Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya
-
Upload
aulia-mursyida -
Category
Documents
-
view
134 -
download
0
description
Transcript of Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya
MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN
TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 2 Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kesehatan
Oleh :
Nama : Andry NIM : 06.93.0214
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM KESEHATAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG 2008
2
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa di dalam tesis ini tidak terdapat
karya yang pernah digunakan orang lain untuk memperoleh gelar kemagisteran
di suatu perguruan tinggi, dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan orang lain; kecuali yang secara sengaja tertulis
dan diacu dalam naskah tesis ini serta disebut dalam daftar pustaka. Apabila
terdapat karya yang ditulis orang lain, maka saya saya bersedia untuk
mengulangnya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk
kepentingan pernyataan keaslian (originalitas) tesis yang saya buat.
Hormat saya,
Andry
3
HALAMAN PERSETUJUAN
NAMA : ANDRY NIM : 06.93.0214 PROGRAM STUDI : MAGISTER HUKUM BIDANG KONSENTRASI : HUKUM KESEHATAN JUDUL TESIS : MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN
Disetujui Oleh :
Pembimbing Utama : _____________________________________
Prof. Dr. Wila Chandrawila Supriadi, SH,CN
Pembimbing pendamping : _____________________________________
DR.dr. Agus Rahim SpOT. Spine FICS, MEpid.,MHkes
4
ABSTRAK
Rumah sakit adalah salah satu tempat dimana masyarakat datang dengan masalah kesehatan. Pengelolaan rumah sakit sangat komplek dan syarat masalah, karena rumah sakit merupakan sebuah institusi besar yang sarat dengan peralatan berteknologi canggih, yang dioperasionalkan oleh sekumpulan orang dengan keahlian seperti dokter, perawat dan profesional lainnya dalam melakukan aktifitas profesionalnya,namun tidak dapat memastikan bahwa tindakan medik yang dilakukan bebas dari risiko. Rumah sakit harus mempunyai berbagai aturan dalam melindungi pasien, melindungi tenaga kesehatan, melindungi masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit, mengendalikan fungsi rumah sakit kearah yang benar, meningkatkan mutu rumah sakit, menselaraskan layanan di rumah sakit dengan program pemerintah dalam bidang kesehatan dan lain - lain. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah sakit tidak hanya efficacious tetapi juga harus aman. Penulis melakukan penelitian denganmetode pendekatan yuridis normatif dan mencari sebab akibat dari suatu masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis sesuai dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu hubungan antara Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien.
Majemen risiko medik merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya, sistim, fasilitas untuk mencapai pelayanan medik yang baik dan diberikan secara efektif, efesien, memperhatikan kemungkinan timbulnya risiko dan melakukan tindakan segera apabila risiko itu terjadi, dengan melakukan penerapan Standar Operasional Prosedur, Program Peningkatan Mutu Rumah Sakit, Menetapkan Strategi Pencegahan,menerapkan Peraturan Internal Rumah Sakit dan Persetujuan Tindakan Medik. Perlindungan hukum adalah suatu upaya dari pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian rupa sehingga setiap warga negara ataupun segenap warga negara dapat mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan tenang dan tertib. Hak pasien merupakan kewajiban dari rumah sakit. Perlindungan hukum terhadap pasien mendapatkan perhatian yang cukup jelas di UUD !945, UU No 23 Tahun 1992, UU No 39 Tahun 1999,UUNo.29/2004,KUHPerd.,Kepmenkes631/Menkes/SK/IV/2005,Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002, Permenkes No.585 tahun 1989 dan SK Dirjen. Yan.Med.No YM.02.04.3.5.2504. Risiko Medik tidak dapat dihindari, namun dapat diminimalisasi. Dengan melakukan manajemen risiko medik maka akan memicu para dokter untuk dapat bekerja sesuai dengan SOP dan peraturan yang berlaku yang pada akhirnya akan berdampak terhadap kinerja dan kualitas pelayanan dokter yang akan semakin baik, pasien merasa aman, nyaman dan tidak ada keragu-raguan terhadap pelayanan di rumah sakit serta akan mengunjungi rumah sakit apabila membutuhkan pengobatan. Rumah sakit akan menjadi tempat yang aman, nyaman untuk pasien dan kepuasan pasien akan dapat dicapai. Sehingga jelas bahwa dengan melakukan manajemen risiko medik maka perlindungan hukum pasien akan terpenuhi.
5
ABSTRACT
A hospital is a place where people come with their health problem. Hospital management is very complex and problematic since hospital is a big institution equipped with high technology, operated by group of people with their expertise, namely, doctors, nurses, and other professionals in performing their activity professional, nevertheless, it cannot be ensured that their medical procedure is free from any risk.Hospital has to have various regulations to protect patients, medical staff, and society from impact of hospital’s environment, to control the hospital’s function toward the right direction, to increase hospital’s quality, to synchronize Hospital’s service with government program in health and etc. Health service which is implemented in hospital is not only efficacious but it also has to be safe. The writer carried out research with juridical normative approach method and looked for caused and result of a problem and describe it consistently, systematically, and logic according problem formulation which became the focus of this research, namely, relations between Medical Risk Management and Patient Legal Protection.
Medical risk management is a planning, organization, coordination, and
control of resources, system, facilities to achieve good medical service and it is given effectively, efficiently, put attention on possibility of risk and perform immediate action id the risk occur by implementing Standard Operational Procedure, Hospital Quality Improvement Program, implement Prevention Strategy, Hospital Internal Program and Medical Procedure Approval.
Legal Protection is an effort from authorized party to give guarantee and facility in order to assist every citizen to actualize their rights and obligations optimally accordingly. Patient’s right is hospital’s obligation. Patient legal protection is clearly stated in ‘UUD 1945’, Regulation No. 23 Year 1992, Regulation No. 39 Year 1999, Regulation No.29/ 2004, KUHPerd.,Kepmenkes631/Menkes/SK/IV/2005,Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002, Permenkes No.585 tahun 1989 dan SK Dirjen. Yan.Med.No YM.02.04.3.5.2504. Medical risk cannot be avoided but it can be minimized. By implementing medical risk management, it will motivate doctors to work according to applicable SOP and regulation which in the end it will give impact to the doctor’s performance and quality which will be improved, patient feels safe, comfortable and has no doubt in hospital service and they will come to the hospital when the need medication. Hospital will become a safe and comfortable place, and patient’s satisfaction can be achieved. Surely, by implementing medical risk management the patient legal protection can be achieved.
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha kasih, karena telah memberikan
ilmu dan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis dalam
memenuhi sebagian syarat memperoleh derajat sarjana strata dua program studi
hukum konsentrasi hokum kesehatan yang berjudul “Manajemen Risiko Medik
dan Perlindungan Hukum pasien” yang merupakan tinjauan yuridis berdasarkan
Undang Undang No 23/1992 Tentang Kesehatan, Undang-undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang Undang No 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran , Kepmenkes 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang
Peraturan internal staf medik di rumah sakit , KepmenkesNo
772//Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman peraturan internal rumah sakit
(Hospital bylaws). Secara umum tesis ini membahas Manajemen Risiko Medik
dikaitkan dengan Perlindungan Hukum Pasien .
Dengan diterapkan Manajemen Risiko Medik di rumah sakit diharapkan
Perlindungan Hukum Pasien akan terpenuhi, sehingga akan menghindarkan
terjadinya konflik, juga diharapkan dapat dan akan selalu menimbulkan suasana
yang harmonis bagi semua pihak. Ucapan terima kasih disampaikan kepada
yang terhormat Prof. Dr. Agnes Widanti SH., CN., sebagai Ketua Program Studi
Pasca Sarjana Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Fakultas Hukum
Universitas Katholik Soegijopranata Semarang yang telah memberi peluang bagi
penulis guna mengikuti perkuliahan di Pasca Sarjana Hukum Kesehatan
Universitas Katholik Soegijopranata Semarang. Kepada Prof. Dr. Wila
Chandrawila Supardi SH., CN. sebagai pembimbing utama dan penguji, saya
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bimbingan dan motivasi
beliau dari sejak awal perkuliahan sampai selesai penyusunan tesis ini dengan
sabar beliau membimbing dan menerangkan kepentingannya hukum kesehatan
7
untuk dokter. Kepada Dr.dr.Agus Rahim SpOT Spine FICS MEpid., MHkes ,
sebagai pembimbing saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, beliau
telah memberikan arahan dan petunjuk kepada saya dalam penyusunan tesis ini.
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Johnny Wirgho SH.,
CN.,MH. yang telah memberikan saran-saran perbaikan dalam penyempurnaan
tesis ini
Kepada Endang Wahyati SH. MH penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga atas segala bimbingannya yang bijaksana dan penuh
perhatian serta pertolongan selama penulis menjalani pendidikan, terutama
dalam memberikan arahan, petunjuk dan saran-sarannya. Kepada seluruh
pengajar Magister Hukum Kesehatan Universitas Soegijopranata Semarang dan
pengajar lainnya yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu, ucapan terima
kasih tak terhingga dalam membantu penulis memahami aspek hukum
kesehatan. Pada kesempatan ini, juga disampaikan terima kasih kepada seluruh
teman-teman sejawat Program kelas Paralel Pascasarjana Magister Hukum
Kesehatan Universitas Soegijopranata di Jakarta, khususnya angkatan 1 tahun
2006, atas bantuan dan kerjasamanya selama menempuh studi pada Magister
Hukum Kesehatan pada Program Pascasarjana UNIKA Soegijopranata. Kepada
para staf sekretariat, Universitas Katholik Soegijopranata di Jakarta khususnya
bapak Pamuji, penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih atas bantuan,
dukungan dan kerjasamanya. Kepada istri dan anak-anak tercinta , ucapan
terima kasih tak terhingga saya sampaikan, dengan penuh pengertian
mengizinkan saya mengambil Magister Hukum Kesehatan dan membantu dalam
penyelesaian tugas-tugas maupun penyusunan tesis dengan dialog dan diskusi
yang membuka pikiran saya sebagai dokter dalam memahami kepentingan
pasien ditinjau dari aspek hukum kesehatan sehingga tesis ini dapat selesai.
Kiranya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
8
Jakarta, 16 Oktober 2008
Penulis,
Andry
9
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ I
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... Ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... Iii
ABSTRACT .................................................................................................. Iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... V
DAFTAR ISI .................................................................................................. Viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ……………………………………………………. 1
B. Perumusan Masalah Penelitian ...…………………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6
D Metode Penelitian ...................................................................................... 7
E. Sistematika Penelitian ............................................................................... 12
BAB II MANAJEMEN RISIKO MEDIK
A. Pengantar ................................................................................................... 14
B. Manjemen ................................................................................................... 15
1. Risiko…………… ………………………………………………………… 16
2. Medik ……………………………………………………………………… 17
3. Risiko Medik ……………………………………………………………… 19
C. Manajemen Risiko Medik ………… ………………………………………….. 23
D. Penutup ...................................................................................................... 41
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN A. Pengantar ................................................................................................... 44
B. Hukum ............................................................................................... 45
C. Tujuan Hukum …………………….. ………………………………………….. 52
D. Pasien 59
E. Perlindungan Hukum .................................................................................. 64
10
F. Perlindungan Hukum Pasien 66
G. Penutup 75
BAB IV MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN
A. Pengantar ................................................................................................ 78
B. Manajemen Risiko Medik ................................. ....................................... 80
C. Perlindungan Hukum Pasien .......... ........................................................ 84
D. Analisa Hubungan Antara Manajemen Risiko Medik Dan Perlindungan Hukum Pasien ....................................................................................
90
E. Penutup ................................................................................................... 99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .............................................................................................. 102
B. Saran ....................................................................................................... 104 Daftar Pustaka ................................................................................................. 106
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pelayanan
kesehatan, derajat kesehatan yang optimal adalah suatu tahap yang diberikan
sesuai dengan usaha-usaha terbaik yang dapat dilakukan agar masyarakat
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan harapannya. Oleh
karena itu pelayanan kesehatan yang dilakukan tidak hanya efficacious tetapi
juga harus aman. Terlebih lagi bila tindakan tersebut dilakukan di rumah sakit
yang merupakan tempat masyarakat datang dengan masalah kesehatan mulai
dari yang ringan sampai dengan yang kompleks. Karena kesehatan adalah salah
satu kebutuhan pokok manusia di samping sandang pangan dan papan. Tanpa
hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit,
manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik.
Rumah sakit adalah tempat dimana masyarakat datang dengan masalah
kesehatan. Rumah sakit merupakan sebuah institusi besar yang sarat dengan
peralatan berteknologi canggih, yang dioperasionalkan oleh sekumpulan orang
dengan keahlian seperti dokter, perawat dan profesional lainnya dalam
melakukan aktifitas profesionalnya. Rumah sakit juga digunakan sebagai tempat
dilaksanakan pendidikan dan riset di bidang kesehatan. Dengan struktur
organisasi yang komplek dan sangat unik serta dibatasi oleh peraturan, regulasi
maupun prosedur yang sesuai kebutuhan birokrasi dan kebutuhan hukum. Sistim
yang dilakukan sangat dinamis dan adatif sebagai akibat berinteraksi terus
12
menerus dengan lingkungan eksternal, sosial dan lingkungan organisasi.
Pengelolaan rumah sakit sangat komplek dan syarat masalah. Rumah sakit
merupakan sebuah institusi besar yang sarat dengan peralatan berteknologi
canggih, yang dioperasionalkan oleh sekumpulan orang dengan keahlian dan
terstruktur dengan baik,namun tidak dapat memastikan bahwa tindakan medik
yang dilakukan bebas dari risiko.
Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait
dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu
hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya
merupakan objek pemeliharaan kesehatan umumnya dan pelayanan kesehatan
khususnya. Dokter dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit selalu
diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam
melaksanakan hubungan antar pihak. Peraturan-peraturan ini dituangkan dalam
hukum kesehatan.Pelayanan kesehatan melayani kegiatan kesehatan
masyarakat dan individu yang disebut pelayanan kesehatan masyarakat dan
pelayanan kesehatan individu. Hukum yang mengatur pelayanan kesehatan
masyarakat disebut hukum kesehatan (Public health law) dan hukum yang
mengatur pelayanan kesehatan individu disebut hukum kedokteran (medical
law). Hubungan dokter dan pasien, hubungan dokter dan rumah sakit dan
hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari hubungan hukumnya
merupakan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan
pengobatan yang dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya
perikatan yang digunakan sebagai hubungan hukum diatas merupakan perikatan
ikhtiar (inspanning verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk
mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang diobati, bukan merupakan
13
perikatan hasil (resultaat verbentenis). Untuk melindungi pasien dan masyarakat
yang membutuhkan pengobatan dan dalam menghindari pelanggaran, kelalaian
terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter yang dapat menimbulkan kegiatan
malpraktik dokter, para dokter dibekali kode etik kedokteran, hukum kesehatan,
hukum hak asasi manusia serta peraturan-peraturan yang mengatur praktik
kedokteran.
Rumah sakit harus mempunyai berbagai aturan dalam melindungi pasien
dari praktek rumah sakit yang tidak layak beroperasi, melindungi tenaga
kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan oleh rumah sakit, melindungi
masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit, mengendalikan fungsi rumah
sakit kearah yang benar, meningkatkan mutu rumah sakit, menselaraskan
layanan di rumah sakit dengan program pemerintah dalam bidang kesehatan dan
lain - lain. Jaminan akan keamanan ini sering sulit diungkapkan secara faktual.
Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja derajatnya
bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik) hingga yang berat
(memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau bahkan kematian).
Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap kemungkinan risiko dan
manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur yang akan dijalaninya.
Namun demikian hal ini juga tidak selalu mudah, karena sebagian pasien justru
akan menolak dilakukan tindakan medik apabila mengetahui segala risikonya
secara rinci. Lain pula halnya dengan dokter, meskipun sebelum operasi setiap
pasien telah dijelaskan mengenai prosedur yang akan dilaksanakan, tetapi
sangat jarang dokter mendiskusikan kemungkinan terjadinya risiko akibat
kesalahan dalam sistem (system fault). Sebagai contoh adalah infeksi pasca
operasi atau infeksi nosokomial yang umumnya terjadi akibat kesalahan dalam
sistem (keperawatan, tidak adanya risk management, dan tidak terdeteksinya
14
bakteri yang resisten (misalnya MRSA-methycillin resistant Staphylococcus
aureus, ataupun VRE-vancomycin resistant enterococcus).
Untuk itu diperlukan informasi kepada masyarakat bahwa setiap tindakan
medik yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Risiko medik
dapat terjadi pada siapapun yang mengalami tindakan medik, dapat terjadi
kapanpun walaupun ditangan dokter yang paling pandai sekalipun.Jadi disini
jelas bahwa risiko medik tidak dapat diduga. Satu-satunya jalan menghindari
risiko adalah tidak berbuat sama sekali. Kalimat diatas adalah merupakan salah
satu ungkapan yang perlu kita renungkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak
akan pernah lepas dari ketidaksengajaan atau kesalahan yang tidak
dikehendakinya dalam menjalankan profesinya. Oleh karena sebab itu untuk
mencegah terjadinya risiko yang tidak diharapkan, seorang profesional harus
selalu berpikir cermat dan hati-hati sebelum melakukan tindakan medik serta
bertindak cepat apabila risiko medik tersebut telah terjadi.
Begitu pula bagi seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik
terhadap pasiennya. Pada hakekatnya, dokter akan selalu dituntut untuk lebih
mengutamakan rasa puas pasien (patient satisfaction), yaitu dengan
bertanggung jawab dalam upaya penyembuhan pasien. Sejak dulu telah dikenal
salah satu prinsip tradisional dari etika kedokteran adalah primum non nocere,
artinya yang penting adalah tidak merugikan.
Sekali lagi yang harus selalu diingat dan tidak boleh diabaikan bagi dokter
yang berkewajiban memberikan pertolongan kepada pasiennya haruslah
memenuhi standar profesinya sebagai pedoman yang harus dipergunakan dalam
menjalankan profesinya secara baik. Karena hal ini memang merupakan hak
pasien yang harus kita penuhi dan merupakan kewajiban dokter untuk
melakukannya, sehingga kerugian yang terjadi pada pasien karena risiko medik
yang terjadi sudah dapat dipahami dengan memberikan informasi tentang
15
kemungkinan risiko medik yang akan terjadi, menyiapkan standar operasional
prosedur yang baik sehingga kemungkinan risiko yang terjadi dapat dikurangi,
memastikan fasilitas sesuai dengan standar yang benar serta apabila telah
terjadi risiko medik bagaimana mengatasinya. karena apabila hal yang memang
mungkin terjadi ini tidak diketahui pasien, akan mengakibatkan pasien menuntut
rumah sakit secara hukum. Jadi dengan melakukan manajemen risiko medik
yang merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan
pengontrolan dari sumber daya, sistim, fasilitas dan sebagainya untuk mencapai
sasaran secara efektif dan efesien dalam pelayanan dan penanganan risiko
medik yang mungkin dapat terjadi, karena tanpa adanya manajemen risiko medik
yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien yang
berobat maupun yang akan mendapat penanganan tertentu. Jika sudah
dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga terjadi
dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya.
Perlindungan hukum terhadap pasien mendapatkan perhatian yang
cukup jelas seperti tertera pada Undang Undang Dasar 1945 (selanjutnya UUD
!945), Undang Undang No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan (selanjutnya UU
No 23/1992), Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(selanjutnya UU No 39/1999), Undang Undang No 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (selanjutnya UUNo.29/2004), Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata( selanjutnya KUHPerd.), Keputusan Menteri Kesehatan ( selanjutnya
Kepmenkes) 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan internal staf medis (
Medical Staff bylaws) di Rumah sakit , Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002
tentang Pedoman peraturan internal rumah sakit (Hospital bylaws), dan
Peraturan Menteri Kesehatan ( selanjutnya Permenkes) No.585 tahun 1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik serta SK.Dirjen.Yan.Med.No
YM.02.04.3.5.2504 tentang hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit .
16
Oleh karena begitu kompleknya permasalahan yang ada di rumah sakit
maka sangat diperlukan penerapan manajemen risiko medik di rumah sakit,
sehingga diharapkan dengan diharapakan dengan melakukan manajemen risiko
medik baik dengan cara melakukan tindakan pencegahan maupun melalui
tatalaksana pelayanan kesehatan yang benar dan dapat dipertanggung
jawabkan maupun tindakan penanganan yang akan segera dilakukan apabila
risiko medik itu terjadi akan dapat memenuhi perlindungan hukum pasien. Hal ini
juga akan memicu para dokter untuk dapat bekerja sesuai dengan SOP dan
peraturan yang berlaku. Dengan demikian derajat kesehatan masyarakat yang
optimal dapat dicapai serta perlindungan hukum dimasyrakat dapat terlaksana
dengan baik.
B. PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Apakah dengan diterapkannya Manajemen Risiko Medik dapat memenuhi
Perlindungan Hukum Pasien?
1. Apakah yang dimaksud manajemen risiko medik di rumah sakit?
2. Apakah yang dimaksud dengan perlindungan hukum pasien?
3. Apakah penerapan manajemen risiko medik di rumah sakit dapat memenuhi
perlindungan hukum pasien?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mendapat gambaran manajemen risiko medik di rumah sakit.
2. Untuk mendapat gambaran mengenai perlindungan hukum pasien di rumah
Sakit.
3. Untuk mendapat gambaran mengenai penerapan Manajemen risiko medik
dan kaitannya dengan perlindungan hukum pasien di rumah sakit.
17
D. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis normatif, yang berarti suatu penyelidikan atau
penelitian yang berlangsung menurut suatu rencana atau cara tertentu dengan
bentuk sistematis yang khusus dari seluruh pemikiran dan telaah reflektif yang
memiliki sifat/karakteristik khusus atau kekhasan, yaitu sebagai suatu
norma/kaidah yang mempedomani atau sebagai patokan perilaku manusia
dalam berinteraksi dengan sesamanya. Dengan demikian, pendekatan yuridis
normatif berarti suatu usaha yang mendekati atau mendekatkan suatu masalah
yang diteliti melalui pemikiran dan telaah reflektif terhadap sifat/ karakteristik
khusus atau kekhasan hukum yang normatif.
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu cara meneliti dalam
penelitian hukum yang dilakukan terhadap bahan pustaka atau data sekunder
belaka dan dengan menggunakan metode berpikir deduktif serta kriterium
kebenaran koheren. 1
Yang dimaksud dengan metode berpikir deduktif adalah cara berpikir
dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang
sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu
yang sifatnya khusus.2 Sedangkan yang dimaksud dengan kebenaran koheren
(the coherence theory of truth), adalah suatu pengetahuan, teori, pernyataan,
proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan,
1Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Metode Penelitian (tidak dipublikasikan) dalam Materi
Kuliah Metode Penelitian Hukum Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijipranata, Semarang, 2006, hal. 8;
2Lihat Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, MetodologiPenelitian, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 23.
