Referat Usg 3d Dan 4d

34
REFERAT Penggunaan USG 3D & 4D pada trimester 1, 2 dan 3 Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan Ginekologi Di RSUD Panembahan Senopati Bantul Diajukan Kepada Yth: Dr. dr. H.M. Ani Ashari , Sp.OG (K Fer) Diajukan Oleh : Eka Yoga Wiratama 20090310013

description

referat usg 3D dan 4D

Transcript of Referat Usg 3d Dan 4d

REFERAT

Penggunaan USG 3D & 4D pada trimester 1, 2 dan 3

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan GinekologiDi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada Yth:Dr.dr.H.M. Ani Ashari, Sp.OG (K Fer)

Diajukan Oleh :Eka Yoga Wiratama20090310013

SMF ILMU OBSTETRI dan GINEKOLOGIPROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTERRSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL2014

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Penggunaan USG 3D & 4D pada trimester 1, 2 dan 3

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan GinekologiDi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:Eka Yoga Wiratama20090310013

Telah dipresentasikan dan disetujui pada:Hari:

MengetahuiDosen Penguji Klinik

Dr.dr.H.M. Ani Ashari, Sp.OG (K Fer)

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahRetensio plasenta merupakan keadaan dimana plasenta belum lahir dalam setengah jam setelah bayi lahir. Sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan pasca persalinan dini atau perdarahan pasca persalinan lambat yang biasanya teradi dalam 6-10 hari pasca persalinan. Sebab plasenta belum lahir bisa karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (1994) angka kematian ibu adalah 390/100.000 kelahiran hidup dan umumnya di negara miskin terdapat sekitar 20-50% kematian wanita disebabkan oleh permasalahan kehamilan dan persalinan khususnya perdarahan. Perdarahan setelah persalinan disebabkan karena atoni uteri, sisa plasenta, laserasi jalan lahir, retensio plasenta dan kelainan darah. Perdarahan merupakan penyebab nomor satu kematian ibu melahirkan di Indonesia (40-60%). Insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta dilaporkan berkisar 16-17% di Rumah Sakit Umum H. Damanhuri Berabai, selama 3 tahun (1997-1999) didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari sejumlah kasus tersebut, terdapat satu kasus (0.68%) berakhir dengan kematian ibu.Separuh dari kematian ibu disebabkan oleh perdarahan. Dua pertiga dari semua kasus perdarahan pascapersalinan terjadi pada ibu tanpa faktor risiko yang diketahui sebelumnya, dua pertiga kematian akibat perdarahan tersebut adalah dari jenis retensio plasenta, dan tidak mungkin memperkirakan ibu mana yang akan mengalami atonia uteri maupun perdarahan (WHO, 2008)Faktor-faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta yaitu 1. Paritas ibu, angka kejadian tertinggi retensio plasenta pada multipara dan paritas 4-5 (Joeharno, 2007). 2. Umur ibu, makin tua umur ibu maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan pertumbuhan plasenta yang lebih luas. 3. Graviditas, ibu dengan graviditas 1 dan lebih dari IV merupakan factor yang paling rentan untuk terjadinya retensio plasenta (okti,N, 2009). BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. DefinisiRetensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah kelahiran bayi. Pada beberapa kasus dapat terjadi retensio plasenta berulang (habitual retensio plasenta). Plasenta harus di keluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata, dapat terjadi polip plasenta, dan terjadi degenerasi ganas korio karsinoma (Manuaba,2010).B. EpidemiologiPerdarahan merupakan penyebab nomor satu kematian ibu melahirkan di Indonesia (40-60%). Insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta dilaporkan berkisar 16-17% di Rumah Sakit Umum H. Damanhuri Berabai, selama 3 tahun (1997-1999) didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari sejumlah kasus tersebut, terdapat satu kasus (0.68%) berakhir dengan kematian ibu.Retensi plasenta merupakan penyebab nomor dua perdarahan pasca persalinan setelah atoni uteri. Dua sampai tiga persen muncul sebagai komplikasi dari persalinan pervaginal di negar berkembang.

