REFERAT THT.docx

download REFERAT THT.docx

of 29

Transcript of REFERAT THT.docx

BAB 1PENDAHULUANLatar BelakangKarsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besartumor ganas, dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan karsinoma nasofaring mendapat persentase hampir 60% dari tumordi daerah kepala danleher,diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak dibawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting didalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.1Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis semakin buruk.1

2.1. Rumusan Masalah1. Apakah definisi, epidemiologi, etiologi dan patofisiologi dari karsinoma nasofaring?2. Bagaimanakah gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding dan terapi dari karsinoma nasofaring?3. Bagaimana stadium, komplikasi dan pencegahan dari karsinoma nasofaring?Tujuan1. Mampu menjelaskan definisi, epidemiologi, etiologi dan patofisiologi karsinoma nasofaring2. Mampu mendiagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding serta mampu menentukan terapi dengan tepat.3. Mampu menjelaskan stadium, komplikasi serta pencegahan karsinoma nasofaringManfaatMemberikan informasi dan pengetahuan baik bagi penulis maupun pembaca tentang diagnosis dan penatalaksanaan penyakit karsinoma nasofaring.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.2. Anatomi dan Fisiologi Nasofaring1. 1. Anatomi NasofaringNasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku diatas, belakang dan lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas : os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior : koana dan palatum molle, batas posterior : vertebra cervikal, batas inferior: permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.2,3,4Batas-batas nasofaring :a. Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fasciab. Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.c. Anterior : koana, oleh os vomer dibagi atas koana kanan dan kiri.d. Posterior : Vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yangberisi jaringan longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atase. Lateral : Mukosa lanjutandari mukosa atasdan belakang Muara tuba eustachii Fossa rosenmulleri4

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustacius. Pada bagian belakang atas muara tuba austacius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius, dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustacius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah. 4Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot kontriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intracranial. 4

Gambar 1. Anatomi nasofaring

1. 2. Fisiologi NasofaringNasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, dasarnya dibentuk oleh palatum mole. Nasofaring akan tertutup bila palatum mole melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah mengucapkan kata-kata tertentu. 4,10,11Struktur penting yang ada di nasofaring :a. Aditus tubae auditivae, pintu masuk canalis tubae auditivae, letaknya di belakang concha nasalis inferior diatas palatum molle.b. Torus tubarius, tonjolan diatas aditus tubae auditivae yang disebabkan oleh kartilago tubae auditivae.c. Torus levatorius, penonjolan dibawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator velli palatini.d. Plica salpingopalatina, lipatan didepan torus tubariuse. Plica salpingopharingea, lipatan dibelakang torus tubarius merupakan penonjolan dari musculus salpingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.f. Recessus pharyngeus, disebut juga rossenmuller. Merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.g. Tosila pharyngea, terletak dibagian superior nasopharyng. Disebut adenoid, jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflamasi disebut adenoiditis. Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan mencapai titikoptimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior dan dorsal nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas hidung.

h. Tonsila tubae, terdapat pada ressesus pharyngeus.i. Isthmus pharyngeus, merupakan suatu penyempitan diantara nasofaring dan orofaring karena muskulus sphincterpalatopharyng. 4,10,11

Gambar 2. Fossa os Rosenmuller

Fungsi nasopharing : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung4

2.3. Karsinoma Nasofaring1. 1. Definisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.21. 2. EpidemiologiAngkakejadianKankerNasofaring(KNF)diIndonesiacukuptinggi, yakni47 kasus/tahun/100.000 pendudukatau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based). Sekitar 716(8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomiFKUnairSurabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THTSemarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi. Dalampengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasienkarsinoma nasofaring dariras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya. 1,2,4Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaringyangdiadakandiSingapuratahun1964 dandari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan pentingdi semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family. 4,5

KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagaiNegara,maupun yangtersebardalam5 benua.Tetapi,insidenKNF lebihrendah dari1/10 di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong) dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong padalaki-lakimencapai20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun2002 ditemukan sekitar 80,000 kasusbaru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasusmeninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasuspada penduduk lokaldari AsiaTenggara, Eskimodi Artikdan penduduk diAfrika utaradantimur tengah. 1,2,4Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNFberbeda-bedapada daerah dengan insidenyang bervariasi.Padadaerah dengan insiden rendah, insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insidentinggiKNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknyapadaumur40-59tahundanmenurun setelahnya. 1,2,41. 3. EtiologiRas mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura,dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalahpenelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yangbermaknadalamterjadinyaKankerNasofaring(KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiriatas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoamenunjukkan angkakejadianyang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran inidibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF)padakelompokmigran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masihmengandung gen yang memudahkan untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karenapola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap,diasin),bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. 1,3,4,5DijumpainyaEpstein-BarrVirus(EBV),pada hampir semua kasus KNFtelah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang penelitimen jumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadiumpenyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnyabahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan. 1,4Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier daripasien KNFdengan keganasanpada organtubuh lain.Suatu contohterkenal diCina selatan,satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaringmenderita keganasan organ lain. 5Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debukayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami(Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antaraterjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beberapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA (Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yang ada di alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukandi nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBVdanmempromosikan pembentukan KNF(genesis). 5,6,71. 4. PatofisiologiVirus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili Herpes viridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). 6

KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerahcekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang didugaberhubungan dengan KNF, yaitu :a. Infeksi EBVVirus Epstein-BarrVirus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dansel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yangberantaidimulai dari masuknya EBVke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR(Polimeric Immunogloblin Receptor). 7,8,9Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein-barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematianvirus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel danvirus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambatsikluslitikvirus.Diantaragen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1.Strukturprotein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujungN, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuksinyalTNF (tumornecrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.6,7b. GenetikWalaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapikerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memilikiagregasifamilial. Analisis korelasi menunjukkan genHLA(humanleukocyteantigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentananterhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p4502E1 bertanggung jawabatas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. 6,7Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebihbesar menderita karsinoma nasofaring.Studidi Cina dengan keluargamenderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Orang-orang dengan HLAA*0207 atau B*4601 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring.7c. Faktor lingkunganSejumlah besar studi kasus yang dilakukan padapopulasi yang berada di berbagaidaerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene(NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkinmerupakan faktorkarsinogenikkarsinomanasofaring.Selainitumerokokdanperokokpasifygterkenapaparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkankembali infeksi dari EBV. 7,91. 5. Gejala KlinisGejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu :A. Gejala nasofaringEpistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala sebelum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor). 4B. Gejala telingaGangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (Fossa rosen-muller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). 4C. Gejala mata dan sarafKarena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma. Penjalaran melaui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan V. Sehingga tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien ke dokter. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson atau sindroma reptroparotidean dengan tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum, faring atau laring, m. sternocleidomastoideus, m. Trapezeus. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi, biasanya prognosis buruk. 4D. Gejala leherSuatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di Cina yaitu 3 betuk yang mencurigakan pada nasofaring, seperti pemesaran adeniod pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nsofaring. Kelainan ini bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinomma nasofaring. 41. 6. Pemeriksaan FisikPemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior dan nasofaringoskop serta fibernasofaringoskopi. Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnoduldenganatautanpaulserasipada permukaan atau massa yangmenggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpailesipada nasofaring sehinggaharus dilakukanbiopsi dan pemeriksaan sitologi. 10,11,12

2.4. Pemeriksaan Penunjang1. 1. Pemeriksaan BiopsiDiagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atausitologikdapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atausikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.13,14Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media kenasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. 15Biopsymelaluimulutdenganmemakaibantuankateternelatonyangdimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarikkeluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukanpengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis. 13,141. 2. Pemeriksaan SitologiA. Squamous Cell CarcinomaIntisquamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang dengan khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti dan membran intilebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat khromasia di antara inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus adalah inti lebih kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi ke arah squamouscell. Bila keratinisasi tidakterlihat maka dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggirselmerupakanpenuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai squamous cell carcinoma. 17,18,19

Gambar 3. Sitologi : Menunjukkan kelompok karsinoma skuamosa keratinisasi yang metastasis ke kelenjar getah bening.

B. Undifferentiated CarcinomaGambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma berupa kelompokansel-sel berukuranbesar yangtidak berdiferensiasi, intiyang membesardan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang,dijumpailatarbelakangsel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Dijumpai gambaran mikroskopis yang sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan metastase pada kelenjar getah bening regional. 16,18

Gambar 4. Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated dengan latar belakang limfosit, tampak sitoplasma yang eosinofilik dan anak inti yang prominen1. 3. Pemeriksaan Histopatologia. Keratinizing Squamous Cell CarcinomaPadapemeriksaanhistopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. Dijumpai adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit,sel plasma, neutrofildaneosinofilyangbervariasi.Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan stratified. Batas antarseljelasdandipisahkanoleh intercellularbridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyakmengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls. 19

Gambar 5. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

b. Non Keratinizing Squamous Cell CarcinomaPadapemeriksaanhistopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasmalebih kecil, inti lebih hiperkhromatikdan anak inti tidak menonjol. 18,19

Gambar 6. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

c. Undifferentiated CarcinomaPada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor seringtampakterlihattumpangtindih. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti selplasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang) .Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiatedyaitu tipeRegauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastiktumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma. Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma nasofaring dan large cell malignantlymphoma,dimanaintidarikarsinomanasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anakinti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebihi regular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiatedmemiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindle. 18,19