18
teori, pernyataan, proposisi, atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu
meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap
benar.3
2. Spesifikasi Penelitian
Dalam penelitian ini, spesifikasi penelitian yang digunakan adalah
deskriptif analitis. Yang dimaksud dengan spesifikasi penelitian adalah
sifat/karakteristik khusus atau kekhasan dari suatu penelitian, dalam hal ini yaitu
penelitian hukum. Dalam penelitian hukum, hukum memiliki sifat/karakteristik
khusus atau kekhasan, yaitu sebagai suatu norma/kaidah yang mempedomani
atau sebagai patokan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Pada penelitian hukum ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa
penelitian hukum normatif atau doktrinal adalah penelitian atas hukum yang
dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut oleh pengkonsep
dan atau pengembangnya, yakni metode kajian hukum dengan hukum yang
dikonsepkan sebagai asas keadilan dalam sistem hukum moral menuruti doktrin
aliran hukum alam, metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan
sebagai kaidah perundang-undangan menuruti doktrin aliran positivisme dalam
ilmu hukum, dan metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan
sebagai keputusan hakim in concreto menuruti doktrin fungsionalisme kaum
realis dalam ilmu hukum.4 Sedangkan yang dimaksud yang dengan deskriptif
analitis, yaitu membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antar fenomena atau gejala yang
3Lihat A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis),
Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 68. 4Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma Metode dan Dinamika
Masalahnya) Editor Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002, hlm. 147-160.
19
diteliti sambil menganalisisnya, yaitu dengan mencari sebab akibat dari suatu hal
dan menguraikannya secara konsisten dan sistematis serta logis.5
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa spesifikasi penelitian
deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan secara
menyeluruh permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu
Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien yang berdasarkan
kerangka pemikiran atau tinjauan pustaka yang telah teruji keabsahannya.
Selanjutnya, spesifikasi penelitian deskriptif analitis ini juga digunakan pula untuk
menganalisis, yaitu mencari sebab akibat dari suatu permasalahan yang
terdapat pada perumusan masalah dan menguraikannya secara konsisten,
sistematis dan logis sesuai dengan perumusan masalah yang menjadi fokus
dalam penelitian ini, yaitu hubungan Manajemen risiko medik dan Perlindungan
Hukum Pasien.
3. Jenis Data
Data dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat data dan sumber data.
Berdasarkan sifatnya dan mempunyai ciri-ciri khusus, data dapat diklasifikasikan
menjadi data kualitaif dan data kuantitatif. Sedangkan berdasarkan sumbernya
(tempat diperoleh atau diambilnya), data dapat diklasifikasikan menjadi data
primer dan data sekunder. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu
berdasarkan sumbernya adalah data sekunder dan yang berdasarkan sifatnya
adalah data kualitatif. Yang dimaksud dengan data sekunder yaitu data yang
diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan
hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk
5Lihat Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 63, 72, 405,
406 & 427; Lihat pula Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 98.
20
buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan umum
atau perpustakaan milik pribadi.6 Sedangkan yang dimaksud dengan data
kualitatif, yaitu data yang menunjukan cirri-ciri dan sifat serta mutu atau kualitas
dari suatu hal berupa keadaan, proses, peristiwa yang dinyatakan dalam bentuk
bukan angka.7 Di dalam penelitian hukum, data sekunder tersebut meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum
primer adalah bahan hukum yang terdapat dalam suatu aturan hukum atau teks
otoritatif seperti peraturan perundang-undangan, putusan hakim, traktat, kontrak,
keputusan tata usaha negara. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam
penelitian ini terdiri dari UUD 1945, UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ,
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, Kepmenkes 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang
Peraturan internal staf medis (Medical Staff bylaws) di rumah sakit, Kepmenkes
No 772//Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman peraturan internal rumah sakit
(Hospital bylaws), dan Permenkes No.585 tahun 1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medik serta SK.Dirjen.Yan.Med.NO YM.02.04.3.5.2504 tentang hak
dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit .
Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
dari buku teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,
serta simposium-simposium yang dilakukan para pakar hukum mengenai
Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien. Selain itu, dalam
penelitian ini dipergunakan pula bahan hukum tersier. Bahan hukum tersier
6Lihat Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 65. 7Lihat H. Hadari Nawawi & H.M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,
Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta, 1995, hal. 48-49; 7Lihat H. Hadari Nawawi & H.M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial
Lihat pula Taliziduhu Ndraha, Research (Teori Metodologi Administrasi), Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 60-61.
21
adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
ensiklopedia, dan lain-lain. Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder diinventarisasi berdasarkan fokus permasalahan yang telah
dirumuskan dalam perumusan masalah dan diklasifikasi menurut bidang
kajiannya, agar memudahkan untuk menganalisisnya.
4. Metode pengumpulan Data
Oleh karena data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang bersifat kualitatif, maka metode pengumpulan data yang
dipergunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu
kegiatan untuk mengumpulkan, dan mempelajari, serta memahami data yang
berupa hasil pengolahan orang lain, dalam bentuk teks otoritatif (peraturan
perundang-undangan, putusan hakim, traktat, kontrak, keputusan tata usaha
negara, kebijakan publik, dan lainnya), literatur atau buku teks, jurnal, artikel,
arsip atau dokumen, kamus, ensiklopedi dan lainnya yang bersifat publik maupun
privat.
5. Metode Analisis data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif normatif. Karena penelitian ini tidak menggunakan konsep-konsep yang
diukur/dinyatakan dengan angka atau rumusan statistik, maka analisis terhadap
data sekunder dilakukan dengan cara berpedoman atau berdasarkan norma /
kaidah hukum (dalam arti luas, yaitu yang terdiri dari nilai hukum, asas hukum,
kaidah hukum dalam arti yang sempit dan teks otoritatif atau aturan hukum),
konsep hukum ataupun doktrin hukum yang terdapat pada kerangka pemikiran
22
atau tinjauan pustaka yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini. Dalam menganalisis data sekunder tersebut, penguraian data
disajikan dalam bentuk kalimat yang konsisten, logis dan efektif serta sistematis
sehingga memudahkan untuk interpretasi data dan konstruksi data serta
pemahaman akan analisis yang dihasilkan, yaitu mencari sebab akibat dari suatu
masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis sesuai
dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu
hubungan antara Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan penelitian ini tediri dari lima bab dan masing-
masing bab mempunyai sub bab sendiri-sendiri. Bab pertama berisi pendahuluan
yang terdiri dari enam sub bab. Sub bab pertama berisi latar belakang penelitian
yang menggambarkan kenapa penelitian ini perlu dilakukan, pada sub bab kedua
terdapat perumusan masalah,sub bab ketiga mengenai tujuan penelitian dibahas
mengenai tujuan dari penelitian, sub bab keempat mengenai metodologi
penelitian ditulis tentang metode yang dipakai. Pada sub bab kelima ditulis
sistematika dari penelitian ini.
Pada bab dua dibahas tentang manajemen risiko yang merupakan
penelusuran terhadap kepustakaan baik berupa buku maupun jurnal yang
berhubungan dengan penelitian. Bab ini terdiri dari empat sub bab yaitu
pengantar, manajemen, manajemen risiko medik dan penutup . Pada pengantar
berisi berbagai hal yang akan dibahas dalam bab ini. Pada manajemen risiko
medik dibahas mengenai apa yang dimaksud dengan manajemen, risiko dan
risiko medik.
Dalam bab tiga dibahas tentang perlindungan hukum pasien terdiri dari
tujuh sub bab yaitu tentang yang terdiri dari pengantar, hukum, tujuan
23
hukum,pasien, perlindungan hukum, perlindungan hukum pasien dan penutup.
Bab empat membahas tentang hubungan antara unsur-unsur yang
berhubungan dengan manajemen risiko medik dan perlindungan hukum pasien.
Pada bab terakhir yaitu bab lima akan dibuat kesimpulan dari penelitian
ini dan juga akan dibuat beberapa saran.
24
BAB II
MANAJEMEN RISIKO MEDIK
A.PENGANTAR
Dalam melakukan tugasnya seorang dokter ingin memberikan
penanganan medik yang sebaik-baiknya sesuai dengan kompetensi dan standar
prosedur yang dimilikinya, namun demikian keberhasilan penanganan medik
tidak hanya tergantung dari kompetensi dan standar prosedur yang
dijalankannya, karena ada kemungkinan timbul akibat dari penanganan medik
yang tidak diharapkan oleh dokter maupun pasien lain yang tak terduga. Akibat
yang tak terduga ini dapat terjadi pada siapapun (walaupun tindakan medik
tersebut dilakukan oleh dokter yang paling pandai/ pasien hanya dilakukan
tindakan medik yang sederhana) ,kapanpun (risiko dapat terjadi pada waktu
tindakan medik atau setelah tindakan dilakukan) dan dimana saja ( tindakan
dikamar operasi, unit gawat darurat dansebagainya). Akibat yang merugikan
tersebut dikatakan sebagai risiko medik.
Oleh karena itu , untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak
diharapkan, seorang dokter harus selalu berpikir cermat dan hati-hati dalam
bertindak agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin dapat terjadi serta
bagaimana dapat dengan segera mengatasi risiko medik yang telah terjadi
sehinggah kemungkinan dampak yang lebih merugikan pada pasien dapat
segera dilakukan .
Begitu pula bagi seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik
terhadap pasiennya. Pada hakekatnya, dokter akan selalu dituntut untuk lebih
mengutamakan rasa puas pasien (patient satisfaction), yaitu dengan
bertanggung jawab dalam upaya penyembuhan pasien. Sebaliknya karena
dalam setiap tindakan medik ada kemungkinan terjadinya risiko yang dapat
25
membahayakan pasien, maka sebelum melakukan tindakan medik, dokter harus
menghormati hak pasien, meminta persetujuan dan menginformasikan kepada
pasien tentang efek samping yang mungkin terjadi dari tindakan yang
dilakukannya, memeriksa dengan teliti faktor-faktor yang dapat mendukung
terjadinya risiko.
Sekali lagi yang harus selalu diingat dan tidak boleh diabaikan, dokter
yang berkewajiban memberikan pertolongan kepada pasiennya haruslah
memenuhi standar profesinya sebagai pedoman yang harus dipergunakan dalam
menjalankan profesinya secara baik. Hal ini untuk menghindari kerugian pada
orang lain sebagai resiko dari tindakan medis yang dilakukan, yang seringkali
justru mengakibatkan pasien menuntut secara hukum. Sejak dulu telah dikenal
salah satu prinsip tradisional dari etika kedokteran adalah primum non nocere,
artinya yang penting adalah tidak merugikan.
B. MANAJEMEN
Kata Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno ménagement, yang
memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki
definisi yang mapan dan diterima secara universal. Marry Parker Vollet misalnya,
mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang
lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan
mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin
mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk
mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.
Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan,
sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar,
26
terorganisir, dan sesuai dengan jadwal. 8 Sumber lain juga mengatakan bahwa
manajemen mencakup ilmu dan kesenian menggerakan dan mengelolah
kesatuan organik manusia dan fungsi-fungsinya, agar tercapai maksud dan
tujuannya seefisien dan seefektif mungkin.9 Dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit peran manajemen merupakan salah satu hal yang sangat penting
dan perlu dilakukan secara terus menerus, karena dengan manajemen yang baik
maka pemilihan dan penggunaan sumber daya menjadi lebih efisien dan efektif
dalam memenuhi kebutuhan klien. Pelayanan kesehatan tidak akan bermutu
tinggi apabila tidak memenuhi arahan hukum, etika, kewajiban akibat hubungan
kontraktual dan persyaratan lainnya dan semuanya itu harus ditata dengan
manajemen yang baik.
Diharapkan dengan manajemen yang dilakukan maka pengelolaan
rumah sakit yang komplek dan syarat masalah dapat tetap memberikan
pelayanan yang bermutu yang diharapkan oleh masyarakat yang
membutuhkannya sehingga pelayanan kesehatan yang aman dan dapat
dipercaya bisa diperolehnya.10
1. Risiko
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, risiko didefinisikan sebagai
sesuatu yang terjadi dari suatu tindakan atau tindakan. Sedangkan menurut
Endarmoko risiko adalah ancaman, bahaya, kerawanan.11 Sedangkan definisi
lain risiko adalah ketidak pastian hasil di masa depan.12 Jadi berdasarkan
8 Lihat Wikipedia Indonesia,ensiklopedi bebas berbahasa Indonesia 9 Lihat B.N. Marbun,Konsep Manajemen Indonesia ,Jakarta,PPM,Cet l, 1980,hal 29 10 Lihat Besrterfield,Total Quality Management, 4 th.Ed.Englewoods Cliffs,NJ,Prentice Hall International 1994. 12 Lihat E Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2006, hal. 606 Lihat Carrol R, Risk Management Handbook or Health Care Organization, Jossey Bass, San Fransisco,2004,hal.179
27
beberapa refrensi maka penulis mencoba mendefinisikan risiko sebagai bahaya
yang mungkin terjadi akibat sebuah proses tindakan yang sedang berlangsung
atau kejadian yang akan datang. Risiko dapat diartikan sebagai suatu
ketidakpastian hasil dari sebuah tindakan yang tidak terduga,dapat terjadi
walaupun dilakukan oleh seorang yang sangat ahli, dalam situasi dan kondisi
apapun dengan hasil yang tidak diharapkan oleh orang yang mengalami
maupun oleh pelaku dan dapat menimbulkan kerugian. Setelah memperhatikan
beberapa sumber tersebut, maka penulis mendefinisikan bahwa risiko adalah
segalah sesuatu hasil berbahaya yang tidak terduga, tidak diingini dan terjadi
akibat suatu tindakan serta dapat menimbulkan kerugian.
2. Medik
Istilah Medik diambil penulis dari kata Medical yang secara umum berarti
berhubungan dengan pengobatan. Hermien Hadiati Koeswadji mengartikan
‘medik’ sebagai ‘kedokteran’ dalam bukunya yang berjudul Hukum Kedokteran.
Dijelaskan dalam bukunya bahwa : “Hukum Kedokteran atau Hukum Medik
sebagai terjemahan dari “Medical Law” jadi menurut beliau arti “medik” adalah
“kedokteran.” 13 Hukum kedokteran adalah kumpulan peraturan yang mengatur
mengenai kesehatan individu, termasuk pengaturan tentang hubungan rumah
sakit dengan dokter, rumah sakit dengan pasien dan dokter dengan pasien.14
Dunia ilmu sudah lama merintis disiplin baru sebagai cabang dalam imu hukum,
yaitu hukum kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari “medical
law” untuk membedakannya dengan hukum kesehatan atau “health law.” 15
Menurut W.B.Van Der Mijn, hukum kesehatan diartikan sebagai hukum yang
13 Lihat Hermien Hadiaty, Hukum Kedokteran, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal.12 14 Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Hukum kedokteran, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 7. 15 Lihat Hermien Hadiaty, Beberapa Permasalahan hukum dan Medik, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 1
28
berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi penerapan
langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi penerapan perangkat hukum
perdata, pidana dan tata usaha negara. Sedangkan Leenen mendefinisikan
hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktifitas juridis dan peraturan hukum di
bidang kesehatan serta studi ilmiahnya. Ringkasnya, hukum kesehatan (Health
Law) dan hukum kedokteran (Medical Law) hanyalah terletak pada ruang
lingkupnya saja. Ruang lingkup hukum kesehatan meliputi semua aspek yang
berkaitan dengan kesehatan, sedangkan ruang lingkup hukum kedokteran hanya
pada masalah-masalah yang berkaitan dengan profesi kedokteran, Karena
masalah kedokteran juga termasuk dalam ruang lingkup kesehatan maka hukum
kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan. 16 Jadi pengertian medik ini
adalah mengenai pelayanan kesehatan oleh dokter pasien.
Sejak masa Hippocrates ilmu kedokteran dilaksanakan di dalam suasana
sosial, disesuaikan dengan kondisi hidup rakyat dan bagaimana mereka bersikap
merupakan sesuatu yang penting didalam pelayanan kedokteran. Sejak
beberapa dasawarsa kita telah menyaksikan kemajuan luar biasa telah terjadi
dalam teknologi kedokteran yang mempunyai dampak yang amat besar pada
pelayanan kedokteran. Bidang kedokteran telah menjadi begitu terspesialisasi,
dan dokter dokter pada masa sekarang makin lama semakin maju, mereka terus
belajar mengembangkan diri dan berorientasi ke teknologi yang semakin
berkembang dan maju. Tidak dapat kita ingkari bahwa kemajuan ilmu dan
teknologi telah membuahkan hasil yang luar biasa dalam hal penyembuhan
pasien secara individual dan hal ini akan berlangsung secara terus , kita dapat
melihat bahwa kegiatan pelayanan-pelayanan kesehatan bagi suatu masyarakat
juga banyak bergantung pada keadaan dan sikap sosial. Namun perbaikan
16 Lihat Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, rambu-rambu bagi profesi dokter, edisi 3, tahun 2005, hal. 1
29
pelayanan kesehatan tidak dapat dicapai dengan hanya mengandalkan
kemajuan-kemajuan di bidang teknologi, para pekerja di bidang kesehatan harus
sadar akan lingkungan sosial tempat mereka bekerja. Mereka harus turut
bertanggung jawab dalam melaksanakan perbaikan terhadap lingkungan
sehingga akan diperoleh dampak yang baik terhadap kesehatan.
3. Risiko medik
Risiko medik adalah suatu peristiwa yang tak terduga yang timbul akibat
tindakan seorang tenaga kesehatan yang diberikan sesuai dengan standart
prosedur medis, kompetensi dan etika yang berlaku. Semua tindakan medik
mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu mengandung apa
yang yang dinamakan risiko. 17 Risiko medik tidak dapat dipersalahkan dan tidak
dapat diminta tanggungjawabnya, asalkan risiko ini merupakan risiko murni, di
mana tidak ada unsur kelalaiannya.
Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait
dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu
hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya
merupakan objek pemeliharaan kesehatan umumnya dan pelayanan kesehatan
khususnya. Dokter dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit selalu
diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam
melaksanakan hubungan antar pihak. Hubungan dokter dan pasien, hubungan
dokter dan rumah sakit dan hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari
hubungan hukumnya merupakan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam
17 Lihat Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung,2001, hal.30
30
melaksanakan pengobatan yang dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada
umumnya perikatan yang digunakan sebagai hubungan hukum diatas
merupakan perikatan ikhtiar (inspanning verbentenis) yang merupakan upaya
seoptimal mungkin untuk mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang
diobati, bukan merupakan perikatan hasil (resultaat verbentenis). Untuk
melindungi pasien dan masyarakat yang membutuhkan pengobatan dan dalam
menghindari pelanggaran, kelalaian terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter
yang dapat menimbulkan kegiatan malpraktik dokter, para dokter dibekali kode
etik kedokteran, hukum kesehatan, hukum hak asasi manusia serta peraturan-
peraturan yang mengatur praktik kedokteran.
Rumah sakit harus mempunyai berbagai aturan dalam melindungi pasien
dari praktek rumah sakit yang tidak layak beroperasi, melindungi tenaga
kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan oleh rumah sakit, melindungi
masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit, mengendalikan fungsi rumah
sakit kearah yang benar, meningkatkan mutu rumah sakit, menselaraskan
layanan di rumah sakit dengan program pemerintah dalam bidang kesehatan dan
lain - lain. Jaminan akan keamanan ini sering sulit diungkapkan secara faktual.
Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja derajatnya
bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik) hingga yang berat
(memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau bahkan kematian).
Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap kemungkinan risiko dan
manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur yang akan dijalaninya.
Namun demikian hal ini juga tidak selalu mudah, karena sebagian pasien justru
akan menolak dilakukan tindakan medik apabila mengetahui segala risikonya
secara rinci. Lain pula halnya dengan dokter, meskipun sebelum operasi setiap
pasien telah dijelaskan mengenai prosedur yang akan dilaksanakan, tetapi
sangat jarang dokter mendiskusikan kemungkinan terjadinya risiko akibat
31
kesalahan dalam sistem (system fault). Sebagai contoh adalah infeksi pasca
operasi atau infeksi nosokomial yang umumnya terjadi akibat kesalahan dalam
sistem (keperawatan, tidak adanya risk management, dan tidak terdeteksinya
bakteri yang resisten (misalnya MRSA-methycillin resistant Staphylococcus
aureus, ataupun VRE-vancomycin resistant enterococcus).
Hal ini disebabkan karena di dalam Hukum Medis yang terpenting
bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai terjadi akibat itu, bagaimana
tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting untuk diketahui. Namun
tentunya tidaklah semua ”tindakan yang tak disengaja” termasuk perumusan
risiko medik, karena tindakan kelalaian pun dilakukan tidak dengan sengaja.
