Referat Terapi Bph

download Referat Terapi Bph

of 17

description

referat terapi bph

Transcript of Referat Terapi Bph

BAB IPENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Benign prostat hyperplasia (BPH) adalah pertumbuhan berlebih dari kelenjar prostat periurethral dikategorikan nonmalignant adenomatosa. Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.

Diagnosa didasarkan terutama pada pemeriksaan colok dubur dan gejala, cystoscopy, transrectal ultrasonography, urodynamics, atau studi pencitraan lain mungkin juga diperlukan. Pilihan pengobatan termasuk inhibitor 5-reduktase, -blocker, tadalafil, dan pembedahan.

Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yang bergejala pada pria berusia 4049 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 5059 tahun prevalensinya mencapai hampir 5% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan keduasetelah penyakitbatu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun,dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakitBPH ini.

Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.

Adanya BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu pembedahan. Tujuan teapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, dan (5) mencegah progresivitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan Terapi konservatif dengan cara medikamentosa dengan obat obatan penghambat alfa reuktase, alfa adrenergik, dan fitofarmaka, dan dengan tindakan pembedahakn dapat dilakukan dengan teknik open surgery, endourologi dan dengan tindakan invasif minimal. Pada referat ini akan dibahas tentang pentalaksanaan hiperplasia prostat secara non pembedahan (medikamentosa) dan dengan pembedahan.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1 Penatalaksanaan BPH

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.

Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

Tabel 1. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat BenignaObservasiMedikamentosaOperasiInvasive minimal

Watchful waiting Penghambat adrenergik Prostatektomi terbuka TUMT

TUBD

Stent uretra

TUNA

Penghambat reduktese Endourologi

Fisioterapi 1. TURP

2. TUIP

3. TULP

Elektovaporasi

Hormonal

II.2 Terapi Non operatifII.2.1 Watchful waitingWatchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkem-bangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter1. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting. Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama5 . Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine5,10. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lainII.2.2 MedikamentosaPada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian medikamentosa. Dalam menentukan pengobatan perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu dasar pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat yang digunakan, pemilihan obat, dan evaluasi selama pemberian obat. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa harga obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan akan dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Sebagai patokan jika skoring > 7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik

Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik

Jenis obat yang digunakan adalah:

1. Antagonis adrenergik reseptor yang dapat berupa:

a. Preparat non selektif: fenoksibenzamin

b. Preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin

c. Preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin.

2. Inhibitor 5 redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride.

3. Fitofarmaka

A. Penghambat reseptor adrenergik-alfa

Pengobatan dengan antagonis adrenergik bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik- non selektif yang pertama kali diketahui mampu memper-baiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebab-kan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler. Diketemukannya obat antagonis adrener-gik- 1 dapat mengurangi penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat antagonis adrenergik 1 yang selektif mempu-nyai durasi obat yang pendek (short acting) di antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik- terbukti dapat memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup (QoL), dan meningkatkan pancaran urine. Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 6- 12 bulan10.

Dibandingkan dengan inhibitor 5 reduktase, golongan antagonis adrenergik- lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik- dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian antagonis adrenergik- saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik- tidak perlu memper-hatikan ukuran prostat serta memperhatikan kadar PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5- reduktase. Berbagai jenis antagonis adrenergik menunjukkan efek yang hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempu-nyai efektifitas yang hampir sama, namun masing - masing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, < 5% setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian tamsulosin atau plasebo. Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovasuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan anta-gonis adrenergik yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik-1A. Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0- 1%. Sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya secara perlahan-lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif14. Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis adrenergik-1A (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun.B. Penghambat 5 alfa-reduktase (5ARI)

Finasteride adalah obat inhibitor 5- reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 - redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaan urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3 . Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat.

C. FitofarmakaBeberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek anti-inflam-masi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.

II.2.3 Terapi OperatifTindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi saluran kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra.1. Open Surgery

Beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode Millin, yaitu enukleasi kelenjar prostat yang dilakukan melalui pendekatan retropubik intravesical dan suprapubik Freyer melalui transvesika atau pendekatan transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan tertua yang masih digunakan saat ini, paling invasif dan paling efisien untuk pengobatan BPH. Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat dengan ukuran sangat besar (> 100 gram). Komplikasi yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah inkontinensia, impotensi, ejakulasi retrograde dan leher kandung kemih kontraktur. Peningkatan gejala klinis sebanyak 85% -100% dan tingkat kematian sebanyak 2% .

2. Operasi Laser

Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan.

a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain, koagulasi laser interstisial tempat ujung probe serat optik langsung ke jaringan prostat untuk menghancurkannya.

Gambar 1. Interstitial laser coagulation

b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP). Cara sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman tidak menimbulkan perdarahan pada saat operasi. Namun teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (