Referat Interna SN Pada Kehamilan
-
Upload
nurika-arviana -
Category
Documents
-
view
78 -
download
4
Transcript of Referat Interna SN Pada Kehamilan
BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan berpengaruh secara mekanis dan hormonal terhadap fungsi traktus urinarius
yang secara embriologis berasal dari traktus genitalis. Deregulasi kerja fisiologis ginjal dapat
menginduksi perubahan yang bisa membahayakan kehamilan serta meninggalkan penyakit yang
menetap dan progresif bagi ibu hamil. Kehamilan bersamaan dengan perubahan anatomi, fungsi
ginjal dan regulasi volume cairan tubuh
Profil klinis penyakit parenkim ginjal selama kehamilan masih belum banyak dipahami.
Belum banyak studi prospektif yang menyelidiki hubungan klinis dan histologisnya. Analisis
retrospektif menunjukkan bahwa penyakit ginjal progresif mengurangi kesempatan menyokong
kehamilan yang viabel. Pada kreatinin serum > 3 mg% dan urea nitrogen darah > 30 mg% jarang
didapatkan kehamilan bisa normal. Ibu hamil dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan
sampai sedang dilaporkan dapat melahirkan bayi yang viabel, tetapi ada juga yang melaporkan
pasien sampai menjalani hemodialisis intermiten pada keadaan fungsi ginjal yang memburuk.
Jika penyakit parenkim ginjal tidak berhubungan dengan hipertensi, kehamilan dapat berlanjut
tanpa banyak komplikasi.
SN pada kehamilan secara umum jarang terjadi. Apabila kehamilan disertai SN, maka
pengobatan serta prognosis ibu dan anak tergantung pada faktor penyebabnya dan pada beratnya
insufisiensi ginjal.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
I.I Anatomi Ginjal
Sistem kemih terdiri dari organ pembentuk urin, ginjal, dan struktur struktur yang
menyalurkan urin dari ginjal ke luar tubuh.
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga
abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis T12 – L3 sedikit di atas garis pinggang. Ginjal
terletak di retroperitoneum dengan ginjal kanan terletak lebih rendah daripada ginjal kiri karena
adanya hepar. Berat ginjal + 150 gr dengan ukuran panjang 10-12 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal 2-
3 cm.
Gambar 1 Letak Ginjal
Tiap ginjal dibungkus dalam suatu membran transparan yang berserat yang disebut renal
capsule. Membran ini melindungi ginjal dari trauma dan infeksi. Membran ini tersusun dari serat
yang kuat terutama kolagen dan elastin yang membantu menyokong massa ginjal dan
melindungin jaringan vital dari luka. Renal capsule menerima suplai darahnya terutama dari
arteri interlobar, pembuluh darah yang merupakan percabangan dari arteri renalis.
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda yaitu korteks dan
medulla. Di bagian korteks terdapat jutaan alat penyaring yang disebut nefron. Setiap nefron
terdiri atas komponon vaskuler, badan malpighi, dan bagian tubulus. Badan malpighi terdiri atas
kapsula bowman dan glomerulus. Glomerulus merupakan bagian dominan dari komponen
vaskuler yang merupakan suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat
terlarut dari darah yang melewatinya. Cairan yang sudah terlfiltrasi akan mengalir ke komponen
tubulus nefron yang kemudain mengubahnya menjadi urin. Tubulus kontortus terdiri atas tubulus
kontortus proksimal, distal, dan kolektivus. Diantara tubulus kontortus proksimal dan distal
terdapat lengkung Henle pars asenden dan desenden.
Gambar 2 Struktur Ginjal
Ginjal menerima darah + 20% dari cardiac output. Perdarahan ginjal berasal dari arrteri
renal yang berada setinggi L2. Darah tersebut masuk ke hilus renal. Cabang pertama dari arteri
renalis adalah arteri suprarenal inferior. Arteri renalis juga bercabang menjadi 5 bagian, arteri
segmental posterior mensuplai sebagian besar bagian posterior ginjal, kecuali pool bawah ginjal.
Bagian anteriornya meliputi arteri segmenral superior, arteri segmental anterior superior, arteri
segmenral inferior, dan arteri segmental inferior. Arteri ini akan bercabang menjadi arteri
interlobaris yang akan masuk diantara piramid (calix mayor) kemudian bercabang menjadi arteri
arcuata yang akan masuk ke korteks melalui basis dari piramid ginjal. Kemudian ateri tersebut
akan membentuk arteriole interlobularis yang akan membentuk arteriola afferent pada
glomerulus lalu menjadi kapiler peritubular dan menjadi arteriola eferent.
