Restorasi Adalah Tindakan Untuk Mengembalikan Sesuatu Ke Kondisi Semula
-
Upload
deztine-pravita -
Category
Documents
-
view
84 -
download
5
Transcript of Restorasi Adalah Tindakan Untuk Mengembalikan Sesuatu Ke Kondisi Semula
RESTORASI MANGROVE
Wetlands merupakan daerah yang meliputi bakau tropis dan lahan gambut boreal.
Daerah ini merupakan salah satu ekosistem paling berharga di dunia karena mereka
menyediakan barang dan jasa ekosistem yang penting. Fungsi dari ekosistem ini yaitu
seperti penyimpanan karbon, konservasi keanekaragaman hayati, produksi ikan, pemurnian
air, dan pengendalian erosi. Perubahan global yang terjadi saat ini mempercepat hilangnya
lahan basah yang ada. Saat ini sangat dibutuhkan upaya yang berfungsi untuk meningkat
serta mengembalikan habitat yang telah rapuh, baik kondisi maupun fungsinya.
Lahan basah adalah salah satu ekosistem paling produktif dan bernilai ekonomis di
dunia. Namun, karena aktivitas manusia, lebih dari setengah dari ekosistem lahan basah
yang ada di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan China pada awal abad 20 telah hilang.
Restorasi ekologi untuk memulihkan layanan ekosistem penting telah banyak berusaha,
tetapi tingkat pemulihan yang sebenarnya dari fungsi ekosistem dan struktur dari upaya ini
masih belum jelas.
Restorasi merupakan tindakan untuk mengembalikan sesuatu ke kondisi semula
(Mish, 1989). Menurut Whitten et al., (2000) restorasi dapat diartikan suatu taktik untuk
mengembalikan lahan yang terdegradasi ke kondisi asli atau mendekati kondisi asli. Selain
istilah restorasi, terdapat pula istilah reforestasi dan afforestasi. Menurut Lewis dan
Streever (2000), reforestasi adalah penanaman kembali mangrove pada area bekas yang
sebelumnya merupakan hutan mangrove.
Tujuan utama dari restorasi mangrove yaitu untuk mengelola struktur, fungsi, dan
proses-proses ekologi pada ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari kepunahan,
fragmentasi atau degradasi lebih lanjut. Tujuan restorasi lainnya menurut (Watson, 1928)
yaitu untuk memperkaya landskap, mempertahankan keberlanjutan produksi sumber daya
alam (khususnya perikanan dan kayu), melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial
budaya. Tujuan restorasi perlu ditetapkan berdasarkan masukan dari para pihak dan
merupakan consensus bersama, sehingga mendapat dukungan secara luas tanpa dukungan
para pihak setempat keberhasilan restorasi dalam jangka panjang sangat kecil (Primavera
dan Agbayani, 1996).
Restorasi diperlukan apabila ekosistem telah terdegradasi dan berubah jauh dari
kondisi sebelumnya. Lahan yang telah mengalami kondisi seperti ini tidak dapat
memperbaharui diri secara alami untuk kembali ke kondisi semula, serta tidak dapat
melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, sehingga memerlukan pengelolaan dan
perlindungan. Kawasan ekosistem yang telah mengalami degradasi, maka homeostasis
ekosistem tersebut secara permanen akan terhenti, sehingga menghambat proses suksesi
sekunder secara normal untuk menyembuhkan area yang rusak.
Salah satu area atau kawasan yang menerapkan sistem restorasi adalah Bukit Pohen
Cagar Alam Batukahu, dimana kawasan ini merupakan kawasan hutan konservasi. Pada
tahun 1994 terjadi kebakaran hutan di kawasn Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu, yang
mana kebakaran telah menyebabkan kerusakan hampir pada sebagian besar areal kawasan
konservasi. Kawasan konservasi memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu untuk
pengawetan, perlindungan dan pemanfaatan kawasan serta tempat berbagi flora dan fauna.
Kawasan Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu ini merupakan bagian dari hutan hujan
tropis yang masi tersisa diantara sekian banyak hutan hujan tropis yang terdapat di
Indonesia. Selain itu, kawasan ini memiliki potensi keanekaragaman hayati yang cukup
baik. Tercatat terdapat sebanyak 45 jenis flora yang terdapat di kawasan ini.
Keanekaragaman hayati yang terdapat pada kawasan ini memiliki peranan yang penting
didalam peta Biodiversitas Indonesia.
Kebakaran hutan yang terjadi di Kawasan Hutan Cagar Alam ini berpengaruh
terhadap makin bertamba paarhnya bencana alam, kekeringan dan tanah longsor yang
terjadi. Kondisi ekosistem yang sudah terdegradasi dan telah mengalami deforestasi perlu
untuk segera dipulihkan agarnantinya hutan ini dapat berfungsi kembali seperti
sebagaimana mestinya. Penelitian yang dilakukan di Hutan Cagar Alam yang telah
mengalami kerusakan ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan alternative
pemikiran daalam mengatasi kerusakan sebagian kawasan dengan pendekaatan restorasi
ekosistem hutan.
