laboratorium untuk mengukur
absorbsi Pb yang berlebihan serta pemeriksaan untuk memastikan efek toksik Pb, (e)
uji saring dengan frekuensi uji saring tergantung terhadap tingkat pajanan potensial
dan hasil pemeriksaan kesehatan dan hasil uji saring sebelumnya, dan (f) pendidikan
cara mengenal bau uap TEL atau gasoline dan cara pencegahan keracunan (DeRoos,
1997).
Tindakan pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah dengan dilakukannya
program medical surveillance. Program ini harus dilakukan pada pekerjaan dengan
resiko tinggi dimana pekerja mungkin terpajan Pb di udara lebih dari 30 μg/m3 atau
lebih dari 30 hari per tiap tahun. Para pekerja harus dilakukan tes Pb darah dan FEP
pada waktu-waktu tertentu (DeRoos, 1997). Intervensi yang dapat dilakukan
terhadap hasil medical surveillance dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Hasil pemeriksaan kadar Pb darah orang dewasa dan intervensinya
berdasarkan standar Pb menurut OSHA (DeRoos, 1997).
Kadar Pb darah Intervensi>60 µg/dL atau jika rata-rata tiga sampel darah atau semua sampel darah selama 6 bulan.
Terapi secara medis, pemeriksaan Pb darah tiap bulan.
>50 µg/dL. ->40 (µg/dL ttapi < kadar Pb yang harus diterapi medis.
Pemeriksaan Pb darah tiap 2 bulan.
<40 µg/dL Pemeriksaan Pb darah tiap 6 bulan, pekerja yang telah diterapi secara medis boleh kembali bekerja.
B. Hemoglobin (Hb)
1. Sel darah merah
Darah terdiri dari elemen padat (sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit)
dan elemen cair (plasma). Fungsi utama darah adalah untuk transportasi; sel darah
merah mengandung pigmen pengangkut oksigen yang disebut dengan hemoglobin
merupakan 90% dari protein sel darah merah, berupa senyawa protein yang kompleks.
Hemoglobin di samping sebagai pembawa oksigen pada sel darah merah, juga
mentranspor CO2, suatu produk sampah dari metabolisme, ke paru untuk direspirasi
(Sylvia, 2006; Sacher, 2004).
Pada orang dewasa sebagian besar sel darah merah dihasilkan di sumsum tulang
membranosa seperti vertebra, tulang sternum, tulang iga dan pelvis. Dengan
meningkatnya usia, sumsum tulang-tulang ini menjadi kurang produktif. Secara genetik
sel darah merah berasal dari sel yang disebut hemositoblast. Secara kontinyu
hemositoblast dibentuk dari stem sel primordial yang terdapat di seluruh sumsum
tulang. Hemositoblast mula-mula membentuk eritroblast basofil yang mulai mensintesis
hemoglobin. Eritroblast kemudian menjadi eritroblast polikromatofilik (karena
mengandung campuran zat basofilik dan hemoglobin). Kemudian inti sel menyusut dan
hemoglobin dibentuk dalam jumlah yang lebih banyak, dan sel menjadi normoblast.
Selama stadium permulaan berbagai sel terus menerus membelah sehingga jumlah sel
makin lama makin banyak. Setelah sitoplasma normoblast terisi dengan hemoglobin
sampai konsentrasi kira-kira 34%, inti menjadi sangat kecil dan akhirnya dibuang. Maka
sel yang terakhir terbentuk yaitu eritrosit bila keluar dengan proses diapedesis
(menerobos melalui pori-pori membran) masuk ke dalam kapiler darah hampir tidak
mengandung zat inti. Sebagian eritrosit yang masuk ke dalam aliran darah mengandung
retikulum basofilik dalam jumlah kecil yang tersebar di antara hemoglobin dalam
sitoplasma. Retikulum ini merupakan sisa-sisa retikulum endoplasma yang
menghasilkan bagian globin dari hemoglobin pada sel yang muda, dan hemoglobin terus
menerus dihasilkan selama retikulum tetap ada, lamanya mencapai 2 hari. Pada stadium
ini sel disebut retikulosit (Guyton, 2008).