Gambar 3 Perdarahan Ginjal
Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan ke dalam jalian vena
selanjutnya menuju interlobularis, vea arkuata, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya
mencapai vena cafa superior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui
segmen T10-L1, elalui n.splanchnicus major, n lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik
dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
I.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal berperan penting dalam mempertahankan homeostasis dengan mengatur
konsentrasi banyak konstituen plasma, terutama elektrolit dan air, dan dengan mengeliminasi
semua zat sisa metabolisme dalam bentuk urin. Selain itu, ginjal juga berfungsi mengatur volume
dan osmolaritas lingkungan cairan interna dengan mengontrol keseimbangan air dan garam.
Ginjal juga membantu mengatur pH dengan mengontrol eliminasi asam dan basa di urin.
Ginjal melakukan 3 proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretoriknya yaitu :
a. Filtrasi glomerulus; perpindahan non-diskriminatif plasma non-protein dari darah ke
dlam tubular
b. Reabsorpsi tubulus ; perpindahan selektif konstituen-konstituen tertrentu dalam filtrat
kembali ke dalam kapiler peritubulus
c. Sekresi tubulus ; perpindahan yang sangat spesifik zat-zat tertentu dari darah kapiler
peritubuluske dalam cairan tubulus.
Pada saat darah mengalir melalui glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas-protein menmebus
kapiler glomerulus ke dalam kapsul bowman, yang disebut filtrasi glomerulus, yang merupakan
langkah pertama dalam pembentukan urin. Normalnya, sekitar 20% plasma dari curah jantung
(1200ml/menit) yang masuk ke ginjal, atau sekitar seperlima dari plasma (125ml/menit) dialirkan
melalui glomerulus ke kapsula bowman dan menghasilkan rata rata 180 liter filtrat glomerulus
untuk GFR rata rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat/hari untuk GFR 115 ml/menit
pada wanita.
Cairan yag difiltrasi harus melewati 3 lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu
dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler (membran basal), dan lapisan dalam
kapsul bowman. Ketiganya berfungsi sebagai saringan molekul halus yang menahan sel darah
merah dan protein plasma, tetapi melewatkan H2O dan zat terlarut lain yang ukuran
molekulernya cukup kecil.
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari selapis sel endotel gepeng, yang memiliki fenestra
(lubang-lubang yang memiliki pori-pori besar) yang membuatnya 100x permeabel terhadap H2O
dan zat terlarut lain. Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen. Kolagen menghasilkan
kekuatan struktural dan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Namun pori porti
tersebut sebenarnya bisa dilewati oleh albumin, protein plasma terkecil. Namun, karena
glikoprotein bermuatan sangat negatif maka akan menolak albumin karena bermuatan positif .
Sehingga, hanya <1% molekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsul bowman. Bila
terjadi albuminuria, maka diperkirakan adanya gangguan pada muatan negatif dalam membran
glomerulus. Lapisan dalam kapsul bowman terdiri dari sel podosit yang membentuk jalan untuk
cairan untuk masuk ke lumen kapsul bowman.
Setelah semua konstituen plasma difiltrasi kecuali protein, beberapa bahan bahan yang
masih diperlukan oleh tubuh dikembalikan ke darah melalui proses reabsorpsi tubulus, yaitu
perpindahan bahan dari lumen tubulus ke dalam kapiler peritubulus. Proses ini merupakan sangat
selektif. Umumnya, jmlah setiap bahan yang direabsorsi adalah jumlah yang diperlukan untuk
mempertahankan komposisi dan volume lingkungan cairan internal yang sesuai. Tubulus
biasanya mereabsorpsi 99% dari H2O yang difiltrasi, 100% gula yang difiltrasi,d an 99,5% garam
yang difiltrasi.
Semua zat yang masuk ke cairan tubulus, baik melalui filtrasi glomerulus maupun sekresi
tubulus dan tidak direabsorpsi, akan dieliminasi dalam urin. Bahan yang paling penting yang
disekresikan oleh tubulus adalah H+ yang penting untuk mengatur keseimbangan asam basa, K+
yang menjaga konsentrasi K+ plasma pada tingkat yang sesuai untuk mempertahakan membran
sel otot dan saraf, dan anion dan kation anorganiik, yang melaksanakan eliminasi senyawa-
senyawa organis asing dari tubuh.
