referat tyroid.doc
-
Upload
rio-oktabyantoro -
Category
Documents
-
view
3 -
download
1
Transcript of referat tyroid.doc
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “ Thyroid”. Referat ini saya
susun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam BLUD RS
Sekarwangi.
Saya mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Camelia
Khairun Nissa Sp. PD yang telah membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan
kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran saya terima dengan tangan terbuka.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak
yang ingin mengetahui sedikit banyak tentang “ Thyroid”.
Cibadak, 10 Agustus 2015
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 1
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 3
BAB II. PEMBAHASAN ............................................................................... 4
2.1. Embriologi kelenjar Thyroid .......................................................... 5
2.2. Anatomi kelenjar tiroid ................................................................... 5
2.2.1.Topografi Kelenjar Thyroid ............................................. 6
2.2.2.Vaskularisasi Kelenjar Thyroid ....................................... 7
2.2.3.Innervasi Kelenjar Thyroid............................................... 8
2.2.4.Aliran Limfe Kelenjar Thyroid ........................................ 9
2.2.5.Struktur Histologis Kelenjar Thyroid................................ 9
2.3.Fisiologi kelenjar Tyroid................................................................... 11
2.3.1.Sintesis Hormon Tiroid..................................................... 11
2.3.2.Sekresi Hormon Thyroid .................................................. 13
2.3.3.Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid.............. 14
2.3.4.Mekanisme Kerja Hormon Thyroid............................... 15
2.3.5.Efek Metabolik Hormon Tiroid ..................................... 15
2.3.6.Efek Fisiologik Hormon Tiroid ..................................... 16
2
2.3.7.Pengaturan Faal Kelenjar Tiroid...................................... 17
2.4 Kelainan Fungsi Tiroid............................................................. 18
2.5 Pemeriksaan Penunjang ........................................................ 26
BAB III. KARSINOMA TIROID
3.1.Definisi....................................................................................... 28
3.2.Epidemiologi.............................................................................. 28
2.3.Etiologi...................................................................................... 29
2.4.Faktor resiko ............................................................................ 29
2.5.Macam-macam neoplasma tiroid ...................................... 29
2.6.Klasifikasi karsinoma tiroid....................................................... 30
2.7.Diagnosis.................................................................................. 34
2.8.Penatalaksanaan....................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 38
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan fungsi dari kelenjar tiroid paling sedikit dikendalikan empat
mekanisme : yaitu sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, di mana hormon pelepas-tirotropin
hipotalamus (TRH) merangsang sintesis dan pelepasan dari hormon perangsang-tiroid hipofisis
anterior (TSH), yang kemudian pada gilirannya merangsang sekresi hormon dan pertumbuhan
oleh kelenjar tiroid; kemudian deiodininase hipofisis dan perifer, yang memodifikasi efek dari
T4 dan T3; autoregulasi dari sintesis hormon oleh kelenjar tiroid sendiri dalam hubungannya
dengan suplai iodinnya; dan stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi reseptor
TSH .
Pengelolaan kelainan kelenjar tiroid dilakukan dengan melakukan uji kadar hormon TSH
dan tiroksin bebas, didasari atas patofisiologi yang terjadi, sehingga akan didapatkan pengelolaan
menyeluruh. Diagnosis dari penyakit tiroid telah banyak disederhanakan dengan
dikembangkannya assay yang peka untuk TSH dan tiroksin bebas. Suatu peningkatan TSH dan
tiroksin bebas yang rendah menetapkan diagnosis dari hipotiroidisme, dan TSH yang tersupresi
dan FT4 yang meningkat menetapkan diagnosis dari hipertiroidisme.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Embriologi kelenjar Thyroid
Kelenjar thyroid berkembang mulai pada minggu keempat kehidupan fetal dengan
membentuk endoderm di medial, tumbuh ke bawah dari pangkal lidah. Proses tumbuh ke bawah
ini dengan cepat membentuk saluran yang disebut ductus thyroglossus. Saluran ini bermuara
pada lidah berhubungan dengan foramen secum. Ujung bawah terbelah menjadi dua lobus dan
akhirnya terletak berhubungan dengan trachea pada sekitar minggu ketujuh. Ductus thyroglossus
kemudian menghilang, tetapi bagian terbawah sering tetap ada dalam bentuk lobus piramidalis.
Melalui pertumbuhan ke dalam dari mesenkim vaskular yang mengelilinginya, sel-sel
endodermal dipisahkan menjadi kelompokan sel kecil, yang dengan cepat membentuk suatu
lumen yang dikelilingi oleh selapis sel-sel. Koloid tampak dalam lumen pada sekitar minggu
kesebelas dan strukturnya sekarang disebut folikel.
Tiroksin tampak ada dalam kelenjar pada perkembangan saat ini. Bersamaan dengan
pembentukan lobus thyroid, berkembang pula badan ultimobranchial dari kantong insang
keempat. Badan ini terdiri atas sel-sel yang berasal dari krista neuralis. Badan ultimobranchial
menjadi satu dengan primordium thyroid dan sel-selnya menyebar menjadi sel-sel C.
2.2. Anatomi kelenjar Thyroid
Thyroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, berwarna merah kecoklatan
dengan konsistensi yang lunak. Kelenjar thyroid terdiri dari dua buah lobus yang simetris.
Berbentuk konus dengan ujung cranial yang kecil dan ujung caudal yang besar. Antara kedua
lobus dihubungkan oleh isthmus, dan dari tepi superiornya terdapat lobus piramidalis yang
bertumbuh ke cranial, dapat mencapai os hyoideum. Pada umumnya lobus piramidalis berada di
sebelah kiri linea mediana.
Setiap lobus kelenjar thyroid mempunyai ukuran kira-kira 5 cm, dibungkus oleh fascia
propria yang disebut true capsule, dan di sebelah superficialnya terdapat fascia pretrachealis
yang membentuk false capsule.
5
2.2.1. Topografi Kelenjar Thyroid
Kelenjar thyroid berada di bagian anterior leher, di sebelah ventral bagian caudal larynx
dan bagian cranial trachea, terletak berhadapan dengan vertebra C 5-7 dan vertebra Th 1. Kedua
lobus bersama-sama dengan isthmus memberi bentuk huruf “U”. Ditutupi oleh m.
sternohyoideus dan m.sternothyroideus. Ujung cranial lobus mencapai linea obliqua cartilaginis
thyreoideae, ujung inferior meluas sampai cincin trachea 5-6. Isthmus difiksasi pada cincin
trachea 2,3 dan 4. Kelenjar thyroid juga difiksasi pada trachea dan pada tepi cranial cartilago
cricoidea oleh penebalan fascia pretrachealis yang dinamakan ligament of Berry. Fiksasi-fiksasi
tersebut menyebabkan kelenjar thyroid ikut bergerak pada saat proses menelan berlangsung.
Topografi kelenjar thyroid adalah sebagai berikut:
• Di sebelah anterior terdapat m. infrahyoideus, yaitu m. sternohyoideus, m.
sternothyroideus, m. thyrohyoideus dan m. omohyoideus.
• Di sebelah medial terdapat larynx, pharynx, trachea dan oesophagus, lebih ke bagian
profunda terdapat nervus laryngeus superior ramus externus dan di antara oesophagus
6
dan trachea berjalan nervus laryngeus recurrens. Nervus laryngeus superior dan nervus
laryngeus recurrens merupakan percabangan dari nervus vagus. Pada regio colli, nervus
vagus mempercabangkan ramus meningealis, ramus auricularis, ramus pharyngealis,
nervus laryngeus superior, ramus cardiacus superior, ramus cardiacus inferior, nervus
laryngeus reccurens dan ramus untuk sinus caroticus dan carotid body.