Sel darah merah mampu mengkonsentrasikan hemoglobin dalam cairan sel sampai
34 gram/dL sel. Konsentrasi hemoglobin tidak pernah meningkat melampaui nilai ini
karena adanya pembatasan metabolik dari mekanisme pembentukan hemoglobin dalam
sel. Bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, persentase
hemoglobin dalam sel dapat turun sampai serendah 15gr/dL atau kurang (Guyton,
2008).
2. Struktur hemoglobin
Nomenklatur (penamaan) mengenai hemoglobin (abnormal) Hemoglobin janin
dan dewasa mendapat nama-nama Hb F, Hb A Hemoglobin abnormal yang pertama kali
ditemukan (1949) inilah yang berasal dari anemia sel sabit dan mendapatkan Hb S.
Jenis-jenis lainnya mendapatkan huruf abjad C, D, E, dan sebagainya (B tidak
digunakan berhubung adanya kelompok darah (ABO). Hemoglobin abnormal yang
memberikan jalan sampai terjadinya methemoglobinemia, dinamakan Hb N (Suciani,
2007).
Setelah digambarkan mengenai Hb Q, maka kita beralih kepada nama tempat
diketemukannya H (Hemoglobin Punjab, Hb-Zurich, Hb-Koln). Pembagian Hb D, Hb E
dan sebagainya didasarkan atas perbedaan dalam gerak elektro foretik. Kemudian
ternyata bahwa, pada analisa asam amino, terdapat berbagai jenis D, E dan sebagainya.
Lalu kita berikan kepada deretan abnormal itu nama-nama sebagai berikut, misalnya :
Hb G λ Norfolk, Hb Mβ Saskatoon, Hb Fγ Roma, Hb A2 δ Flatbush (Suciani, 2007).
Kekurangan deretan γ (γ talasemi) menyebabkan berlebihan akan deretan
sehingga terbentuk tertramer β4. Kita namakan hal ini Hb H. Pada penderita ini juga
terdapat suatu ketidakmampuan untuk membentuk Hb F normal, dan sebagai gantinya
terjadi Hb γ4 (hemoglobin). Kekurangan akan deretan β (β talasemi) menyebabkan
kelebihan akan deretan γ(tetramer γ) tidak stabil, cepat mengadakan denaturalisasi dan
hanya terlihat dalam sumsum tulang saja sebagai tubuh Heinz (Heinz-bodies). Sel-sel
ini ditangkap di dalam limpa, sehingga karenanya tidak terlihat dalam sirkulasi. Kadar
Hb A2 dan F biasanya agak meningkat (Suciani, 2007).
3. Fungsi hemoglobin
Di dalam menjalankan fungsinya membawa oksigen ke seluruh tubuh,
hemoglobin di dalam sel darah merah mengikat oksigen melalui suatu ikatan kimia
khusus. Reaksi tersebut Hb + O2 ↔ HbO2 yang dapat berlangsung dalam 2 arah.
Reaksi yang berlangsung dalam arah ke kanan, merupakan reaksi penggabungan atau
asosiasi terjadi di dalam alveolus paru-paru, tempat berlangsungnya pertukaran udara
antara tubuh dengan lingkungan. Sebaliknya, reaksi yang berjalan dari kiri ke kanan
merupakan reaksi penguraian atau disosiasi, terutama terjadi di dalam berbagai jaringan.
Hemoglobin yang tidak atau belum mengikat oksigen disebut deoksihemoglobin
(deoksiHb atau Hb saja), sedangkan hemoglobin yang mengikat oksigen disebut
oksihemoglobin (HbO2) (Sadikin, 2002).
Selain mengangkut O2, hemoglobin juga dapat berikatan dengan karbondioksida
(CO2), karbonmonoksida (CO) dan bagian ion hidrogen asam (H+) dari asam karbonat
yang terionisasi yang terbentuk dari CO2 pada tingkat jaringan (Sherwood, 2014).
Pada fungsi transport CO2, hanya sebagian kecil saja yang berikatan langsung
dengan molekul hemoglobin melalui ikatan karbamino berupa Hb CO2. Sebagian yang
lain mengangkut CO2 sebagai bentuk terlarut dalam plasma. Tetapi berbeda dengan
oksigen, CO2 tidaklah larut secara fisik dalam bentuk senyawa tersebut, tetapi sebagai
ion bikarbonat (HCO3-) yang pembentukannya sangat memerlukan sel darah merah
(Sherwood, 2014).
