refrat anestesi
-
Upload
joni-riana-mustaqim -
Category
Documents
-
view
45 -
download
5
description
Transcript of refrat anestesi
REFERAT
RESIKO OBAT ANESTESI
Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi
RSUD DR. Adhyatma, MPH Tugurejo Semarang
Disusun oleh:
Joni Riana Mustaqim (012116425)
Laksita Aruna Putri (012116432)
Pembimbing:
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA, MPH TUGUREJO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah anestesiologi diawali pada tanggal 16 oktober 1846 oleh Willian
T.G. Morten yang berhasil mendemonstrasikan penggunaan ether didepan umum
di Masachusetts General Hospital pada tindakan operasi. Morten adalah seorang
dokter gigi yang pada saat yang sama juga menjadi mahasiswa kedokteran. Oleh
dr. Oliver Wendell Holmes kemudian tindakan tersebut dinamakan anestesia.
Dalam perjalanannya, anestesiologi pernah mengalami periode stagnasi yang
panjang, yang hanya kadang-kadang jasa dan kemajuan sedikit dan sporadik yaitu
periode tahun 1846 sampai akhir perang dunia I (1920). Namun demikian dalam
kurun waktu tersebut terdapat beberapa tokoh yang perlu dikenang antara lain
John Snow dari London (1813 – 1857), yang merupakan dokter pertama yang
mengabdi diri sepenuhnya pada bidang anestesi. John Snow disamping seorang
anestetist juga seorang guru dan peneliti, serta juga dikenal sebagai bapak
epidemiologi.1 Tokoh lain ialah James Young Simpson yang merintis Obstetric
Anesthesia, Colton yang dikenal karena menemukan Nitrous Oksida (1863), Paul
Bert (1887), Claude Bernard yang banyak konstribusinya dalam fisiologi narkosi
Halstead dengan anestesi lokal, Leonard Corning dengan epidural anestesi dan
August Bier dengan spinal anestesia dan anestesi regional intravena.
Pada tahun yang sama, James Simpson, di Skotlandia, menggunakan kloroform
yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang
diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790-an. Anastetik modern mulai dikenal
tahun 1930-an , dengan pemberian barbiturate thiopental secara intravena.
Beberapa puluh tahun lalu kurare pun pernah diperkenalkan sebagai anestesi
umum untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung. Tahun 1956,
hidrokarbon halogen yang dikenal dengan nama halotan mulai dikenal sebagai
obat anestesi inhalasi dan menjadikannya standar pembanding untuk obat-obat
anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu.2
Stadium “anestesi umum” meliputi analgesia, amnesia, hilangnya
kesadaran, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka.
Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri
bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis.1
Anastetik yang ideal akan bekerja secara cepat baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu, batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang minimal.
Tidak satupun obat anestesik dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa
disertai efek samping, bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu, pada anestesi
dalam bentuk kombinasi untuk mengurangi efek samping yang tidak
diharapkan.2,3
Sejumlah obat anestesi protokol yang digunakan bergantung pada jenis
operasi yang akan dilaksanakan. Untuk operasi kecil, obat-obat conscious
sedation dapat digunakan, termasuk termasuk benzodiazepine bersama-sama
dengan obat lokal anestesi. Anestesi yang seimbang yang meliputi penggunaan
kerja barbiturate, N2O, dan opium secara intravena, telah dipakai secara luas. Pada
operasi besar, prosedur anestesi selalu meliputi pemberian medikasi preoperative
seperti obat-obat penenang dan penghilang nyeri, penggunaan thiopental atau
obat-obat anestetik intravena lainnya, serta penggunaan anestetik inhalasi secara
sendiri-sendiri ataupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik intravena. Pada
kebanyakan kasus, penggunaan obat relaksasi otot juga dimasukkan dalam
prosedur untuk anestesi umum.3
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Definisi dan Jenis Obat Anestesi
Dilihat dari sifatnya, obat anestesi terbagi atas anestesi lokal, regional,
dan umum.
a. Anestesi lokal
Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara kerjanya
hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan.
Caranya, menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan
dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja
memblokade saraf-saraf tepi yang ada di sekitar area injeksi sehingga tidak
mengirimkan impuls nyeri ke otak.4
Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan
yang hanya memerlukan waktu singkat. Oleh karena itu, efek mati rasa yang
didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai
injeksi, bila lebih dari itu maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk
melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri.4
b. Anestesi spinal
Anestesi jenis ini biasaanya dimanfaatkan pada kasus bedah yang pasiennya perlu
dalam keadaan sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih
besar, bila pasien tidak sadar. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius
pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak, yaitu sumsum tulang
belakang, sehingga obat anestesi mampu menghentikan impuls di area saraf itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sumsum tulang
belakang akan terhambat dan tidak dapat diteruskan ke otak sebagai sensasi nyeri.
Sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibandingkan anestesi
lokal. Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari abdomen ke bawah.4
c. Anestesi umum
Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang bisanya dimanfaatkan utnuk
tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaannya panjang. Caranya dengan memasukkan obat-obat bius baik secara
inhalasi maupun intravena beberapa menit sebelum pasien di operasi. Obat-obatan
ini akan bekerja menghambat hantaran aliran listrik ke otak, sehingga sel otak
tidak bisa menyimpan memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh tertentu
dan membuat pasien dalam kondisi tidak sadar (loss of consciousness). Cara
kerjanya selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan
membuat amnesia, juga merelaksasi otot. Maka selama penggunaan anestesi juga
dibutuhkan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi
kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.4
Sedangkan berdasarkan cara pemberiannya, obat anastesi dibagi atas
anestesi inhalasi dan anestesi intravena.
a. Anestesi inhalasi
Nitrogen oksida yang stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu
anestetik gas yang sering dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi
dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan
metoksifluran merupakan zat cair yang mudah menguap. Sevofluran merupakan
zat anestetik terbaru tetapi belum diizinkan beredar di USA. Anestetik inhalasi
konvesional seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi
karena eter dan siklopropan mudak terbakar, sedangkan kloroform toksik terhadap
hati.5
b. Anestesi intravena
Beberapa obat anestesi diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam
bentuk kombinasi dengan anastetik lainnya untuk mempercepat tercapainya
stadium anestesi ataupun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat
yang mendapat pernapasan buatan untuk waktu yang lama. Termasuk disini
adalah: 1) barbiturat (thiopental, metoheksital), 2) benzodiazepine (midazolam,
diazepam), 3) opioid analgesic dan neuroleptik, 4) obat-obat lain (profopol,
etomidat), dan 5) ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif
anestetik.2
2.2 Tanda dan Stadium Anestesi
Sejak obat anestesi diperkenalkan, telah diusahakan mengkorelasikan efek
dan tandanya untuk mengetahui dalamnya anestesi. Gambaran tradisional tanda
dan stadium anestesi (tanda Guidel) berasal terutama dari penelitian efek dietil
eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat karena kelarutannya yang
tinggi di dalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat pada
penggunaan anestesi inhalasi modern dan anestesi intravena yang bekerja cepat.