• Di sebelah postero-lateral terletak carotid sheath yang membungkus a. caroticus
communis, a. caroticus internus, vena jugularis interna dan nervus vagus. Carotid sheath
terbentuk dari fascia colli media, berbentuk lembaran pada sisi arteri dan menjadi tipis
pada sisi vena jugularis interna. Carotid sheath mengadakan perlekatan pada tepi foramen
caroticum, meluas ke caudal mencapai arcus aortae. Fascia colli media juga membentuk
fascia pretrachealis yang berada di bagian profunda otot-otot infrahyoideus. Pada tepi
kelenjar thyroid, fascia itu terbelah dua dan membungkus kelenjar thyroid tetapi tidak
melekat pada kelenjar tersebut, kecuali pada bagian di antara isthmus dan cincin trachea
2, 3 dan 4.8.
2.2.2.Vaskularisasi Kelenjar Thyroid
Kelenjar thyroid memperoleh darah dari arteri thyroidea superior, arteri thyroidea inferior
dan kadang-kadang arteri thyroidea ima (kira-kira 3 %). Pembuluh darah tersebut terletak antara
kapsula fibrosa dan fascia pretrachealis.
Arteri thyroidea superior merupakan cabang pertama arteri caroticus eksterna, melintas
turun ke kutub atas masing-masing lobus kelenjar thyroid, menembus fascia pretrachealis dan
membentuk ramus glandularis anterior dan ramus glandularis posterior.
Arteri thyroidea inferior merupakan cabang truncus thyrocervicalis, melintas ke
superomedial di belakang caroted sheath dan mencapai aspek posterior kelenjar thyroid. Truncus
thyrocervicalis merupakan salah satu percabangan dari arteri subclavia. Arteri thyroidea inferior
terpecah menjadi cabang-cabang yang menembus fascia pretrachealis dan memasok darah ke
kutub bawah kelenjar thyroid.
7
Arteri thyroidea ima biasanya dipercabangkan oleh truncus brachiocephalicus atau
langsung dipercabangkan dari arcus aortae.
Tiga pasang vena thyroidea menyalurkan darah dari pleksus vena pada permukaan
anterior kelenjar thyroid dan trachea. Vena thyroidea superior menyalurkan darah dari kutub
atas, vena thyroidea media menyalurkan darah dari bagian tengah kedua lobus dan vena
thyroidea inferior menyalurkan darah dari kutub bawah. Vena thyroidea superior dan vena
thyroidea media bermuara ke dalam vena jugularis interna, dan vena thyroidea inferior bermuara
ke dalam vena brachiocephalica.
2.2.3.Innervasi Kelenjar Thyroid
Persarafan simpatis diperoleh dari ganglion cervicalis superior dan ganglion cervicalis
media yang mencapai kelenjar thyroid dengan mengikuti arteri thyroidea superior dan arteri
thyroidea inferior atau mengikuti perjalanan nervus laryngeus superior ramus eksternus dan
nervus laryngeus recurrens. Serat-serat saraf simpatis mempunyai efek perangsangan pada
aktifitas sekresi kelenjar thyroid.3, 8.
Nervus laryngeus superior mengandung komponen motoris untuk m. cricothyroidea, dan
komponen sensoris untuk dinding larynx di sebelah cranial plica vocalis. Nervus laryngeus
recurrens mengandung komponen motoris untuk semua otot intrinsik laryngeus dan komponen
sensoris untuk dinding larynx di sebelah caudal dari plica vocalis.
8
Nervus laryngeus superior mempercabangkan ramus internus dan ramus eksternus.
Ramus internus berjalan menembus membrana thyrohyoidea, dinding anterior fossa piriformis
dan mencapai otot-otot lateral serta membawa komponen sensoris untuk dinding larynx di
cranial plica vocalis dan aditus laryngeus. Sedangkan ramus eksternus mempersarafi m.
cricothyroidea. Kerusakan pada nervus laryngeus superior menyebabkan perubahan suara yang
khas dan hilangnya sensasi dalam larynx di cranial plica vocalis.8
Nervus laryngeus recurrens yang terletak dalam sulkus tracheoesophagus memasuki
pharynx dengan melewati bagian profunda tepi inferior m. constrictor pharyngeus inferior dan
berada pada bagian dorsal articulatio cricothyroidea. Kerusakan pada nervus recurrens
menyebabkan paralisis plica vocalis.
2.2.4. Aliran Limfe Kelenjar Thyroid
Pembuluh limfe kelenjar thyroid melintas di dalam jaringan ikat antar lobulus dan
berhubungan dengan anyaman pembuluh limfe kapsular. Dari sini pembuluh limfe menuju ke
lymphonodus cervicalis anterior profunda prelaryngealis, lymphonodus cervicalis anterior
profunda pretrachealis dan lymphonodus cervicalis anterior profunda paratrachealis.
Di sebelah lateral, pembuluh limfe mengikuti vena thyroidea superior dan melintas ke
lymphonodus cervicalis profunda.
2.2.5. Struktur Histologis Kelenjar Thyroid
Kelenjar thyroid hampir seluruhnya terdiri atas kista-kista bulat yang disebut folikel.
Folikel adalah unit struktural dan unit fungsional, terdiri atas epitel selapis kubis yang
mengelilingi suatu ruangan yang berisi koloid. Folikel-folikel bervariasi ukurannya dari diameter
sekitar 50 μm sampai 1 mm dan yang terbesar tampak secara makroskopis. Folikel
dikelilingi oleh membrana basalis yang tipis dan jaringan ikat interstisial membentuk jala-jala
retikulin sekeliling membrana basalis.
Sel-sel folikular biasanya berbentuk kubis, tetapi tingginya berbeda-beda, tergantung
pada keadaan fungsional kelenjar itu. Jika thyroid secara relatif tidak aktif, sel-selnya hampir
9
gepeng. Sedangkan dalam keadaan kelenjar sangat aktif, sel-sel akan berbentuk kolumnar.
Namun keadaan fungsional kelenjar tidaklah harus secara ekslusif berdasarkan pada tingginya
epitel.
Sel-sel folikular semuanya membatasi lumen dan mempunyai inti bulat dengan warna
agak pucat. Di ruang interfolikular, terdapat fibroblast yang tersebar dan serat-serat kolagen yang
tipis. Selain itu, terdapat sejumlah besar kapilar tipe fenestrata yang sering berhubungan
langsung dengan lamina basalis folikel.
Ultrastruktur sel-sel folikular memperlihatkan semua ciri-ciri sel yang pada saat yang
sama membuat, mengekskresikan, menyerap dan mencerna protein. Bagian basal sel-sel ini
penuh dengan retikulum endoplasma kasar. Inti umumnya bulat dan terletak di pusat sel.
Kompleks Golgi terdapat pada kutub apikal. Di daerah ini terdapat banyak lisosom dan beberapa
fagosom besar. Membran sel kutub apikal memiliki mikrovili. Mitokondria, retikulum
endoplasma kasar dan ribosom tersebar di seluruh sitoplasma. Sel-sel C terletak di antara
membrana basalis dan sel-sel folikular. Berbentuk lonjong, lebih besar dan lebih pucat daripada
sel folikular dan juga berisi inti lebih besar dan lebih pucat.
Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang menyatu di bagian tengah
oleh bagian sempit kelenjar, sehingga kelenjar ini tampak seperti dasi kupu-kupu. Kelenjar ini
bahkan terletak pada posisi yang tepat untuk pemasangan dasi kupu-kupu yaitu berada di atas
trakea, tepat di bawah laring. Sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi gelembung-
gelembung berongga, yang masing-masing membentuk unit fungsional yang disebut folikel.
Dengan demikian sel-sel sekretorik ini sering disebut sebagai sel folikel. Pada potongan
mikroskopik, folikel tampak sebagai cincin-cincin sel folikel yang memenuhi lumen bagian
dalam yang dipenuhi koloid, suatu bahan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel
“pedalaman” untuk hormon-hormon tiroid.
Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang dikenal sebagai
tiroglobulin, yang didalamnya berisi hormon-hormon tiroid dalam berbagai tahapan
pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua hormon yang mengandung iodium yang
berasal dari asam amino tirosin:
10
- tetraiodotironin (T4 atau tiroksin)
- triiodotironin (T3)
awalan tetra dan tri serta angka 4 dan 3 di bawahnya menandakan jumlah atom iodium yang
terdapat dalam setiap molekul hormon. Kedua hormon ini, yang secara kolektif disebut sebagai
hormoe tiroid, merupakan regulator penting bagi laju metabolisme basal keseluruhan.
