REFERAT.docx

download REFERAT.docx

of 54

Transcript of REFERAT.docx

REFERATINFEKSI SISTEM SARAF PADA PASIEN IMUNOKOMPROMAIS

Pembimbing:dr. Usman Gumanti R, Sp.S

Oleh:Ayunita Tri W (082011101045)Nurlaili Tria Kusuma (092011101064)

SMF ILMU PENYAKIT SARAFRSD. DR. SOEBANDI JEMBER2013

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL1DAFTAR ISI2BAB I PENDAHULUAN5BAB II PEMBAHASAN72.1. Sistem Imun72.1.1 Gangguan Sistem Imun72.1.2 Kriteria Imunodefisiensi92.1.3 Pemeriksaan Laboratorium HIV112.2. Meningitis TBC 112.2.1. Patogenesis Meningitis TBC 122.2.2. Gejala Klinis Meningitis TBC 122.2.3. Pemeriksaan Penunjang Meningitis TBC 12.2.4. Diagnosis Meningitis TBC 152.2.5. Komplikasi Meningitis TBC 152.2.6. Penatalaksanaan Meningitis TBC 152.2.7. Profilaksis Meningitis TBC 182.2.8. Prognosis Meningitis TBC 192.3. Kandidiasis 192.3.1. Patogenesis Kandidiasis 202.3.2. Manifestasi Klinis Kandidiasis 202.3.3. Diagnosis Kandidiasis 212.3.4. Penatalaksanaan Kandidiasis 212.3.5. Profilaksis Kandidiasis 232.3.6. Prognosis 232.4. Aspergillosis 232.4.1. Gejala Aspergilosis 22.4.2. Diagnosis Aspergilosis 22.4.3. Penatalaksanaan Aspergilosis 252.4.4. Profilaksis Aspergilosis 262.5. Histoplasmosis 262.5.1. Gejala Histoplasmosis 262.5.2. Diagnosis Histoplasmosis 282.5.3Penatalaksanaan Histoplasmosis282.5.4. Profilaksis Histoplasmosis 302.6. Kriptokokokis 302.6.1. Gejala Kriptokokosis 322.6.2. Diagnosis Kriptokokosis 32.6.3. Penatalaksanaan Kriptokokosis 352.6.4. Tatalaksana Peningkatan Tekanan Intracranial Kriptokokosis36 2.6.5. Profilaksis Kriptokokosis 372.7Gejala Toksoplasmosis372.7.2. Diagnosis Toksoplasmosis 392.7.3. Profilaksis Toksoplasmosis 02.8. Cytomegalovirus 22.8.1. Gejala Cytomegalovirus 22.8.2. Diagnosis Cytomegalovirus 2.8.3. Penatalaksanaan 52.8.4. Profilaksis Cytomegalovirus 62.9. Virus Herpes Simplex 72.9.1. Gejala HSV 72.9.2. Diagnosis HSV 92.9.3. Penatalaksanaan 92.9.4. Profilaksis HSV 512.10. Virus Varicella-zoster (VVZ) 512.10.1. Gejala VVZ 512.10.2. Diagnosis VVZ 532.10.3. Penatalaksanaan VVZ 532.10.4. Profilaksis VVZ 5

BAB IPENDAHULUAN

Imunokompromais ialah fungsi sistem imun yang menurun. Sistem imun terdiri atas komponen nonspesifik dan spesifik. Fungsi masing-masing komponen atau keduanya dapat terganggu baik oleh sebab kongenital maupun sebab yang didapat. Pada hal yang akhir, sistem imun tersebut sebelumnya berfungsi baik. Hal inilah yang dalam praktek sehari-hari dimaksudkan dengan imunokompromais. Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Keadaan imunokompromais yang sering ditemukan di dalam klinik dapat terjadi oleh infeksi (AIDS, virus mononukleosis, rubela dan campak), tindakan pengobatan (steroid, penyinaran, kemoterapi, imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit hematologik (limfoma/Hodgkin, leukemi, mieloma, neutropenia, anemi aplastik, anemi sel sabit), penyakit metabolic (enteropati dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik, diabetes melitus, malnutrisi), trauma dan tindakan bedah (luka bakar, splenektomi, anestesi) dan lainnya (lupus eritematosus sistemik, hepatitis kronis). Berbagai mikroorganisme (kuman, virus, parasit, jamur) yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada dalam badan penderita, yang dalam keadaan normal tidak patogenik atau memiliki patogenesitas rendah, dalam keadaan imunokompromais dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai penyakit. Oleh karena itu penderita yang imunokompromais mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari badan sendiri maupun yang nosokomial dibanding dengan yang tidak imunokompromais. Infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh disebut infeksi oportunistik. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Daftar penyakit yang digolongkan dalam infeksi oportunistik ditetapkan oleh CDC (Center for Disease Control). Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 < 200 sel/uL maupun CD4 > 200 sel/uL. Infeksi oportunistik perlu dikenal dan diobati karena infeksi oportunistik yang berat dapat menimbulkan kematian. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati. Namun jika kekebalan tubuh tetap rendah, infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Penegakan diagnosis infeksi oportunistik dapat dilakukan secara diagnosis presumptif dan diagnosis definitif. Pada diagnosis definitif penyebab infeksi oportunistik dapat ditemukan, sedangkan pada diagnosis presumptif penyebab infeksi tak ditemukan akan tetapi kriteria klinis dan penunjang menjurus ke suatu diagnosis.

Tabel 1.infeksi oportunistik menurut CDC Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru

Kandidiasis esophagus

Koksidiodomikosis, ekstraparu

Kriptosporidiosis, intestinal kronis (> 1 bln)

Penyakit CMV (selain hari, limpa, atau kalenjer)

Retinitis CMV (dengan gangguan penglihatan)

Herpes simplex : ulkus kronik (>1bulan) ; atau bronchitis, pneumonitits

Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu

Isosporiasis intestinal kronis (> 1 bulan)

Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu

Mycobacterium tuberculosis, di paru atau ekstraparu

Mycobacterium spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu

Pneumonia Pnneumocystis carinii

Pneumonia rekurens

Septicemia salmonella rekuren

Ensefalitis toksoplasma

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Sistem ImunSistem imun berfungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sistem imun ini merupakan suatu sistem yang komplek karena sistem imun harus dapat memberikan respon terhadap invasi berbagai agen infeksius termasuk bakteri, virus, jamur, dan lain-lain. Secara umum, sistem imunitas terdiri dari dua bagian, yaitu sistem imunitas bawaan dan sistem imunitas yang didapat. Sistem imunitas bawaan merupakan sistem imunitas non spesifik yang terdiri dari berbagai sistem sawar (barier) tubuh yang mempertahankan tubuh melalui sistem mekanik, fisik, kimia, sistem seluler, dan enzimatik. Sedangkan, sistem imunitas spesifik adalah sistem pertahanan tubuh yang melibatkan sel imunokompeten seperti limfosit T dan limfosit B. Pada keadaan sesungguhnya kedua sistem ini bukan merupakan sistem terpisah, namun merupakan sistem yang terintegrasi secara sempurna. Defek pada sistem imun dapat menyebabkan meningkatnya insidensi penyakit infeksi pada individu tersebut.