Biasanya dari 125ml plasma yang difiltrasi di glomerulus per menit, daam keadaan
normal hanya 1ml/menit yang tertinggal di tubulus dan dieskresikan sebagai urin. Sehingga urin
yang dieskresikan per hari adalah 1,5 liter.
Selain fungsi eskresi, ginjal juga berfungsi sebagai penghasil hormon, seperti eritropoetin
dan renin. Eritropoetin merupakan hormon yg merangsng produksi sel darah merah oleh sumsum
tulang. Ini berperan sebagai homeostasiss dengan mempertahankan kandungan O2 yang optimal
dalam darah. Sedangkan renin berfungsi dalam sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron) yang
berfungsi mengontrol reabsorpsi Na+ oleh tubulus,yang berguna mempertahankan tekanan darah
arteri.
BAB III
SINDROMA NEFROTIK
3.1 DEFINISI
Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis, yang
ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >3.5 gr/hari, dan hipoalbuminemia <3,5
gr/dl. Terkadang hiperkolesterolemia dan lipiduria dapat ditemukan. Proteinuria masif
merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah,
eksresi protein dalam urin juga berkurang.
3.2 ETIOLOGI
Sindrom nefrotik disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyakit SN yang paling sering.
Kelainan histopatologik yang sering ditemukan dalam kelompok GN primer yaitu GN lesi
minimal, glomerulosklerosis fokal segmental, GN membranosa dan GN
membranoploriferatif.
Sedangkan glomerulonefritis sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan
penghubung, obat/toksin, dan akibat penyakit sistemik. Penyakit sekunder akibat infeksi
yang sering ditemukan yaitu pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus
hepatitis B. GN akibat obat misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas
organic, dan akibat penyakit sistemik pada lupus eritematosus sistemik, diabetes mellitus
dan amiloidosis.
3.3 GEJALA DAN TANDA KLINIS
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal kurang dari 0,1% dari plasma albumin
dapat melintasi penghalang filtrasi glomerulus. Mekanisme penghalang membran
basal glomerulus yang pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasar
muatan listrik.
Proteinuria dibedakan selektif dan non-selektif berdasarkan besarnya ukuran
molekul yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein
yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin.
b. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati,
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma.
c. Edema
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan akhirnya
masuk dalam hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini menyebabkan menurunnya
tekanan onkotik plasma, sebabkan tekanan intravaskuler lebih besar dari
ekstravaskuler, dengan demikian cairan berpindah dari intravaskuler ke
ekstravaskuler. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan
plasma, terjadi hipovolemi, sehingga ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berlanjut.
Teori yang lain menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium menyebabkan tekanan hidrostatik plasma meningkat, dan terjadi
perpindahan cairan intravaskuler ke ekstravaskuler. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema.
3.4 KOMPLIKASI
a. Keseimbangan nitrogen
Proteinuri masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif.
b. Hiperlipidemia dan lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Mekanisme
hiperlipidemi pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein
hati dan menurunya katabolisme. Hiperlipidemi secara tidak langsung dihubungkan
dengan hipoalbuminemia. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh peningkatan
(low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid
yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein),
tetapi pada SN dapat normal maupun meningkat. Dimana tingginya kadar LDL pada
SN disebabkan oleh peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.
Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun.
Lipiduria sering ditemukan pada SNdan ditandai dengan akumulasi lipid pada
debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval dan fatty cast. Lipiduria lebih
dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia, dengan mekanisme
yang belum diketahui.
c. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboembolitik sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravaskuler. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering dijumpai
pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai
faktor koagulasi intrinsic dan ekstrinsik.
Pada SN dengan GN membranosa kecenderungan terjadinya thrombosis vena
renalis cukup tinggi sedangkan pada GN lesi minimal dan membranoproliferatif
frekuensinya kecil. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN dihubungkan dengan
peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan penurunan fibrinolisis.
Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati
dan kehilangan protein melalui urin.
d. Metabolism kalsium dan tulang
Unsur penting dalam metabolism kalsium dan tulang adalah vitamin D. vitamin D
terikat oleh protein akan dieksresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan
didalam plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D plasma ikut menurun, sedangkan
kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan.
e. Infeksi
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan
sistem komplemen. Penurunan IgG , IgA, dan gamma globulinsering ditemukan pada
pasien SN oleh karena sistesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan
bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T yang berkurang
menggambarkan gangguan imunitas selular, hal ini dikaitkan dengan keluarnya
transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.
f. Gangguan fungsi ginjal
Penurunan volume plasma atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis
tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan dapat menjadi gagal ginjal akut
adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.
Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis dan
kerusakan tubulointerstitium dikaitkan denga proteinuria. Hiperlipidemia juga
dihubungkan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis
tubulointerstisium pada SN.
g. Komplikasi lain
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa, terutama apabila disertai
proteinuria masif,asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi.
Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena
hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma tinggi. Hipertensi
dapat ditemukan yang dikaitkan dengan retensi natrium dan air.
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Darah rutin (Hb, Ht, leukosit dan trombosit)
Untuk melihat apakah ada penurunan hemoglobin dan hematokrit yang dapat
disebabkan oleh masukan nutrisi yang kuran atau suatu gejala dari komplikasi
gangguan fungsi ginjal. Jika terdapat peningkatan leukosit, pasien sudah masuk dalam
komplikasi infeksi.
- Kimia darah : ureum, kreatinin, albumin, dan kolesterol
Ureum dan kreatinin untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus, yang dapat menandakan
fungsi ginjal baik atau tidak. Pemeriksaan albumin sangat penting dalam SN, yaitu akan
didapatkan albumin <3,5 gr/dl (hipoalbuminemia). Sedangkan pemeriksaan kolesterol
meningkat bila SN masuk dalam komplikasi hiperlipidemia.
- Urinalisis lengkap
Untuk melihat terdapat protein dan lipid dalam urin. uji sedimen dilakukan untuk
melihat ada tidaknya kelainan dalam sedimen urin, seperti silinder hyaline.
- USG abdomen : memastikan adanya ascites, kelainan hepar dan ginjal.
- Biopsi ginjal : lihat histopatologi dari glomerulus ginjal.
3.6 PENATALAKSANAAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan pada penyakit dasar dan
pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati
komplikasi.
1. Farmakologi
Diuretik (furosemid 80-120 mg) : untuk menontrol edema.
Antihipertensi (ACE inhibitor/ARB) : dapat menurunkan tekanan darah dan
kombinasi keduanya mempunyai efek adiktif dalam menurunkan
proteinuria.
Antikoagulan (heparin) : untuk penanganan komplikasi tromboemboli.
Penurun lemak (simvastatin, pravastatin atau lovastatin) : untuk
penanganan kompikasi hiperlipidemia, dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.
2. Non-farmakologi
Tirah baring : untuk menontrol edema.
Diet rendah garam : untuk menontrol edema.
Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kgBB/hari : sebagai control
proteinuria, diharapkan dapat memperbaiki proteinuria dan mencegah
komplikasi yang mungkin ditimbulkan.
BAB IV
SINDROM NEFROTIK PADA KEHAMILAN
Sindrom nefrotik terjadi pada 0,012 – 0,025% dari semua kehamilan. Insidensi
pregnancy-induced hypertension adalah 3 % kasus dan eklampsi 0,1%. Penyebab yang sering
pada kehamilan trimester akhir adalah pre‐eklampsia. Penyebab lain daris indroma nefrotik
dalam kehamilan termasuk membranous nephropaty, proliferative atau membranproliferative
glomerulonefritis,lipid nefrosis, lupus nephropathy, hereditary nephritis, diabetic nephropaty,
renal vein thrombosis, amyloidosis, dan secondary syphilis. (Pandy B,Gibson S,Robertson L.Nephrotic syndrome in early
pregnancy- is renal biopsy always nessecary? Nephrol Dial Transplan 2002;17;672-674)
Preeklampsi banyak menimbulkan komplikasi ginjal pada kehamilan, secara histologis
abnormalitasnya ditemukan di glomerullus, berupa pembengkakan dan proliferasi sel sel endotel
kapiler glomerulus dengan penyempitan lumen kapiler. Proteinuri akibat preeklampsi cukup
sering untuk menginduksi gambaran klinis SN.
Steroid sering digunakan dalam pengobatan sindrom nefrotik. Namun dalam kehamilan,
penggunaan steroid dapat menambah masalah bagi bayi maupun ibu. Terkadang beberapa kasus
sindrom nefrotik tidak berespon pada pemberian steroid, malah makin memperberat penyakitnya.
Karena itu, penting mengetahui histologi dari kerusakan ginjal yang terjadi sebelum memulai
terapi.
Biopsi renal sering direkomendasikan pada pasien SN untuk mengetahui subtipe dari SN,
menilai perjalanan penyakit, ataupun untuk mengkonfirmasi diagnosis seperti amyloidosis atau
SLE. Namun, tidak ada aturan yang jelas yang mengatur kapan biopsi renal diindikasikan pada
pasien dengan SN Misalnya, pada diabetik nefropati, penyebab dari SN sekunder, biopsi renal
mungkin tidak dibutuhkan. (Kodner Charles, Nephrotic Syndrome in Aduts : Diagnosis and Management. 2009. avilable at
http://www.aafp.org/afp/2009/1115/p1129.html. accesed on December, 29,2012)
Untuk mencari penyebab SN pada kehamilan dilakukan biopsi ginjal. Tindakan ini sering
dilakukan pada SN yang tidak disebabkan oleh preeklamsi dan SN yang terjadi pada awal
kehamilan. Biopsi dilakukan pada posisi telungkup pada usia kehamilan di atas 20 minggu,
setelah masa itu lebih baik dalam posisi duduk. Kontraindikasi absolut dan relatif tidak berbeda
seperti pada wanita yang tidak hamil. Biopsi ginjal juga dibutuhkan untuk menentukan jenis
terapi terutama peranan steroid.Umumnya sindrom nefrotik dalam kehamilan menyebabkan sedikit masalah bila tidak terdapat hipertensi ataupun kelainan fungsi ginjal. Beberapa
perubahan fisiologis dalam kehamilan menyebabkan dilematik diagnosa karena penyakit ini meniru eksaserbasi penyakit lain. Misalnya, peningkatan hemodinamik
pada hinkal, yang akan meningkatkan tekanan vena, sehingga pengeluaran protein dalam urin dalam kehamilan secara fisiologis meningkat menjadi 0.39 g/hari dan
albumin serum menurun sampai 5-10 g/l. Penurunan serum albumin karena sindrom nefrotik dapat menyebabkan retensi cairan. (Suki Wadi,Massry Shaul. Terapy of
Renal Disease and Related Disorder.1991.2nd ed. p 520-521)
Hemodinamik sistemik Fungsi Ginjal
Ekspansi volume
Penurunan resistensi pembuluh darah
Penurunan tekanan darah
Peningkatan tekanan darah
Peningkatan aliran darah ginjal
Peningkatan LFG
Hipoproteinemia
Alkalosis respiratorik kronik dan asidosis
metabolik yang seimbang
Tabel 1. Peubahan fisiologis pada Wanita Hamil
Meskipun pada penyakit ini terdapat edema, karena adanya penurunan relatif dalam volume
intravaskuler, pemberian diuretik dapat mempengaruhi perfusi aliran darah ureteroplasenta atau
menyebabkan kecenderungan meningkatnya episode trombotik.
Penurunan serum albumin dapat dapat dihubungkan dengan adanya bayi BBLR (berat badan
lahir rendah) ataupun hasil janin yang buruk.
Sindrom nefrotik dalam kehamilan dapat dibagi menjadi 4 tipe yaitu :
1. Sindrom Nefrotik yang berhubungan dengan preeklampsia
merupakan tipe yang paling sering terjadi.
2. Cyclic nephrotic syndrome of pregnancy
Tipe ini menyerang pada saat kehamilan, dan akan sembuh spontan setelah
kelahiran. Namun, sindrom nefrotik jenis ini dapat timbul kembali apabila pasien hamil
lagi. Tipe ini jarang terjadi. Umumnya kasus ini terjadi pada pasien preeklamsi dengan
latar belakang penyakit parenkim ginjal sebelumnya.
Kasus ini pertama dilaporkan Schreiner (1963) pada 1 kasus SN yang
dihubungkan dengan pengulangan kehamilan.Walaupun fungsi ginjal adekuat dan
hipertensi pada awalnya tidak dijumpai, pasien akhirnya meninggal karena gagal ginjal
dengan gambaran histologi proliferative campuran dan perubahan membranous di
glomerulus. Schreiner menyebutkan bahwa kasus ini disebabkan respon hiperimun yang
berhubungan dengan adanya produk kehamilan yang tidak diketahui.