Gambar 7. Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaransyncytial yang difus (Schmincke type)1. 4. Pemeriksaan SerologiPemeriksaanserologiIgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut(stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyaktiter160.IgA anti EAsensitivitasnya 100% tetapispesifitasnyahanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.14,191. 5. CT Scan dan MRICT Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui CT Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan dilakukan. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:a. Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor padadaerah nasofaringb. Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebutc. Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.12,18

Gambar 8. CT Scan karsinoma nasofaring

Gambar 9. MRI karsinoma nasofaring2.5. Diagnosis Banding1. HiperplasiaadenoidBiasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anakhyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma.12,142. AngiofibromajuvenilisBiasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumorini kaya akanpembuluh darahdan biasnya tidakinfiltrative. Pada foto polos didapat suatu massa pada atap nasofaring yangberbatastegas.Proses dapat meluassepertipada penyebaran karsinoma, walaupun jarangmenimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karenapenekanantumor.Biasanyaada pelengkungan ke arahdepandaridindingbelakangsinus maksilaris yang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang sulit membedakan angiofibromajuvenilsdenganpoliphidungpadafotopolos. 14,18,193. Tumor sinus sphenooidalisSangat jarang, biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaanpertama. 12,144. Neurofibroma Kelompoktumoriniseringtimbulpadaruangfaringlateralsehinggamenyerupaikeganasandindinglateralnasofaring.Secara CT Scan, pendesakan ruang para faring ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor inidengan KNF. 14,185. Tumorkelenjarparotis Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agakdalammengenairuangparafaringdan menonjolke arahlumen nasofaring.Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kearahmedialyang tampak pada pemeriksaan CT Scan.14,16,186. ChordomaTanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untukmembedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT scan dapatmembantumelihatapakahada pembesaran kelenjar cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening. 14,157. MeningiomabasiskraniiWalaupuntumoriniagakjarangtetapi gambarannya kadang-kadang meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT scan meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini. 142.6. Stadium Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (UnionInternationale Contre Cancer) sebagai berikut :T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannyaT0: Tidak tampak tumorT1: Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaringT2: Tumor meluas ke jaringan lunakT2a: Perluasan tumor ke orofaring atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringT2b: Disertai perluasan ke parafaringT3: Tumor meluas struktur tulang dan sinus paranasalT4: Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otakN = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regionalNX : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilaiN0 : Tidak ada pembesaran kelenjarN1: Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkanN2: Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkanN3: Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,yang sudah melekat pada jaringan sekitar.M = Metastase, menggambarkanmetastase jauhMx: Metastasis jauh tidak dapat dinilaiM0: Tidak ada metastase jauhM1 : Terdapat metastase jauhBerdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium 0: T1s N0 M0StadiumI: T1N0M0StadiumIIA:T2aN0M0Stadium IIB: T1 N1 M0StadiumIII:T1N2M0StadiumIVa:T4N0,N1,N2M0Stadium IVb: semua T N3 M0Stadium Ivc: semua T semua N M1

Menurut American Joint Committee Cancer, tumor staging dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : Tis:CarcinomainsituT1:Tumoryangterdapatpadasatusisidarinasofaringatautumoryang takdapat dilihat, tetapihanya dapatdiketahui darihasil biopsi.T2:Tumoryangmenyerangduatempat,yaitu dinding postero-superior dan dinding lateral.T3:Perluasantumorsampaikedalamronggahidungatauorofaring.T4:Tumoryangmenjalarke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau keduanya).42.7. Komplikasi Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yangbermanifestasi dalam bentuk :A. PetrosphenoidSindrom tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampaisinuskavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan kelainan :a. Neuralgiatrigeminus(N.V):Trigeminalneuralgiamerupakansuatunyeripada wajahsesisiyang ditandaidengan rasaseperti terkena aliran listrik yangterbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.b. Ptosis palpebra ( N. III )c. Ophthalmoplegia (N.III, N.IV, N.VI)

B. RetroparideansindromTumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi kesekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :a. N.IX:kesulitanmenelankarenahemiparesisototkonstrikto superiorserta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.b. N.X:hiper/hipoanestesimukosapalatummole,faringdan laringdisertai gangguan respirasi dan salivac. N XI :kelumpuhan/ atrofim.trapezius, otot SCMserta hemiparesepalatum moled. N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.e. Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.C. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organtubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalampenelitianlain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-parudan tulang,masing-masing20 %,sedangkan kehati10 %,otak 4%, ginjal0.4%, dan tiroid 0.4 %.11,12,17

2.8. Penatalaksanaan A. RadioterapiSampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karenakebanyakan tumorini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna,dapat menggunakan pesawat kobal(Co60) atau dengan akselerator linier (linierAccelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbulion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi :a. Rantai ganda DNA pecahb. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNAc. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah darisel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker. Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhi terapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primertetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.Hasil pengobatanyang dinyatakandalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung padastadiumtumor. Makin lanjut stadium tumor,makin berkurangresponsnya. UntukstadiumIdan II, diperolehrespons komplit80%-100%dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yangtinggi,yaitu50%-80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit. 18,19B. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkanhasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut ataupadakeadaan kambuh. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi bila setelah mendapat terapi utama yang maksimal ternyata :a. Kankernyamasihada, biopsimasihpositifb. Kemungkinan besar kankernya masihada,meskipun tidakada buktisecaramakroskopisc. Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh)Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leherdibagi menjadi :a. Neoadjuvant atau induction chemotherapy (pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi)b. Concurrent simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan dengan penyinaran atau operasi)c. Post definitivechemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi)

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaandengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkansurvivalpasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or concomitant chemoradiotherapy) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah selkankeryangradio resisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada selkanker yang sublethal. 14,16,18,19C. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atauadanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan denganpemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atauadanyaresidupadanasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.4D. ImmunoterapiKemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi, yaitu dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh pasien dimana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas baru terhadap EBV. 4

2.9. Pencegahana. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barryang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.b. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.c. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untukmencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.d. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkankeadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.e. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini. 16,18

BAB IIIPENUTUP3.1. Kesimpulana. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.b. Di Indonesia, karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besartumor ganas dengan frekwensi tertinggi.c. Faktor yang diduga berhubungan dengan Karsinoma nasofaring :1. Adanya infeksi EBV2. Genetik3. Faktor lingkungand. Gejala Karsinoma nasofaring dapat di bagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf serta gejala leher.e. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior, nasofaringoskop serta fibernasofaringoskopi, ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa, permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yangmenggantung dan infiltratif.f. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis karsinoma nasofaring yaitu, Pemeriksaan Biopsi, Sitologi, Histopatologi, Serologi, CT-Scan dan MRI.g. Penatalaksanaan pada karsinoma nasofaring yang sering digunakan adalah radioterapi, kemoterapi, operasi dan immunoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Averdi Roezin, et al. Karsinoma Nasofaring.Dalam: EfiatyA. Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi keenam. Jakarta : FK UI. 2010. Hal 182-186.2. Harrya.Asroel.Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU. 2012. Hal 1-11.3. Hasibuan R, A. H. Pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004. Hal 70-81.4. Lu JiadeJ, CooperJay S, MLeeAnne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer. 2010. Hal 1-9.5. Susworo,MakesD.Karsinoma nasofaring aspek radio diagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK UI. 1987. Hal 69-82.6. Susworo, R.Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauanpustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004. Hal 16-18.7. Ahmad,A. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FKUI. 2002. Hal 1-13. 8. Arif Mansjoer,et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.IV. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2014. Hal 1051-1053.9. AverdiRoezin,AnindaSyafril. KarsinomaNasofaring.Dalam:EfiatyA.Soepardi (Ed.).BukuAjarIlmuPenyakitTelingaHidungTenggorok. Edisi kelima.Jakarta: FKUI. 2001.Hal 146-50.10. BallengerJ. Jacob. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994. Hal. 371-396.11. Cottrill,C.P.,Nutting,C.M..TumoursofTheNasopharynx.Dalam:EvansP.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head andNeck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. 2003.Hal 473-81.12. KurniawanA.N. NasopharynxdanPharynx. Kumpulan kuliah Patologi. Jakarta : FKUI.1994.Hal 151-15213. McDermott,A.L.,Dutt,S.N.,Watkinson,J.C. The Aetiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26 th Edition. 2001.Hal 89-92.14. T.Yohanita, Ramsi Lutan.Pengobatan karsinoma nasofaring dengan radioterapi. Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.XXVI No.1. Medan: FKUSU, 2011. Hal 15-20.15. Abdul Rasyid. Karsinoma nasofaring :penatalaksanaan radioterapi. Tinjauan pustaka. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII No.1. Medan : FK USU, 2000. Hal 52-8.16. MuhammadYunus. Efek samping radioterapi pada pengobatan karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2012. Hal 1-16.17. Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair. 1996. Hal179-87.18. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring dibagian THTFK USU/RSUP.H.Adam Malik. Skripsi. Medan : FKUSU, 2010. Hal 52.23.19. Ho JHC. Staging and radiotherapy ofnasopharyngeal carcinoma. In: Cancer inAsiaPacific. Vol.1. HongKong, 1998. P 487-93

1