Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

17
Pendahuluan Anemia hemolitik adalah penurunan jumlah sel darah merah akibat destruksi sel darah merah yang berlebihan. Pada anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari), atau anemia hemolitik adalah kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya kembali. Sel darah merah yang tersisa bersifat normositik dan normokromik. Pembentukan sel darah merah di sumsum tulang akan meningkat untuk mengganti sel-sel yang mati, lalu mengalami peningkatan sel darah merah yang belum matur atau retikulosit yang dipercepat masuk ke dalam darah. 1 Anemia hemolitik dapat terjadi dari berbagai penyebab, seperti genetik di sel darah merah yang mempercepat destruksi sel, atau perkembangan idiopatik otoimun yang mendestruksi sel. Luka bakar berat, infeksi, pajanan darah yang tidak kompatibel, atau panjanan obat atau toksin tertentu juga dapat menyebabkan anemia hemolitik. Bergantung pada penyebabnya, anemia hemolitik dapat terjadi hanya sekali atau berulang. 1 Anamnesis Gejala apa yang dirasakan oleh pasien? Lelah, malaise, sesak napas, nyeri dada, atau tanpa gejala ? apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap ? adakah petunjuk mengenai penyebab anemia ?

description

a

Transcript of Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

Page 1: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

Pendahuluan

Anemia hemolitik adalah penurunan jumlah sel darah merah akibat destruksi sel darah

merah yang berlebihan. Pada anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal

umur eritrosit 100-120 hari), atau anemia hemolitik adalah kurangnya kadar hemoglobin

akibat kerusakan pada eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk

menggantinya kembali. Sel darah merah yang tersisa bersifat normositik dan normokromik.

Pembentukan sel darah merah di sumsum tulang akan meningkat untuk mengganti sel-sel

yang mati, lalu mengalami peningkatan sel darah merah yang belum matur atau retikulosit

yang dipercepat masuk ke dalam darah.1

Anemia hemolitik dapat terjadi dari berbagai penyebab, seperti genetik di sel darah

merah yang mempercepat destruksi sel, atau perkembangan idiopatik otoimun yang

mendestruksi sel. Luka bakar berat, infeksi, pajanan darah yang tidak kompatibel, atau

panjanan obat atau toksin tertentu juga dapat menyebabkan anemia hemolitik. Bergantung

pada penyebabnya, anemia hemolitik dapat terjadi hanya sekali atau berulang.1

Anamnesis

Gejala apa yang dirasakan oleh pasien? Lelah, malaise, sesak napas, nyeri dada, atau

tanpa gejala ? apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap ? adakah

petunjuk mengenai penyebab anemia ?

Tanyakan kecukupan makanan dan kandungan Fe. Adakah gejala yang konsisten

dengan malabsorpsi ? Adakah tanda-tanda kehilangan darah dari saluran cerna (tinja

bgelap. Darah per rektal, muntah ‘butiran kopi’)?

Jika pasien seorang wanita, adakah kehilangan darah menstruasi berlebihan ? tayakan

frekuensi durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta pembalut. Adakah sumber

kehilangan darah yang lain ?2

Riwayat Penyakit Dahulu

Adakah dugaan penyakit ginjal kronis sebelumnya ? adakah riwayat penyakit kronis

(misalnya artritis reumatoid atau gejala yang menunjukan keganasan)? Adakah tanda-tanda

kegagalan sumsum tulang (memar, perdarahan, dan infeksi yang tak lazim atau rekuren)?

Page 2: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

Adakah tanda-tanda defisiensi vitamin seperti neuropati perifer (pada defisiensi

vitamin B12 subacute combined degeneration of the cord [SACDOC])? Adakah

alasan untuk mencurigai adanya hemolisis (misalnya ikterus, katup buatan yang

diketahui bocor ?

