Referat asma
-
Upload
septlendy-iqbal -
Category
Documents
-
view
276 -
download
62
description
Transcript of Referat asma
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara
maju. Sejak dua decade terakhir, dilaporka bahwa prevalensi asma meningkat pada
anak maupun dewasa. Namun, akhir-akhir ini di Amerika dilaporkan tidak terjadi
peningkatan lagi di beberapa negara bagian. Asma memberikan dampak negatif bagi
kehidupan pengidapnya, seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan
membatasi kegiatan olahraga serta aktifitas seluruh keluarga. Prevales total asma di
dunia diperkirakan 7,2 % (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalens tersebut
sangat bervariasi. Terdapat perbedaan prevalens antar negara dan bahkan perbedaan
juga didapat antar daerah di dalam suatu negara.
Terdapat variasi prevalens, angka perawatan dan mortalitas asma, baik
regional maupun local. Angka kejadian asma di berbagai negara sulit dibandingkan,
tidak jelas apakah perbedaan angka tersebut timbul karena adanya perbedaan kriteria
diagnosis atau karena benar-benar terdapat perbedaan . berbagai penelitian yang ada
saat ini menggunakan definisi penyakit asma yang berbeda, sehingga untuk
membandingkan antara penelitian satu dan lainnya perlu diketahui kriteria yang
digunakan oleh peneliti. untuk mengatasi hal tersebut, penelitian multisenter tela
dilakasanakan di beberapa negara dengan menggunakan definisi asma yang sama dan
kuesioner standar. Salah satu penelitian multitester yang dilaksanakan adalah
international study of astma and allergy in children (ISAAC). Dengan menggunakan
kuesioner standar, prevalens dan berbagai factor resiko dapat dibandingkan.
Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah morbiditas dan mortalitas
asma yang relative tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat
asma. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang
berarti. Namun, belakangan ini berbagai negara melaporkan bahwa terjadi
peningkatan kematian akibat penyakit asma, termasuk pada anak.
Serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan mengancam
kehidupan. Berbagai factor dapan menjadi pencetus timbulnya serangan asma, antara
lain adalah olahraga, allergen, infeksi, perubahan suhu u;dara yang mendadak atau
pajanan terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok dan lain-lain. Selain berbgai
1
factor turut mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat,
misalnya usia, jenis kelamin, ras, sosio-ekonomi dan factor lingkungan. Factor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi prevalens asma, derajat penyakit asma, terjadinya
serangan asma, berat ringannya serangan dan kematian akibat asma. 1
DEFINISI
Asma mempunyai komponen genetik dan environmental yang signifikan,
tetapi karena patogenesisnya masih menjadi diskusi, banyak definisi yang
dideskripsikan. Berdasarkan konsekuensi fungsional dari inflamasi respiratorik,
definisi operasional asma berdasarkan Global Initiative for Asma updated 2008, asma
didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak
sel yang berperan. Inflamasi kronik ini berhubungan dengan airway
hyperresponsiveness yang menyebabkan episode berulang dari wheezing, sesak
nafas, rasa dada tertekan dan batuk khusunya pada malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang sering bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.2
Berdasarkan National Heart, Lung and Blood Institute 2007, asma
didefinisikan sebagai gangguan kronis umum dari saluran respiratorik yang kompleks
dan dikarakterisktikan oleh gejala yang bermacam-macam dan berulang, penyempitan
saluran respiratorik, bronchial hyperresponsiveness dan underlying inflammation.3
Pedoman Nasional Asma Anak 2004 menggunakan definisi yang praktis
dalam bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan atau batuk dengan karakteristik
sebagai berikut: timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam atau
dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta ada riwayat
asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan.1
EPIDEMIOLOGI
2
Prevalensi asma meningkat. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa
sekitar 7 % orang dewasa dan 15 % anak-anak menderita asma. Peningkatan ini
terjadi karena adanya perubahan pada lingkungan termasuk paparan dini pada alergen
udara dan rokok, sedikitnya infeksi pada masa anak-anak dan perubahan pada diet.
Terdapat banyak variasi tentang prevalensi secara geografis. Jumlah terbesar
ditemukan di Selandia Baru, Australia dan Inggris sedangkan di Cina dan Malaysia
ditemukan sedikit.
Penelitian ISAAC fase I telah dilaksanakan di 56 negara meliputi 155 senter pada
anak usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Penelitian ini menggunakan kuesioner standar
dengan pertanyaan ”have you (your child) had wheezing or whistling in chest in last
12 months?” Untuk mengelompokkan dalam diagnosis asma bila jawabannya ”Ya”.
Pada anak usia 13-14 tahun selain diminta mengisi kuesioner juga diperlihatkan video
asma. Ternyta hasilnya bervariasi. Untuk usia 13-14 tahun yang terendah di Indonesia
(1,6%) dan yang tertinggi di Inggris sebanyak 36,8%.
Survey mengenai prevalensi asma di Eropa telah dilakukan di 7 negara (Asma
insights and Reality in Europe = AIRE) meliputi 73.880 rumah tangga yang
berjumlah 213.158 orang. Hasil survey mendapatkan prevalensi populasi current
asma sebesar 2,7%.
Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan beberapa
pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner standar.1
Peneliti (Kota) Tahun Jumlah
Sampel
Umur
(tahun)
Prevalensi
(%)
Dajajanto B (Jakarta) 1991 1200 6-12 16,4
Rosmayudi O 1993 4865 6-12 6,6
Dahlan (Jakarta) 1996 - 6-12 17,4
Arifin (Palembang) 1996 1296 13-15 5,7
Rosalina I (Bandung) 1997 3118 13-15 2,6
Yunus F (Jakarta) 2001 2234 13-14 11,5
Kartasasmita CB (Bandung) 2002 2678 6-7 3,0
3
2836 13-14 5,2
Rahajoe NN (Jakarta) 2002 1296 13-14 6,7
FAKTOR RESIKO
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejaidan asma berat,
berat ringannya penyakit, serta kematian akibat asma. Beberapa faktor tersebut sudah
disepakati oleh para ahli sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-
faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, alergen, infeksi,
atopi, lingkungan dan lain-lain.
Genetik
Asma memiliki komponen genetik. Data menunjukkan bahwa banyak gen
yang terlibat di dalam patogenesis asma, dan gen yang berbeda bisa terdapat
pada group ethnic yang berbeda. Penelitian terhadap gen yang berhubungan
dengan perkembangan asma difokuskan pada 4 mayor area: produksi allergen
spesifik IgE antibodi (atopy), airway hyperresponsiveness expression,
produksi mediator inflamasi, dan penentuan rasio antara Th1 dan Th2 immune
response.
Obesitas
Obesitas juga dapat dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko untuk asma.
Mediator tertentu, seperti leptin, dapat mempengaruhi fungsi respiratorik dan
meningkatkan kemungkinan perkembangan asma.
Sex
Laki-laki merupakan salah satu faktor risiko berkembangnya asma pada anak-
anak. Sebelum berumur 14 tahun, prevalensi asma 2 kali lebih besar pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Dengan bertambahnya
usia anak, perbedaan risiko antar sex makin sempit, dan di saat usia dewasa
risiko terjadinya asma pada wanita lebih besar daripada pria. Alasan yang
pasti untuk perbedaan ini belum pasti, bagaimanapun, ukuran paru-paru pada
4
pria lebih kecil daripada wanita pada saat lahir, dan lebih besar pada usia
dewasa.2
Faktor Lingkungan
Dua faktor lingkungan yang mayor dapat dikatakan sebagai faktor yang
sangat penting dalam perkembangan, persistence, dan tingkat keparahan asma, yaitu
airborne allergen dan infeksi virus respiratorik.3 Dibawah ini akan dibahas kedua
faktor tersebut dan faktor-faktor lain yang berperan.
Gambar Host Factors and Environmental Exposures3
Alergen
Paparan indoor dan home alergen pada individu yang tersensitisasi dapat menginisiasi
timbulnya airway inflammation dan hipersensitivitas terhadap paparan iritan yang
lain, dan sangat berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan persistensi. Jadi,
eliminasi dari alergen yang menjadi pencetus dapat menghasilkan resolusi dari gejala-
gejala asma dan terkadang dapat “menyembuhkan” asma.4 Paparan dari alergen yang
dapat mencetuskan asma juga bergantung pada alergennya, jumlah, waktu paparan,
umur anak, dan faktor genetik.2
Infection
Selama masa infancy, beberapa virus diketahui sangat berhubungan dengan
munculnya asmatic phenotype. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza
virus menyebabkan bronchiolitis yang dapat bersamaan munculnya dengan gejala-
gejala asma yang lain pada anak-anak.2,3 Episode wheezing yang berulang pada masa
5
early childhood juga sangat erat hubungannya dengan common respiratory virus,
antara lain RSV, rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus, dan human
metapneumovirus.4
Beberapa penelitian prospective jangka panjang terhadap anak-anak yang
masuk ke rumah sakit dengan infeksi RSV menunjukkan bahwa sekitar 40% anak-
anak akan tetap memiliki gejala wheezing atau memiliki asma di akhir masa anak-
anaknya.2,3 Infeksi rhinovirus yang simtomatis pada awal kehidupan juga merupakan
salah satu faktor risiko terhadap terjadinya wheezing yang berulang.3
“Hygiene Hypothesis” asma menyatakan bahwa paparan terhadap infeksi
pada awal kehidupan sangat mempengaruhi perkembangan system imun pada anak-
anak melalui “nonallergic pathway”, yang menyebabkan menurunnya risiko
terjadinya asma dan penyakit allergic lain. Walaupun teori ini masih dalam penelitian
yang lebih lanjut, hubungan tersebut dapat menjelaskan hubungan antara jumlah
keluarga yang besar, later birth order, daycare attendance dengan menurunnya risiko
terjadinya asma.3
Interaksi antara atopi dan infeksi virus mempunyai hubungan yang kompleks,
dimana keadaan atopi dapat mempengaruhi lower airway response terhadap infeksi
virus, infeksi virus dapat mempengaruhi perkembangan allergic sensitization, dan
interaksinya tersebut dapat terjadi ketika individu terpapar allergen dan virus secara
bersamaan.2
Occupational sensitizers
Lebih dari 300 substansi berhubungan dengan occupational asma,
diantaranya:2
6
Occupational asma biasanya terjadi pada orang dewasa.
Asap rokok
Merokok dapat mempercepat penurunan fungsi paru pada orang dengan asma,
meningkatkan tingkat keparahan, dan dapat berefek tehadap penurunan respon
terhadap pengobatan dengan inhalasi, glukokortikoid sistemik dan mengurangi
kemungkinan asma dapat dikontrol. Paparan terhadap rokok baik selama masa
prenatal ataupun setelah lahir, dapt dihubungkan dengan efek berbahaya yang
ditimbulkan, termasuk meningkatkan risiko berkembangnya asma-like symptoms
pada masa early childhood. Penelitian terhadap fungsi paru segera setelah lahir
menunjukkan ibu yang merokok selama masa kehamilan mempengaruhi
perkembangan paru-paru dari bayi. Bayi dengan ibu yang merokok selama masa
7
kehamilan mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan wheezing illness
pada setahun pertama kehidupannya.2
Polusi
Peranan outdoor pollution dalam menyebabkan asma masih menjadi
kontroversi. Anak-anak yang dibesarkan pada lingkungan yang penuh dengan
mempunyai fungsi paru yang menurun, tetapi menurunnya fungsi paru dan
berkembangnya asma belum diketahui hubungannya.2
Diet
Peranan diet, terutama ASI, dalam perkembangan asma masih dalam
penelitian. Secara umum, terdapat data yang menunjukkan bahwa anak yang
meminum formula dari intact cow’s milk atau soy protein mempunyai tingkat
insidensi yang tinggi terjadinya wheezing illnesses pada early childhood
dibandingkan dengan anak yang meminum ASI.2
PATOGENESIS
Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratorik
Pada banyak kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE dependent. Pada populasi
diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan
dewasa.
Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal
profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3
dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama
memproduksi IL-2, IF-g dan TNF-b. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin
yang etrlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat maupun yang cell mediated.
Langkah terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul MHC/ major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+
8
dan MHC kelas I pada sel CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cell
yang utam dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam
sumsum tulang dan membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan
pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan
sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi
sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel
dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di sana,
dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai
antigen presenting cell yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T –
Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada
klaster kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster).
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien
asma atopik dan non-atopik wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T
– eosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh
ditemukannya sel yang mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma
atopik. IL-5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat
keberadaanya pada mukosa saluran respiratosik pasien asma berkorelasi dengan
aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.
Inflamasi akut dan kronik.
Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi
fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. Reaksi
cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik
terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang
kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE
mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator
seperti histamin, proteolitik dan enzim glikolitik dan heparin serta mediator newly
generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif . Bersama-
sama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-
mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratorik da menstimulasi
saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskular. Reaksi
9
fase lambat dipikirkan sebagai model sistem model untuk mempelajari mekanisme
inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selamaberlangsung paparan
alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratorik menghasilkan sitokin-sitokin ke
dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya sel leukosit pro inflamasi terutam eosinofil
dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke sirkulasi.
Remodelling saluran respiratorik
Remodelling saluran respiratorik merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi stuktur
sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan sel epitel yang berlanjut, produksi
berlebihan faktor pertumbuhan profibrotik/ transforming growth factors (TGF- b) dan
proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi myofibroblas diyakini merupakan
proses yang penting dalam remodeling. Myofibroblas yang teraktivasi akan
memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan
proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratorik dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding
saluran respiratorik dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal
ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien terutama pada yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratorik pada asma memperlihatkan perubahan struktur
saluran respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran respiratorik. Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran
respiratorik yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang
dapat menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi
dengan inhalasi kortikosteroid. Namun beberapa penderita asma mengalami obstruksi
saluran respiratorik residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan
gejala, hal ini mencerminkan adanya remodelling saluran napas.
10
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas
saluran respiratorik non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu
lama (lebih dari 1 sampai 2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi
steroid hirupan.1
PATOFISIOLOGI
Penyempitan saluran nafas adalah hasil akhir dari gejala-gejala dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada asma. Beberapa faktor yang berperan
terjadinya penyempitan saluran nafas pada asma adalah:
Airway smooth muscle contraction: merupakan respon akibat banyaknya
mediator bronkokonstriksi.
Airway edema: karena peningkatan kebocoran mikrovaskular akibat respon
dari mediator inflamasi.
Airway thickening: karena adanya perubahan structural, sering disebut juga
“remodeling”.
Mucus hypersecretion: karena adanya peningkatan sekresi mucus dan
inflammatory exudates yang menyebabkan penyumbatan lumen (“mucus
plugging”).2
Airway hyperresponsiveness, merupakan karakteristik fungsional yang abnormal
pada pasien asma, yang bermanifestasi sebagai penyempitan saluran nafas pada
pasien asma akibat respon dari stimulus yang sebenarnya tidak akan menimbulkan
reaksi apapun pada orang normal. Beberapa mekanisme yang diduga berperan dalam
airway hyperresposiveness antara lain:
Kontraksi otot-otot pernafasan yang berlebihan: dapat disebabkan oleh
peningkatan volume dan atau kontraktilitas dari airway smooth muscle cells.
Uncoupling of airway contraction: akibat adanya perubahan pada diding
saluran nafas akibat proses inflamasi yang menyebabkan penyempitan saluran
nafas dan hilangnya maximum plateau of contraction yang ditemukan pada
normal airway ketika substansi bronkokonstriksi diinhalasi.
11
Penebalan diniding saluran nafas: karena adanya edema dan perubahan
structural yang memperburuk penyempitan saluran nafas karena
kontraksiairway smooth muscle untuk alas an geometric.
Sensory nerves: dapat disensitisasi oleh inflamasi yang berakibat pada
bronkokonstriksi yang berlebihan terhadap respon stimulus sensori.2
MANIFESTASI KLINIS
Gejala kronik asma yang paling sering muncul antara lain batuk kering yang
intermittent, dan atau expiratory wheezing.
Pada older children dan dewasa didapatkan adanya keluhan sesak nafas dan
chest tightness, sementara pada younger children, lebih mengeluhkan
intermittent, nonfocal chest “pain”
Gejala respiratorik biasanya memburuk pada malam hari, terutama selama
masa eksaserbasi yang lama yang dipicu oleh infeksi respiratori atau allergen
yang terinhalasi.
Gejala yang muncul pada siang hari, sering berhubungan dengan kegiatan
fisik, sangat sering terjadi pada anak-anak. Gejala-gejala yang lain pada anak
kadangkala bias tidak terlihat atau tidak spesifik seperti membatasi diri untuk
melakukan aktivitas fisik, kelelahan yang menyeluruh (mungkin disebabkan
adanya gangguan tidur), dan kesulitan untuk bermain dengan anak-anak yang
seumuran.
Selama terjadinya eksaserbasi, expiratory wheezing dan pemanjangan fase
ekspirasi dapat diperoleh melalui auskultasi. Penurunan suara pernafasan di
beberapa area paru-paru, biasanya di lobus kanan bawah posterior,
berhubungan dengan adanya hipoventilasi akibat obstruksi saluran nafas.
Crackles dan ronchii kadang-kadang dapat terdengar akibat adanya produksi
mucus dan inflammatory exudates pada saluran nafas.4
12
KLASIFIKASI
GINA membagi asma berdasarkan asma severity didasari atas tingkat gejala,
airflow limitation, dan lung function kedalam 4 kategori: intermittent, mild persistent,
moderate persistent dan severe persistent.2
Klasifikasi derajat berat ringan penyakit asma menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)1
Parameter klinis kebutuhan obat dan faal paru
Asma episodik jarang
Asma episodik sering
Asma persisten
Frekuensi serangan < 1x / bulan > 1x / bulan SeringLama serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada remisi
Intensitas serangan di antara serangan
Biasanya ringan tanpa gejala
Biasanya sedang sering ada gejala
Biasanya berat gejala siang dan malam
Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat tergangguPemeriksaan fisik Normal Mungkin Tidak pernah
13
di luar serangan terganggu normalObat pengendali Tidak perlu Perlu PerluUji faal paru >80% 60-80% <60%Variabilitas >15%0 >30% >50%
Klasifikasi derajat serangan asma1
Parameter klinis faal paru laboratorium
Ringan\ Sedang Berat Ancaman henti nafas
Sesak Berjalan, bisa tidur
Berbicara lebih enak duduk
Istirahat membungkuk ke depan
Posisi Bisa berbaring
Lebih suka duduk
Duduk bertopang lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat
Kata-kata
Kesadaran / kebingungan
Mungkin irritable
Biasanya irritable
Biasanya irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada NyataWheezing Sedang, akhir
ekspirasiNyaring, sepanjang ekspirasi dan inspirasi
Sangat nyaring, tanpa stetoskop
Tidak terdengar
Penggunaan otot bantu respiratorik
Biasanya tidak
Biasanya ya Ya Paradoks torakoabdominal
Retraksi Dangkal interkostal
Sedang suprasternal
Dalam nafas cuping hidung
Dangkal/hilang
Frekuensi nafas
Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
Frekuensi nadi Normal Takikardia Takikardia BradikardiaPEFR/FEV1Pre bronkodilator
>60% 40-60% <40%
Post bronkodilator
>80% 60-80% <60%
Sat O2 >95% 91-95% <91%PaO2 Normal >60mmHg <60mmHgPaCO2 <45mmHg <45mmHg >45mmHg
DIAGNOSIS
14
Hingga saat ini, asma tetap sulit didiagnosis sehingga sering undertreated. Hal
ini disebabkan oleh berbagai hal antara lain perjalanan gejala respiratorik asma yang
dianggap sudah biasa oleh orang tua / anak atau gambaran klinis yang tidak khas
sehingga sering didiagnosis sebagai penyakit lain. Tidak jarang asma didiagnosis
sebagai bronchitis sehingga klinisi memberikan antibiotik dan obat batuk. Diagnosis
asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Wheezing berulang dan / atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Meskipun tidak semua wheezing disebabkan oleh
asma, tetapi gejala wheezing harus dianggap asma sampai terbukti bukan asma.
Alur Diagnosis Asma Anak
Batuk dan/atau wheezing
Riwayat Penyakit, Pemeriksaan Fisik, Uji tuberkulin
Patut diduga asma:- Episodik dan/atau kronik- Nokturnal / morning dip- Musiman- Pajanan terhadap pencetus- Riwayat atopi
pasien/keluarga
Tidak jelas:- Timbul masa neonatus- Gagal tumbuh- Infeksi kronis- Muntah/tersedak- Kelainan fokal paru- Kelainan sistem
kardiovaskular
Periksa peak flow meter / Spirometer untuk menilai:- Reversibilitas > 15%- Variabilitas > 15%
Pertimbangkan: Foto toraks dan sinus Uji faal paru Uji respon terhadap
bronkodilator selama 5 hari Uji provokasi bronkus Uji keringat Uji imunologis Pemeriksaan motilitas silia Pemeriksaan refliks GETidak berhasil
Berikan bronkodilator
Diagnosis kerja: AsmaTidak mendukung
Mendukung diagnosis lain
15
diagnosis lain
Berikan obat anti asma, bila tak berhasil, nilai ulang diagnosis dan ketaatan berobat
Diagnosis dan pengobatan penyakit lain
Pertimbangkan asma disertai penyakit lain
Bukan asma
Anamnesis
Riwayat penyakit / gejala :
Riwayat sesak nafas yang episodic, seringkali reversible dengan atau tanpa
pengobatan.
Wheezing atau wheezing berulang
Rasa dada seperti tertekan
Adanya variabilitas musim
Gejala timbul / memburuk terutama malam/dini hari.
Batuk atau wheezing setelah beraktivitas dan berdahak.
Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu, misalnya allergen udara /
polutan.
Menderita common cold sampai dada terasa tertekan atau perlu waktu >10
hari untuk sembuh.
Gejala membaik setelah pemberian obat anti asma
Yang termasuk perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak yang
menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat setelah diperiksa tanda
wheezing, sesak, dan lain-lainnya sedang tidak timbul.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
Riwayat asma keluarga (atopi)
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangkan penyakit dan pengobatan
16
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan fisik dan pengukuran faal paru akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.
Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi
(Wheezing) pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan nafas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran nafas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran nafas, maka sebagai kompensasi penderita
bernafas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
nafas. Hal itu meningkatkan kerja pernafasan dan menimbulkan tanda klinis berupa
sesak nafas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest ) pada serangan yang
sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu nafas.
Pemeriksaan penunjang
Respon terhadap bronkodilator dan steroid sistemik bermanfaat untuk diagnosis
asma anak < 3 tahun.
Uji provokasi bronkus, dengan histamin, metakolin, exercise, udara kering atau
dingin, NaCL hipertonis. Penurunan > 20% pada FEV1 setelah provokasi maka
didiagnosa asma. Uji provakasi bronkus membantu menegakan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan
uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain
17
seperti rhinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan nafas
seperti PPOK, bronkoektasis dan fibrosis kistik.
Exercise Challanges
Misalnya dengan melakukan latihan aerobik atau lari selama 6-8 menit. Tes ini
dapat mengidentifikasi exercise-induced bronchospasm. Pada asma, didapatkan
FEV1 turun sebanyak > 15% pada saat atau setelah latihan. Onset biasanya
terjadi 15 menit setelah latihan dan dapat hilang dengan spontan setelah 60
menit. Tapi tes ini dapat mencetuskan serangan eksaserbasi asma berat pada
pasien yang beresiko tinggi.
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) dilakukan dengan maneuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio
VEP1, KVP < 75% atau VEP1 < 80 % nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
1. Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau
VEP1 < 80 % nilai prediksi.
2. Reversibiltas, yang perbaikan VEP1 ≥ 15 % secara spontan , atau setelah
inhalasi bronkodilator ( uji bronkodilator ), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibilitas ini dapat membantu diagnosis asma
3. Menilai derajat berat asma
Uji faal paru pada anak > 6 tahun. Ada dua metode pemeriksaan, yaitu
pengukuran FEV1 dan Forced Vital Capacity (FVC) memakai spirometer dan
Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) memakai peak flow meter. Pemeriksaan ini
berguna mendukung diagnosis asma, bila didapatkan:
1. Variabilitas pada PEFR atau FEV1 > 15%
18
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan.penurunan) PEFR
dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas
mingguan yang pemeriksaan berlangsung > 2 minggu.
2. Reversibilitas pada PEFR atau FEV1 > 15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PEFR atau FEV1
setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan > 15% pada PEFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus
Arus Puncak Ekspirasi
Nilai APE dapat diperolehi melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)
yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastic dan mungkin
tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun
instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/difahami baik
oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-
hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan kerjasama penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma :
1. Reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15 % setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu)
2. Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabilitas
APE harian selama 1-2 minggu. Variabilitas juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit.
Cara pemeriksaan variabilitas APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk
mandapatkan nilai tertinggi.
Rata-rata APE harian dapat diperolehi melalui 2 cara :
Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/perbedaan nilai APE
pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya
sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
19
sebelumnya bronkodilator menunjukkan percentase rata-rata nilai APE harian.
Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.
