REFERAT HAFNI

download REFERAT HAFNI

of 23

Transcript of REFERAT HAFNI

REFERAT

PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

Disusun oleh : NOERHAFNI

Pembimbing: Dr. Bondan H. spJP

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBITUNG BEKASI BARAT 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT., atas rahmat dan ridho-NYA penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Penyakit Jantung Reumatik yang merupakan salah satu syarat dalam melaksanakan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu penyakit Dalam RSUD Cibitung Bekasi Barat. Referat yang berjudul Penyakit Jantung Reumatik ini berisikan tentang definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan pembantu, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis. Penulis menyadari dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Bondan H, Sp.JP selaku pembimbing referat ini, dan kepada seluruh pembimbing di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD atas ilmu dan bimbingannya selama ini, dan semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 22 Juni 2011

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

i ii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan

1 1 2

BAB II. TINJUAN PUSTAKA

3 3 3 4 5 6 7 9 9 10 12

II.1. Definisi II.2. Epidemiologi II.3. Anatomi II.4. Etiologi II.5. Faktor Resiko II.6. Patogenesis

II.7. Gambaran Klinis II.8. Diagnosis II.9. Pemeriksaan penunjang II.10. Penatalaksanaan .

BAB III. KESIMPULAN

.. ..

22

DAFTAR PUSTAKA

24

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG Demam reumatik(DR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat (Stollerman, 1972). Nama reumatik memberi kesan penyakit sendi, namun pengaruh pada jantunglah yang membuat penyakit ini penting. Demam reumatik sebagai penyebab penyakit jantung paling sering terjadi pada anak dan orang dewasa muda di seluruh dunia (Wahab, A Samik, 2001). Dahulu di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya kejadian demam reumatik dan penyakit jantung reumatik (PJR) masih tinggi (Kaplan dan Hill, 1987). Manifestasi biasa pada bentuk akut adalah poliartritis yang berpindah-pindah, demam dan karditis (Harrison, 2000). Manifestasi klinis penyakit demam reumatik ini akibat kuman Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik pada tonsilofaringitis dengan masa laten 1-3 minggu (Morehead, 1965). Demam reumatik akut adalah komplikasi faringitis streptokokus yang tidak diobati (Wahab, A Samik, 2001). Penyakit katup jantung dahulu dianggap sebagai penyakit yang hampir selalu disebabkan oleh rematik tetapi sekarang telah banyak ditemukan penyakit katup jenis baru. Meskipun terjadi penurunan insidensi penyakit demam rematik namun penyakit rematik masih merupakan penyebab lazim deformitas katup yang membutuhkan koreksi bedah (Sylvia, Lorraine, 2005). Penyakit jantung reumatik adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam reumatik, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung (Chakko S, Bisno AL, 2001; Meador RJ, Russel IJ, 2009; Madiyono B, 2001). Demam reumatik merupakan kumpulan sejumlah gejala dan tanda klinik. Manifestasi klinik demam reumatik akut : 1. Karditis (disertai insufisiensi katup mitral) 2. Arthritis 3. Khorea 4. Nodus subkutan

5. Erythema marginatum Tanda ini cenderung terjadi bersama-sama dan dapat dipandang sebagai sindrom (Wahab, A Samik, 2001). Penyakit demam reumatik menyebabkan suatu pankarditis, tetapi kelainan yang utama adalah perubahan pada endokardial yang menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada katup jantung (Schwartz, Seymour I, 2000).

II.2. TUJUAN II.2.1. TUJUAN UMUM Untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, pemeriksaan pembantu, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis dari Penyakit Jantung Reumatik.

II.2.2. TUJUAN KHUSUS 1. Memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinis Ilmu Penyakit Dalam di RSUD cibitung, Bekasi 2. Sebagai Prasyarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinis Ilmu Penyakit Dalam di RSUD cibitung, Bekasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. DEFINISI Penyakit jantung reumatik (PJR) adalah kelainan jantung yang terjadi akibat demam reumatik (DR) atau kelainan karditis reumatik (Taranta A, 1981). Penyakit Jantung reumatik terjadi sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari demam reumatik, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung (Siregar, Abdullah A., 2008). II. 2. EPIDEMIOLOGI Demam reumatik akut dapat menyerang segala umur tetapi lebih banyak terdapat pada anak-anak dan otang usia muda (5-15 tahun) (Rosenthal, 1968). Dua keadaan terpenting dari segi epidemiologik pada demam reumatik akut yaitu kepadatan dan kem iskinan penduduk. Tetapi pada saat wabah demam reumatik tahun 1980 di Amerika pasien-pasien anak yang terserang juga pada kelompok ekonomi menengah dan atas (Majeed, 1984). Pada penelitian di bawah ini terlihat insiden DR dan PJR di Eropa dan Amerika menurun (Pinsky, 1977), sedangakn di negara tropis dan sub tropis masih terlihat penigkatan yang agresif, seperti kegawatan karditis dan payah jantung yang meningkat. Insiden DR di beberapa Negara sebagai berikut :

Tabel 1. Insiden DR di Beberapa Negara (Majeed, 1992) NegaraInggris dan Wales Kuwait Saudi Arabia Swedia USA Iran Cekoslowakia Hongkong Indonesia

Tahun 1963 1984-1988 1980-1984 1971-1980 1978 1975 1972 1972

Kel. Umur (tahun) 1-14 5-14 5-14 0-15 0-14 Semua umur 1-15 Semua umur Belum ada laporan

Insiden/100.000 populasi 4,7 29 22 0,2 9 59-100 8,5 23

II. 3. ANATOMI JANTUNG

(Gambar dikutip dari: http://medicastore.com/ . 2007)

Jantung terletak dalam ruang mediastinum rongga dada, yaitu di antara paru. Perikardium yang meliputi jantung terdiri dari dua lapisan: lapisan dalam (perikardium viseralis) dan lapisan luar (perikardium parietalis). Kedua lapisan perikardium ini dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas, yang mengurangi gesekan akibat gerakan pemompaan jantung. Perikardium parietalis melekat ke depan pada sternum, ke belakang pada kolumna vertebralis, dan ke bawah pada diafragma. Perlekatan ini menyebabkan jantung terletak stabil di tempatnya. Perikardium viseralis melekat secara langsung pada permukaan jantung. Perikardium juga melindungi terhadap penyebaran infeksi atau neoplasma dari organ-organ sekitarnya ke jantung. Jantung terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah merupakan lapisan otot yang disebut miokardium, sedangkan lapisan terdalam adalah lapisan endotel yang disebut endokardium (Linda, Coughlin, 2005).

Ruangan jantung bagian atas (atrium) dan pembuluh darah besar (arteria pulmonalis dan aorta) membentuk dasar jantung. Atrium secara anatomi terpisah dari ruangan jantung sebelah bawah (ventrikel) oleh suatu anulus fibrosus (tempat terletaknya keempat katup jantung dan tempat melekatnya katup maupun otot). Secara fungsional jantung dibagi menjadi pompa sisi kanan dan sisi kiri, yang memompa darah vena ke sirkulasi paru, dan darah bersih ke peredaran darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah konseptualisasi urutan aliran darah secara anatomi: vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, arteria pulmonalis, paru, vena pulmonalis, atrium kiri, ventrikel kiri, aorta, arteria, arteriola, kapiler, venula, vena, vena kava (Linda, Coughlin, 2005). Keempat katup jantung berfungsi untuk mempertahankan aliran darah searah melalui bilik-bilik jantung. Ada dua jenis katup : katup atrioventrikularis (AV), yang memisahkan atrium dengan ventrikel dan katup semilunaris yang memisahkan arteria pulmonalis dengan aorta dari ventrikel yang bersangkutan. Katup-kautp ini membuka dan menutup secara pasif, menanggapi perubahan tekanan dan volume dalam bilik dan pembuluh darah jantung (Sylvia, Lorraine, 2005). Selipin sobotta

II.4. ETIOLOGI

II.5. FAKTOR-FAKTOR RESIKO

II.6. PATOGENESIS

(gambar dikutip dari: http://www.indoindians.com/ )

II.6. 1. Ruptur Plak

II.6. 2. Trombosis dan Agregasi Trombosit

II.6. 3. Vasospasme

II.6. 4. Erosi pada Plak tanpa Ruptur

II.7. GAMBARAN KLINIS

II.8. DIAGNOSIS

II.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Elektrokardiografi (EKG)

Uji Latih

Ekokardiografi

Pemeriksaan Laboratorium

II.10. PENATALAKSANAAN Tindakan Umum 9

Pasien perlu perawatan di RS, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen; pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.