C. EtiologiPenyebab Retensio Plasenta : a. Fungsional His kurang kuat (penyebab tersering) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil).Plasenta yang sukar lepas dari uterus karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive.b. Patologi-anatomi Plasenta akreta : implantasi plasenta menembus desidua basalis dan Nitabuch layer Plasenta inkreta : plasenta sampai menembus miometrium Plasenta perkreta : vili korialis sampai menembus perimetrium.Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, riwayat kuret berulang, dan multiparitas. Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan, jika lepas sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus bisa karena:1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva)2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium.Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan tidak adanya usaha untuk melahirkan, atau salah penanganan kala tiga, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta.Faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta : a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu : Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhessiva), Plasenta adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta. Plasenta adhesiva merupakan implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis b. Kelainan dari plasenta, misalnya : Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi khorialis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta)4 Plasenta akreta, yang mana villi khorialis menembus lebih kedalam dinding rahim (miometrium) tetapi belum menembus serosa (sampai kebatas atas lapisan otot rahim). Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium. Lebih sering terjadi pada pasien yang sebelumnya pernah operasi seksio sesarea. Plasenta inkreta, dimana villi khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium. Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki lapisan miometrium Plasenta perkreta , kalau villi khorialis menembus lapisan otot dan mencapai serosa atau peritoneum dinding rahim dan menembusnya. Implantasi jonjot korion menembus lapisan otot sampai lapisan serosa dinding uterus.c. Kesalahan manajemen kala III persalinan, seperti : manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi (pembentukan constriction ring) dan menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).

D. Anatomi dan Fisiologi Plasenta Plasenta (uri) adalah yang sangat penting bagi janin karena plasenta merupakan alat pertukaran zat antara ibu dan anak dan sebaliknya, juga sebagai penghasil hormon. Jiwa anak bergantung pada plasenta. Baik tidaknya anak bergantung pada baik buruknya faal plasenta. Setelah nidasi, sel-sel trofoblas menyerbu kedalam desidua sekitarnya sambil menghancurkan jaringan. Diantara massa trofoblas timbul lubang-lubang sehingga menyerupai susunan spons. Lubang ini kemudian berisi darah ibu karena dinding pembuluh-pembuluh darah juga termakan oleh kegiatan troblas.