Peristiwa yang terjadi itu selain tak terduga, pun merupakan sesuatu yang
tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan men”celakakan” dan dapat membawa
malapetaka. Setiap tindakan medik tentunya mempunyai manfaat yang kita
dapatkan, namun juga selalu ada risiko yang harus dihadapi. Risiko yang terjadi
pada pelayanan medik ataupun tindakan medik yang dilakukan oleh dokter
kepada pasien adalah sebagai berikut :
a. Reaksi Alergik, reaksi alergik adalah reaksi berlebihan dari tubuh seseorang
karena alergi yang timbulnya secara tiba-tiba dan yang tidak dapat diprediksi
terlebih dahulu. 15% populasi di US mempunyai risiko anafilaktik shock dan
frekuensi ini akan cenderung meningkat dari tahun ketahun. Angka kejadian
anafilaktik shock di US 1000 / tahun. Sedangkan angka terjadinya reaksi
anafilaksis shock pada penyuntikan penisilin 1 dalam 100 penyuntikan yang
dilakukan. Reaksi terhadap sensitivitas obat yang dapat menyebabkan
kematian ini juga dilaporkan oleh the medical defence union sebanyak 37%
dari 5% (39 dari 750 kasus) Oleh karenanya jika reaksi alergik demikian timbul
sehingga pasiennya mengalami anafilaktik shok, maka dokternya tidak dapat
32
dipersalahkan. 18 Tentunya sewaktu terjadi anafilaktik shock, dokter itu harus
segera mengatasi shok tersebut dengan memberikan penanganan
sebagaimana mestinya.
b. Komplikasi dalam tubuh pasien, komplikasi yang timbul secara tiba-tiba pada
diri pasien itu sendiri yang tidak bisa diketahui atau diduga sebelumnya
seperti perdarahan, perluasan operasi sehinggah diangkatnya organ tertentu (
pengangkatan rahim pada operasi Caesar ),timbulnya emboli Paru yang dapat
membuat pasien meninggal dunia. Diperkirakan 40% orang dewasa yang
menjalani operasi di USA mempunya risiko gangguan jantung koroner
(Stoelting & Miller, 2000). Pemeriksaan pra operasi termasuk anamnesa
tentang kondisi pasien dan pemeriksan fisik, radiologi, laboratorium dan
sebagainya akan membuat ahli anastesi dapat mengetahui status kondisi
jantung pasien lebih baik sehinggah penanganan selama operasi lebih
optimal.Kira2 5% orang dewasa di US mempunyai gangguan ginjal yang
dapat meningkat risikonya pada waktu operasi menjadi gangguan ginjal akut
(Hurford, Bailin, Davison, Haspel, & Rosow, 1998). Angka kematian yang
berhubungan dengan gangguan ginjal lebih besar 30% pada waktu
operasi.(Hurford, et al., 1998) . Sedangkan spinal anastesi yang dianggap
merupakan salah satu pilihan yang lebih baik daripada nanastesi umum juga
mempunyai risiko sakit kepala 1-2%. Anastesi umum mempunya risiko
kematian 1 dalam 250,.000 tindakan. Malignant Hypertermia suatu risiko
medik yang sangat jarang terjadi dan dapat berakibat fatal pada pasien yang
menjalani tindakan anastesi dan biasanya terjadi pada ras negro dg risiko 1
dalam 50.000. Vacanti dkk, melaporkan pasien dengan status fisik ASA 1 pun
18 Lihat S.Sunatrio, Kecelakaan Mayor Dalam Anastesi,Surabaya,hal. 149
33
masih mungkin mengalami kematian dengan angka statistik 8 dari 1000
tindakan pembiusan. 19
Walaupun risiko medik tidak terduga, namun kemungkinan timbulnya
risiko itu harus dibuat seminimal mungkin dengan melakukan tindakan
pencegahan maupun tindakan penanganan bila risiko medik tersebut telah
terjadi. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak
diharapkan, seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan hati-hati
dalam bertindak agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin bisa terjadi. 20
C. MANAJEMEN RISIKO MEDIK
Majemen risiko medik merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya, sistim, fasilitas dan sebagainya
untuk mencapai pelayanan medik yang baik dan diberikan secara efektif dan
efesien dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya risiko dan melakukan
tindakan segera apabila risiko itu terjadi.Karena tanpa adanya manajemen risiko
medik yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien yang
berobat maupun yang akan mendapat penaganan medik tertentu. Jika tenaga
kesehatan sudah dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi
masih juga terjadi dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan
kepada dokternya. Karena hal tersebut termasuk risiko yang harus ditanggung
oleh pasien. 21 Selain itu pengemban profesi sepatutnya harus berusaha
menjalankan tugas yang diembannya dengan memberikan pelayanan yang terbaik
bagi pasien sehinggah dapat mengurangi kemungkinan terjadinya sesuatu yang
19 Lihat S.Sunatrio, Kecelakaan Mayor Dalam Anastesi,Surabaya,hal. 1 20Lihat J.Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
2005,hal. 106. 21 Lihat J.Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
2005,hal. 104.
34
tidak diduga dan sangat tidak diharapkan oleh kedua belah pihak, baik dokter
maupun pasien. 22 Oleh karena itu sudah seharusnya rumah sakit mempunyai
tujuan pelayanan untuk melindungi pasien dari praktek rumah sakit yang tidak laik
beroperasi, melindungi tenaga kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan oleh
rumah sakit,melindungi masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit danlain-
lain.
Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang sangat berbeda dengan
organisasi-organisasi lainnya. Organisasi rumah sakit sangat rumit dan unik,
dikarenakan mengatur semua kebijakan dan kegiatan yang berbeda namun harus
bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Jadi untuk itu sangat perlu dilakukan manajemen risiko medik agar dapat
dipastikan bahwa dalam melakukan tindakan seorang dokter tidak melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam melakukan tindakan medik dan dokter
melaksanakan profesinya dengan berpedoman kepada standar pelayanan medis
yang telah digariskan oleh ikatan profesi dalam bidang keahliannya. 23 Selain itu,
khusus di dalam pelayanan kesehatan, kelalaian juga dikaitkan dengan pelayanan
yang tidak memenuhi (di bawah) standar profesi (standar pelayanan medis) yang
dakam prakteknya juga perlu digunakan untuk membedakan antara risiko medik
dan malpraktek medik. Kalau terhadap pasien telah dilakukan tindakan oleh
seorang dokter yang kompeten dan prosedur sesuai dengan standar pelayanan
medis, tetapi pasien akhirnya luka berat atau mati, ini merupakan risiko medis.
Sedangkan bagi pasien yang mengalami luka berat maupun kematian sebagai
akibat dokter yang tidak kompeten dan atau pelayanan kesehatan yang diberikan
di bawah standar medis, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai malpraktek.
22 Lihat Anny Isfandyarie,Malpraktek & Resiko Medik, Prestasi Pustaka,Jakarta, 2005,hal.39 23 Lihat Anny Isfandyarie,Malpraktek & Resiko Medik, Prestasi Pustaka,Jakarta, 2005,hal.124
35
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam Manajemen Risiko Medik sebagai
berikut :
1. Standar Operasional Prosedur ( SOP ) dan menetapkan standard kinerja
(performance standards) untuk keamanan pasien.
Menyusun Standar Operasional Prosedur ( SOP ) sesuai dengan
standar profesinalisme yang berlaku, maksudnya penyusunan prosedur melibatkan
seluruh bagian terkait dengan memperhitungkan situasi dan kondisi di lapangan
termasuk standar fisik bangunan,fasilitas, kelengkapan peralatan dan sebagainya.
Penyusunan Standar Operasional Prosedur ini harus melibatkan semua pihak di
rumah sakit sesuai dengan bidangnya masing-masing, karena pelayanan terhadap
pasien tidak dapat dikotak-kotakan.Sebagai contoh, pasien yang datang untuk
operasi seksio sesaria, maka standar prosedur yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut bukan hanya dari standar operasional dokter saja, namun juga
standar prosedur administrasi sewaktu pasien datang mendaftar, standar prosedur
keperawatan sewaktu pasien dirawat di kamar, standar operasional laboratorium
apabila pasien akan dilakukan pemeriksaan darah untuk persiapan operasi
danseterusnya. Standar operasional yang dibuat berdasarkan alur pelayanan yang
disusun berdasarkan kebutuhan pasien. Semua profesional dalam melaksanakan
pekerjaannya harus sesuai dengan apa yang dinamakan standar profesi. Jadi
bukan hanya tenaga kesehatan yang harus bekerja sesuai dengan standar profesi
medik, pengemban profesi yang lain pun mempunyai standar profesi. Namun saat
ini standar profesi dari pengemban profesi yang lain, tidak atau belum begitu
dikenal atau dipermasalahkan, dibandingkan dengan standar profesi medik. 24
24 Lihat Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung,2001, hal. 49
36
W.B. Van der Mijn berpendapat bahwa dalam melaksanakan profesinya,
seorang tenaga kesehatan perlu berpegang kepada tiga ukuran umum yaitu
kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian yang umum.
Kewenangan adalah kewenangan hukum yang dipunyai oleh seorang
tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Kewenangan ini
memberikan hak kepada tenaga kesehatan untuk bekerja sesuai dengan
bidangnya. Kewenangan tidak lain adalah kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain yang disahkan oleh yang berhak mensahkan. Di Indonesia,
kewenangan menjalankan profesi tenaga kesehatan didapat dai Departemen
Kesehatan. Syarat administratif ini, memberikan kepada dokter kewenangan
untuk melaksanakan profesi tenaga kesehatan. Bila seorang tenaga kesehatan
melaksanakan pekerjaan tanpa kewenangan, maka tenaga kesehatan tersebut
melanggar salah satu standard profesi tenaga kesehatan. Pemberian
kewenangan oleh yang berhak mensahkan yaitu Departemen Kesehatan,
menyebabkan seorang professional mempunyai apa yang dikenal sebagai
kewenangan professional dalam melakukan pekerjaannya.
Untuk mengukur atau menentukan kemampuan rata-rata seorang tenaga
kesehatan sangat sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhi penentuan itu.
Sebagai misal, seorang tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan tentunya
tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang
telah menjalankan pekerjaan di bidang kesehatan selama dua puluh tahun. Di
lain pihak, seorang tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjaan selama
dua puluh tahun, harus mempunyai kemampuan seperti tenaga kesehatan yang
telah berpengalaman selama dua puluh tahun. Masalah tambahan bagi
Indonesia untuk menilai kemampuan tenaga kesehatan rata-rata, adalah tidak
meratanya keadaan dari tiap daerah. Selain itu apakah kemampuan tenaga
kesehatan di kota kecil dengan keterbatasan peralatan dan informasi, dapat
37
disamakan dengan kemampuan tenaga kesehatan yang bekerja di kota besar
yang tentunya sangat mudah memperoleh informasi dan dikelilingi oleh peralatan
canggih? Karena itu penentuan tentang kemampuan rata-rata seorang tenaga
kesehatan tergantung dari situasi dan kondisi dari negara yang bersangkutan. Di
negara maju hal ini tidak menjadi masalah lagi, dikarenakan pemerataan dalam
segala bidang. Begitu pula dalam sidang pengadilan, seorang tenaga kesehatan
tertentu yang sedang diadili akan diukur kemampuannya dengan kemampuan
dari saksi ahli dengan kategori kemampuan rata-rata yang sama dalam bidang
yang sama dengan tertuduh.
Ukuran keseksamaan atau ketelitian yang umum, ialah ketelitian yang
akan dilakukan oleh setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaan
yang sama. Dengan perkataan lain, tidak dapat seorang tenaga kesehatan yang
dapat dikatakan perfeksionis menjadi ukuran bagi ketelitian dari tenaga
kesehatan yang lain. Penilaian yang umum di sini, adalah bila sekelompok
tenaga kesehatan akan melakukan ketelitian yang sama dalam situasi dan
kondisi yang sama, maka ukuran ketelitian itulah yang diambil. Penentuan
standar profesi tenaga kesehatan mengenai ketelitian ini pun sangat sulit, sebab
itu hakim yang akan menilai ketelitian umum seorang professional harus obyektif.
Ukuran ketelitian yang pasti tidak ada, sebab dalam setiap tindakan medik
terdapat ukuran umum tersendiri, yang akan berlainan dengan ukuran dari
tindakan medik yang lain. Jadi penilaian ketelitian umum inipun sangat relatif.
Keseksamaan ini, menjadi ukuran apakah seorang tenaga kesehatan telah
bekerja dengan seksama, atau telah melakukan kesalahan/ kelalaian. Ukuran
keseksamaan seperti ini dituliskan di atas sangat sulit ditentukan, karena itu,
ditentukan kalau dokter telah bekerja dengan seksama dalam arti tidak
melakukan kesalahan/ kelalaian, maka kalau terjadi sesuatu pada pasien, di
38
mana tidak ditemukan kesalahan/ kelalaian dokter, maka dokter tidak dapat
dimintakan tanggungjawabnya baik secara perdata maupun secara pidana. 25
Brotowasisto Ketua Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran,
menjelaskan bahwa IDI sudah memprakarsai penerbitan standar profesi yang
baru memuat 3 macam standar sebagai berikut:
a. Standar pelayanan medik yang berisi hal-hal yang harus dilakukan dokter
ketika berpraktek
b. Standar kompetensi yang menyangkut kemampuan dokter
c. Standart of conduc atau standar etik yang mengatur perilaku dokter terhadap
pasien, sejawat dan terhadap dirinya.
Sedangkan Menurut Veronica, standar selalu berubah dan berkembang
seiring dengan perkembangan teknologi, bidang spesialisasi, fasilitas dan
sumber daya yang ada termasuk standar pelayanan medis di rumah sakit. 26
Leenen menjelaskan bahwa standar medis seorang dokter hendaknya
mengacu kepada kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama untuk
menggunakan upaya yang wajar, guna mencapai tujuan perawatan yang konkrit,
pada saat menghadapi masalah dengan situasi kondisi yang sama. Dari
beberapa pendapat tersebut di atas, dapat diartikan bahwa pada waktu dokter
melakukan praktek, dokter harus selalu berpedoman kepada standar operasional
prosedur. Standar ini harus dibuat oleh masing-masing bidang keahlian, dan
selalu disesuaikan dengan fasilitas, sumber daya manuasia dan kemajuan
teknologi yang ada pada saat itu serta diharapkan dengan perkembangan dan
tersedianya standar-standar untuk keperluan patient safety yang diberikan
kepada pasien antara lain bertujuan untuk:
25Lihat Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung,2001, hal. 52-54 26 Lihat Veronica D Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam transaksi Teraupetik,Citra Aditya Bakti,Bandung, 2002,hal. 178
39
a. Sebagai standard minimum kinerja yang harus dilaksanakan oleh setiap
petugas untuk meminimalkan terjadinya risiko.
b. Standard kinerja juga dimaksudkan untuk menjamin konsistensi dan
keseragaman prosedur bagi setiap petugas kesehatan dalam melakukan
upaya medik, sehingga kalaupun tetap terjadi error, maka harus ditelusuri
kembali apakah standard yang ditetapkan adekuat.
c. Menjamin bahwa pelaksanaan standar (yang merepresentasikan
kesepakatan seluruh petugas yang ada) adalah dalam kerangka
profesionalisme dan akuntabilitas.
2. Program Peningkatan Mutu Rumah Sakit Dan Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain
adalah pengumpulan data, identifikasi masalah, prioritaskan masalah, lakukan
evaluasi dan monitoring terhadap outcome spesifik yang menjadi salah satu
target potensial untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko medik. Hal ini
sebenarnya dapat dilakukan secara rutin dengan disiplin yang tinggi dan terus
menerus yang melibatkan berbagai pihak terkait di tingkat rumah sakit .Selain itu
dapat pula dikembangkan audit medik,program risk management atau istilah
lainnya adalah disease management atau outcome management. Salah satu
tujuan dari risk management ini adalah untuk mencegah terjadinya risiko akibat
tindakan medik. Namun demikian, apabila ternyata risiko tidak dapat dicegah
maka upaya pengatasan masalah harus dilakukan secara adekuat. Contoh untuk
ini adalah menyiapkan obat suntik adrenalin dan kortison untuk mengatasi risiko
syok anafilaksi akibat pemberian obat per injeksi. Program-program
pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan bentuk lain dari
pengukuran kinerja dan sekaligus menyediakan instrumen untuk mencegah hal
tersebut. infeksi pasca operasi atau infeksi nosokomial yang umumnya terjadi
40
akibat kesalahan dalam sistem (keperawatan, tidak adanya risk management,
dan tidak terdeteksinya bakteri yang resisten (misalnya MRSA-methycillin
resistant Staphylococcus aureus, ataupun VRE-vancomycin resistant
enterococcus). Untuk itu diperlukan informasi kepada masyarakat bahwa setiap
tindakan medik yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi.
Program peningkatan mutu Pelayanan Rumah Sakit harus menjadi kebijakan
yang terus dilakukan dan dievaluasi oleh seluruh staf di rumah sakit termasuk
dokter, perawat dan staf lain yang terkait termasuk staf maintenance. 27
Dibidang pelayan medik, program ini sangat penting karena program ini
harus dapat memastikan apakah para tenaga medis telah melakukan
pemeriksaan pasien dengan baik dan benar, misalnya pemeriksaan sebelum
tindakan bedah telah sesuai dengan SOP, termasuk pemeriksaan pendahuluan,
anamnese yang teliti, atau pemeriksaan laboratorium tambahan, jika dalam
pemeriksaan dicurigai ada hal-hal yang perlu dipastikan terlebih dahulu, misalnya
pasien diabetes perlu diperiksakan kadar gulanya, pemeriksaan jantung pada
pasien usia lanjut, tes faal paru-paru pada pasien perokok berat, dan sebagainya
pada pasien yang diperkirakan akan timbul pendarahan banyak, memasang
monitor-monitor pada pasien jantung seperti xymetry, dan lain-lain. serta
memastikan fungsi peralatan, fasitas dan kondisi fisik bangunan yang
berhubungan dalam pelayanan yan diberika kepada pasien dalam keaadaan
baik. Selain itu program peningkatan mutu ini juga akan memastikan pelayanan
yang diberikan telah sesuai dengan standar operasional prosedur melibatkan
seluruh bagian- bagian yang terkait. 28
27 Lihat Robert J Taylor, The AUPHA Manual of Health Services Management, Aspen Publisher,Maryland,1994,hal.53 28 Lihat S.Sunatrio, Kecelakaan Mayor Dalam Anastesi,Surabaya,hal. 27
41
3. Menetapkan Strategi Pencegahan Berbasis Pada Fakta.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko medik
yang mungkin terjadi pada pasien sbb. :
a. Mengidentifikasi dan memantau kemungkinan terjadinya risiko yang dapat
terjadi pada sekelompok pasien dengan risiko tinggi serta memahami
bagaimana risiko bisa terjadi, khususnya untuk yang sifatnya dapat diketahui
dari awal dan dapat dicegah (preventable). Melakukan analisis, interpretasi
dan mendiseminasikan data yang ada ke para klinisi maupun stakeholders.
Lebih dari 92% infeksi nosokomial yang terjadi di rumah sakit karena campur
tangan petugas kesehatan. Namun dokter umumnya kurang menyadari bahwa
infeksi nosokomial yang terjadi karena keterlibatan tenaga kesehatan dan
menganggap hal itu sebagai konsekuensi logis suatu tindakan medik. Hal ini
tentunya merupakan kekeliruan yang harus diperbaiki, karena meskipun
tindakan medik umumnya dapat menimbulkan risiko, hal itu masih
memungkinkan dapat dicegah jika dilakukan upaya pencegahan yang
adekuat. Kecilnya angka nosokomial yang biasanya dilaporkan biasanya
justru mengaburkan besarnya masalah. Rumah sakit perlu mengumpulkan
data secara akurat dan mendiseminasikannya kepada segenap dokter dan
petugas untuk meningkatkan awareness terhadap masalah ini.
b. Jika diperlukan dapat diundang para ahli dalam bidang klinis, epidemiologi
klinis, atau management training untuk melakukan eksplorasi dan sekaligus
memformulasi-kan solusi pemecahan.
c.Jika langkah-langkat tersebut telah dilakukan maka tahap berikutnya adalah
melakukan evaluasi dampak program terhadap keamanan pasien.
42
4. Peraturan Internal Rumah Sakit
Organisasi rumah sakit sangatlah unik dan kompleks. Keberadaan pusat
kekuasaan atau otoritas di rumah sakit juga unik dan sukar ditemukan
persamaannya pada organisasi atau institusi lain. Di rumah sakit kepemimpinan
puncak terdiri dari tiga satuan atau organ fungsional yang berbeda kewenangan,
tugas dan tanggung jawab masing-masing, namun semua harus bekerja sama.
Secara integratif dalam menjalankan misi rumah sakit. Ke tiga kepemimpinan
puncak adalah :
a. Pemilik atau yang mewakili pemilik,
b. Direksi
c. Staf medis.
Pemilik atau yang mewakili pemilik sebagai otoritas steering, Direksi atau
Pimpinan Rumah Sakit mempunyai fungsi sebagai motor penggerak dan staff
medis adalah pelaku utama core business rumah sakit. Tidak satupun dari tiga
kekuasaan itu akan berfungsi, jika tidak ada dua yang lain. Mereka
sesungguhnya adalah tritunggal yang bersama-sama secara fungsional
memimpin rumah sakit dan bertanggung jawab bersama tentang layanan kepada
masyarakat (shared acountability). Diharapkan jabatan ketiga piminan puncak
tersebut tidak dirangkap, karena akan mempengaruhi keputusan yang akan
diambil. Sebagai contoh, seandainya seorang pemilik rumah sakit swasta yang
kebetulan seorang dokter merangkap sebagai direktur dan juga praktik, maka
apabila pemilik rumah sakit tersebut membeli peralatan, mungkin penggunaan
peralatan tersebut akan sulit dikendalikan dan munkin saja akan terjadi over
procedure dari peralatan tersebut. Tidak ada yang mengatur, tidak ada yang
mengawasi oleh karena itu sangat perlu dipertimbangkan apabila posisi jabatab
tersebut bila dirangkap. Dalam rangka menuju “Good Governance” rumah sakit
43
telah dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
772/Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit
(Hospital by Laws). Dalam pedoman tersebut diuraikan bahwa Hospital bylaws
terdiri dari Corporate by Laws dan Medical staff bylaws . Namun Peraturan
tersebut kurang rinci dan terlalu umum sehingga perlu diperbaiki dan diatur
dalam peraturan tersendiri. Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 631/MENKES/SK/IV/2005 Tentang
Pedoman PeraturanInternal Staf Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit
dengan pertimbangan bahwa meningkatkan mutu pelayanan kesehatan medis di
rumah sakit perlu pengaturan internal yang mengatur peran dan fungsi pemilik,
pengelola dan staf medis dan dalam rangka rumah sakit menyusun Medical staff
bylaws. Dalam Kep.Men.Kes. ini setiap rumah sakit diwajibkan menyusun
Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws) di rumah sakit untuk
meningkatkan mutu profesi medis dan mutu pelayanan medis.Dalam
penyusunan Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws ) di rumah
sakit mengacu pada pedoman yang dibuat dalam bentuk 2 lampiran yaitu,
a. Tata cara penyusunan Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws)
di rumah sakit.
b. Pengorganisasian staf medis dan komite medis.
Pedoman Internal staf medis (Medical Staff bylaws ) di rumah sakit
merupakan acuan setiap rumah sakit dalam menyusun Peraturan
iInternalRumah Sakit (Medical Staff bylaws ) yang disesuaikan dengan
situasi, kondisi dan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Penyusunan dan
pelaksanaan pedoman ini akan di monitoring dan evaluasi oleh Direktur
jendral pelayanan medis, Dinas kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam rangka pembinaan dan pengawasan.