3. Glomeruloneritis kronik dalam kehamilan
Waanita dengan sindrom nefrotik jenis ini sebelumnya memiliki riwayat penyakit
nefritis, atau ditemukan pada periode awal dari kehamilan.
4. Sindrom Nefrotik sekunder
Biasanya disebabkan pada kehamilan dengan berbagai penyakit lain seperti pada
nefritis lupus, neuropati diabetik, tromobosis vena renalis, dll.(anonim. Pegnancy and Neprhotic
syndrome.2011.available at http://nephrotic-syndrome.blogspot.com/. acsesed at december 29,2012)
PATOFISIOLOGI
Pada individu sehat, dinding kapiler glomerulus berfungsi sebagai sawar untuk
menyingkirkan protein agar tidak memasuki ruangan urinarius melalui diskriminasi
ukuran dan muatan listrik. Dengan adanya gangguan glomerulus, ukuran dan muatan
sawar selektif rusak.
Umumnya molekul dengan radius < 17 A° dapat melalui filter glomerulus,
sedangkan yang radius molekulnya > 44 A° tidak. Albumin dengan radius molekul 36 A°
mempunyai bersihan fraksional sekitar 10% laju filtrasi glomerulus (LFG). Dinding
kapiler glomerulus mempunyai muatan negatif atau anionik pada permukaan endotelnya
sampai seluruh membrana basalis glomerulus dan pada lapisan sel epitelnya, sehingga
dinding kapiler dapat menolak muatan positif dari protein plasma. Jika gomerulus intak
hanya albumin yang dapat lolos melalui filtrasi glomerulus. Protein diekskresikan < 150
mg / hari dalam urin.Proteinuri pada SN terutama terdiri dari proteinuri glomerular.
Sedangkan proteinuri tubulus tidak berperan penting, hanya turut memperberat derajat
proteinuri.
Pada kehamilan terjadi peningkatan hemodinamik ginjal dan/atau peningkatan
tekanan vena ginjal yang dapat menambah ekskresi protein melalui urin. Telah diteliti
bahwa 95% wanita hamil normal mengekskresikan protein > 200 mg/hari. Disepakati
abnormal pada kehamilan jika lebih dari 300-500 mg/hari. Proteinuri persisten pada
kehamilan umumnya disebabkan preeklamsi, makin meningkat pada paruh kedua usia
kehamilan dan umumnya terjadi setelah timbulnya hipertensi.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan SN pada kehamilan terdiri dari terapi simptomatik dan spesifik
terhadap penyakit glomerulus primer serta pemilihan obat yang aman bagi ibu dan janinnya. (Kodner Charles, Nephrotic Syndrome in Aduts : Diagnosis and Management. 2009. avilable at http://www.aafp.org/afp/2009/1115/p1129.html. accesed on December,
29,2012)
a. Secara Umum
Penderita dengan edema anasarka berat harus rawat inap dan istirahat di tempat
tidur untuk mengurangi proteinuri. Mobilisasi otot-otot penting untuk mencegah atrofi
otot ekstremitas. Penderita edema ringan cukup rawat jalan dan mengurangi mobilisasi
aktif untuk mencegah proteinuri ortostatik
b. Diet Tinggi Protein dan Pembatasan Garam Dapur
Diet ini untuk kompensasi kehilangan protein melalui urin. Efek kehilangan
protein berlebih dapat menimbulkan retardasi pertumbuhan janin. Jika terjadi
hipoproteinemi ibu harus mendapat diet tinggi protein (3g/kgbb.) dari jenis protein
hewani yang mempunyai nilai biologis tinggi.
Untuk penderita edema anasarka dilakukan restriksi garam ketat 10 mEq/hari.
c. Infus salt-poor human albumin
Pada keadaan tidak hamil indikasi pemberian infus saltpoor human albumin
adalah pada pasien-pasien SN yang resisten terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200
mg spirinolakton). Pada SN dengan kehamilan infus saltpoor human albumin diberikan
jika oligemi bertanggung jawab terhadap perburukan fungsi ginjal yang progresif.
d. Diuretik
Diuretik harus dihindari karena dapat meningkatkan cairan intravaskuler dan
mempengaruhi perfusi uteroplasenta,s elain itu penurunan tekanan darah selama
kehamilan dapat memprovokasi kolaps sirkulasi atau episode tromboemboli.