Terapi Medikamentosa OBAT ANTI ISKEMIA 9 Nitrat Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (oxygen demandi). Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau melalui infus intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbid dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg per jam. Karena adanya toleransi terhadap nitrat, dosis dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bial keluhan sudah terkendali, infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.

Penyekat Beta Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium emlalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Data-data menunjukkan penyekat beta dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien dengan infark miokard. Meta analisis dari 4700 pasien dengan angina tak stabil menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan risiko infark sebesar 13%. (P 0,24 s 2 atau 3 blok atrioventrikular Heart rate < 60 x/mnt TD < 90 mmHg Shock LVF dengan gagal jantung kongestif

Indikasi KI

Dosis

: Mesoprolol 5 mg diberikan perlahan (1-2 mnt IV) Ulangi tiap 5 mnt untuk pemberian dosis total 15 mg Berikan dalam 1-2 jam dengan 25-50 mg selama sebulan tiap 6 Jika keluhan berkurang, dosis dapat diturunkan menjadi 1-2 mg. Esmolol Dosis maintenan dimulai dari 0,1 mg/kg per menit IV Tetesan ditambahkan menjadi 0,05 mg/kg per menit tiap 10-15 menit sesuai dengan tekanan darah sampai respon terapi yang diinginkan tercapai, tidak ada gejala, atau dosis 0,20 mg/kg per menit telah tercapai.

Dosis pilihan lain 0,5 mg/kg dapat diberikan secara perlahan (2-5 mnt) IV untuk onset cepat. Calcium channel blocker : Pasien dengan gejala yang tidak membaik pada pemberian Nitrat dengan dosis yang adekuat dan beta bloker atau pada pasien yang tidak dapat ditoleransi dengan dosis yang adekuat dari salah satu atau kedua obat tsb., atau pada pasien dengan varian angina. KI : Edem paru Disfungsi Ventricular kiri (untuk diltiazem atau verapamil) Dosis : Tergantung dari agen spesifik Morphine sulfate : Pasien dengan gejala yang tidak membaik setelah pemberian tablet nitrogliserin sublingual atau dengan gejala yang berulang yang telah diterapi anti-iskemik adekuat. KI Dosis : Hipotensi, depresi nafas, kebingungan : 2-5 mg IV Dapat diulangi tiap 5-30 menit disesuikan dengan kebutuhan untuk pemulihan gejala dan dosis pemeliharaan kenyamanan pasien.

Indikasi

Indikasi

OBAT ANTIAGREGASI TROMBOSIT 9 Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga golognan obat antiplatelet seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP IIb/IIIa telah terbukti bermanfaat.

Aspirin Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien

dengan angina tak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per hari. Tioklopidin Tioklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan angina tak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Studi dengan tiklopidin dibandingkan plasebo pada angina tak stabil merupakan menunjukkan bahwa kematian dan infark non fatal berkurang 46,3%. Dalam pemberian tioklopipdin harus diperhatikan efek samping granulositopenia, dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman pemakaian tiklopidin mulai ditinggalkan.

Klopidogrel Kopidogrel juga merupakan derivat tienopiridin, yang dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin dan belum ada laporan adanya neutropenia. Klopidogrel juga terbukti dapat megurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular. Klopidogrel dianjurkan untuk diberikan pada pasien yang tak tahan aspirin. Tapi dalam pedoman ACC/AHA klopidogrel juga dianjurkan untuk diberikan bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.

Inhibitor Glikoprotein IIb/IIIa Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP Iib/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui untuk pemakaian dalam klinik yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Obat-obat ini telah dipakai untuk angina tak stabil maupun untuk obat tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak stabil. Suatu metaanalisis dari 12.296 pasien didapatkan pengurangan mortalitas dan infark miokard secara relatif sebesar 34% selama 24 jam terapi medikamentosa tanpa revaskularisasi. (2.5% vs 3,5% ; p= 0,001). Keuntungan lebih nyata pada pasien risiko tinggi, dan lebih tampak pada pasien dengan PCI karena

strategi invasif dini. Penelitian pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST dan mendapatkan tindakan PCI, kematian dan infark miokard dalam 30 hari berkurang dari 30-70%. Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemia terus menerus atau pasien dengan risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien dengan angina tak stabil dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan invasif dini dimana PCI direncanakan dalam 12 jam. OBAT ANTITROMBIN 9

Unfractionated heparin Heparin adalah suatu glukosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein plasma yang lain, sel darah dan sel endotel, yang akan mempengaruhi bioavailabilitas. Kelemahan lain heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor IV. Metaanalisis dari 6 penelitian menunjukkan bahwa pemberian heparin bersama aspirin dapat mengurangi risiko sebesar 33% dibandingkan dengan aspirin saja. Karena adanya ikatan protein yang lain dan perubahan bioavailabilitas yang berubah-ubah maka pada pemberian selalu perlu pemeriksaan laboratorium untuk memastikan dosis pemberian cukup efektif. Activated partial thromboplastin time (APTT) harus 1.5-2.5 kali kontrol dan dilakukan pemantauan tiap 6 jam setelah pemberian. Pemeriksaan trombosit juga perlu untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).

Low Molecular Weight Heparin (LMWH) Low molecular weight heparin (LMWH) dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 dan hanya berkerja pada faktor Xa, sedangkan heparin menghambat faktor Xa dan trombin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan terhadap

protein plasma kurang, bioavailabilitas lebih besar dan tidak mudah dinetralisir oleh faktor IV, lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan kejadian trombositopenia lebih sedikit. LMWH yang ada di Indonesia ialah : dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Dalteparin sama efektifnya dengan heparin, sedang penelitian dengan enoksaparin menunjukkan berkurangnya mortalitas atau infark sebesar 20% pada pasien yang mendapat enoksaparin dibandingkan heparin. Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium. DIRECT THROMBIN INHIBITORS 9 Direct thrombin inhibitor secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet faktor IV. Activated partial thromboplastin time dapat dipakai untuk memonitor aktivitas antikoagulasi, tetapi biasanya tidak perlu. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan efek samping perdarahan kurang dari heparin. Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).

Tabel 2. Terapi Penggunaan Antitrombotik secara klinis 11 Terapi Obat Antiplatelet * Aspirin dosis yang dianjurkan adalah 162-325 mg dilanjutkan dengan 75-160 mg/d * Clopidogrel (flavix) loading dose 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/d Heparin * Dalteparin (fragmin) 120 UI/kg SC tiap 12 jam (max 10.000 IU dua kali dalam sehari) * Enoxaparin (Lovenox) 1 mg/kg SC tiap 12 jam, dosis awal dapat dimulai dari 30 mg IV bolus * Heparin (UFH) Bolus 60-70 U/kg (max 5000 U) IV dilanjutkan dengan infus 12 -15 U/kg per jam (max 1000 U/jam) tetesan 1.5 2.5 dengan pengawasan. Terapi Antiplatelet IntraVena * Abciximab (ReoPro) 0.25 mg/kg bolus dilanjutkan dengan infus 0.125 g/kg per menit (max 10 g/menit) * Eptifibatide (Integrilin) 180 g/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 2.0 g/kg per menit dalam 72-96 jam * Tirofiban (Aggrastat) 0,4 g/kg per menit dalam 30 menit dilanjutkan dengan infus 0.1 g/kg per menit dalam 48 samapi 96 jam.

TINDAKAN REVASKULARISASI PEMBULUH KORONER 9 Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) dapat memperbaiki harapan hidup, kualitas hidup dan mengurangi masuknya kembali ke Rumah Sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk daripada bedah elektif. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau 2 pembuluh darah atau bila ada kontraindiaksi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama. Pada angian tak stabil apa perlu tindakan invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada risiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin yang meningkat, faal ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama jantung yang maligna seperti takikardia ventrikel, perlu tindakan invasif dini.

II.9. PROGNOSIS

BAB III KESIMPULAN

1. Penyakit jantung koroner merupakan kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh arteriosklerosis yang merupakan proses degeneratif meskipun di pengaruhi oleh banyak faktor. 2. Penyebab penyakit jantung koroner adalah terjadinya penyempitan aliran darah ke otot jantung yang terjadi akibat penebalan lapisan tunika intima dan rupturnya plak yang diikuti oleh pembentukan trombus.