Karenanya, pemakaian anestetik dipergunakan dalam bentuk kombinasi antara
anestetik inhalasi dengan anestesi intravena. Namun, tanda-tanda dietil eter masih
menunjukkan dasar untuk menilai efek anestetik untuk semua anestetik umum.
Banyak tanda-tanda anestesi ini menunjuk pada efek obat anestetik
pernafasan, aktivitas reflex, dan tonus otot. Secara tradisional, efek anestesi dapat
dibagi ke dalam empat stadium peningkatan dalamnya depresi susunan saraf
pusat.6
I. Stadium analgesi
Pada stadium awal ini pasien mengalami analgesi tanpa disertai kehilangan
kesadaran. Pada tahap akhir stadium I baru didapatkan amnesia dan analgesi.
II. Stadium terangsang
Pada stadium ini penderita tampak delirium dan gelisah, tetapi kehilangan
kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual dan
muntah. Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu harus
membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya
pernafasan secara teratur.
III. Stadium operasi
Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur dan berlanjut sampai
berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium ini yang
digambarkan dengan perubahan pergerakan mata, reflex mata, dan ukuran pupil,
yang dalam keadaan tertentu dapat merupakan tanda peningkatan dalamnya
anestesi.
IV. Stadium depresi medulla oblongata
Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk ke dalam stadium IV. Pada
stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan di medulla oblongata dan
pusat vasomotor. Tanpa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat
meninggal.
Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing
stadium sering tidak jelas. Hal ini karena mulai obat anestesi modern relative
lebbih cepat dibanding dietil eter dsamping peralatan penunjang yang dapat
mengontrol ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya obat
yang diberikan sebelum dan selama operasi juga berpengaruh terhadap tanda-
tanda anestesi. Atropine digunakan untuk mengurangi sekresi dan mendilatasi
pupil; obat-obatnya seperti tubokurarin dan suksisinilkolin yang dapat
mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik narkoti yang dapat menyebabkan
depesan pada pernapasan. Tanda yang dapat diandalakan untuk mencapai stadium
operasi adalah hilangnya reflek kelopak mata dan adanya pernafasan yang dalam
dan teratur. Dalamnya anestesi yang dicapai untuk masing-masing jenis operasi
yang dilakukan terutama dinilai dari perubahan terhadap respons pernafasan dan
kardiovaskular.2
2.3 Efek Anestesi
Menggunakan obat bius sangat penting untuk melakukan tindakan medis
tertentu. Sebagaimana penggunaan obat-obatan, obat anestesi juga memiliki risiko
tersendiri. Pada bius lokal, efek samping bisanya merupakan reaksi alergi. Namun
pada anestesi regional dan umum, dr. Roys A. Pangayoman, Sp.B., FinaCS
menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian.
1. Cukup sering
Dengan angka kejadian 1:100 pasien, prosedur anestesi bisa menyebabkan risiko
efek samping berupa mual, muntah, batuk kering, mata kabur, nyeri kepala, nyeri
punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara.
2. Jarang
Pada angka kejadian 1:1.000 pasien, anestesi dapat menyebabkan infeksi dada,
inkontinensia urin, nyeri otot, cedera pada bibir, gigi, dan lidah, perubahan mood
atau perilaku, dan mimpi buruk.
3. Sangat jarang
Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1:10.000 pasien
diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf,
kelumpuhan, dan kematian. Efek samping ini bisa permanen jika sampai
menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan,
atau pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung, memperbesar risiko
komplikasi penyakit jantung yang lebih serius.4
Kerusakan saraf dapat disebabkan anestesi lokal, regional, maupun umum.
Pada kebanyakan kasus, kerusakan bersifat sementara dan rasa ketidaknyamanan
berkurang beberapa minggu setelah pembiusan. Tetapi, beberapa persen pasien
tidak menunjukkan gangguan persarafan. Selama peemberian anestetik lokal atau
umum, kerusakan dapat terjadi saat obat mengenai jaringan saraf. Kerusakan juga
dapat terjadi di spinal epidural pada penggunaan anestetik umum, jika saat
penyuntikan melukai sumsum tulang belakang (spinal cord). Kerusakan saraf juga
dapat terjadi selama pemberian anestetik umum, jika posisi pasien selama operasi
berlangsung menyebabkan terhalangnya atau berkurangnya aliran darah menuju
otak.6
Selama ansetesi umum, obat-obatan menyebabkan paralisis muskulus yang
bekerja di banyak area tubuh. Pada beberapa pasien juga terjadi paralisis otot
kandung kemih, sehingga menyebabkan pasien tidak dapat berkemih.