2.1.1 Gangguan Sistem ImunGangguan Kelainan Sistem Imunjatuh ke dalam empat kategori utama: gangguan immunodeficiency (primer atau diperoleh) gangguan autoimun (dimana sistem kekebalan tubuh sendiri menyerang jaringan sendiri sebagai benda asing) gangguan alergi (di mana sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan dalam menanggapi antigen) keganasan sistem kekebalan tubuhKeadaan imunokompromais tergolong dalam kategori kelainan system imun pertama, yakni gangguan immunodeficiency. Imunodefisiensi terjadi ketika bagian dari sistem kekebalan tubuh tidak hadir atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kadang-kadang seseorang lahir dengan immunodeficiency (dikenal sebagai immunodeficiencies primer), meskipun gejala gangguan tersebut mungkin tidak muncul sampai di kemudian hari. Imunodefisiensi juga dapat diperoleh melalui infeksi atau diproduksi oleh obat (ini kadang-kadang disebut imunodefisiensi sekunder). Imunodefisiensi dapat mempengaruhi limfosit B, limfosit T, atau fagosit. Contoh immunodeficiencies primer yang dapat mempengaruhi anak-anak dan remaja adalah: Defisiensi IgA adalah gangguan immunodeficiency paling umum. IgA adalah immunoglobulin yang ditemukan terutama di air liur dan cairan tubuh lain yang membantu menjaga pintu masuk ke tubuh. Kekurangan IgA adalah gangguan di mana tubuh tidak menghasilkan cukup antibodi IgA. Orang dengan defisiensi IgA cenderung memiliki alergi atau mendapatkan lebih pilek dan infeksi pernapasan lainnya, namun kondisi biasanya tidak parah. Severe combined immunodeficiency(SCID). SCID adalah gangguan sistem kekebalan tubuh yang serius yang terjadi karena kurangnya baik B dan limfosit T, yang membuatnya hampir mustahil untuk melawan infeksi. Sindrom DiGeorge (thymus displasia), cacat lahir di mana anak-anak yang lahir tanpa kelenjar timus, adalah contoh dari penyakit T-limfosit primer. Kelenjar timus adalah tempat limfosit T normal dewasa. Sindrom Chediak-Higashi dan penyakit granulomatosa kronis keduanya melibatkan ketidakmampuan untuk berfungsi secara normal neutrofil sebagai fagosit.Imunodefisiensi sekunder biasanya berkembang setelah seseorang memiliki penyakit, meskipun mereka juga dapat menjadi akibat kekurangan gizi, luka bakar, atau masalah medis lainnya. Obat-obatan tertentu juga dapat menyebabkan masalah dengan fungsi sistem kekebalan tubuh.Acquired (sekunder) imunodefisiensi meliputi: HIV (human immunodeficiency virus) infeksi / AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) adalah penyakit yang perlahan dan terus menghancurkan sistem kekebalan tubuh. Hal ini disebabkan oleh HIV, virus yang menghapus dari beberapa jenis limfosit yang disebut sel T-helper. Tanpa sel T-helper, sistem kekebalan tubuh tidak dapat mempertahankan tubuh terhadap organisme biasanya tidak berbahaya, yang dapat menyebabkan infeksi yang mengancam jiwa pada orang yang mengidap AIDS. Bayi baru lahir bisa mendapatkan infeksi HIV dari ibu mereka saat berada di rahim, selama proses persalinan, atau selama menyusui. Orang bisa mendapatkan infeksi HIV dengan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan orang yang terinfeksi atau dari berbagi jarum yang terkontaminasi obat, steroid, atau tato. Imunodefisiensi yang disebabkan oleh obat-obatan. Beberapa obat menekan sistem kekebalan tubuh. Salah satu kelemahan dari pengobatan kemoterapi untuk kanker, misalnya, adalah bahwa hal itu tidak hanya menyerang sel kanker, tetapi tumbuh dengan cepat, sel-sel sehat lainnya, termasuk yang ditemukan di sumsum tulang dan bagian lain dari sistem kekebalan tubuh. Selain itu, orang dengan gangguan autoimun atau yang telah transplantasi organ mungkin harus minum obat immunosuppressant, yang juga dapat mengurangi kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi dan dapat menyebabkan immunodeficiency sekunder. Imunodefisiensi yang disebabkan penyakit lain. Beberapa penyakit seperti sindroma nefrotik, luka bakar luas, dan diabetes mellitus sering dikaitkan dengan keadaan menurunnya sitem imun seseorang. Hal tersebut berkaitan dengan menurunnya keadaan umum seseorang karena proses patologis penyakit dan juga gangguan gangguan spesifik seperti kehilangan protein dan aktifitas abnormal dari makrofag.2.1.2 Kriteria ImunodefisiensiSecara umum, seseorang yang memiliki defisiensi system imun akan menunjukkan tanda tanda khas penurunan daya tahan tubuh. Beberapa tanda umum penurunan system imun seseorang adalah berat badan turun drastis, mudah lelah, keringat malam hari, demam, infeksi berulang, dan memiliki faktor resiko terhadap infeksi HIV seperti kebiasaan seksual tidak lazim dan riwayat transfuse darah.Jika pasien menunjukkan beberapa gejala tersebut, perlu dicurigai adanya penurunan daya tahan tubuh dan perlu dilakukan screening lebih lanjut untuk mengetahu keadaan imun orang tersebut dan kemungkinan adanya infeksi HIV. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain: CBC (cell blood count) Quantitative serum immunoglobulin (IgM, IgA, IgG) HIV antibody Sel T3 dan T4 CD4CD4 merupakan suatu glycoprotein yang ditemukan pada permukaan sel imun seperti T helper, monosit, makrofag, dan sel dendrite, oleh sebab itu penurunan nilai CD4 sering dikaitkan denga keadaan penurunan system imun. Kadar normal CD4 normal sesorang berkisar diantara 5001,000 cells/mm3. Penyakit oportunistik dapat menyerang seseorang dengan kadar CD4 < 200 sel/uL maupun CD4 > 200 sel/uL.2.1.3 Pemeriksaan Laboratorium HIVPemeriksaan Laboratorium Pasien Terinfeksi HIV ditujukan kepada :1. Humoral Component ( antibodi )2. Cellular Component ( CD4 = T- Helper )3. Viral Load (PCR)Pada Pasien AIDS, penentuan konsentrasi sel T-helper limfosit sangat penting. Leukopenia dan lymphocytopenia selalu dijumpai.

2.2. Meningitis TBC Tuberkulisis (TBC) merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada ODHA di Indonesia. Infeksi HIV akan mempermudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. ODHA mempunyai resiko lebih besar menderita TBC dibandingkan non-HIV.Resiko ODHA untuk penderita TBC adalah 10% per tahun, sedangkan pada non ODHA resiko menderita TBC hanya 10% seumur hidup. Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan bahwa TBC merupakan penyebab kematian tersering pada ODHA. TBC paru merupakan jenis TBC yang paling sering di jumpai pada ODHA dan TBC dapat muncul pada infeksi HIV awal dengan CD4 median > 300 sel/uL. Sedangkan TBC ekstra paru atau diseminata lebih sering dijumpai pada ODHA dengan C4 lebih rendah. Jenis-jenis TBC antara lain: TBC paru terkonfirmasi secara bakteriologis dan histologis TBC paru tidak terkonfirmasi secara bakteriologis dan histologis TBC pada sistem saraf TBC pada organ-organ lainnya TBC millier

Meningitis TBC adalah infeksi mycobacterium tuberculosis pada system saraf yang mengenai arachnoid, piameter dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel, akibatnya akan terjadi infiltrasi sel radang disertai reaksi radang dari jaringan dan pembuluh darah didalamnya. Selain itu, juga terjadi eksudasi dari fibrinogen yang sesudah beberapa waktu akan menjadi fibrin. Hal diatas yang disebabkan oleh toksin yang dibuat bakteri akan memberikan gejala sindroma meningitis yaitu berupa: Demam Nyeri kepala hebat Gangguan kesadaran Kejang kejang Dan adanya tanda rangsangan meningeal, berupa : Kaku kuduk, Tes brudzinsky positif, Tes kernig yang positif.

Meningitis Serosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang sering disebabkan oleh kuman spesifik seperti Mycobacterium tuberculosa dan Spirochaeta pallida.

2.2.1. Patogenesis Meningitis TBC Meningitis tuberkulosis terjadi akibat reaktivasi lambat suatu infeksi pada daerah otak sendiri dan paru-paru. Akibat reaktivasi terjadi penjalaran kuman tuberkulosis ke susunan saraf pusat melalui bakteremia. Kuman tuberkulosis yang dorman di dalam paru-paru akan aktif kembali jika terdapat infeksi dan imunitas yang menurun. Terbentuk FOKUS RICH oleh kuman tuberkulosis pada ruang subarachnoid di hemisfer serebri. Kuman tuberkulosis menyebar secara hematogen ke Fokus Rich yang berada di ruang subarachnoid. Meningitis tuberkulosis baru terjadi setelah kuman tuberkulosis menyebar langsung dalam ruang subarachnoid akibat ruptur dari fokus rich. Keadaan dan luas lesi pada meningitis tuberkulosis tergantung dari jumlah dan virulensi kuman serta keadaan kekebalan atau alergi penderita. Bilamana jumlah kuman sedikit dan daya tahan tubuh penderita cukup baik, maka reaksi peradangan terbatas pada daerah sekitar tuberkel perkijuan. Pada penderita imunokompromais dapat terjadi meningitis tuberkulosis yang luas disertai peradangan hebat dan nekrosis akibat daya tahan tubuhnya yang menurun/lemah.