Adakah riwayat anemia sebelumnya atau pemeriksaan penunjang seperti endoskopi

gastrointestinal ? Adakah disfagia (akibat lesi esofagus yang menyebabkan anemia

atau selaput pada esofagus akibat anemia defisiensi Fe)?2

Riwayat Keluarga

Adakah riwayat anemia dalam keluarga ? khususnya pertimbangkan penyakit sel

sabit, talasemia, dan anemia hemolitik yang diturunkan.2

Riwayat Kebiasaan

Tanyakan riwayat bepergian dan pertimbangan kemungkinan infeksi parasit (misalnya

cacing tambang dan malaria).2

Riwayat Obat-Obatan

Obat-obatan tertentu berhubungan dengan kehilangan darah (misal : OAINS

menyebabkan erosi lambung atau supresi sumsum tulang akibat obat sitotoksik).2

Pemeriksaan Fisik

Apakah pasien sakit ringan atau berat ? Apakah pasien sesak napas atau syok akibat

kehilangan darah akut ? Adakah tanda-tanda anemia ? Lihat apakah konjungtiva

anemis dan telapak tanga pucat. (anemia yang signifikan mungkin timbul tanpa tanda

klinis yang jelas.)

Adakah koilonikia (kuku ‘seperti sendok’) atau keilitis angularis seperti yang

ditemukan pada defisiensi Fe yang sudah berlangsung lama ?

Adakah tanda-tanda ikterus (akibat anemia hemolitik) ? Adakah bintik-bintik di

sirkumoral (sindrom Osler-Weber-Rendu)? Adakah telangiektasia (telangiektasia

hemoragik herediter)?

Adakah tanda-tanda kerusakan trombosit (misal : memar, ptekie)? Adakah tanda-

tanda leukosit abnormal atau tanda-tanda infeksi ? Adakah tanda-tanda keganasan ?

Adakah penurunan berat badan baru-baru ini, massa, jari tabuh, atau limfadenopati ?

Page 3: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

Adakah hepatomegali, splenomegali, atau massa abdomen ? apakah hasil pemeriksaan

rektal normal ? Adakah darah samar pada feses ? Adakah tanda-tanda neuropati

perifer (menunjukan adanya defisiensi vitamin B12 atau folat)?2

Pemeriksaan Penunjang

1. Complete Blood Count dan Peripheral Blood Smear. Dapat mendeteksi anemia,

pansitopenia dan infeksi. Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit serta

retikulositosis merupakan parameter yang ditemukan pada anemia. Disamping itu,

RDW juga dapat dilakukan yang dapat menemukan anisositosis yang ditemukan pada

anemia hemolitik. Retikulositosis terjadi akibat kompensasi peningkatan

pembentukan eritrosit, yang merupakan salah satu indikator adanya anemia hemolitik,

akan tetapi tidak spesifik untuk hemolisis. Pengambilan sampel dilakukan dan dijaga

agar sampel tetap pada suhu 37 derajat Celcius yang dapat didapatkan dengan

pengambilan darah vena dicampurkan dengan EDTA kemudian ditaruh didalam gelas

beaker berisi air 37 derajat Celcius. Apabila sampel akan dikirimkan ke tempat lain,

lebih baik sampel dikirim dalam bentuk terpisah yakni serum dan whole blood yang

ditambahkan ACD atau CPD dikirim secara terpisah dalam suhu 37 derajat Celcius.

Sedangkan apusan darah tepi dapat membantu untuk menentukan adanya hemolisis

yang didasari oleh keganasan. Pada anemia hemolitik dapat ditemukan adanya

sferosit. Pada defisiensi G6PD dapat ditemukan Heinz bodies. Dan pada sickle cell

anemia dapat ditemukan gambaran sickle cell pada apusan darah tepi.3

2. Serum Lactate Dehydrogenase dan Serum Haptoglobin. Kenaikan serum LDH

merupakan suatu kriteria adanya hemolisis dan sensitif untuk hemolisis walaupun

tidak spesifik karena juga dapat naik pada pasien dengan infark miokard. Penurunan

serum haptoglobin dapat menjadi salah satu penanda adanya hemolisis. Akan tetapi,

serum haptoglobin merupakan reaktan fase akut yang juga dapat meningkat pada

penyakit-penyakit infeksi, yang juga kadarnya bergantung pada fungsi hepar dan

stress sistemik.1,4

3. Indirect Billirubin. Bilirubin yang tak terkonjugasi merupakan suatu kriteria adanya

hemolisis, akan tetapi tidak spesifik karena juga dapat meningkat pada penyakit lain

seperti Gilbert Disease. Pada anemia hemolisis biasanya peningkatan tidak melebihi

