referat jadi!
-
Upload
helenatrinina -
Category
Documents
-
view
24 -
download
0
description
Transcript of referat jadi!
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah keadaan darurat
medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun
tidak langsung dengan kerusakan paru. ARDS mengakibatkan terjadinya
gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandaidengan sesak napas yang
berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru.. Seperti
definisi yang berkembang pada tahun 1994 oleh American-European Consensus
Conference (AECC) pada ARDS. Istilah acute respiratory distress syndrome
lebih lanjut digunakan daripada istilah adult respiratory distress syndrome karena
sindrom tersebut terjadi pada anak-anak dan dewasa.1,2,3
ARDS merupakan bentuk Acute Lung Injury yang berat, suatu bentuk
diffuse alveolar injury. Berdasarkan AECC, ARDS didefinisikan sebagai kondisi
akut dengan karakteristik bilateral infiltrate pulmonal dan hipoksemia berat.
Menurut kriteria ini, keparahan hipoksemia pada ARDS diartikan dengan rasio
PaO2/FiO2, rasio tekanan parsial pada arteri pasien terhadap oksigen dalam udara
inspirasi. Pada ARDS, rasio ini kurang dari 200, dan pada acute lung injury (ALI)
rasionya kurang dari 300. Tambahan pada edema kardiogenik pulmonal
mempunyai tekanan kapiler pulmonal kurang dari 18 mmHg pada pasien dengan
kateter Swan-Ganz.4
National Institutes of Health (NIH) memperkirakan bahwa kejadian
tahunan di di Amerika Serikat yaitu 75 per 100.000 populasi. Penelitian terbaru
melaporkan tingkat kejadian yang lebih rendah dari 1,5 hingga 8,3 per 100.000
populasi. Namun, penelitian epidemiologi pada tahun 1994 dilaporkan tingginya
insidensi tahunan di Skandinavia yaitu 17,9 per 100.000 untuk acute lung injury
dan 13,5 per 100.000 pada acute respiratory distress syndrome. Pada dasarnya
hasil penyaringan sejumlah besar pasien dengan NIH Acute Respiratory Distress
Syndrome melebihi tiga tahun yang lalu, beberapa investigator percaya bahwa
perkiraan hasil 75 per 100.000 per tahun itu akurat.5
1
2
ARDS merupakan tipe gagal nafas yang merupakan hasil dari beberapa
bentuk penyakit yang menyebabkan sejumlah besar cairan terkumpul dalam paru
yang bukan disebabkan oleh kelainan jantung (edema paru non cardiac), onsetnya
berlangsung cepat. Berdasarkan penyebabnya secara garis besar ARDS
disebabkan oleh dua hal, yang pertama yaitu disebabkan oleh Hipoksia atau
kegagalan sirkulasi, dan yang kedua karena paparan iritan paru akut. Pada
beberapa kasus, penyebab ARDS tidak spesifik, namun yang pasti perkembangan
ARDS berlangsung dalam waktu yang cepat berkisar antara 12-48 jam sampai
beberapa hari setelah pemicu awal.3
Pada paru-paru terdapat kapiler-kapiler yang berhubungan dengan
alveolus pada bronkus. Ini merupakan tempat yang penting dimana oksigen lewat
dari udara yang diinhalasi ke dalam darah, yang kemudian membawa oksigen ke
seluruh tubuh. Trauma pada paru yang merusak alveolocapillary junction
menyebabkan kebocoran cairan ke dalam alveoli yang memenuhi alveoli sehingga
udara tidak dapat masuk. kerusakan membran kapiler alveoli, kemudian terjadi
peningkatan permeabilitas endotel kapiler paru dan epitel alveoli yang
mengakibatkan edema alveoli dan interstitial. Adanya peningkatan permeabilitas
kapiler akan menyebabkan cairan merembes ke jaringan interstitial dan alveoli,
menyebabkan edema paru dan atelektasis kongesti yang luas. Terjadi pengurangan
volume paru, paru menjadi kaku dan keluwesan paru (compliance) menurun.
