Referat anestesi nyeri akut post op

24
BAB I PENDAHULUAN Nyeri bukanlah perasaan sensorik semata tapi merupakan sebuah pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan. Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui. Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan penderitaan bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya. 1

description

medical assignment

Transcript of Referat anestesi nyeri akut post op

Page 1: Referat anestesi nyeri akut post op

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri bukanlah perasaan sensorik semata tapi merupakan sebuah pengalaman

sensorik dan emosional tidak menyenangkan. Nyeri, selain menimbulkan penderitaan,

juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik.

Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk

bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari

terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan

untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel

yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat

berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu,

proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui.

Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang

mengakibatkan penderitaan bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha

untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau

mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam

keluarga maupun lingkungannya.

1

Page 2: Referat anestesi nyeri akut post op

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri

Nyeri bukanlah perasaan sensorik semata tapi merupakan sebuah pengalaman.

International Association for the Study of Pain mendeskripsikan nyeri sebagai suatu

pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan diasosiasikan dengan

kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkaan terjadinya kerusakan.

Dari definisi ini, terdapat hubungan antara aspek fisiologis nyeri dan aspek emosional

dan psikologis dari nyeri, sehingga respon nyeri dapat sangat bervariasi pada setiap

orang.

2.2 Klasifikasi Nyeri

Secara klinis, nyeri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nyeri akut akibat

adanya nosisepsi, dan nyeri kronis, yang dapat terjadi akibat nosisepsi, tetapi faktor

psikologis dan perilaku turut berperan besar.

Nyeri akut dirasakan ketika terdapat trauma pada tubuh, dan pada umumnya

akan menghilang saat trauma tersebut sembuh. Seringkali keadaan ini diasosiasikan

dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis, seperti peningkatan laju nadi. Sebagian

besar nyeri akut dapat sembuh sendiri atau membaik dengan pengobatan selama

beberapa hari atau minggu. Berdasarkan asal lokasi, nyeri akut dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu nyeri somatis dan nyeri viseral.

Nyeri somatis digolongkan menjadi nyeri somatis superfisial dan dalam. Nyeri

somatis superfisial terjadi akibat rangsangan nosiseptor dari kulit, subkutaneus, dan

membran mukosa. Karakter nyeri ini adalah lokasi dapat ditentukan dan dirasakan

seperti sensasi terasa tajam, berdenyut, dan terbakar. Sedangkan pada nyeri somatis

dalam berasal dari otot, tendon, sendi atau tulang. Karakter nyerinya tumpul, terasa linu,

dan kurang terlokalisir.

Nyeri viseral yang akut terjadi akibat proses suatu penyakit atau fungsi abnormal

pada organ dalam. Terdapat 4 macam tipe, yaitu (1) nyeri viseral terlokalisasi, (2) nyeri

parietal terlokalisasi, (3) nyeri viseral menjalar, dan (4) nyeri parietal menjalar.

2

Page 3: Referat anestesi nyeri akut post op

Nyeri viseral yang terlokalisir terasa tumpul, difus, dan biasanya di garis tengah.

Nyeri ini biasanya akibat aktivitas saraf otonom abnormal dan menyebabkan mual,

muntah, berkeringat, dan perubahan tekanan darah dan laju nadi. Sedangkan nyeri

parietal terasa tajam dan sering digambarkan seperti perasaan tertusuk di sekitar organ.

2.3 Neurofisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang

nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas

dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.

Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor)

ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada

daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga

memiliki sensasi yang berbeda.

Nosisepsi melibatkan pengenalan dan transmisi stimulus nyeri. Stimulus nyeri

berupa kerusakan jaringan akibat suhu, mekanis, atau kimia akan mengaktivasi

nosiseptor, yaitu ujung saraf bebas aferen dari serabut A-delta myelin dan serabut C

tanpa myelin. Serabut A merupakan komponen pembawa impuls yang cepat (0,1 detik),

tajam, dan terlokalisasi, serta dapat di tes dengan pinprick. Serabut C memiliki onset

yang lebih lambat, terasa tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptorvnyeri

yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga

lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang

tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliput organ-

organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada

reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif

terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Seperti halnya berbagai stimulus yang

disadari lainnya, persepsi nyeridihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai

reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat.

Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-

noxious).

3

Page 4: Referat anestesi nyeri akut post op

Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan

temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan

oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai

dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih

kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).

Ujung saraf aferen perifer tersebut akan mengirimkan impuls ke kornu dorsalis

medula spinalis dan akan bersinaps dengan saraf aferen tingkat kedua. Impuls tersebut

akan menuju ke hemisfer kontralateral medulla spinalis dan naik sebagai jalur sensorik

aferen (traktus spinotalamikus) menuju ke talamus. Diantaranya, saraf tersebut akan

bercabang dan mengirimkan impuls ke formasio retikularis dan periakuaduktal

substansia grisea. Di talamus, neuron tingkat kedua akan bersinaps dengan neuron

tingkat ketiga, yang mengirimkan impuls ke korteks sensorik.

Insisi pada pembedahan menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi

pelepasan histamine dan mediator inflamasi seperti bradikinin, prostaglandin, dan

serotonin. Pelepasan mediator inflamasi akan mengaktivasi nosiseptor di perifer, yang

akan menginisiasi transduksi dan transmisi informasi nosiseptif ke sistem saraf pusat.

Sensitisasi pada nosiseptor di perifer menyebabkan penurunan batas ambang

aktivasi, peningkatan pelepasan impuls akibat aktivasi dan peningkatan pelepasan

impuls secara spontan. Trauma yang berkelanjutan pada perifer dapat menyebakan

sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas. Sensitisasi sentral merupakan kelanjutan dari

perubahan post trauma yang persisten pada sistem saraf pusat sehingga menyebabkan

hipersensitivitas nyeri. Sehingga, akibat perubahan ini nyeri post operasi akan

dipersepsikan lebih nyeri dibandingkan yang pernah dirasakan sebelumnya.

4

Page 5: Referat anestesi nyeri akut post op

Gambar 1. Pengiriman impuls nyeri ke pusat

2.4 Preventif Analgesia

Sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas terjadi setelah insisi pembedahan dan

keadaan ini menyebabkan nyeri post operasi. Sensitisasi sentral dapat dicegah dengan

pemberian analgesia secara jangka pendek untuk mengurangi nyeri post operasi dan

percepatan kesembuhan, dan secara jangka panjang untuk mengurangi perkembangan

nyeri kronis.

5

Page 6: Referat anestesi nyeri akut post op

Preemptif analgesia adalah pemberian obat analgesi sebelum dimulainya

pembedahan untuk mencegah nyeri post operasi. Preemptif analgesia ini merupakan

terapi antinosiseptif dan mencegah perkembangan nyeri post operasi dengan

menghambat pembentukan impuls aferen, sehingga mencegah sensitisasi sentral.

Tujuannya adalah untuk mencegah atau mengurangi memori nyeri, sehingga dapat

mengurangi pemberian analgesia.

2.5 Pendeketan Multimodal

Nyeri post operasi atau post trauma paling baik diterapi dengan pendekatan

multimodal. Pendekatan multimodal adalah menggunakan teknik analgesi (analgesia

kateter epidural atau kateter saraf perifer) dan kombinasi terapi farmakologi sistemik,

seperti non-steroidal anti inflammatory agents (NSAIDs), agonis alfa adrenergik,

antagonis reseptor NMDA, membrane stabilizers, dan opioid.

Tujuan utama dari pendekatan ini adalah mobilisasi lebih cepat, intake oral lebih

cepat, fungsi kolon kembali lebih cepat, dan dapat keluar rumah sakit lebih cepat serta

durasinya lebih pendek. Selain itu, dengan pendekatan multimodal dapat

mengoptimalkan fungsi analgesia dan mengurangi risiko efek samping dari obat yang

digunakan.