Mula-mula sel-sel yang dihancurkan menjadi bahan makanan bagi telur, kemudian makanan diambil dari darah ibu. Sel-sel trofoblas yang menyerbu kemudian berubah menjadi batang-batang yang masing-masing bercabang pula dan akhirnya membentuk jonjot korion (vili korialis). Sementara itu, trofoblas yang membentuk dinding vilus sudah terdiri dari dua lapisan. 1. Lapisan luar atau sinsitiotrofoblas2. Lapisan dalam atau sitotrofoblas (sel-sel Langhans)Sebelah dalam villus terisi oleh mesoderm. Dalam mesoderm ini terbentuk sel-sel darah merah dan pembuluh-pembuluh darah yang lambat laun sambung menyambung dan akhirnya berhubungan dengan peredaran darah janin melalui pembuluh-pembuluh darah di dalam tali pusat.Pada kehamilan muda, seluruh korion mempunyai vili, tetapi vili dalam desidua kapsularis akan mati, sedangkan vili dalam desidua basalis tumbuh terus dan merupakan bagian fetal dari plasenta. Sebagian vili ada yang menanamkan diri kedalam desidua, vili ini disebut jonjot panjang (Haftzotte) karena memancangkan telur pada desidua. Ada juga vili yang ujungnya tidak sampai ke desidua, tetapi terapung dalam darah ibu. Vili ini terutama bertugas mencari makanan. Mula-mula vili itu berbentuk batang saja, tetapi kemudian mengeluarkan cabang-cabangnya. Hal ini sangat memperluas permukaan filtrasi vili tersebut dan berguna karena kebutuhan janin bertambah seriring usianya. Pada minggu ke-16, sel-sel Langhans mulai menghilang. Hal ini menguntungkan bagi kecepatan pertukaran zat antara darah anak dan ibu. Darah anak dan ibu tidak dapat bercampur karena terpisah oleh jaringan yang dinamakan membran plasenta, terdiri dari dua lapisan sinsitium, lapisan sel Langhans, jaringan ikat vilus dan lapisan endotel kapiler. Dengan hilangnya satu lapisan, membran plasenta akan menjadi lebih tipis dan pertukaran zat lebih lancar. Pada akhir bulan ke IV, daya serbu trofoblas berhenti dan pada batas antara jaringan janin dan ibu terdapat lapisan jaringan yang bersifat nekrotik, disebut lapisan fibrin Nitabuch.Pada akhir kehamilan, plasenta akan berbentuk seperti cakram dengan garis tengah 15-20 cm, tebal 2-3 cm, dan berat 500 gr. Plasenta tadi terletak pada dinding rahim sebelah depan atau belakang di dekat fundus. Permukaan fetal adalah permukaan plasenta yang menghadap ke janin, warnanya keputuh-putihan dan licin karena tertutup oleh amnion. Di bawah amnion, tampak pembuluh-pembuluh darah. Permukaan maternal adalah permukaan plasenta yang menghadap ke dinding rahim, warnanya merah dan terbagi-bagi oleh celah-celah. Celah ini tadinya terisi oleh septa (sekat) yang berasal dari jaringan ibu. Oleh celah-celah ini, plasenta terbagi dalam 16-20 kotiledon. Pada penampang sebuah plasenta yang masih melekat pada dinding rahim, tampak bahwa plasenta terdiri dari dua bagian :1. Bagian dari jaringan anak, disebut lempeng penutup atau membrana korii, yang dibentuk oleh amnion, pembuluh-pembukuh darah janin, korion, dan vili2. Bagian yang terbentuk oleh jaringan ibu, disebut lempeng desidua atau lempeng basal, yang terdiri dari desidua kompakta dan sebagian desidua spongiosa, yang kelak ikut lepas bersama plasenta.

E. Patogenesis Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:a) Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.b) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).c) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.d) Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.F. DiagnosaDiagnosis retensio plasenta ditegakkan atas dasar lamanya plasenta lahir setelah kelahiran bayi. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusatUntuk mengetahui plasenta sudah lepas dari tempatnya dapat dipakai beberapa perasat, yaitu : Perasat Kustner : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri menekan daerah diatas simfisis. Bila tali pusat masuk kembali kedalam vagina, berarti tali pusat belum lepas. Perasat Strassman : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri mengetok fundus uterus. Bila terasa pada tali pusat yang diregangkan berarti tali pusat belum terlepas. Perasat Klein : pasien disuruh mengedan, tali pusat tampak turun ke bawah. Bila pengedanannya berhenti dan tali pusat masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.

Pada kasus perdarahan pasca persalinan karena sisa plasenta di dalam kavum uteri, seringkali disebabkan karena plasenta akreta, yaitu plasenta yang melekat erat pada dinding kavum uteri, vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim, yang pada plasenta normal, hanya menanamkan diri sampai batas atas lapisan otot rahim. Plasenta akreta dibedakan menjadi plasenta akreta kompleta (jika seluruh permukaan melekat erat pada dinding rahim), dan plaseta akreta parsialis (hanya beberapa bagian dari plasenta yang melekat erat dengan dinding rahim).Plasenta akreta yang kompleta, plasenta ipnkreta, dan plasenta perkreta jarang terjadi. Penyebab plasenta akreta adalah kelainan desidua, misalnya desidua yang terlalu tipis. Plasenta akreta menyebabkan retensio plasenta.