Pengecualian hal ini adalah pada bentuk nefrotik tertentu yang juga memunculkan
hipertensi yang sensitif garam (terutama wanita dengan nefropati diabetik),pada kasus
seperti itu restriksi garam yang lebih ketat, kombinasi dengan diuretik yang hati-hati
dapat menghindari terminasi pada awal trimester III akibat tekanan darah tidak terkontrol.
(16) Juga pada kasus-kasus edema nefrotik yang makin memburuk selama kehamilan
dapat dipertimbangkan diuretik.
e. ACE-Inhibitor
Walaupun mempunyai efek antiproteinuri dan antihipertensi, golongan obat ini
dikontra indikasikan pada kehamilan karena efek yang tidak diinginkan pada janin berupa
gagal ginjal dan kematian janin.
f. Antibiotik
Diketahui setiap SN sangat peka terhadap infeksi sekunder, renal maupun
ekstrarenal. Pada kehamilan sering dijumpai bakteriuri asimtomatik yang jika tidak
diobati 25% akan berkembang menjadi infeksi akut simtomatis. Sejumlah 18%
kehamilan nefrotik menderita komplikasi infeksi dan sebagian besar merupakan infeksi
saluran kemih. Kedua keadaan tersebut akan menambah risiko infeksi sekunder. Oleh
karena itu untuk menghindari komplikasi infeksi pasien harus sering diperiksa untuk
deteksi bakteriuri asimtomatik dan antibiotik harus diberikan dengan hati-hati pada bukti
infeksi yang sudah ada.
g. Antikoagulan
Antikoagulan dipertimbangkan untuk mencegah penyulit tromboemboli yang
mungkin terdapat pada SN. Wanita hamil dengan SN berisiko tinggi tromboemboli vena
dan perlu mendapat antikoagulan. Untuk ini, heparin lebih baik dibanding warfarin.
Siberman dan Adam menganjurkan pemberian heparin dalam masa nifas pada wanita
dengan SN.Heparin tidak terfraksinasi dan heparin berat molekul rendah tidak melewati
plasenta, sehingga aman digunakan. Pemberian antikoagulan tidak perlu jika diuretik
dihindari dan diet restriksi garam benar-benar diterapkan.
h. Anti agregasi trombosit
Aspirin atau dipiridamol sudah lama dikenal untuk mencegah penyulit
hiperkoagulasi dengan fenomena tromboemboli pada pasien SN. Efek farmakologiknya
terutama untuk mencegah agregasi trombosit dan deposit fibrin atau trombus. Begitu juga
halnya dengan indometasin yang selain memiliki efek anti agregasi trombosit juga efek
sebagai anti proteinuri. Penggunaan aspirin pada wanita hamil walaupun terbukti secara
epidemiologis dan klinis aman namun disebutkan dapat menimbulkan partus lama dan
risiko perdarahan pada neonatus dan ibunya. Indometasin tidak dianjurkan pada wanita
hamil karena melewati barier plasenta serta toksisitasnya. walaupun tidak terbukti
teratogenik.
i. Kortikosteroid
Steroid dengan kerja cepat dan waktu paruh biologik pendek (<12 jam) misalnya
kortison dan hidrokortison biasanya mempunyai efek farmakologik kurang cepat, sering
menimbulkan retensi garam dan air. Steroid dengan waktu paruh biologik panjang,
biasanya mempunyai efek farmakologik lebih poten, misalnya betametason dan
deksametason. Steroid kerja medium dengan waktu paruh biologik antara 12-36 jam
sangat ideal untuk pengobatan alternating (alternate-day therapy) yang mempunyai
banyak keuntungan untuk jangka panjang, misalnya prednison, prednisolon,
metilprednisolon dan triamnisolon. Golongan yang terakhir ini relatif tidak menyebabkan
retensi natrium. Kortikosterod dosis tinggi pada kehamilan berimplikasi pada naiknya
angka kejadian bibir sumbing dan osteoporosis. Dosis < 15 mg prednisolon/hari tidak
terbukti memiliki efek samping pada janin. Penyesuaian dosis kortikosteroid pada
kehamilan tidak diperlukan. Nefrosis lipoid dan nefropati lupus adalah tipe yang
responsif terhadap steroid.
j. Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan salah satu alkylating agent dan golongan imunosupresif
yang sangat poten. Dalam tubuh dimetabolisme oleh sel hati menjadi beberapa metabolit
aktif dan dieliminasi melalui ginjal. Karena efek sampingnya yang sangat berbahaya
maka perlu dipertimbangkan sebelum diputuskan akan digunakan pada SN. Indikasi
siklofosfamid adalah pada lesi minimal dengan:
1) tidak responsif terhadap kortikosteroid.
