Referat
-
Upload
fitalistya -
Category
Documents
-
view
17 -
download
5
description
Transcript of Referat
BAB I
PENDAHULUAN
Agen vasoaktif merupakan agen farmasi yang memiliki efek meningkatkan
maupun menurunkan tekanan darah dan atau denyut jantung. Terapi dengan
menggunakan agen vasoaktif termasuk vasopressor, inotropik dan vasodilator
digunakan untuk memperbaiki tonus pembuluh darah atau meningkatkan cardiac output
untuk mengembalikan perfusi jaringan dan menormalkan konsumsi oksigen. Saat ini,
terapi dengan agen vasoaktif merupakan manajemen dasar dalam perawatan pasien
dengan syok pada unit perawatan intensif.1
Vasoaktif didefinisikan sebagai bahan kimia yang memiliki efek pada pembuluh
darah. Obat-obat vasoaktif seringkali digunakan sebagai pilihan lanjutan apabila terapi
cairan tidak mampu memperbaiki kondisi syok. Pemilihan obat-obat vasoaktif
tergantung pada pengertian mengenai mekanisme kerja dan keterbatasan
penggunannya. Sebagian besar obat vasoaktif adalah katekolamin yang pengaruhnya
bergantung pada interaksinya dengan reseptor α dan β adrenergik. Beberapa contoh
obat yang dapat digolongkan sebagai vasoaktif adalah epinefrin, norepinefrin, dopamin,
dobutamin, efedrin, dan milrinon.2
Rangsangan pada reseptor adrenergik dapat meningkatkan kontraktilitas otot
jantung dan atau memodifikasi resistensi pembuluh darah perifer. Berikut ini
merupakan efek perangsangan pada reseptor adrenergik3:
1. Agonis β-adrenergik meningkatkan frekuensi jantung dan kekuatan kontraksi
2. Agonis α-adrenergik meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer
3. Rangsangan reseptor DA memicu dilatasi di jaringan vaskular ginjal dan organ visera
serta turut mengaktivasi reseptor α- dan β- adrenergik.
Agen α-adrenergik yang kuat dapat digunakan untuk menaikkan tekanan darah
pada pasien yang mengalami penurunan resistensi perifer seperti pada keadaan
anestesia spinal atau intoksikasi dengan obat antihipertensi. Namun, keadaan hipotensi
tersebut bukanlah suatu indikasi untuk pemberian obat vasoaktif kecuali bila tidak ada
perfusi yang cukup pada organ vital seperti otak, jantung, atau ginjal. Penggantian
cairan atau darah pada sebagian besar kasus hipotensi merupakan pilihan yang lebih
1
tepat daripada penggunaan terapi obat. Pada pasien anestesi spinal yang mengganggu
aktivasi simpatik jantung, injeksi efedrin dapat meningkatkan frekuensi jantung dan
resistensi pembuluh darah perifer.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epinefrin
Epinefrin merupakan α-adrenergik dan β-adrenergik kuat namun tidak dianggap
sebagai pengobatan lini pertama pada syok septik karena efek yang merugikan pada
tingkat laktat dan sirkulasi regional. Epinefrin hanya digunakan untuk kasus kolaps
hemodinamik berat. Walaupun epinefrin meningkatkan cardiac output, tekanan darah
dan kinerja otot jantung, epinefrin juga dikaitkan dengan efek metabolik kuat,
penurunan arteri mesenterika, koroner dan konduktansi renal, serta penurunan sifnifikan
aliran darah ginjal. Epinefrin menyebabkan hiperlaktasemia sistemik dan asidosis,
menginduksi peningkatan marker laktat menjadi piruvat dan berhubungan dengan
penurunan aliran darah portal.1
Epinefrin merupakan suatu stimulan yang poten pada reseptor α- dan β-
adrenergik, sehingga memiliki efek kompleks pada organ target. Respon yang paling
menonjol pemberian epinefrin dapat terlihat pada perubahan aktifitas jantung, vaskular
dan otot polos lainnya4. Epinefrin merupakan salah satu vasopresor yang poten.
