Referat Case Panuveitis

21
2.2 DEFINISI UVEITIS DAN PANUVEITIS Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Sedangkan uveitis difus atau panuveitis adalah proses inflamasi yang mengenai semua unsur traktus uvealis atau dengan kata lain panuveitis tidak memiliki tempat inflamasi/peradangan yang predominan dimana inflamasi merata pada kamera okuli anterior, vitreous, retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal. Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik secara khas tidak ada. 1 Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. 1 2.3 EPIDEMIOLOGI Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka kejadian panuveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya panuveitis diakibatkan oleh toxoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk panuveitis pada umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus. Sedangkan pada wanita banyak disebabkan oleh toxoplasmosis. 1 2.4 LOKASI PANUVEITIS

Transcript of Referat Case Panuveitis

Page 1: Referat Case Panuveitis

2.2 DEFINISI UVEITIS DAN PANUVEITIS

Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari

uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Sedangkan uveitis difus atau panuveitis

adalah proses inflamasi yang mengenai semua unsur traktus uvealis atau dengan kata lain

panuveitis tidak memiliki tempat inflamasi/peradangan yang predominan dimana inflamasi

merata pada kamera okuli anterior, vitreous, retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis,

dan vaskulitis retinal. Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi yang berkembang

pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat.

Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik secara khas tidak ada. 1

Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah

yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat

mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen

mata penting lainnya. 1

2.3 EPIDEMIOLOGI

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka

kejadian panuveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya panuveitis

diakibatkan oleh toxoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk panuveitis pada umumnya

oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus. Sedangkan pada wanita banyak

disebabkan oleh toxoplasmosis.1

2.4 LOKASI PANUVEITIS

Lokasi anatomi panuveitis pada dasarnya merupakan seluruh traktus uvealis yang

merupakan gabungan dari uveitis anterior, uveitis intermediet, dan uveitis posterior, yaitu

meliputi:

a) Uveitis anterior

- Iritis : inflamasi yang dominan pada iris

- Iridosiklitis : inflamasi pada iris dan pars plicata

b) Uveitis intermediet : inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer

c) Uveitis posterior : inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus. 1,2

Page 2: Referat Case Panuveitis

Gambar 1. Lokasi Panuevitis (gabungan dari lokasi uveitis anterior, intermediet, dan posterior)2

2.5. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis panuveitis meliputi gambaran klinis yang terjadi pada uveitis

anterior,intermediet,dan posterior. Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia,

epifora, gatal yang dalam dan tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala

akan memburuk apabila terpapar cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien dengan

mengenakan kacamata. Epifora yang terjadi dihubungkan dengan peningkatan stimulasi

neuron dari kelenjar airmata, dan tidak ada hubungannya dengan sensasi benda asing yang

dirasakan.3-5

      Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih lebih baik,

walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya akomodasi menjadi lebih sulit

dan tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada kongesti palpebra ringan hingga sedang dan

menyebabkan pseudoptosis. Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan

sklera, walaupun konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan

slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit endotel berwarna

coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP).5

Page 3: Referat Case Panuveitis

Gambar 2. Keratic Precipitates4

Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit (hipopion);

dan flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang meradang; dan dapat

ditemukan pada kamera okuli anterior sehingga kamera okuli anterior tampak kotor dan

berkabut). Iris dapat mengalami perlengketan dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau

kadang dapat terjadi perlengketan dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan

kadang terlihat nodul granulomatosa pada stroma iris.3-5

Gambar 3. Sinekia posterior.5

Gambar 4. Flare.5

Page 4: Referat Case Panuveitis

Gambar 5. Hipopion.6

Gambar 6. Uveitis anterior dengan keratik presipitat “mutton-fat”dan nodul Koeppe dan Busacca.6

Gambar 7. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan irisdan sedikit mutton-fat pada aspek inferior.6

Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan siliar.

Namun saat reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi pada trabekulum.

Apabila debris ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang

Page 5: Referat Case Panuveitis

normal maka dapat terjadi peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis

sekunder.

Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau

posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona intermediate mata. Ini terutama

terjadi pada orang dewasa muda dengan keluhan utama melihat “bintik-bintik terapung” di

dalam lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada

perbedaan distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun

fotofobia. Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter

melihat adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan

oftalmoskop.5

Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat beberapa sel

di kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinekia posterior dan anterior. Sel radang lebih

besar kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan

dengan slit-lamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering

menampakan kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin

menyatu, sering menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis,

yaitu terlihat adanya selubung perivaskuler pada pembuluh retina.4,5

Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik dalam

waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular kistoid dan parut

makular permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi

pelepasan membran-membran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang

jarang terjadi.

Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi koroiditis,

korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan

retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis

posterior bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik.5

Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan herpes.

Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti tuberkulosis,

sarcoidosis, penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom yang tidak biasa seperti

korioretinitis serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis,

retinitis viral, limfoma, atau sarkoidosis.6

Page 6: Referat Case Panuveitis

      Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang

menimbulkan kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak pernah

menimbulkan sel-sel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus dijelaskan. Lesi

radang di segmen posterior umumnya berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan

vitreus dan kehilangan penglihatan secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya disertai

uveitis anterior, yang pada gilirannya kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.

Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh “sindrom samaran”,

seperti retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok umur

ini adalah infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi

rubella.5,6

Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior termasuk

toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi sitomegalovirus, sindrom

samaran, panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang penting, infeksi bakteri atau fungi pada

segmen posterior. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis

diferensial adalah toksoplasmosis, penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis,

endoftalmitis candida, dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis

meningococcus.6

Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis

retina akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel retikulum, atau

kriptokosis.

      Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat toksoplasmosis,

kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau infeksi bakteri endogen. Onset

uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen

posterior mata yang onset mendadak adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan

infeksi bakterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat.4,5

2.6 PENDEKATAN DIAGNOSIS PANUVEITIS

Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu.

Misalnya, karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis akan mengeluh

sakit dan fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak mengaburkan penglihatan kecuali bila

prosesnya berat atau cukup lanjut hingga mengeruhkan humor aqueous, kornea, dan lensa.

Penyakit koroid sendiri tidak menimbulkan sakit atau penglihatan kabur. Karena dekatnya

Page 7: Referat Case Panuveitis

koroid dengan retina, penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina, penglihatan sentral

akan terganggu.7 Vitreus juga dapat menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian

koroid dan retina yang merdang. Namun gangguan penglihatan proposional dengan densitas

kekeruhan vitreus dan bersifat reversible bila peradangan mereda. Adapun, secara umum

pasien yang sedang mengalami peradangan uvea akan mengeluhkan gejala-gejala umum

sebagai berikut:

-       Mata merah (hiperemis konjungtiva)

-       Mata nyeri

-       Fotofobia

-       Pandangan mata menurun dan kabur

-       Epifora

Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi

dari gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat,

fotofobia, dan hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan

hipopion. Faktor diluar gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis uveitis

anterior. Onset, durasi, dan keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus diketahui.

Selain itu usia pasien, latar belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi pertimbangan.

Riwayat rinci dan review dari sistem merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi

pasien dengan uveitis.7

Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan

antara lain:

1.      Pemeriksaan subyektif mata

a.  Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam

pengllihatan, pemeriksaan gerakan bola mata.

b.  Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan

c.  Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal.

2.      Pemeriksaan obyektif  mata

Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:

a.  Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal

b.  Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering

ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat

Page 8: Referat Case Panuveitis

menuju arah limbus. Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang

terlihat injeksi semakin banyak dengan arah menjauhi limbus.)

c.  Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung kondisi

dari produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih dan merah.

d.  Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.

e. Pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung

mengenai iris yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya secara

langsung mengenai iris berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:

-     Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan

beberapa penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.

-     Pupil dalam kondisi miosis.

3.      Pemeriksaan funduskopi

4.      Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp

a.   Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus, atau

benda asing.

b.   Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea

c.    Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu  keratitic precipitates / KP (sel darah

putih pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka diklasifikasikan

ke dalam uveitis nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis granuloma lebih besar,

kotor, dan penuh lemak (gambaran granula “mutton-fat”).

d.   Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan kamera

okuli anterior tampak kotor.

e.   Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada

kamera okuli anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:

-   0 tidak ditemukan

-   +1 ditemukan dalam jumlah sedikit

-   +2ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)

-   +3 iris dan lensa terlihat berkabut

-   +4 intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi).

5.      Pemeriksaan laboratorium

a.    Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan

hubungan etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan

laboratorium ini tidak dilakukan bila pasien mengalami uveitis nongranulomatosus

Page 9: Referat Case Panuveitis

unilateral untuk pertama kali dan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak

ditemukan penanda yang khas

b.   Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis rekurens,

pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas maka

dilakukan pemeriksaan laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap, dll.

2.7 TATALAKSANA

Penanganan panuveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi

setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada

ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih,

atau darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan

kepada pasien. Penanganan panuveitis secara garis besar bertujuan untuk mencegah

komplikasi penglihatan, mengurangi keluhan pasien, dan mentatalaksana penyakit yang

mendasari.8

Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan

peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau

sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:

1.      Pemberian Obat Anti Radang

Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu

dengan cara:

Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat

dari fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi

aktifitas sel B dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan

yang bukan disebabkan karena infeksi.

Mengurangi permeabilitas pembuluh darah

Mengurangi pembentukan jarangan parut

Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis juga

sangat bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal

untuk mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya

komplikasi. Initial dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg

hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu,

Page 10: Referat Case Panuveitis

kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa

kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena

kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang

maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid  level yang

rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5

sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan

supresi adrenal.Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu

perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan

dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari

dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat.

Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat

diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol

tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada

hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya

bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis

pada hari pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah

mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak

diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan

dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.

Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:

Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes.

Tergantung dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian

bervariasi. Prednisolon asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun karena

persediaan berbentuk precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol

sebelum digunakan. Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular;

sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor.

Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika

mulai dirasakan gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian terapi inisial selama 3-

4 minggu sebelum pemberian steroid jangka panjang dapat membantu

mengidentifikasi pasien yang responsive terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti

menunjukan bahwa injeksi dalam transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi

Page 11: Referat Case Panuveitis

ocular dibandingkan dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi ini tidak

digunakan pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena penebalan

sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.

Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:

1.      Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan

2.      Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya

Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:

-    Prednisolone 1% (pred forte) steroid paling kuat dan merupakan drug of choice untuk

uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi migrasi

dari leukosit PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah. Homatropine

dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu prednisolone

juga tidak boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan prednisolone dan pasien

sedang mengalami infeksi jamur, virus, dan bakteri. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt

setiap 1-6 jam (dewasa). Prednisolone dapat meningkatkan tekanan intraocular dan

beresiko menimbulkan katarak dalam pemakaian jangka panjang.

2.      Obat sikloplegia

Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi

pupil. Selain itu, juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi.

Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.

Contoh obat sikloplegia:

-     Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek

maksimal dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka

akan normal kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek

samping seperti nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering.

-      Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan

midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun efek

ini dapat menurun pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada

uveitis dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol

dan kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada

pasien yang mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan

siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).

Page 12: Referat Case Panuveitis

-      Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan midriasis

setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk sikloplegia

dan 6 jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of choiceyang sering

digunakan pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan

kolinesterase inhibitor. Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien

yang mengalami glaucoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan

homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd (dewasa).

2.8 KOMPLIKASI

Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada panuveitis yaitu:8

1.   Glaukoma sekunder

Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada peradangan uvea

antara lain:

a.    Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat

peradangan iris pada uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea

menyempit dan mengganggu drainase dari humor aqueous sehingga terjadi

peningkatan volume pada kamera okuli anterior dan mengakibatkan peningkatan

tekanan intraocular.

b.   Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di

beberapa tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi

tidak teratur dan terlihat pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat

menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di

belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan dan menutup sudut iridokornea.

c.    Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel

radang (fler) pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior

meningkat dan terjadi glaukoma.

2.    Atrofi nervus optikus

Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus

optikus sehingga terjadi kebutaan permanen.

3.    Katarak komplikata

Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung pada

fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan akhirnya

mengenai seluruh struktur lensa.  Katarak yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis

visualnya tidak sebaik katarak senilis biasanya.

Page 13: Referat Case Panuveitis

4.    Ablasio retina

5.    Edema kistoid macular.

6.    Efek penggunanan steroid jangka panjang.

Tabel 1. Efek Penggunaan Steroid Jangka Panjang

Tempat Macam efek samping

1.      Saluran cerna

2.      Otot

3.      Susunan saraf pusat

4.      Tulang

5.      Kulit

6.      Mata

7.      Darah

8.      Pembuluh darah

9.      Kelenjar adrenal

bagian kortek

10.  Metabolisme protein,

KH dan lemak

11.  Elektrolit

12.  Sistem immunitas

-      Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi

gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis

regional, kolitis ulseratif.

-      Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.

-      Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,

mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,

kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

-      Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,

fraktur tulang panjang.

-      Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis

akneiformis, purpura, telangiektasis.

-      Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

-      Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

-      Kenaikan tekanan darah

-      Atrofi, tidak bisa melawan stres

-      Kehilangan protein (efek katabolik),

hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump,

perlemakan hati.

-      Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,

tetani, aritmia kor)

-      Menurun, rentan  terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan

herpes simplek, keganasan dapat timbul.

BAB III

KESIMPULAN

Page 14: Referat Case Panuveitis

Panuveitis adalah proses inflamasi yang mengenai semua unsur traktus uvealis atau

dengan kata lain panuveitis tidak memiliki tempat inflamasi/peradangan yang predominan

dimana inflamasi merata pada kamera okuli anterior, vitreous, retina dan atau koroid seperti

retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal. Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi

yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial postoperasi, atau

toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik secara khas tidak

ada. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti

kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya.

Penyebab pasti dari panuveitis belum diketahui sehingga patofisiologi yang pasti dari

panuveitis juga belum diketahui. Secara umum, panuveitis dapat disebabkan oleh reaksi

imunitas. panuveitis sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan

sifilis; adapun, postulate reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen

yang dapat melukai sel dan pembuluh darah uvea.

Penanganan panuveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi

setting penanganan pelayanan primer ataupun segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis

mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah

merah pada kamera okuli anterior, antibiotic tidak diindikasikan untuk diberikan kepada

pasien. Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan

peradangan. terapi pembedahan yang diindikasikan dalam manajemen uveitis dengan tujuan

rehabilitasi penglihatan, biopsy untuk diagnosis ketika menemukan perubahan dalam rencana

pengobatan, dan mengambil media yang menagalami opasitas untuk memonitor segmen

posterior mata.

DAFTAR PUSTAKA

1. Huang JJ, Gaudio PA. Ocular inflammatory disease and uveitis manual: diagnosis

and treatment. Philladelphia: Wolters Kluwer; 2010.p. 70-5.

2. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan dan asbury : oftamologi umum. Ed ke-17. Jakarta:

EGC; 2014.h. 62-7; 151-60.

3. Foster CS, Vitale AT. Diagnosis and treatment of uveitis. Michigan: Saunders WB;

2002.p. 82-90.

4. Bonfioli AA et al. Intermediate uveitis. Semin ophthalmol 2005; 20: 147.

Page 15: Referat Case Panuveitis

5. Nussenblatt RB, Whitcup SM. Uveitis: fundamentals and clinical practice. 4th ed. Los

Angeles: Elsevier Health Science; 2010.p. 35-40; 69-90.

6. Kuta Gregory, Cantor Luis, Weiss Jayne. 2008. Clinical Approach to Uveitis.

Intraocular Inflammation and Uveitis. American Academy Ophtalmology. Singapura.

7. Ilyas Sidarta. Radang Uvea. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum Dan

Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2002.h. 110-20. 

8. Janigian, Robert H. Uveitis, evaluation and treatment. 2010. Diunduh pada 11 April

2016 dari www.emedicine.medscape.com