Di ruang interstisium di antara folikel-folikel terdapat sel sekretorik jenis lain, yaitu sel C
(disebut demikian karena mengeluarkan hormon peptida kalsitonin) yang berperan dalam
metabolisme kalsium. Kalsitonin sama sekali tidak berkaitan dengan kedua hormon tiroid utama
di atas.
2.3. Fisiologi kelenjar Tyroid
2.3.1. Sintesis Hormon Tyroid
Bahan dasar untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium, yang keduanya harus
diserap darah oleh sel-sel folikel. Tirosin, suatu asam amino, disintesis dalam jumlah memadai
oleh tubuh, sehingga bukan merupakan kebutuhan esensial dalam makanan. Di pihak lain,
iodium yang diperlukan untuk sintesis hormon tiroid, harus diperoleh dari makanan.
Pembentukan, penyimpanan, dan sekresi hormon tiroid terdiri dari langkah-langkah berikut:
1. Semua langkah sintesis hormone tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di dalam
koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh kompleks Golgi/reticulum endolasma di
sel folikel tiroid. Tirosin menyatu ke dalam molekul tiroglobulin sewaktu molekul besar
ini diproduksi. Setelah diproduksi, tiroglobulin yang mengandung tirosin dikeluarkan dari
sel folikel ke dalam koloid melalui eksositosis.
2. Tiroid menangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid melalui
suatu “pompa iodium” yang sangat aktif atau :iodine trapping mechanism –protein
pembawa yang sangat kuat dan memerlukan energi yang terletak di membran luar sel
folikel. Hampir semua iodium di tubuh dipindahkan melawan gradien konsentrasinya ke
kelenjar tiroid untuk mensintesis hormon tiroid. Selain untuk sintesis hormon tiroid,
iodium tidak memiliki manfaat lain di tubuh.
3. Di dalam koloid, iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam molekul
tiroglobulin. Perlekatan sebuah iodium ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin (MIT).
Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan diiodotirosin (DIT).
11
4. Terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin beriodium untuk
membentuk hormone tiroid. Penggabungan dua DIT (masing-masing mengandung dua
atom iodium) menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid
dengan empat iodium. Penggabungan satu MIT (dengan satu iodium) dan satu DIT
menghasilkan triiodotironin atau T3 (dengan tiga iodium). Penggabungan tidak terljadi
antara dua molekul MIT.
Karena reaksi-reaksi ini berlangsung dalam molekul tiroglobulin, semua produk tetap
melekat ke protein besar tersebut. Hormon-hormon tiroid tetap disimpan dalam bentuk ini di
koloid sampai mereka dipecah dan disekresikan. Diperkirakan bahwa jumlah hormone tiroid
yang secara normal disimpan di koloid cukup untuk memasuk kebutuhan tubuh untuk beberapa
bulan.
Pengeluaran hormone-hormon tiroid ke dalam sirkulasi sistemik memerlukan proses yang
agak rumit karena dua alasan. Pertama, sebelum dikeluarkan, T3 dan T4 tetap terikat ke molekul
tiroglobulin. Kedua, hormon-hormon itu disimpan di tempat ekstrasel pedalaman, lumen folikel;
sebelum dapat memasuki pembuluh darah yang berjalan di ruang interstisium, mereka harus
diangkut menembus sel folikel. Sekresi hormon tiroid pada dasarnya melibatkan “penggigitan”
sepotong koloid oleh sel folikel, sehingga molekul tiroglobulin terpecah menjadi bagian-
bagiannya, dan “peludahan” T4 dan T3 bebas ke dalam darah. Apabila terdapat rangsangan yang
sesuai untuk mengeluarkan hormon tiroid , sel-sel folikel memasukkan sebagian dari kompleks
hormone-tiroglobulin dengan memfagositosis sekeping koloid.
Di dalam sel, butir-butir koloid terbungkus membran menyatu dengan lisosom, yang
enzim-enzimnya kemudian memisahkan hormone tiroid yang aktif secara biologis, T4 dan T3,
serta iodotirosin yang nonaktif, MIT dan DIT. Hormon-hormon tiroid, karena sangat lipofilik,
dengan mudah melewati membran luar sel folikel dan masuk ke dalam darah. MIT dan DIT tidak
memiliki nilai endokrin. Sel-sel folikel mengandung suatu enzim yang dengan cepat
mengeluarkan iodium dari MIT dan DIT, sehingga iodium yang dibebaskan dapat didaur ulang
untuk sintesis lebih banyak hormon. Enzim yang sangat spesifik ini akan mengeluarkan iodium
hanya dari MIT dan DIT yang tidak berguna, bukan dari T4 dan T3.
12
Sekitar 90% produk sekretorik yang dikeluarkan dari kelenjar tiroid adalah dalam bentuk
T4, walaupun T3 memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten dibandingkan T4.
Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian diubah menjadi T3 atau diaktifkan
melalui proses pengeluaran satu iodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal
dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran iodium di jaringan perifer. Dengan demikian,
T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel, walaupun tiroid
mengeluarkan lebih banyak T4.
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik dengan cepat
berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap
berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa
hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan
mampu menimbulkan suatu efek.
terdapat tiga protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid: globulin
pengikat tiroksin (thyroxine binding globulin) yang secara selektif mengikat hormon tiroid –55%
dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasi –walaupun namanya hanya menyebutkan secara khusus
“tiroksin” (T4); albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik, termasuk
10% dari T4 dan 35% dari T3; dan thyroxine-binding prealbumin yang mengikat 35% T4.
2.3.2. Sekresi Hormon Thyroid
Sel-sel thyroid mengambil koloid melalui proses endositosis. Di dalam sel, globulus koloid
menyatu dengan lisosom. Ikatan peptida antara residu beriodium dengan tiroglobulin terputus
oleh protease di dalam lisosom, dan T4, T3, DIT serta MIT dibebaskan ke dalam sitoplasma. T4
dan T3 bebas kemudian melewati membran sel dan dilepaskan ke dalam sirkulasi.
MIT dan DIT tidak disekresikan ke dalam darah karena iodiumnya sudah dibebasakan
sebagai akibat dari kerja intraselular iodotirosin dehalogenase. Hasil dari reaksi enzimatik ini
adalah iodium dan tirosin. Iodium digunakan kembali oleh kelenjar dan secara normal
menyediakan iodium dua kali lipat dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh pompa iodium.
13
2.3.3.Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid
Hormon thyroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, yaitu:
globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin, TBG), prealbumin pengikat tiroksin
(thyroxine-binding prealbumin, TBPA) dan albumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding
albumin, TBA). Kebanyakan hormon dalam sirkulasi terikat pada protein-protein tersebut dan
hanya sebagian kecil saja (kurang dari 0,05 %) berada dalam bentuk bebas.
Hormon yang terikat dan yang bebas berada dalam keseimbangan yang reversibel.
Hormon yang bebas merupakan fraksi yang aktif secara metabolik, sedangkan fraksi yang lebih
banyak dan terikat pada protein tidak dapat mencapai jaringan sasaran.
Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG merupakan protein pengikat yang paling
spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat ini
dibandingkan dengan triiodotironin. Akibatnya triiodotironin lebih mudah berpindah ke jaringan
sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktifitas metabolik triiodotironin lebih
besar.
Perubahan konsentrasi TBG dapat menyebabkan perubahan kadar tiroksin total dalam
sirkulasi. Peningkatan TBG, seperti pada kehamilan, pemakaian pil kontrasepsi, hepatitis, sirosis
primer kandung empedu dan karsinoma hepatoselular dapat mengakibatkan peningkatan kadar
tiroksin yang terikat pada protein. Sebaliknya, penurunan TBG, misalnya pada sindrom nefrotik,
pemberian glukokortikoid dosis tinggi, androgen dan steroid anabolik dapat menyebabkan
penurunan kadar tiroksin yang terikat pada protein.
Hormon-hormon thyroid diubah secara kimia sebelum diekskresi. Perubahan yang
penting adalah deiodinasi yang bertanggung jawab atas ekskresi 70 % hormon yang disekresi. 30
% lainnya hilang dalam feses melalui ekskresi empedu sebagai glukuronida atau persenyawaan
sulfat. Akibat deiodinasi, 80 % T4 dapat diubah menjadi 3,5,3’-triiodotironin, sedangkan 20 %
sisanya diubah menjadi reverse 3,3’,5’-triiodotironin (rT3) yang merupakan hormon metabolik
yang tidak aktif.
14
2.3.4.Mekanisme Kerja Hormon Thyroid
Mekanisme kerja hormon thyroid ada yang bersifat genomik melalui pengaturan ekspresi
gen, dan non genomik melalui efek langsung pada sitosol sel, membran dan mitokondria.
Mekanisme kerja yang bersifat genomik dapat dijelaskan sebagai berikut, hormon thyroid yang
tidak terikat melewati membran sel, kemudian masuk ke dalam inti sel dan berikatan dengan
reseptor thyroid (TR). T3 dan T4 masing-masing berikatan dengan reseptor tersebut, tetapi
ikatannya tidak sama erat. T3 terikat lebih erat daripada T4.
Kompleks hormon-reseptor kemudian berikatan dengan DNA melalui jari-jari “zinc” dan
meningkatkan atau pada beberapa keadaan menurunkan ekspresi berbagai gen yang mengkode
enzim yang mengatur fungsi sel. Ada dua gen TR manusia, yaitu gen reseptor α pada kromosom
17 dan gen reseptor β pada kromosom 3. Dengan ikatan alternatif, setiap gen membentuk paling
tidak dua mRNA yang berbeda, sehingga akan terbentuk dua protein reseptor yang berbeda.
TRβ2 hanya ditemukan di otak, sedangkan TRα1, TRα2 dan TRβ1 tersebar secara luas. TRα2
berbeda dari ketiga reseptor yang lain, yaitu tidak mengikat T3 dan fungsinya belum diketahui.
Reseptor thyroid (TR) berikatan dengan DNA sebagai monomer, homodimer dan heterodimer
bersama dengan reseptor inti yang lain. Dalam hampir semua kerjanya, T3 bekerja lebih cepat
dan 3-5 kali lebih kuat daripada T4. Hal ini disebabkan karena ikatan T3 dengan protein plasma
kurang erat, tetapi terikat lebih erat pada reseptor hormon thyroid.
2.3.5. Efek Metabolik Hormon Tiroid
Hormon tiroid dibutuhkan oleh hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme. Efek
metaboliknya antara lain:
- Termoregulasi (jelas pada miksedema atau koma miksedema dengan temperature
suboptimal) dan kalorigenik.
- Metabolisme protein . Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolic, tetapi dalam
dosis besa bersifat katabolik.
- Metabolisme karbohidrat bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal meningkat,
cadangan glikogen hati menipis , demikian pula glikogen otot menipis dan degradasi
insulin meningkat.
15
- Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid.
Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia, kulit kekuningan.
- Lain-lain: gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus
gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare; gangguan faal
hati; anemia defisiensi Fe dan hipertiroidisme.
2.3.6. Efek Fisiologik Hormon Tiroid
Efeknya membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari. Efek genomnya menghasilkan
panas dan konsumsi oksigen meningkat, pertumbuhan, maturasi otak dan susunan saraf yang
melibatkan Na+K+ATPase sebagian lagi karena reseptor beta adrenergik yang bertambah. Tetapi
ada juga efek yang nongenomik misalnya meningkatnya transport asam amino dan glukosa,
menurunnya enzim tipe 2 5’ –deyodinasi di hipofisis.
- Pertumbuhan fetus. Sebelum minggu 11 tiroid fetus belum bekerja, juga TSHnya. Dalam
keadaan ini karena DIII tinggi di plasenta hormon tiroid bebas yang masuk fetus amat
sedikit, karena diinaktivasi di plasenta. Meski amat sedikit krusial, tidak adanya hormon
yang cukup menyebabkan lahirnya bayi kretin (retardasi mental dan cebol)
- Efek pada konsumsi oksigen, panas dan pembentukan radikal bebas. Kedua peristiwa di
atas dirangsang oleh T3, lewat Na+K+ATPase di semua jaringan kecuali otak, testis dan
limpa. Metabolisme basal meningkat. Hormon tiroid meurunkan kadar superoksida
dismutase hingga radikal bebas anion superoksida meningkat.
- Efek kardiovaskular. T3 menstimulasi a) transkrpsi myosin hc-β dan menghambat myosin
ke hc-β, akibatnya kontraksi otot miokard menguat. b) transkripsi Ca++ATPase di
retikulum sarkoplasma meningkatkan tonus diastolic. c) mengubah konsentrasi protein G,
reseptor adrenergik, sehingga akhirnya hormon tiroid ini punya yonotropik positif. Secara
klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan takikardia.
- Efek simpatik. Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot skelet,
lemak dan limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor adrenergik alfa
miokard, maka sensitivitas terhadap katekolamin amat tinggi pada hipertiroidisme dan
sebaliknya pada hipotiroidisme.
16
- Efek hematopoetik. Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidisme menyebabkan
eritropoesis dan produksi eritropoetin meningkat. Volume darah tetap namun red cell
turnover meningkat.
- Efek gastrointestinal. Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat. Kadang ada diare.
Pada hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit lambung melambat. Hal ini dapat
menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.
- Efek pada skelet. Turnover tulang meningkat resorpsi tulang lebih terpengaruh daripada
pembentukannya. Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam keadaan berat
mampu menghasilkan hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan penanda hidroksiprolin dan cross
link piridium
- Efek neuromuskular. Turnover yang meningkat juga menyebabkan miopati disamping
hilangnya otot. Dapat terjadi kreatinuria spontan. Kontraksi serta relaksasi otot meningkat
(hiperrefleksia)
- Efek endokrin. Sekali lagi, hormon tiroid meningkatkan metabolik turnover banyak
hormon serta bahan farmakologik. Contoh: waktu paruh kortisol adalah 100 menit pada
orang normal tetapi menurun jadi 50 menit pada hipertiroidisme dan 150 menit pada
hipotiroidisme. Untuk ini perlu diingat bahwa hipertiroidisme dapat menutupi (masking)
atau memudahkan unmasking kelenjar adrenal.
2.3.7. Pengaturan Faal Kelenjar Tiroid
1. Autoregulasi
Seperti disebutkan diatas, hal ini lewat terbentuknya yodolipid pada penberian yodium
banyak dan akut, dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff. Efek ini bersifat selflimitting.
Dalam beberapa keadaan mekanisme escape ini dapat gagal dan terjadilah
hipotiroidisme.
2. TSH
TSH disintesis oleh sel tirotrop hipofisis anterior. Banyak homologi dengan LH dan FSH.
Ketiganya terdiri dari subunit α dan β dan ketiganya mempunyai subunit α yang sama,
namun berbeda subunit β. Efek pada tiroid akan terjadi dengan ikatan TSH dengan
reseptor TSH (TSHr) di membrane folikel. Sinyal selanjutnya terjadi lewat protein G
17
(GsA). Dari sinilah terjadi perangsangan protein kinase Aoleh cAMP untuk ekspresi gen
yang penting untuk fungsi tiroid seperti pompa yodium, Tg, pertmbuhan sel tiroid dan
TPO, serta faktor transkripsi TTF1, TTF2 dan PAX8. Efek klinisnya terlihat sebagai
perubahan morfologi sel, naiknya produksi hormone, folikel dan vaskularisasinya
bertambah oleh pembentukan gondok, dan peningkatan metabolisme.
3. TRH (Thyrotrophin Releasing Hormone)
Hormon ini satu tripeptida, dapat disintesis neuron yang korpusnya berada di nucleus
paraventrikularis hipotalamus (PVN). TRH ini melewati median eminence, tempat ia
disimpan dan dikeluarkan lewat sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis.
Akibatnya TSH meningkat. Meskipun tidak ikut menstimulasi keluarnya growth hormone
dan ACTH, terapi TRH menstimulasi keluarnya prolaktin, kadang FSH dan LH. Apabila
TSH naik dengan sendirinya kelenjar tiroid mengalami hiperplasi dan hiperfungsi.
Sekresi hormone hipotalamus dihambat oleh hormon tiroid (mekanisme umpan
balik), TSH, dopamine, hormone korteks adrenal dan somatostatin, serta stress dan sakit
berat (non thyroidal illness)
Kompensasi penyesuaian terhadap proses umpan balik ini banak member informasi
klinis. Sebagai contoh, naiknya TSH serum serig menggambarkan produksi hormone
tiroid oleh kelenjar tiroid yang kurang memadai. Sebaliknya respon yang rata (blunted
response) TSH terhadap stimulasi TRH eksogen menggambarkan supresi kronik di
tingkat TSH karena kebanyakan hormon, dan sering merupakan tanda dini bagi
hipertiroidisme ringan atau subklinis.
2.4.Kelainan kelenjar thyroid
Di luar kelainan bawaan, kelainan kelenjar tiroid dapat digolongkan menjadi dua
kelompok besar, yaitu penyakit yang menyebabkan perubahan fungsi, seperti hipertiroidisme dan
penyakit yang menyebabkan perubahan jaringan dan bentuk kelenjar, seperti struma noduler.
Fungsi tiroid dapat berkurang, normal atau bertambah. Pengurangan fungsi atau hipotiroidisme
dapat disebabkan oleh penyakit hipotalamus, kerusakan kelenjar hipofisis, defisiensi yodium,
obat antitiroid, dan tiroiditis. Juga terdapat keadaan yang dikenal dengan hipotiroidisme
iatrogenik, yang terjadi sesudah tiroidektomi atau setelah terapi dengan yodium radioaktif.
Hipertiroid dapat terjadi pada struma toksik difus (penyakit Graves), struma nodosa toksik,
18
pengobatan berlebihan dengan tiroksin, tiroiditis, struma ovarium rang), dan metastasis luas
karsinoma tiroid terdeferensiasi.
Gangguan autoimun dengan atau tanpa reaksi radang dapat menyebabkan struma
Graves yang bergejala hipertiroid dan struma Hashimoto yang akhirnya mengakibatkan
hipotiroid. Contoh kelainan hiperplasia ialah struma koloid dan struma endemik. Keganasan
terutama disebabkan oleh adeniokarsinoma. Tumor ganas kelenjar tiroid dapat dibagi sesuai
tingkat keganasannya.
Kelainan Fungsi Tiroid
Disfungsi Tiroid Penyebab Konsentrasi Plasma Hormon
yang Bersangkutan
Gondok?
Hipotiroidisme Kegagalan primer kelenjar
tiroid
T3 dan T4, TSH Ya
Sekunder akibat
kegagalan hipotalamus
atau hipofisis anterior
T3 dan T4, TRH dan/atau
TSH
Tidak
Kekurangan iodium dalam
makanan
T3 dan T4, TSH Ya
Hipertiroidisme Adanya immunoglobulin
perangsang TSI (penyakit
Grave)
T3 dan T4, TSH Ya
Sekunder akibat kelebihan
sekresi hipotalamus atau
hipofisis anterior
T3 dan T4, TRH dan/atau
TSH
Ya
Hipersekresi tumor tiroid T3 dan T4, TSH Tidak
Menurut American society for Study of Goiter, struma terbagi menjadi Struma Non
Toxic Diffusa, Struma Non Toxic Nodusa, Struma Toxic Diffusa (grave disease), Struma Toxic
Nodusa (Plummer disease). Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari
segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodusa
dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
19
1. Struma non toxic nodusa = adenomatous goiter
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa
besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas) Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di
dalam nodul Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme.
2. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave disease, yang merupakan penyakit
autoimun. Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s terjadi
akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas
tiroid itu sendiri. Penyakit Grave merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu
penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja
mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari
hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,
oftamopati (eksoftalmus/mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati
Etiologi
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai
hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari
keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya.
Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi
pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahunsampai40tahun.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui
dengan palpasi atau auskultasi :
- Bentuk kista : struma kistik: mengenai 1 lobus, bulat, batas tegas, permukaan licin,
sebesar kepalan, kadang multilobaris, fluktuasi (+)
- Bentuk Noduler : struma nodusa, batas jelas, konsistensi kenyal sampai keras, bila keras
curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
20
- Bentuk diffusa : struma diffusa, batas tidak jelas, Konsistensi biasanya kenyal, lebih
kearah lembek
- Bentuk vaskuler : struma vaskulosa, tampak pembuluh darah, berdenyut, Auskultasi :
Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa, kelejar getah bening: para trakheal dan
jugular vein.
Dari faalnya struma dibedakan menjadi : Eutiroid, Hipotiroid, Hipertiroid.
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi : Nontoksik : eutiroid/hipotiroid, Toksik:
Hipertiroid.
Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid:
- Sangat mencurigakan: riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare, cepat membesar
terutama dengan terapi dengan levotirosin, nodul padat atau keras, sukar digerakkan atau
melekat pada jaringan sekitar, paralisis pita suara, metastasis jauh(paru-
paru),limfadenopati servikal
- Kecurigaan sedang: umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun, pria, riwayat iradiasi
pada leher dan kepala,nodul >4cm atau sebagian kistik,keluhan penekanan termasuk
disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk.
- Nodul jinak :riwayat keluarga: nodul jinak,struma difusa atau multinodosa, besarnya
tetap
FNAB: jinak,kista simpleks,nodul hangat atau panas,mengecil dengan terapi supresi
levotiroksin.
- Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak – anak atau dewasa ( juga meningkatkan
insiden penyakit nodul tiroid jinak ).
Pada hipertiroidisme, apapun penyebabnya, terjadi peningkatan fungsi tubuh, tanda dan
gejala-gejalanya : keringat berlebihan, ketidaktoleranan panas, kulit hangat dan basah, rambut
rontok (alopecia), pergerakan-pergerakan usus besar yang meningkat, gemetaran /tremor,
kegelisahan, agitasi, denyut jantung yang cepat, kadang sesak setelah beraktivitas, kehilangan
berat badan namun nafsu makan meningkat, kelelahan, konsentrasi yang berkurang, sulit tidur,
hiperaktivitas, perubahan pada mata : bengkak di sekitar mata, bertambahnya pembentukan air
mata, iritasi dan peka terhadap cahaya, pandangan kabur, double. Gejala ini akan segera
21
menghilang setelah pelepasan hormon tiroid terkendali, kecuali pada penyakit Graves yang
menyebabkan gangguan mata khusus, Bruit(+).
Gejala dan tanda-tandanya Penyebab
berat badan menurun disertai
dengan nafsu makan
meningkat, takikardi,
kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi hipermetabolisme (basal metabolisme rate
meningkat) dan akibat aktivitas simpatis berlebihan
Jantung berdetak lebih cepat,
berdebar-debar
Metabolisme yang cepat membutuhkan lebih banyak oksigen
sehingga jantung memompa lebih banyak dan cepat
Banyak keluar keringat, kulit
lembab(hangat dan basah)
Hormon tiroid berfungsi untuk meningkatkan metabolisme.
Metabolisme yang cepat menghasilkan banyak panas
Lebih suka hawa dingin,
tidak tahan panas
Keringat yang banyak keluar
Tremor halus ( gemetar ) Pengaruh terhadap saraf simpatis
Lemas, cepat merasa lelah pembakaran kalori yang lebih cepat daripada kecepatan
normal, katabolisme protein berlebih
Eksophthalmus pembengkakan otot-otot ekstraokulus dan pada jaringan
retroorbital. Hal ini mendorong mata ke depan.
Pembengkakan disebabkan oleh infiltrasi limfositik pada
jaringan orbital disertai cairan edema dan mukopolisakarida.
oftalmopati dan infiltrasi
kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah.
Manifestasi ekstratiroid
Gejala dan Tanda Penyakit Graves
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
22
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang
berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila
panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi,
diare dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi
kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50%
sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang,
lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter
difus dan eksoftalmus.
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association
diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction, stare, lid lag)
2 Perbahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphtalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstraokular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Tiroiditis de Quervain: kelainan ini ditemukan sebagai pembengkakan yang nyeri pada
leher bagian anterior, dan berlangsung selama1 atau 2 bulan dan kemudian menghilang spontan
tanpa gejala sisa. Kelenjar tiroid membesar secara simetris dan kadang-kadang terasa nyeri.
Kelenjar tiroid menjadi lunak Nyeri bisa berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya, menyebar ke
rahang dan telinga dan terasa lebih nyeri jika penderita menggerakkan kepalanya atau jika
penderita menelan Kulit diatasnya sering tampak kemerahan dan terasa hangat
Tiroiditis Hashimoto: Tidak menimbulkan nyeri atau rasa penuh di leher. Jika diraba,
kelenjar terasa membesar, teksturnya seperti karet tetapi tidak lembut; kadang terasa berbenjol-
benjol. 20% penderita memililki kelenjar tiroid yang kurang aktif, sisanya memiliki kelenjar
yang berfungsi normal. Banyak penderita yang juga memiliki kelainan endokrin lainnya seperti
diabetes (kencing manis)
23
Supuratif akut : bacterial :Kelainan yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses.
Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri
bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan
tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan.
Index New castle dan index Wayne
INDEX WAYNE
Gjl Subjektif Angka Gjl objektif Ada Tidak
Dyspnoe
d’effort
+1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruit di atas
systole
+2 -2
Capai/lelah +2 Eksoftalmus +2 -
Suka panas -5 Lid retraction +2 -
Suka dingin +5 Lid lag +1 -
Keringat
banyak
+3 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Tangan basah +1 Nadi
Tangan panas -1 80x/mnt - -3
Nafsu makan ↑ +3 80-90x/mnt -
Nafsu makan↓ -3 >90x/mnt +3
BB↑ -3
BB↓ +3
Fibrilasi atrium +4
24
INDEX NEW CASTLE
KLINIS SKOR
Umur mulai timbul gejala 15-24 thn 0
25-34 thn 4 √
35-44 thn 8
45-54 thn 12
>55 thn 16
Psychological precipitant -5
Frequent checking -3
Severe antiopathy anxietas -5
Nafsu makan naik +5
Tiroid teraba +3
Bruit +18
Eksoftalamus +19
Lid retraction +9
Hiperkinesis +4
Tremor halus +4
Nadi > 90 +16
80-90 +8
<80 0
- Indeks New Castle Interprestasinya : -11-(+23) =eutiroid
24-39 =ragu-ragu
40-80 =hipertiroid
- Index Wayne Interprestasinya : <11 = eutiroid
11-18= normal
>19 = hipertiroid
25
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk mengevaluasi nodul tiroid dapat berupa
pemeriksaan laboratorium untuk penentuan status fungsi dengan memeriksa kadar TSHs dan
hormon tiroid,(T3 dan T4), pemeriksaan Ultrasonografi, sidik tiroid, CT scan atau MRI, serta
biopsi aspirasi jarum halus dan terapi supresi Tiroksin untuk diagnostik.
Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves
maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves.
Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada
eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. Pemeriksaan
penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis penyakit
Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin
Pemeriksaan sidik tiroid. Pemeriksaan tersebut dapat memberikan gambaran morfologi
fugsional, berarti hasil pencitraan merupakan refleksi dari fungsi jaringan tiroid. Bahan
radioaktif yang digunakan I-131 dan Tc-99m.Pada sidik tiroid 80-85% nodul tiroid memberikan
hasil dingin (cold), sedangkan 10-15% mempunyai risiko ganas. Nodul panas (hot) dijumpai
sekitar 5% dengan risiko ganas paling rendah, sedang nodul hangat (warm) 10-15% dari seluruh
nodul dengan risiko ganas kurang dari 10%.
Pemeriksaan CT scan dan MRI. Pemeriksaan CT scan (Computed Tomographic
scanning) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak direkomendasikan untuk evaluasi
keganasan tiroid. Karena disamping tidak memberikan keterangan berarti untuk diagnosis, juga
sangat mahal. CT scan atau MRI baru diperlukan bila ingin mengetahui adanya perluasan struma
substernal atau terdapat kompresi/penekanan pada jalan nafas.
Pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Pemeriksaan ini dianggap sebagai metode
yang efektif untuk membedakan nodul jinak atau ganas pada nodul tiroid yang soliter maupun
pada yang multinoduler.
Termografi: Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu
keganasan.
26
BAB III
KARSINOMA TIROID
3.1.Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel) yang terjadi
pada kelenjar tiroid
Gambar 1. Nodul Pada glandula tiroid
3.2.Epidemiologi
Karsinoma tiroid agak jarang di dapat, yaitu sekitar 3-5 % dari semua tumor maligna.
Insiden karsinoma tiroid diperkirakan berkisar antara 36-60 kasus per satu juta populasi per
tahun. Di Amerika Serikat, insiden karsinoma tiroid adalah 4 per 100.000 populasi atau sekitar
0,004% per tahun. Insiden lebih tinggi di negara dengan struma endemik, terutama jenis tidak
berdiferensiasi. Karsinoma tiroid didapat pada semua usia dengan puncaknya pada usia muda (7-
20 tahun) dan usia setengah baya (40-60tahun). Karsionoma jarang ditemukan pada anak-anak
dan insiden meningkang sejalan dengan peningkatan usia. Rasio perbandingan insiden antara
wanita dan pria dilaporkan 2,5 : 1.
27
2.3.Etiologi
Radiasi merupakan merupakan salah satu faktor resiko yang bermakna. Kurang lebih
25% orang yang mengalami radiasi pada usia muda kemudian timbul struma nodosa dan kurang
lebih 25% dari struma ini akan menjadi adenokarsinoma tiroid. Bila radiasi tersebut terjadi pada
usia lebih dari 20 korelasinya kurang bermakna. Masa laten mungkin lama sekali, sampai
puluhan tahun seperti terlihat pada penduduk hiroshima dan penderita lain yang mengalami
radiasi pada lehernya dalam bentuk apappun.
Stimulasi TSH yang lama merupakan salah satu faktor etiologi karsinoma tiroid.
Pemberian diet tanpa garam Jodium pada binatang percobaan, pemberian zat radioaktif atau sub
total tiroidektomi berakibat stimulasi STH meninngkat dan dalam jangka waktu yang lama dapat
terjadi karsinoma tiroid (SOEKIMIN). Faktor lain yang dijuga dilaporkan berhubungan dengan
terdinya karsinoma tiroid adalah jenis kelamin dan kelainan benigna pada tiroid.
2.4.Faktor resiko
Faktor resiko adanya malignansi pada nodul tiroid :
1. Umur <20 tahun, dan > 50 tahun
2. Jenis kelamin laki-laki
3. Pemberian radioterapi sebelumnya pada daerah leher
4. Family MEN II (Multiple Endocrine Neoplasma tipe II)
2.5.Macam-macam neoplasma tiroid
1. Benigna
Penampilan sebagai nodul soliter dari tiroid dengan sisa jaringan palpable. Teoritis
ada adenoma papiler tetapi kebanyakan adenoma folikular. Sangat sukar dibedakan dengan
karsinoma. Oleh karena itu, tindakan selalu pembedahan karena berdasar morfologi sendiri
adenoma selalu tidak dapat dibedakan dengan karsinoma, diagnosis hanya dikonfirmasikan
histologi yang dapat menunjukkan invasi ke kapsula atau ke pembuluh darah.
28
2. Maligna
Rosai J. membedakan tumor tiroid atas adenoma folikular, karsinoma papillare,
karsinoma folikular, “hurtle cell tumors”, “clear cell tumors”, tumor sel skuamous, tumor
musinus, karsinoma medulare, dan karsinoma anaplastik.
Karsinoma tiroid sering hormone-dependent. Misalnya pada TSH dimana mengatur
sekresi normal dari tiroid. Hormone-dependent maksimal pada Ca papiller dan praktis nol
pada tipe anaplastik dan folikuler bervariasi responnya.
2.6.Klasifikasi karsinoma tiroid
1. Klasifikasi karsinoma tiroid menurut WHO :
a. Tumor epitel maligna
· Karsinoma folikulare
· Karsinoma papilare
· Campuran karsinoma folikulare – papilare
· Karsinoma anaplastik (undifferentiated)
· Karsinoma sel skuamosa
· Karsinoma tiroid medulare
b. Tumor non-epitel maligna
· Fibrosarkoma
· Lain-lain
c. Tumor maligna lainnya
· Sarcoma
· Limfoma maligna
· Hemangiotelioma maligna
· Teratoma maligna
d. Tumor sekunder dan unclassified tumor
2. Klasifikasi karsinoma tiroid berdasarkan histopatologi mayor, antara lain :
a. Karsinoma papiler
Karsinoma ini merupakan jenis karsinoma yang banyak diderita pada umur
muda. Sebanyak 1/3 penderita umumnya menunjukkan metastase intraglanduler
29
lymphatic (yang sebelumnya dianggap multisentrik). Metastasis yang paling sering
terutama ke limfonodi servikal, namun karsinoma ini relatif tidak terlalu ganas.
Secara histologis, terciri atas struktur papiler yang sangat bercabang dilapisi sel-
sel yang tersusun tidak teratur dengan inti yang umumnya jernih opaque. Benda-benda
psamoma (konkremen kapur dengan susunan berlapis konsentris) sering didapatkan. Di
samping daerah papiler, sering terdapat campuran dengan bagian folikuler.
b. Karsinoma folikuler
Karsinoma folikuler biasanya terjadi pada penderita yang lebih tua. Karsinoma
ini bersifat lebih ganas dibandingkan tipe papiler. Selain itu, karsinoma ini sering
merupakan komplikasi dari adenoma benigna soliter ataupun struma multinoduler.
Metastasis jauh sering ditemukan terutama secara hematogen ke dalam otot dan paru.
Secara histologi, sering menyerupai jaringan kelenjar tiroid normal. sel
berukuran medium dan teratur dalam berkas atau trabekula dengan daerah folikuler
yang teratur. Oleh karena secara mikroskopik terlihat sel teratur dalam bentuk aciner
(sel kolumner rendah atau kuboid), terkadang digambarkan seperti halnya karsinoma
alveolar. Bentuk khusus karsinoma folikular adalah karsinoma sel hurtle, terdiri dari sel-
sel eosinofil, granular halus yang mengandung banyak mitokondria.
c. Karsinoma anaplastik
Karsinoma jenis ini merupakan tumor yang tidak menunjukkan diferensiasi ke
arah folikuler ataupun papiler dan terdiri dari rangkaian sel-sel solid yang tidak
mempunyai aspek khas untuk karsinoma meduler. Biasanya diderita pada usia lanjut.
Penyebaran biasanya secara limfogen ataupun hematogen pada stadium awal.
Secara histologi, terdapat 2 tipe sel yaitu tipe small cell dan giant cell. Kedua
tipe menunjukkan gambaran pleomorphi tetapi tipe giant cell lebih ganas.
d. Karsinoma meduler
Karsinoma ini berasal dari sel parafolikuler C (derivat dari corpus
ultimobranchial) dan beberapa ragu-ragu bahwa ini berasal dari jaringan tiroid. Ada 2
tipe, yaitu familial dan sporadis. Tipe familial sering melibatkan dua lobus dan dapat
berasal multifocal sebagai sel parafolikular pada jaringan interstisial dari kelenjar tiroid.
Metastasis dengan limfonodi dalam persentase yang tinggi penderita dan
prognosis buruk. Tipe sporadis biasanya unilobar dan kurang malignant.
30
Histologi menunjukkan karakter undifferentiated terdiri dari berkas-berkas gel
bulat dan dapat menyerupai tumor karsinoid. Karakteristik adanya amiloid baik
mikroskopik maupun makroskopik. Tumor juga menyebabkan kelainan biokimia karena
kenaikan sekresi dari :
· Kalsitonin (hipokalsemia, osteoporosis, pembesaran paratiroid, dan sakit tulang)
· 5-hidroksitriptamine seperti pada karsinoid (dengan manifestasi diare)
· ACTH (nampak cushingoid)
e. Karsinoma epidermoid
Karsinoma ini merupakan kanker sekunder berasal dari luar, biasanya dari
perluasan sekunder kanker esofagus atau faring. Dalam klinik terkadang ditemukan
adenoma maligna (perubahan menjadi ganas dalam adenoma. Karsinoma yang terjadi
awalnya dapat berupa struma nodular soliter. Bisa berupa occult (tersembunyi) bila
yang primer tidak palpabel tetapi pasien biasanya menampilkan metastasis pada
limfonodi di dekatnya (thyroid aberrant lateral).
Klasifikasi TNM Karsinoma Tiroid
T – Tumor primer
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak didapatkan tumor primer
T1 Tumor ? 1 cm, terbatas di tiroid
T2 Tumor > 1cm tapi tidak lebih dari 4 cm, masih terbatas di tiroid
T3 Tumor > 4cm, terbatas di tiroid atau tumor ukuran berapapun dengan ekstensi
ekstra tiroid yang minimal (misal ke m. sternocleidomastoideus atau kelenjar
paratiroid
T4a Tumor telah berekstensi keluar kapsul tiroid dan menginvasi daerah berikut :
jaringan subkutis, laring, trakea, esophagus, n. laryngeus reccurens
T4b Tumor menginvasi fascia prevertebralis, pembuluh mediastinal atau arteri karotis
T4a* Tumor ukuran berapapun yang masih terbatas pada tiroid
T4b* Tumor ukuran berapapun yang berekstensi keluar kapsul tiroid
*khusus pada karsinoma anaplastik
N – Kelenjar limfe regional
31
Nx Kelenjar limfe tidak dapat dinilai
N0 Tidak didapatkan metastase kelenjar limfe
N1 Terdapat metastase kelenjar limfe
N1a Metastase kelenjar limfe servikal ipsilateral
N1b Metastase kelenjar limfe bilateral, midline, atau cervical kontralateral atau
mediastinum
M – Metastase jauh
Mx Metastase tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Terdapat metastase jauh
Stadium Klinis Karsinoma Tiroid
1. Karsinoma tiroid papilare atau folikulare < 45 tahun
Stadium Tumor (T) Nodul (N) Metastasis jauh (M)
Stadium I Tiap T Tiap N M0
Stadium II Tiap T Tiap N M1
2. Karsinoma tiroid papilare dan folikulare umur ? 45 tahun dan medulare
Stadium Tumor
(T)
Nodul
(N)
Metastasis jauh
(M)
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3
T1, T2, T3
N0
N1a
M0
M0
Stadium
IVA
T1, T2, T3
T4a
N1b
N0, N1
M0
M0
Stadium
IVB
T4b Tiap N M0
Stadium Tiap T Tiap N M1
32
IVC
3. Karsinoma anaplastik / undifferentiated (semua kasus pada stadium IV)
Stadium Tumor
(T)
Nodul
(N)
Metastasis jauh
(M)
Stadium
IVA
T4a Tiap N M0
Stadium
IVB
T4b Tiap N M0
Stadium
IVC
Tiap T Tiap N M1
2.7.Diagnosis
Prosedur diagnostik dari karsinoma tiroid adalah :
1. Anamnesis
a. Pengaruh usia dan jenis kelamin
Apabila nodul tiroid terjadi pada usia dibawah 20 tahun atau diatas 50 tahun dan jenis
kelamin laki-laki mempunyai resiko malignansi lebih tinggi
b. Pengaruh radiasi di daerah leher dan kepala
Radiasi pada masa anak-anak dapat menyebabkan malignansi pada tiroid ± 33-37 %
c. Kecepatan tumbuh tumor
· Nodul jinak membesar dalam waktu yang tidak terlalu cepat
· Nodul ganas membesar dalam waktu yang cepat
· Nodul anaplastik membesar dengan sangat cepat
· Kista dapat membesar dengan cepat
d. Riwayat gangguan mekanik di daerah leher
Keluhan gangguan menelan, perasaan sesak, perubahan suara dan nyeri dapat terjadi
akibat desakan dan/atau infiltrasi tumor.
e. Riwayat penyakit serupa pada keluarga
33
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada tumor primer dapat berupa suatu nodul soliter atau multipel dengan konsistensi
yang bervariasi dari kistik sampai dengan keras bergantung kepada jenis patologi
anatominya.
b. Perlu diketahui ada atau tidaknya pembesaran kelenjar getah bening regional.
c. Perlu dicari ada tidaknya benjolan pada kalvaria, tulang belakang, klavikula, sternum, dll,
serta tempat metastasis jauh lainnya yaitu paru-paru, hati dan otak.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
· Human Thyroglobulin ; suatu tumor marker untuk keganasan tiroid ; jenis yang
berdiferensiasi baik, terutama untuk follow up.
· Pemeriksaan kadar FT4 dan TSHS untuk menilai fungsi tiroid
· Kadar kalsitonin hanya untuk pasien yang dicurigai karsinoma meduler.
b. Pemeriksaan radiologis
· Dilakukan pemeriksaan foto paru posterior anterior, untuk menilai ada tidaknya
metastasis, foto polos leher antero-posterior dan lateral dengan metode “soft tissue
technique” dengan posisi leher hiper ekstensi, bila tumor besar. Untuk melihat ada
atau tidaknya mikrokalsifikasi.
· Esofagogram dilakukan bila secara klinis terdapat tanda-tanda adanya infiltrasi ke
esophagus
· Pembuatan foro tulang dilakukan bila ada tanda-tanda metastasis ke tulang yang
bersangkutan
c. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Diperlukan untuk mendeteksi nodul yang kecil atau nodul posterior yang secara
klinis belum dapat dipalpasi. Disamping itu dapat dipakai untuk membedakan nodul
yang padat dan kistik serta dapat dimanfaatkan untuk penuntun dalam tidakan biopsi.
d. Pemeriksaan sidik tiroid
Bila nodul menangkap lebih sedikit dari jaringan tiroid yang normal disebut
nodul dingin (cold nodule), bila sama afinitasnya maka disebut nodul hangat (warm
nodule) dan bila afinitasnya lebih maka disebut nodul panas (Hot nodule).
34
Karsinoma tiroid sebagai besar adalah nodul dingin. Sekitar 10-17% struma
dengan nodul dingin ternyata adalah suatu keganasan. Bila akan dilakukan pemeriksaan
sidik tiroid, maka obat-obatan yang mengganggu penangkapan iodium oleh tiroid harus
dihentikan selama 2-4 minggu sebelumnya.
e. Pemeriksaan sitologi BAJAH.
Keberhasilan dan ketepatan hasil BAJAH tergantung atas 2 hal yaitu faktor
kemampuan pengambilan sampel dan faktor ketepatan interpretasi oleh seorang sitolog
sehingga angka akurasinya sangat bervariasi. Ketepatan pemeriksaan ini pada
karsinoma tiroid anaplastik, medulare dan papilare hampir mendekati 100%, tetapi jenis
folikulare hampir tidak dapat dipakai karena gambaran sitologi untuk adenomatosus
goiter, adenoma folikulare dan adeno karsinoma folikuler adalah sama, tergantung dari
gambaran invasinya ke kapsul dan vaskular yang hanya dapat dilihat dari gambaran
histopatologi.
f. Pemeriksaan histopatologi
· Merupakan pemeriksaan diagnostik utama jaringan diperiksa, setelah dilakukan
tindakan lobektomi atau isthmolobektomi
· Untuk kasus inoperabel, jaringan yang diperiksa diambil dari tindakan biosi insisi.
2.8.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karsinoma thyroid tergantung pada jenis, penyebaran sel kanker,
ketersedian alat, dan ketersedian sumber daya manusia yang mengerjakanya. Pada penderita
karsinoma thyroid dilakukan tindakan pembedahan yang bisa dikuti dengan radioterapi
tergantung jenis histopatologis dan stadiumnya. Pemeriksaan klinis penting untuk menentukan
apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna.
Bila nodul tersebut suspek maligna dibedakan atas apakah kasus tersebut operabel atau
inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan
pemeriksaan histopatologi secara blok parafin. Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan
radiasi eksterna atau kemoradioterapi.
35
Gambar 1. bagan penatalaksanaan neoplasma tiroid
Bila nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan isthmolobektomi
dan pemeriksaan potong beku (VC). Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat :
1. Lesi jinak maka tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi
2. Karsinoma papilare.
Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko rendah berdasarkan klasifikasi AMES. Bila
risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi. Bila risiko tinggi
dilakukan tindakan tiroidektomi total.
3. Karsinoma Folikulare à dilakukan tindakan tiroidektomi total
4. Karsinoma Medulare à dilakukan tindakan tiroidektomi total
5. Karsinoma Anaplastik
36
Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total. Bila tidak memungkinkan,
cukup dilakukan tindakan debulking dilanjutkan dengan radiasi eksterna atau
khemoradioterapi.
Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan FNAB/BAJAH (Biospi
Aspirasi Jarum Halus). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin didapat yaitu :
1. Hasil FNAB suspek maligna, “foliculare Pattern” dan “Hurthle Cell”.
Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti diatas.
2. Hasil FNAB benigna
Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6 bulan kemudian
dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti dengan tindakan observasi dan apabila
nodul tersebut tidak ada perubahan atau bertambah besar.sebaiknya.dilakukan tindakan
isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti diatas.
37
Daftar Pustaka
1. Ganong, William. Kelenjar Thyroid, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi kedua puluh.
Jakarta, McGraw-Hill & EGC. 2003.
2. Guyton, Arthur C. Hormon Thyroid, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, edisi ketiga.
Jakarta, EGC. 1995.
3. Geneser, Finn. Kelenjar Thyroid, Buku Teks Histologi, jilid 2, edisi pertama. Jakarta,
Binarupa Aksara.1994.
4. Sadler, T. W. Glandula Thyroidea, Embriologi Kedokteran Langman, edisi ketujuh. Jakarta,
EGC. 2000.
5. Sabiston, David C. Glandula Thyroidea, Buku Ajar Ilmu Bedah, jilid 1. Jakarta, EGC. 1995.
6. Sloane, Ethel. Kelenjar Thyroid, Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula, edisi pertama. Jakarta,
EGC.2004.
7. Guibson, John. Kelenjar Thyroid, Fisiologi & Anatomi untuk Perawat, edisi kedua. Jakarta,
EGC. 2003.
8. Moore, Keith L. and Anne M. R. Agur. Glandula Thyroidea, Anatomi Klinis Dasar. Jakarta,
Hipokrates. 2002.
9. Putz, R. and R. Pabst. Neck, Sobotta, Atlas of Human Anatomy, part 1, 12th edition. Los
Angeles, Williams & Wilkins. 1999.
10. Kierszenbaum, Abraham L. Endocrine System, Histology and Cell Biology, an Introduction
to Pathology, 1st edition. Philadelphia, Mosby, Inc. 2002.
11. Junqueira, L. Carlos, et al. Tiroid, Histologi Dasar, edisi kedelapan. Jakarta, EGC. 1998.
12. Price, Sylvia Anderson, et. al. Gangguan Kelenjar Thyroid, Patofisiologi, Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, edisi keenam. Jakarta, EGC. 2006.
38