2.2.2. Gejala Klinis Meningitis TBC Gejala klinis meningitis tuberculosa disebabkan 4 macam efek terhadap sistem saraf pusat yaitu : 1. Iritasi mekanik akibat eksudat meningen, menyebabkan gejala perangsangan meningens, gangguan saraf otak dan hidrosefalus. 2. Perluasan infeksi ke dalam parenkim otak, menyebabkan gejala penurunan kesadaran, kejang epileptik serta gejala defisit neurologi fokal. 3. Arteritis dan oklusi pembuluh darah menimbulkan gejala defisit neurologi fokal. 4. Respons alergi atau hipersensitifitas menyebabkan edema otak hebat dan tekanan tinggi intrakranial tanpa disertai hidrosefalus.

Gambaran klasik meningitis tuberkulosa terdiri dari : 1. Stadium Prodromal Stadium ini berlangsung selama 1 3 minggu dan terdiri dari keluhan umum seperti : Kenaikan suhu tubuh yang berkisar antara 38,2 38,90 C Nyeri kepala Mual dan muntah Tidak ada nafsu makan Penurunan berat badan Apati dan malaise Kaku kuduk dengan brudzinsky dan kernig tes positif Defisit neurologi fokal : hemiparesis dan kelumpuhan saraf otak Gejala TIK seperti edema papil, kejang kejang, penurunan kesadaran sampai koma, posisi dekortikasi atau deserebrasi. 2. Stadium perangsangan meningen 3. Stadium kerusakan otak setempat 4. Stadium akhir atau stadium kerusakan otak difus Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of Great Britain ( 1948 ) : Stadium I Penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinik meningitis. Tidak didapatkan kelumpuhan dan sadar penuh. Penderita tampak tak sehat, suhu subfebris, nyeri kepala. Stadium II Selain gejala diatas bisa didapat gejala defisit neurologi fokal Stadium III Gejala diatas disertai penurunan kesadaran.

2.2.3. Pemeriksaan Penunjang Meningitis TBC 1. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) Pemeriksaan CSS merupakan kunci diagnostik untuk meningitis TBC. Pemeriksaan CSS akan memberikan gambaran jernih/ opalesen, kekuningan sampai dengan xantokrom, tekanan meninggi. Tes Nonne dan Pandy positif kuat menunjukkan peningkatan kadar protein. Hitung sel meningkat 100 500, terutama limfositik mononuklear. Kadar glukosa menurun < 40mg% tetapi tidak sampai 0 mg%. Pada pengecatan dengan Ziehl Neelsen dan biakan akan ditemukan kuman mycobacterium tuberkulosis. Bila beberapa cc CSS dibiarkan dalam tabung reaksi selama 24 jam akan terbentuk endapan fibrin berupa sarang laba laba. 2. Pemeriksaan darah Terdapat kenaikan laju endap darah ( LED ) Jumlah leukosit dapat meningkat sampai 20.000 3. Tes tuberkulin Tes tuberkulin seringkali positif tetapi dapat negatif bila keadaan umum penderita buruk. 4. Foto roentgen thoraks Umumnya menunjukkan tanda infeksi tuberkulosis aktif (infiltrat terutama di apex paru)

2.2.4. Diagnosis Meningitis TBC Kriteria diagnosis menurut Medical Research Council of Great Britain (1984): 1. Penderita dengan pemeriksaan klinik yang sesuai pembagian klinik Medical Research Council ( 1984 ) disertai dengan : Kelainan CSS seperti pleositosis dengan dominan limposit, peninggian kadar protein dan penurunan kadar gula serta natrium klorida. Pada isolasi dapat ditemukan kuman tuberkulosis. Kontak dengan penderita tuberkulosis positif Tes mountox positif Pada pemeriksaan fundus ditemukan tuberkel koroid. 2. Penderita dengan diagnosis tuberkulosis dan disertai demam, iritabilitas, penurunan kesadaran sampai muntah, maka perlu dipikirkan kearah kemungkinan suatu meningitis TBC. 2.2.5. Komplikasi Meningitis TBC Komplikasi yang timbul pada meningitis tuberkulosis : 1. Oftalmoplegia 2. Pan arteritis hemiplegia 3. Hidrosefalus 4. Arachnoiditis 2.2.6. Penatalaksanaan Meningitis TBC Pengobatan meningitis TBC adalah dengan memberikan obat-obat spesifik TBC secara umum. Pada penderita HIV, efek samping antituberkulosis (OAT) lebih sering terjadi dibandingkan kelompok non HIV. Oleh karena itu pada kasus ini, OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, ketidakpatuhan minum obat, dan reaksi paradox. Namun, jika ODHA sudah dalam terapi ARV, ARV tetap diteruskan.

Table 3.rekomendasi WHO untuk memulai terapi ARV Kadar CD4 (sel/uL) Rekomendasi

350Mulai ARV segera setelah obat TBC ditoleransi (2 minggu-2 bulan). Rekomendasi regimen : AZT + 3TC + EFV Mulai ARV setelah 2 bulan fase intensif terapi TBC. Rekomendasi regimen : AZT + 3TC+ EFV Obati TBC sampai selesai. Monitor CD4. Tunda pemberian ARV

Keterangan : AZT = zidovudin; 3TC=lamivudine; EFV = efavirenz

Regimen pengobatan TBC sendiri tidak berbeda dengan regimen pengobatan TBC pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti pada table 4. Kecuali pada artritis TBC dan osteomyelitis TBC yang pada pengobatannya mencapai 6-9 bulan dan meningitis TBC yang mencapai 9-12 bulan. Hingga kini, belum diketahui berapa lama sebenarnya terapi yang optimal pada ODHA dengan TBC. Kortikosteroid tetap direkomendasikan pada meningitis TBC dengan deksametason 12 mg/hari selama 3 minggu pertama, kemudian diturunkan bertahap selama 3 minggu kemudian. Demikain juga dengan pericarditis TBC, menggunakan prednisone 60 mg/hari (atau prednisolone setara) selama 4 minggu, dilanjutkan 30mg/hari selama 4 minggu, dan 5 mg/hari hingga genap 11 minggu. Regimen ARV yang di anjurkan pada rekomendasi untuk TBC pada HIV adalah menggunakan kombinasi efavirenz. Rifampisin dan nevirapin (NVP) sama-sama menginduksi enzim sitokrom P 450, sehingga akan menurunkan konsentrasi nevirapin dalam darah. Namun, karena harga efavirenz yang masih mahal, pengalaman di beberapa Negara berkembang rifampisisn masih dapat dikombinasikan dengan nevirapin selama fungsi hati masih baik. Beberapa laporan, walaupun masih terbatas, juga menyebutkan rifampisin dapat saja digunakan bersama nevirapin dengan dosis nevirapin 200mg atau ditambah menjadi 300mg

Table 4.obat yang dipakai dan lama pengobatan KlasifikasiRegimen obat

Kasus TBC baru TBC kambuh/pengobatan ulang2HRZE / 6HE (DOTS) 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)

TABEL 5. Dosis obat antituberkulosis

ObatDosis harian (mg/kg)Dosis intermitten 3x/minggu (mg/kg)

Isoniazid (H/INH) Rifampisin (R) Pirazinamid (Z) Etambutol (E) Streptomisin (S) 5 (4-6) 10 (8-12) 25 (20-30) 15 (15-20) 15 (12-18)5 (4-6) 5 (4-6) 5 (4-6) 5 (4-6) 5 (4-6)

Yang perlu diperhatikan pada ODHA yang sedang dalam terapi ARV dan OAT adalah efek samping yang tumpang tindih hingga seringkali sulit ditentukan penyebabnya. Beberapa efek samping yang tumpang tindih tersebut dapat dilihat pada table 6.