3. Terdapat tiga jenis angina, yaitu: 1. Angina stabil 2. Angina prinzmetal 3. Angina tak stabil 4. Angina pektoris tidak stabil adalah kombinasi angina stabil dengan angina prinzmetal ; dijumpai pada individu dengan perburukan penyakit arteri koroner. Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban jantung, hal ini tampaknya terjadi akibat aterosklerosis koroner, yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan mudah mengalami spasme. 5. Penyebab angina pektoris adalah suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miokardium dibandingkan kebutuhan. 6. Patogenesis : 1. Ruptur Plak 2. Trombosis dan Agregasi Trombosit 3. Vasospasme 4. Erosi pada Plak tanpa Ruptur 7. Gambaran Klinis : Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual, samapi muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas. 8. Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu : 1. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari 2. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan 3. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat. Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik. 9. Pemeriksaan penunjang : - Elektrokardiografi (EKG) - Uji Latih - Ekokardiografi

- Pemeriksaan Laboratorium 10. Penatalaksanaan : - Tindakan Umum - Terapi Medikamentosa : OBAT ANTI ISKEMIA Nitrat, Penyekat Beta, Antagonis Kalsium. OBAT ANTIAGREGASI TROMBOSIT Aspirin, Tioklopidin, Klopidogrel, Inhibitor Glikoprotein IIb/IIIa OBAT ANTITROMBIN Unfractionated heparin, Low Molecular Weight Heparin (LMWH) DIRECT THROMBIN INHIBITORS 11. Tindakan Revaskularisasi Pembuluh Koroner Pada angian tak stabil apa perlu tindakan invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada risiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin yang meningkat, faal ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama jantung yang maligna seperti takikardia ventrikel, perlu tindakan invasif dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Santoso M., Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Dalam : Artikel Tinjauan Kepustakaan, SMF Penyakit Dalam RSUD Koja/ Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta. 2007. Diunduh dari : http://medicastore.com/.

2. Hanafi, Muin Rahman, Harun. Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Waspadji S., Lesmana L., Alwi I. (Ed.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 3. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2001. Hal: 1082-1108. 3. Kusumawidjaja. Angina pektoris. Dalam : Kusumawidjaja. Patologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Hal. 110-116. Diunduh dari :

http://www.indoindians.com/. 4. Corwin E., Patofisiologi. Dalam : Brahm U. Pendit, Endah P, ed. alih bahasa, Handbook of Pathophyisiology. Jakarta. 2000. hal 325-371. 5. Kalim H. Penyakit Kardiovaskular. Dalam : Kalim H., Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik sampai Geriatrik. Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita. Jakarta. 2001. Hal 226-235. 6. Lumanau J. Hiperhomosisteinemia. Dalam : Lumanau J., Meditek. Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta. 2004. Hal 46-49. 7. Suyatna PD. Obat Antiangina. Dalam : Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. 2001. hal 343-363. 8. Andra. Dalam : Mengenal Hypertensi. Diunduh dari : http://familydoctor.org/. 2007. 9. Hanafi B. Trisnohadi. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam : Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi., Marcellus S.K., Siti Setiati. (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. Juni 2006. Hal 1606-1608. 10. Linda Coughlin D. Anatomi Sistem Kardiovaskular. Dalam : Price, Sylvia Anderson., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed. 6, Vol. 1. Jakarta : EGC. 2005. Hal 517-518. 11. Cannon P. Christopher, Braunwald E. Unstable Angina And Non-ST Elevation Myocardial Infarction. Dalam : Harrisons. Principles Of Internal Medicine. Vol.II Sixteenth Ed. McGraw-Hill medical Publishing Division. 2005. Page1446-1447. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW, ORourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York, 2001; p. 1657 65. Meador R.J, Russel IJ, Davidson A, et al. 2009. Acute Rheumatic Fever. http://www.emedicine.com Madiyono B. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di Akhir Milenium Kedua. In Kaligis RWM, Kalim H, Yusak M et al. Penyakit Kardiovaskular

dari Pediatrik Sampai Geriatrik. Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta 2001.p.3-16. Kaplan MH, Hill HR (1987). return of Rheumatic fever : Consequences, implications Linda Coughlin D. Anatomi Sistem Kardiovaskular. Dalam : Price, Sylvia Anderson., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed. 6, Vol. 1. Jakarta : EGC. 2005. Hal 517-518.