4. Pembentukan hemoglobin
Pembentukan hemoglobin terjadi pada sumsum tulang melalui semua stadium
pematangan. Sintesis hemoglobin dimulai dari eritroblast dan terus berlangsung sampai
tingkat normoblas dan retikulosit. Retikulosit adalah stadium terakhir dari
perkembangan sel darah merah yang belum matang dan mengandung jala yang terdiri
dari serat-serat retukular. Sejumlah kecil hemoglobin masih dihasilkan selama 24
sampai 48 jam pematangan, retikulum kemudian larut dan menjadi sel darah merah
yang matang. Gambar 2.2. memberikan gambaran jelas sintesis hemoglobin.
Gambar 2.2. Sintesis hemoglobin (Guyton, 2008).
5. Zat-zat pembentuk hemoglobin
Menurut Guyton, zat-zat yang bekerja sebagai katalisator atau enzim dalam
pembentukan hemoglobin adalah:
a. Besi
Besi dalam molekul hemoglobin sangat penting untuk menjalankan fungsi
pengikatan dan pelepasan oksigen. Sebenarnya, hanya dengan molekul besi yang
ada di dalam hemoglobin itulah oksigen diikat dan dibawa. Maka bila terjadi
kekurangan besi, jumlah hemoglobin juga akan berkurang, sehingga jumlah
oksigen yang dibawa berkurang juga. Hal ini tampak jelas, misalnya dalam keadaan
kekurangan (defisiensi) besi, yang menimbulkan keadaan kekurangan darah atau
anemia, yang lebih tepat disebut sebagai kekurangan hemoglobin. Besi yang berada
dalam molekul hemoglobin juga dapat mengalami oksidasi sehingga terbentuk
hemoglobin teroksidasi atau methemoglobin. Dalam keadaan teroksidasi ini,
hemoglobin tidak lagi dapat menjalankan fungsinya untuk mengikat oksigen.
Keadaan ini dapat terjadi, misalnya bila ada oksidator yang seringkali berupa obat-
obatan.
b. Tembaga
Manusia dewasa rata-rata memerlukan kira-kira 2 mg tembaga perhari dalam
makanannya. Penambahan sedikit tembaga dalam makanan penderita anemia
hipokrom kadang-kadang mempercepat pembentukan hemoglobin.
c. Piridoksin
Kekurangan piridoksin dalam diet akan mengurangi kecepatan pembentukan
sel darah merah dan menekan kecepatan pembentukan hemoglobin.
d. Kobalt
Kekurangan kobalt dalam diet akan sangat menekan pembentukan
hemoglobin. Kelebihan kobalt dalam jumlah besar dapat menyebabkan
pembentukan sel darah merah yang lebih besar dari normal dan mengandung
hemoglobin yang normal.
e. Nikel
Nikel dapat menggantikan kobalt dalam membantu sintesis hemoglobin
dalam sumsum tulang (Guyton, 2008).
6. Hemoglobin darah
Kadar hemoglobin darah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur, jenis
kelamin, kehamilan, menstruasi, asupan makanan, kebiasaan minum teh atau kopi
(dapat menurunkan penyerapan besi), kebiasaan merokok dan penyakit infeksi. Selain
itu ada beberapa masalah klinis yang menyebabkan penurunan kadar hemoglobin seperti
anemia, kanker, penyakit ginjal, pemberian cairan intravena berlebihan dan penyakit
atau infeksi kronis; juga pemberian obat-obatan dalam waktu yang lama seperti
antibiotika, aspirin, sulfonamide, primaquin, dan kloroquin. Kurangnya asupan
makanan yang mengandung Fe juga dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin.
Tingkat absorbsi Fe dipengaruhi oleh faktor penunjang seperti vitamin C serta faktor
penghambat seperti tanin, phytat, dan serat. Kadar normal hemoglobin pada laki-laki
13-16 g/dL dan pada perempuan 12-14 g/dL (Easter, 1997).
Pada beberapa atlet dilaporkan mempunyai gejala kelelahan dan lemah yang dapat
memengaruhi penampilan latihan. Sport anemia, dalam pemeriksaan didapatkan kadar
serum ferritin, hemoglobin dan besi serum yang rendah. Hal ini terjadi karena pada atlet
dengan latihan yang berat terjadi hemodilusi yang disebabkan karena peningkatan
volume plasma. Pada pelari terjadi peningkatan volume plasma sampai 20% (Burke,
1994).