Table 6. Efek sampingOATARV

Alergi (kulit) Mual, muntah Hepatitis imbas obat Leukopenia, anemia

Pirazinamid, rifampisin, INH Pirazinamid, rifampisin, INH Pirazinamid, rifampisin, INH Rifampisin Nevirapin, efavirenz Zidovudin Nevirapin, golongan protease inhibitor Zidovudin

Jika terjadi hepatitis imbas OAT dengan gejala mual muntah dan peningkatan transaminase lebih dari 5 kali normal, pilihan terapi adalah streptomisin, etambutol dan golongan kuinolon, atau seperti dalam tabel 7.

Table 7.regimen OAT pada gangguan fungsi liver. Jenis regimenPilihan

Regimen tanpa INH Regimen tanpa pirazinamid Regimen untuk gangguan fungsi liver berat

R/Z/E selama 6 bulan R/H/E selama 2 bulan, selanjutnya R/H selama 7 bulan R/kuinolon/aminoglikosid selama 18 bulan, atau S/E, kuinolon atau obat lini ke-2 lain selama 18-24 bulan.

Selain efek samping obat, yang juga harus pada ODHA dengan TBC adalah kemungkinan resistensi OAT.ODHA dilaporkan lebih sering mengalami resistensi terhadap OAT dibandingkan non ODHA.Karena itu sebaiknya tes resistensi BTA dilakukan pada ODHA yang mengalami TBC.

2.2.7. Profilaksis Meningitis TBC Profilaksis primer diindikasikan pada ODHA dengan tes tuberculin > 5mm yang tidak pernah mendapat terapi OAT dan terdapat kontak dengan penderita TBC. Namun, batasan tes tuberculin ini belum dapat digunakan di Indonesia mengingat tingginya prevalensi TBC di Indonesia. Sebelum memberikan terapi profilaksis seperti dalam table 8, perlu disingkirkan kemungkinan TBC aktif pada ODHA untuk menghindari resistensi obat.

Table 8. regimen pengobatan profilaksis primer tuberculosis Pilihan pertamaAlternatif

Sumber penularan sensitive INH

Sumber penularan resisten INH

Sumber penularan resisten banyak obat (INH dan rifampisin)INH 1 x 300 mg dan piridoksin 50mg/hari selama 9 bulan;

INH 900mg dan piridoksin 100mg 2 x seminggu selama 9 bulan

Rifampisin 1 x 450-600mg dan pirazinamid 15-20 mg/hari selama 2 bulan

Gunakan 2 obat yang diharapkan masih sensistif (etambutol/pirazinamid atau levofloksasin/pirazinamid) Rifampisin 1 x 450-600mg dan pirazinamid 15-20 mg/hari selama 2 bulan

Rifampisin 1 x 450-600mg selama 4 bulan (tidak ada pengalaman ODHA)

Rifampisin 1 x 450-600mg selama 4-6 bulan (tidak ada pengalaman ODHA)

Sedangkan pada ODHA yang sudah mendapatkan terapi lengkap OAT, profilaksis sekunder tidak dibutuhkan.

2.2.8. Prognosis Meningitis TBC Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosis buruk pada bayi dan orang tua

2.3. Kandidiasis Jarang menginfeksi individu sehat karena merupakan flora normal di daerah mulut dan merupakan jamur pathogen oportunistik. Manifestasi infeksi jamur pada susunan saraf pusat cenderung berupa meningitis kronis atau abses otak. Pengelolaan disesuaikan dengan keadaan misalnya pemberian anti jamur, drainase atau shunting untuk komplikasi hidrosefalus. Pada ODHA kandidiasis mukokutan dapat muncul dalam tiga bentuk, yaitu kandidiasis orofaring, esophagus, dan vulvovagina. Kandidiasis mukokutan muncul berbulan-bulan sebelum munculnya infeksi oportunistik yang lebih berat dan merupakan salah satu indicator progresivitas HIV. Infeksi ini belum digolongkan infeksi oportunistik kecuali sudah mengenai esophagus (kandidiasis esophagus). Strain kandida yang menginfeksi ODHA tidak berbeda dengan pasien imunokompromais lainnya, yang tersering adalah kandida albicans. Strain lain yang pernah dilaporkan adalah C. Glabrata, C. Parapsilosis, C. Tropicalis, C. Kruseii, dan C. Dubliniesis rekurens yang dapat disebabkan oleh strain yang sama atau strain yang berbeda. Strain jamur ini juga dapat menyerang sistem saraf dan menghasilkan gejala-gejala yang tidak menyenangkan seperti kelelahan, depresi, gelisah dan tidak normal mood swings. Pasien juga melaporkan pusing dan kehilangan memori. kasus beratbahkan mungkin episode kekerasan dan halusinasi. Bila tidak diobati, dapat meningkat dengan autisme dan hiperaktivitas pada anak-anak.

2.3.1. Patogenesis Kandidiasis Infeksi kandidiasis adalah melalui saluran cerna, saluran kemih, saluran pernapasan daan masuk ke aliran darah langsung melalui pemasangan kateter. Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi pada 50% dari infeksi candidiasis sistemik dan mencapai 80% pada kasus candida endokarditis dengan distribusi yang sama pada semua kelompok umur.

2.3.2. Manifestasi Klinis Kandidiasis Manifestasi klinis tergantung usia, meningitis biasanya ditemukan pada neonatus dan anak sedangkan pada orang dewasa berbentuk mikro atau makro abses.Kandidiasis orofaring terdiri dari 3 bentuk yaitu pseudomembran, eritematous, dan cheilitis angularis. Gejalanya berupa rasa terbakar, gangguan mengecapa dan sulit menelan makanan cair atau padat. Pada beberapa kasus dapat juga asimptomatik.Kandidiasis pseudomembran membentuk plak putih 1-2 cm atau lebih luas dimukosa mulut. Jika dilepaskan, pseudomembran tersebut akan meninggalkan bercak kemerahan atau perdarahan. Kandidiasis eritematous berupa flak kemerahan halus di palatum , mukosa bukal, atau dorsal lidah. Cheilitis angularis tampak berupa kemerahan, fisura, atau keretakan di sudut bibir. Kandidiasis esofagus biasanya muncul disertai kandidiasis orofaring (80%), dengan gejala klinis berupa disfagia, odinofagia, atau nyeri retrosternum. Namun pada 40% kasus tidak menunjukkan gejala. Untuk membedakannya dengan esofagitis CMV atau HSV, pasien kandidiasis esofagus biasanya mengeluh nyeri seperti ada makanan terhambat di kerongkongan, sedangkan esofagitis CMV atau HSV lebih sering mengeluhkan nyeri yang hebat ketika menelan. Kandidiasis vulvovagina biasanya menyebabkan keluhan gatal, keputihan , kemerahan di vagina, disparenia, disuria, dan pembengkakan di vulva dan labia dengan lesi pustulopapuler diskrit. Gejala biasanya memburuk seminggu sebelum menstruasi.

2.3.3. Diagnosis Kandidiasis Diagnosis definitif kandidiasis adalah ditemukannya candida dengan pemeriksaan langsung specimen jaringan (termasuk kerokan) dengan larutan KOH, bukan dengan kultur. Identifikasi spesies dapat dilakukan dengan uji morfologi dan kultur jamur. Kultur merupakan alat bantu yang baik untuk spesifikasi dan uji sensititas namun tidak digunakan untuk diagnosis karena tingginya kolonisasi Diagnosis kandidiasis orofaring biasanya gambaran klinis. Sedangkan diagnosis presumtif kandidiasis esophagus adalah didapatnya keluhan nyeri restrosternum dan ditemukannya kandidiasis oral berdasarkan gambaran membrane atau plak putih dengan dasar eritema pada mulut atau ditemukannya filament jamur pada kerokan jaringan. Pemeriksaan endoskopi hanya diindikasikan jika tidak terdapat perbaikan dengan pemberian fluconazole oral. Diagnosis kandidiasis vulvovagina berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan secret vagina dengan larutan KOH. Oleh karena angka kejadian infeksi susunan saraf pusat cukup tinggi, maka pada kasus kandidiasis sistemik harus dilakukan pemeriksaan CT Scan dan lumbal pungsi segera. Pada CT scan nampak daerah dengan densitas rendah tanpa penyangatan dan ini ditemukan pada individu yang immunokompromais. Gambaran liquor sama dengan meningitis bakteri lain, tetapi pada abses otak ec. Candida gambaran liquornya normal. Pemeriksaan lain dengan tes serologi dan kultur.