Page 4: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

dari 3 mg/dL. Apabila terdapat peningkatan melebihi angka diatas dapat diduga akibat

adanya komplikasi penyerta seperti fungsi hepar dan kolelitiasis.4

4. Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s test) : sel eritrosit pasien dicuci dari

protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi

monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama IgG

dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.5

5. Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb’s test) : untuk mendeteksi autoantibodi

yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.

Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada reagen, dan dapat

dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.5

Diagnosis Banding

Anemia Defisiensi Glucose 6-Phosphate Dehydrogenase. Merupakan suatu

penyakit genetik dengan mutasi pada Xq28 yang bermanifestasi dengan adanya jaundice

pada neonatus dengan riwayat dilakukannya transfusi tukar. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan anemia dan kadang (amat jarang) ditemukan splenomegali. Pemeriksaan

penunjang yang merupakan baku emas untuk penyakit ini adalah aktivitas enzim G6PD

(menurun). Selain itu juga dapat dilakukan CBC untuk melihat retikulosit (meningkat),

bilirubin indirek (meningkat) dan serum haptoglobin (menurun). Selain itu pada apusan darah

tepi dapat ditemukan Heinz bodies yang merupakan hemoglobin yang terdenaturisasi.5,6

Sickle Cell Anemia. Dikarakteristikkan dengan pergantian satu asam amino pada beta

globin (pergantian asam glutamat menjadi valin pada residu keenam) yang kemudian

memproduksi suatu molekul dengan penurunan kelarutan oksigen dalam darah. Walau

anemia dan hemolisis dapat muncul, akan tetapi gejala mayor yang dapat timbul adalah

vasooklusi dari bentuk bulan sabit oleh eritrosit. Infark multi organ dapat terjadi terutama

pada paru (hipertensi pulmonal), tulang (nekrosis avaskular terutama pada caput femoris dan

caput humerus), limpa (pembesaran yang cepat dengan peningkatan angka retilukosit), retina

(retinitis proliferatif), otak (stroke) dan organ-organ lain. Anemia dan hemolisis bukan

merupakan gejala yang utama. Pemeriksaan yang menjadi baku emas adalah skrining HbS

dan morfologi darah tepi yang dapat ditemukan adanya gambaran eritrosit menyerupai bulan

sabit dan eritrosit normositik normokrom dengan leukositosis dan trombositosis.5,6

Drug-Induced Anemia. Akibat adanya hapten yang melibatkan antibodi tergantung

obat, pembentukan kompleks ternary, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit

Page 5: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

tanpa ada lagi obat pemicu serta oksidasi hemoblogin, akan menyebabkan uji Coombs positif

tanpa adanya kerusakan eritrosit. Obat yang menginduksi pembentukan autoantibodi antara

lain metildopa, kinin, kuinidin, sulfonilurea dan tiazid serta analog purin seperti fludarabine,

cladribine dan pentostatin.Tanda hemolisis dapat dilihat terutama Heinz bodies, blister cell,

bites cell dan eccentrocytes. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia,

retikulosis, MCV tinggi, uji Coombs positif, leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia

dan juga hemoglobinuria.5,6

Hereditary Spherocytosis. Merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan

gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Hal ini

terjadi akibat defek protein pembentuk membran eritrosit, akibat defisiensi spectrin, ankryn,

dan/atau protein pita 3 atau protein pita 4.2. Gejala klinis meliputi anemia, splenomegali dan

ikterus. Pada pemeriksaan sumsum tulang dapat ditemukan hiperplasia sel eritroid sebagai

kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah

tulang panjang. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan sel eritrosit yang kecil

berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat dengan diameter yang lebih kecil dan

adanya fragilitas osmotik. Hitung MCV yang normal atau sedikit menurun dan MCHC yang

meningkat. Dapat juga ditemukan peningkatan katabolisme pigmen dan hiperplasia eritroid

serta retikulositosis. Pada sferositosis herediter yang merupakan penyakit anemia hemolitik

non-imun, didapatkan uji Coombs negatif.5,6

Diagnosis Kerja

Pada kasus didapatkan seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah

lelah sejak 3 minggu yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan

demam, mual, muntah, serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat dengan konjungtiva anemis ODS, sklera

ikterik ODS dan splenomegali Schuffner II. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar

Hb 9.5 gr/dL, Ht 35%, MCH 30 pg/cell, MCV 82 fL, MCHC 34 g/dL, Leukosit 8900 sel/cc,

Trombosit 230.000 per mikroliter dan Retikulosit 6%. Sedangkan pemeriksaan penunjang

diagnostik seperti Coombs Test dan bilirubin indirek belum dilakukan. Dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami

Anemia Hemolitik Autoimun.

Page 6: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik auto-

imun merupakan suatu kelainan

dimana terdapat antibodi

terhadap sel-sel eritrosit

sehingga umur eritrosit menjadi

memendek. Maka, dari definisi

tersebut, baik antibodi patologis

dan eritrosit yang lisis harus

ada di setiap kasusnya. Kondisi

ini dapat dibedakan

berdasarkan karakteristik

aktivitas antibodi ini pada temperatur yang berbeda. Antibodi yang aktif pada suasana dingin

hanya memiliki sedikit aktivitas pada suhu tubuh, akan tetapi afinitas akan meningkat apabila

suhu tubuh menjadi semakin mendekat 0 derajat Celcius. Berkebalikan pada tipe hangat yang

memiliki afinitas paling baik pada suhu tubuh (sekitar 37 derajat Celcius).3

Antibodi tipe dingin biasanya adalah IgM, yang merupakan fixed complement dan berujung

pada destruksi eritrosit intravaskular dengan segera. Berkebalikan dengan IgG yang

meurpakan IgG, yang bisa jadi bukan merupakan fixed complement dan berujung pada

kehilangan eritrosit akibat destruksi oleh limpa atau sensitisasi sel. Biasanya satu pasien

dapat memiliki baik antibodi tipe dingin maupun tipe hangat.3

Etiologi

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi

karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit

autoreaktif residual.6

Epidemiologi

Anemia hemolitik merupakan anemia yang tidak terlalu sering dijumpai, tetapi bila

dijumpai memerlukan pendekatan diagnostik yang tepat. Pada kasus-kasus penyakit dalam

yang dirawat RSUP sanglah tahun 1997, anemia hemolitik merupakan 6% dari kasus anemia,

Sumber: Bain BJ. Blood cell morphology in health and disease. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewis SM, editor. Practical haematology. 11th ed.

Gambar 5. Anemia hemolitik pada apusan darah tepi

Page 7: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

menempati urutan ketiga setelah anemia aplastik dan anemia sekunder karena keganasan

hematologis.5

Patofisiologi

Proses hemolisis akan menimbulkan beberapa gejala berikut ini.

1. Penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Hemolisis dapat

terjadi perlahan-lahan, sehingga dapat diatasi oleh mekanisme kompensasi tubuh,

tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba, sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin.7

2. Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh. Hemolisis berdasarkan tempatnya

dibagi menjadi dua.