Variabiltas harian = APE malam – APE pagi X 100 %
½ (APE malam + APE pagi)
Metode lain untuk menetapkan variabilitas APE adalah nilai terendah APE
pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari)
Indeks Sederhana dari Variabilitas PEF2
Pemeriksaan status alergi
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasikan melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil
untuk memdiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi factor
risiko/pencetus sehingga dapat dilaksanakan control lingkungan dalam
penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat
untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negative
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan allergen yang releven dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
20
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/atopi.
Foto rontgen toraks (Posteroanterior and lateral)
Pada anak dengan asma, gambaran radiologinya biasanya normal. Bisa juga
didapatkan gambaran yang nonspesifik yaitu hiperinflasi (pendataran
diafragma) dan penebalan peribronkhial. Foto thorax membantu untuk
mengidentifikasi penyakit yang gejalanya menyerupai asma (aspirasi
pneumonitis dan gambaran hiperlusen pada bronkiolitis obliterans) dan
komplikasi pada saat eksaserbasi asma (ateletaksis, pneumothoraks)
Uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang diduga asma maupun
bukan. Di Indonesia tuberculosis (TB) masih merupakan penyakit yang
banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik. Oleh karena
itu uji tuberculin dapat dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma
maupun yang bukan asma. Dengan cara tersebut, maka penyakit TB yang
mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi.
Diagnosa Banding
Asma merupakan salah satu penyebab gejala saluran pernafasan tersering dan
hanya salah satu penyebab penyakit paru. Langkah penting dalam menegakkan
diagnosisnya adalah adanya keterbatasan aliran udara yang reversibel dan bervariasi
yang ditunjukkan dengan spirometer.
Meskipun pada asma dan infeksi saluran nafas akut menghasilkan wheezing
sebagai akibat obstruksi yang tersebar, gejala saluran nafas juga bisa diakibatkan oleh
obstruksi lokal dan adanya benda asing sehingga hal ini juga harus dipertimbangkan
dalam diagnosis banding. Diagnosis lain yang harus dipertimbangkan adalah pseudo-
asma yang disebabkan oleh disfungsi pita suara.
Diagnosa banding asma pada anak antara lain sbb :
Pada Saluran Nafas Bagian Atas
1. Rinitis alergi
2. Rinitis kronik
3. Sinusitis
21
Pada sinusitis kronik tidak didapatkan gejala spesifik seperti nyeri
tekan pada tempat tertentu (terderness) Rinosinusitis komorbid dengan
asma.
4. Adenoidal atau hipertrofi tonsiler
5. Nasal foreign body
Pada Saluran Nafas Bagian Tengah
1. Laringotrakheobronkhomalasia
2. Laringotrakheobronkhitis ( cth.Pertusis)
3. Laringeal web, cyst or stenosis
4. Vocal cord dysfunction (VCD)
Terjadi penutupan pita suara yang tidak normal saat inspirasi atau
ekspirasi sehingga menimbulkan nafas yang pendek, batuk, nyeri
tenggorokan, dan sewaktu-waktu menimbulkan wheezing laryngeal
yang jelas terdengar dan / stridor. Pada tes spirometer didapatkan
kurva volume inspirasi dan ekspirasi yang tidak konsisten Bisa
muncul bersamaan dengan asma.
5. Vocal cord paralysis
6. Tracheoesofagela fistula
7. Vaskular ring, sling, or externa mass compressing on the airway (cth.
Tumor, Tuberkulosis kelenjar)
Tuberkulosis kelenjar yang menekan trakea atau bronki kadang-
kadang menimbulkan wheezing persisten
8. Aspirasi benda asing
Pada anamnesa ada riwayat tersedak (misalnya susu, makanan, dll)
9. Bronkitis kronis karena terpapar asap rokok
10. Toxic inhalation
Pada Saluran Nafas Bagian Bawah
1. Bronchopulmonary dysplasia or chronic lung disease of preterm infant
2. Viral bronkiolitis
22
Perlu dipikirkan bila bayi < 2 tahun mengalami serangan wheezing
dan sesak untuk pertama kali. Untuk membedakan antara bronkiolitis
dan asma serangan pertama dilakukan tes bronkodilator. Bila sesak
segera hilang, diagnosisnya adalah asma serangan pertama, tetapi bila
sesak tidak berkurang maka kemungkinan asma belum dapat
disingkirkan.
3. Gastroesofageal reflux
Pada anak, secara klnis tidak memperlihatkan gejala. Dapat timbul
komorbid dengan asma.
4. Cause of bronchiectasis (cystic fibrosis, Imunne deficiency, Allergic
bronchopulmonary mycoses, Chronic aspiration, Immotile cilia
syndrome)
5. Bronchiolitis Obliterans
6. Interstitial Lung disease
7. Hypersensitivity pneumonitis
8. Pulmonary Eosinofilia
9. Pulmonary hemosiderosis
10. Tuberculosis
11. Pneumonia
12. Gulmonary edema (CHF)
13. Medication associated with cough cronic
Acetylcolinesterase Inhibitor
Β-adrenergic antagonist
KOMPLIKASI
1. Emfisema
2. Ateletaksis
3. Bronkiektasis
4. Pneumothoraks
5. Pneumomediastinum
23
6. Gagal nafas
7. Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM)
8. Permanent hypoxic brain damage
PENATALAKSANAAN ASMA
Pengobatan asma menurut GINA ( Global initiative for Asma). Program
penatalaksanaan asma diantaranya melalui 6 komponen dalam dibawah ini :
1. Edukasi pada anak / keluarganya
Dengan bantuan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, anak dan keluarganya
akan secara aktif turut serta dalam penatalaksanaan penyakit asmanya untuk
mencegah timbulnya masalah dan dapat hidup secara produktif. Sehingga
dapat menjauhi faktor resiko, berobat dengan benar, mengetahui perbedaan
obat ‘controller’ dan ‘reliever’, monitoring, mengenali gejala serangan asma
dan mencari pertolongan medis secara apropriate.
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
penilaian dan monitor berat asma baik melalui pengukuran gejala,
pemeriksaan uji faal paru, dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk
menilai hasil pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak
penderita asma yang tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan faal parunya
menunjukkan adanya obstruksi saluran nafas.
3. Mengidentifikasi dan menghindari factor pencetus
Mengidentifikasi dan menghindari factor pencetus yang dapat menimbulkan
proses inflamasi saluran nafas merupakan tahap pertama pada penatalaksaan
penyakit asma. Menghindari factor pencetus dapat mengurangi gejala dan
dalam jangka panjang dapat menekan proses inflamasi maupun
hiperreaktivitas saluran nafas. Yang termasuk induced trigger antara lain
allergen, bahan-bahan kimia yang iritatif, obat-obatan, infeksi virus. Sedang
inciter trigger antara lain exercise, udara dingin, dan emosi, dll.
4. Program penatalaksanaan asma jangka panjang
24
Program ini meliputi 3 hal yang harus dipertimbangkan yaitu obat-obatan
asma, pengobatan secara farmakologis berdasarkan system anak tangga,
pengobatan berdasarkan sistem zona atau wilayah bagi penderita.
5. Merencanakan pengobatan asma akut
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas, batuk, mengi atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari
yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa
mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari.
Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukan rencana
pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor
pencetus.
6. Berobat secara teratur
Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan, pasien asma pada
umumnya memerlukan pengawasan yang teratur dari tenaga kesehatan.
Kunjungan yang teratur diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara
pemakaian obat, cara menghindari factor pencetus serta penggunaan alat peak
flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin
jarang.2
Penatalaksanaan Serangan Asma
Tujuan : Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di
ruang gawat darurat. Perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dat dicegah,
setidaknya dapat dikurangi dengan pengenalan dini dan terapi intensif.
Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk :
meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
mengurangi hipoksemia
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
25
Tahapan Tatalaksana Serangan Asma.
Alur tatalaksana serangan asma terhadap anak
Klinik / Unit Gawat Darurat
Nilai derajat serangan
Tatalaksana awalNebulisasi b-agonis 1-3x, selang 20 menitNebulisasi ketiga + antikolinergikJika serangan berat, nebulisasi b-agonis + antikolinergik
Serangan ringan:(nebulisasi 1x, respon baik) Observasi 1 jam Efek bertahan, boleh
pulang Gejala timbul lagi,
perlakukan sebagai serangan sedang
Serangan sedang:(nebulisasi 2x, respon parsial) Berikan oksigen Nilai kembali derajat
serangan, jika sesuai dengan serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari
Steroid oral Pasang jalur parenteral
Serangan berat:(nebulisasi 3x, respon buruk) Sejak awal berikan O2
saat/di luar nebulisasi Pasang jalur parenteral Steriod intravena Nilai ulang klinisnya,
jika sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inap
Foto rontgen toraks
Boleh pulang: Bekali obat-obat b-
agonis (hirupan/oral) Jika sudah ada obat
pengendali, teruskan Jika infeksi virus
sebagai pencetus, beri steroid oral (3-5 hari)
Dalam 24-48 jam kontrol ke klinik R. Jalan, untuk reevaluasi
Ruang rawat sehari / observasi Oksigen teruskan Steroid oral dilanjutkan Nebulisasi tiap 2 jam Bila dalam 12 jam
perbaikan klinis, stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik/bahkan memburuk, alih ke Ruang Rawat Inap
Ruang Rawat Inap: Oksigen teruskan Atasi dehidrasi dan
asidosis jika ada Steroid IV tiap 6-8 jam Nebulisasi tiap 1-2 jam Aminofilin iv awal,
lanjutkan rumatan Jika membaik dalam 4-
6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam
Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
Jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak
26
membaik, bahkan timbul ancaman henti nafas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif
Catatan:
Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01
ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali
Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 l/menit
Tatalaksana di Unit Gawat Darurat.
Semua pasien yang mengalami serangan asma harus dinilai derajat serangan, apakah
serangan ringan, sedang, berat, atau ancaman henti nafas. Cara nebulisasi dan jenis
obat yang digunakan tergantung pada derajad serangan asma yang terjadi dan
kemudian dinilai hasil nebulisasi yang diberikan. Pertimbangan obat untuk nebulisasi
adalah sebagai berikut:
Serangan asma derajat ringan dan sedang.
Untuk serangan asma derajat ringan dan sedang, nebulisasi dilakukan dengan
menggunakan obat tunggal yaitu - agonis. Nebulisasi dapat dilakukan 2 kali
berturut-turut, tergantung respon terapi. Jarak antara nebulisasi I dan kedua adalah 20
menit, setelah nebulisasi ke dua juga dinilai selama 20 menit. Nilai perbaikan klini
setiap selesai nelisasi. Tindakan berikutnya adalah sebagai berikut :
Jika dengan nebulisasi I dan atau II, serangan mereda, penderita diobservasi selama 1
jam di Unit Gawat Darurat (UGD). Jika selama observasi tersebut, tetap membaik,
pasien dipulangkan. Jika selama observasi 1 jam di UGD, serangan kambuh ulang,
maka penderita dipindahkan ke ruang Rawat sehari untuk tatalaksana berikutnya
(Lihat tatalaksana di RRS).
Jika setelah 2 kali nebulisasi, hanya terjadi perbaikan parsial, maka penderita dialih
rawat ke RRS untuk tatalaksanan lebih lanjut (Lihat tatalaksana di ruang rawat
Sehari).
Serangan asma berat .
27
Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat, maka nebulisasi pertama kali langsung
dengan - agonis. yang langsung dikombinasi antikolonergik. Oksigen 2-4 L/menit
diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan
foto thoraks. Penderita langsung dialih rawat ke ruang rawat inap (Lihat tatalaksana
di ruang rawat inap).
Serangan asma dengan ancaman henti nafas.
Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti nafas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif (Lihat tatalaksana di ICU).
Tatalaksana di Ruang di Ruang Rawat sehari (RRS) .
Penderita yang dialih rawat dari UGD ke RRS, harus diberikan tindakan sebagai
berikut :
Nebulisasi .
Di RSS, nebulisasi yang dilakukan adalah nebulisasi tahap ke tiga, yaitu
setelah 2 kali nebulisasi UGD yang hanya dengan - agonis. Pada tahap ketiga
ini, nebulisasi dilakukan dengan kombinasi - agonis. dengan antikolinergik.
Nebulisasi dengan kombinasi 2 obat ini dilakukan tiap 2 jam, hingga
pemantauan 12 jam.
Steroid
Kepada penderita juga diberikan steroid sistemik atau oral berupa metil
prednisolon atau prednison.
Oksigen.
Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan.
Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, pasien dipulangkan dan dibekali obat untuk rawat
jalan. Bila dalam 12 jam responnya tetap tidak baik, maka pasien alih rawat ke Ruang
Rawat Inap dengan tatalaksanan asma berat (Lihat tatalaksana di RRI)
Tatalaksana di Ruang Rawat Inap (RRI)
Penderita yang tidak mengalami perbaikan selama observasi dan tindakan di ruang
rawat Sehari, dengan pantauan selama 12 jam, maka dialih rawat ke ruang rawat inap.
Tindakan yang dilakukan di RRI adalah :
Oksigen
28
Pemberian oksigen diteruskan.
Rehidrasi dan koreksi asidosis
Jika terdapat dehidrasi, maka dilakukan rehidrasi. Demikian juga, jika
terdapat asidosis, maka perlu dilakukan koreksi terhadap asidosis tersebut.
Steroid
Pemberian streoid dilakukan secara intravena dengan cara bolus tiap 6-8 jam.
Dosis steroid intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari.
Nebulisasi
Di RRI, nebulisasi dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi antara -
agonis. dengan antikolonergik. Jarak nebulisasi adalah tiap 1 – 2 jam. Jika
dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak nebulisasi dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
Aminofilin
Pemberian aminofilin sesuai dengan dosis inisial dan dosis rumatan.
Inisial : Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin yang
lah sebesar 6-8 mg/kgBB yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam
fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien telah
mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan separuhnya.
Rumatan : Untuk rumatan aminofilin diberikan dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/jam.
Selama perawatan di RRI, penderita diobservasi apakah terjadi perbaikan atau tidak.
Bila terjadiperbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam.
Pemberian steroid dan aminofilin diganti dari pemberian intravena menjadi peroral..
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dipulangkan. Jika tidak ada pernbaikan
selama tatalaksana di ruang rawat inap, maka penderita dialih rawat ke ruang Intensif
(PICU).1
Tatalaksana di ruang rawat Intensiv (ICU = Intensive Care Unit) .
Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman
henti nafas, langsung dirawat di Ruang Rawat Intensiv (PICU). Kriteria pasien yang
memerlukan PICU ialah :
29
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti nafas, atau
hilang kesadaran.
Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di Ruang Rawat Inap.
Ancaman henti nafas : hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi
oksigen (Kadar PaO2 < 60 mmHg dan/atau PaO2 > 45 mmHg, walaupun
tentu saja gagal nafas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau
lebih rendah).
Pemberian Obat-obatan Waktu dipulangkan .
Penderita dapat dipulangkan dengan pertimbangan sebagai berikut :
Untuk penderita yang mengalami serangan ringan atau sedang yang dengan
satu atau dua kali nebulisasi terjadi respon baik/perbaikan yang sempurna
(complete respons) dan setelah observasi 1 jam di UGD tidak timbul
serangan ulang.
Penderita yang dirawat di Ruang Rawat Sehari (RRS) karena tidak
mengalami respon dengan dua kali nebulisasi di UGD, tetapi mengalami
perbaikan sempurna setelah perawatan selama 12 jam di RRS.
Penderita dengan derajat serangan berat, yang mengalami perbaikan yang
sempurna setelah observasi pengobatan selama 24 jam di Ruang rawat inap.
Obat yang digunakan pada waktu dipulangkan sama untuk semua penderita, baik
yang tidak mengalami perawatan maupun yang sempat dirawat di RRS atau di RRI.
Obat tersebut adalah :
Obat - agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4 – 6 jam.
Steroid oral diberikan jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, namun
hanya diberikan untuk jangka waktu pendek (3-5 hari).
Pasien dianjurkan untuk kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk
evaluasi tatalaksananya.1
Tatalaksana Asma Jangka Panjang
30
Alur tatalaksana asma anak jangka panjang:Asma episodik jarang Obat pereda b-agonis atau teofilin (hirupan oral bila
perlu)
4-6 minggu, obat > 3x < 3xdosis/minggu
Asma episodik sering Tambahkan obat pengendali: kortikosteroid hirupan dosis rendah
6-8 minggu, respon: (-) (+)
Asma persisten Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat: B-agonis kerja panjang (LABA) Teofilin lepas lambat Antileukotrien Dosis kortikosteroid ditingkatkan (medium)
6-8 minggu, respon: (-) (+)
Kortikosteroid dosis medium ditambahkan salah satu obat: b-agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)
6-8 minggu, respon: (-) (+)
Obat diganti steroid oralKeterangan:
Kortikosteroid dosis rendah:
- Usia < 12 tahun : 100-200 ug/hari bodesonid (50-100 ug/hari flutikason)
- Usia > 12 tahun : 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason)
Kortikosteroid dosis medium:
31
- Usia < 12 tahun : 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason)
- Usia >12 tahun : 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason)
Kortikosteroid dosis tinggi:
- Usia < 12 tahun : >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason)
- Usia > 12 tahun : >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason)
Tatalaksana asma jangka panjang bergantung pada derajat penyakit yang diderita oleh
seorang pasien, yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, atau asma
persisten. Tatalaksana tersebut adalah sebagai berikut:
Tatalaksana Asma Episodik Jarang
Pemberian obat-obatan untuk pasien yang menderita asma episodik jarang
hanya jika ada gejala/serangan. Obat yang diberikan adalah obat pereda
berupa bronkhodilator -agonis hirupan kerja pendek (short acting 2-
Agonist, SABA). Dapat juga digunakan teofilin karena -agonis tidak selalu
ada. Selama pemakaian obat dipantau munculnya gejala selama 4 – 6
minggu. Jika penggunaan -agonis sudah lebih dari 3 kali per minggu atau
serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka
tatalaksana disesuaikan/diperlakukan sebagai asma episodik sering.
Tatalaksana Asma Episodik Sering.
Untuk tatalaksana asma episodik sering, disamping menggunakan -agonis
atau teofilin perlu ditambahakan anti inflamasi berupa steroid hirupan dosis
rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan adalah budesonid,
sehingga digunakan sebagai standar.
Dosis steroid yang digunakan adalah dosis rendah
- Usia < 12 th : 100-200 mcg/hr budesonid (50-100 mcg/hr flutikason)
- Usia > 12 th : 200-400 mcg/hr budesonid (100-200 mcg/hr flutikason)
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali
berupa anti inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi.
Karena itu, penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu
yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika tidak ada respon,
maka tatalaksana disesuaikan/diperlakukan sebagai asma persisten.
32
Tatalaksana Asma Persisten .
Dalam tahap pertama penatalaksanaan asma persisten, ada 2 alternatif yang
dilakukan, yaitu :
Steroid hirupan tetap dalam dosis rendah, tetapi dikombinasi dengan salah
satu obat yaitu: LABA (Long Acting -agonist), atau Teofilin lepas lambat
(TSR = Theofilline Slow Release), atau Anti Leucotrien Receptor (ALTR).
