Referat CA Nasofaring
-
Upload
aghniajolanda -
Category
Documents
-
view
298 -
download
15
Transcript of Referat CA Nasofaring
Perjalanan Penyakit Karsinoma Nasofaring dan
Penatalaksanaannya
Disusun oleh:
Christian Adiputra Wijaya
11-2014-084
Pembimbing :
Dr. Benhard B.J. Pandjaitan, Sp. THT-KL
Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan
RS FMC
Periode 13 Juli 2015 – 15 Agustus 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta, 2015
BAB 1. PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara
tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor
ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat
pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmulleri pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. 1
Insidens karsinoma nasofaring berbeda secara geografis dan etnik serta hubungannya
dengan Epstein-Barr Virus (EBV). Secara global, pada tahun 2000 terdapat lebih kurang 65.000
kasus baru dan 38.000 kematian yang disebabkan penyakit ini. Di beberapa egara insidens
kanker ini hanya 0,6 % dari semua keganasan. Di Amerika insiden karsinoma nasofaring 1-2
kasus per 100.000 laki-laki dan 0,4 kasus per 100.000 perempuan. Namun di egara lain dan
kelompok etnik tertentu, seperti di Cina, Asia Tenggara, Afrika Utara, tumor ganas ini banyak
ditemukan. Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan
Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi Guang Dong dan daerah Guangxi
dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000 penduduk pertahun. Indonesia termasuk salah
satu egara dengan prevalensi penderita karsinoma nasofaring yang tinggi di luar Cina. Survei
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”
mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau
diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.1
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem,
hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring
yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Histologi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang terletak di
belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu disebut “rongga buntu
atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares
posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah
jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus faring dan
palatummole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.1
Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 1,2
1. Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada orang dewasa
struktur ini telah mengalami regresi.
2 Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma nasofaring atau
angiofibroma nasofaring.
3 Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium tuba)
4 Fosa Rosenmulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius. Lekuk kecil ini
diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa
Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel
kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan predileksi
terjadinya keganasan nasofaring.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam, yaitu
epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia, dan
epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat
bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih
berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali.
Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring itu adalah
tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya.1-3
Gambar 1 Anatomi nasofaring
Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan
tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain di nasofaring.3
Para peneliti mengemukakan bahwa keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:
1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.
2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.
3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan palatum
molle.
Gambar 2 Fossa of Rosenmuller
2.2. EPIDEMIOLOGI dan ETIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair
Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT
Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 - 2002. Di RSCM Jakarta ditemukan
lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang
25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam
pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari
ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.1,3
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari
penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)
dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari
investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua
aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta
agregasi family.1,4
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak
ditemukan di Indonesia (hampir 60%), sisanya tumor ganas hidung dan sinus paranasal
(18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring (cukup rendah).
Prevalensi KNF di Indonesia cukup tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk. Sebagian besar
datang berobat dalam stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi
buruk.1
Catatan dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan
keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit. Distribusi KNF di Indonesia hampir
merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS.
Hasan Sadikin Bandung 60 kasus, Makassar 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15
kasus dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan, Semarang,
Surabaya dan kota-kota lainnya.1
KNF paling banyak dijumpai pada ras mongoloid (cukup tinggi pada penduduk Cina bagian
selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia).1
KNF jarang dijumpai pada anak-anak.1 Insiden meningkat setelah usia 30 tahun dan
mencapai puncaknya pada usia 40-60 tahun. Semua bentuk KNF banyak dijumpai pada laki-
laki dibandingkan perempuan (2,5:1 dan 3:1) dan apa sebabnya belum dapat dijelaskan
secara pasti mungkin terdapat kaitan dengan genetik, kebiasan hidup, pekerjaan, dll.1
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF) jarang
dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan
virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan tetap
ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko
terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009).
ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong
merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor
kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF
dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak
dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan
dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina
makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.5
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien KNF
dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina selatan, satu keluarga
dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas
payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita
keganasan organ lain.5
2.2 Patofisiologi
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama
pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi
dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses
apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen penekan tumor (TSGs) yang
menghambat penghentian proses siklus sel. 6
Gambar 3. Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan 6
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh
gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi.
Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara
patologis.6,7
2.3 Manifestasi Klinis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat penting dilakukan dalam mengevaluasi tumor
kepala dan leher. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi semua aspek kepala, wajah,
leher, hidung, rongga mulut, dan dasar lidah. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kaca nasofaring
dan laring indirek atau pemeriksaan nasofaringoskopik serat optik fleksibel. Hindari pemeriksaan
yang hanya berfokus pada daerah tempat tumor berada , tetapi melakukan pemeriksaan seluruh
daerah kepala dan leher. Tidak jarang muncul adanya berbagai lesi secara simultan atau
sekuensial di daerah kepala dan leher. 1
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata dan
gejala saraf.
1. Gejala Hidung/Nasofaring 1
Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih
dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika terdapat
titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal.
Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung
(epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung tidak
ada kelainan.
2. Gejala Telinga
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh
seperti terisi air, berdengung (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran yang
terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau karsinoma
nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan.1,2
3. Gejala Tumor Leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari
karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas
tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus
mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras
dan tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga
mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.1,2
4. Gejala Mata
Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti,
penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang
dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di
atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat
memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan
kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai
kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami kebutaan.1,2
5. Gejala Saraf
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala
subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala
terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh sulit
menelan (disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat
belum ada keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX,
X, XI, dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan
sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom
unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian
prognosisnya menjadi buruk. 1,2
2.4 Klasifikasi
Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan gambaran
histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut
UICC (1992).1
T (Tumor Primer)
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap, dll)
T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam
rongga nasofaring
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak
Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)
N0 = Tidak ada pembesaran KGB
N1 = Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 = Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias digerakkan
N3 = Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang sudah melekat
pada jaringan sekitar
M (Metastasis jauh)
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh
Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4 stadium, yaitu:
a. Stadium I : T1 N0 M0
b. Stadium II : T2 N0 M0
c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0
d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1
Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan menjadi 3 tipe
menurut WHO.1,3 Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop elektron di mana
karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini
mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.
a. Tipe WHO 1
Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1 mempunyai tipe
pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi
baik sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.
b. Tipe WHO 2
Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini paling
banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian sel berdiferensiasi
baik, sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai karsinoma sel transisional.
c. Tipe WHO 3
Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel kanker paling
heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu disebut dengan
limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan variasi spindel.
2.5 Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 3
Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring, seperti di bawah
ini:
1) Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-lebih jika
tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus mandibula.
2) Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika:
Disertai gejala hidung dan telinga
Disertai gejala mata dan saraf
3) Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkap
Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita sudah
mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan atau metastase tumor
induk.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) CT scan kepala dan leher
Dengan pemeriksean CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang
tersembunyi pun tidak kan terlalu sulit di temukan. Indikasi pemeriksaan CT Scan adalah
sebagai berikut: 1,8
Evaluasi keterlibatan tulang dan destruksi akibat tumor.
Melihat luasnya invasi tumor.
Untuk menentukan besarnya tumor jaringan lunak di daerah yang tidak mudah dilihat
secara klinis ( misal, daerah nasofaring, dasar tengkorak, rongga parafaring).
Mendeteksi adanya metastasis regional.
Memantau respon tumor terhadap terapi radiasi dan kemoterapi.
Karena 25% kanker kepala dan leher stadium III dan IV bermetastsis di luar kelenjar
getah bening leher, semua pasien yang akan di operasi memerlukan foro toraks atau CT dada
jika memungkinkan. CT dada juga dapat menapis adanya kanker paru, yang menyertai kira-
kira 15% karsinoma sel skuamosa kepala dan leher. Massa hepar yang teraba, ikterus, dan
perubahan hasil pemeriksaan fungsi hati merupakan indikasi untuk CT abdomen. Nyeri
tulang atau tanda-tanda neurologik adalah indikasi untuk melakukan evaluasi radiologi
untuk melihat kemungkinan metastasis ke tulang dan otak. 1
2) MRI
MRI dapat menggambarkan masa jaringan-lunak dan fasia plane lebih baik daripada CT.
MRI menandai lesi dengan berbagai pengambilan potongan secara berurutan, memberikan
gambar dalam bidang datar dan tidak dalam bidang akasial, serta menunjukan pembuluh
darah tanpa penggunaan zat kontras atau radiasi ionisasi. MRI mempunyai aplikasi yang
unik dalam mengevakuasi tumor sinus, orbita, dan otak, karena MRI dapat membedakan
densitas jaringan lunak. MRI dan CT bukan pemeriksaan yang ekslusif satu sama lain karena
masing-masing mempunyai keunggulan terhadap lain. CT masih terus menggunakan MRI
menghabiskan lebih banyak biaya, waktu pemeriksaan yang lebih lama, artefak gerakan
lebih banyak dan di kontradiksikan untuk pasien dengan benda asing logam yang
diimplantasi (klip aneurisma, stimulator neural, dan implant koklea). Walaupun pemindaian
nuklear tidak digunakan secara rutin, tomografi positron emisi akhir-akhir ini telah
digunakan dengan hasil yang menjanjikan dalam mendeteksi penyakit metastatik di leher. 5
3) Pemeriksaan Serologi untuk infeksi virus Epstein-Barr
Pemeriksaan serologi lgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus mendeteksi
karsinoma nasofaring. Pemeriksaan ini biasanya hanya digunakan untuk menentukan
prognosis pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar
antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160. 1
4) Biopsi
Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring. Biopsi dapat dilakukan
dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat
jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri
konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. 1
Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui
hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama
dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat
kaca tersebut atau dengan memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan
massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan
xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dapat dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis. 1
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada
nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak berkeratinisasi
dan karsinoma tidak berdiferensiasi. Limfoepitelioma, sel transisional, sel spindle, sel clear,
anaplastik dan lain-lain dimasukkan dalam kelompok tidak berdiferensiasi. Sering juga di
dapat kombinasi dari ketiga jenis karsinoma. 1
2.5.1 Histopatologi
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki
kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. Dijumpai adanya diferensiasi dari sel
squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-
pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal
dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian
tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi.
Dijumpai adanya keratin pearls.9,10
Gambar 4 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai andAckermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).
Gambar 5 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai andAckermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).
Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma
memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.9,10 Sel-sel menunjukkan batas
antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar.
Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma
lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol 9,10
Gambar 6 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosaiand Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).
Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial dengan
batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor
sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai
infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai
lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil,
epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang
terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat
fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus
dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant
lymphoma. 10
Gambar 7 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang padat( “Regaud type”). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one,
Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).
2.6 Diagnosa Banding
1) Angiofibroma nasofaring
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata
dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki
prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan
tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan
insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT.1,6
2) Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia sebelum 30 tahun
sudah mengalami atrofi. Tetapi pada sebagian orang dalam proses atrofi ini mengalami infesi
serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetri di tempat ini, bila terjadi ulserasi,
perdarahan maka perlu biopsy untuk membedakannya.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu pencegahan dan
pengobatan.
1) Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang dilakukan hanya
berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya karsinoma nasofaring
tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan
menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma
nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.3,10
Penerangan akan cara hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk
mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan berbahaya, penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meingkatka keadaan social-ekonomi dan berbagai hal
yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinana factor penyebab.
2) Pengobatan
Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi, penggunaan
obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.
a. Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal (Diefenbach,
Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak
berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan
pada tumor metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk
membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah
retrofaring dan parafaring. 3,7,10
b. Radioterapi
Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya. Radioterapi
dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh dari
tumor dan di luar tubuh penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan
tumor dan dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi
diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta
belum ada metastase ke kelenjar limfe leher. 10
c. Obat-obatan Sitostatika
Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal umumnya
dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika
tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan
Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan
pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan sebelum dan sesudah
penyinaran sebagai sandwich terapy.
Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta
penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi obat ganda yang
dipakai antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan
Fluoroacil), ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA
(Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin). 1,5,8,10
d. Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik
onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research dan trial. Untuk
karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain dengan menggunakan
interferon dan Poly ICLC. 1
e. Obat Antivirus
Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat
pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini penting pada
karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan EBV carrying tumor dengan DNA
EBV positif .3
f. Perawatan paliatif 1
Perhatian pertama diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut terasa
kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Menasihati dengan banyak makan dengan kuah, membawa minuman
kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asa sehingga
merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah fibrosis jaringan akibat penyinaran,
sakit kepala, kehilan`gan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan legkap dimana
tumor tetep ada (residu) atau kambuh kembali (residif). Dapat ppula timbul metastasis
jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati dan otak. Pada keadaan tersebut di
atas, tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan paliatif diindikasikan langsung
kepada pasien untuk pengurangan rasa nyeri, mengntrol gejala dan memperpanjang usia.
Radiasi sangat efektif untuk menguragi nyeri akibat metastasis tulang. Pasien akhirnya
meninggal akibat keadaan umumt yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring
yang tida dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis
tumor.
2.8 Follow Up
Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai risiko terjadinya
rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering teradi kurang
dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF
perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi.1
2.9 Prognosis
Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal
dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4% untuk
stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV.1
Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :2
Stadium yang lebih lanjut.
Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan
Ras Cina dari pada ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh
2.10 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan risiko tinggi ke tempat lain.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk
mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA-
anti VCA dan IgA anti EA secara missal di masa yang akan datang bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.1
BAB 3. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas di daerah kepala dan leher, yang
menyerang bagian nasofaring. Adapaun penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-
Barr, tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat
mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin,
genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman
atau parasit.
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring,
gejala telinga, gejala mata dan saraf, sertametastasis atau gejala di leher. Gejela nasofaring
berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Gangguan di telinga dapat menyebabkan
tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Penekanan pada
sejumlah saraf otak dapat menyebabkan diplopia dan neuralgia trigeminal. Metastasis ke kelenjar
leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat karena sebelumnya
tidak terdapat keluhan lain.
Diagnosis karsinoma nasofaring dapat menggunakan CT-Scan, pemeriksaan serologi dan
biopsy yang merupakan pemeriksaan bakunya. Dari hasil histopatologinya, dapat ditemukan 3
bentuk karsinoma yaitu karsinoma sel skuamosa, karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma
tidak berdiferensiasi.
Penentuan stadium karsinoma nasofaring menggunakan sistem TMN menurut UICC dan
dibagi menjadi stadium I-IV. Penentuan ini berguna untuk menentukan jenis terapi yang akan
diberikan. Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, radioterapi dikombinasi dengan
kemoterapi dapat meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.
Pencegahan karsinoma nasofaring berupa pemberian vaksinasi, migrasi penduduk ke
daerah dengan faktor risiko rendah, penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, penyuluhan
mengenasi lingkungan hidup yang tidak sehat, dan melakukan tes serologik.
DAFTAR P USTAKA
1. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. hlm. 182-187.
2. American Cancer Society. Nasopharyngeal cancer. Atlanta, American Cancer Society. 2011.
3. Asroel, Harry A. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. USU digital library Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara.
4. Bailey BJ MD, Jhonson JT MD. Newlands SD,MD,PhD, MBA. Nasopharyngeal cancer in head and neck surgery-otolaryngology. 4th Ed. Volume 2. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p.1657- 67
5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma
In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
6. Marur, S and Forastiere A.A. Head and neck cancer: changing epidemiology, diagnosis, and
treatment. Mayo Clin Proc. April 2008; 83(4). p. 489-501.
7. Jeyakumar, Anita et al. Review of nasopharyngeal carcinoma. ENT-ear, nose & throat. Journal March. 2006.
8. Longmore M,Wilkinson I, Turmezei T,Cheug CK. Oxford Handbook of Clinical Medicine. 7th Ed. United States, New York: Oxford University. p. 179.
9. Leu, Yi-Shing L, Jehn C. “Carcinoma in the Pharynx: Nasopharynx, Oropharynx and Hypopharynx”. J. Chinese Oncol. Soc. 25(2), 102-113.
10. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer in Asia Pacific.
Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93