G. PenangananInspeksi plasenta segera setelah bayi lahir. jika ada plasenta yang hilang, uterus harus diekspl orasi dan potongan plasenta dikeluarkan khususnya jika kita menghadapi perdarahan post partum lanjut.Jika plasenta belum lahir, harus diusahakan mengeluarkannya. Dapat dicoba dulu parasat Crede, tetapi saat ini tidak digunakan lagi karena memungkinkan terjadinya inversio uteri. Tekanan yang keras akan menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras dengan kemungkinan syok.Perasat crede: Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan permukaan belakang. setelah uterus dengan rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir. gerakan jari-jari seperti meremas jeruk. perasat Crede tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena dapat menimbulkan inversion uteri Perasat Crede dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta secara manual.Cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt, yaitu salah satu tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada dinding perut diatas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak dipermukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim. Dengan melakukan penekanan kearah atas belakang, maka badan rahim terangkat. Apabila plasenta telah lepas maka tali pusat tidak tertarik keatas. Kemudian tekanan diatas simfisis diarahkan kebawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan pada tali pusat untuk membantu megeluarkan plasenta. Tetapi kita tidak dapat mencegah plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya melainkan sebagian masih harus dikeluarkan dengan tangan. Pengeluaran plasenta dengan tangan kini dianggap cara yang paling baik. Tehnik ini kita kenal sebagai plasenta manual.

Indikasi Plasenta manual Perdarahan pada kala III persalinan kurang lebih 500 cc Retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir Setelah persalinan yang sulit seperti forceps, vakum, perforasi dilakukan eksplorasi jalan lahir. Tali pusat putus

Tehnik Plasenta ManualSebelum dikerjakan penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus Ringer Laktat. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva, lakukan desinfeksi pada genitalia eksterna begitu pula tangan dan lengan bawah si penolong (setelah menggunakan sarung tangan). Kemudian labia dibeberkan dan tangan kanan masuk secara obstetris ke dalam vagina. Tangan luar menahan fundus uteri. Tangan dalam sekarang menyusun tali pusat yang sedapat-dapatnya diregangkan oleh asisten.Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan pergi ke pinggir plasenta dan sedapat-dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas. Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan ialah antara bagian plasenta yang sudah terlepas dengan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim.Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar.

Penanganan Retensio Plasenta Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan. Penanganan sebagai berikut :a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah. Bila kadar Hb8 gr%, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder. Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral.Plasenta akreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual, tetapi plasenta akreta kompleks tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim. Terapi terbaik plasenta akreta totalis adalah histerektomi.

H. KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi meliputi1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ.3. Syok dan sepsis. 4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak selanjutnya.5. Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan, misalnya manual plasenta: perforasi, meningkatnya kejadian infeksi ascenden.

I. Prognosis Tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya serta efektfitas terapi, diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Pada plasenta akreta, angka mortalitas pada ibu mencapai 7%.

BAB IIIPEMBAHASANA. Kasus Nama : Ny. EWNo. RM: -Umur: 31 tahunParitas : P2A0H0Pendidikan : SMAPekerjaan : Ibu Rumah TanggaAlamat: Kasihan, BantulTanggal masuk: 15 Januari 2014, pukul : 19.14

Pasien datang dari IGD datang dengan keluhan kenceng-kenceng sejak pukul 14.00, keluar lendir dan darah dari jalan lahir, pegel pegel, pusing -, mual -.

B. Anamnesa Keluhan Utama : Kenceng-kenceng teratur dan keluar lender darah dari jalan lahir sejak jam pukul 14.00 Riwayat ObstetriAnak I: Laki-laki/10th/dukun/spontan/3600grAnak II: Hamil ini Riwayat pernikahan : pasien menikah 1 kali pada usia 20th selama 11 th Riwayat KB: KB Suntik selama 4 th Riwayat ANC : 11 kali Riwayat Penyakit Dahulu : a) Riwayat alergi / Asma: disangkal b) Riwayat gangguan mentruasi : teratur, siklus 28 haric) Riwayat perdarahan selama kehamilan : disangkal., d) Riwayat penyakit menular seksual : disangkal e) Riwayat Hipertensi (-) DM (-) Asma (-) alergi makanan/obat (-)

C. Pemeriksaan fisik Status Generalis Keadaan umum : Baik, sadarVital sign: T = 120/80 mmHg, S = 36,2 0C , N = 78 x/mnt, R = 28 x/mnt, TB = 154 Cm, BB = 54 kg Status obstetri dan ginekologi Inspeksi: tidak ada tanda-tanda inflamasi, tidak ada bekas luka.Palpasi: Janin tunggal,memanjang, preskep, punggung kanan, TFU 30cm, HIS 3-4x/10 menit, Auskultasi: DJJ 138x/menitPD: v/u tenang, vagina licin, OUE terbuka 3cm, selaput ketuban +, Air ketuban -, Sarung tangan lender darah +

D. Pemeriksaan PenunjangLaboratorium darah lengkapTanggal 15-1-2014Hemoglobin: 12,2 g/dlLekosit: 12,30 10^3/uLTrombosit: 185 10^3/uLHematokrit: 35,1 vol%Golongan darah: ABPPT: 11,2 detikAPTT: 28,2 detikControl PPT: 13,9 detikControl APTT: 32,4 detikHbsAg: negatip

E. Diagnosis : Post partus spontan dengan manual plasenta a/i retensi plasenta P2A0H0

F. Penatalaksanaan Awasi Keadaan Umum dan Tanda Vital Awasi kontraksi dan tanda perdarahan Cek HB6 jam post partum Amoxicilin 500mg/8jam Asam Mefenamat 500mg/8 jam Sulfas ferosus 1 tab/8 jam Drip oxytocin: metergin (1:1) 20 tpm sampai 6 jam post partum

Riwayat persalinanPukulKeterangan

22.45Ketuban pecah spontan warna jernih, PD: VT: pembukaan lengkap, dilakukan pimpinan persalinan

22.50Bayi lahir pervaginam dengan jenis kelamin laki-laki, BBL: 3150gr, PB:47cm, LK: 33cm, LD: 33cm, LiLA: 10cm, A/S 7/9 dilanjutkan injeksi oxytocin 10 IU/IM

23.05Plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit setelah bayi lahir, injeksi oxytocin kedua 10IU/IM

23.20Palsenta belum lahir, perdarahan 600ml

23.30Plasenta lahir secara manual, eksplorasi bersih, dilanjutkan injeksi metergin 0,2 mg (1 amp), misoprostol 600Mcg (3 tablet/rectal), kontraksi hilang timbul, IVFD oxytocin:metergin 1:1 20 tpm

23.40 Kontraksi kuat, rupture perineum derajat I dialkukan perineoraphy

PEMBAHASAN

Pada kasus kali ini pasien datang dari UGD dengan keluhan kenceng-kenceng, sejak pukul 14.00 tanggal 15 Januari 2014, pasien juga mengeluh keluar lendir darah dari jalan lahir. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis Sekundigravida, aterm, inpartu kala I fase laten. Dilakukan observasi kemajuan persalinan sampai pada pukul 22.45 ketuban pecah spontan dengan warna jernih, pembukaan lengkap dilanjutkan untuk dilakukan pimpinan persalinan, Bayi lahir pervaginam dengan jenis kelamin laki-laki, berat bayi lahir 3150 gram. Setelah bayi dilahirkan diberikan injeksi oxytocin 10IU/IM untuk membantu pengeluaran plasenta, namun setelah 15 menit plasenta belum lahir kemudian dilanjutkan injeksi oxytocin yang kedua 10IU/IM. Plasenta belum lahir lebih dari 30 menit, perdarahan kurang lebih 600ml, kemudian didiagnosis sebagai retensio plasenta berdasarkan definisi dari retensio plasenta yaitu terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah kelahiran bayi. Walaupun jarang terjadi, 2-3% kejadian retensi plasenta kadang terjadi sebagai komplikasi persalinan pervaginam di negara berkembang, dan merupakan penyebab nomer dua perdarahan pasca persalinan setelah atonia uteri, dimana pada pasien selama proses persalinan sampai 30 menit setelah bayi lahir kira-kira terjadi perdarahan 600ml yang mengindikasikan adanya perdarahan pasca persalinan dini yaitu terjadi perdarahan lebih dari 500ml. Pada anamnesis tidak didapatkan informasi mengenai penyakit kronis (jantung, hipertensi, asma, alergi, diabetes mellitus) dari pasien yang membuat kecurigaan terhadap kelainan terutama ukuran plasenta, sebagai contoh pasien dengan pre-eklampsia memiliki kecenderungan untuk memiliki plasenta yang lebih kecil, dimana pada proses pengeluaran plasenta akan lebih sulit. Pasien masih berusia 31 tahun sehingga kemungkinan fungsi dari uterus masih normal karena semakin tinggi usia, dimungkinkan kontraktilitas dan fungsi uterus akan semakin menurun. Dari riwayat paritas dan graviditas diketahui bahwa pasien telah mengandung 2 kali, dimana kelahiran pertama dibantu persalinannya oleh dukun, lahir spontan dengan berat 3600gr dan yang kedua dibantu oleh bidan di RSPS. Jumlahnya paritas belum bisa menjadi faktor resiko untuk terjadinya retensio plasenta, dimana semakin banyak paritas akan mengganggu kontraktilitas uterus pada kehamilan selanjutnya, dan pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya pengeluaran plasenta. Sedangkan pada pemeriksaan fisik, vital sign dalam batas normal, pada pemeriksaan abdomen didapatkan HIS yang baik sebelum persalinan, namun setelah dilakukan manual plasenta, didapatkan kontraksi yang hilang timbul sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa terjadi permasalahan pada kontraksi uterus setelah bayi lahir yang mungkin menjadi penyebab retensio plasenta. Tindakan yang sudah diberikan pada pasien ini setelah bayi lahir adalah pemberian injeksi oksitosin 10IU/IM dan 5IU/IV namun dikarenakan selama 15 menit plasenta belum lahir juga, diberikan injeksi oksitosin kedua 10IU/IM, sebenarnya tindakan tersebut sudah benar, oksitosin diberikan dengan tujuan untuk menimbulkan atau memacu kontraksi yang tujuannya adalah untuk melepaskan plasenta maupun untuk menghentikan perdarahan pada persalinan, namun karena setelah 30 menit hal tersebut tidak bisa berjalan baik, pasien ini kemudian dilakukan tindakan manual plasenta, setelah plasenta lahir dilanjutkan injeksi metergin 0,2 mg (1 amp) dan misoprostol 600Mcg (3 tablet/rectal) untuk membantu kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan. Indikasi dilakukan manual plasenta adalah perdarahan yang banyak dan retensi plasenta, sehingga tindakan pada kasus ini sudah tepat. Namun disini kita juga harus berhati-hati terhadap kemungkinan terjadinya plasenta inkreta maupun perkreta karena keduanya sebenarnya merupakan kontraindikasi dilakukannya plasenta manual karena dapat menyebabkan perlukaan yang luas terhadap uterus sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Komplikasi dari retensi plasenta yang paling sering mengakibatkan kematian adalah kehilangan darah, pasien ini telah kehilangan darah kurang lebih 600cc selama persalinan. Keadaan pasien selama di proses persalinan baik, ditandai dengan vital sign yang dalam batas normal, hasil lab terutama kadar Hb sebelum persalinan baik, namun dikarenakan banyaknya darah yang keluar selama proses persalinan rencana pengecekan Hb 6 jam post partum adalah tepat. Penggunaan amoxicillin 500mg/8jam dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan adanya infeksi pasca persalinan terlebih lagi pada pasien dilakukan manual plasenta yang salah satu komplikasinya adalah peningkatan kejadian infeksi ascenden, sehingga pasien perlu diberikan antibiotik spektrum luas seperti amoxicillin. Pemberian asam mefenamat dimaksudkan untuk mengurangi nyeri yang mungkin timbul atau dirasakan pasien setelah persalinan dan tindakan manual plasenta. Sedangkan Sulfas ferosus berguna untuk membantu pembentukan sel darah merah pada ibu hamil maupun ibu yang sehabis melahirkan, karena dapat menghindari atau mengatasi anemia yang sering menjadi komplikasi dari persalinan, terlebih lagi pada pasien yang mengalami perdarahan >500ml, maka perlu diwaspadai kemungkinan adanya anemia (hb