44
Dengan adanya Kep.Men.Kes ini maka Kep.men.Kes Nomor
772/MENKES/SK/VI/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah sakit
(Hospital bylaws )mengenai Peraturan Internal staf medis( medical staff bylaws )
dinyatakan tidak berlaku lagi. Salah satu materi dan substansi Peraturan internal
Staf medis (Medical staff bylaws) adalah membuat kerangka tugas dan
kewajiban Komite medis yang secara umum yaitu :
a. Menyusun, mengevaluasi dan jika perlu mengusulkan perubahan pada
Medical staff bylaws.
b. Menetapkan standar pelayanan medis yang dibuat oleh kelompok staf
medis.
c. Menentukan kebijakan umum dalam melaksanakan pelayanan medis
secara profesional.
d. Mengusulkan rencana pengembangan sumber daya manusia dan teknologi
untuk profesi medis. Kita sadari organisasi staf medis saat ini semakin
berkembang, jumlah dan jenis spesialisasi di rumah sakit semakin
bertambah. Karena itu rumah sakit diharapkan dapat menyusun Medical
Staff by Laws dengan mengacu pada pedoman ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam rangka peningkatan mutu
pelayanan medik maka perlu ada Medical staff bylaws yang berisi tentang
konsep dan prinsip, contoh atau modelformat, substansi dan langkah-langkah
penyusunannya.Tujuan dibuatnya by laws ini agar dokter yang bergabung di
rumah sakit sudah dapat dipastikan kompetensinya serta telah memenuhi aturan
dan ijin dari ikatan profesi maupun dari Dinas Kesehatan . Dalam by laws ini
akan diatur proses Credentialing, Previleging,Patient Care rules and monitoring
sehinggah dengan dilaluinya proses tersebut maka rumah sakit telah mempunyai
saringan yang baik untuk dokter-dokter yang akan bergabung dan mereka akan
45
mempunyai pemahaman yangg baik dalam melakukan pelayanan kepada
pasien. 29 Suatu medical staff bylaws rumah sakit terbentuk atas perjanjian antara
rumah sakit dengan staf medis dan membentuk aturan keanggotaan staf medis
termasuk kriteria staf medis yang merefleksikan kepada misi rumah sakit untuk
pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian. Yang dimaksud dengan staf
medis dalam Medical staff bylaws adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan
dokter gigi spesialis. Bylaws dapat diadaptasi dari aturan rumah sakit atau
peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Selain itu ada beberapa tujuan yang
cukup penting dengan dibentuknya Medical Staff by Laws ini :
a. Untuk memastikan agar semua pasien yang masuk atau yang dirawat di
setiap fasilitas pelayanan rumah sakit memperoleh layanan kesehatan dengan
mutu tinggi dan aman (safety) tanpa membedakan ras, agama, warna kulit,
keturunan, status ekonomi, latar belakang pendidikan, status perkawinan,
ketidakmampuan, jenis kelamin, umur, orientasi sex, kebangsaan atau sumber
pembayaran.
b. Untuk mengatur agar pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan penelitian
dapat dilaksanakan dengan tetap mempertahankan mutu layanan
kesehatan dan martabat untuk semua pasien.
c. Untuk mengembangkan dan melestarikan berbagai peraturan bagi staf
medik yang dapat menjamin kualitas profesional di rumah sakit.
d. Untuk menyediakan forum diskusi tentang permasalahan staf medik.
e. Untuk mengawasi dan menjamin adanya kesesuaian antara bylaws, rule and
regulation of medical staff dengan kebijakan rumah sakit.
29 Lihat Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, rambu-rambu bagi profesi dokter, edisi 3, tahun 2005, hal. 54
46
Aturan staf medis merupakan kewajiban staf medis dalam pelayanan kesehatan
di rumah sakit yang berupa :
1) Kewajiban staf medis untuk mematuhi ketentuan dalam pelaksanaan
praktik kedokteran.
2) Kewajiban staf medis untuk mematuhi standar profesi.
3) Kewajiban staf medis untuk mematuhi standar pelayanan kesehatan dan
standar prosedur operasional.
4) Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang rekam
medis.
5) Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang informed
concent.
6) Ketentuan untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang rahasia
kedokteran.
7) Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang obat dan
formularium rumah sakit.
Diharapkan dengan penerapan Peraturan Internal Rumah Sakit,
pelayanan yang diberikan kepada pasien dapat lebih baik dan pasien
mendapatkan hak-haknya dan rumah sakit juga melakukan kewajiban
sebagaimana mestinya.
5. Persetujuan Tindakan Medik
Persetujuan tindakan medik atau Informed consent adalah persetujuan
yang diberikan setelah orang yang bersangkutan informed atau telah diberi
informasi. Dapat dikatakan informed consent adalah persetujuan berdasarkan
informasi dan pada dasarnya informed consent merupakan suatu kehormatan
terhadap hak-hak pasien sehingga dijalankan dengan penuh kesadaran dan
bukan hanya untuk mematuhi peraturan yang ada, karena para dokter
47
diharapkan untuk secara lengkap memberikan informasi kepada pasien tentang
bentuk tindakan yang akan/perlu dilaksanakan dan juga risikonya. 30 Seringkali
dikemukakan bahwa masyarakat di negara berkembang kurang dapat
memutuskan apa yang baik diri mereka sehingga cenderung untuk menyerahkan
keputusan tersebut pada dokter. Sebenarnya dokter berkewajiban untuk
menyampaikan informasi yang lengkap dan benar tersebut dengan bahasa yang
dapat dimengerti oleh pasien.
Pada masyarakat maju atau masyarakat yang sedang berkembang tetap
saja pasienlah yang paling berhak untuk memutuskan apa yang terbaik bagi
dirinya. Tingallah kita bertanya pada diri sendiri sudah mampukah kita
memberikan informasi yang baik bagi pasien sesuai dengan tingkat pendidikan
dan sosial budaya pasien? Setiap tindakan medik ada kemungkinan terjadinya
resiko yang dapat membahayakan pasien, maka sebelum melakukan tindakan
medik, dokter harus menginformasikan kepada pasien tentang efek samping
yang mungkin terjadi dari tindakan yang dilakukannya. Sehingga dalam
penyampaian informasi harus ada kesamaan bahasa atau setidaknya ada
pendekatan dalam pengertian dari orang yang menerima informasi .Bila terdapat
kesenjangan yang besar antara bahasa pemberi informasi dan bahasa penerima
informasi, maka usaha pemberian informasi bukan saja tidak mencapai tujuan,
bahkan dapat mengarah kesalah pengertian. Seperti diketahui bahasa
kedokteran tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam bidang
kedokteran. Pemberian informasi dengan penggunaan bahasa kedokteran tidak
akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien. Informasi
yang diberikan adalah informasi yang selengkap-lengkapnya yaitu informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan dan risiko yang
30 Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Hukum kedokteran, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.62.
48
dapat ditimbulkannya. Informasi yang harus diberikan adalah tentang
keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilaksanakan, baik
diagnostic maupun terapeutik. Sebaiknya isi minimal dari informasi dirinci
.Leenen memberikan pendapat tentang isi dari informasi yaitu diagnosa, terapi
dengan kemungkinan alternative terapi, tentang cara kerja dan pengalaman
dokter, risiko, kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lainnya, keuntungan
terapi dan prognose. Sebagai contoh misalnya: seorang pasien karena
penyakitnya diberikan antibiotik, maka sebelum dokter memberikan obat atau
resep, dokter sebaiknya memberikan pesan bahwa obat yang diberikan olehnya,
mungkin dapat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki. Penjelasan
yang diberikan haruslah dipahami oleh pasien. Kita tidak mungkin memberitahu
pasien bahwa efek samping obat dalam bahasa kedokteran. Bahasa yang
mungkin dapat dimengerti pasien adalah dengan mengatakan bahwa ”Bila nanti
timbul gelembung seperti terbakar, obat jangan diteruskan lagi, kemungkinan
Anda tidak tahan obat dan segeralah hubungi saya.” menjadi tolak ukur yang
juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam menentukan ada atau
tidaknya malpraktek. 31
Namun demikian harus diingat bahwa ilmu kedokteran tidak matematis,
artinya belum tentu seseorang pasien demam bereaksi sama dengan orang lain
yang demam pada saat diberikan obat demam yang sama demikian disampaikan
oleh Husein karbala seorang pakar hukum kesehatan dari unversitas Indonesia.
Jika efek samping bisa diketahui sebelumnya, maka dokter tersebut harus
memberikan informasi terlebih dahulu, satu dan lain untuk mencegah penuntutan
hukum. Adalah kewajiban dokternya untuk memberikan informasi atau
penjelasan kepada pasiennya jika ada risiko semacam ini dalam memperoleh
31 Anny Isfandyarie,Malpraktek & Resiko Medik, Prestasi Pustaka,Jakarta, 2005,hal 41
49
persetujuan tindakan medis (Informed Consent). Dokter dan pasien memerlukan
perlindungan hukum yang seadil-adilnya. Membiarkan opini masyarakat yang
negatif terhadap akibat tindakan medik hilangnya nyawa sebagai malpraktek
berarti dapat pula menimbulkan dampak negatif bagi dokter dalam menjalankan
profesinya. Oleh karena itu masyarakat perlu mengerti bahwa di dalam tindakan
medik, terkadang ada resiko medik yang justru dapat membahayakan jiwa
pasien yang mencari kesembuhan. Dalam menetapkan dan melaksanakan
kebijakan dan prosedur tentang Informed Consent harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan dibawah ini:
a. Pengaturan Persetujuan atau Penolakan Tindakan Medik harus dalam bentuk
kebijakan dan prosedur (Standard operating procedure) dan ditetapkan
tertulis oleh pimpinan rumah sakit.
b. Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya
memberikan informasi dan penjelasan adalah kewajiban dokter.
c. Pelaksanaan Informed Consent dianggap benar jika memenuhi ketentuan
dibawah ini persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis diberikan untuk
tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik, persetujuan atau Penolakan
Tindakan medis diberikan tanpa paksaan, persetujuan atau Penolakan
Tindakan Medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan
yang memang berhakmemberikannya dari segi hukum, persetujuan atau
Penolakan Tindakan Medis diberikan setelah diberikan cukup informasi dan
penjelasan yang diperlukan.
d. Isi informasi dan penjelasan.
Yang harus diberikan Informasi dan penjelasan (adekuat) jika paling sedikit
enam hal pokok dibawah ini disampaikan dalam memberikan informasi dan
penjelasan,yaitu informasi dan penjelasan tentang persetujuan dan prospek
keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan (purpose of medical
50
procedure ). Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang
akan dilakukan (contemplated medical procedures), informasi dan penjelasan
tentang dan komplikasi yang mungkin terjadi, informasi dan penjelasan
tentang alternatif tindakan medis yang lain yang tersedia serta resiko
masing-masing (alternatif medical procedure and risk), informasi dan
penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut
dilakukan (prognosis with and without medical procedure) dan diagnosis.
e. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan.
Dokter yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab
utama memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila
berhalangan, informasi dan penjelasan yang diberikan dapat diwakilkan
kepada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan.
f. Cara menyampaikan informasi dan penjelasan.
Informasi dan penjelasan disampaikan secara lisan. Informasi dan
Penjelasan secara tulisan dilakukan hanya sebagai pelengkap penjelasan
yang telah disampaikan secara lisan.
g. Pihak yang berhak menyatakan persetujuan adalah pasien sendiri, yaitu
apabila pasien telah berumur 21 tahun atau telah menikah
h. Cara menyatakan persetujuan
Cara pasien menyatakan persetujuan dapat secara tertulis (expres) maupun
lisan.Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang
mengandung risiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan
pada tindakan medis yang tidak mengandung risiko tinggi.
i. Semua jenis tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus disertai
Informed Consent. Jenis tindakan medis yang memerlukan Informed
Consent disusun oleh Komite Medik dan kemudian ditetapkan oleh pimpinan
rumah sakit. Bagi rumah sakit yang belum mempunyai Komite Medis atau
51
keberadaan Komite Medis belum lengkap, maka dapat mengacu pada jenis
medis yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit lain yang fungsi dan kelasnya
sama.
j. Perluasan tindakan medis selain tindakan medis yang telah disetujui tidak
dibenarkan dilakukan dengan alasan apapun juga,kecuali apabila perluasan
tindakan medis tersebut terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan jiwa
pasien.
k. Pelaksanaan Informed Consent untuk tindakan medis tertentu, misalnya
tubektomi atau vasectomi yang berkaitan dengan program keluarga
berencana, harus ketentuan lain melalui konsultasi dengan perhimpunan
profesi yang terkait.
D. PENUTUP
Majemen risiko medik merupakan suatu cara yang sangat penting dalam
pelayanan kedokteran di rumah sakit, karena tanpa adanya manajemen risiko
medik yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien
yang berobat maupun yang akan mendapat penaganan tertentu. Jika sudah
dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga terjadi
dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya.
Termasuk risiko yang harus ditanggung oleh pasien. Di dalam kasus-kasus
inilah seiring terjadi perbedaan pendapat dan penafsiran lainnya. Risiko itu bisa
timbul, bisa juga tidak. Jika dokternya sudah bertindak dengan hati-hati, teliti dan
berdasarkan manajemen risiko medik yang telah diuraikan diatas seperti
melakukan tindakan sesuai dengan standar operasional prosedur, mempunyai
program peningkatan mutu rumah sakit serta melakukan evaluasi secara rutin,
menyelenggarakan medical staff by laws dan memberikan penjelasan kepada
52
pasien tentang kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada tindakan medik dan
langkah-langkah yang akan diambil bila risiko tersebut terjadi.
Risiko medik mangandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan
(verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarbeid) dan terjadinya tidak
dapat diduga sebelumnya. Dokter sama sekali tidak memberikan jaminan akan
penyembuhannya. Hal ini memang juga tidak mungkin mengingat banyaknya
variasi yang terdapat di dalam diri pasien,seperti: sifat dan macam penyakit,
usianya, komplikasinya, taraf tingkat penyakit yang berbeda- beda dan hal-hal
yang meliputi daya-tahan tubuh. Kesemuanya ini tidaklah sama. Setiap orang
mempunyai ciri khusus tersendiri dan dapat dikatakan bahwa dalam ilmu medis
hampir tidak ada dua kasus yang persis sama.
Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait
dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu
hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya
merupakan objek pemeliharaan kesehatan umumnya dan pelayanan kesehatan
khususnya. Dokter dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit selalu
diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam
melaksanakan hubungan antar pihak. Hubungan dokter dan pasien, hubungan
dokter dan rumah sakit dan hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari
hubungan hukumnya merupakan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam
melaksanakan pengobatan yang dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada
umumnya perikatan yang digunakan sebagai hubungan hukum diatas
merupakan perikatan ikhtiar (inspanning verbentenis) yang merupakan upaya
seoptimal mungkin untuk mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang
diobati, bukan merupakan perikatan hasil (resultaat verbentenis). Untuk
53
melindungi pasien dan masyarakat yang membutuhkan pengobatan dan dalam
menghindari pelanggaran, kelalaian terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter
yang dapat menimbulkan kegiatan malpraktik dokter, para dokter dibekali kode
etik kedokteran, hukum kesehatan, hukum hak asasi manusia serta peraturan-
peraturan yang mengatur praktik kedokteran.
Rumah sakit harus mempunyai berbagai aturan dalam melindungi pasien
dari praktek rumah sakit yang tidak layak beroperasi, melindungi tenaga
kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan oleh rumah sakit, melindungi
masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit, mengendalikan fungsi rumah
sakit kearah yang benar, meningkatkan mutu rumah sakit, menselaraskan
layanan di rumah sakit dengan program pemerintah dalam bidang kesehatan dan
lain - lain. Jaminan akan keamanan ini sering sulit diungkapkan secara faktual.
Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja derajatnya
bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik) hingga yang berat
(memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau bahkan kematian).
Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap kemungkinan risiko dan
manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur yang akan dijalaninya.
54
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN
A.PENGANTAR
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Negara yang
berlandaskan hukum maka sudah selayaknya jika hukum dijadikan supremasi, di
mana semua orang diharapkan tunduk dan patuh kepadanya tanpa kecuali.
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan peraturan yang dapat
memberikan perlindungan dan mempertahankan serta meningkatkan mutu
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter serta memberikan kepastian hukum
kepada masyarakat. Hal tersebut sangat dimengerti karena kebanyakan seorang
pasien memposisikan dirinya sebagai seorang penderita cenderung bersifat pasif
yang artinya bila menerima pelayanan medik hanya berkewajiban untuk
menerima pelayanan yang diberikan termasuk segalah kemungkinanan-
kemungkinan yang dapat terjadi pada dirinya walaupun belum memahami secara
mendalam penjelasan yang diberikan oleh seorang dokter. Aspek hukum
diperlukan juga untuk melindungi pasien, karena pada masa lampau ada
anggapan kuat bahwa kedudukan hukum pasien saat itu dianggap sebagai ahli
yang maha tahu sehingga pasien hanya boleh pasrah saja. Dengan
perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, risiko yang dihadapi
pasien semakin tinggi, oleh karena itu dalam hubungan antara dokter dengan
pasien, misalnya, terdapat kesederajatan maka pasien pun memerlukan
perlindungan hukum dikaitkan dengan kemungkinan tenaga medis melakukan
55
malapraktek. Aspek Hukum yang harus dimiliki oleh para ahli kesehatan juga
tidak kalah pentingnya karena para ahli kesehatan dalam melakukan tugasnya
adalah selalu penuh risiko, kalau para ahli kesehatan tersebut dalam melakukan
tugasnya sudah melalui prosedur yang benar,derajat kompetensi yang jelas dan
maka tentu saja akan mendapatkan perlindungan hukum. Aspek hukum untuk
pihak ketiga dan kepentingan umum juga sangat dibutuhkan, tidak mustahil
kepentingan para ahli kesehatan tidak serasi dengan kepentingan masyarakat
atau kepentingan umum, artinya apa yang diharapkan masyarakat tidak sesuai
dengan kenyataan yang terjadi. Mengingat hal tersebut, maka sangatlah
diperlukan perlindungan hukum kepada pasien sehinggah pasien dapat
memperoleh hak nya.
B. HUKUM
Manusia mempunyai kecenderungan dan kebutuhan pada ketertiban dan
keadilan. Karena itu, dinamika kehidupan bermasyarakat telah memunculkan
hukum, berupa berbagai perangkat aturan hukum yang tertata secara sistemik
sebagai ungkapan rasa keadilan masyarakat dan sarana untuk mewujudkan
ketertiban berkeadilan. Sebagai demikian, hukum tersebut mempunyai banyak
aspek, dimensi dan faset yang menyebabkan hukum menjadi gejala yang sangat
mejemuk. Hukum tersebut berakar dan terbentuk dalam proses interaksi
berbagai aspek kemasyarakatan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya,
teknologi, keagamaan, ideologi dan sebagainya. Dalam dinamikanya, hukum
tersebut dibentuk dan ikut membentuk sistem masyarakat. Bentuk dan berbagai
sifatnya ditentukan oleh masyarakat namun sekaligus ikut menentukan bentuk
dan sifat-sifat masyarakat itu sendiri. Jadi, hukum tersebut dikondisi dan
mengkondisi masyarakat. Hukum tersebut bertujuan untuk mewujudakan
56
ketertiban dan keadilan secara konkret dalam masyarakat, maka hukum disatu
pihak memperlihatkan kecenderungan konservatif, yaitu berupaya memelihara
dan mempertahankan apa yang sudah tercapai. Namun di lain pihak juga
memperlihatkan kecenderungan modernisme, yaitu berupaya mendorong,
meneruskan atau menyalurkan dan mengarahkan perubahan masyarakat.32
Masyarakat itu sesungguhnya terdiri dari manusia, baik sebagai
perorangan (individu) atau kelompok-kelompok manusia yang telah berhimpun
untuk berbagai keperluan atau tujuan. Pergaulan atau hubungan masyarakat
adalah interaksi antara manusia dan kelompok manusia yang saling
membutuhkan dan ketergantungan. Agar hubungan ini dapat berjalan dengan
baik, maka dibutuhkan aturan yang berdasarkannya orang akan melindungi
kepentingannya dan menghormati kepentingan dan hak orang lain sesuai
dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh aturan (hukum) tersebut. Untuk
mengatur segala hubungan antar manusia, baik hubungan antar individu,
maupun antara individu dengan kelompok-kelompok, begitu pula hubungan
antara individu atau kelompok dengan pemerintah (negara) diperlukan hukum.33
Masyarakat betapapun sederhananya, selalu memerlukan penataan dan
pengaturan perilaku di dalam masyarakat yang kepatuhan dan penegakannya
tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada kemauan bebas masing-masing.
Karena itu, di dalam masyarakat dengan sendirinya timbul sistem pengendalian
sosial (social control) terhadap perilaku para masyarakatnya yang dalam
perkembangannya, sistem pengendalian sosial ini telah mengalami perubahan
dan memunculkan apa yang sekarang disebut dengan tatanan hukum, yang
kepatuhan dan penegakannya tersebut tidak dapat diserahkan sepenuhnya 32B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia dalam “Percikan Gagasan Tentang
Hukum Ke-III” editor: Wila Chandrawila Supriadi, Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 9. 33 Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 2001, hlm. 16-17.
57
kepada kemauan bebas masing-masing warga mayarakat, melainkan dapat
dipaksakan secara terorganisasi oleh masyarakat sebagai keseluruhan, yaitu
oleh masyarakat hukum yang terorganisasi secara politikal berbentuk badan
hukum publik yang disebut negara.34
Dengan demikian, hukum merupakan suatu prasyarat agar interaksi
sesama manusia dapat berjalan tertib dan teratur. Hukum adalah alat untuk
mengatur manusia, akan tetapi hukum bukan satu-satunya alat untuk mengatur
manusia dalam masyarakat. Jadi, hukum itu tidak berawal dari hukum sendiri,
melainkan dari manusia dan kemanusiaan di dalam pergaulan masyarakat.35
Interaksi manusia dalam masyarakat tersebut dengan sendirinya akan
menciptakan suatu tatanan hukum yang sedemikian rupa sehingga para anggota
masyarakat dapat hidup bersama dalam suasana solidaritas yang wajar dan
saling menghargai sebagai sesama manusia.36 Sebagai demikian, hukum
tersebut mempunyai sifat normatif, yaitu mewajibkan para anggota masyarakat
untuk mentaatinya
Menurut Reinhold Zippelius, melalui hukum manusia hendak mencapai
ketertiban umum. Meskipun demikian, harus disadari bahwa ketertiban umum
yang hendak dicapai melalui hukum itu hanya bisa dicapai dan dipertahankan
secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses sosial.
Dalam hubungan ini bahwa proses sosial itu sendiri adalah fenomen yang
dinamis. Melalui proses sosial penyelenggaraan hukum itu akan memperoleh
34 Lihat B. Arief Sidharta, Disiplin Hukum (Tentang Hubungan Antara Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum) dalam “Pro Justitia” Tahun XX - Nomor 3 - Juli 2002, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan bekerja sama dengan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 3.
35 Lihat Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia editor: Karolus Kopong Medan & Frans J. Rengka, Kompas, Jakarta, 2003, hal. 34 & 120;
36 Lihat Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 18, 29, 30, 35, 52 & 61;
Lihat pula... B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 187.
58
kepercayaan dari masyarakat sebagai memang akan memberikan ketertiban
umum kepada kehidupan bersama. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri
harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila
penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi.
Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat
mau mengandalkannya sebagai perangkat kaidah yang mengatur kehidupan
bersama. Konsistensi dalam penyelenggaraan hukum itulah yang disebut
kepastian hukum. Konsistensi itu diperlukan sebagai acuan bagi perilaku
manusia sehari-hari dalam berhubungan dengan manusia lainnya. Acuan
perilaku itu diperlukan, karena manusia tidak hidup berdasarkan naluri yang
alamiah, melainkan terutama berdasarkan akal yang membuat keputusan melalui
kehendak yang bebas. Kendati demikian, konsistensi dalam penyelenggaraan
hukum itu bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sehingga terdapat
risiko bahwa penyelenggaraan hukum itu menjadi tidak konsisten. 37
Demi tercapainya suatu kondisi pergaulan hidup yang tertib, manusia
membutuhkan suatu pedoman atau patokan mengenai berperilaku yang
sedemikian rupa, sehingga dia dapat mengharapkan respon dari manusia lain
dengan siapa dia berhubungan, yang kurang lebih merupakan respons yang
dapat dianggapnya sebagai "masuk akal". Jika manusia tidak mempunyai
patokan perilaku, dan karenanya juga tidak bisa memperkirakan respons yang
"masuk akal" yang akan diterimanya dari manusia lain, maka setiap kali dia
melakukan suatu tindakan tertentu, dia tidak akan dapat membayangkan,
perilaku manakah atau seperti apakah yang dapat diterima secara umum, dan
perilaku manakah atau seperti apakah yang akan ditentang atau ditolak oleh
para warga masyarakat. Dalam keadaan tanpa patokan sedemikian itu, akan
37 Lihat Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil (Problematik Fisafat Hukum),
Grasindo, Jakarta, 1999, hal. 150-151.
59
sukar bagi warga masyarakat untuk membayangkan bahwa kehidupan
masyarakat bisa berlangsung dengan tertib, damai, dan adil. Fungsi dari
kepastian hukum adalah untuk memberikan patokan yang sedemikian rupa bagi
perilaku warga masyarakat untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat
bisa berlangsung dengan tertib dan tentram. Selanjutnya, agar kepastian hukum
itu dapat diwujudkan dan sungguh menampilkan diri di hadapan masyarakat,
maka kepastian hukum itu harus memiliki bobot yang formal maupun yang
material. Karena memang sudah kodratnya bahwa kepastian hukum itu akan
selalu mempunyai kinerjanya yang selalu akan sangat mudah untuk diamati oleh
masyarakat. Kinerja yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan
cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang
dari norma hukum. Berbeda dengan kepastian hukum formal yang diperoleh
terutama melalui kinerjanya, kepastian hukum yang material dihasilkan oleh rasa
keadilan yang proporsional yang mengemuka manakala perilaku yang
menyimpang dari norma hukum dengan bobot yang berbeda-beda memperoleh
penilaian. Kepastian hukum yang formal tidak bisa dibilang sebagai ada, jika
setahun yang lalu tindakan korupsi dikenai hukuman pidana, sedangkan sebulan
yang lalu menjadi tindakan yang dikenai sanksi perdata. Kepastian hukum yang
material juga tidak bisa dibilang sebagai ada, jika suatu peristiwa hukum yang
terjadi adalah berbeda namun diberikan akibat hukum yang sama. Karena
manusia tidak dibimbing oleh nalurinya, melainkan (seharusnya) terutama oleh
akalnya, patokan bagi perilakunya itu juga dijaga oleh suatu substansi yang
merupakan produk dari akal, yang dalam zaman modern disebut negara.
Konsekuensinya adalah negara bertanggung jawab untuk mengurus tertib hukum
(order), keandalan hukum (legal reliability) dan kesinambungan hukum (legal
continuity). 38 38 Lihat Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil (Problematik Fisafat Hukum),
60
Sendi-sendi ketertiban, keadilan dan kebahagiaan yang terwujud dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari akan dapat tercipta dengan kepastian dalam
hukum baik kepastian tentang hak dan kewajiban, wewenang dan tanggung
jawab maupun kepastian tentang berbagai hubungan hidup bermasyarakat.
Kepastian hukum itu harus diartikan suatu kepastian keadaan oleh karena
hukum dan kepastian dalam hukumnya sendiri, sebab hukum tidaklah harus
berupa peraturan-peraturan (regel) belaka akan tetapi juga berupa keputusan
pejabat yang berwenang. Dalam pendapat ini dapat ditafsirkan mengenai
keadilan justru dapat tercapai atas dasar kepastian hukum yang diterapkan
terhadap peristiwa tertentu, sekalipun sebaliknya kadang-kadang suatu
kepastian hukum tercapai atas dasar keadilan.39
Hukum di ruang pengembanannya harus diarahkan dalam rangka
menjamin terselenggaranya zona "prediktabilitas" dan "stabilitas" dalam
yurisdiksinya yang harus pula menampilkan karakter yang "definitif" (pasti) di
tiap-tiap level pengembanannya (menjawab masalah-masalah yuridis).
Perkataan "definitif" tersebut dimaksudkan, bahwa penerapan hukum selalu
menuntut tegaknya kepastian hukum. Atribut "definitif" ini sedemikian pentingnya
bagi hukum, bahkan keseluruhan gagasan tentang sistem hukum pun semata-
mata diarahkan dalam rangka menjamin tegaknya ihwal kepastian hukum ini.
Dengan adanya kepastian semacam ini, pada galibnya masyarakat akan
terhindar dari sirkumstansi-sirkumstansi penerapan hukum yang mengarah pada
'onzekerheid' (ketidakpastian hukum). Dengan kepastian ini pula, zona
prediktabilitas dan stabilitas (suasana tertib) di masyarakat, diharapkan akan
terselenggara secara mantap dan konsisten. Karenanyalah dikatakan, bahwa
Grasindo, Jakarta, 1999, hal. 152-158.
39 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori–Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 10-12.
61
hukum tidak bisa bertolak dari kekhawatiran-kekhawatiran, hukum harus
memulai kiprahnya di tataran penerapan dari sebuah situasi yang pasti
(kepastian hukum). Hal ini berarti bahwa orang butuh sesuatu yang pasti
menyangkut hak dan kewajiban, mengenai apa yang boleh dan apa yang
dilarang menurut hukum dalam situasi konkret tertentu. Dengan kata lain,
bermodalkan corak yang "berkepastian" itu, hukum akan mengeksplisitkan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban dari seseorang, terhadap siapa, berkenaan dengan
apa, dan dalam situasi apa. Dalam situasi (konkret) itu, hukum akan tampil
menetapkan apa yang menjadi hak baginya dan apa yang menjadi kewajiban
baginya.
Jadi akibat-akibat dari suatu tindakan yang dilakukannya dapat diramalkan
atau diduga. Dalam konteks penegakkan hukum, jika hakim berhadapan dengan
kasus serupa, maka harus menghasilkan pertimbangan dan putusan serupa
adalah sesuai dengan maksud dan tujuan keterdugaan dari perbuatan hukum
dalam konteks pemikiran kepastian hukum.40 Menurut Satjipto Rahardjo,
kepastian hukum menyangkut masalah "law being written down" bukan tentang
keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum itu tidak ada hubungannya dengan
"die Sicherkeit durch das Recht," seperti memastikan, bahwa pencurian,
pembunuhan, menurut hukum merupakan kejahatan. Kepastian hukum adalah
"Sicherkeit des Rechts selbst”. (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat
hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. (1), bahwa hukum itu
positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). (2),
bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan ten-
tang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti "kemauan baik",
40 Lihat Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
diterjemahkan oleh: Tristam P. Moeliono, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlal. 208-210.
62
"kesopanan". (3), bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas
sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah
dijalankan. (4), hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Lebih lanjut
menurutnya, kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol”
(subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak berkaitan
dengan faktor di luar hukum itu sendiri. Berbicara mengenai kepastian, maka
seperti dikatakan Gustav Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian dari
adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).41
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah suatu
jaminan yang diberikan oleh otoritas tertentu, terhadap hak dan kewajiban dari
setiap subyek hukum beserta akibatnya, melalui suatu teks otoritatif (peraturan
perundang-undangan, perjanjian, kebijakan publik, putusan hakim, penetapan
hakim, penetapan pejabat publik, dan lainnya) yang di dalamnya tidak terdapat
keterangan-keterangan yang saling bertentangan (kontradiksi atau
inkonsistensi), baik secara vertikal maupun horisontal (tata hukum) dan tidak
pula terdapat pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dapat diartikan
secara berlainan, sehingga setiap subyek hukum akan memperoleh (dapat
diprediksi) akibat hukum (baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki)
dalam suatu peristiwa hukum tertentu yang pada galibnya akan terhindar dari
tindakan sewenang-wenang.
C. TUJUAN HUKUM
Tujuan hukum sebenarnya sudah terkandung dalam batasan pengertian
atau definisinya. Jika dikatakan bahwa hukum itu adalah perangkat kaidah-
41 Lihat... Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hal. 135-136.
63
kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
maka dapat disimpulkan bahwa salah satu fungsi yang terpenting dari hukum
adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat.
Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian,
artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat karena ia dapat mengadakan perhitungan tentang apa
yang akan terjadi atau apa yang bisa ia harapkan. Keteraturan yang intinya
kepastian ini, apabila dihubungkan dengan kepentingan penjagaan keamanan
diri maupun harta milik dapat juga dinamakan ketertiban.42
Namun fungsi hukum untuk menjamin ketertiban ini, hanya merupakan
salah satu tugas hukum dalam mewujudkan tujuannya. Sedangkan tujuan hukum
itu merupakan landasan dari keberadaan hukum sebagai pengaturan perilaku
manusia dalam pergaulan hidupnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
tujuan akhir hukum adalah keadilan43 dan ada pula yang mengatakan bahwa
tujuan hukum itu adalah penataan masyarakat yang berkedamaian dan
berkeadilan44. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa
keadilan adalah tujuan dari hukum.
Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus
diarahkan untuk menemukan sebuah sistem (tatanan) hukum yang paling cocok
dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan,
yang dengan kata lain adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang
hukum. Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena
42 Lihat Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 2000, hal. 49-50. 43 Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2006, hal. 54. 44 Lihat J.E. Spruit, Tujuan Hukum diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta dalam Tim
Pengajar PIH Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1995, hal. 142.
64
hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya
manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya
secara adil.45
Tentang tujuan hukum tersebut, seperti juga tentang pelbagi aspek lain
dari hukum, terdapat banyak pendapat atau teori. Namun, dalam pelbagai
pendapat atau teori tentang tujuan hukum itu dapat ditemukan adanya dua teori
dasar tentang tujuan hukum yang melandasi pelbagai teori atau pendapat yang
dimaksud tadi, yakni teori etis dan teori utilitas. Teori-teori yang lainnya itu
merupakan varian atau kombinasi dari teori etis dan/atau teori utilitas.46
1.Teori Etis
Teori etis berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan
keadilan (rechtsvaardigheid atau gerechtigheid, justice). Yang pertama
mengemukakan teori etis adalah Aristoteles dalam buku "Ethica Nicomachea"
dan "Rhetorica". Menurut Arisioteles, keadilan berarti memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi bagian atau haknya (ius suum quique tribuere). Bagian
atau hak setiap orang itu tidak selalu sama. Jadi keadilan tidak selalu berarti
bahwa tiap orang memperoleh hak atau bagian yang sama. Aristoteles
membedakan adanya dua jenis keadilan, yakni keadilan distributif dan keadilan
komutatif. 47
Secara umum dikatakan, bahwa keadilan berarti dengan sukarela secara
tetap dan mantap terus menerus memberikan kepada tiap orang apa yang
memang sudah menjadi bagiannya atau haknya (Iustitia est constans et perpetua
45 Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2006, hal. 54. 46 Lihat O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, tanpa tahun, hal. 45-46. 47 Lihat Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Pengantar Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1995, hal. 36.
65
voluntas ius suum cuique tribuere). Berdasarkan rumusan tadi, pengertian
keadilan dapat dibedakan dalam beberapa aspek berikut ini. Keadilan Distributif
(iustitia distributive) adalah keadilan yang berupa kewajiban pimpinan
masyarakat untuk memberikan kepada para warga masyarakat beban sosial,
fungsi-fungsi, balas jasa dan kehormatan secara proporsional (seimbang)
dengan kecakapan dan jasa masing-masing. Dengan demikian keadilan
distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang bagian atau jatah
yang sesuai dengan jasanya. Yang menjadi asas pada keadilan distributif
bukanlah persarnaan bagian, melainkan kesebandingan. Keadilan distributif
adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga masyarakat
dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Keadilan Komutatif (iustitia
commutativa) adalah kadilan yang berupa kesenilaian antara prestasi dan
kontra-prestasi, antara jasa dan balas jasa dalam hubungan-hubungan antar-
warga, atau, dilihat dari sudut pemerintah memberikan kepada setiap warga
secara sama tanpa menghiraukan perbedaan-perbedaan keadaan pribadi
ataupun jasanya. Jadi, keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan
kepada tiap orang bagian yang sama banyak tanpa memperhatikan jasanya.
Yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan. Keadilan
komutatif adalah asas yang menguasai atau melandasi hubungan antar warga
masyarakat secara perseorangan, misalnya dalam hubungan jual-beli atau tukar
menukar. Keadilan Vindikatif (iustitia vindicativa) adalah keadilan yang berupa
memberikan ganjaran (hukuman) sesuai dengan kesalahan yang bersangkutan.
Keadilan Protektif (iustitia protectiva) adalah keadilan berupa perlindungan yang
diberikan kepada setiap manusia, sehingga tak seorangpun akan mendapat
perlakuan sewenang-wenang. Rumusan-rumusan tentang keadilan tadi adalah
rumusan yang abstrak. Isi dari rumusan-rumusan tadi akan ditentukan oleh
kondisi yang di dalamnya keadilan hendak diwujudkan. Yang pasti adalah,
66
bahwa keadilan menuntut bahwa setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk
bertindak sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum
(pengertian hukum di sini tidak selalu berarti hukum positif).48
2. Teori Utilitas
Menurut teori utilitas, nilai kedayagunaan atau kemanfaatan ini merupakan
tujuan hukum yang paling penting dan utama. Teori utilitas ini dilandasi oleh
aliran (pemikiran) utilitarianisme yang meyakini bahwa tujuan hukum satu-
satunya adalah untuk mencapai kedayagunaan atau kemanfaatan. Hukum yang
baik adalah hukum yang membawa kedayagunaan bagi sebanyak-banyaknya
manusia.
Teori ini dikemukan oleh Jeremy Bentham49 pada abad ke-18 (kedelapan
belas) yang merupakan reaksi terhadap ciri metafisis dan abstrak dari filsafat
politik dan filsafat hukum. Filsafat hukum dari Bentham adalah individualisme.
Individualismenya telah mengilhami usaha-usaha di bidang legislatif yang banyak
dan penuh semangat, yang semuanya ditujukan terhadap emansipasi individu
dari banyak kekangan-kekangan konstitusional dan ketidakadilan-ketidakadilan
yang merintangi.
Apa yang cocok digunakan oleh, atau cocok untuk kepentingan individu,
adalah apa yang cenderung untuk memperbanyak kesenangannya. Apa yang
cocok untuk digunakan oleh, atau cocok untuk kepentingan masyarakat, adalah
apa yang cenderung untuk menambah kesenangan individu-individu yang
merupakan anggota-anggota masyarakat itu. Oleh karena itu, agar hal-hal yang
menuju kepada bertambahnya kesenangan dapat terjamin dan terwujud, maka
48 Lihat B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila (tidak dipublikasikan), Program
Pascasarjana Universitas Parahyangan, Bandung, tanpa tahun, hal. 8-9. 49 Lihat Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan diterjemahkan
oleh: Ilzamudin Ma`mur & Mufti Ali, Murai Kencana, Jakarta, 2001, hal. 138.
67
diperlukanlah suatu aturan perilaku terhadap individu-individu tersebut yang
mempunyai daya pemaksa yang disebut dengan hukum. Sehingga karenanya,
hukum memiliki tugas untuk memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan,
yang pada akhirnya yang dituju oleh hukum adalah untuk memelihara
kedayagunaan atau kemanfaatan.
Dengan demikian kedayagunaan (doelmatigheid) atau kemanfaatan dalam
hukum menurutnya adalah bahwa hukum itu bertujuan menjamin adanya
kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada sebanyak mungkin orang. Oleh karena
itu, baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan
oleh penerapan hukum itu, yaitu suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik,
jika akibat yang dihasilkan dari penerapan hukum tersebut adalah bertambahnya
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Jadi, baik
buruknya suatu hukum, akan bergantung pada apakah akibat dari penerapan
dan pelaksanaan hukum tersebut dapat memberikan dan menambah jumlah
kebahagiaan atau tidaknya bagi individu-individu dalam pergaulan hidupnya,
yang hanya dalam ketertiban saja setiap orang akan mendapatkan kesempatan
untuk mewujudkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya itu. Oleh karenanya, teori
utilitas ini sangat memerlukan dan mengandalkan kepastian hukum yang
memerlukan adanya peraturan-peraturan yang dirumuskan secara definitif dan
berlaku umum.
Kedua teori tersebut di atas mengandung kelemahan yang sama, yakni
terlalu berat sebelah. Kelemahan teori etis, yaitu mengabaikan kepastian hukum
dan sangat mementingkan keadilan. Hal ini dikarenakan jika kepastian hukum
diabaikan, maka ketertiban terganggu. Padahal hanya dalam ketertiban, keadilan
dapat diwujudkan dengan baik. Dengan demikian, jika tujuan hukum hanya
didasarkan pada teori etis semata, maka akan berlaku ungkapan "summum ius
68
summa inuria" (Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi), karena
dengan menerapkan keadilan pada semua orang itu berarti memperlakukan
setiap orang sesuai dengan haknya, yang untuk mewujudkan hal tersebut, maka
tidak akan ada aturan hukum positif yang diberlakukan secara umum. Sehingga
dengan demikian hal ini akan menyebabkan tidak adanya prediktabilitas bagi
orang-orang lainnya yang pada akhirnya akan menimbulkan kekacauan atau
ketidaktertiban dalam pergaulan hidup manusia, karena tiap-tiap manusia akan
mematuhi aturan hukumnya masing-masing demi kepentingannya sendiri, yang
padahal adakalanya saling berbenturan. Begitupun juga dengan teori utilitas
yang mengabaikan keadilan. Jika keadilan diabaikan, maka hukum akan identik
dengan kekuasaan.50
3. Teori Pengayoman
Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian,
serta keadilan dapat dirumuskan dengan satu istilah, yakni Pengayoman
(Perlindungan). Jadi, secara singkat padat, tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia. Tetapi, mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi
manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang
dan pelanggaran hak saja. Melainkan, juga meliputi pengertian melindungi
secara aktif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong
manusia untuk selalu memanusiakan diri terus menerus. Jadi, tujuan hukum
adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang manusiawi sedemikian sehingga
memungkinkan proses sosial berlangsung secara wajar, di mana secara adil
setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Selain dari itu,
50 Lihat L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum diterjemahkan oleh: Oetarid Sadino,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 17.
69
hukum juga secara langsung melalui peraturan-peraturannya mendorong setiap
manusia untuk memanusiakan diri. Hukum bertujuan untuk memberikan
pengayoman atau untuk mengayomi manusia, yang berarti melindungi manusia
dalam arti pasif dan aktif. Usaha mewujudkan pengayoman itu mencakup usaha
mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian sejati (kedamaian yang
berketentraman), keadilan, kesejahteraan dan keadilan sosial, pemeliharaan dan
pengembangan akhklak (budi pekerti dan cita-cita moral yang luhur) berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.51
D. PASIEN
Kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dalam
bahasa inggris. Patient diturunkan dari bahasa latin yaitu patiens yang memiliki
kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya menderita. Jadi pengertian
pasien adalah seorang penderita yang menerima perawatan medis untuk
memulihkannya52. Pasien dalam menerima pelayanan medis mempunyai hak,
yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta
pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis,
menolak tindakan medis dan mendapatkan isi rekam medis. Pada umumnya
pasien datang ke dokter untuk berkonsultasi dengan motivasi untuk sembuh
(menyelesaikan masalah kesehatannya) dan percaya dokter karena
pendidikannya mampu untuk membantunya dan menyelesaikan masalah
kesehatannya. Pada kasus ini pasien juga merasa percaya bahwa ia dapat
berkomunikasi mengenai masalah kesehatan yang dihadapinya yang masih
dirahasiakannya dari orang lain termasuk keluarganya. Dia percaya dokter akan
51 B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila (tidak dipublikasikan), Program
Pascasarjana Universitas Parahyangan, Bandung, Makalah tanpa tahun, hal. 9. 52 Wikipedia Indonesia,ensiklopedi bebas berbahasa Indonesia
70
dapat menyimpan rahasia pasien yang merupakan kewajiban yang harus
dilakukan dokter dan merupakan salah satu hak pasien. Berbicara tentang Hak
Pasien yang dihubungkan dengan meliharaan kesehatan, maka hak utama dari
pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the
right to health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang
memenuhi kriteria tertentu,yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan,
sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan, yang memenuhi standar
pelayanan kesehatan yang optimal53. Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan
pemeliharaan kesehatan, pasien mempunyai hak-hak lainnya, sebagai misal
antara lain hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya, hak untuk
dirahasiakan penyakitnya, hak untuk mendapatkan pendapat kedua. Di
Indonesia usaha untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memadai, yaitu
memenuhi standar pelayanan kesehatan, telah diusahakan dan tertera dalam
kebjaksanaan pemerintah yang intinya mengusahakan pembangunan kesehatan
agar terwujud derajat kesehatan yang optimal yang dituangkan di dalam Undang-
undang tentang Kesehatan.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat
kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya
manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional
yang pada hakekatnya adalah pembagunan manusia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Selain mempunyai hak, pasien
juga mempunyai kewajiban seperti kewajiban memberikan informasi yang
lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan
petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan
kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Apabila
53 Lihat Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal 12-13
71
terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, pasien atau
penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut haknya, yang dilanggar
oleh pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan
dokter/tenaga kesehatan. Hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik
secara perlahan telah merubah menjadi mitra yang setara, bersama menghadapi
masalah kesehatan yang timbul. Masyarakat tetap menghormati dokter sebagai
orang yang terdidik di bidang kedokteran namun sebelum pengetahuan dan
ketrampilannya diterapkan dalam asuhan pasien, pasien ingin mengetahui apa
yang akan terjadi dengan tubuhnya serta ingin dilibatkan dalam pengambilan
keputusan. Pada hakekatnya memang pasienlah yang paling berhak
memutuskan tindakan yang terbaik bagi dirinya setelah mendapatkan penjelasan
yang lengkap dan benar.
Komunikasi Dokter-Pasien merupakan landasan yang penting dalam
proses diagnosis, terapi mapun pencegahan penyakit. Supaya terjalin dengan
baik komunikasi Dokter-Pasien harus dijaga dan dipelihara oleh kedua belah
pihak. Cukup lama hubungan ini dianggap merupakan hubungan yang
menempatkan dokter sebagai pihak yang aktif dan pasien sebagai penerima
tindakan (pasif). Bentuk hubungan ini berdasarkan pada anggapan bahwa
dokter merupakan orang yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan, bekerja sesuai dengan tuntutan profesi dan mempunyai keinginan
kuat untuk menyembuhkan pasien. Sedangkan pasien ditempatkan sebagai
orang sakit yang seharusnya berusaha untuk mencari pertolongan (pada dokter)
dan percaya penuh serta mentaati perintah dokter
Pada dekade 1950 mulai banyak perhatian pada hubungan dokter-pasien
di antaranya Szasz yang menggolongkan hubungan dokter-pasien dalam aktif-
pasif, petunjuk – kerjasama untuk melaksanakan petunjuk dan peran bersama.
Pada hubungan aktif-pasif, pasien melaksanakan perintah dokter, jika tidak
72
diperintahkan dia tidak melakukan apa-apa. Pemahaman mengenai keadaan
penyakitnya amat terbatas dan dia menyerahkan seluruh masalah kesehatannya
pada dokternya.
Sesuai dengan perkembangan pendidikan dan gencarnya informasi maka
pengetahuan pasien tentang kesehatan meningkatkan begitu pula pemahaman
mengenai hak-hak pasien. Sehingga berkembanglah hubungan yang lebih
meningkatkan peran pasien ke kedudukan yang setara dengan dokter. Bahkan
dalam pemilihan alternatif pengobatan dialah yang paling berhak menentukan
sesuai (setelah mendapat informasi yang lengkap dan benar dari dokter). Pasien
akan berkonsultasi dengan dokter karena keinginannya untuk sembuh atau
bebas dari gejala penyakit. Dia memilih dokter yang dipercayainya baikatas
pertimbangan kemampuan dokter tersebut maupun kesediaan dokter untuk
mencegah rahasia. Acapkali pasien menyampaikan kepada dokter hal yang
amat pribadi yang tak akan disampaikannya kepada keluarga dekat sekalipun.
Dia bersedia menyampaikan hal yang bersifat pribadi tersebut kepada dokter
agar dokter dapat memahami permasalahannya secara menyeluruh dan dapat
membantunya dalam menyelesaikan masalah kesehatannya. Kepercayaan
pasien kepada dokter bersifat pribadi, sehingga jika pasien tersebut tidak
menemui dokter yang ditujunya dia mungkin akan membatalkan konsultasi meski
ada dokter pengganti yang mempunyai kemampuan yang sama. Bahkan
acapkali kita saksikan seorang pasien rela berobat ke dokter yang amat jauh dari
rumahnya padahal di dekat rumahnya juga ada dokter yang mempunyai
kualifikasi yang sama. Komunikasi dokter-pasien akan terbuka jika dokter
bersedia mendengarkan secara aktif keluhan pasien serta bersikap empati
terhadap pasien. Dokter yang menunjukkan kepedulian yang besar terhadap
keluhan pasien dan bersikap empati akan membuika pintu yang lebar untuk
keluhan pasien dan pasien akan semakin terbuka untuk menyampaikan
73
perasaannya. Hubungan dokter-pasien dapat dimulai secara sederhana.
Misalnya seorang pasien datang ke praktek dokter, sang dokter menerimanya
dan memberikan pertolongan. Jelas saat pasien bertemu dokter hubungan
dokter-pasien dimulai. Namun menurut Gunadi tidak semua kontak dokter-
pasien merupakan hubungan dokter-pasien, seperti Kontak pasien-dokter dalam
pemeriksaan sebelum masuk kerja. Meski dokter melakukan anamnesis,
pemeriksaan jasmani, pemerikaan penunjang untuk menentukan apakah orang
yang diperiksanya sehat untuk pekerjaan tertentu namun hubungan tersebut
tidak dikelompokkan sebagai hubungan dokter-pasien.
Pasien merupakan manusia yang sedang sakit namun keadaan sakitnya
hendaklah tidak menurunkan harkatnya sebagai manusia. Itulah sebabnya
pasien harus dihargai sebagai manusia. Mengenai hak dan kewajiban pasien
secara ringkas sesuai dengan Deklarasi Lisabon 1981 adalah:
1. Pasien berhak memilih dokternya secara bebas.
2. Pasien berhak untuk menerima atau menolak tindakan pengobatannya
sesudah ia memperoleh informasi yang jelas.
3. Pasien berhak untuk mengakhiri atau memutuskan hubungan dengan dokter
yang merawatnya dan bebas untuk memilih atau menggantinya dengan
dokter lain.
4. Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat
klinis dan pendapat etisnya tanpa melibatkan campur tangan dari pihak luar.
5. Pasien berhak atas privacy yang harus dilindungi, iapun berhak atas
kerahasiaan data-data medik yang dimilikinya.
6. Pasien berhak mati secara bermartabat dan terhormat.
7. Pasien berhak menerima/ menolak bimbingan moril ataupun spiritual.
8. Pasien berhak mengadukan dan berhak atas penyelidikan pengaduannya
serta berhak diberi tahu hasilnya.
74
Selain mempunyai hak tentunya pasien mempunyai kewajiban, adapun
kewajiban pasien antara lain :
1. Kewajiban untuk memberikan informasi yang benar kepada dokter.
2. Kewajiban memenuhi petunjuk atas nasehat dokter.
3. Kewajiban memberikan honorarium/ imbalan yang pantas. 54
E. PERLINDUNGAN HUKUM
Yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah (secara garis besar)
suatu jaminan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak untuk dapat
melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya
sebagai subyek hukum. Lebih lanjut menurut Koerniatmanto Soetoprawiro
perlindungan hukum itu pada hakekatnya adalah suatu upaya dari pihak yang
berwenang untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian rupa
sehingga setiap warga negara ataupun segenap warga negara dapat
mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan tenang
dan tertib.55 Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur yang
terkandung di dalam pengertian Perlindungan Hukum, yaitu :
a. Suatu jaminan yang diberikan oleh negara;
Jaminan tersebut diberikan oleh negara (yang dalam hal ini adalah
Pemerintahan Republik Indonesia) dalam bentuk Peraturan Perundang-
Undangan yaitu UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, UU No 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU Hak Asasi manusi No 39 Tahun 1999,
KUHPerdata, dan Peraturan Pemerintah .
54 Lihat Ratna Suprapti Samil,Etika Kedokteran Indonesia,Yayasan Bina Pustaka,Jakarta, 2001,hal 35-37 55 Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro, Pengaturan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak-anak dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX Nomor 3 Juli 2002, FH UNPAR, Bandung, hal. 20.
75
b. Kepada semua pihak;
Yang dimaksud dengan semua pihak disini (dalam penulisan makalah ini)
adalah pasien dan pemberi pelayanan, yang berkepentingan sehubungan
dengan hal-hal yang harus diperolehnya, misalnya dalam hal terjadinya
pelayanan yang tidak sesuai prosedur, tidak adanya persetujuan tindakan
medik sebelum dilakukan tindakan dsb.
c. Untuk dapat melaksanakan Hak dan Kepentingan Hukum yang dimilikinya;
Yang dimaksud dengan Hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
karena telah ditentukan oleh undang-undang dan peraturan lain.56 Pengertian
kekuasaan disini diartikan sebagai kewenangan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum57 Hukum dalam mengemban hak dan kewajiban
berdasarkan hukum.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Perlindungan Hukum
adalah suatu jaminan yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia
dalam bentuk peraturan perundang-undangan kepada pasien, pemberi
pelayanan kesehatan untuk dapat melaksanakan suatu kewenangan
melakukan perbuatan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang
sengaja dikehendaki dan kepentingan yang diatur oleh hukum .
Didalam kehidupan sehari-hari hampir tidak ada bidang kehidupan
masyarakat yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai kaidah maupun
sikap tindak manusia yang teratur dan yang unik. Hal ini terutama disebabkan
karena pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan
tetapi, keteraturan bagi seseorang belum tentu sama dengan keteraturan bagi
56 Lihat Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 154. 57 LihatSudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta,
1995, hal 51.
76
orang lain. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan
manusia agar kepentingan–kepentingannya tidak bertentangan dengan
kepentingan sesama warga masyrakat. Salah satu kaidah yang diperlukan
manusia adalah kaidah hukum yang mengatur hubungan anatara manusia
untuk mencapai kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dan
ketentraman. Walaupun manusia senantiasa agar hukum dapat mengatur
kehidupan dengan baik sehingga tercapai kedamaian dalam masyarakat,
tidaklah mustahil bahwa hasilnya malahan sebaliknya. Oleh karena faktor-
faktor tertentu yang semestinya dapat diperhitungkan sejak semula, hukum
malahan dapat mengakibatkan terjadinya sikap tindak yang tidak serasi dengan
hukum itu sendiri. Dalam kebanyakan hal warga masyarakat mematuhi hukum,
tetapi dilain pihak mungkin ada warga masyarakat yang menentangnya secara
terang-terangan, tidak mengacuhkannya atau berusaha untuk menghindarinya.
Kalau hukum dipatuhi warga masyarakat, maka biasanya dikatakan bahwa
hukum itu efektif karena tujuan hukum tercapai. Walaupun kepatuhan hukum
mengenal derajat-derajat terntentu, adanya kepatuhan dapat diartikan sebagai
keadaan dimana hukum berlaku secara efektif.Apabila hal itu yang terjadi ,
maka dapat pula dikatakan bahwa hukum mempunyai pengaruh positif karena
mempunyai pengaruh yang baik. Akan tetapi, kalau hukum tidak mencapai
tujuannya karena tidak mendapat dukungan sosial, maka hukum mempunyai
dampak negatif terhadap masyarakat.
F. PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN.
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping
sandang pangan dan papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi
tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit, manusia tidak mungkin dapat melakukan
77
kegiatan sehari-hari dengan baik. 58 Selain itu orang yang sedang sakit ,yang
tidak dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya, tidak ada pilihan lain
selain meminta pertolongan dari orang yang dapat menyembuhkan penyakitnya,
yakni meminta pertolongan dari tenaga kesehatan yang dapat menyembuhkan
penyakitnya. Merujuk kepada kalimat diatas maka perlu diupayakan
Perlindungan hukum terhadap pasien mendapatkan perhatian yang cukup jelas
seperti tertera pada UUPK No. 29/2004 yang mengatakan bahwa pembangunan
kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti
dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi,
keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan
mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi,
lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan
praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada
penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan
mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran. Pengaturan praktik kedokteran
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter serta
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter. Jadi pada pasal
ini jelas bahwa masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan medis
58Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal 35
78
yang bermutu seperti tertulis pada pasal 3 UUPK No 29 Tahun 2004. Pada pasal
27- 28 dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran
gigi, untuk memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan
sesuai dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang
diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh
organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Sehinggah
diharapkan dengan melakukan pelatihan dan peningkatan pengetahuan maka
dokter tersebut menjadi semakin kompeten dan dapat memberikan pelayanan
yang lebih optimal. Pasien juga mempunyai hak untuk kepastian mutu pelayanan
yang diberikan seperti yang tertulis pada pasal 49 UUPK no 29 / 2004 :
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteranatau
kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
2. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diselenggarakan audit medis.
3. Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh organisasi profesi.
Pasal 51 UUPK No 29 /2004 menjelaskan tentang kewajiban dokter untuk :
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia
79
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Sedangkan mengenai Hak dan Kewajiban Pasien diuraikan dengan jelas pada
pasal 52 UUPK No 29/2004 :
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. Menolak tindakan medis; dan
5. Mendapatkan isi rekam medis.
UUPK No.29/2004 juga menyatakan tentang Perlindungan hukum pasien
mengenai pelayanan kesehatan yang dianggap merugikan pasien yang
tercantum pada pasal 66 UUPK No.29/2004 yang berbunyi: Setiap orang yang
mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Apabila memang
dokter dinyatakan bersalah, maka dokter dapat dikenakan sanksi disiplin mulai
dari peringatan sampai dengan sanksi mengikuti training . Pasal 72 menjelaskan
tentang pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud diarahkan untuk :
a. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter
dan dokter gigi.
b. Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan
dokter gigi
80
c. Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter gigi paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memeni
kewajiban .
Perlindungan hukum pasien juga terdapat dalam Hak Asasi Manusia
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia nomor 39 tahun
1999 salah satunya pasal 9 yaitu :
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera, lahir dan batiin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
Dengan mengacu pada pasal tersebut jelas bahwa kehidupan yang
sehat adalah merupakan hak setiap orang, begitupun hak untuk mendapatkan
pengobatan dari seorang dokter ataupun balai pengobatan,bagaimana seorang
pasien mendapat kan suatu yang menjadi haknya.
UU No. 23/1992 Pasal 1 Ayat 1, memberikan batasan mengenai
kesehatan, menentukan sebagai berikut: Kesehatan adalah keadaan sejahtera
dari badan, jiwa dan sosial yang kemungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekomis. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan
atau masyarakat yang terdiri dari tenaga Kesehatan dan sarana
Kesehatan.Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
81
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sarana Kesehatan adalah
tempat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya kesehatan.Mengenai
kewajiban tenaga kesehatan pada pasal 53 Ayat 2 UU No. 23/92 beserta
penjelasannya, menentukan sebagai berikut:
1. Tenaga Kesehatan yang melakukan tugasnya berkewajiban untuk
memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
2. Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesi secara baik.
Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat,
dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien, yang dimaksud
dengan hak pasien ialah: hak atas informasi; hak atas persetujuan, hak atas
rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua (second opinion).Dalam
memberikan pelayanan tenaga kesehatan mempunyai kewajiban yaitu:
a. Menghormati hak pasien
b. Menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien
c.Memeberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan.
d. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan
e. Membuat dan memelihara rekam medis.
Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai
dengan standar profesi kedokteran dan tidak sesuai prosedur tindakan medik
dikatakan telah melakukan kesalahan/kelalaian.
Dalam UU No. 23 tahun 1992 pasal 54, menentukan bahwa tenaga kesehatan
yang diduga membuat kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan pekerjaannnya,
dapat dikenakan tindakan disiplin setelah dapat dibuktikan oleh Majelis
82
Kehormatan Disiplin Kedokteran, dan yang memberikan sanksi disiplin tentunya
adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan .
1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
3. Ketentuan mengenai tugas, fungsi dan tata kerja majelis diplin tenaga
kesehatan ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Kemudian pasal 55 UU No.23 /92 menentukan sebagaiberikut :
1. Setiap orang berhak atas gantirugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan
2. Gantirugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesua
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlindungan terhadap pasien juga diatur dalam pasal 1365 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Namun jelas untuk
KUHPerd harus ada pelanggaran dan atau kelalaian yang dilakukan. Pasal 1320
KUHPerd mengatur syarat-syarat sahnya perjanjian, dikatakan untuk sahnya
perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengingatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
83
Syarat pertama dari pasal 1320 KUHPerd. Mensyaratkan adanya sepakat
para pihak yang mengingatkan diri. Yang dimaksudkan dengan sepakat para
pihak dalam pekerjaan jasa pelayanan kesehatan adalah persetujuan dari dokter
untuk melakukan tindakan medik dan persetujuan dari pasien untuk dilakukan
tindakan medik atas dirinya.Jadi consent yang diberikan pasien adalah syarat
agar perjanjian pelaksanaan jasa pelayanan medik menjadi sah menurut hukum
dan memberikan hak kepada dokter untuk melakukan tindakan medik. Selain
pengaturan hukum dalam KUHPerd., terdapat pula peraturan khusus mengenai
consent, yaitu Permenkes No.585/89, tentan Persetujuan Tindakan Medik.
Menurut Permenkes No. 585/89 consent yang diberikan oleh pasien harus
berdasarkan informasi yang diterima oleh pasien mengenai beberapa hal yang
menyangkut tindakan medik dan informasi yang diberikan oleh dokter harus
dimengerti oleh pasien.
Perlindungan Hukum Pasien juga mendapat perhatian dari Pemerintah
dengan dikeluarkannya Kepmenkes No631/SK/IV/2005 tentang Pedoman
PeraturanInternal Staf Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit
denganpertimbangan bahwa meningkatkan mutu pelayanan kesehatan medis di
rumah sakit perlu pengaturan internal yang mengatur peran dan fungsi pemilik,
pengelola dan staf medis dan dalam rangka rumah sakit menyusun Medical staff
bylaws. Dalam Kepmenkes. ini setiap rumah sakit diwajibkan menyusun
Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws) di rumah sakit untuk
meningkatkan mutu profesi medis dan mutu pelayanan medis.Dalam
penyusunan Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws ) di rumah
sakit mengacu pada pedoman yang dibuat dalam bentuk 2 lampiran yaitu :
a. Tata cara penyusunan Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff
bylaws) di rumah sakit.
b. Pengorganisasian staf medis dan komite medis.
84
Pedoman Internal staf medis (Medical Staff bylaws ) di rumah sakit
merupakan acuan setiap rumah sakit dalam menyusun Peraturan
InternalRumah Sakit (Medical Staff bylaws ) yang disesuaikan dengan situasi,
kondisi dan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Penyusunan dan
pelaksanaan pedoman ini akan di monitoring dan evaluasi oleh Direktur jendral
pelayanan medis, Dinas kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Dengan adanya
Kep.Men.Kes ini maka Kep.men.Kes Nomor 772/MENKES/SK/VI/2002 tentang
Pedoman Peraturan Internal Rumah sakit ( Hospital bylaws ) mengenai
Peraturan Internal staf medis ( medical staff bylaws ) dinyatakan tidak berlaku
lagi. Salah satu materi dan substansi Peraturan internal Staf medis (Medical staff
bylaws) adalah membuat kerangka tugas dan kewajiban Komite medis yang
secara umum yaitu :
a. Menyusun, mengevaluasi dan jika perlu mengusulkan perubahan pada
Medical staff bylaws.
b. Menetapkan standar pelayanan medis yang dibuat oleh kelompok staf
medis.
c. Menentukan kebijakan umum dalam melaksanakan pelayanan medis
secara profesional.
d. Mengusulkan rencana pengembangan sumber daya manusia dan teknologi
untuk profesi medis. Kita sadari organisasi staf medis saat ini semakin
berkembang, jumlah dan jenis spesialisasi di rumah sakit semakin bertambah.
Karena itu rumah sakit diharapkan dapat menyusun medical staff bylaws
dengan mengacu pada pedoman ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam rangka peningkatan mutu layanan
medik maka perlu ada Medical staff bylaws yang berisi tentang konsep dan
prinsip, contoh atau modelformat, substansi dan langkah-langkah
85
Penyusunannya. Tujuan dibuatnya by laws ini agar dokter yang bergabung di
rumah sakit sudah dapat dipastikan kompetensinya serta telah memenuhi aturan
dan ijin dari ikatan profesi maupun dari Dinas Kesehatan .
Dari uraian diatas nampak perlindungan hukum pasien telah mendapat
perhatianyang cukup jelas seperti yang tertulis UUD 1945 UU No 23 /1992 UU
No 29 /2004,UU HAM, KUHP,KUHperd.Kepmenkes dan Permenkes serta,
dimana perlindungan terhadap hak- hak pasien telah jelas dan kewajiban dokter
untuk memenuhi hak pasien harus ditaati, sebab apabila tidak dilakukan maka
tenaga medis tersebut akan mendapatkan sanksi.
G. PENUTUP
Hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara
konkret dalam masyarakat, maka hukum disatu pihak memperlihatkan
kecenderungan konservatif, yaitu berupaya memelihara dan mempertahankan
apa yang sudah tercapai. Namun di lain pihak juga memperlihatkan
kecenderungan modernisme, yaitu berupaya mendorong, meneruskan atau
menyalurkan dan mengarahkan perubahan masyarakat . Agar hubungan ini
dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan aturan yang berdasarkannya
orang akan melindungi kepentingannya dan menghormati kepentingan dan hak
orang lain sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh aturan
(hukum) tersebut. Untuk mengatur segala hubungan antar manusia, baik
hubungan antar individu, maupun antara individu dengan kelompok-kelompok,
begitu pula hubungan antara individu atau kelompok dengan pemerintah
(negara) diperlukan hukum .
Dengan demikian, hukum merupakan suatu prasyarat agar interaksi
sesama manusia dapat berjalan tertib dan teratur. Hukum adalah alat untuk
86
mengatur manusia, akan tetapi hukum bukan satu-satunya alat untuk mengatur
manusia dalam masyarakat. Jadi, hukum itu tidak berawal dari hukum sendiri,
melainkan dari manusia dan kemanusiaan di dalam pergaulan masyarakat.
Interaksi manusia alam masyarakat tersebut dengan sendirinya akan
menciptakan suatu tatanan hukum yang sedemikian rupa sehingga para anggota
masyarakat dapat hidup bersama dalam suasana solidaritas yang wajar dan
saling menghargai sebagai sesama manusia. Sebagai demikian, hukum tersebut
mempunyai sifat normatif, yaitu mewajibkan para anggota masyarakat untuk
mentaatinya, sehingga dapat tercapai keteraturan dalam kehidupan manusia di
dalam masyarakat. Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup
dengan berkepastian, artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang
diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat karena ia dapat mengadakan
perhitungan tentang apa yang akan terjadi atau apa yang bisa ia harapkan.
Keteraturan yang intinya kepastian ini.
Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara
kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum
yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum. mengayomi
manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya
mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja. Melainkan,
juga meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk
menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri
terus menerus, menciptakan kondisi sosial yang manusiawi mana secara adil
setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Selain dari itu,
hukum juga secara langsung melalui peraturan-peraturannya mendorong setiap
manusia untuk memanusiakan diri.
87
Perlindungan hukum pasien telah mendapat perhatian yang cukup jelas
seperti yang tertulis dari UUD 1945,UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan ,
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran , KUHPerd, Kepmenkes
631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan internal staf medis ( Medical Staff
bylaws) di Rumah sakit , Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002 tentang
Pedoman peraturan internal rumah sakit (Hospital bylaws), dan Permenkes
No.585 tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan, serta SK.Dirjen.Yan.Med.No
YM.02.04.3.5.2504 tentang hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit
Medik, dimana perlindungan terhadap hak- hak pasien telah jelas dan kewajiban
dokter untuk memenuhi hak pasien harus ditaati, sebab apabila tidak dilakukan
maka tenaga medis tersebut akan mendapatkan sanksi.