Kapasitas sisa berfungsi (fungsional residual capacity) juga menurun.1,2
Hipoksemia yang berat merupakan gejala penting sindrom gagal
pernafasan pada orang dewasa dan penyebab hipoksemia adalah ketidak
seimbangan ventilasi-perfusi, hubungan arterio-venus (aliran darah mengalir ke
alveoli yang kolaps) dan kelainan difusi alveoli-kapiler sebab penebalan dinding
alveoli-kapiler. Penanganan yang lambat pada pasien ARDS akan menyebabkan
terjadinya kematian, maka diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai
gejala dan patofisiologi dari ARDS.1,2,3
3
I.2 Perumusan Masalah
Adapun permasalah dari penulisan referat ini adalah:
I.2.1. Apa pengertian ARDS
I.2.2. Bagaimana proses patofisiologi ARDS
I.2.3. Bagaimana penatalaksanaan ARDS
I.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah:
I.3.1. Untuk mengetahui pengertian ARDS
I.3.2. Untuk mengetahui proses patofisiologi ARDS
I.3.3. Untuk mengetahui pengobatan ARDS
4
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Anatomi
Sistem Pernafasan Atas
5
Sistem Pernafasan Bawah
II.2. Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah
diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot
yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan
interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas
dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding
dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan
volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan
intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan
atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara
dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi
membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong
6
untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan
parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada
waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan
mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi
berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi
anatomik saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara
darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi
kedalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler
darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak
selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup
cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal
dan difusi melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu
berolahraga dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung
terjadinya hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama.
II.3. Sistem Pertahanan Paru
Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai
kemungkinan terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertahankan tubuh.
Sebagaimana mekanisme tubuh pada umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan
seluler dan humoral. Beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru
dibagi atas :
1. Filtrasi udara
Partikel debu yang masuk melalui organ hidung akan :
Yang berdiameter 5-7 μ akan tertahan di orofaring.
Yang berdiameter 0,5-5 μ akan masuk sampai ke paru-paru
Yang berdiameter 0,5 μ dapat masuk sampai ke alveoli, akan tetapi dapat
pula di keluarkan bersama sekresi.
2. Mukosilia
Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam mucus akan digerakkan
oleh silia keluar menuju laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini
tergantung pada kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas silia
yang mungkin terganggu oleh iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun
hiperkapnia.
7
3. Sekresi Humoral Lokal
Zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari :
Lisozim, dimana dapat melisis bakteri
Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat bakteriostatik
Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan
dalam membunuh virus.
Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah terjadinya
infeksi virus. Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya infeksi paru
yang berulang.
4. Fagositosis
Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan
kemudian menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit
berperan sebagai fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.
Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah :
Gerakan mukosiliar.
Faktor humoral lokal.
Reaksi sel.
Virulensi dari kuman yang masuk.
Reaksi imunologis yang terjadi.
Bergai faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru, seperti
alkohol, stress, udara dingin, kortekosteroid, dan sitostatik.
II.4. Sistem Pernapasan
1. Definisi
Pernafasan atau ekspirasi adalah menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 (oksigen) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung CO2 (karbon dioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar
tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.
2. Fungsi Pernafasan
Fungsi pernafasan adalah:
a. Mengambil oksigen kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh (sel-
selnya)
untuk mengadakan pembakaran.
8
b. Mengeluarkan karbondioksida yang terjadi sebagai sisa pembakaran,
kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak
berguna lagi oleh tubuh).
c. dan melembabkan udara.
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara
berlangsung di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan
di dalamnya aliran udara timbal balik (pernafasan), dan tergantung pada difusi
oksigen dari alveoli ke dalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga
berlaku untuk gas dan uap yang terhirup paru-paru merupakan jalur masuk
terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat udara pada paparan kerja.
Proses sistem pernafasan atau sistem respirasi berlangsung dengan
beberapa tahap yaitu:
a. Ventilasi yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru.
b. Pertukaran gas dalam alveoli dan darah atau disebut pernapasan luar.
c. Transportasi gas melalui darah.
d. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan atau disebut pernapasan
dalam.
Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut pernapasan
seluler.
9
II.5. Mekanisme Kerja Sistem Pernapasan
Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 yaitu:
a. Inspirasi (menarik napas)
b. Ekspirasi (menghembus napas)
Inspirasi adalah proses yang aktif, proses ini terjadi bila tekanan intra
pulmonal (intra alveol) lebih rendah dari tekanan udara luar. Pada tekanan biasa,
tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Pada inspirasi
dalam tekanan intra alveoli dapat mencapai -30 mmHg. Menurunnya tekanan
intra pulmonal pada waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga
toraks akibat kontraksi otot-otot inspirasi.
Ekspirasi adalah proses yang pasif, proses ini berlangsung bila tekanan
intra pulmonal lebih tinggi dari pada tekanan udara luar sehingga udara bergerak
keluar paru. Meningkatnya tekanan di dalam rongga paru terjadi bila volume
rongga paru mengecil akibat proses penguncupan yang disebabkan oleh daya
elastis jaringan paru. Penguncupan paru terjadi bila otot-otot inspirasi mulai
relaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intra alveoli berkisar antara ±1
mmHg sampai ±3 mmHg.
10
II.6. Volume Udara Pernapasan
Dalam keadaan normal, volume udara paru-paru manusia mencapai 4500
cc. Udara ini dikenal sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia.
Walaupun demikian, kapasitas vital udara yang digunakan dalam proses
bernapas mencapai 3500 cc, yang 1000 cc merupakan sisa udara yang tidak dapat
digunakan tetapi senantiasa mengisi bagian paru-paru sebagai residu atau udara
sisa. Kapasitas vital adalah jumlah udara maksimun yang dapat dikeluarkan
seseorang setelah mengisi paru-parunya secara maksimum.
Dalam keadaaan normal, kegiatan inspirasi dan ekpirasi atau menghirup
dan menghembuskan udara dalam bernapas hanya menggunakan sekitar 500 cc
volume udara pernapasan (kapasitas tidal = ± 500 cc). Kapasitas tidal adalah
jumlah udara yang keluar masuk paru-paru pada pernapasan normal. Dalam
keadaan luar biasa, inspirasi maupun ekspirasi dalam menggunakan sekitar 1500
cc udara pernapasan (expiratory reserve volume = inspiratory reserve volume =
1500 cc). Lihat skema udara pernapasan berikut ini.
11
II.7. Kontrol Pernapasan
II.8. Definisi ARDS
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang ditandai
oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar – kapiler terhadap air, larutan dan
protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim
paru yang mengandung protein.
Dasar definisi yang dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa
tahun 1994 terdiri dari:
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut;
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang
diinspirasi (PaO2 / FIO2) < 200 mmHg – hipoksemia berat;
3. Radiografi dada : infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru;
12
4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18
mmHg, tanpa tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) adanya hipertensi atrial
kiri / (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).
Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI).
Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor resiko terjadinya ALI dan tidak adanya
penyakit paru kronik yang bermakna.
II.9. Epidemiologi
Insiden ARDS sangat bervariasi, sebagian karena penelitian telah menggunakan
definisi yang berbeda dari penyakit. Selain itu, untuk menentukan perkiraan yang akurat
dari insiden, semua kasus ARDS dalam populasi tertentu harus ditemukan dan disertakan.
Meskipun ini mungkin bermasalah, data terakhir yang tersedia dari Amerika Serikat dan
studi internasional yang dapat menjelaskan kejadian yang sebenarnya dari kondisi ini.
Pada 1970-an, ketika sebuah penelitian Institut Kesehatan Nasional (NIH) ARDS
sedang direncanakan, frekuensi tahunan diperkirakan adalah 75 kasus per 100.000
penduduk. Penelitian selanjutnya, sebelum pengembangan definisi AECC, yaitu aspek
melaporkan angka jauh lebih rendah. Sebagai contoh, sebuah studi dari Utah
menunjukkan kejadian diperkirakan 4,8-8,3 kasus per 100.000 penduduk.
Data yang diperoleh baru – baru ini oleh Jaringan Studi NIH disponsori ARDS
menunjukkan bahwa kejadian ARDS sebenarnya mungkin lebih tinggi dari perkiraan
semula dari 75 kasus per 100.000 penduduk. Sebuah penelitian prospektif dengan
menggunakan definisi 1994 AECC dilakukan di King County, Washington, dari April
1999 sampai Juli 2000 dan menemukan bahwa kejadian yang disesuaikan menurut umur
dari ALI adalah 86,2 per 100.000 orang – tahun.