Hemolisis ekstravaskuler

Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem retikulo endotelial (RES) terutama

pada lien, hepar, dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme

oxygenasse. Lisis terjadi karena kerusakan membran, presipitasi hemoglobin dalam

sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Pemecahan eritrosit ini akan

menghasilkan globin yang akan dikendalikan ke protein pool, serta besi yang

dikembalikan ke makrofag selanjutnya akan digunakan kembali, sedangkan

protoporfirin akan menghasilkan gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah

berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam

hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga

meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urine.7

Hemolisis intravaskuler

Pemecahan eritrosit intravaskular menyebabkan lepasnya hemoglobin bebas ke

dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh hepatoglobin, sehingga

kadar hepatoglobin plasma akan menurun. Apabila kapasitas hepatoglobin

dilampaui, maka terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai

hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi

metemoglobin sehingga terjadi metemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan keluar

melalui urine sehingga terjadi hemoglobinuria. Pemecahan eritrosit intravaskular

akan melepaskan banyak LDH yang terdapat dalam eritrosit, sehingga serum LDH

akan meningkat.7

Page 8: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

3. Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoesis. Destruksi eritrosit

dalam darah tepi akan merangsang mekanisme bio-feedback sehingga sumsum tulang

meningkatkan eritropoesis. Peningkatan eritropoesis ditandai oleh peningkatan jumlah

eritroblast dalam sumsum tulang, sehingga terjadi iperplasia normoblastik.7

Manifestasi Klinis

Anemia hemolitik ditandai oleh ikterus disertai dengan meningkatnya bilirubin serum

yang belum berkonjugasi, meningkatnya urobilinogen dalam urin dan tinja, meningkatnya

hepatoglobin, dan retikulositosis. Derajat retikulosis secara tidak langsung menunjukan laju

hemolisis. Tak ada pigmen empedu dalam urin (ikterus yang bersifat akolurik). Laju

menghilangnya eritrosit berlabel kromium memberikan pengukuran laju hemolisis yang lebih

akurat. Bisa terjadi splenomegali dan batu pigmen. Pada apus darah bisa tampak

polikromasia, sferosit, eritrosit mengkerut dan pecah menjadi fragmen-fragmen. Bisa tampak

gambaran :

Penghancuran eritrosit yang cepat peningkatan hemoglobin plasma.

Methemalbuminemia, menurunnya haptoglobin, hemoglobinuria, dan hemosideriuria

Pembentukan eritrosit belebihan retikulosis, hiperplasia eritroid dan meningkatnya

kebutuhan folat.8

Penatalaksanaan

Kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari dapat memperbaiki respon klinis dalam 2 minggu

(Ht meningkat, retikulosit meningkat, Coombs test positif lemah dan Coombs test indirek

negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada

tanda respons terhadap steroid, dapat diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20

mg/hari. Terapi steroid dosis dibawah 30 mg/hari dapat diberikan secara selang sehari.

Beberapa pasien akan memerlukan tearpi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila

dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Ht, maka perlu segera

dipertimbangkan modalitas lain.9

Efek samping dari penggunaan steroid dapat timbul akibat dua penyebab, yakni

penghentian pemberian secara mendadak atau pemberian terus-menerus dengan dosis besar.

Efek samping utama adalah insufisiensi adrenal dengan gejala demam, mialgia, artralgia dan

Page 9: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

malaise yang terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak

memproduksi steroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid

eksogen. Selain itu dapat timbul gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria,

rentan terkena infeksi, perdarahan pada pasien tukak peptik, osteoporosis, miopati

karakteristik, psikosis, dan reaksi Cushingoid. Sampai sekarang tidak ada kontraindikasi

absolut untuk kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid harus diawasi dengan ketat

(kontraindikasi relatif) pada pasien diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat,

hiperteni atau gangguan sistem kardiovaskular lain.9

Splenektomi dapat dilakukan bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa

dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi.

Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis

masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit

terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit

yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%. Namun tidak bersifat

permanen.9

Efek samping dari splenektomi adalah pasien post-op splenektomi akan mengalami

waktu yang lebih panjang dalam penyembuhan penyakit-penyakit infeksi seperti pneumonia,

meningitis, infuenza e.c. Human Influenza Virus B, sepsis, infeksi nosokomial, malaria, dan

penyakit lainnya dan penyakit gram negatif dari gigitan binatang. Pasien-pasien ini juga

memiliki mikropartikel di darah yang menyebabkan naiknya angka resiko demesia dan

penyakit jantung dari gumpalan darah. Juga penyakit-penyakit pembuluh darah lain.9