88
BAB IV
MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN
A. PENGANTAR
Majemen risiko medik merupakan suatu cara yang sangat penting dalam
pelayanan kedokteran di rumah sakit, karena tanpa adanya manajemen risiko
medik yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien yang
berobat maupun yang akan mendapat penaganan tertentu. Jika sudah dilakukan
tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga terjadi dan hasilnya
negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya. Termasuk risiko
yang harus ditanggung oleh pasien. Di dalam kasus-kasus inilah seiring terjadi
perbedaan pendapat dan penafsiran lainnya. Risiko itu bisa timbul, bisa juga tidak.
Jika dokternya sudah bertindak dengan hati-hati, teliti dan berdasarkan manajemen
risiko medik yang telah diuraikan diatas seperti melakukan tindakan sesuai dengan
standar operasional prosedur, mempunyai program peningkatan mutu rumah sakit
serta melakukan evaluasi secara rutin, menyelenggarakan medical staff by laws dan
memberikan penjelasan kepada pasien tentang kemungkinan risiko yang dapat
terjadi pada tindakan medik dan langkah-langkah yang akan diambil bila risiko
tersebut terjadi.
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Negara yang berlandaskan
hukum maka sudah selayaknya jika hukum dijadikan supremasi, di mana semua
orang diharapkan tunduk dan patuh kepadanya tanpa kecuali.
89
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan peraturan yang dapat
memberikan perlindungan dan mempertahankan serta meningkatkan mutu
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter serta memberikan kepastian hukum
kepada masyarakat. Hal tersebut sangat dimengerti karena kebanyakan seorang
pasien memposisikan dirinya sebagai seorang penderita cenderung bersifat pasif
yang artinya bila menerima pelayanan medik hanya berkewajiban untuk menerima
pelayanan yang diberikan termasuk segalah kemungkinanan-kemungkinan yang
dapat terjadi pada dirinya walaupun belum memahami secara mendalam
penjelasan yang diberikan oleh seorang dokter. Aspek hukum diperlukan juga
untuk melindungi pasien, karena pada masa lampau ada anggapan kuat bahwa
kedudukan hukum pasien saat itu dianggap sebagai ahli yang maha tahu sehingga
pasien hanya boleh pasrah saja. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi
kesehatan yang pesat, risiko yang dihadapi pasien semakin tinggi, oleh karena itu
dalam hubungan antara dokter dengan pasien, misalnya, terdapat kesederajatan
maka pasien pun memerlukan perlindungan hukum dikaitkan dengan kemungkinan
tenaga medis melakukan malapraktek. Aspek Hukum yang harus dimiliki oleh para
ahli kesehatan juga tidak kalah pentingnya karena para ahli kesehatan dalam
melakukan tugasnya adalah selalu penuh risiko, kalau para ahli kesehatan tersebut
dalam melakukan tugasnya sudah melalui prosedur yang benar,derajat kompetensi
yang jelas dan maka tentu saja akan mendapatkan perlindungan hukum. Aspek
hukum untuk pihak ketiga dan kepentingan umum juga sangat dibutuhkan, tidak
mustahil kepentingan para ahli kesehatan tidak serasi dengan kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum, artinya apa yang diharapkan masyarakat tidak
sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Mengingat hal tersebut, maka sangatlah
diperlukan perlindungan hukum kepada pasien sehinggah pasien dapat
memperoleh hak nya.
90
B. MANAJEMEN RISIKO MEDIK
Risiko medik adalah suatu hasil berbahaya yang tidak terduga dan tidak
diingini serta menimbulkan kerugian yang terjadi akibat suatu tindakan seorang
tenaga kesehatan yang diberikan sesuai dengan standar prosedur medis dan etika
yang berlaku. Namun demikian perlu kita cermati bahwa semua tindakan medik
mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu mengandung apa
yang yang dinamakan risiko. Risiko medik tidak dapat dipersalahkan, asalkan risiko
ini merupakan risiko murni, di mana tidak ada unsur kelalaiannya. Hal ini
disebabkan karena di dalam hukum medik yang terpenting bukanlah akibatnya,
tetapi cara bagaimana sampai terjadi akibat itu, bagaimana tindakan itu dilakukan.
Inilah yang paling penting untuk diketahui.
Hubungan dokter dan pasien, hubungan dokter dan rumah sakit dan
hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari hubungan hukumnya merupakan
saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan yang
dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya perikatan yang digunakan
sebagai hubungan hukum diatas merupakan perikatan ikhtiar (inspanning
verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk mencapai pelayanan
kesehatan bagi pasien yang diobati, bukan merupakan perikatan hasil (resultaat
verbentenis). Untuk melindungi pasien dan masyarakat yang membutuhkan
pengobatan dan dalam menghindari pelanggaran, kelalaian terhadap kewajiban
pelayanan oleh dokter yang dapat menimbulkan kegiatan malpraktik dokter, para
dokter dibekali kode etik kedokteran, hukum kesehatan, hukum hak asasi manusia
serta peraturan-peraturan yang mengatur praktik kedokteran.
Namun tentunya tidaklah semua ”tindakan yang tak disengaja” termasuk
perumusan risiko medik, karena apabila seorang dokter melakukan tindakan
kelalaianpun tentunya tidak dilakukan dengan sengaja.
91
Ada beberapa risiko yang dapat terjadi pada pelayanan medik ataupun tindakan
medik yang dilakukan oleh dokter kepada pasien seperti reaksi alergik, reaksi
alergik adalah reaksi berlebihan dari tubuh seseorang karena alergi yang timbulnya
secara tiba-tiba dan yang tidak dapat diprediksi terlebih dahulu. Reaksi alergik berat
dapat menimbulkan kejadian anafilaktik shock. Risiko lainnya yaitu perdarahan,
perluasan operasi sehinggah diangkatnya organ tertentu ( pengangkatan rahim
pada operasi Caesar ), timbulnya emboli Paru yang dapat membuat pasien
meninggal dunia. risiko gangguan jantung koroner dan gangguan ginjal pada orang
dewasa yang menjalani operasi. Sedangkan spinal anastesi yang dianggap
merupakan salah satu pilihan yang lebih baik daripada anastesi umum juga
mempunyai risiko sakit kepala, risiko juga dapat terjadi pada anastesi umum yang
dapat mengakibatkan kematian. Untuk meminimalisasi risko yang dapat terjadi,
seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan hati-hati dalam bertindak agar
dapat mengantisipasi risiko yang mungkin bisa terjadi dan bila telah terjadi risiko
bagaimana mengatasinya sehinggah bahaya yang akan terjadi dapat diminimalkan.
Agar semua hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan
manajemen risiko medik yang merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya, sistim, fasilitas dan sebagainya
untuk mencapai sasaran) secara efektif dan efesien dalam pelayanan dan
penanganan risiko medik yang mungkin dapat terjadi , karena tanpa adanya
manajemen risiko medik yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik
bagi pasien yang berobat maupun yang akan mendapat penaganan tertentu. Jika
sudah dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga
terjadi dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada
dokternya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam Manajemen Risiko Medik
yaitu menyusun Standar Operasional Prosedur ( SOP ) sesuai dengan bidangnya
masing-masing di rumah sakit, standar profesi medik dan menetapkan standard
92
kinerja (performance standards) untuk keamanan pasien. Penyusunan prosedur
melibatkan seluruh bagian terkait dengan memperhitungkan situasi dan kondisi di
lapangan termasuk standar fisik bangunan,fasilitas, kelengkapan peralatan dan
sebagainya serta mengikuti standar profesi pelayanan medik, kompeten dan etika.
Pengembangan dan tersedianya standar-standar juga untuk keperluan
patient safety antara lain bertujuan untuk sebagai standar minimum kinerja yang
harus dilaksanakan oleh setiap petugas untuk meminimalkan terjadinya risiko,
menjamin konsistensi dan keseragaman prosedur bagi setiap petugas kesehatan
dalam melakukan upaya medik, menjamin bahwa pelaksanaan standard (yang
merepresentasikan kesepakatan seluruh petugas yang ada) adalah dalam kerangka
profesionalisme dan akuntabilitas. Program Peningkatan Mutu rumah sakit dan
Pengukuran kinerja juga merupakan hal penting yang harus terus diperhatikan
karena dengan program ini pengumpulan data dan monitoring terhadap outcome
spesifik yang menjadi salah satu target potensial untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya risiko medik. Contohnya adalah menyiapkan obat suntik adrenalin dan
kortison untuk mengatasi risiko syok anafilaksi akibat pemberian obat per injeksi
yang dapat timbul pada pasien tanpa bisa diduga sebelumnya. Program-program
pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan bentuk lain dari
pengukuran kinerja dan sekaligus menyediakan instrumen untuk mencegah hal
tersebut. Program peningkatan mutu Pelayanan Rumah Sakit harus menjadi
kebijakan yang terus dilakukan dan dievaluasi oleh seluruh staf di rumah sakit
termasuk dokter, perawat dan staf lain yang terkait termasuk staf maintenance.
Dibidang pelayan medik, program ini sangat penting karena program ini harus
memastikan apakah para tenaga medis telah melakukan pemeriksaan pasien.
Menetapkan strategi pencegahan berbasis pada untuk mengidentifikasi dan
memantau kemungkinan terjadinya risiko pada sekelompok pasien dengan risiko
tinggi serta memahami bagaimana risiko bisa terjadi, khususnya untuk yang sifatnya
93
preventable. Melakukan analisis, interpretasi dan mendiseminasikan data yang ada
ke para klinisi maupun stakeholders. Mengingat Organisasi rumah sakit sangatlah
unik dan kompleks. Keberadaan pusat pusatkekuasaan atau otoritas di rumah sakit
juga unik dan sukar ditemukan persamaannya pada organisasi atau institusi lain.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam rangka peningkatan mutu pelayanan medik
maka perlu ada Pedoman Peraturan Internal Staf Medis (Medical staff bylaws )
yang berisi tentang konsep dan prinsip, contoh atau model format, substansi dan
langkah-langkah penyusunannya. Tujuan dibuatnya by laws ini agar dokter yang
bergabung di rumah sakit sudah dapat dipastikan kompetensinya serta telah
memenuhi aturan dan ijin dari ikatan profesi maupun dari Dinas Kesehatan . Dalam
by laws ini akan diatur proses Credentialing, Previleging,Patient Care rules and
monitoring sehingga dengan dilaluinya proses tersebut maka rumah sakit telah
mempunyai saringan yang baik untuk mendapatkan dokter-dokter yang akan
bergabung dan mereka akan mempunyai pemahaman yangg baik dalam
melakukan pelayanan kepada pasien. Setiap tindakan medik ada kemungkinan
terjadinya resiko yang dapat membahayakan pasien, maka sebelum melakukan
tindakan medik, dokter harus menginformasikan kepada pasien tentang efek
samping yang mungkin terjadi dari tindakan yang dilakukannya. Sebagai contoh
misalnya: seorang pasien karena penyakitnya diberikan antibiotik, maka sebelum
dokter memberikan obat atau resep, dokter sebaiknya memberikan pesan bahwa
obat yang diberikan olehnya, mungkin dapat menimbulkan efek samping yang tidak
dikehendaki. Penjelasan yang diberikan haruslah dipahami oleh pasien. Kita tidak
mungkin memberitahu pasien bahwa efek samping obat dalam bahasa kedokteran.
Selain itu penting sekali bagi seorang dokter untuk melakukan penanganan pasien
sesuai dengan standar pelayanan medik yang dibuat dan disepakati bersama.
Namun demikian harus diingat bahwa ilmu kedokteran tidak matematis, artinya
belum tentu seseorang pasien demam bereaksi sama dengan orang lain yang
94
demam pada saat diberikan obat demam yang sama. Jika efek samping bisa
diketahui sebelumnya, maka dokter tersebut harus memberikan informasi terlebih
dahulu, satu dan lain untuk mencegah penuntutan hukum. Adalah kewajiban
dokternya untuk memberikan informasi atau penjelasan kepada pasiennya jika ada
risiko semacam ini dalam memperoleh persetujuan tindakan medis (Informed
Consent). ]
C.PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN
Perlindungan hukum terhadap pasien mendapatkan perhatian yang
cukup jelas seperti tertera pada UUPK No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran yang mengatakan bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah
satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa
penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter
gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang
secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan
pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter,
dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik
kedokteran.
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
95
diberikan sesuai dengan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan
sesuai dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang
diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh
organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran atau kedokteran gigi sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Sehinggah diharapkan
dengan melakukan pelatihan dan peningkatan pengetahuan maka dokter tersebut
menjadi semakin kompeten dan dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal.
oleh dokter serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter.
Beberapa perlindungan Hukum Pasien yang tertera di UUPK No.29/2004 :
1. Setiap dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyelenggarakankendali mutu dan kendali biaya, serta menyelenggarakan audit
medis yang dilaksanakan oleh organisasi profesi.
2 . Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
3. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan.
4. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentangpasien,bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia.
5. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
6. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran.
7. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan Medis, meminta
pendapat dokter,mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medis,menolak tindakan medis dan mendapatkan isi rekam medis.
96
8. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas
tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia. Apabila memang dokter dinyatakan bersalah,maka
dokterdapat dikenakan sanksi
9. Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dengan memberikan
sanksi pada dokter yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00,-
Perlindungan hukum pasien juga terdapat dalam Hak Asasi Manusia
sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undan Undang 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia yaitu :
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera, lahir dan batiin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan memberikan batasan
mengenai kesehatan, menentukan sebagai berikut: Kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang kemungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekomis. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat yang terdiri dari tenaga Kesehatan dan sarana Kesehatan.Tenaga
Kesehatan yang melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien,melakukan standar profesi sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik.
97
Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan
perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien, yang
dimaksud dengan hak pasien ialah: hak atas informasi; hak atas persetujuan, hak
atas rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua (second opinión).
Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan
standar profesi kedokteran dan tidak sesuai prosedur tindakan medik dikatakan telah
melakukan kesalahan/kelalaian. kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh seorang
tenaga kesehatan, dapat digugat ganti rugi secara perdata dalam hal pasien
menderita kerugian. Dalam pasal 54 UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,
menentukan bahwa tenaga kesehatan yang diduga membuat kesalahan/kelalaian
dalam melaksanakan pekerjaannnya, dapat dikenakan tindakan disiplin setelah
dapat dibuktikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran, dan yang
memberikan sanksi disiplin tentunya adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan .
1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
3. Ketentuan mengenai tugas, fungsi dan tata kerja majelis diplin tenaga
kesehatan ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Kemudian pasal 55 UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menentukan
Sebagai berikut :
1. Setiap orang berhak atas gantirugi akibat kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan tenaga kesehatan
2. Gantirugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.
98
Perlindungan terhadap pasien juga diatur dalam pasal 1365 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Namun jelas untuk KUHP
harus ada pelanggaran dan atau kelalaian yang dilakukan. Pasal 1320 KUHPerd
mengatur syarat-syarat sahnya perjanjian, dikatakan untuk sahnya perjanjian
diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengingatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Selain pengaturan hukum dalam KUHPerd., terdapat pula peraturan khusus
mengenai consent, yaitu Permenkes No.585/89, tentan Persetujuan Tindakan Medik.
Menurut Permenkes No. 585/89 consent yang diberikan oleh pasien harus
berdasarkan informasi yang diterima oleh pasien mengenai beberapa hal yang
menyangkut tindakan medik dan informasi yang diberikan oleh dokter harus
dimengerti oleh pasien. Hubungan antara pemberi jasa layanan kesehatan (dokter)
dengan penerima jasa kesehatan (pasien) berawal dari hubungan vertikal yang
bertolak pada hubungan peternalisme. Hubungan vertickl tersebut adalah hubungan
antara dokter dan pasien tidak lagi sederajat. Hubungan ini melahirkan aspek hukum
inspaning verbintenis antara dua subjek hukum (dokter dan pasien), hubungan
hukum ini tidak menjanjikan suatu kesembuhan / kematian, karena obyek dari
hubungan hukum itu adalah berupaya secara maksimal yang dilakukan secara hati-
hati dan cermat sesuai dengan surat persetujuan tindakan medik berdasarkan ilmu
pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit tersebut.
99
Tanpa disadari keadaan seperti diatas membawa perubahan pola pikir
sebelumnya hubungan layanan kesehatan yaitu hubungan vertikal menuju kearah
pola hubungan horizontal, termasuk konsekuensinya, dimana kedudukan antara
dokter dan pasien sama dan sederajat walau peranan dokter lebih penting daripada
pasien. Bila antara dua pihak telah disepakati untuk dilaksanakan langkah-langkah
yang berupaya secara optimal untuk melakukan tindakan medis tertentu tetapi tidak
tercapai karena dokter tidak hati-hati dan cermat dalam prosedur yang ditempuh
melalui proses komunikasi (informed consent), maka salah satu pihak dapat
melakukan upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi. Hal tersebut tertulis di UU No 23
tahun 1992 sebagai salah satu upaya perlindungan hukum bagi setiap orang atas
suatu akibat yang timbul (fisik/non fisik) karena kesalahan / kelalaian yang telah
dilaksanakan oleh dokter.
Perlindungan Hukum Pasien juga mendapat perhatian dari Pemerintah
dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
631/MENKES/SK/IV/2005 Tentang Pedoman Peraturan Internal Staf Medis (Medical
Staff bylaws) di Rumah Sakit denganpertimbangan bahwa meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan medis di rumah sakit perlu pengaturan internal yang mengatur
peran dan fungsi pemilik, pengelola dan staf medis dan dalam rangka rumah sakit
menyusun Medical staff bylaws. Dalam Kepmenkes. ini setiap rumah sakit
diwajibkan menyusun Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws) di
rumah sakit untuk meningkatkan mutu profesi medis dan mutu pelayanan medis.
Dari uraian diatas nampak perlindungan hukum pasien telah mendapat
perhatian yang cukup jelas seperti yang tertulis pada UUD 1945,UU No 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan, UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU
No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, ,KUHperd.Kepmenkes dan
Permenkes, serta SK.Dirjen.Yan.Med.NO YM.02.04.3.5.2504 tentang hak dan
kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit dimana perlindungan terhadap hak- hak
100
pasien telah jelas dan kewajiban dokter untuk memenuhi hak pasien harus ditaati,
sebab apabila tidak dilakukan maka tenaga medis tersebut akan mendapatkan
sanksi.
D. ANALISA HUBUNGAN ANTARA MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN
Majemen risiko medik merupakan suatu cara yang sangat penting dalam
pelayanan kedokteran di rumah sakit, karena tanpa adanya manajemen risiko medik
yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien yang berobat
maupun yang akan mendapat penaganan tertentu. Jika sudah dilakukan tindakan-
tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga terjadi dan hasilnya negatif,
maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya. Termasuk risiko yang
harus ditanggung oleh pasien. Di dalam kasus-kasus inilah seiring terjadi perbedaan
pendapat dan penafsiran lainnya. Risiko itu bisa timbul, bisa juga tidak. Jika
dokternya sudah bertindak dengan hati-hati, teliti dan berdasarkan manajemen risiko
medik yang telah diuraikan diatas seperti melakukan tindakan sesuai dengan standar
operasional prosedur, mempunyai program peningkatan mutu rumah sakit serta
melakukan evaluasi secara rutin, menyelenggarakan medical staff by laws dan
memberikan penjelasan kepada pasien tentang kemungkinan risiko yang dapat
terjadi pada tindakan medik dan langkah-langkah yang akan diambil bila risiko
tersebut terjadi, maka ia tidak dapat dipersalahkan jika timbul suatu akibat yang tidak
diduga dan tidak diinginkan. Hal ini disebabkan karena hubungan antara dokter-
pasien adalah suatu kontrak terapetik, suatu perjanjian berusaha
(inspanningsverbintenis). Di dalam kontrak atau perjanjian semacam ini dokternya
tidak menjamin akan selalu keberhasilan dalam pemberian pengobatannya, asalkan
tentunya tindakannya sudah dilakukan berdasarkan lege artis.
101
Diharapkan dengan penerapan manajemen risiko medik yang baik maka
perlindungan hukum pasien rumah sakit dapat dipenuhi sesuai dengan harapan,
kebutuhan pasien berdasarkan Undang Undang dan peraturan yang berlaku.. Dalam
hal pasien menolak memberikan persertujuan, setelah dokter memberikan informasi
yang cukup. Jelas hal ini adalah hak asasi dari pasien untuk menolak tindakan
medik yang akan dilaksanakan atas dirinya. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah
apakah dokter dapat melaksanakan tindakan medik tanpa persetujuan pasien?
Dokter dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien, yang
dimaksud dengan hak pasien ialah: hak atas informasi; hak atas persetujuan, hak
atas rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua (second opinion). Menurut
Hukum Perdata dokter dapat digugat telah melakukan bersalah melanggar hak
pasien untuk memberikan persetujuan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum. Dalam hal ini pasien menolak memberikan persetujuan Tindakan
Medik, maka dokter harus menghormati hak pasien untuk menetukan diri sendiri,
dalam arti dokter tidak boleh memaksa pasien agar dilakukan tindakan medik.
Akankah dokter berusaha untuk mendapatkan persetujuan melalui jalur hukum,
sebab dokter yakin dengan tindakan medik yang akan dilaksanakan akan membuat
pasien sembuh? Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan
tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan
kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat
menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal dokter
berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan
yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian
terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat gantirugi.
Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima
tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan
keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan interen rumah sakit
102
dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada
konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau
konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap dokter/tenaga kesehatan
dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
Ketika pasien merasa di rugikan, pasien sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam
bidang keperawatan kesehatan. Maka dibutuhkan suatu perlindungan hukum,
perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dan
rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai
dengan ukuran atau standar perawatan kesehatan.
Dari beberapa peraturan di atas telah dijelaskan begitu rinci tentang
perlindungan hukum pasien, namun demikian untuk menentukan bahwa akibat yang
terjadi merupakan risiko medik secara tersirat harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan telah sesuai dengan
standar profesi dan melakukannya dengan menghormati hak pasien.
2. Tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian yang ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK).
Kedua syarat tersebut di atas juga telah tertuang dalam Yurisprudensi tetap
Mahkamah Agung (MA) Indonesia dalam kasus yang melibatkan dokter sebagai
salah satu pihak, yang tertulis oleh Hermien dalam bukunya Hukum Kedokteran
(Studi tentang Hubungan Hukum dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak).
Yurisprudensi MA tersebut menyatakan bahwa MA Indonesia telah menggunakan 3
sumber hukum dalam putusannya yang membatalkan putusan PN tingkat pertama
yang telah menjatuhkan hukuman bagi dokter tersebut. Yaitu didasarkan pada
alasan:
a. Dokter sudah mengupayakan secara sungguh-sungguh dan hati-hati untuk
103
kesembuhan pasien sebagaimana layaknya praktek rata-rata dokter yang baik
dalam kondisi dan kemampuan serta lingkungan yang sama (ajaran ilmu
pengetahuan);
b. Tindakan medis (tertentu) yang dilakukan oleh dokter sebagai salah satu alternatif
terapi dalam mengupayakan kesembuhan pasien telah disetujui oleh pasien
”informed consent”, yaitu persetujuan tindakan medik yang diatur oleh Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989);
c. Prosedur penanganan pasien telah dilakukan dan direkam dalam Rekam Medik
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 7491/Menkes/Per/III/1979.
W.B. van der Mijn, seorang Profesor dalam hukum Kedokteran dari Erasmus
Universitas Rótterdam Negeri belanda, yang mengemukakan tentang tiga ukuran
dari profesi dokter, yaitu:
a. Kewenangan.
b. Kemampuan rata-rata.
c. Keseksamaan.
Yang dimaksud dengan kewenangan adalah kewenangan dari tenaga
kesehatan untuk melaksanakan pekerjaan,yang dikenal dengan kewenangan
profesional. Di Indonesia yang berhak memberi kewenangan seorang tenaga
kesehatan bekerja seseuai dengan profesi adalah Departemen Kesehatan, dalam
bentuk Surat Ijin Praktek (SIP)
Dimaksud dengan kemampuan rata-rata adalah kemampuan minimal yang
harus dipunyai oleh seorang tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya dan
usuran dari kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan adalah kemampuan
yang diukur dengan kemampuan dari tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai
keahlian di bidang yang sama, pengalaman yang sama dan di tempat yang sama.
104
Sedangkan ukuran keseksamaan adalah ketelitian yang umum dari setiap
tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai profesional.
Ketelitiannya tidak diukur secara ekstrem, tetapi yang umum dilakukan oleh para
tenaga kesehatan dengan bidang keahlian di bidang yang sama, pengalaman yang
sama dan tempat yang sama.
Seorang tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya, selalu dituntut
untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi yang minimal di atas
dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tindakan medik . Dari uraian di
atas, terlihat bahwa dengan melakukan manajeme risiko medik yang baik maka
perlindungan hukum pasien akan dapat dipenuhi sehinggah hak-hak pasien sebagai
warga negara Indonesia yang telah diatur melalui Undang-Undang dapat terlaksana
sehinggah tujuan dari pemerintah dalam pelaksanaan pemeliharaan kesehatan
untuk mencapai derajat kesehatan baik individu maupun masyarakat secara optimal
dapat tercapai.
Dokter dan pasien memerlukan perlindungan hukum yang seadil-adilnya. Dan
diharapkan dengan adanya diaksanakannya manejemen risiko medik yang baik
pelayanan kesehatan akan terus meningkat, sehingga mutu pelayanan akan
terjamin, bila semua pihak memahami dan menjalankan hak, kewenangan dan
tanggung jawabnya sesuai dengan aturan yang telah dibuat dan disepakati. Apabila
semua hal diatas dapat dilaksanakan didalam manajemen risiko medik, maka dapat
dibayangkan orang dapat masuk rumah sakit dengan tenang, tanpa rasa khawatir
akan ketidak pastian pelayanan yang akan dialaminya sehingga akan membuat
pasien merasa lebih baik dari penyakitnya, apalagi setelah mendapat perawatan dari
dokter yang berwenang,berketerampilan profesional, ramah tidak takut akan
terjadinya malpraktek, karena dokter juga mengobati pasien dengan cara-cara yang
umum dilakukan oleh semua dokter dengan mengikuti prosedur yang seharusnya
dilakukan oleh seorang dokter.
105
Jadi jika penerapan manajemen risiko medik dapat dilakukan dengan baik dan
benar, maka perlindungan hukum pasien akan dapat terpenuhi hal ini tampak jelas
dalam beberapa uraian dibawah ini :
1. Standart Operasional Prosedur ( SOP) dan menetapkan Standart kinerja untuk
keamanan pasien, memenuhi :
a. Pasal 50 ayat (1) UU Kesehatan No 23 Tahun 1992 mengatakan bahwa
tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan
kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga
kesehatan yang bersangkutan.Rumah sakit sebagai institusi pelayanan
kesehatan berkewajiban untuk menyusun standart pelayanan sesuai dengan
keahlian dan kewenangan masing-masing setiap tenaga kesehatan.
Penyusunan ini harus melibatkan seluruh pihak yang terkait , kompeten serta
memahami ruang lingkup dan tanggung jawab diarea masing-masing. Hal ini
untuk menjamin pelayanan yang diberikan lebih baik dan benar.
b. Pasal 53 ayat (2) UU Kesehatan No 23 Tahun 1992 menyebutkan, tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi dan menghormati hak pasien. Tentunya yang dimaksud standar profesi
adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik.
c. Pasal 9 ayat (3) UU HAM NO 39 Tahun 1999 mengatakan setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
d. Pasal 51 ayat (1) UUPK No 29 Tahun 2004 menjelaskan tentang kewajiban
dokter untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
e.Kepmenkes No631/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf
Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit, dikatakan penetapkan standar
106
pelayanan medis dibuat oleh kelompok staf medis dan harus menentukan
kebijakan umum dalam melaksanakan pelayanan medis secara profesional.
2. Progran Peningkatan Mutu Rumah Sakit dan Peningkatan Kinerja, memenuhi :
a. Pasal 51 ayat (1) UU Kesehatan No 23 tahun 1992, dikatakan pengadaan
tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan diselenggarakan antara lain
melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan atau
masyarakat. Rumah sakit berkewajiban memberikan pelatihan kepada seluruh
staf dan tentunya tidak hanya terhadap staf yang baru saja.
b. Pasal 28 ayat (1) UUPK No 29 Tahun2004 yang menyebutkan bahwa setiap
dokter dan dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan kedokteran dan kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan
oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi
profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran atau kedokteran gigi
c. Pasal 49 ayat (1) UUPK No 29 Tahun 2004, mengatakan Setiap dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib
menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
d. Pasal 51 ayat (5) UUPK No 29 Tahun 2004 menjelaskan. Bahwa setiap dokter
wajib menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu .
e.Pasal 72 ayat (1) UUPK No 29 Tahun 2004, mengatakan perlunya
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan dokter
gigi.
e. Kepmenkes No631/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf
Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit , dikatan setiap rumah sakit wajib
meningkatkan mutu profesi medis dan mutu pelayanan medis.
107
3. Menetapkan Strategi Pencegahan Berbasis Pada Fakta, memenuhi :
a. Pasal 49 ayat (2) UUPK No 29 Tahun 2004, Dalam rangka pelaksanaan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan audit
medis.
b. Pasal 51ayat (2) UUPK No 29 Tahun 2004, disebutkan merujuk pasien ke
dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang
lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan.
c. Pasal 52 ayat (2) UUPK No 29 Tahun 2004, meminta pendapat dokter atau
dokter gigi lain, jadi apabila memang dokter kurang memahami atau
mengalami kesulitan dalam melakukan diagnosa atau penanganan suatu
penyakit, makadiwajibkan untuk meminta pendapat dokter lain.
4. Peraturan Internal Rumah sakit , memenuhi:
Kepmenkes No631/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal
Staf Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit, dikatakan beberapa tujuan
yang cukup penting dengan dibentuknya Medical Staff by Laws ini :
a.Untuk memastikan agar semua pasien yang berada di rumah sakit
memperoleh layanan kesehatan dengan mutu tinggi dan aman (safety) tanpa
membedakan ras, agama, warna kulit, keturunan, status ekonomi, latar
belakang pendidikan, status perkawinan, ketidakmampuan, jenis kelamin,
umur, orientasi sex, kebangsaan atau sumber pembayaran.
b. Untuk mengatur agar pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan penelitian
dapat dilaksanakan dengan tetap mempertahankan mutu layanan
kesehatan dan martabat untuk semua pasien.
c. Untuk mengembangkan dan melestarikan berbagai peraturan bagi staf
108
medik yang dapat menjamin kualitas profesional di rumah sakit.
d. Untuk menyediakan forum diskusi tentang permasalahan staf medik.
e. Untuk mengawasi dan menjamin adanya kesesuaian antara bylaws, rule
and regulation of medical staff dengan kebijakan rumah sakit.
5. Persetujuan Tindakan Medik, memenuhi ;
a. Pasal 52 ayat (1) UUPK No 29 Tahun 2004, dikatakan pasien berhak untuk
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis.
b. Pasal 52 ayat (4) UUPK No 29 Tahun 2004, pasien berhak untuk menolak
tindakan medis.
c. Pasal 53 ayat (2) UU No 23 Tahun 1992, Tenaga kesehatan yang berhadapan
dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya
harus menghormati hak pasien, yang dimaksud dengan hak pasien ialah: hak
atas informasi; hak atas persetujuan, hak atas rahasia kedokteran, hak atas
pendapat kedua (second opinion).
d. Pasal 1320 KUHPerd mengatur syarat-syarat sahnya perjanjian, dikatakan
untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1). Sepakat mereka yang mengingatkan diri.
2) . Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3). Suatu hal tertentu.
4). Suatu sebab yang halal.
e.Permenkes No.585 Tahun 1989, tentan Persetujuan Tindakan Medik. Menurut
Permenkes No. 585/89 consent yang diberikan oleh pasien harus berdasarkan
informasi yang diterima oleh pasien mengenai beberapa hal yang menyangkut
tindakan medik dan informasi yang diberikan oleh dokter harus dimengerti oleh
pasien.
109
Setelah melihat analisa hubungan manajemen risiko medik dan
perlindungan hukum pasien, maka terlihat dengan menerapkan manajemenen
risiko medik, maka perlindungan hukum pasien terpenuhi.
E. PENUTUP
Dalam melakukan pekerjaannya dokter harus selalu mempunyai
kewenangan, sehingga memberinya kepadanya apa yang dikenal sebagai
kewenangan professional. Kewenangan professional ini sangat diperlukan,
sebab pekerjaan dokter adalah pekerjaan yang selalu berhubungan dengan
tubuh pasien, melakukan tindakan medik tanpa kewenangan professional adalah
perbuatan yang melanggar hukum. Tanpa kewenangan professional, maka
tenaga kesehatan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai tenaga kesehatan,
seperti yang dimaksud oleh UU No. 23/92 tentang Kesehatan. Para tenaga
kesehatan, harus selalu berupaya mengikuti perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran, sehingga tidak tertinggal
kemampuannya dengan profesional yang sebidang. Tenaga kesehatan yang
tidak berupaya untuk meningkatkan pengetahuannya, sehingga tertinggal
dibandingkan dengan kemampuan tenaga kesehatan yang lainnya telah
melanggar salah satu unsur dari standar profesi medik. Selain itu yang paling
utama, seorang tenaga kesehatan dituntut untuk menjalankan pekerjaannya
dengan seksama, sebab tenaga kesehatan yang ceroboh dalam melakukan
pekerjaan, taruhanya adalah kesehatan pasien, dan atau kadang-kadang nyawa
pasien.
Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait
dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu
hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya
merupakan objek pemeliharaan kesehatan umumnya dan pelayanan kesehatan
110
khususnya. Dokter dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit selalu
diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam
melaksanakan hubungan antar pihak. Sebagaimana kita ketahui bahwa
hubungan dokter dan pasien, hubungan dokter dan rumah sakit dan hubungan
pasien dengan rumah sakit, dilihat dari hubungan hukumnya merupakan saling
sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan yang dikenal
sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya perikatan yang digunakan
sebagai hubungan hukum diatas merupakan perikatan ikhtiar (inspanning
verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk mencapai
pelayanan kesehatan bagi pasien yang diobati, bukan merupakan perikatan hasil
(resultaat verbentenis). Untuk melindungi pasien dan masyarakat yang
membutuhkan pengobatan dan dalam menghindari pelanggaran, kelalaian
terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter yang dapat menimbulkan kegiatan
malpraktik dokter, para dokter dibekali kode etik kedokteran, hukum kesehatan,
hukum hak asasi manusia serta peraturan-peraturan yang mengatur praktik
kedokteran. Pekerjaan yang selalu berhubungan dengan kesehatan dan
keselamatan jiwa pasien, memerlukan seorang tenaga kesehatan yang sangat
berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, atau dengan seksama melakukan
tugas.
Pelanggaran terhadap standar profesi medik, selain dapat mengakibatkan
pelanggar digugat secara perdata untuk membayar ganti rugi, dalam hal pasien
menderita kerugian. Selain itu, juga dapat dituntut secara pidana, dalam hal
memenuhi unsur-unsur pidana, karena kesalahan/ kelalaian dokter pasien cacat
atau meninggal dunia. Menyalahi prosedur tindakan medik, dapat pula
dinamakan sebagai pelanggaran terhadap standar profesi medik. Selain itu,
111
pelanggaran terhadap standar profesi medik dapat pula dikenakan sanksi
administratif. Sanksi administrati yang paling berat adalah pencabutan ijin
praktek dokter, dalam arti tidak mempunyai kewenangan untuk bekerja sebagai
tenaga kesehatan, dan sanksi yang ringan, hanya mendapatkan teguran.
Perlindungan hukum pasien merupakan hak yang harus diperoleh oleh
masyarakat, dimana hal ini sudah diatur oleh Undang-Undang dan diharapkan
dengan adanya perlindungan hukum pasien maka derajat kesehatan yang
optimal dan pengertian tentang hukum kesehatan dimasyrakat dapat terlaksana
dengan baik.
Dengan melakukan manajemen risiko medik, baik dengan cara
pencegahan maupun tindakan penaganan apabila risiko medik itu terjadi akan
dapat memenuhi perlindungan hukum pasien dan juga memicu para dokter
untuk dapat bekerja sesuai dengan SOP dan peraturan yang berlaku.
112
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN.
Dari hasil analisa hubungan Manajemen risiko medik dan Perlindungan
hukum pasien, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hubungan dokter dengan pasien, dilihat dari hubungan hukumnya merupakan
saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan yang
dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya perikatan yang
digunakan sebagai hubungan hukum diatas merupakan perikatan ikhtiar
(inspanning verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk
mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang diobati, bukan merupakan
perikatan hasil (resultaat verbentenis). Untuk melindungi masyarakat yang
membutuhkan pengobatan dan dalam menghindari pelanggaran, kelalaian
terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter yang dapat menimbulkan kegiatan
malpraktik dokter, para dokter dibekali kode etik kedokteran, hukum
kesehatan, hukum hak asasi manusia serta peraturan-peraturan yang
mengatur praktik kedokteran.
2.Perlindungan Hukum Pasien akan dapat membuat pasien tinggal dengan
nyaman di rumah sakit, mereka tidak akan merasa khwatir dengan
pelayanan yang diperolehnya. Pasien akan mendapatkan pelayanan
sesuai dengan hak- haknya sebagaimana yang telah tertulis dari UU No. 23
Tahun 1992 Tentang Kesehatan , Undang-undang No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
113
Kedokteran , KUHPerd, Kepmenkes 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang
Peraturan internal staf medis ( Medical Staff bylaws) di Rumah sakit ,
Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman peraturan internal
rumah sakit (Hospital bylaws), Permenkes No.585 tahun 1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medik dan SK.Dirjen.Yan.Med.No YM.02.04.3.5.2504
tentang hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit , dimana
perlindungan terhadap hak- hak pasien telah jelas dan kewajiban dokter
untuk memenuhi hak pasien harus ditaati.
3. Dengan penerapan Majemen Risiko Medik yang baik dan benar dalam
pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka Pelindungan Hukum Pasien akan
terpenuhi. Namun demikian perlu dicermati, walaupun pelayanan telah
diberikan sesuai dengan Manajemen Risiko Medik, kemungkinan risiko medik
masih mungkin terjadi.,karena tidak semua risiko medik dapat dihindari,
namun dapat diminimalisasi.
4. Dengan diterapkannya Manajemen Risiko Medik, maka Perlindungan Hukum
Pasien akan terpenuhi sehinggah akan terjadi hubungan pasien dokter dan
pasien rumah sakit yang lebih harmonis, saling percaya dan pada akhirnya
akan berdampak terhadap:
a. Kinerja dan kualitas pelayanan dokter yang akan semakin baik karena dokter
dalam melaksanakan kewajibannya akan menerapkan sistim manajemen
risiko medik yang telah disepakati.
b.Pasien merasa aman, nyaman dan tidak ada keragu-raguan terhadap
pelayanan di rumah sakit serta akan mengunjungi rumah sakit apabila
membutuhkan pengobatan. Pasien yang puas tentunya akan menjadi
114
penyambung lidah pada pasien-pasien lainnya, sehingga akan semakin
banyak pasien yang mempercayakan kesehatan dirinya terhadap rumah sakit
tersebut.
c. Rumah sakit akan menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk pasien dan
dokter, sehingga selain pasien menjadi lebih percaya dengan pelayanan di
rumah sakit, diharapkan juga akan banyak dokter-dokter yang akan
bergabung dengan rumah sakit tersebut karena dokter merasakan adanya
kenyamanan, keamanan dan kejelasan dalam bekerja. Para dokter akan
bekerja sesuai dengan standar operasional prosedur, mereka akan terus
belajar dengan mengikuti pelatihan-pelatihan, terus mengupayakan pelayanan
dengan meningkatkan kualitas pelayanan yang dilakukannya, selalu berusaha
mencari penyebab dari permasalahan yang dihadapinya dan mencari solusi
pemecahannya serta melaksanakan manajemen pelayanan medik lainnya
B. SARAN
1. Agar manajemen risiko medik dapat diterapkan dan terus ditingkatkan sesuai
dengan kebutuhan yang ada di rumah sakit serta harapan pasien dan dapat
diterapkan di setiap rumah sakit sehingga membuat pasien akan merasa
nyaman dan tidak ada keragu-raguan untuk berobat ke rumah sakit manapun
di Indonesia atau diobati oleh dokter manapun. walaupun dokternya berbeda,
namun pasien mendapatkan pelayanan yang sama baik mulai dari standar
operasional prosedur sampai dengan kejelasan informasi yang diperoleh dari
dokter tersebut. Dengan demikian akan menghilangkan image bahwa rumah
sakit yang satu akan lebih baik dari yang lain, atau seorang dokter akan lebih
mampu dari dokter yang lainnya. Diharapkan dengan melaksanakan
manajemen risiko medik akan menghilangkan kesenjangan dalam kualitas
115
pelayanan, sehingga akan mengakibatkan pasien- pasien di Indonesia
mempercayai dokter dan rumah sakit di negeri ini.
2. Agar Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) sebagai organisasi yang
mempunyai wewenang untuk memastikan kualitas pelayanan yang diberikan
oleh rumah sakit perlu lebih giat lagi memperhatikan manajemen risiko medik,
dengan membuat parameter- parameter penilaian manajemen risiko medik
yang dapat diimplementasikan oleh setiap rumah sakit, sehingga rumah sakit
tersebut dapat mengetahui kekurangannya dan segera melakukan usaha-
usaha perbaikan. Dengan demikian rumah sakit di Indonesia dapat bersaing
dengan rumah sakit di luar negeri dan diharapkan pasien Indonesia yang
berobat ke luar negeri akan menurun sehingga akan menyelamatkan devisa
negara yang jumlahnya sangat besar yang mengalir keluar negeri. Dan
diharapkan suatu ketika Indonesia juga dapat menjadi tempat tujuan wisata
medik bagi negara-negara lain, karena pelayanan yang diberikan telah
memenuhi kebutuhan dan harapan pasien.
3. Agar pemerintah (Departemen Kesehatan) juga turut serta secara langsung
melakukan pengawasan terhadap manajemen risiko medik di rumah sakit. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan ke rumah sakit untuk
memastikan apakah manajemen risiko medik telah dilakukan atau belum.
Pelaksanaan majamen risiko medik ini dapat dikaitkan dengan pengurusan
ijin operasional rumah sakit baru atau ijin operasional perpanjangan rumah
sakit. Rumah sakit baru sebaiknya dapat menunjukan dokumentasi tentang
rencana penerapan manajemen risiko medik, sedangkan untuk rumah sakit
yang akan memperpanjang ijin operasional dapat menunjukan dokumentasi
dan aktifitas penerapan manajemen risiko medik yang telah dilakukan.
116
DAFTAR PUSTAKA
Anny Isfandyarie, Malpraktek & Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2006.
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2006.
Bambang Sunggono , Metodologi Penelitian Hukum. PT Rajagrafindo Persada
Jakarta,1996.
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori–Asas Umum Hukum Acara Pidana
dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993.
B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia dalam “Percikan Gagasan
Tentang Hukum Ke-III” editor: Wila Chandrawila Supriadi, Mandar Maju,
Bandung.
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2000.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil (Problematik Fisafat Hukum),
Grasindo, Jakarta, 1999.
B.N. Marbun,Konsep Manajemen Indonesia, Jakarta, PPM, 1980.
Carrol R, Risk Management Handbook or Health Care Organization,
Jossey Bass, San Fransisco, 2004.
E Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2006.
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, PT Grafikatama Jaya,
Jakarta, 1991.
Fuady Munir, Sumpah Hippocrates ( Aspek Hukum Malpraktek Dokter).
PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005.
H. Hadari Nawawi & H.M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,
117
Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta, 1995.
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
diterjemahkan oleh: Tristam P. Moeliono, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006.
Hermien Hadiaty, Hukum Kedokteran, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
Hermien Hadiaty, Beberapa Permasalahan hukum dan Medik,
Bandung: Citra Aditya Bakti,1992.
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung,1995.
J.E. Spruit, Tujuan Hukum diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta dalam Tim
Pengajar PIH Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Pengantar Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1995.
J.Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2005.
Laksono Trisnantoro, Manajemen Rumah Sakit, Gajah Mada University,
Jogjakarta, 2004.
Lynne Cunningham, Integrating Patient Satisfaction And Risk Management,
JBBass Publisher,San Fransisco,1991.
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 2000.
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, tanpa tahun.
Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta,
Alumni, Bandung, 2000.
Pusat Bahasa DpDikNas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3,
Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
118
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka,
Jakarta, 2001.
Robert J Taylor, The AUPHA Manual of Health Services Management,
Aspen Maryland, 1994.
Robert J Taylor, The AUPHA Manual of Health Services Management, Aspen
Publisher,Maryland,1994.
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia editor: Karolus
Kopong Medan & Frans J. Rengka, Kompas, Jakarta, 2003.
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006.
Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, Mandar Maju,
Bandung, 2002.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma Metode dan Dinamika
Masalahnya) Editor Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002.
Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, rambu-rambu bagi profesi dokter,
Edisi 3, tahun 2005.
Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis),
Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Sorjono Soekanto, Sri Mamudji, Suatu Tinjauan Singkat Penelitian Hukum
Normatif, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2005.
S.Sunatrio, Kecelakaan Mayor Dalam Anastesi, Surabaya.
Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Pengantar Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1995.
Veronica D Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi
119
Teraupetik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi Bebas Berbahasa Indonesia.
Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Penerbit Mandar
Maju, Bandung, 2001.
Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Medan,1999.