Berdasarkan literature yang digunakan, restorasi dapat dilakukan di daerah
mangrove. Menuurut (Chapman, 1976; Lin 1984; Tomlinson 1986), mangrove adalah suatu
tanaman yang memiliki karakteristik intertidal dan tersebar digaris pantai tropis dan
subtropis. Kegiatan restorasi kawasan konservasi dilakukan pada areal yang telah
mengalami kerusakan atau penurunan kualitas sumberdaya hutan. Untuk menjaga
kenekaragaman hayati pada kawasan tersebut maka perlu diupayakan pemanfaatan potensi
keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan setempat. Restorasi mangrove dapat
meningkatkan nilai sumber daya. Selain itu, restorasi mangrove juga dapat dijadikan
sebagai mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas,
serta mempengaruhi kehidupan masyarakat di sekitarnya baik secara langsung atau tidak
langsung. Namun Dalam restorasi mangrove kadang-kadang hanya fungsi tertentu saja
yang ingin dikembalikan, karena beberapa parameter seperti kondisi dan tipe tanah, serta
spesies tumbuhan dan hewan telah berubah (Lewis, 1992).
Penanaman mangrove dilahan yang telah rusak tidak semudah seperti yang
dibayangkan. Ada beberapa tantangan besar dalam penanaman mangrove di lokasi di mana
mangrove telah hancur. Pertama, tingkat kelangsungan hidup di hutan bakau affores-tasi
yang cukup rendah. Hal ini seperti yang teradi di kawasan Kehutanan Negara Administra-
tion pada tahun 2002. Tingkat kelangsungan hidup mangrove penanaman di Provinsi
Guangdong yaitu kurang dari 44% pada tahun 2001. Faktor-faktor lingkungan yang
mengakibatkan kondisi ini seperti periode genangan dari pasang surut air laut, salinitas air
laut dan suhu udara pada saat itu. Beberapa faktor ini dapat mempengaruhi tingkat
keberlangsungan hidup mangrove reforestasi. Hal lain yang penting untuk diingat dalam
memilih zona pasang yang paling cocok untuk replantion bakau yaitu flat pasang surut
tanam, yang mengacu pada flat pasang surut di mana hutan mangrove alam didistribusikan
dan bibit bakau yang ditanam dapat bertahan hidup (Zhang et al. 1997), karena kegiatan ini
sangat penting dalam setiap proyek restorasi mangrove.
Darah penelitian yang terletak di Panyu County, Provinsi Guangdong, misalnya,,
90% dari bibit penanaman kembali pohon bakau selamat di flat pasang surut tanam, tetapi
lebih besar dari 80% dari mereka yang ditanam di flat pasang surut dari 0,8 m ini lebih
rendah dari zona pasang surut plantable meninggal setelah 12-15 bulan. Di daerah dengan
garis lintang yang lebih tinggi, seperti Fuding di Fujian (27 20 # N) dan Yueqing di
Zhejiang (28 15 # N), suhu udara rendah (2,2-4,2 C) di musim dingin adalah ancaman
utama bagi kelangsungan hidup bibit bakau. Hanya 20 hektar dari total 256 ha ditanami
bakau selamat di Zhejiang selama periode 1980-2001 yang terutama disebabkan oleh suhu
udara yang relatif rendah di musim dingin.
Beberapa fitur hidrologi sering dapat dipulihkan dengan cara memanipulasi
topografi, tanah permeabilitas lokal, permukaan dan air tanah aliran-fitur fisik yang
biasanya direkayasa dalam proyek restorasi lahan basah. Fitur hidrologi ditetapkan untuk
analisis pada penelitian ini, sehigga dapat terlihat kembali pulih segera setelah restorasi,
Untuk lebih mempertimbangkan negosiasi-tantangan restorasi hidrologi di lahan basah
(dari faktor-faktor seperti variasi iklim atau jalur aliran kompleks air melalui vegetasi
heterogen dan tanah). Selain itu, semua variabel hidrologi dilaporkan dalam penelitian
terakhir yang diikuti hanya untuk 10 sampai 15, sehingga jangka panjang perubahan tetap
tidak diketahui.
SUMBER :
Mish, F.C. (ed.). 1989. Webster’s ninth new collegiate dictionary.Springfield, MS.:
Merriam
Webster Inc.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology of Java and Bali.
Singapore: Periplus.
Lewis, R.R., and B. Streever. 2000. Restoration of mangrove habitat. WRP Technical Notes
Collection (ERDC TN-WRP-VNRS- 3.2). Vicksburg, MS.: U.S. Army Engineer
Research and Development Center. www.wes.army.mil/el/wrp
Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kulala Lumpur: Malaysian
Forest Records No. 6
Primavera, J.H. and R.F. Agbayani. 1996. Comparative strategies in community based
mangrove rehabilitation programs in the Philippines. Proceedings of the
ECOTONEV Regional Seminar: Community Participation In Conservation,
Sustainable Use and Rehabilitation of Mangroves In Southeast Asia. Ho Chi Minh
City, Vietnam, 8-12 January, 1996. Mangrove Ecosystem Research Centre
(MERC), and Vietnam National University.
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer Verlag.
Lewis, R.R. 1992. Coastal habitat restoration as a fishery management tool. In Stroud, R.H.
(ed.) Stemming the Tide of Coastal Fish Habitat Loss; Proceedings of a Symposium
on Conservation of Coastal Fish Habitat, Baltimore, MD, USA,March 7-9 1991.
National Coalition for Marine Conservation, Inc., Savannah, Georgia, USA.
Zhang QM, Yu HB, Chen XS, et al. .1997. Hubungan antara zona bakau pada rataan
pasang surut dan tingkat pasang surut. Acta Ecol Sin 17:258-65 (Dalam bahasa
Cina dengan bahasa Inggris abstrak