Mekanisme peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh epinefrin ada tiga macam,
antara lain3:
a. Stimulasi miokardial langsung dengan meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikular
(kerja
inotropik positif)
b. Meningkatkan frekuensi jantung (kerja kronotropik positif)
c. Vasokonstriksi di berbagai jaringan vaskular (terutama pada pembuluh darah
resistensi
prakapiler di kulit, mukosa, dan ginjal) disertai konstriksi vena. Denyut nadi yang
awalnya dipercepat, dapat menjadi sangat lambat akibat tingginya peningkatan tekanan
darah sebagai efek pembebasan kompensasi vagus. Dosis rendah epinefrin (0,1 μg/kg)
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah.3
Efek tersebut akan berbeda apabila obat diberikan melalui jalur infus intravena lambat
atau melalui injeksi subkutan. Absorbsi epinefrin setelah injeksi subkutan berlangsung
3
lambat akibat adanya kerja vasokonstriktor lokal. Peningkatan kekuatan kontraktilitas
jantung dan peningkatan curah jantung setelah pemberian epinefrin dapat meningkatkan
tekanan sistolik. Namun, resistensi perifer berkurang akibat kerja reseptor β2 pembuluh
yang dominan di dalam otot rangka (tempat terjadinya peningkatan aliran darah).
Sehingga, hal tersebut berdampak pada penurunan tekanan diastolik.3
Kerja utama epinefrin di pembuluh darah adalah terhadap arteriol kecil dan
sfingter prekapiler. Injeksi epinefrin menyebabkan penurunan aliran darah kutan,
konstriksi pembuluh prekapiler dan venula kecil. Vasokonstriksi kutan berdampak pada
penurunan aliran darah pada tangan dan kaki. Kongesti mukosa yang terjadi akibat
vasokonstriksi setelah pemberian epinefrin yang digunakan secara lokal kemungkinan
disebabkan oleh perubahan reaktivitas vaskular sebagai akibat hipoksia jaringan, bukan
akibat akivitas obat terhadap reseptor β di pembuluh mukosa3.
Epinefrin merupakan stimulan jantung yang kuat, terutama terhadap reseptor β1
pada miokardium, sel pacemaker, dan jaringan konduksi. Berikut respons langsung
jantung terhadap epinefrin3: (a) Peningkatan kekuatan kontraksi; (b) Percepatan laju
kenaikan tekanan isometrik; (c) Peningkatan laju relaksasi; (d) Pengurangan waktu
untuk mencapai tekanan puncak; (e) Peningkatan eksitabilitas; (f) Percepatan laju
denyut spontan; dan (g) induksi automatisitas pada bagian-bagian tertentu pada jantung.
Efek epinefrin pada otot polos tergantung pada tipe reseptor adrenergik di otot
tersebut. Pada umumnya epinefrin merelaksasi otot polos gastrointestinal melalui
aktivasi reseptor α- dan β- adrenergik. Tonus usus, frekuensi dan amplitudo kontraksi
spontan berkurang. Lambung umumnya dalam keadaan rileks. Sedangkan, sfingter
pilorik dan sfingter ileosakal berkontraksi. Tetapi efek ini bergantung pada tonus otot
sebelumnya. Jika tonus sudah tinggi, epinefrin menyebabkan relaksasi. Namun, apabila
tonus rendah, epinefrin menyebabkan kontraksi.3
Pemberian epinefrin berdampak pada relaksasi otot detrusor kandung kemih
melalui
aktivasi reseptor β serta kontraksi otot trigor dan sfingter melalui aktivitas agonis α. Hal
ini dapat menyebabkan kesulitan urinasi dan memperbesar kemungkinan terjadinya
retensi urin di kandung kemih. Aktivasi kontraksi otot polos di prostat dapat
meningkatkan retensi urin.3
4
Epinefrin memiliki efek bronkodilator yang kuat. Hal ini terutama terlihat apabila otot
bronkus berkontraksi karena penyakit, seperti pada asma bronkial. Efek epinefrin pada
asma mungkin juga timbul akibat adanya penghambatan pelepasan mediator inflamasi
dari sel mast yang diinduksi oleh antigen (diperantarai reseptor β2-adrenergik), dan
sebagian kecil akibat pengurangan sekresi bronkus dan kongesti di dalam mukosa
(diperantarai reseptor α).4
Epinefrin bukanlah suatu stimulan SSP yang kuat. Hal tersebut disebabkan oleh
sifat polar senyawa epinefrin yang tidak mampu masuk ke SSP. Kegelisahan, ketakutan,
sakit kepala, dan tremor yang mungkin terjadi setelah pemberian epinefrin
kemungkinan disebabkan oleh efek epinefrin pada kardiovaskular, otot rangka, dan
metabolisme antara senyawa ini dapat meningkatkan konsentrasi glukosa dan laktat
dalam darah. Sekresi insulin dihambat melalui suatu interaksi dengan reseptor α2 dan
ditingkatkan melalui aktivasi reseptor β2, efek yang paling menonjol pada epinefrin
adalah penghambatan.3 Epinefrin secara cepat meningkatkan jumlah leukosit
polimorfonuklear yang bersirkulasi, kemungkinan akibat demarginasi sel yang
diperantarai oleh respetor β. Efek epinefrin pada kelenjar sekresi tidak jelas, sebagian
besar kelenjar mengalami penghambatan sekresi, sebagian akibat berkurangnya aliran
darah yang disebabkan oleh vasokonstriksi3.
Epinefrin juga menyebabkan penurunan K+ plasma terutama akibat stimulasi
ambilan K+ ke dalam sel, terutama otot rangka, akibat aktivasi reseptor β2. Hal ini
berakibat pada penurunan ekskresi K+ di ginjal.3 Dosis epinefrin yang tinggi atau
diberikan berulang dapat menyebabkan kerusakan dinding arteri dan miokardium,
sehingga menimbulkan daerah nekrosis di jantung yang tidak dapat dibedakan dengan
infark miokardial, hal tersebut terbukti baik pada hewan coba maupun manusia.4
2.1.1 Absorbsi dan Eksresi Epinefrin
Pemberian epinefrin secara oral tidak efektif karena senyawa tersebut secara
cepat terkonjugasi dan teroksigenasi di mukosa gastrointestinal dan hati. Absorbsi dari
jaringan
subkutan berlangsung relatif lambat karena vasokonstriksi lokal dan lajunya semakin
berkurang akibat hipotensi sistemik, misalnya pada pasien yang mengalami syok.
Sedangkan, absorbsi yang lebih cepat didapatkan apabila pemberian epinefrin dilakukan
melalui injeksi intramuskular.
5
Epinefrin diinaktivasi secara cepat di dalam tubuh. Enzim COMT dan MAO
yang banyak terkandung dalam hati sangat berperan dalam menghancurkan epinefrin
yang beredar di sirkulasi3. Epinefrin tersedia dalam berbagai formulasi, antara lain: (a)
injeksi, biasanya secara subkutan tetapi terkadang intravena; (b) inhalasi; atau (c)
topikal. Epinefrin tidak stabil dalam larutan basa. Injeksi epinefrin tersedia dalam
larutan 1:1.000, 1:10.000, dan 1:100.000. Dosis lazim epinefrin melalui jalur subkutan
pada dewasa berkisar 0,3-0,5 mg. Apabila pemberian epinefrin dilakukan melalui jalur
vena, larutan tersebut harus diencerkan secara memadai dan disuntikkan dengan sangat
perlahan. Dosis 0,25 mg umumnya digunakan pada kasus henti jantung. Formulasi 1%
(1:100) tersedia untuk pemberian secara inhalasi.3
2.1.2 Toksisitas dan Kontraindikasi Epinefrin
Epinefrin dapat menyebabkan reaksi yang mengganggu seperti kegelisahan,
sakit kepala berdenyut, tremor dan palpitasi. Efek tersebut dapat cepat mereda setelah
istirahat, tenang, dan posisi berbaring. Penggunaan dosis tinggi atau injeksi epinefrin
intravena yang cepat dapat menyebabkan hemoragi otak akibat peningkatan darah yang
tajam. Aritmia ventrikel juga dapat terjadi. Sedangkan, pada penyakit arteri koroner,