Setiap kondisi yang memengaruhi transport oksigen atau volume plasma dapat
mengubah kadar hemoglobin (Guyton, 2008).
a. Kehilangan darah.
Pada kehilangan darah akut menyebabkan berkurangnya volume darah yang
berakibat pada peredarannya, misal syok. Baru setelah ini diperbaiki, maka sebagai
akibat dari penahanan air dan garam, timbul pengenceran darah dan anemia. Pada
kehilangan darah kronis, terjadi anemia setelah sumsum tulang tidak dapat lagi
mengimbangi kehilangan itu, biasanya karena persediaan besi telah habis.
b. Pembentukan yang terganggu.
1). Sebagai akibat defisiensi dari bahan-bahan pembangun yang penting. Misal
besi, vitamin B12, asam folat, putih telur, vitamin C.
2). Sebagai akibat berbagai penyakit sumsum tulang, anemia aplastik, leukimia
akut dan kronis, karsinoma metastasis, dan lain-lain.
3). Sebagai akibat dari kerusakan sumsum tulang, misal oleh sitostatika, infeksi,
uremia, penyakit hati kronis, dan penyakit autoimun.
4). Sebagai akibat dari gangguan endokrin, misalnya hipogonadisme,
hipopituitarisme, hipotioridi, dan hipoadrenalisme (Guyton, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Baselt Re. Biological Monitoring Methods For Industrial Chemical, Second Edition. 1988.
Litteton Ma : Psg Publishing Co.
Briggs, T. And Chmolcr A.M. Biochemistry. Third Edition. Spinger Verlag. New York. Berlin
Heidelberg, London. Paris, Tokyo. Barcelona. 1995. P : 25-40.
Burke, L and Deakin, V. 1994. Clinical Sports Nutrition. Mc Graw-Hill Book Company. New
York. p.174 – 190.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
DeRoss Fj. (1997). Smelters and Metal Reclaimenrs. In Occupational, Industrial , and
environmental toxicology . New York : Mosby-Year book, p 291-3330.
Easter N. 1997. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik dengan implikasi keperawatan. Edisi
ke 2. Penerbit EGC. Jakarta. p. 22-24
Fardiaz. 2001. Polusi Air dan Udara. Jogyakarta: Kanisius.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
Nordberg M. Chemical Properties And Toxicity In : Stillman Jm Ed Encyclopedia of
Occupational Health And Safety 4th Ed. 1998. Geneva. 25-52.
OSHA. 2005. Lead. http://www.OSHA.gov/SLTC/safety and health topics construction. Tanggal
akses 23 Maret 2016.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. p: 20-30.
Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. p: 78-86.
Sacher, R.A and McPherson, R.A. 2004. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi
11. Alih bahasa : Brahm U.P dan Dewi W. EGC Penerbit buku kedokteran. Jakarta.
Sadikin, M. 2002. Biokimia Darah. Widya Medika. Jakarta. p. 12-24.
Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Alih bahasa Brahm, U. EGC
Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Shilu Tong, Yasmin E. Von Schirnding, Taippawan Propamontol. Bulletin of The World Health
Organization Environmental Lead Exposure, a Public Health Problem of Global
Dimension. 2000.
Suciani, S. 2007. Kadar Timbal dalam Darah Polisi Lalu Lintas dan Hubungannya dengan Kadar
Hemoglobin. Tesis Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang.
Sullivan J.B. and Kreger G.R. 1992, Hazardous Material Toxicology Clinical Principles of
Environmental Health. William and Wilkins. Baltimore, Maryland USA.
Sylvia, A.P. Lorraine, M.W. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4.
EGC Penerbit Buku Kedokteran. Diterjemahkan oleh Peter Anugerah. Jakarta. p: 223-230.
Widowati, W., dkk. (2008). Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hal. 109- 110, 119-
120, 125-126.
Zens Carl Md And Leon A Saryan. 1994. Occupational Medicine 3 Ed St Louis. Missouri.
Mosbya Year Book Inc. London. P : 504-538.
Nb: Bang, maaf ini dafpusnya tahun lama hehe. Nanti kalo suruh revisi, ku revisi yaa
bang. Makasih.