Referat Tetanus

44
REFERAT TETANUS Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Dokter Muda di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD dr. Soebandi Jember Oleh : Fitria Intan Beladina 092011101036 Mochamad Rizal 102011101001 Pembimbing : dr. Eddy Ario Koentjoro, Sp.S 1

description

pokoke referar

Transcript of Referat Tetanus

Page 1: Referat Tetanus

REFERAT

TETANUS

Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Dokter Muda

di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD dr. Soebandi Jember

Oleh :

Fitria Intan Beladina 092011101036

Mochamad Rizal 102011101001

Pembimbing :

dr. Eddy Ario Koentjoro, Sp.S

SMF SARAF RSUD dr. SOEBANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2014

1

Page 2: Referat Tetanus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hippocrates sudah mengambarkan gejala penyakit tetanus ( tetanos =

regangan, teinein = meregang) pada manusia. Tahun 1882 Nicolaier dan

Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Kemudian

tahun 1889 oleh Kitasato dan Nicolaier, kuman Clostridium tetani dan toksinnya

dapat diisolasi. Selanjutnya tahun 1890 Von Behring dan Kitasato melaporkan

keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan antiserum spesifik yang

merupakan dasar metoda imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan

tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan toksoid untuk

imunisasi aktif

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang

periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik

yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang

diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day

Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian

dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang

mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut

menghasilkan pencegahan dari tetanus.

1.2. Permasalahan

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka

kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih

merupakan masalah kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan

program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian

telah menurun secara drastis.

2

Page 3: Referat Tetanus

BAB II

TETANUS

2.1 Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya

tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang

kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan

oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin,

biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti

oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga).

Tetanus (rahang terkunci (lockjaw)) adalah suatu penyakit toksemia akut

dan fatal yang disebabkan oleh tetanuspasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh

Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai

gangguan kesadaran. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps

ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom.

2.2. Etiologi

Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang

yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk

gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe

lain berdasarkan flagella antigen.

Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan

ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan

dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila

dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka

spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat

merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus,

ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob

dan kemudian berkembang biak.

Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik

Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media kaldu daging dan

3

Page 4: Referat Tetanus

media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus

tidak dapat mengfermentasikan glukosa.

Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam

eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein

dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan

cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan

kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui

beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala

berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.

Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.

Gambar 1. Clotridium tetani

Kingdom: Bacteria

Division: Firmicutes

Class: Clostridia

Order: Clostridiales

Family: Clostridiaceae

Genus: Clostridium

Species: Clostridium

tetani

4

Page 5: Referat Tetanus

2.3. Epidemiologi

Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia namun paling sering pada

daerah dengan populasi padat, pada iklim hangat dan lembab. Organisme

penyebab ditemukan secara primer pada tanah dan saluran cerna hewan dan

manusia. Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Luka

dapat berukuran besar atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tatanus sering

terjadi melalui luka- luka yang kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah luka

operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka robek, otitis media,

infeksi gigi, gigitan binatang, aborsi dan kehamilan.

Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat

jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping

sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang

termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan

karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,

perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan

pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.

Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi

mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data

dari WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara

kasar berkisar antara 0,5 – 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar

50% dari kematian akibat tetanus di negara – negara berkembang. Perkiraan

insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di

negara berkembang, tetanus lebih sering mengenai laki – laki dibanding

perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1

Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai

kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan

20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39

tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka

kejadian lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.

2.4. Patogenesis

Clostridium tetani biasanya memasuki tubuh dalam bentuk spora melalui

luka yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat,

dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan

5

Page 6: Referat Tetanus

binatang yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi sepsis, infeksi

gigi, persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. C.tetani sendiri tidak

menyebabkan inflamasi sehingga tidak tampak tanda-tanda inflamasi di sekitar

port d’entry, kecuali bila ada infeksi oleh mikroorganisme lain.

Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan

terinfeksi basil tetanus mensekresikan dua macam eksotoksin, yakni tetanolisin

dan tetanospasmin. Tetanolisin akan merusak jaringan yang masih hidup yang

mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan

bakteri ini bermultiplikasi. Sementara itu, untuk mencapai susunan saraf pusat dan

menghasilkan gejala-gejala klinik tetanus, tetanospasmin memiliki beberapa jalur

penyebaran.

Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi

hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati,

benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian

berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka

dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat

mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara.

1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung

saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan

saraf pusat dan susunan saraf perifer.

2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk

seterusnya susunan saraf pusat.

Setelah melewati salah satu jalur di atas, tetanospasmin menempel pada

permukaan membran presinaptik neuron terminal yang terdekat. Selanjutnya

6

Page 7: Referat Tetanus

secara retrograd menyebar intraneuronal sampai ke SSP mulai dari akson menuju

badan sel, lalu dendrit dan ke akson neuron sebelumnya.

Tetanospasmin merupakan polipeptida rantai ganda, terdiri dari rantai berat

dan rantai ringan, yang dihubungakan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari

rantai berat tetanospasmin memungkinkannya terikat pada membran saraf,

sedangkan ujung aminonya memungkinkan tetanospasmin masuk ke dalam sel

saraf melalui serangkaian reaksi biomolekuler. Setelah masuk ke dalam neuron,

kekuatan ikatan disulfida berkurang menyebabkan rantai ringan terlepas dan

menjadi aktif, bekerja pada pre-sinaps untuk mencegah pelepasan

neurotransmitter inhibitory (glisin dan GABA) dari neuron yang ditempatinya

dengan cara menghancurkan sinaptobrevin (protein membran yang berfungsi

membantu terjadinya fusi vesikel yang mengandung meurotransmitter inhibitory

dengan membran pre-sinaps), akibatnya proses pelepasan neurotransmitter

inhibitory ke dalam celah sinaps tidak terjadi. Kegagalan pelepasan

neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps mengakibatkan terjadinya

peningkatan aktivitas neuron-neuron eferen menuju otot, menimbulkan gejala

kaku otot maupun spasme, misalnya pada otot masseter, menyebabkan trismus

(lock-jaw).

Gambar 2. Patogenesis Tetanus

7

Page 8: Referat Tetanus

2.5. Manifestasi Klinis

Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda

tajam dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus.

Penyakit ini juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan

ular yang telah nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, injeksi

intramuskular dan pembedahan.

Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah

maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan

kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter

bisa menyebabkan trismus atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot

muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada

otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan

retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan

kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.

Gambar 3. Trismus

Gambar 4. Risus Sardonicus

8

Page 9: Referat Tetanus

Gambar 5. Opistotonus

Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik

ini seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok

otot. Bisa spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi.

Spasme bervariasi untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan

patah tulang dan robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-

menerus yang bisa mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti

spasme laring dan berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.

Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.

Pada umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf

pusat, sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang

lebih lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup

tinggi. Pada tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari

setelah lahir dengan rata-rata 7 hari.

Karakteristik Dari Tetanus:

1) Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama

5-7 hari.

2) Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.

3) Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

4) Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan

leher.

5) Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw)

karena spasme otot masseter.

6) Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)

9

Page 10: Referat Tetanus

7) Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis

tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan

kuat.

8) Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,

tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya

kesadaran tetap baik.

9) Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan

sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis

(pada anak).

2.5. Klasifikasi

Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah

dideskripsikan yaitu:

Tetanus umum:

Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.

Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka

bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus

dekubitus dan suntikan hipodermis.

Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik

bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama

pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita

tetanus umum akan menuunjukkan trismus.

Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke

ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar

dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot

masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai

muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas,

10

Page 11: Referat Tetanus

sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat

kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan

fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai

opisthotonus.

Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik

secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan

bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal

kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.

Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan

yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang.

Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan

menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme

sphincter kandung kemih.

Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai

panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin

menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa

takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia

jantung.

Tetanus neonatorum, merupakan tetanus bentuk generalisata yang terjadi pada

bayi yang lahir dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama melalui

pemotongan tali pusat yang tidak steril. Onset dalam 2 minggu pertama

kehidupan, gejalanya rigiditas, sulit menelan ASI, muntah, irritable, dan spasme.

11

Page 12: Referat Tetanus

Prognosis buruk dimana 90% penderita meninggal; dan pada penderita yang tetap

hidup mangakibatkan terjadinya retardasi.

Tetanus lokal

Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena

gambaran klinis tidak khas.

Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal

dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%,

kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.

Bentuk cephalic

Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka

mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan

jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III,

IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan

menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.

Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada

umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.

2.7. Derajat

Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:

1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum

walaupun dirangsang.

2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum

bila dirangsang.

3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum

yang spontan.

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:

Grade 1: ringan

- Masa inkubasi lebih dari 14 hari

- Period of onset > 6 hari

- Trismus positif tetapi tidak berat

- Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.

Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan

kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.

12

Page 13: Referat Tetanus

Grade II: sedang

- Masa inkubasi 10–14 hari

- Period of onset 3 had atau kurang

- Trismus ada dan disfagia ada.

Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis

tidak ada.

Grade III: berat

- Masa inkubasi < 10 hari

- Period of onset 3 hari atau kurang

- Trismus berat

- Disfagia berat.

Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat

banyak dan takikardia.

Menurut Ablett

Derajat I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas

generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa

spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas nampak jelas,

spasme singkat, ringan sampai sedang, gangguan

pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan

>30x/menit, disfagia ringan.

Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata,

spasme refleks berkepanjangan, frekuensi nafas >40

x/menit, serangan apneu, disfagia berat, takikardi

>120x/menit.

Derajat IV (sangat berat) : derajat III + gangguan otonomik berat yang

melibatkan sistem kardiovaskuler (hipertensi berat

dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi

dan bradikardia, salah satunya dapat menetap).

13

Page 14: Referat Tetanus

. Menurut Patel & Joag

Kriteria I : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, kaku otot tulang belakang

Kriteria II : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria III : inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria IV : waktu onset adalah 48 jam atau kurang

Kriteria V : kenaikan suhu rektal sampai 1000 F (37,80 C) dan aksila sampai 990

F (37,20 C)

Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas ini, maka dibuatlah tingkatan penyakit

tetanus sebagai berikut :

Tingkat I (ringan) : minimal 1 kriteria (K1 atau K2), mortalitas 0%

Tingkat II (sedang) : minimal 2 kriteria (K1 dan K2) dengan masa

inkubasi >7 hari dan onset >2 hari, mortalitas 10%

Tingkat III (berat) : minimal 3 kriteria dengan inkubasi <7 hari dan

onset <2 hari, mortalitas 32%

Tingkat IV (sangat berat) : minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%

Tingkat V : biasanya mortalitas 84% dengan 5 kriteria termasuk

didalamnya adalah tetanus neonatorum maupun

puerperium.

Keempat Tolok Ukur dan Besarnya Angka Nilai (Phillips)

Tolok Ukur Nilai

Masa Inkubasi

Kurang 48 jam

2 – 5 hari

6 – 10 hari

11 – 14 hari

Lebih 14 hari

5

4

3

2

1

Lokasi Infeksi

Internal / umbilikal

Leher, kepala, dinding tubuh

Ekstremitas proksimal

Ekstremitas distal

Tidak diketahui

5

4

3

2

1

14

Page 15: Referat Tetanus

Imunisasi

Tidak ada

Mungkin ada / ibu mendapat

Lebih 10 tahun yang lalu

Kurang 10 tahun

Proteksi lengkap

10

8

4

2

0

Faktor Yang

Memberatkan Penyakit atau trauma yang membahayakan

jiwa

Keadaan yang tidak langsung membahayakan

jiwa

Keadaan yang tidak membahayakan jiwa

Trauma atau penyakit ringan

A.S.A ** derajat

10

8

4

2

1

** Sistem penilaian untuk menentukan resiko penyulit yang disusun oleh

American Society

of Anesthesiologists (lihat 12.1.1 Anestesi. Hal. 301 – 302)

Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa

inkubasi, porte d’entree, status imunologi, dan faktor yang memeberatkan.

Berdasarkan jumlah yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi

menjadi tetanus ringan (jumlah<9), tetanus sedang (jumlah 9-16), dan tetanus

berat (jumlah>16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan,

tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku, sedangkan tetanus berat

memerlukan perawatan khusus yang intensif.

2.8. Diagnosis

Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :

- Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi

- Gejala klinis; dan

- Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.

Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada

pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat

normal atau dapat meningkat.

15

Page 16: Referat Tetanus

Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau

jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging.

Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium

Tetani.

Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun

kadang–kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.

Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan

elektromiografi hasilnya tidak spesifik.

2.9. Diagnosis Banding

1. Meningitis bakterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya

menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di

mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat,

kadar protein meningkat dan glukosa menurun.

2. Poliomielitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.

Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio

diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.

3. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang

ditemukan, kejang bersifat klonik.

4. Keracunan strichnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

5. Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium

dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah

karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai

trismus.

6. Retropharingeal abses

Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

7. Tonsilitis berat

Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.

8. Efek samping fenotiasin

16

Page 17: Referat Tetanus

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom

ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,

9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,

miositis leher dan spondilitis leher.

2.10. Komplikasi

Laringospasme dan atau spasme otot-otot pernapasan yang

mengakibatkan gangguan bernapas

Fraktur vertebra atau tulang panjang yang mdiakibatkan kontraksi yang

berlebih ataupun kejang yang kuat

Dislokasi sendi glenohumerale dan temporomandibular

Hiperaktivitas sistem saraf otonom yang dapat menyebabkan hipertensi

dan atau denyut jantung yang tidak normal

Infeksi nosokomial, sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang

lama. Infeksi sekunder dapat berupa sepsis, akibat pemasangan kateter,

Hospital Acquired Pneumonia dan ulkus dekubitus

Emboli paru, terutama merupakan masalah pada pasien dengan

penggunaan obat-obatan dan orang tua.

Aspirasi pneumonia, merupakan komplikasi lanjut tetanus yang paling

sering, ditemukan pada 50%-70% kasus

Ileus paralitik, luka akibat tekanan dan retensi urine

Malnutrisi dan stress ulcers

2.11. Penatalaksanaan

2.11.1. Pencegahan

Prinsip – prinsip Umum Profilaksis

Pertimbangan Individual Penderita

Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis

terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka dan riwayat

imunisasi.

Debridemen

Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda

asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.

Imunisasi Aktif

17

Page 18: Referat Tetanus

Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis

sebanyak 0, 5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.

DPT (Diptheri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada

usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0, 5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan

berturut – turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM dan antara

umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.

Tetanus Toksoid

Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3

bulan berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah

suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pemberian

booster di atas.

Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik

sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah

mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun terakhir.

Imunisasi Pasif

ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu)

maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa

adalah 1500 IU per IM dan untuk anak adalah 750 IU per IM.

Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusa), terkenal di pasaran dengan nama

Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara

dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per IM.

Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.

Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita dan status

imunisasi. Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,

merupakan keharusan untuk di imunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan

sekali – kali secara IV.

Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya

pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.

18

Page 19: Referat Tetanus

Tindakan Profilaksis

Jenis LukaBelum IA

atau Sebagian

Mendapat IA Yang Lengkap

1 – 5 tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun

Ringan,

bersih

Mulai atau

melengkapi IA

Toks. 0,5 cc

hingga

lengkap

- Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc

Berat, bersih

atau

cenderung

tetanus

ATS 1500 IU

Toks. 0,5 cc

Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc ATS 1500 IU

Toks 0,5 cc

Cenderung

tetanus,

debrimen

terlambat

atau tidak

bersih

ATS 1500 IU

Toks. 0,5 cc

hingga

lengkap ABT

Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc

ABT

ATS 1500 IU

Toks 0,5 cc

ABT

Keterangan :

ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU

Pada anak – anak dosis ATS = dosis dewasa

IA : Imunisasi Aktif (dengan toksoid)

Toks : Toksoid (vaksin serap tetanus)

ABT : Antibiotka dosis tinggi yang sesuai dengan

Clostridium tetani

2.11.2. Penatalaksanaan

Prinsip :

1. Mengeliminasi bakteri dalam tubuh untuk mencegah pengeluaran

tetanospasmin lebih lanjut

2. Menetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalam sirkulasi (belum

terikat dengan sistem saraf pusat)

19

Page 20: Referat Tetanus

3. Meminimalisasi gejala yang timbul akibat ikatan tetanospasmin dengan

sistem saraf pusat

Terapi umum :

1. Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU yang

tenang supaya bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya. Pasien

dengan tetanus tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus

dengan peralatan intensif yang memadai serta perawat yang terlatih untuk

memantau fungsi vital dan mengenali tanda aritmia. Hendaknya pasien

berada di ruangan yang tenang dengan maksud untuk meminimalisasi

stimulus yang dapat memicu terjadinya spasme.

2. Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi

3. Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik dan

benda-benda asing harus dikeluarkan. Semua luka yang berpotensial harus

didebridement, abses harus diinsisi dan didrainase. Selama dilakukannya

manipulasi terhadap luka yang diduga menjadi sumber inkubasi tetanus

ini, harus diberikan hTIG dan terapi antibiotika. Juga penting diberikan

obat-obatan pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.

Terapi Khusus

1. Anti Tetanus toksin

Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:

- Toksin bebas dalam darah;

- Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.

Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam

darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat

dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:

- Anamnesa apakah ada riwayat alergi;

- Tes kulit dan mata; dan

- Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.

Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat

heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.

20

Page 21: Referat Tetanus

Tes mata

Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin

tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi

garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada

konjungtiva.

Tes kulit

Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara

intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi

kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.

Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara

bertahap (Besredka).

Dosis

Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan

Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000 u yang diberikan setengah

lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena

diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan

diberikan selama 1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama

2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian.

2. Antibiotika :

Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.

Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /

KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap

peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40

mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis

terbagi ( 4 dosis ). Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5

mg/kg BB tiap 6 jamBila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan

dosis 200.000 unit /kgBB/

24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,

bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi

pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan

21

Page 22: Referat Tetanus

3. Antikonvulsan dan sedatif

Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan

jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus

ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa

mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau kesadaran.

Obat–obat yang lazim digunakan ialah:

- Diazepam

Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis

0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis optimum 10

mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian

diazepam peroral–(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali

sehari diberikan 6 kali.

- Fenobarbital

Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg

intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari

dibagi dalam 3 dosis.

- Largactil

Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.

JENIS ANTIKONVULSAN

Jenis Obat Dosis Efek Samping

Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Stupor, Koma

Berat badan / 4 jam (IM)

Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada

Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi

Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan

22

Page 23: Referat Tetanus

4. Tetanus Toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan

dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang

berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan

sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

Berikut ini, tabel 4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap

tetanus pada keadaan luka

23

Page 24: Referat Tetanus

PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN

LUKA.

__________________________________________________________________

RIWAYAT IMUNISASI Luka bersih, Kecil Luka Lainnya

______________________________________________________

(dosis) Tet. Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT)

Antitoksin

__________________________________________________________________

Tidak diketahui ya tidak ya ya

0 – 1 ya tidak ya ya

2 ya tidak ya tidak*

3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak

__________________________________________________________________

* : Kecuali luka > 24 jam

** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)

*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)

Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:

Kasus ringan : Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam

dan barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.

- Kasus berat :

1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team )

2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus

dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti

dengan yang baru.

5. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam.

6. Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang

berpengalaman

7. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan

tiap 2 jam mencegah conjuntivitis

8. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari

9. Urine pasang kateter, beri antibiotika.

24

Page 25: Referat Tetanus

10. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA

11. Rontgen foto thorax

12. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat

dihentikan pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan.

Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian

dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.

Monitoring

I. Sekuele

· Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung

lebih lama.

· Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat.

· Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan

berlangsung selama 1-2 minggu.

II. Tumbuh Kembang

· Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak

mengganggu tumbuh kembang anak.

2.12. Prognosis

Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu dari inokulasi spora

sampai timbul gejala awal dan waktu dari timbulnya gejala awal sampai spasme

tetanik awal. Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus yang

lebih berat dan prognosis yang lebih buruk. Kebanyakan pasienyang bertahan dari

tetanus ini biasanya akan kembali pada kondisi kesehatan sebelumnya walau pun

perbaikan berjalan secara lambat (sekitar 2 hingga 4 bulan) dan pasien seringkali

tetap menjadi hipotonus. Pasien yang sembuh harus mendapatkan imunisasi aktif

dengan tetanus toksoid untuk mengelakkan dari terjadinya rekurensi. Selain itu,

prognosis dan angka kematian pasien dengan tetanus juga dipengaruhi oleh factor

usia, gizi yang buruk serta penangan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.

Dari data terkini yang diperolehi, kadar kematian pada penderita tetanus ringan

dan sedang adalah 6% dan pada penderita tetanus berat bisa mencapai 60%.

Meningkatnya kadar kematian pada penderita tetanus adalah berhubung dengan

faktor – faktor berikut:

a. Masa inkubasi yang pendek

b. Onset kejang yang dini (early onset)

c. Penanganan yang lambat

25

Page 26: Referat Tetanus

d. Apabila terdapat lesi di kepala dan muka yang terkontaminasi

e. Tetanus neonatorum

Berdasarkan 5 kriteria menurut Patel dan Joag, dibuat 5 tingkatan yaitu:

a. Tingkat 1 (ringan): minimal 1 kriteria (K1 atau K2), mortalitas 0%

b. Tingkat 2 (sedang): minimal 2 kriteria (K1atau K2) dengan masa

inkubasi > 7 hari dan awitan > 2 hari, mortalitas 10%

c. Tingkat 3 (berat): minimal 3 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi

< 7 hari dan awitan < 2 hari, mortalitas 32%

d. Tingkat 4 (sangat berat): minimal 4 kriteria, mortalitas 60%

e. Tingkat 5: minimal 5 kriteria termasuk tetanus neonatorum maupun

puerperium, mortalitas 80%.

26

Page 27: Referat Tetanus

BAB III

KESIMPULAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya

tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang

kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan

oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin,

biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti

oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga).

Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi

mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data

dari WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara

kasar berkisar antara 0,5 – 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar

50% dari kematian akibat tetanus di negara – negara berkembang. Perkiraan

insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di

negara berkembang, tetanus lebih sering mengenai laki – laki dibanding

perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1

Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah

maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan

kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter

bisa menyebabkan trismus atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot

muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada

otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan

retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan

kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.

Karakteristik Dari Tetanus:

1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7

hari.

2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.

3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

27

Page 28: Referat Tetanus

4. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan

leher.

5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena

spasme otot masseter.

6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)

7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik

ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat.

8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,

tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya

kesadaran tetap baik.

9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,

retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).

Ada 3 bentuk klinis dari tetanus, yaitu :

1. Tetanus local : otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada

bagian paroksimal luak. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu

dan menhilang tanpa sequele.

2. Tetanus general merupakan bentuk paling sering, timbul mendadak

dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala

merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat konstruksi otot somatik

meluas.

Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan

dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya spasme

berlangsuang beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh

periode relaksasi

3. Tetanus sefal : varian tetanus local yang jarang terjadi masa inkubasi 1-2

hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka.

28

Page 29: Referat Tetanus

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta

: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.Hal 21-24

2. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.1994. Hal 199-201,251

3. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw

Hill.2006. Page 112-113

4. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000. Hal

58-59

5. Behrman RE, Kliegnan RM, Arvin AM. Tetanus. Dalam : Wahab AS

editor . Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi 15. Jakarta : EGC.1999. Hal

1004-1007

6. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Tetanus. Dalam:Alatas

H,Hassan R editor.. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. jilid 1;Jakarta;

Infomedika ;1985. Hal 568-572

7. R. Bhatia, S. Prabhakar, V.K. Grover. Departments of Neurology and

Anesthesia. Postgraduate Institute of Medical Education and Research.

Neurol India, 2002; 50 : 398-407

8. Ni Komang Saraswita Laksmi. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/ vol.

41 no. 11, th. 2014

9. DEPKES RI 2008. Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak. Jakarta

10. Ritawan, Kiking. Tetanus. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran

USU/RSU H. Adam Malik. 2004. Digitized by USU digital library

29