2) kambuh berulang (frequent relapse) dan tergantung kortikosteroid.
3) timbul efek samping kortikosteroid.
Siklofosfamid dapat menyebabkan infertilitas baik pada wanita maupun pria,
terutama pada dosis > 200 mg/kgbb. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena
teratogenik. Bahkan wanita yang mendapat terapi siklofosfamid dianjurkan untuk tidak
hamil sampai dengan 1 tahun setelah terapi.
k. Siklosforin
Siklosforin adalah imunosupresif yang paling aman digunakan pada kehamilan.
Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis pada keadaan hamil.
Penatalaksanaan pada sindrom nefrotik dalam kehamilan dapat dijelaskan pada tabel
dibawah ini :
Manifestasi Effect of pregnancy Manajemen
Proteinuria Peningkatan hemodinamik
dari ginjal dan juga
peningkatan tekanan vena
ginjal sehingga meningkatkan
peningkatan eskresi protein
dan memperberat penyakit.
Diet tinggi protein (3g/kg
berat badan).
Pemberian infus salt-poor
albumin mungkin berguna
pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal dan pada pasien
dengan hipotensi postural.
Hipoalbuminemia Albumin serum pada
kehamilan normal biasanya
menurun sampai 5-10g/l .
Penurunan yang lanjut pada
sindrom nefrotik dapay
meningkatkan resiko retensi
cairan.
Edema Biasanya meningkat pada
kehamilan
Hindari penggunaan diuretik,
yang mana akan menyebabkan
hipovolemia dan mengganggu
perfusi ureteroplacenta.
Hipovolemia juga dapat
memprovokasi kolaps
sirkulasi atau episode
trombotik.
Komplikasi infeksi Pasien SN dengan kehamilan
rentan dengan infeksi
sekunder, baik renal maupun
ekstrarenal.
Awasi pada pasien dengan
bakteriuria yang bergejala.
Beri penanangan seperti
pemberian antibiotik untuk
mengatasi infeksi.
Episode Trombotik Kehamilan merupakan
keadaaan hipokoagulasi.
Beberapa jurnal mengatakan
adanya peningkatan episode
trombotik pada pasien SN
dengan kehamilan.
Pemberian antikoagulan
profilaksis biasanya tidak
selalu diberikan. Apabila
antikoagulan sangat
dibutuhkan, heparin, yang
mana tidak menembus
plasenta, dapat diberikan.
Hiperlipidemia Kolesterol dan asam lemak
bebas biasanya meningkat
selama kehamilan.
Terapi jarang dibutuhkan pada
kehamilan. Obat penurun
lemak belum diuji pada
kehamilan
Tabel 2 Terapi pada Sindrom Nefrotik dalam Kehamilan
BAB V
KESIMPULAN
Sindrom nefrotik dapat terjadi bersamaan dengan kehamilan atau kehamilan dapat terjadi
pada penderita sindrom nefrotik. Prinsip penatalaksanaan secara umum tidak berbeda dengan
keadaan tidak hamil, kecuali penggunaan beberapa obat-obatan yang perlu menjadi perhatian
pada wanita hamil.
Prognosis dan keberhasilan kehamilan bergantung pada fungsi ginjal, proteinuri dan
hipertensi. Kebanyakan kehamilan berhasil dipertahankan sampai matur. Ada pernyataan bahwa
hipoalbuminemi yang berat berhubungan dengan bayi kecil. Janin dari ibu normotensi yang
menderita proteinuri selama kehamilan mempunyai gangguan neurologis dan perkembangan
mental. Prognosis biasanya kurang baik jika SN disebabkan post streptococcal proliferative
glomerulonephritis atau renal lupus erythematosus.
Prognosis janin pada preeklamsi dengan proteinuri berat lebih jelek daripada pada
keadaan preeklamsi lain, tetapi prognosis ibu sama saja. Prognosis baik pada kebanyakan
kehamilan nefrotik dengan fungsi ginjal yang masih dalam batas normal, tetapi beberapa ahli
berpendapat bahwa prognosis janin lebih buruk jika SN sudah mulai timbul pada awal
kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA