Resume Kasus II

11
RESUME KASUS II: SINDROM NEFROTIK I. DEFINISI DAN INSIDENSI Behrman et al 2000 dalam Bell F (2002), menyatakan bahwa sindrom nefrotik bukan merupakan suatu penyakit namun istilah yang digunakan untuk merangkum gejala berikut: a. Proteinuria yang berat b. Hipoproteinemia c. Edema d. Hiperlipidemia Sindrom ini dapat terjadi karena berbagai jenis penyakit yang mempengaruhi fungsi filtrasi glomerolus menjadi lebih permeable terutama pada protein plasma dan mengakibatkan hilangnya banyak protein ke dalam urin. Insidensi Sindrom Nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4 kasus baru per 100.000 ribu anak per tahun. Di negara berkembang insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia angka kejadian mencapai 6 kasus pada tiap 100.000 anak pertahun. (Wahyuni, 2012) Berdasarkan data dari Rekam Medik di RS. PKU Muhammdiyah Surakrta angka kejadian penyakit sindroma nefrotik pada anak, periode Januari 2011 sampai April 2012 tercatat ada 4 klien, penyakit tersebut tergolong dalam penyakit yang masih langka. (Wati, 2012) II. ETIOLOGI Menurut (Eddy & Symons, 2003):

description

Asuhan Keperawatan

Transcript of Resume Kasus II

Page 1: Resume Kasus II

RESUME KASUS II:SINDROM NEFROTIK

I. DEFINISI DAN INSIDENSIBehrman et al 2000 dalam Bell F (2002), menyatakan bahwa sindrom nefrotik bukan merupakan suatu penyakit namun istilah yang digunakan untuk merangkum gejala berikut:

a. Proteinuria yang beratb. Hipoproteinemiac. Edemad. Hiperlipidemia

Sindrom ini dapat terjadi karena berbagai jenis penyakit yang mempengaruhi fungsi filtrasi glomerolus menjadi lebih permeable terutama pada protein plasma dan mengakibatkan hilangnya banyak protein ke dalam urin.

Insidensi Sindrom Nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4 kasus baru per 100.000 ribu anak per tahun. Di negara berkembang insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia angka kejadian mencapai 6 kasus pada tiap 100.000 anak pertahun. (Wahyuni, 2012)

Berdasarkan data dari Rekam Medik di RS. PKU Muhammdiyah Surakrta angka kejadian penyakit sindroma nefrotik pada anak, periode Januari 2011 sampai April 2012 tercatat ada 4 klien, penyakit tersebut tergolong dalam penyakit yang masih langka. (Wati, 2012)

II. ETIOLOGIMenurut (Eddy & Symons, 2003):

a. Penyakit genetik, terjadi mutasi pada gen yang memberikan kode penting pada protein podosit.

b. Sindrom multisistem, gallow-way mowat syndrome.c. Penyakit metabolik, anemia sel sabit.d. Idiopatik, kemungkinan dikarenakan kelainan sel T yang akan

mengakibatkan disfungsi podosit glomerular.e. Penyebab sekunder: infeksi (hepatitis B dan C, HIV-1, malaria, sifilis,

toxoplasma); obat-obatan (penicillamine, NSAID, pamidronate, inteferon, mercury, heroin, lithium); penyakit alergi (penyakit castleman, penyakit kimura, sengatan lebah, makanan); dan hiperfiltrasi glomerolus (oligomeganefronia, obesitas, adaptasi terhadap pemotongan nefron)

Page 2: Resume Kasus II

III. MANIFESTASI KLINISManifestasi klinis yang paling utama pada sindrom nefrotik adalah edema, biasanya lunak dan cekung bila ditekan. Edema umumnya terjadi pada area periorbital (, ektremitas, dan abdomen, edema dapat terjadi pada seluruh tubuh (anasarka). Gelaja lain yang mungkin terjadi adalah malaise, anoreksia, sakit kepala, iritabilitas, dan keletihan. (Smeltzer, 2008)

Pada data hasil pemeriksaan laoratorium dapat ditemukan hipoimunoglobulin, yang akan meningkatkan kerentanan akan infeksi. Hipoalbuminemia, akan direspon oleh hati dengan meningkatkan lemak plasma sehingga terjadi hiperlipidemia. (Corwin, 2009)

Dalam laporan ISKDC (International study of kidney diseases in children), pada SNKM (Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. (Alatas, 2013)

IV. KLASIFIKASIBeberapa klasifikasi Sindrom Nefrotik berdasarkan gambaran patologi anatomi:

a. 80-90% mempunyai gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM).

b. 7-8%, glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)c. 1,9 – 2,3%, mesangial proliferatif difus (MPD)d. 6,2%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)e. 1,3%, nefropati membranosa (GNM).

Menurut (Wahyuni, 2012) saat ini, klasifikasi lebih didasarkan pada respon klinik karena respon terhadap pengobatan steroid, lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.

a. Sindroma nefrotik sensitif steroid (SNSS)

SNSS terjadi jika klien mengalami remisi pada pengobatan prednison dosis penuh 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu

b. Sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS)

SNRS adalah jika tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

V. KOMPLIKASIa. Infeksi, karena terjadi defisiensi imun.b. Tromboembolisme, terutama di vena renal.

Page 3: Resume Kasus II

c. Emboli pulmoner.d. Peningkatan terjadinya atherosklerosis.(Smeltzer, 2008)e. Syok hipovolemik. (Bell, 2002)

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKDiagnosis sindroma nefrotik ditegakkan dengan adanya edema, proteinuria berat (>40 mg/m2LPB/jam atau ≥ 50 mg/kgBB/hari, atau rasio protein/kreatinin > 2,0 mg/mg atau dipstick ≥+2), hipoalbuminemia <2,5g/dl), dan hiperlipidemia. (Wahyuni, 2012)

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan antara lain:

a. Urinalisis.b. Protein urin, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada

urin pertama di pagi hari.c. Pemeriksaan darah

- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrik, LED)- Kadar albumin dan kolesterol plasma- Kadar ureum dan kreatinin

d. Pemeriksaan untuk memeriksa adanya penyakit penyerta seperti pemeriksaan C3 bila dicurigai lupus erimatosus sistemik.

VII. PENATALAKSANAANBerdasarkan hasil Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik pada Anak yang dilaksanakan IDAI penatalaksanaan yang dilakukan mencakup pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan streroid, dan edukasi orang tua.

a. Pengaturan dietSaat ini pemberian diet tinggi protein sudah tidak diperlukan bahkan dianggap kontraindikasi, karena akan meningkatkan beban glomerolus dan mengakibatkan sklerosis glomerolus. Sedangkan diet rendah protein akan menyebabkan anak malnutrisi. Maka dari itu protein yang diberikan adalah kebutuhan protein standar untuk anak yaitu 2 gr/KgBB/hari. Diet rendah natrium 1-2 gr/hari, apabila anak mengalami edema.

b. Penanggulangan edemaTirah baring tidak perlu dipaksakan, disesuaikan dengan kemampuan aktivitas klien. Jika edema tidak berat maka anak boleh sekolah dengan membatasi aktivitasnya.Rektriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Diberikan juga diuretik furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari.Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium).

Page 4: Resume Kasus II

c. Pengobatan steroidSesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). (Alatas, 2013)Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. (Alatas, 2013)Sebelum dilakukan pengobatan pada pasien resisten steriod harus dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatominya. Karena pengobatan dengan CPA (Siklofosfamid) memberikan hasil lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Jika tidak ada remisi maka diberikan Siklosporin (CyA) namun menimbulkan beberapa efek samping CyA antara lain hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:1. Kadar CyA dalam serum (dipertahankan antara 100-200 ug/mL)2. Kadar kreatinin darah berkala3. Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun (Alatas, 2013)

VIII. PROGNOSISIndkator terpenting dalam menentukan prognosis dari penyakit adalah responsifitas klien terhadap mengobatan steroid. Sekitar 60-80% anak yang responsif terhadap steroid akan mengalami kekambuhan dan 60%-nya mengalami hingga 5 atau lebih kekambuhan. Untuk klien dengan resisten steroid masih dperlukan studi klinis yang lebih lanjut. Namun dengan pengobatan yang tepat, klien akan mengalami remisi dengan obat lini kedua atau lini ke tiga. (Eddy & Symons, 2003)

IX. ASKEPA. PENGKAJIAN

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 4 tahun

Riwayat kesehatan :

Page 5: Resume Kasus II

a. Keluhan utama: Pasien edema anasarka, menurut ibu anak mengalami bengkak sekitar 1 bulan yang lalu di daerah periorbita, terutama saat bangun tidur muka sembab dan mengeluh pusing.

b. Riwayat kesehatan masa lalu: Sejak 1 tahun lalu mengalami bengkak seluruh tubuh, dibawa ke RS Majalaya dan dikatakan bocor ginjal. Klien kontrol dalam 3 bulan terakhir namun tidak ada perbaikan. Kemudian dibawa ke RS Al-Ihsan dan diberi obat warna hijau 3x2 selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan 4 tablet/hari selang sehari. Keluhan tidak berubah, lalu klien dibawa ke RSHS.

Pola eliminasi : Sebelum sakit 3-5x/hari, saat ini frekuensi dan volume urin berkurang.

Pemeriksaan fisik :

TD 130/90mmHg HR 112x/menit

RR 28x/menit Rasio insp:eksp 1:1

Suhu 36°C Asites (+)

Antropometri :

BB 32,5 Kg (N sesuai TB: 22,4 Kg)

TB 121,5 cm

LP 68 cm

Hasil laboratorium :

a. DarahHb 13 gr% Ht 44%(N: 10-16) (N: 37-43)Protein total 6,0 Albumin 2,1(N: 6,2-6,4) (N: 3,8-5,1)Kolesterol total 345 Trigliserida 172(N: 130-170) (N: 10-135)BUN 30 mg% Serum kreatinin 0,9 mg%(N: 10-50) (N: 0,9-1,3)

b. UrinAlbumin urin ++++ Warna urin kuning(N: -)Kejernihan keruh pH urin 6,5(N: Jernih) (N: 5,0-7,5)BJ urin 1,010 Glukosa urin (-)(N: 1,003-1,030) (N: -)

Page 6: Resume Kasus II

Nitrit urin (-) Keton urin (+)(N: -) (N: -)Urobilinogen 0,1(N: 0,09-4,23)

B. ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah

DS: menurut keterangan ibu klien, klien mengalami bengkak terutama setelah bangun tidurDO: klien edema anasarkaAlbumin ++++Albumin darah rendah 2,1Frekuensi dan volume BAK berkurangBB klien lebih dari normal BB/TB

Akumulasi cairan di ruang interstitial

Kelebihan volume cairan

DS: -DO:RR 28x/menitRasio insp:eksp 1:1Asites (+)

Penurunan ekspansi paru sekunder dari Asites

Pola nafas tidak efektif

C. DIAGNOSA

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di rumah interstitial ditandai dengan

DS: menurut keterangan ibu klien, klien mengalami bengkak terutama setelah bangun tidur

DO: klien edema anasarkaAlbumin ++++Albumin darah rendah 2,1Frekuensi dan volume BAK berkurangBB klien lebih dari normal BB/TB

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder dari Asites ditandai dengan

DS: -

DO: RR 28x/menit, Rasio insp:eksp 1:1, Asites (+)

D. INTERVENSI

Page 7: Resume Kasus II

Intervensi Rasional

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di rumah interstitialRetriksi intake cairan:Intake (4xBB1+2xBB2+1xBB3)x24 jam-20% (edema anasarka)= (4x10+2x10+1x2,4)x24-20%= (40+20+2,4)x24-20%= (62,4x24)-20%= 1497,6-20%(1497,6)= 1497,6-300= 1197,6 ml

Kolaborasi:Diuretik

Obat NF resisten steroid (karena tidak terjadi remisi pada terapi steroid)

Jaga kondisi kulit klien:Gunakan pakaian tipis dan serap keringatKulit klien harus tetap kering

Batasi aktivitas klien

Jaga kondisi lingkungan klien, jauhkan dari infeksi lain

Diet rendah natrium

Pertahankan asupan protein normal

Intake cairan normal atau berlebih dapat memperparah edema

Diuretik membantu penarikan cairan dari ruang interstitialPemberian obat yang tepat dapat meningkatkan remisi

Edema merusak integritas kulit klien

Aktivitas memperbanyak akumulasi cairan

Pemberian kortikosteroid menurunkan imunitas.

Natrium bersifat menarik cairan dan akan memperberat edema

Diet rendah protein menyebabkan malnutrisi. Diet tinggi protein memperberat beban ginjal.

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder dari AsitesKaji pernapasan klien

Posisikan klien semi fowler

Kolaborasi pungsi asites

Kecepatan dan kedalaman nafas menentukan derajat gagal nafas. Auskultasi bunyi nafas untuk memeriksa adanya penyebab lain.

Memaksimalkan ekspansi paru

Meningkatkan ekspansi paru

Page 8: Resume Kasus II

X. DAFTAR PUSTAKAAlatas, H. (2013). Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik pada Anak. Ikatan

Dokter Anak Indonesia, Unit Kerja Koordinasi Nefrologi.

Bell, F. (2002). Assessment and management of the child with Nephrotic Syndrome. Paediatric Nursing, 14(1), 37-42.

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: ECG.

Eddy, A. A., & Symons, J. M. (2003). Nephrotic syndrome in childhood. The Lancet, 362.

Smeltzer, S. C. (2008). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.

Wahyuni, A. S. (2012). HUBUNGAN ANTARA TERAPI KORTIKOSTEROID DENGAN KEJADIAN GLAUKOMA PADA ANAK DENGAN SINDROMA NEFROTIK. Semarang: Universitas Diponegoro.

Wati, N. E. (2012). ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.A DENGAN GANGGUAN SISTEM NEFROLOGI : SINDROMA NEFROTIK DI RUANG MINA RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.