Obat-obatan golongan LABA adalah: prokaterol, bambuterol, salmeterol, dan
klenbuterol. Golongan ALTR adalah : zafirlukas dan muntelukas.
Meningkatkan dosis steroid hirupan menjadi dosis medium yaitu :
- Usia < 12 th : setara dengan 200-400 mcg/hari budesonid (100-200 mcg/hr
futikason)
- Usia > 12 th : 400-600 mcg/hr budesonid (200-300 mcg/hr flutikason)
Dilakukan pemantauan selama 6-8 minggu untuk melihat muncul tidaknya gejala
asma dengan salah satu alternatif terapi diatas. Jika selama waktu tersebut masih
terdapat gejala asma, maka dilanjutkan dengan memilih salah satu dari 2 alternatif
berikut, yaitu :
Steroid hirupan tetap dalam dosis medium dengan menambahkan salah satu obat :
LABA, atau TSR, atau ALTR.
Meningkatkan dosis hirupan menjadi dosis dosis tinggi.
- Usia < 12 th : > 400 mcg/hari budesonid (>200 mcg/hr flutikason)
- Usia > 12 th : >600 mcg/hr budesonid (>300 mcg/hr flutikason)
Dilakukan pemantauan kembali selama 6-8 minggu dengan alternatif di atas. Apabila
dosis streroid hirupan sudah mencapai > 800 mcg/hari namun tetap tidak mempunyai
respon, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan steroid oral
sebagai kontroler (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid
hirupan atau alternatif di ats dijalankan. Langkah ini diambil bila bahaya dari
asmanya lebih besar dari pada bahaya efek samping obat.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau
perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi
33
bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya.
Sementara itupenggunaan -agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan
kemampuan menggunakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan anak perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50 % anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa
(metered dose inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dann berulang kali.
Tabel berikut memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan dengan
usianya.
Jenis Alat Inhalasi Disesuaikan Dengan Umur1
< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler2 – 4 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler
Alat hirupan (MDI) dengan alat perenggang (spacer)5 – 8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacerAlat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
> 8 tahun NebuliserMDI (Metered Dose Inhaler)Alat hirupan bubukAutohaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru akan lebih baik sehingga didapat efek terapetik yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak sekolah.
Sebagian alat bantu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman, atau menggunakan obat dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Obat Asma Jangka Panjang Yang Ada di Indonesia
Fungsi Nama Generik Nama Dagang Sediaan Keterangan
Golongan - agonis (kerja pendek)
34
Obat Pereda
(reliever)
Terbutalin Bricasma, brasmatic, Bintasma, Fartolin, Lasmalin, dll
Sirup, tablet, MDI Turbuhaler
0,05 mg/kgBB/x tablet 2,5 mg
Salbutamol Ventolin, Respolin, Salbuven, Suprasma, Salbron, Dilatamol, Asmacel, Librentin, dll
Sirup, tablet, MDI, Rotahaler, Diskhaler
Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI
Heksoprenalin Ipradol TabletFenoterol Berotec MDITrimetokuinol Inolin Peed.drop, tabletGolongan santinTeofilin Bronsolvan,
Kalbron, Amilex, Bronchophylin
Sirup, tablet
Obat Pengendali(controller)
Golongan anti – inflamasi non – steroidKromoglikat Intal – 5 MDINedokromil Tilade MDI Izin di
Indonesia untuk >12 tahun
Golongan anti – inflamasi steroidBudesonid Pulmicort
InflammideMDI, Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI, DiskhalerBeklometason Becotide MDI, Rotahaler,
DiskhalerGolongan - agonis kerja panjangProkaterol Meptin Sirup, tablet,
MDIBambuterol Bambec TabletSalmeterol Serevent MDI, Disk halerKlenbuterol Spiropent Sirup, tabletGolongan obat lepas lambat / lepas terkendaliTerbutalin Asthmoprotect
RetardKapsul
Salbutamol Volmax TabletTeofilin Quibron SR,
Euphyllin Retard, Phyllocontin continus
Tablet salut
35
Golongan antihistamin baruKetotifen Zaditen, Profilas,
Astifen, Infiten, dllSirup, tablet <3 th: 2 x
0,5mg3 th : 2x1,0mg
Golongan antileukotrinZafirlukas Accolate Tablet
PROGNOSA
Beberapa penelitian mengatakan bahwa prognosa asma buruk pada anak yang
menderita asma lebih muda dari 3 tahun. Induvidu dengan asma sejak kecil memiliki
FEV1 yang rendah secara signifikan, reaktivitas saluran nafas dan gejala
bronkospasme yang persisten dibandingkan dengan wheezing yang berhubungan
dengan infeksi virus. Anak dengan asma ringan yang tidak bergejala diantara
serangan dapat bebas dari gejala asma setelah dewasa. Anak yang memasuki usia
remaja akan memiliki gejala yang lebih ringan dibandingkan pada saat sebelumnya,
namun setengah dari mereka tetap memiliki asma. Asma memiliki tendensi untuk
mengalami remisi saat pubertas, lebih besar kemungkinannya pada anak perempuan
dibanding laki-laki.
PENCEGAHAN
Pencegahan meliputi :
Pencegahan primer
yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma.
Meliputi pencegahan periode prenatal dan periode postnatal. Pencegahan
perinatal seperti : menghindari makanan yang bersifat allergen pada ibu hamil
dengan resiko tinggi tetapi pada prinsipnya belum ada pencegahan primer
yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan. Sedang periode postnatal
seperti : diet menghindari allergen pada ibu menyusui resiko tinggi
menurunkan resiko dermatitis atopik pada anak.
Pencegahan sekunder
Yaitu mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
asma.
36
Contohnya adalah pemberian anti histamin H-1 dalam menurunkan onset
mengi pada penderita anak dermatitis atopik.
Pencegahan tersier
Yaitu untuk mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi klinis
pada penderita yang sudah menderita asma. Contohnya menghindari allergen
yang menyebabkan tercetusnya serangan asma.1
DAFTAR PUSTAKA
37
1. Rahajoe. Noenoeng.dkk. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK
Pulmonologi PP IDAI. Jakarta : 2004
2. Global Initiative for Asthma. 2011. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention.
3. National Heart, Lung, and Blood Institute. 2007. National Asthma
Education and Prevention Program.
4. Jenson. Berhrman Kliegman. Nelson Textbook of Pediatric 17 th
edition. Philadelphia : 2004
38