2.6 Penilaian Nyeri

1. Visual Analogue Scale (VAS)

Skala ini menggunakan sebuah garis horizontal sepanjang 10 cm (100

mm) untuk menggambarkan intensitas nyeri. Skala ini dimulai dari tidak nyeri

(skor 0 mm) hingga nyeri sekali(skor 100 mm). Nilai yang direkomendasikan

untuk VAS yaitu, tidak nyeri (0-4 mm), nyeri ringan (5-44 mm), nyeri sedang

(45-74 mm), dan nyeri berat (75-100 mm).

6

Page 7: Referat anestesi nyeri akut post op

Gambar 2. Visual Analogue Scale

2. Numerical Rating Scale (NRS)

Skala ini mirip dengan VAS, tetapi lebih terperinci dengan menggunakan

skala numerik yang terdiri dari 11 titik untuk menggambarkan derajat nyeri.

Skor 0 menggambarkan tidak ada nyeri dan skor 10 menggambarkan nyeri

sekali.

Gambar 3. Numerical Rating Scale

3. Wong-Baker Faces Scale

Skala ini menggunakan ekspresi wajah untuk menggambarkan rasa nyeri

yang dirasakan oleh pasien.

Gambar 4. Wong-Baker Faces Scale

7

Page 8: Referat anestesi nyeri akut post op

4. Pain Drawing

Pasien diminta untuk menggambarkan sendiri lokasi dan intensitas nyeri

yang dirasakan.

Gambar 5. Pain Drawing

2.7 Tatalaksana Nyeri Akut Post Operasi

Penanganan nyeri post operasi dapat diberikan analgesik oral dan parenteral bila

diperlukan. Cara yang efektif berupa patient-controlled analgesia (PCA) saat ini

semakin sering digunakan, adalah pemberian analgesik melalui oral, intravena,

subkutaneus, epidural, dan intratekal, serta kateter saraf perifer.

8

Page 9: Referat anestesi nyeri akut post op

Dalam pemberiannya, terdapat batasan jumlah dosis setiap jumlah waktu

tertentu yang dapat diberikan, dan terdapat interval waktu minimal yang harus dipenuhi

diantara pemberian dosis. Dosis dapat diturunkan perlahan bila nyeri dirasa berkurang.

Jika dibandingkan dengan metode lama, seperti injeksi opioid intramuskular atau

intravena sebagai tatalaksana nyeri akut post operasi, PCA dapat memberikan analgesia

yang lebih baik dengan lebih aman, jenis obat yang digunakan lebih sedikit, sedasi

minimal, gangguan tidur minimal, dan perbaikan aktivitas fisik lebih cepat.

1. Analgesik Sistemik

a. Opioid

Opioid merupakan salah satu dasar pada terapi nyeri post operasi.

Agen ini bekerja di reseptor µ di sistem saraf pusat dan perifer. Salah

satu keuntungan dari opioid adalah tidak ada ceiling effect. Namun

penggunaannya terbatas karena adanya efek samping, seperti mual,

muntah, sedasi, dan depresi pernapasan. Opioid dapat digunakan

melalui berbagai cara, yaitu subkutaneus, transkutaneus,

transmukosal, intramuskular, intravena, oral, intratekal, epidural, dan

intraartikular.

Opioid intramuskular diberikan untuk mengatasi nyeri post

operasi sedang – berat karena memiliki onset yang lebih cepat

daripada analgesik oral. Namun, konsentrasi plasma opioid setelah

injeksi intramuskular dapat bervariasi dan tidak merata, sehingga

dapat terjadi analgesia yang inadekuat. Sehingga, jalur pemberian

intramuskular digantikan dengan pemberian intravena atau

subkutaneus PCA.

PCA merupakan sistem sirkuit kontrol tertutup dengan peranan

individu secara aktif untuk mengontrol nyeri. Metode ini berdasarkan

teknik infus menggunakan pompa khusus yang terspesifikasi, dengan

menekan suatu tombol ynag telah diprogram. Terdapat pengatur

waktu pada pompa tersebut sehingga mencegah pemakaian dosis

tambahan sebelum jangka waktu tertentu, sehingga sedasi dan

depresi napas berlebih dapat dicegah. Singkatnya, PCA intravena

memberikan analgesia yang superior dan kepuasan bagi pasien

9

Page 10: Referat anestesi nyeri akut post op

dibandingkan regimen analgesia konvensional yang sesuai

kebutuhan.

Tabel 1. Rekomendasi Program Opioid untuk PCA Intravena

Bolus Lockout

interval (menit)

Continous rate

Morfin (1mg/ml) 0,5-2,5 mg 5-10 0,01-0,03 mg/kg/jam

Fentanyl (10µg/ml) 10-20 µg 4-10 0,5-1 µg/kg/jam

Alfentanyl (0,1mg/ml) 0,1-0,2 mg 5-8 -

Sufentanyl

(0,002mg/ml)

2-5 µg 5-10 0-8 µg/kg/jam

Meperidine (10mg/ml) 5-25 mg 5-10 10 mg/jam

Tramadol (10mg/ml) 10-20 mg 5-10 10-20 mg/jam

Fentanyl Iontophoretic Transdermal (ITD) merupakan opioid

yang non invasif, bebas jarum, independen, dan terprogram untuk

pemberian fentanyl secara transdermal dengan memberikan kekuatan

elektrik densitas rendah pada area tertentu. Fentanyl ITD dapat

memberikan analgesia tanpa fluktuasi.

Namun fentanyl transdermal tersebut tidak ideal untuk nyeri akut

karena memiliki onset analgesia yang lambat. Fungsi analagesiknya

dapat mencapai 24-36 jam setelah aplikasi, dan lebih sesuai untuk

terapi nyeri kronis. Fentanyl ITD sebanyak 40 µg dapat berdifusi ke

dalam sirkulasi darah melalui kulit dalam 10 menit.

b. Tramadol

Tramadol merupakan analog sintetis kodein, dan memiliki efek

analgesik sedang. Obat ini satu-satunya yang bekerja pada dua

mekanisme yang berbeda. Salah satu metabolitnya memiliki afinitas

yang rendah terhadap reseptor µ opioid tanpa mempengaruhi reseptor

delta dan kappa. Mekanisme kedua adalah inhibisi pengambilan

10

Page 11: Referat anestesi nyeri akut post op

kembali neurotransmiter norepinefrin dan serotonin. Tramadol juga

menyebabkan efek samping berupa depresi napas dan sedasi bila

diberikan bersamaan dengan opioid lain sebagai terapi nyeri post

operasi.

c. Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs)

NSAIDs bekerja di area perifer, dapat berperan sebagai analgesik,

antipiretik, dan antiinflamasi. Obat ini memiliki efek lokal tanpa

menyebabkan efek samping dan gangguan kognitif, serta tidak

menyebabkan adiksi seperti opioid. Kelompok ini dapat digunakan

sendiri untuk terapi nyeri ringan – sedang, atau dikombinasi dengan

adjuvan atau opioid untuk nyeri post operasi yang berat.

NSAIDs bekerja sebagai analgesik dan antiinflamasi dengan

menghambat sintesis prostaglandin dengan inhibisi enzim

cyclooxygenase. Cyclooxygenase memiliki 2 bentuk, yaitu

cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2). Obat ini

menghambat kaskade inflamasi dan cyclooxygenase dengan inhibisi

prostaglandin dan tromboksan, sehingga nyeri, demam, agregasi

platelet, dan respon inflamasi berkurang.

Asetaminofen dan antipiretik lainnya juga mempunyai efek untuk

mengurangi nyeri dan demam, tetapi tidak seefektif analgesik lainnya

dan efek antiinflamasinya ringan. Asetaminofen menyebabkan

inhibisi dari COX-3. Pemberian asetaminofen secara intravena,

seperti parasetamol 10 mg/ml diberikan dalam solusi 100 ml sebagai

infus selama 15 menit atau lebih. Onset efeknya akan tercapai dalam

5-20 menit, mencapai kadar puncak dalam 1-2 jam, dan durasinya

dapat berlangsung selama 4-6 jam. Asetaminofen intravena

direkomendasikan untuk nyeri ringan-sedang post operasi, tidak

dapat digunakan untuk mengontrol nyeri sedang dan berat post

operasi. Namun, kombinasi asetaminofen dan opioid dapat

mengurangi kebutuhan opioid 40-50%.

d. Analgesik Adjuvan

11

Page 12: Referat anestesi nyeri akut post op

Dexmedetomidine

Dexmedetomidine merupakan golongan adrenergik α2

agonis. Dapat mengurangi kebutuhan analgesik dan obat

anestesi karena obat ini pun memiliki analgesik dan dapat

meningkatkan efek obat anestesi lokal dengan mengubah

transpor ion dan potensial membran di locus ceruleus pons.

Hemodinamik dapat lebih stabil dan mengurangi kebutuhan

oksigen karena obat ini menstabilkan simpatoadrenal.

Ketamine

Ketamine mempunya interaksi dengan banyak reseptor,

seperti reseptor NMDA, opioid, monoaminergik, dan

muskarinik. Pemberian ketamine dosis rendah, dapat efektif

sebagai analgesia post operasi. Ketamine dapat mengurangi

nyeri post operasi, terutama bila diberikan dalam dosis

subanestesi intraoperatif dengan anestesi umum.

Gabapentin

Gabapentin merupakan obat antiepileptic dan memiliki

struktur analog dengan GABA. Obat ini dapat menghambat

influks kalsium dan mengurangi neurotransmiter eksitatorik

yang dilepaskan dalam mekanisme nyeri.

2. Teknik Analgesik Regional

a. Intratekal

Pemberian opioid secara intratekal dapat berperan sebagai

analgesia jangka pendek sampai sedang pada nyeri post operasi.

Onset dari analgesik tergantung dari farmakologi opioid yang

digunakan lipofilik atau hidrofilik. Opioid hidrofilik dapat bertahan

di cairan serebrospinal lebih lama. Morfin, salah satunya, dapat

membentuk efek analgesik puncak dalam 20-60 menit dan analgesik

post operasi 12-36 jam. Pemberian dosis kecil opioid lipofilik, seperti

fentanyl, dapat mempercepat onset efek analgesik. Untuk

12

Page 13: Referat anestesi nyeri akut post op

pembedahan abdomen bawah dengan anestesi spinal, morfin dapat

ditambahkan pada anestesi lokal untuk memperpanjang durasi

analgesia.

Opioid intratekal dapat juga diberikan secara intermiten dan infus

kontinu, dapat memberikan analgesia jangka panjang lebih dari 24

jam. Namun, efek samping seperti sindroma kauda equina akibat

akumulasi anestesi lokal harus diperhatikan dan penggunaan dosis

anestesi lokal harus seminimal mungkin bila diberikan secara

intermiten.

b. Epidural

Morfin adalah opioid yang paling sering digunakan untuk

analgesia epidural. Efektivitas analgesik dapat terlihat efektif meski

konsentrasi dalam darah rendah setelah injeksi epidural. Dosis morfin

intravena yang dibutuhkan untuk analgesia 10 kali lebih besar

daripida dosis morfin epidural. Morfin dapat berakumulasi di cairan

serebrospinal karena sifatnya ynag hidrofilik dan dapat menyebar

luas di dermatom.

Infus kontinu daripada injeksi bolus intermiten pada opioid

epidural dapat memberikan analgesia yang lebih baik dengan efek

samping minimal. Infus opioid hidrofilik epidural akan bekerja di

reseptor di medulla spinalis. Hasil dari analgesia epidural tergantung

pada dosis yang diberikan, bukan dari volume atau konsentrasinya.

Efek samping yang dapat timbul dari analgesia intratekal dan

epidural adalah hipotensi, blok motorik, mual-muntah, pruritus,

depresi pernapasan, dan retensi urin.

Tabel 2. Dosis opioid intratekal dan epidural

Single Dose (mg) Onset analgesia

(menit)

Efektivitas (jam)

Epidural

Morfin 1-6 30 6-24

Extended Release

Morphine

5-15

13

Page 14: Referat anestesi nyeri akut post op

Fentanyl 0,025-0,1 5 2-4

Intratekal

Morfin 0,1-0,3 15 8-24

Fentanyl 0,005-0,025 5 3-6

Tabel 3. Epidural PCA

Dosis awal (ml) Continous rate

(ml/jam)

Lockout interval

(menit)

Levobupivacaine 0,05% +

4µg/ml Fentanyl

2 4 10

Levobupivacaine 0,0625%

+ 5µg/ml fentanyl

3-4 4-6 10-15

Levobupivacaine 0,1% +

5µg/ml fentanyl

2 6 10-15

Ropivacaine 0,2% +

5µg/ml fentanyl

2 5 20

3. Blok Saraf Perifer

Blok saraf perifer dapat berperan sebagai analgesia tunggal atau

dikombinasikan dengan analgesik lainnya. Untuk terapi nyeri dalam waktu

kurang dari 24 jam dapat diberikan kombinasi anestesi lokal dan adjuvan

dalam injeksi tunggal. Untuk terapi nyeri jangka panjang dapat diberikan

dengan menggunakan infus anestesi lokal kontinu.

Obat adjuvan yang baisa digunakan adalah epinefrin dan klonidin.

Epinefrin dapat memperpanjang durasi blok karena menyebabkan

vasokonstriksi. Dosis epinefrin yang diberikan adalah 2,5-5µg/ml. Klonidin

juga dapat memperpanjang durasi analgesia dan blok motorik hingga 2 jam.

Efek samping yang dapat timbul adalah hipotensi, bradikardia, dan sedasi,

namun dapat dicegah bila dosis kurang dari 1,5 µg/kg.

4. Blok transversus abdominis plane

14

Page 15: Referat anestesi nyeri akut post op

Transversus abdominis blok (TAP) dapat digunakan untuk pembedahan

abdomen. Secara teoritis, kelebihan dari teknik ini adalah menghindari

keterlibatan blok neuroaksial, dan ekstremitas bawah, mengurangi retensi

urin, dan mengurangi efek samping sistemik. Blok TAP dapat memberikan

analgesia dan mengurangi medikasi sistemik, pada histerektomi total, sectio

caesaria, dan kolesistektomi laparaskopik.

Gambar 5. Blok Transversus Abdominis Plane

15

Page 16: Referat anestesi nyeri akut post op

BAB III

KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional tidak

menyenangkan diasosiasikan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau

menggambarkaan terjadinya kerusakan. Dari definisi ini, terdapat hubungan antara

aspek fisiologis nyeri dan aspek emosional dan psikologis dari nyeri, sehingga respon

nyeri dapat sangat bervariasi pada setiap orang.

Nyeri akut dirasakan ketika terdapat trauma pada tubuh, dan pada umumnya

akan menghilang saat trauma tersebut sembuh. Seringkali keadaan ini diasosiasikan

dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis, seperti peningkatan laju nadi. Sebagian

besar nyeri akut dapat sembuh sendiri atau membaik dengan pengobatan selama

beberapa hari atau minggu.

Nyeri post operasi atau post trauma paling baik diterapi dengan pendekatan

multimodal. Pendekatan multimodal adalah menggunakan teknik analgesi (analgesia

kateter epidural atau kateter saraf perifer) dan kombinasi terapi farmakologi sistemik,

seperti non-steroidal anti inflammatory agents (NSAIDs), agonis alfa adrenergik,

antagonis reseptor NMDA, membrane stabilizers, dan opioid.

16

Page 17: Referat anestesi nyeri akut post op

Daftar Pustaka

1. Miller RD, Manuel C. Pardo. Basic of Anesthesia. 6th ed. Elsevier. Philladelphia,

2011.

2. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill. United

States of America. 2006.

3. Beyaz SG, Fikret B, Ali FE. Acute Postoperative Pain. J Anesthe Clinic Res.

2011

4. Hawker GA, et al. Measures of Adult Pain. American College of Rheumatology.

2011; 11: 240-52.

5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi ke-

2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2001.

17