Meningkat dengan usia, mencapai 306 per 100.000 orang – tahun untuk orang di
usia 75-84 tahun. Berdasarkan statistik ini, diperkirakan 190.600 kasus ada di Amerika
Serikat setiap tahun dan bahwa kasus – kasus yang berhubungan dengan 74.500
kematian. Internasional statistik Studi pertama yang menggunakan definisi AECC 1994
dilakukan di Skandinavia, yang melaporkan tingkat tahunan 17,9 kasus per 100.000
penduduk untuk ALI dan 13,5 kasus per 100.000 penduduk untuk ARDS.
ARDS dapat terjadi pada orang dari segala usia. Insiden meningkat dengan usia
lanjut, mulai dari 16 kasus per 100.000 orang – tahun pada mereka yang berusia 15-19
13
tahun untuk 306 kasus per 100.000 orang – tahun pada mereka yang berusia antara 75 dan
84 tahun. Distribusi usia mencerminkan kejadian penyebab yang mendasari.
Untuk ARDS berhubungan dengan sepsis dan penyebab lain, tidak ada perbedaan
insidens antara pria dan wanita tampaknya ada. Namun, pada pasien trauma saja, insiden
penyakit ini mungkin sedikit lebih tinggi di antara perempuan.
II.10. Etiologi
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa
trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa
penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru:
1. Trauma langsung pada paru
a. Pneumoni virus, bakteri
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
b. Shock, Luka bakar hebat, tenggelam
c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
d. Pankreatitis
e. Uremia
f. Overdosis obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin
g. Idiophatic (tidak diketahui)
h. Bedah Cardiobaypass yang lama
i. Transfusi darah yang banyak
j. PIH (Pregnant Induced Hipertension)
k. Peningkatan TIK
l. Terapi radiasi
m. Trauma hebat, Cedera pada dada
Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau
cedera. SGPA(sindrom gawat pernafasan akut) seringkali terjadi bersamaan dengan
kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor resiko dari SGPA
14
adalah merokok sigaret.Angka kejadian SGPA adalah sekitar 14 diantara 100.000
orang/tahun.
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya
ARDS adalah:
1. Sistemik:
a. Syok karena beberapa penyebab
b. Sepsis gram negatif
c. Hipotermia
d. Hipertermia
e. Overdosis obat ( Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone,
Bleomisin )
f. Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal )
g. Eklampsia
h. Luka bakar
2. Pulmonal:
a. Pneumonia (viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
b. Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
c. Aspirasi (cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon)
d. Pneumositis
3. Non-Pulmonal:
a. Cedera kepala
b. Peningkatan TIK
c. Pascakardioversi
d. Pankreatitis
e. Uremia
II.11. Faktor Resiko
Kerusakan (Injury) langsung pada epitel alveolus:
1. Aspirasi isi gaster;
2. Infeksi paru difus;
3. Kontusio paru;
4. Tenggelam;
5. Inhalasi toksik.
15
Kerusakan (Injury) tidak langsung:
1. Sepsis;
2. Trauma nontoraks;
3. Transfusi produk darah berlebihan;
4. Pankreatitis;
5. Pintas kardiopulmoner.
II.12. Patologi
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada
ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan
kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium
alveolar ini menentukan prognosis.
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel
pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel
pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah
pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10%
permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik
intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan.
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam
mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase akut terjadi
pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran
hialin yang kaya protein pada membran basal epitel yang gundul. Neutrofil memasuki
endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan
protein.
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists, soluble
tumor necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10
menjaga keseimbangan alveolar.
16
17
II.13. Patogenesis
ALI / ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel
mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung.
Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam tiga fase yang
dapat dijumpai secara tumpang tindih: inisiasi, amplifikasi, dan injury.
Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel – sel
imun dan non – imun melepaskan mediator – mediator dan modulator – modulator
inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil
teraktivasi, tertarik dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target tersebut mereka
melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung
merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut fase injury.
Kerusakan pada membrane alveolar – kapiler menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar.
Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi
kerusakan lebih jauh. Terdapat tiga fase kerusakan alveolus :
18
1. Fase eksudatif: ditandai edema interstitial dan alveolar, nekrosis sel pneumosit
tipe I dan denudasi / terlepasnya membran basalis, pembengkakan sel endotel
dengan pelebaran intercellular junction, terbentuknya membran hialin pada
duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan
hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru;
2. Fase proliferatif: paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai
proliferasi sel epitel pneumosit tipe II;
3. Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
II.14. Patofisiologi
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru interstistial
dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif difus.
Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang menyatakan filtrasi
melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan osmotik protein dan
hidrostatik :
Q = K (Pc-Pt) – D (c-t)
Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
Pt : tekanan hidrostatik interstitial
K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler
D : koefisien refleksi
19
t : tekanan onkotik interstitial
Pc : tekanan hidrostatik kapiler
Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya edema
paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi ventrikel kiri
akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial. Cairan kapiler
tersebut akan mengencerkan protein interstitial sehingga tekanan osmotik interstitial
menurun dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam vena.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli
(alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan compliance
paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak mengandung protein dan sel
darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan osmotik.
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru
menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner
menyebabkan curah jantung akan menurun 40%.
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat
selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun respiratorik
akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan kelainan faal
paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan
kapasitas difusi.
II.15. Manifestasi Klinis
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas
spontan.
20
Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit
tinggi. Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda
dini dari hipoksemia.
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
a. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea, pernafasan menggunakan otot
aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai sehari.
c. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor,
wheezing.
d. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.
e. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelainan
dasarnya. Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya berupa pernafasan
yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat
atau biru, dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi.
Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain
segera setelah sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan
penderita tidak membaik.
Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi serius seperti
gagal ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila
pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena penderita kurang
mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia bakterial dalam
perjalanan penyakitnya.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
a. Cemas
b. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh
kegagalan organ lain)
c. Penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak
sangat sakit.
21
II.16. Diagnosis Banding
a. Edema paru kardiogenik
b. Infeksi paru : viral, bakterial, fungal
c. Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian (high – altitude pulmonary
edema = HAPE)
d. Edema paru neurogenik
e. Edema paru diinduksi laringospasme
f. Edema paru diinduski obat : heroin, salisilat, kokain
g. Pneumonitis radiasi
h. Sindrom emboli lemak
i. Stenosis mitral dengan perdarahan alveolar
j. Vaskulitis
k. Pneumonitis hipersensitivitas
i. Penyakit paru interstisial
II.17. Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik sering tidak spesifik dan termasuk takipnea, takikardia, dan
kebutuhan untuk sebagian kecil tinggi oksigen terinspirasi (FiO2) untuk mempertahankan
saturasi oksigen. Pasien mungkin demam atau hipotermia. Karena ARDS sering terjadi
dalam konteks sepsis, hipotensi terkait dan vasokonstriksi perifer dengan ekstremitas
dingin mungkin ada. Sianosis pada bibir dan kuku tempat tidur dapat terjadi. Pemeriksaan
paru – paru dapat mengungkapkan rales bilateral. Rales mungkin tidak hadir meskipun
keterlibatan luas. Karena pasien sering diintubasi dan ventilasi mekanik, bunyi nafas
menurun lebih dari 1 paru – paru dapat menunjukkan pneumotoraks atau tabung
endotrakeal turun bronkus utama kanan.
Manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya, temuan perut akut dalam
kasus ARDS disebabkan oleh pankreatitis. Pada pasien septik tanpa sumber yang jelas,
perhatikan selama pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi penyebab potensial dari
sepsis, termasuk tanda-tanda konsolidasi paru-paru atau temuan konsisten dengan
abdomen akut. Hati-hati memeriksa situs garis intravaskuler, luka bedah, situs tiriskan,
dan ulkus dekubitus untuk bukti infeksi. Periksa subkutan udara, manifestasi infeksi atau
barotrauma. Karena edema paru kardiogenik harus dibedakan dari ARDS, hati-hati
22
mencari tanda-tanda gagal jantung kongestif atau kelebihan beban volume intravaskular,
termasuk distensi vena jugularis, murmur jantung dan gallop, hepatomegali, dan edema.
II.18. Pemeriksaan Penunjang
Dalam ARDS, jika tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2)
dibagi oleh fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2), hasilnya adalah 200 atau kurang.
Untuk pasien bernafas oksigen 100%, ini berarti bahwa PaO2 kurang dari 200. Pada
cedera paru akut (ALI), rasio PaO2/FIO2 kurang dari 300.
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis
pernapasan. Namun, dalam ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik
dengan atau tanpa kompensasi pernapasan mungkin ada.
Saat kondisi berlangsung dan pekerjaan peningkatan pernapasan, tekanan parsial
karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat dan alkalosis pernapasan memberikan cara
untuk asidosis pernafasan. Pasien pada ventilasi mekanik untuk ARDS mungkin
diperbolehkan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan dari
volume tidal rendah dan terbatas dataran tinggi strategi ventilator tekanan yang bertujuan
untuk membatasi ventilator terkait cedera paru-paru.
Untuk mengecualikan edema paru kardiogenik, mungkin akan membantu untuk
mendapatkan plasma B-type natriuretic peptide (BNP) nilai dan ekokardiogram. Tingkat
BNP kurang dari 100 pg / mL pada pasien dengan infiltrat bilateral dan hipoksemia
nikmat diagnosis ARDS / cedera paru akut (ALI) daripada edema paru kardiogenik.
Echocardiogram yang menyediakan informasi tentang fraksi ejeksi ventrikel kiri, gerakan
dinding, dan kelainan katup.
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab atau
komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut:
1. Laboratorium
a. Analisis gas darah : hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),
hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik pada
awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik.
b. Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi
sistemik dan injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).
23
c. Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular diseminata
(sebagai bagian dari MODS / multiple organ dysfunction syndrome).
d. Sitokin – sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang meningkat
dalam serum pasien pada risiko ARDS
2. Pencitraan
a. Foto dada : pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif
jernih, kemudian tampak bayangan radioopak difus dan tidak terpengaruh
gravitasi, tanpa gambaran kongesti jantung.
b. CT scan : pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto
supine).
II.19. Tatalaksana
1. Ambil alih fungsi pernapasan dengan ventilator mekanik.
Prinsip pengaturan ventilator untuk pasien ARDS meliputi:
Volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB).
Positive end expiratory pressure (PEEP) yang adekuat, untuk memberikan
oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman.
Menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah
titik refleksi dari kurva pressure-volume).
Menyesuaikan rasio I:E (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi
terhadap ekspirasi dan hiperkapnia yang diperbolehkan).
2. Obat – obatan :
a. Kortikosteroid pada pasien dengan fase lanjut ARDS / ALI atau fase
fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten, pada
atau sekitar hari ketujuh ARDS. Rekomendasi mengenai hal ini masih
menunggu hasil studi multisenter RCT besar yang sedang berlangsung.
b. Inhalasi nitric oxide (NO) memberi efek vasodilatasi selektif pada area paru
yang terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner dan tekanan
arteri pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi arterial.
Diberikan hanya pada pasien dengan hipoksia berat dengan refrakter.
3. Posisi pasien : posisi telungkup meningkatkan oksigenasi, tetapi tidak mengubah
mortalitas. Perhatian terutama saat merubah posisi telentang ke telungkup, dan
mencegah dekubitus pada area yang menumpu beban.
4. Cairan : pemberian cairan harus menghitung keseimbangan antara :
24
a. Kebutuhan perfusi organ yang optimal
b. Masalah ekstravasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskular mendorong akumulasi cairan di alveolus.
Fokus utama ialah mempertahankan perfusi yang adekuat tanpa mengorbankan
oksigenasi. Restriksi cairan paling baik dimonitor dengan kateter arteri pulmonal, dan
cairan dipertahankan pada level dimana tekanan hidrostatik intravaskular terendah, tetapi
curah jantung adekuat. Tetapi hal ini tidak terbukti memperbaiki hasil pengobatan.
II.20. Komplikasi
a. Multiorgan dysfunction syndrome (MODS)
b. Pneumonia nosokomial
c. Barotraumas, pneumotoraks
d. Sinusitis
e. Trauma laring
f. Trakeomalasia
g. Fistula trakeo – esophageal
h. Erosi arteri inominata
i. Kematian
25
II.21. Prognosis
Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh:
a. Faktor resiko, ada tidaknya sepsis, pasca trauma, dan lain – lain
b. Penyakit dasar
c. Adanya keganasan
d. Adanya atau timbulnya disfungsi organ multipel
e. Usia
f. Riwayat penggunaan alkohol
g. Ada atau tidaknya perbaikan dalam indeks pertukaran gas, seperti rasio PaO2
/ FIO2 dalam 3-7 hari pertama.
Pasien yang membaik akan mengalami pemulihan fungsi paru dalam 3 bulan dan
mencapai fungsi maksimum yang dapat dicapai pada bulan keenam setelah ekstubasi.
50% pasien tetap memiliki abnormalitas, termasuk gangguan restriksi dan penurunan
kapasitas difusi. Juga terjadi penurunan kualitas hidup.
26
BAB III
KESIMPULAN
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang
ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar – kapiler terhadap air,
larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi
cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein.
Dasar definisi yang dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS
Amerika-Eropa tahun 1994 terdiri dari :
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut;
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang
diinspirasi (PaO2 / FIO2) < 200 mmHg – hipoksemia berat;
3. Radiografi dada : infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema
paru;
4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18
mmHg, tanpa tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) adanya hipertensi
atrial kiri / (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).
Penyebabnya bisa penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak
langsung melukai paru-paru seperti: pneumoni virus, bakteri, fungal; contusio
paru, aspirasi cairan lambung, inhalasi asap berlebih, inhalasi toksin, menghisap
O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama, sepsis, shock, luka bakar hebat,
tenggelam,dsb.
Onset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang
menjadi faktor resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea. Dapat ditemui
hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan ronki basah. Pemeriksaan penunjang
laboratorium yang dapat membantu menegakkan diagnosis seperti analisis gas
darah, darah rutin, pemeriksaan fungsi hati dan ginjal, serta sitokin. Pemeriksaan
pencitraan seperti foto dada dan CT scan juga dapat membantu diagnosis ARDS.
Penanganan untuk ARDS berupa pemakaian ventilator mekanik, obat –
obatan, posisi pasien dan terapi cairan. Fokus utama ialah mempertahankan
perfusi yang adekuat tanpa mengorbankan oksigenasi. Restriksi cairan paling baik
dimonitor dengan kateter arteri pulmonal, dan cairan dipertahankan pada level
27
dimana tekanan hidrostatik intravaskular terendah, tetapi curah jantung adekuat.
Tetapi hal ini tidak terbukti memperbaiki hasil pengobatan.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W. (2010), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V, Jakarta,
Interna Publishing
2. Corwin, Elizabeth J. (2009), Patofisiologi, Jakarta, EGC Ashbaugh DG, Bigelow
DB, Petty TL. Acute respiratory distress in adults. Lancet. Aug 12
1967;2(7511):319-23.
3. Guerin C, Gaillard S, Lemasson S. Effects of systematic prone positioning in
hypoxemic acute respiratory failure: a randomized controlled trial. JAMA. Nov
17 2004;292(19):2379-87.
4. Calfee CS, Matthay MA, Eisner MD, Benowitz N, Call M, Pittet JF, et al. Active
and Passive Cigarette Smoking and Acute Lung Injury Following Severe Blunt
Trauma. Am J Respir Crit Care Med. Mar 18 2011
5. Glavan BJ, Holden TD, Goss CH, Black RA, Neff MJ, Nathens AB, et al.
Genetic variation in the FAS gene and associations with acute lung injury. Am J
Respir Crit Care Med. Feb 1 2011;183(3):356-63.
6. Rubenfeld GD, Caldwell E, Peabody E, Weaver J, Martin DP, Neff M. Incidence
and outcomes of acute lung injury. N Engl J Med. Oct 20 2005;353(16):1685-93.
7. Luhr OR, Antonsen K, Karlsson M. Incidence and mortality after acute
respiratory failure and acute respiratory distress syndrome in Sweden, Denmark,
and Iceland. The ARF Study Group. Am J Respir Crit Care Med. Jun
1999;159(6):1849-61.
8. http://medicastore.com/penyakit/106/
Sindroma_Gawat_Pernafasan_Akut.ht.ml09.42,140909)
9. Eloise M. Harman, MD. Rajat, Walia, MD. 2005. Acute Respiratory Distress
Syndrome ( http://www.emedicine.com/med/topic70.htm )
10. Mark J D Griffiths dan Timothy W Evans, 2003. Acute Respiratory Distress
Syndrome dalam Respiratori Medicine, volume I Edisi 3, RDC Group LTD.