2.3.4. Penatalaksanaan Kandidiasis Tidak seperti infeksi jamur lain, pada candidiasis dapat terjadi keadaan sembuh sendiri secara spontan. Obat pilihan pertama tetap ampoterisisn B, kemudian obat gabungan antara ampoterisin B (0,3 mg/ koagulan) dengan flusitosin oral 100-150 mg/ koagulan/ hari, terbagi dalam 4 kali pemberian.

Table 11.terapi kandidiasis mukokutan pada ODHA Manifestasi klinisTerapi pilihanTerapi alternatif

Kandidiasis orofaring

Kandidiasis esophagus

Kandidiasis vulvovagina -nistatin drop 4-5 x kumur 500.000 U sampai lesi hilang (10-14hari) -flukonazole oral 1 x 100 mg selama 10-14 hari -flukonazole oral 200 800 mg/hari selama 14-21 hari -itrakonazole suspense 200 mg/hari selama 14-21 hari Intravagina : -klotrimazol krim 1% 5 mg/hari selama 3 hari, atau tablet vagina 1 x 100 mg selama 7-14 hari atau 2 x 100 mg selama 3 hari -mikonazole krim 2% 5 mg/hari selama 7 hari -tiokonazole krim 0,8% 5 mg/hari selama 3 hari-itrakonazole suspense 200 mg/hari saat perut kosong -amfoterisin B iv 0,3 mg/kg BB -amfoterisin B iv 0,3 mg/kg BB Sistemik: -Fluconazole oral 1 x 150 mg tunggal Itrakonazole oral 1-2 x 200 mg selama 3 hari Ketoconazole oral 1 x 200 mg selama 5-7 hari atau 2 x 200 mg selama 3 hari.

Efektivitas preparat topical nistatin untuk kandidiasis orofaring tergantung pada lamanya kontak antara suspensi dan mukosa yang terkena. Karena itu setelah pemberian obat dianjurkan untuk tidak makan atau minum selama 20 menit . respons terapi biasanya terlihat dalam 5 hari pertama. Jika gagal dengan preparat topical, gunakan fluconazole oral.jika tetap tidak berespons dengan fluconazole, gunakan fluconazole dosis tinggi (400-800mg/hari) atau terapi alternative, dan lakukan tes sensitivitas terhadap antijamur. Beberapa kasus kandidiasis orofaring dan esophagus pada ODHA dilaporkan mengalami kegagalan terapi dengan golongan azol, terutama pada ODHA dengan CD4 rendah, penggunaan preparat azole jangka lama, dan disebabkan isolate non C. albicans. Kadar hambat minimal fluconazole terhadap C. glabrata 16-46 kali lebih tinggi dibandingkan terhadap C. albicans, sehingga dianjurkan penggunaan fluconazole dengan dosis yang lebih tinggi. Sedangkan kadar hambat minimal fluconazole pada C. krusei sangat tinggi, sehingga fluconazole tidak dapat digunakan. 2.3.5. Profilaksis Kandidiasis Tidak ada terapi profilaksis untuk kandidiasis yang dianjurkan pada ODHA. Namun pada kasus yang berat atau rekurens, dapat dipertimbangkan pemberian fluconazole oral 1 x 100-200 mg atau itrakonazole oral 1 x 200 mg. terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh dengan ARV. 2.3.6. Prognosis Angka kesembuhan pada meningitis candida mencapai 90%, tetapi pada kasus abses otak, angka kematian tinggi dan ini disebabkan oleh keggalan banyak organ (multi-organ failure).

2.4. Aspergillosis Aspergilosis disebabkan oleh Aspergillus fumigatus, A. niger, A. flavus, A. clavatus, A. nodulans. Aspergillus sp, hidup di dalam tanah dan sporanya yangberukuran kecil mudah berhamburan di udara, sehingga mudah terhirup. Aspergillus sp dapat berkoloni di bronkus, kista, dan kavitas pasca tuberculosis. Kejadian aspergilosis pada ODHA tidak sebanyak infeksi jamur lain, namun dengan angka kematian yang tinggi (median survival 3 bulan). Aspergilosis invasif biasanya terjadi pada ODHA dengan CD4 < 50 sel/uL. Pada ODHA, Aspergilosis sp umumnya menginfeksi paru dengan berbagai manifestasi, juga dapat menjadi diseminata. Kadangkala juga menginfeksi darah, sinus, telinga, tulang, otak, dan jantung. Aspergillus fumigates dan kelompok Mucor paling sering mencapai susunan saraf pusat melalui paru (50%).

2.4.1. Gejala Aspergilosis Infeksi aspergilosis yang umumnya terjadi pada ODHA adalah aspergilosis invasif dengan gejala infeksi paru akut dengan gejala demam tinggi., dyspnea, batuk, nyeri dada, dan hemoptysis. Sedangkan allergic bronchopulmonary aspergilosis dan aspergiloma hampir tidak pernah ditemukan pada ODHA. Aspergillosis sp yang menginvasi mukosa dan tulang rawan bronkus dapat membentuk pseudomembran dan mengakibatkan sindroma obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa. Bentuk aspergilosis invasif yang lebih banyak terlihat pada ODHA ini dapat menyebabkan perdarahan bronkus massif karena menginvasi pembuluh darah dan dinding bronkus. Gambaran klinis aspergillosis otak biasanya berupa proses desak ruang, jarang berbentuk meningitis. Manifestasi aspergillosis biasanya berbentuk abses tunggal dengan kapsul yang tegas (single-well-capsulated abcess). Pada pasien yang imunokompromais abses bias tunggal bias multiple dan Nampak di daerah sirkulasi anterior dan posterior, pada keadaan lain pada pasien yang imunokompromais bias ditemukan thrombosis vaskuler dan infark, selain itu juga pernah dilaporkan adanya aneurisma mikolitik yang lokasinya berbeda dengan bacterial aneurisma yaitu bahwa mikolitik aneurisma terletak lebih kearah proksimal dari cabang pembuluh darah besar.

2.4.2. Diagnosis Aspergilosis Gambaran radiologis aspergilosis paru invasif 30% berupa kavitas berdinding tebal, terutama di lobus bawah, 20% berupa infiltrate difus atau nodular di salah satu atau kedua sisi paru. Sedangkan pada sindroma obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa gambaran radiologis berupa infiltrate yang samar-samar segmental atau atelectasis lobaris. Diagnosis definitif infeksi aspergilosis adalah dengan ditemukannya Aspergillus sp pada jaringan dan kultur. Tumbuhnya Aspergillus sp pada kultur saja belum dapat menegakkan diagnosis, walaupun hanya 10-30% pasien aspergilosis invasif harus dicurigai jika terdapat gejala respiratorik pada ODHA stadium lanjut dan tumbuh Aspergillus sp pada kultur sputum, terutama Aspergillus fumigatus. Aspergilosis invasif perlu dipikirkan pada ODHA dengan gambaran klinis pneumonia, namun tudak berespon terhadap antibiotika. Aspergilosis juga dapat menginfeksi otak, sinus, telinga, mata, endocarditis, esophagitis, limfadenitis, menyebabkan abses kulit, abses ginjal dan pancreas. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibody tidak banyak membantu diagnosis karena sebagian besar pasien pernah mengalami paparan asimptomatik dengan Aspergillus sp. Pada CT Scan nampak sebagai masa soliter, hipodens dengan penyangatan berupa cincin. Pada CT Scan Nampak masa hipodens dengan sedikit penyangatan sehingga menyulitkan pengukuran secara tepat. Pada beberapa keadaan ditemukan perdarahan. Gambaran liquor serebrospinal tidak khas, protein sedikit meninggi, kadar gula seringkali normal, leukositosis ringan. Hasil kultur umumnya negatif.

2.4.3. Penatalaksanaan Aspergilosis Terapi yang di anjurkan untuk aspergilosis invasif adalah vorikonazole intravena dengan dosis 6 mg/kg BB tiap 12 jam selama > 1 minggu, selanjutnya 2 x 200 mg/kg BB. Namun obat ini belum tersedia di Indonesia. Terapi alternative yang dapat digunakan adalah amfoterisin B iv 1,0 mg/kg BB/hari hingga terjadi perbaikan klinis. Alternative lain adalah itrakonazole 600 mg/ hari selama 4 hari, diteruskan 400 mg /hari. Infeksi aspergillus pada susunan saraf pusat sulit diobati, kadang diperlukan dosis ampoterisin B yang lebih tinggi dari biasanya.

2.4.4. Profilaksis Aspergilosis Tidak ada profilaksis primer atau sekunder yang terbukti bermanfaat untuk aspergilosis pada ODHA.

2.5. Histoplasmosis Histoplasma capsulatum tersebar hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Jamur ini hidup dalam tanah yang tercemar kotoran burung, ayam, dan kelelawar. Jamur ini bersifat dimorfik, di tanah, tumbuh sebagai konidia, sedangkan jika sporanya terhisap masuk kedalam paru berubah menjadi bentuk ragi. Ragi tersebut kemudian masuk ke dalam makrofage alveolar, bermultiplikasi, kemudian menyebar ke kelenjar getah bening hilus dan mediastinum, lalu masuk sirkulasi. Imunitas seluler berperan penting dalam perjalanan infeksi selanjutnya selain inokulum. Pada pasien imunokompeten, jamur ini dapat hidup intraseluler seumur hidup, pada pasien imunocompromais seperti ODHA, kemungkinan reaktivasi menjadi lebih besar, demikian juga dengan kemungkinan menjadi diseminata. Selain itu, ternyata ditemukan defek makrofage alveolar pada ODHA sehingga mengurangi kemampuannya mengikat H. capsulatum dan mempermudah multiplikasi.

2.5.1. Gejala Histoplasmosis Histoplasmosis dapat memberikam 4 gambaran klinis, yaitu histoplasmosis asimtomatik, histoplasmosis akut, histoplasmosis kronik, dan histoplasmosis diseminata. Namun pada ODHA gambaran yang sering terjadi adalah histoplasmosis akut dan histoplasmosis diseminata.

1. Histoplasmosis akut Pada orang normal, histoplasmosis akut biasanya tidak bergejala. Tidak demikian dengan histoplasmosis akut pada ODHA. Gambaran klinis dari histoplasmosis akut sangat bervariasi, mulai dari malaise ringan hingga gejala yang lebih berat. Gejala yang tersering adalah demam, sakit kepala, batuk non-produktif, menggigil, nyeri dada pleuritik, penurunan berat badan, malaise, dan mialgia. Nyeri retrosternal merupakan gambaran predominan dan mungkin berhubungan dengan limfadenopati mediastinum. Pada paparan ragi histoplasmosis dalam jumlah yang banyak dapat terjadi manifestasi yang berat berupa sesak napas yang hebat. Granuloma mediastinum sekuele yang dapat terjadi pasca histoplasmosis akut. Pada pemeriksaan radiologis paru biasanya ditemukan infiltrate difus yang tersebar, adenopati hilus dan mediastinum, dan pada kasus yang berat ditemukan nodul-nodul paru kecil yang difus. 2. Histoplasmosis diseminata ODHA dengan histoplasmosis diseminata profresif biasanya bergejala demam, malaise, penurunan berat badan dalam jangka waktu cepat, dan sakit kepala. Kurang dari sepuluh kasus disertai dengan batuk kering. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatosplenomegali, limfadenopati, atau lesi mukokutan seperti ulserasi orofaring, dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan pansitopenia. Sekitar 10% ODHA dengan histoplasmosis diseminata juga disertai manifestasi kulit non-spesifik berupa lesi pustule, folikuler, makulopapuler, dan eritematosa dengan papulonekrosis di bagian tengah. Histoplasmosis diseminata dianggap berat jika memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut; temperature > 39 derajat celcius, tekanan sistolik 5%, skor karnofsky < 70, hemoglobin 2 kali normal, peningkatan SGOT > 2,5 kali normal, albumin < 3,5 g/ml, atau disfungsi organ lain. Gambaran radiologis paru bias normal (50%) atau tampak infiltrat noduler difus. Jarang sekali disertai efusi pleura atau adenopati. Gambaran klinis lain yang mungkin terjadi adalah fibrosis mediastinum, mediastinum granulomatosa, histoplasmosis susunan saraf pusat, perikarditis, dan bronkolitiasis. Dilaporkan pula beberapa kasus sindrom hemofagositik reaktif dan koriretinitis pada ODHA dengan histoplasmosis diseminata.

2.5.2. Diagnosis Histoplasmosis Kultur merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis histoplasmosis. Namun karena jamur ini tumbuh dengan lambat, dibutuhkan waktu 2 sampai 6 minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Kultur dapat diambil dari biopsi sumsum tulang, darah perifer, biopsy kelenjar getah bening, lavase broncoalveolar, ataupun biopsy. Tes kulit dengan histoplasmin dan pemeriksaan histopatologis jaringan kurang sensitif dan spesifik untuk menegakkan diagnose histoplasmosis, kecuali dari pemeriksaan sumsum tulang. Ditemukan antigen H. capsulatum di urin dan serum dapat membantu diagnosis histoplasmosis. Antigen dapat dideteksi di urin pada 90% kasus histoplasmosis diseminata dan 50% kasus. Sedangkan pada histoplasmosis paru akut kemungkinan ditemukan di urin 75%. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibody juga dapat membantu diagnosis. Peningkatan titer lebih dari 4 kali atau > 1:32 mengindikasikan histoplasmosis akut. Namun, hasil negatif palsu dapat terjadi pada pasien imunocompromais dan selama 6 minggu pertama sebelum antibody terbentuk. Perkecualian pada meningitis histoplasmosis, ditemukannya antibody pada cairan cerebrospinal yang didukung gejala klinis cukup untuk menunjang diagnosis. Tidak ada diagnosis presumtif histoplasmosis akut atau diseminata pada ODHA.

2.5.3. Penatalaksanaan Histoplasmosis Tabel 12. Rekomendasi terapi histoplasmosis pada ODHA Gambaran KlinisManifestasi beratManifestasi ringan- sedang

Histoplasmosis paru akut

Amfoterisin B iv 0,7 mg/kg BB/hari (dengan prednisone 60 mg/hari selama 2 minggu) dilanjutkan itrakonazol oral 2 x 200 mg hingga 12 minggu.Gejala kurang dari 4 minggu: tidak diterapi. Gejala lebih dari 4 minggu: itrakonazol 1-2 x 200 mg selama 6-12 minggu.

Histoplasmosis diseminata

Induksi: amfoterisin B iv 0,7 -1 mg/kg/BB/ hari, dilanjutkan itrakonazol oral 2 x 200 mg hingga 12 minggu Rumatan: itrakonazol seumur hidupInduksi: Itrakonazol 3 x 200 mg selama 3 hari, dilanjutkan 2 x 200 mg hingga 12 minggu. Rumatan: itrakonazol seumur hidup

Mediastinitis granulomatosa amfoterisin B iv 0,7 -1 Itrakonazol 2 x 200 mg/kg/BB/hari, dilanjutkan itrakonazol oral 2 x 200 mg hingga 12 minggu. Juga pertimbanagan kortikosteroid dan atau reseksi bedah.

PerikarditisKortikosteroid pada obstruksi saluran nafas dan atau draunase perikardOAINS selama 2-12 minggu

Meningitisamfoterisin B iv 0,7 -1 mg/kg/BB/hari, selama 12-16 minggu dilanjutkan itrakonazol oral 1 x 200 mg

Artritis/ manifestasi reumatologisOAINS selama 2-12 minggu

OAINS selama 2-12 minggu

Efektifitas kortikosteroid masih kontroversial Dosis total amfoterisin B tidak boleh melebihi 35 mg/kg BB selama 3-4 bulan.

2.5.4. Profilaksis Histoplasmosis Profilaksis primer tidak direkomendasikan untuk pencegahan histoplasmosis pada ODHA. Profilaksis sekunder hanya dianjurkan setelah terapi lengkap, saat ini masih dianjurkan seumur hidup. Pilihan pertama adalah dengan menggunakan itrakonazol 1x 200 mg, dengan alternative flukonazol 800 mg/hari (hanya jika tidak dapat mentolerir itrakonazol). Pencegahan lain adalah dengan melakukan tindakankewaspadaan. Tindakan kewaspadaan berikut dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terekspos : Hindari daerah yang mungkin menjadi tempat tinggal jamur, misalnya, tumpukan kotoran burung atau kelelawar. Sebelum memulai pekerjaan atau kegiatan yang memiliki risiko untuk terpapar H. capsulatum, gunakan peralatan pelindung yang cukup untuk melindungi kita untuk terhirup spora jamur ini (misalnya dengan memakai masker). Penggunaan sarung tangan karet dan baju pelindung yang menutup seluruh tubuh juga dianjurkan dalam hal ini.

2.6. Kriptokokokis Kriptokokosis adalah infeksi jamur sistemik yang disebabkan Cryptococcus neoformans. Spora jamur ini dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama di lingkungan yang sesuai, ditemukan di tanah dan dilaporkan banyak terdapat di tinja burung merpati. Ada 4 serotipe dari neoformans C, yang ditunjuk A, B, C, dan D berdasarkan determinan antigenik pada kapsul polisakarida. Serotipe A dan D (C neoformans var. neoformans) adalah penyebab paling umum infeksi, dan 90 % dari infeksi tersebut terjadi pada immunocompromised host. Mayoritas isolat AIDS var, neoformans bahkan di daerah di mana var. gattii (serotipe B dan C) adalah endemik. Karena var. Neoformans adalah mana-mana dan mempengaruhi sistem kekebalan host dominan, walaupun memiliki tingkat eksposur yang tinggi untuk semua host, itu dianggap sebagai patogen oportunistik. Sebaliknya, var. Gattii memiliki distribusi geografis yang terbatas dan mempengaruhi laki-laki host imunokompeten terutama didekade kedua kehidupan mereka. Varietas yang dapat dibedakan baik oleh serotipe atau dengan karakteristik pertumbuhan pada glisin-bromthymol biru agar-canavanine. Probe DNA sedang dievaluasi sebagai alat epidemiologi untuk membantu dalam membedakan kekambuhandarireinfeksi. Kriptokokus mudah tumbuh dari tanah yang terkontaminasi dengan kotoran unggas, khususnya burung merpati, mungkin karena kotoran kaya di xanthine, kreatinin, urea, dan asam urat, yang semuanya Cryptococcus dapat mengasimilasi. Ini juga telah diisolasi dari sumber nonavian, seperti sayuran, buah-buahan, dan produk susu. Bahkan, Cryptococcus awalnya diisolasi dari sari buah persik di 1894. Tidak ada wabah yang timbul dari sumber lingkungan dan tidak ada laporan ke manusia transmisi hewan. transmisi manusia ke manusia jarang terjadi. Ada 1 kasus laporan orang yang memperoleh endophthalmitis kriptokokus setelah menerima transplantasi kornea dari donor yang telah kriptokokosis, dan pada kasus lain, seorang pekerja kesehatan lokal dikembangkan kriptokokosis kutan setelah autoinoculation dengan darah dari pasien dengan cryptococcemia. Hingga pada tahun 1980 kriptokokosis merupakan penyakit yang bersifat sporadik. Dengan terjadinya epidemik AIDS angka kejadian kriptokokosis meningkat tajam. Penyakit ini sering timbul pada ODHA dengan CD4 400mmHg. 5. 5VPS diindikasikan bila punksi lumbal berulang dan pemasangan drain lumbal gagal untuk menurunkan tekanan cairan serebrospinal.

2.6.5. Profilaksis Kriptokokosis Tidak ada terapi profilaksis primer yang dianjurkan untuk mencegah MK. Profilaksis sekunder (rumatan) dengan salah satu regimen dibawah diberikan seterusnya hingga nilai CD 4 > 200sel per mikroliter. 1. Fukonazol 200 mg/hr secara oral (pilihan pertama) 2. Amfoterisin B 1mg/kg/hr satu atau dua kali seminggu secara intravena. 3. Itrakonazol 200 mg 2 kali perhari secara oral. 2.7. Toksoplasmosis Toxoplasma gondii merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada ODHA. Toxoplasmosis pada ODHA terbanyak disebabkan oleh reaktivasi laten. Siklus hidup T. gondii sangat kompleks. Inang definitifnya adalah kucing. Sedangkan inang perantaranya adalah tikus, kambing, sapi, babi, unggas, dan hewan ternak lainnya. Pada manusia infeksi T. gondii melalui makanan dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu makanan yang tercemar ookista yang berasal dari tinja kucing dan mealalui daging yang mengandung kista jaringan akibat kurang matang dimasak. Serangga seperti kecoa dan lalat juga dapat mencemari makanan dengan ookista.Siklus hidup Toksoplasma ada 5 tingkat : Fase proliferatif, stadium kista, fase schizogoni dan gametogoni dan fase ookista. Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista. Fase ini dapat terjadi dalam bermacam macam inang. Siklus seksual secara spesifik hanya terdapat pada kucing. Fase proliferatif, yang menghasilkan tropozoit, terjadi secara intraseluler dalam banyak jaringan saat terjadi infeksi primer. Tropozoit menjadi berkurang jumlahnya pada saat imunitas inang terbentuk, dan infeksi dapat masuk dalam stadium kronis. Apabila terjadi penurunan dan penekanan daya tahan tubuh, tropozoit dapat kembali berprofilerasi dan menjadi banyak. Fase proliferasi ini juga terjadi saat pembelahan sel. Kista dapat terbentuk setelah terjadi beberapa siklus proliferasi dimana terbentuk tropozoit. Kista ini dapat terbentuk selama infeksi kronis yang berhubungan dengan imunitas tubuh. Kista terbentuk intrasel dan kemudian terdapat secara bebas di dalam jaringan sebagai stadiun tidak aktif dan dapat menetap dalam jaringan tanpa menimbulkan reaksi inflamasi. Pada saat ini antibodi dapat menurun meskipun masih terdapat infeksi. Pada saat daya tahan tubuh menurun dan pada saat fase proliferasi, kista tidak terbentuk. Kista pada binatang yang terinfeksi menjadi infeksius bila termakan oleh karnivora dan toksoplasma masuk melaluiusus. Siklus seksual Toksoplasma gondii hanya terdapat pada kucing. Kucing dapat terinfeksi saat makan kista, pseudokista atau ookista. Kemudian tropozoit masuk kedalam epitel usus kucing dan membentuk schizon dan kemudian membentuk makrogamet dan mikrogamet. Ookista kemudian terbentuk dan dikeluarkan bersama feses kucing 3 5 hari setelah terinfeksi dan menetap didalamnya selama 1 2 minggu. Ookista kemudian menjadi sangat infeksius saat terjadi sporulasi setelah 1 3 hari pada suhu 22 C. Ookista dapat bertahan pada berbagai macam kondisi lingkungan dan pada udara bebas selama 1 tahun atau lebih. Infeksi pada manusia dapat terjadi saat makan daging yang kurang matang, sayur-sayuran yang tidak dimasak, makanan yang terkontaminasi kotoran kucing, melalui lalat atau serangga. Juga ada kemungkinan terinfeksi saat menghirup udara yang terdapat ookista yang beterbangan. Ensefalitis toksoplasma (ET) merupakan manifestasi dari toksoplasmosis pada ODHA. Manifestasi ocular (retinitis), paru (pneumonitis), dan infeksi sistemik lebih jarang dijumpai. Infeksi juga dapat terjadi pada kelenjar limfe, hati, sumsum tulang dan jantung. Sebelum ARV digunakan secara luas, 70% kasus lesi massa intracranial pada ODHA disebabkan oleh ET. Penyakit ini paling sering timbul pada ODHA dengan CD 4 < 100 sel per mikroliter. Insidensi ET terutama ditentukan oleh tingginya seroprevalens toksoplasma pada populasi orang dewasa di suatu tempat. Penelitian di Jakarta melaporkan angka seroprevalens toksoplasma (IgG toksoplasma) sebesar 80% pada kelompok usia 40 tahun. Bila tidak mendapat terapi profilaksis, ODHA dengan serologi toksoplasma positif mempunyai kemungkinan 30-50% untuk menderita ET.

2.7.1. Gejala Toksoplasmosis Perjalanan penyakit ET biasanya berlangsung subakut. Keluhan dan gejala klinis berkembang secara progresif dalam kurun waktu 1-4 minggu. Pada sepertiga kasus ditemukan awitan akut. Seringkali secara klinis dapat diduga diagnosis ET pada ODHA, walaupun tidak ada tanda yang patognomonik. Demam, sakit kepala, deficit neurologis fokal, dan penurunan kesadaran merupakan manifestasi klinis utama dari ET. Sakit kepala, penurunan kesadaran, dan gangguan perilaku dijumpai pada 50-75% kasus. Demam dijumpai pada 40-50% kasus. Deficit neurologis fokal dijumpai sebanyak 80%. Hemeiparese merupakan deficit local yang paling serinh dijumpai, ditemukan sebanyak 40-50%. Kejang sebagai gejala utama dijumpai pada 15-30% kasus. Gejala lain adalah ataksia, parese saraf cranial, afasia, parkinsonism, korea-atetosis, dan gangguan lapang pandang.

2.7.2. Diagnosis Toksoplasmosis Diagnosis presumtif berdasarkan gejala klinis neurologi yang progresif pada ODHA dengan nilai CD 4 < 200 sel per mikroliter dan disertai gambaran neuroimajing (CT/MRI) yang sesuai. Diagnosis definitif ET hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis jaringan otak. Pemeriksaan MRI lebuh sensitive daripada CT scan dalam menemukan lesi ET. Sembilan puluh persen memperlihatkan lesi tunggal atau multiple yang hipodens pada CT atau hipointens pada MRI, menyangat kontras berbentuk cincin, disertai edema dan efek massa. Walaupun demikian, lesi yang tidak disertai dengan penyangatan kontras juga dilaporkan pada 6-20% kasus ET. Lokasi lesi sringkali didapatkan pada ganglia basalis, thalamus, atau cortiko-medullary junction. Berdasarkan diagnosis presumtif, terapi empiris toksoplasma dapat dimulai. Jika diagnosis tersebut benar, lesi akan mengecil pada CT scan atau MRI ulangan setelah 2 minggu. Pada ET biasanya dijumpai IgG yang positif ,sedangkan IgM negative.Hal ini tidak mengherankan karena ET pada ODHA biasanya merupakan reaktivasi infeksi laten. Walaupun demikian,pemeriksaan serologi yang negative dijumpai pada 3-17% kasus ET yang didiagnosis melalui biopsi maupun presumtif. European Federation of Neurological Societies (EFNS) mengeluarkan panduan tatalaksana, yaitu secara praktis semua ODHA dengan lesi massa intracranial dapat diberikan terapi empiris anti-toksoplasma selama 2 minggu, walaupun serologinya negative atau lesinya tunggal. Bila tidak terdapat perbaikan klinis ataupun radiologis,barulah dianjurkan biopsy. Perlu dipikirkan diagnosis banding limfoma system saraf pusat,atau tuberkuloma, dan progressive multifocal leucoencephalopathy(PML). Limfoma system saraf pusat dapat memberika gambaran imajing menyerupai ET. Namun, gambaran lesi tunggal dengan penyangatan kontras yang homogeny pada MRI, lebih menyokong pada diagnosis limfoma. Pemeriksaan SPECT, PET, dan M.R. spektroskopi dapat membedakan lesi ET dengan limfoma sisten saraf pusat. Beberapa pedoman yang dapat digunakan dalam menilai hasil serologi : 1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila a) Terdapat serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4 kali lipat dengan interval 2-3 minggu. b) Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi 1-3 minggu yang lalu.c) IgG avidity yang rendah d) Hasil Sabin-Feldman / IFA > 300 IU/ml atau 1 : 1000 e) IgM-IFA 1 : 80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml 2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan merupakan infeksi lampau. a) Ada 5 % penderita dengan IgM persisten yang bertahun-tahun akan positif b) Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak dapat dipastikan sebagai infeksi akut dan harus dilakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan lain. 2.7.3. Profilaksis Toksoplasmosis Profilaksis primer TMP-SMZ DS (960mg) 1x1 tab diberikan pada ODHA dengan CD 4 < 100 sel per mikroliter dengan alternative: 1. Dapson oral 1x50 mg + pirimetamin 50 mg/minggu + leukovorin 25 mg/minggu. 2. Dapson oral 200 mg/minggu + pirimetamin 75 mg/minggu + leukoverin 25 mg/minggu. 3. Atovaquone oral 1 x 1500 mg + pirimetamin 25 mg/hari + leukovorin 10 mg/hari. Profilaksis primer dihentikan bila CD 4 >200 sel per liter stabil selama < 3 bulan. Terapi profilaksis primer dimulai kembali bila CD 4 < 100 sel per mikro liter. Terapi rumatan dapat dihentikan bila telah terjadi perbaikan system imun, yaitu bila nila CD4 > 200 sel per mikroliter selama lebih dari 6 bulan. Terapi profilaksis diberika kembali jika CD4 turun < 200 sel per mikroliter sesuai dengan profilaksis toksoplasmosis.

2.8. Cytomegalovirus Cytomegalovirus (CMV) merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan utama pada ODHA, terutama sebelum era ARV. Infeksi ini biasanya muncul pada ODHA dengan CD4 21 hari -Valgansikloir oral 2 x 900 mg selama 21 hari -Foscarnet iv 3 x 60 mg/ kg atau 2 x 90 mg/ kg selama >21 hari

Sistem sarafGansikloir iv 2 x 5 mg/kg selama 3-6 minggu dikombinasi dengan foscarnet iv 3 x 60 mg/ kg atau 2 x 90 mg/ kg selama 3-6 minggu, dilanjutkan dengan terapi rumatan dengan gansiklovir/ valgansiklovir dan foscarnet dengan dosis seperti retinitis CMV -Gansiklovir iv 2 x 5 mg/kg selama 3-6 minggu, dilanjutkan terapi rumatan dengan gansiklovir iv dan valgansiklovir dengan dosis seperti retinitis CMV

Pada keadaan ancaman gangguan penglihatan berat dan pemulihan system imun sulit dharapkan, dapat dipasang implant gansikloir intraokuler tiap 6-8 bulan dikombinasikan dengan valgansikloir oral dosis rumatan 1 x 900 mg. Sedangkan pada keadaan ancaman gangguan penglihatan berat dan pemulihan system imun masih dapat diharapkan, digunakan implant gansiklovir intraokuler dikombinasikan dengan valgansiklovir oral dosis rumatan 1 x 900 mg atau terapi sistemik dengan gansiklovir, valgansiklovir, atau foscarnet dengan dosis di atas. Untuk Negara berkembang dengan sumber daya terbatas pendekatan utama yang dsarankan adalah memperbaiki imunitas ODHA dengan menggunakan ARV. Untuk menghemat biaya retinitis CMV diterap dengan injeksi gansikloir intravitreal. Tentusaja pendekatan ini memiliki resiko, tidak dapat mengehentikan penyebaran infeksi sistemik.

2.8.4. Profilaksis Cytomegalovirus Profilaksis sekunder (terapi rumatan) diberikan pada infeksi CMV di mata dan susunan saraf dengan dosis seperti pada table. Terapi rumatan dihentikan jika CD4 mencapai lebih dari 1---150 sel/ NL selama 6 bulan dan penyakit tidak dalam keadaan aktif, serta dilanjutkan dengan pemeriksaan oftalmologis rutin. Terapi dimulai kembali jika CD4