Ketidakmampuan BAK ini dapat terjadi dalam 24 jam, tetapi selama waktu itu
kandung kemih akan terus terisi dan penuh, sehingga dibutuhkan kateter.6
Meskipun komplikasi dari pemberian anestesi umum rendah, tetapi
beberapa yang dapat terjadi adalah serangan jantung, stroke, brain damage, dan
kematian. Komplikasi tersebut bergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan,
alergisitas, kesehetan secara umum, dan riwayat pemakaian obat-obatan terlarang,
alkohol, serta rokok. Resiko kematian dari anestetik umum sulit dievaluasi karena
banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari keadaan pasien, prosedur operasi,
sampai skill operator anestesi. Perbandingan terjadinya resiko tersebut berkisar
1:1.000 dan 1:100.000, dengan anak-anak dan pasien lebih dari 70 tahun lebih
beresiko.5
Resiko pemberian anestetik pada lansia lebih berat dibandingkan pada
dewasa muda. Para manula ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan
dalam anestesi dan pembedahan kaerna terdapat kemunduran sistem fisiologis
dan farmakologis sejalan dengan penambahan usia yang mulai jelas terlihat
setalah 40 tahun. Setelah usia tersebut terjadi penurunan kekuatan otot pernafasan
dan komplaien dinding dada, kemampuan kardiovaskular, kemampuan cadangan
ginjal yang menyebabkan menurunnya toleransi terhadap kekurangan cairan dan
kelebihan beban zat terlarut, serta perubahan fungsi kognitif, sensoris, motoris,
dan otonom, juga berkurangnya perfusi darah ke otak menyebabkan manula lebih
rentan dan lebih besar berkemungkinan mengalami efek buruk anestesi.6
Diasumsikan kesulitan untuk bernafas pascabedah dini lebih sering terjadi
pada manula. Bila memungkinkan, sebaiknya diberikan analgesik regional
nonsistemik, sehingga petugas lebih mudah dan cepat mengenal serangan angina
atau perubahan serebral akut. Dosis obat obat anestetik umum atau lokal pada
lansia harus dikurangi dan diberikan sesuai kebutuhan, secara titrasi dengan
mengingat bahwa waktu sirkulasi memanjang dan kemungkinan terjadinya
interaksi dengan obat-obat yang sudah diminum oleh pasien praanastesi.8
2.3.1 Efek Anestesi Lokal
Obat anstesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga
untuk setiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya.
Komplikasi dapat bersifat lokal atau sistemik.
Komplikasi lokal:
a. terjadi di tempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis, dan gangrene
b. komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan
antisepsis
c. iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang
disuntikkan pada daerah dengan arteri buntu.
Komplikasi sistemik dapat dilihat manifestasi klinis, yang umumnya
berupa reaksi neurologis dan kardivaskular. Pengaruh pada korteks srebri dan
pusat yang lebih tinggi adalah berupa perangsangan pada pons dan batang otak
berupa depresi. Pengaruh kardivaskular adalah berupa penurunan tekanan darah
dan depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.2
Seharusnya obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian obat. Jika
kadar obat dalam darah meningkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada
berbagai sistem organ.3
1. Sistem saraf pusat
Efek SSP yang kuat dapat diperoleh setelah menyedot bubuk kokain dan
mengisap rokok basanya. Kokain kini telah menjadi salah satu penyalahgunaaan
yang paling tinggi digunakan. Anestesi lokal lainnya tidak memiliki efek euphoria
seperti kokain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa pecandu kokain
tidak dapat membedakan antara pemberian kokain intranasal dengan lodokain
intranasal.
Efek SSP lainnya termasuk mengantuk, kepala terasa ringan, gangguan
visual dan pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi dapat
timbul nistagmus dan menggigil. Akhirnya kejang tonik klonik yang terus
menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi
lokal termasuk kokain. Anestesi lokal nampaknya menimbulkan depresi jalur
penghambatan kortikal, sehingga komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul.
Tingkat transisi eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh depresi SSP, umumnya
bila kadar anestesi lokal dalam darah lebih tinggi lagi.2
Reaksi toksik pada anestesi lokal yang paling serius yaitu timbulnya
kejang karena kadar obat dalam darah berlebihan. Keadaan ini dapat dicegah
hanya dengan memberikan anestesi lokal dalam dosis yang kecil sesuai dengan
kebutuhan.2
2. Sistem saraf perifer (neurotoksisitas)
Bila diberikan dalam dosis yang sngat berlebihan, semua anestesi lokal
akan menjadi toksik terhadap jaringan saraf. Beberapa laporan menunjukkan
timbulnya kasus deficit sensoris dan motoris yang berlanjut setelah cedera
anestesi spinal dengan kloroprokain bervolume besar.2
3. Sistem kardiovaskular
Efek kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek langsung
terhadap jantung dan membrane otot polos, serta efek secara tidak langsung
melalui saraf otonomanestesi lokal menghambat saluran natrium jantung sehingga
meningkatkan aktivitas pacu jantung, eksitabilitas, dan konduksi jantung menjadi
abnormal. Dengan pengecualian kokain, obat anestesi lokal juga menekan
kontraksi jantung, sehingga terjadi dilatasi arteriol, dimana kedua efek ini dapat
menyebabkan hipotensi. Walaupun kolaps vascular dan kematian biasanya timbul
setelah memberikan dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat pula terjadi
pada pemberian dosis kecil secara infiltrasi anestesi.2
Seperti telah disebutkan, kokain memiliki efek berbeda terhadap
kardiovaskular. Hambatan ambilan kembali norepinefrin menimbulkan
vasokonstriksi dan hipertensi. Kokain dapat pula menyebabkan aritmiajantung.
Efek vasokonstriksi kokain dapat menimbulkan iskemia pada mukosa hdung, dan
pada pemakai jangka panjang bahkan dapat terjadi tukak lapisan mukosa dan
kerusakan septum hidung. Sifat vasokonstriksi kokain ini dimanfaatkan secara
klinis untuk mengurangi perdarahan akibat kerusakan mukosa nasofaring.2
Bupivakain lebih kardiotoksik dibandingkan anestesi lokal lainnya.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa kelalaian suntikan bupivakain intravena
tidak saja menyebabkan kejang, tetapi juga kolaps kardiovaskular, dimana
tindakan resusitasi sangat sulit dilakukan dan tidak akan berhasil.2
4. Darah
Pemberian prilokain dosis berat selama anestesi regional akan
menimbulkan penumpukan metabolit o-toluidin, suatu zat oksidasi yang dapat
mengubah haemoglobin menjadi methemoglobin. Bila kadarnya cukup besar,
maka pasien tampak sianosis dan darah berwarna coklat. Kadar 3-5 mg/dL masih
dapat ditolerir pada individu sehat, tetapi mungkin menimbulkan dekompensasi
pada pasien dengan penyakit jantung atau paru sehingga perlu pengobatan segera.2
5. Reaksi alergi
Anestesi lokal tipe ester dimetabolisir menjadi turunan asam p-
aminobenzoat yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada sekelompok kecil
orang. Amida tidak dimetabolisir menjadi p-aminobenzoat, sehingga reaksi alergi
pada amida ini jarang sekali terjadi.3
2.3.2 Efek Anestesi Spinal 3
Penggunaan anestetik spinal juga menyebabkan beberapa komplikasi,
yaitu yang bersifat akut, hipotensi karena dilatasi pembuluh darah maksimal;
bradikardi karena blok terlalu tinggi; hipoventilasi yang perlu dilakukan
pemberian O2; mual muntah karena hipotensi yang terlalu tajam, serta total spinal
akibat obat anestesi naik ke atas, dan komplikasi pasca tindakan, nyeri di tempat
suntuikan, nyeri punggung, nyeri kepala, serta retensi urin.
Komplikasi dini spinal anestesi dapat berupa:
1. Hipotensi
Hipotensi seringkali terjadi dengan derajat yang bervariasi dan bersifat
individual. Ini dapat menjadi lebih berat pada pasien dengan hipovolemik.
Biasanya terjadi pada menit ke 20 setelah injeksi obat anestesi lokal. Derajat
hipotensi berhubungan dengan kecepatan masuknya obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid dan meluasnya blok simpatis.
· Pada pasien dengan penggunaan anestesi spinal juga dapat terjadi kehilangan
penglihatan pasca operasi (POVL).
· Hipovolemia dapat menyebabkan depresi serius sistem kardiovaskuler selama
spinal anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan
peningkatan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer.
· Merupakan kontraindikasi relatif spinal anestesi, tetapi jika normovolemi dapat
dicapai dengan penggantian volume cairan maka spinal anestesi bisa dikerjakan.
· Pasien hamil sensitif terhadap blokade simpatis dan hipotensi, hal ini karena
obstruksi mekanis venous return, sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada
posisi miring lateral segera setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena
cava.
· Pasien tua dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi
dibanding dengan pasien muda.
· Obat lokal anestesi juga berpengaruh terhadap derajat hipotensi.
· Tetrakain menyebabkan hipotensi lebih berat dibanding bupivakain. Hal ini
mungkin disebabkan karena blokade simpatis tetrakain lebih besar dibanding
bupivakain.
2. Blokade spinal tinggi/total
Blokade spinal total jarang terjadi jika dosis obat yang digunakan sesuai
dengan yang disarankan. Gejala yang dialami pasien dapat berupa:
· Sesak nafas dan sukar bernafas sebagai gejala utama.
Apabila blok semakin tinggi, penderita menjadi apnea, kesadaran menurun
disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung.
· Sering disertai dengan mual, muntah, precordial discomfort, dan gelisah.
3. Mual dan muntah
Hal ini terjadi karena hipotensi, disamping itu juga adanya aktifitas
parasimpatik yang menyebabkan peningkatan peristaltik usus, juga karena tarikan
nervus dan pleksus, khususnya N. Vagus, adanya empedu dalam lambung oleh
karena relaksasi pilorus dan sphincter duktus biliverus, faktor psikologis, dan
terakhir hipoksia.
4. Penurunan panas tubuh
Hipotermia terjadi karena sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi
panas oleh metabolisme berkurang. Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah
merupakan predisposisi terjadinya hipotermi.
Sedangkan komplikasi lanjut dari spinal anestesi adalah sebagai berikut:
1. Post Dural Puncture Headache (PDPH)
PDPH ditandai dengan nyeri kepala yang hebat, pandangan kabur dan
diplopia, mual dan penurunan tekanan darah. Onset terjadinya adalah 12-48 jam
setelah prosedur spinal anestesi. PDPH terjadi karena adanya kebocoran cairan
cerebrospinalis (LCS) akibat tindakan penusukan jaringan spinal yang
menyebabkan penurunan tekanan LCS, akibatnya terjadi ketidakseimbangan pada
volume LCS. Kondisi ini akan menyebabkan tarian pada struktur intrakranial
yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuluh darah, saraf, falk serebri dan
meninges, dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20 ml. Nyeri
akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang bila berbaring.6
2. Nyeri Punggung (Backache)
Tusukan jarum yang mengenai kulit, otot dan ligamentum dapat
menyebabkan nyeri punggung, tetapi jarang terjadi pada spinal anestesi. Nyeri ini
tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasanya bersifat
ringan, sehingga analgetik post operatif biasanya bisa menutup nyeri ini. Rasa
sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan
sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Relaksasi otot yang
berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal
selama spinal anestesi. Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi penyebab.6
3. Cauda Equina Sindrom
Terjadi ketika cauda equina terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma
dan toksisitas. Tanda-tandanya meliputi disfungsi otonomis, perubahan
pengosongan kandung kemih dan usus besar, pengeluaran keringat yang
abnormal, kontrol temperatur yang tidak normal, dan kelemahan motorik. Ketika
tidak terjadi injeksi yang traumatik intraneural, diasumsikan bahwa obat yang
diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan-bahan ini bisa menjadi kontaminan
seperti detergen atau antiseptik atau bahan pengawet yang berlebihan.6
4. Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarachnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptik mungkin
berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi, tetapi jarang terjadi dengan peralatan
sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni lokal yang memadai.6
5. Retensi Urine
Blokade sakral menyebabkan atonia vesika urinaria sehingga volume urin
di vesika urinaria jadi lebih banyak. Blokade simpatik eferen (T5-L1)
menyebabkan kenaikan tonus sfinkter yang menghasilkan retensi urine. Spinal
anestesi menurunkan 5-10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada
pasien hipovolemia. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat
diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonomik kecil dan
paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar.6
6. Spinal hematoma
Meski angka kejadiannya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar
bagi klinisi karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologis
yang membahayakan. Hal ini terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh
darah di medula spinalis yang dapat terjadi secara spontan atau ada hubungannya
dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat
menyebabkan penekanan medula spinalis yang menyebabkan iskemik neurologis
dan paraplegi.6
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi:
mati rasa, kelemahan otot, kelainan BAB, kelainan sfinkter kandung kemih dan
jarang terjadi adalah sakit pinggang yang berat. Faktor resiko abnormalitas
medula spinalis berupa kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat
posisinya, kelainan vesiculer, penusukan yang berulang-ulang.6
2.3.3 Efek Anestesi Umum
a. Efek anestetik inhalasi
1. Efek terhadap kardivaskular
Halotan, desfluran, enfluran, dan isofluran menurunkan tekanan arteri rata-rata
yang berbanding langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan
enfluran, penurunan tekanan arteri tampaknya disebabkan penurunan curah
jantung karena sedikitnya perubahan dalam tahanan vascular sistemik (misalnya
peningkatan darah serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran mempunyai efek
depresi terhadap tekanan arteri sebagai akibat penurunan tahanan vascular
sistemik; mereka mempunyai efek yang kecil terhadap curah jantung.1
Anestetik inhalasi mengubah denyut jantung dengan mengubah depolarisasi
nodus sinus secara langsung atau dengan mengubah keseimbangan saraf ototnom.
Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang mungkin akibat depresi langsung
atas kecepatan atrium. Sebaliknya, metoksifluran dan ensifluran meningkatkan
denyut jantung. Semua perubahan dalam denyut jantung tersebut telah ditentukan
pada orang normal yang menjalani operasi. Pada penderita prabedah atau trauma
operasi selama operasi berlangsung sering mengubah respon jantung terhadap
anestetik inhalasi.1
Semua obat anestetik inhalasi cenderung meningkatkan tekanan atrium
kanan yang bergantung pada dosis dan sekaligus menggambarkan depresi fungsi
miokardium. Anestetik inhalasi mengurangi konsumsi oksigen jantung, terutama
dengan menurunkan variable yang menegontrol kebutuhan oksigen, seperti
tekanan darah arteri dan kekuatan kontraktilitas.1
Banyak faktor yang mempengaruhi efek kardiovaskular pada pemberian
anestetik inhalasi. Perangsangan selama operasi, hiperkapnia, dan lamanya operasi
berlangsung akan menurunkan efek depresi obat anestetik inhalasi. Hiperkapnia
akan membebaskan katekolamin yang melemahkan penurunan tekanan darah.
Tekanan darah menurun lebih sedikit 5 jam pemberian anestesi dibandingkan
setelah pemberian 1 jam. Halotan dapat mensensitasi otot jantung terhadap
katekolamin dan dapat terjadi aritmia ventrikel pada penderita dengan penyakit
jantung yang diberikan obat simpatomimetik yang bekerja langsung atau tidak
langsung yang tinggi dalam darah. Obat inhalasi modern lainnya sudah jarang
menimbulkan aritmia.1
Salah satu studi klinis dilakukan oleh Sedic F., dkk dalam The FASEB
Journal tahun 2007 dan dengan hasilnya menunjukkan bahwa pemberian
desflurane dan sevoflurane sebelumnya dapat mengurangi kematian sel masing-
masing sebesar 34% dan 15%. Dalam penelitian tersebut juga dibandingkan efek
sevoflurane dan desflurane pada status redoks mitokondria dengan menganalisis
mitochondrial flavoproteins fluorescente (MFF). Hasilnya menunjukkan bahwa
terapi dengan masing-masing anestetik menyebabkan peningkatan MFF. Derajat
oksidasi flavoprotein meningkat lebih besar dengan desflurane dibanding
sevoflurane (68% vs 41%).8
Kesimpulan dari hasil studi tersebut adalah bahwa desflurane menawarkan
derajat proteksi jatung yang lebih besar dibanding sevoflurane, dan
mekanismenya mungkin melibatkan interaksi anestetik dengan status oksidatif
mitokondria.8
Pemberian sevofluran tidak berhubungan dengan takikardi atau
vasodilatasi koroner pada konsentrasi anestetik, berlawanan dengan isofluran.
Berbeda dengan halotan dan enfluran, sevofluran tidak berhubungan dengan
sensitasi miokardium terhadap adrenalin. Sevofluran mendepresi kontraktilitas
jantung secara ringan. Sistemik vascular resisten dan tekanan darah arterial
menurun sangat sedikit dibandingkan isofluran dan desfluran.9
2. Efek terhadap sistem pernafasan
Dengan pengecualian terhadap nitrogen oksida, semua anestetik inhalasi akan
menurunkan volumetidal dan meningkatkan frekuensi pernafasan. Akan tetapi,
peningkatan frekuensi pernafasan tidak cukup untuk mengkompensasi penurunan
volume, yang menghasilkan penuruna pernafasan per menit. Semua obat anestesi
inhalasi akan menurunkan pernafasan, seperti yang dapat diukur dengan berbagai
variasi kadar CO2. Derajat depresi ventilasi antar obat anestetik dimana enfluran
dan isofluran merupakan depresan terkuat. Semua obat inhalasi anestesi
meningkatkan kadar PaCO2.1
Anestetik inhalasi meningkatkan ambang apnoe (kadar PaCO2 turun
dimana apnoe terjadi melalui tidak adanya rangsangan pernapasan yang
digerakkan oleh CO2) dan menurunkan respon ventilasi terhadap hipoksia. Efek
terakhir yang sangat penting karena konsentrasi pada subanestetik menekan
peningkatan kompensasi normal dalam ventilasi paru yang terjadi selama
hipoksia. Semua maslah depresi pernafasan oleh obat anestesi dapat diatasi
dengan ventilator mekanik selama operasi berlangsung. Lebih jauh, depresan
ventilator memberi efek terahadap anestetik inhalasi yang diperkecil dengan
rangsangan operasi dan peningkatan lamanya anestesi.1
Obat anestetik inhalasi juga menekan fungsi mukosiliar saluran pernafasan.
Jadi anestesi yang berlangsung lama dapat menyebabkan penimbunan mucus dan
dapat menyebabkan atelektasis serta infeksi saluran pernafasan. Di lain pihak,
obat anestetik inhalasi cenderung bersifat bronkodilator. Efek ini sudah banyak
digunakan pada pasien dengan status asamatikus. Iritasi pernafasan baik karena
batuk atau pengaruh pernafasan lainnya jarang menjadi masalah pada pemberian
anestetik inhalasi. Namun, hal ini relative umum dengan desfluran dan induksi
mungkin lebih sulit untuk mengerjaan dengan obat tersebut selain koefisien partisi
darah: udara yang rendah. Ketajaman enfluran dapat memperoleh ketahanan nafas
yang dapat membatasi kecepatan induksi.1
Penggunaan sevofluran dengan kelarutan dalam darah yang rendah, bau
yang tidak menyengat, tidak mengiritasi saluran pernafasan, dan kardivaskular
yang stabil menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus.
Umumnya, induksi inhalasi berjalan dengan baik. Penambahan N2O saat induksi
secara nyata mengurangi kejadian eksitasi. Waktu induksi akan menjadi lbih cepat
bila sevofluran diberikan bersama N2O 66%, dimana waktu induksi hanya 45
detik pada infant dan anak yang lebih tua.9
3. Efek terhadap otak
Obat anestetik inhalasi menurunkan laju metabolic otot. Namun kebanyakan
meningkatkan aliran darah serebrum karena penurunan tahanan vaskuler serebrum
yang tidak diharapkan dalam klinik. Sebagai contoh, pada penderita dengan
tekanan intracranial yang meninggi karena tumor otak atau trauma kapitis,
pemberian obat anestetik inhalasi akan meningkatkan aliran darah otak, yang
kemudian akan meningkatkan volume darah otak dan lebih jauh akan
meningkatkan tekanan intracranial.1
Di antara obat anestetik inhalasi, nitrogen oksida paling sedikit
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, walaupun jika nitrogen oksdia
60% ditambahkan bersama dengan halotan, maka aliran darah otak akan selalu
meningkat lebih banyak dibanding pengguanan halotan saja. Pada dosis rendah,
semua preparat halogen mempunyai efek yang sama dalam meningkatkan aliran
darah otak. Pada dosis tinggi, enfluran dan isofluran sedikit meningkatkan aliran
darah otak dibandingkan pada halotan. Jika penderita dengan hiperventilasi
sebelum pemberian anestesi, peningkatan tekanan intracranial akibat pemberian
anestesi dapat dikurangi.1
Halotan, enfluran, dan isofluran mempunyai efek yang sama pada
pemeriksaan EKG sampai dosis 1-15 MAC pada dosis besar, efek iritasi otak
enfluran dapat menyebabkan kedutan otot yang ringan secara umum yang dapat
diperkuat oleh hiperventilasi. Aktivitas kejang ini tidak pernah terbukti
mempunyai akibat klinis yang buruk dan merugikan. Efek ini tidak dapat
ditemukan pada pemakaian anestetik inhalasi yang lain. Walaupun nitrogen
oksida mempunyai efek inhalasi yang rendah, obat ini masih digunakan untuk
kerja naelgesi dan amnesia, sifat yang dinginkan jika digunakan bersama dengan
anestesi umum dan anestesi gigi.1
4. Efek terhadap ginjal
Dalam berbagai derajat, semua obat anestetik inhalasi menyebabkan penurunan
filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal, serta meningkatkan fraksi filtrasi.
Semua obat anestetik cenderung meningkatkan tahanan vascular ginjal. Penurunan
aliran darah ginjal selama anestesi umum akan mengganggu autoregulasi aliran
darah ginjal.1
5. Efek terhadap hati
Semua obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah ke hati dan pada
umumnya berkisar antara 15 sampai 45 persen dari aliran darah sebelum anestesi
dilakukan. Walaupun terjadi perubahan sepintas pada fungsi hati selama perasi
berlangsung, jarang terjadi perubahan fungsi hati yang permanen.1
6. Efek terhadap otot polos uterus
Nitrogen oksida mempunyai efek yang kecil terhadap otot polos uterus. Akan
tetapi isofluran, enfluran, dan halotan relaksan otot uterus yang kuat. Efek
farmakologi ini akan menguntungkan bila diperlukan relaksasi otot uterus yang
kuat untuk memanipulasi janin intrauterine selama persalinan. Sebaliknya, selama
dilatasi dan kuretase pada abortus teurapetik, obat anestetik tersebut mungkin
dapat meningkatkan pedarahan.1
Selain itu, pemberian anestetik inhalasi juga dapat menyebabkan
toksisitas.1,3
1. Hepatotoksisitas (halotan)
Biasanya hepatitits pascabedah selalu dikaitkan dengan faktor lain seperti
transfuse darah, syok hipovolemik, atau stress bedah lainnya dibandingkan
toksisitas obat anestetik. Akan tetapi, obat halocarbon dapat menyebabkan
kerusakan hati, sedangkan koroform telah dikenal sebagaai anestetik hepatotoksik
selama dasawarsa abad ini.
Halotan telah diperkenalakan sejak tahun 1956 dan sampai tahun 1963 telah
banyak dilaporkan kasus ikterik pascabedah dan nekrosis hati yang berhubungan
dengan pemakaian halotan. Walaupun begitu, berbagai penelitian retrospektif
tentang pemakaian halotan yang dibandingkan dengan anestetik lainnya tidak
menunjukkan peningkatan insidens kerusakan hati pascabedah dengan halotan.
Insiden nekrosis pasif yang berhubungan dengan halotan sebesar 7 dari 250.000
pemberian halotan atau sekitar 1 dalam 35.000 (bukan dalam 10.000 sperti yang
pernah dilaporkan. Karena halotan merupakan salah satu obat anestetik yang
masih bermanfaat dan belum pasti sebagai perusak hati, pemakaiannya belum
perlu dibatasi.
Lain halnya dengan fluroksen dan kloroform yang dapat menyebabkan
infiltrasi lemak, nekrosis sentrolobular, dan meningkatkan enzim
aminotransferase, halotan pada hewan percobaan yang terpapar hanya sedikit
menimbulkan hepatotoksik. Mekanisme dasar hepatotoksik halotan pada hewan
percobaan masih banyak yang belum jelas, walaupun diduga hal ini bergantung
metabolit reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan sel hati secara langsung
ataupun melewati respon imun.
Belakangan ini telah dilaporkan beberapa penderita dengan kerusakan
membrane sel hati yang membuat sel-sel menjadi lebih rentan pada luka yang
diinduksi halotan. Individu ini merupakan resiko tinggi untuk nekrosis hati yang
diinduksi halotan. Karena itu, sebelum dilakukan operasi, sebaiknya penderita
dilakukan terlebih dahulu tes fungsi hati.
2. Nefrotoksisitas (metoksifluran)
Tahun 1966 pertama kali dilaporkan adanya penderita poliuro insufisiensi ginjal
yang resisten terhadap vasopressin pada 13 dari 41 penderita yang mendapat
anestetik metoksifluran untuk operasi abdomen. Akhirnya diketahui penyebabnya
adalah fluoride inorganic yang merupakan produk akhir biotransformasi
metoksifluran.
3. Hipertermia great
Walaupun jarang ditemukan, kemungkinan pada penderita yang rentan secara
genetic yang terpapat anestetik inhalasi dapat terjadi sindrom yang bersifat letal
secara potensial, yang meliputi takikardi dan hipertensi dengan asidosis yang
progresif, hiperkalemia, kejang otot, dan hipertermia. Mula kerja ini terlihat jika
suksinilkolin dipakai untuk merelaksasi otot. Pengobatan dengan dantrolen
intravena dengan ukuran yang tepat untuk menurunkan suhu tubuh serta
mengembalikan keseimbanagn elektrolit dan asam basa.
4. Toksisitas kronik
a. Mutagenesitas
Dalam keadaan normal banyak anestetik modern dan anestetik inhalasi
konvensional tidak bersifat mutagen dan mungkin tidak bersifat karsinogenik. Di
lain pihak, anestetik konvensional yang mengandung gugus vinil (flureksin dan
divenil eter) mungkin bersifat mutagen. Preparat ini sudah jarang dan tidak
dipakai lagi.
b. Karsinogenisitas
Beberapa penyelidikan epidemiologic telah menggambarkan peningkatan
angka kanker pada petugas kamar operasi yang mungkin terpapar obat anestetik
dalam konsentrasi rendah. Tetapi, belum ada penelitian yang telah membuktikan
adanya hubungan anatara obat anestetik dengan terjadinya kanker. Kebanyakan
kamar operasi tercemar obat anestetik dalam konsentrasi yang amat rendah yang
dilepaskan mesin anestesi ke udara luar melalui kipas angin.
c. Hematotoksisitas
Kontak yang lama dengan nitrogen oksida akan menyebabkan anemia
megaloblastik karena aktivitas penurunan enzim metionin sintetase. Hal ini
penting diketahui petugas kamar operasi yang bekerja pada kamar operasi yang
kurang ventilasi.
b. Efek obat anestetik intravena
1. Barbiturat kerja ultra singkat
Walaupun terdapat berbagai jenis barbiturate, thiopental merupakan obat
terlazim yang dipergunakan untuk anestetik induksi dan banyak dipergunakan
sebagai kombinasi dengan anestetik inhalasi.1
Setelah pemberian secara intravena, thiopental akan melewati sawar darah
otak secara cepat, dan jika diberikan pada dosis yang mencukupi, akan
menyebabkan hypnosis dalam waktu sirkulasi. Efek yang sama akan terlihat pada
pemberian barbiturate dengan masa kerja ultra singkat lainnya seperti tiamilal dan
metoheksital. Pada semua barbiturate tersebut, keseimbangan plasma otak cepat
terjadi (kira-kira 1 menit) karena kelarutan lemak yang tinggi. Thiopental cepat
berdifusi keluar otak dan jaringan lain yang sangat vascular serta akan
didistribusikan ke dalam otot, lemak, dan seluruh jaringan tubuh. Hal ini karena
cepat dikelauarkan dari jaringan otak sehingga pemberian dosis tunggal thiopental
mempunyai masa kerja yang ultra singkat.1
Pada pemberian dosis tinggi, thiopental akan menyebabkan penurunan
tekanan arteri, curah balik, dan curah jantung. Hal ini dapat menyebabkan depresi
miokard dan meningkatkan kapasitas vena, serta sedikit perubahan pada tahanan
arteri perifer.1
Thiopental, seperti barbiturate lainnya mendepresi pusat pernafasan dan
menurunkan sensitivitasnya terhadap karbon dioksida. Metabolism otak dan
penggunaan oksigen akan menurun dalam proporsi terhadap tingkat depresi otak.
Aliran darah otak juga akan menurun, tetapi tidak mengurangi konsumsi oksigen
otak. Hal ini merupakan pertimbangan mengapa thiopental lebih banyak
digunakan pada penderita dengan peradangan otak dibandingkan anestetik
inhalasi selamam tekanan intracranial dan volume darah otak tidak meningkat.1
2. Benzodiazepin
Anggota dari klompok ini seperti diazepam, lorazepam, dan
midazolam.diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air yang harus diencerkan
dengan vehikulum yang tidak encer, sehingga pemberian secara intravena dapat
menyebabkan iritasi lokal. Formulasi midazolam mudah larut dalam, sehingga
tidak mengiritasi, namun dapat melewati sawar otak dengan mudah.
Dibandingkan barbiturate, benzodiazepine bekerja lebih lambat dan
memperlihatkan efek plateau. Penggunaan obat ini dapat memperpanjang masa
penyembuhan pascabedah dan menyebabkan amnesia anterograd dengan insidensi
tinggi.1
3. Anestesi anelgetik opioid
Dosis besar opioid telah digunakan untuk anestesi umum, terutama operasi
penderita jantung atau operasi besar lainnya ketika cadangan sirkulasi dalam
keadaan minimal. Opioid intravena dapat meningkatkan rigiditas dinding dada,
yang dapat melemahkan ventilasi, dan depresi pernafasan pascabedah dapat
terjadi, membutuhkan bantuan ventilasi dan pemberian opioid antagonis, misalnya
nalokson. Efek depresi terhadap pernafasan dapat dikurangi dengan menurunkan
dosis opioid dan secara bersama diberikan barbiturat kerja pendek atau
benzodiazepine, yang biasanya bersama nitrogen oksida untuk keseimbangan
anestesi. 1
4. Ketamin
Ketamin menimbulkan anestesi disosiatif, yang ditandai dengan kataton,
amnesia, dan analgesi. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara menghambat efek
membrane eksitator neurotransmitter asam glutamate pada subtype resptor
NMDA. Walaupun obat ini dapat digunakan sebagai anestetik, ketamin dapat
menyebabkan diorientasi , ilusi sensoris dan persepsi, serta mimpi gembira yang
mengikuti anesthesia, efek tersebut dikenal dengan sebutan “emergence
phenomena”. Pemberian diazepam sebelum penggunaan ketamin dapat
mengurangi efek ini.1
Di samping sebagai anelsgetik yang kuat, ketamin merupakan satu-
satunya anestetik intravena yang merangsang sistem kardiovaskular. Denyut
jantung, tekana darah, dan curah jantung selalu meningkat secara bermakna.
Puncaknya 2-4 menit dan menurun perlahan sampai normal da 10-20 menit
kemudian. Ketamin merangsang sistem kardiovaskular dan mungkin menghambat
ambilan norepinefrin pada terminal saraf simpatis. Peningkatan plasma epinefrin
dan norepinefrin terjadi 2 menit pertama dan kembali dalam batas control 15
menit kemudian.1
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen, dan
tekanan intracranial. Seperti anestetik inhalasi lainnya, ketamin sangat berbahaya
diberikan pada penderita dengan tekanan intracranial yang meninggi. Pada
kebanyakan kasus, dapat terjadi sedikit penurunan frekuensi pernafasan selama 2-
3 menit. Tonus otot saluran pernafasan bagian atas tidak terganggu dan reflex
masih tetap aktif. Ketamin dapat menyebabkan sedikit perubahan pada sistem
organ.1
Karena tingginya insiden fenomena psikis pasca operasi setelah pemakaian
ketamin, maka di US sudah tidak dipakai lagi pada operasi umum. Ketamin juga
dipertimbangkan untuk digunakan pada penderita geriatric resiko kecil dan pasien
syok karena bersifat kardiostimulator. Anestetik ini juga dipergunakan utnuk
penderita yang berobat jalan yang memerlukan pembiusan atau pada anak yang
menderita luka bakar untuk menghilangkan rasa sakit saat mengganti pembalut
luka.1
BAB III
KESIMPULAN
1. Tindakan anestesi bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memberi
ketenangan pasien pada saat tindakan operatif.
2. Pada tindakan anestesi terdapat resiko-resiko yang membuat keaadaan
pasien bisa memburuk.
3. Resiko anestesi atau komplikasi anestesi bisa menimbulkan gangguan
pada sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, toksisitas pada hepar,
toksisitas pada ginjal, kerusakan otak, hipertermia great dan gangguan
kontraksi otot polos uterus.
4. Untuk mengurangi resiko dari tindakan anestesi biasanya digunakan teknik
kombinasi pada penggunaan obat anestesi.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.medicinestuffs.com/2014/02/mengenal-ilmu-anestesi- anestesiologi.html
2. Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik: Ed. VI. Jakarta: Penerbit EGC.
3. Finucane, B. T. 2007. Complications of Regional Anesthesia. USA: Springer Science and Business Media, LLC.
4. Damayanti, Laili. 2010. Seputar Obat Anestesi: Lain Jenis, Lain Kegunaannya. Diunduh dari www.hypnosis45.com/download/ Seputar %20 Obat %20 Bius .pdf pada tanggal 23 Mei 2011.
5. Hilton, Lisette dan Sam Uretsky. 2011. Seputar Obat Bius: Bag. 2. Diunduh dari www.ikatanapotekerindonesia.net/.../1464- seputar - obat - bius - bagian - 2 .html pada tanggal 28 Mei 2011.
6. Heisler, Jennifer. 2011. Understanding the Risks of Anesthesia. Diunduh dari surgery.about.com/od/proceduresaz/ss/AnesthesiaRisks.htm pada tanggal 23 Mei 2011.
7. Fettes, P. D., Wildsmith, J. A. W. Someone Else’s Nervous System, Br J Anaesth 2002; 88: 760–3, Complications of Regional Anesthesia. Edinburgh: Churchill Livingstone.
8. Hartono, R., Virginia, D., dan Arditayasa, I. Pertimbangan Anastasia untuk Usia Lanjut, dinduh dari http://yosefw.wordpress.com/2010/03/29/anestesi-pada-lansia-gimana-ya.
9. EKM. 2011. Desfluran Mempunyai Potensi Kardioprotektif. Diunduh dari http://www.kalbe.co.id/doctor-news/21066/desflurane-mempunyai-potensi-kardioprotektif.html.
10. Tandjung, Q. F. 2008. Perbandingan Sevofluran 8% + N2O 50% dengan Propofol 2 mg/kg BB IV Sebagai Obat Induksi Anestesi dalam Hal Kecepatan dan Perubahan Hemodinamik: Tesis. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6198/1/08E00384.pdf
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja. Konsentrasi minimal anestetika local dipengaruhi oleh: ukuran, jenis dan mielinisasi saraf; pH (asidosis menghambat blockade saraf), frekuensi stimulasi saraf.3
Mula kerja bergantung beberapa factor, yaitu: pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat, alkalinisasi anestetika local membuat mula kerja cepat, konsentrasi obat anestetika local.3
Lama kerja dipengaruhi oleh: ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika local adalah protein; dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi; dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah pemberian.
Efedrin adalah alkoloid yang terdapat dalam tubuhan jenis Efedra. Efek farmakodinamik efedrin banyak menyerupai efek epinefrin. Perbedaannya ialah bahwa efedrin efektif pada pemberian oral, masa kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih kuat, tetapi dipelrukan dosis yang jauh lebih besar daripada dosis Epinefrin.Seperti halnya dengan Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, β1 dan β2. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pengelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takfilaksis terhadap efek perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik.Efek kardiovakskular efedrin menyerupai efek epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat, dan biasanya juga tekanan diastolik, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokonstriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan viseral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, totak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin.Bronkorelaksasi oleh efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama daripada oleh Epinefrin. Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasi. Refleks cahaya, daya akomodasi, dan tekanan intraokular tidak berubah. Aktivitas uterus biasanya dikurangi oleh efedrin; efek ini dapat di manfaatkan pada dismenore.
Efedrin kurang efektif dalam meningkatkan kadar gula darah dibandingkan dengan Epinefrin. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih lemah.Efek samping pada penggunaan efedrin serupa dengan efek samping epinefrin, dengan tambahan efek sentral efedrin. Insomnia, yang sering terjadi pada pengobatan kronik, mudah di atasi dengan pemberian sedatif. Perhatian pada penggunaan obat ini sama dengan pada epinefrinnefrin dan amfetamin.Hipotensi yang menyebabkan perfusiorgan-organ vital tidak mencukupi dan bukan karena perdarahan, merupakan indikasi penggunaan obat adrenergik yang kerjanya terutama pada reseptor α. Misalnya, untuk hipotensi akibat dosis berlebih obat anthipertensi, atau untukhipotensi selama anestesia spinal yang mengganggu aktivasi spimpatis. Untuk tujuan ini dugunakan metoksamin, fenilefrin, mefentermin atau metaraminol IV atau infus yang dititrasi sesuai dengan tekanan darah penderita.Untuk hipotensi karena anestesia umum dengan siklolpropan, halotan, atau anestetik lain yang menimbulkan sensitisasi jantung terhadap aritemia oleh amin simpatomimetik, harus dipilih obat adrenergik yang hampir tidak mempunyai khasiat stimulasi jantung seperti metoksamin. Fenilefrin, yang mempunyai khasiat stimulasi jantung yang lemah, juga dapat menimbulkan aritmia ventrikuler. Hipotensi akibat perdarahan akut dapat diobati secara darurat dengan obat adrenergik. Kenaikan tekanan darah diperlukan untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan jantung sementara menunggu tindakan untuk menambah volume darah.Pada hipotensi pastural kronik akibat gangguan fugnsi sistem saraf otonom, dapat diberikan pengobatan oral dengan efedrin atau vasopresor adrenergik lain yang kerjanya panjang.