Danazol 600-800 mg/hari biasanya digunakan bersama steroid. Apabila terjadi

perbaikan dapat diturunkan atau dhentikan. Danazol merupakan suatu sediaan androgen

dengan gugus 17-alkil yang diberikan per-oral dengan pemakaian klinis terutama untuk

endometriosis, mammae fibrositik dan edema angioneurotik herediter. Preparat ini dapat

merangsang pembentukan eritropoietin, karena itu dapat digunakan untuk kasus yang

refrakter. Danazol dikombinasikan bersama steroid untuk anemia hemolitik dan trombotik

trombositopenik purpura yang resisten terhadap pengobatan primer. Efek sampingnya adalah

maskulinisasi, feminisasi, penghambatan spermatogenesis, hiperplasia prostat, gangguan

pertumbuhan, edema, ikterus dan hiperkalesmia.9

Mycophenolate mofetil 500-1000 mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang baik

pada AIHA refrakter. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan

respon yang cukup baik sebagai salvage therapy. Dosis Rituximab 100 mg per minggu

selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Rituximab merupakan

Page 10: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

suatu antibodi monoklonal, demikian pula dengan alemtuzumab yang digunakan untuk CLL,

limfoma sel B (Rituximab) dan limfoma sel T (Alemtuzumab). Rituximab merupakan antigen

CD20 dan alemtuzumab memiliki target CD52. Pasien dengan terapi rituximab, walau hanya

sementara dapat mengalami deplesi sel B. Pada pasien dengan AIHA tipe dingin, mengalami

penurunan serum aglutinin dan deplesi muncul pada infusi ketiga rituximab dengan durasi 96

minggu. Sedangkan sekitar 13-18 minggu pada pasien dengan ITP. Terapi transfusi bukan

kontraindikasi mutlak, pada kondisi dimana Hb dibawah 3 g/dL dapat digunakan sembari

menunggu steroid dan immunoglobulin intravena berefek. Immunoglobulin intravena

menujukkan perbaikan pada 40% pasien dan hanya sementara.9

Prognosis

Dubia. Prognosis tergantung dari kausa dan tipe anemia hemolitik yang diderita

pasien. Kematian biasanya jarang terjadi akan tetapi akan meningkat pada pasien dengan

penyakit kardiovaskular, paru, dan penyakit cerebrovaskular. Anemia dapat memperburuk

penyakit-penyakit diatas.

Kesimpulan

Anemia hemolitik merupakan penurunan jumlah sel darah merah akibat destruksi sel

darah merah yang berlebihan. Dapat di diagnosa dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan anemia hemolitik bisa dengan transfusi (harus

dengan pengawasan), suportif, kausal, splenektomi. Prognosisnya dubia ad bonam selama

pasien mengikuti penatalaksanaan medicamentosa ataupun non-medicamentosa dengan

benar.

Page 11: Pbl Blok 24- Skenario 5 - REVISI Anemia Hemolitik

Daftar Pustaka

1. Corwin, Elizabeth J. Patofisiologi : buku saku. Jakarta : EGC, 2009.h.416.

2. At a Glance. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga,

2005.h.85.

3. Friedberg RC, Johari VP. Autoimmune hemolytic anemia. In: Greer JP, Foerster J,

Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber D, et al, editor. Wintrobe’s clinical

hematology. Edisi ke-12. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.h.956-

62.

4. Speicher CE, Smith JW. Pemilihan uji laboratorium yang efektif. Jakarta : EGC,

1996.h.34.

5. McPherson RA, Pincus MR, editor. Henry’s clinical diagnosis and management by

laboratory methods. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.h.571-3,93-6.

6. Rinaldi I, Sudoyo AW. Anemia hemolitik non imun. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi

B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.

Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1157-60.

7. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi : pemeriksaan & manajemen. Jakarta :

EGC, 2007.h.173.

8. Handayani W, Hariwibowo AS. Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan

gangguan sistem hematologi. Jakarta : Salemba Medika, 2008.h.60-1.

9. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit

Erlangga, 2007.h.358-60.