pemberian epinefrin juga dapat berdampak pada aritmia ventrikel. Pada pasien penyakit
arteri koroner, pemberian epinefrin dapat menginduksi angina. Penggunaan epinefrin
biasanya dikontraindikasikan pada pasien yang sedang menggunakan terapi obat-obat
penghambat reseptor β adrenergik nonselektif, karena kerjanya pada reseptor α1-
adrenergik vaskular tidak terimbangi. Sehingga dapat menyebabkan hipertensi yang
parah dan hemoragi otak.3
2.1.3 Penggunaan Terapeuetik
Penggunaan utama epinefrin adalah untuk meredakan reaksi hipersensitivitas
secara cepat, termasuk anafilaksis, terhadap obat dan alergen lain. Selain itu, epinefrin
juga dapat digunakan untuk memperpanjang kerja anestetik lokal, mungkin dengan cara
mengurangi aliran darah lokal. Epinefrin juga dapat digunakan sebagai senyawa
hemostatik topikal pada permukaan yang berdarah seperti pada mulut atau perdarahan
tukak peptik selama endoskopi lambung/duodenum. Absorbsi sistemik dapat terjadi
apabila obat tersebut digunakan pada gigi. Selain itu, inhalasi epinefrin juga dapat
6
berguna dalam penanganan pascaintubasi dan infectious croup (kondisi obstruksi
parsial akut saluran napas bagian atas yang disebabkan oleh infeksi).3
2.2 Norepinefrin
Norepinefrin merupakan agonis α-adrenergik kuat dan β-adrenergik lemah dan
dianggap merupakan terapi lini pertama untuk pemeliharaan tekanan darah dan jaringan
perfusi pada syok septik. Dahulu, norepinefrin merupakan terapi yang dihindari karna
faktor biaya dan penyebab vasokonstriksi yang berat. Namun data menunjukkan bahwa
hal tersebut tidak lah benar.1,5,6
Norepinefrin merupakan mediator kimia utama yang dibebaskan oleh saraf
adrenergik pascaganglionik pada mamalia. Norepinefrin mengisi 10-20% kandungan
katekolamin pada medulla adrenal manusia dan sebanyak 97% pada beberapa
feokromositoma, yang tidak dapat mengekspresikan enzim fenilatenolamin-N-metil-
transferase. Epinefrin dan norepinefrin merupakan agonis langsung pada sel efektor,
dan kerjanya berbeda terutama pada rasio keefektifannya dalam menstimulasi reseptor
α dan β2. Norepinefrin merupakan agonis poten pada reseptor α dan kerjanya relatif
lebih kecil pada reseptor β2. Namun, agak kurang poten daripada epinefrin pada
reseptor α di sebagian besar organ.3
Infus intravena 10 μg norepinefrin per menit pada manusia umumnya
meningkatkan tekanan sistolik, diastolik, dan tekanan nadi. Curah jantung tidak berubah
atau berkurang, dan resistensi perifer total meningkat. Aktivitas refleks vagus terjadi
sebagai kompensasi memperlambat jantung, mengatasi kerja kardioakselator langsung,
dan meningkatkan volume stroke. Resistensi vaskular perifer di sebagian besar jaringan
vaskular meningkat, dan aliran darah ke ginjal berkurang. Dosis kecil norepinefrin tidak
dapat menyebabkan vasodilatasi atau menurunkan tekanan darah, karena pembuluh
darah otot rangka mengalami konstriksi dan bukan dilatasi. Oleh karena itu, bloker
reseptor α-adrenergik meniadakan efek pressor tetapi tidak menyebabkan pembalikan
yang signifikan, misalnya hipotensi.
Norepinefrin dapat menyebabkan hiperglikemia dan efek metabolik lain yang
mirip dengan efek yang dihasilkan oleh epinefrin. Tetapi, hal tersebut hanya dapat
diamati pada pemberian norepinefrin dosis tinggi. Injeksi intradermal dengan dosis
yang sesuai dapat menyebabkan pengeluaran keringat yang tidak di blok oleh atropin.3
7
Norepinefrin tidak efektif jika diberikan secara oral dan hanya sedikit diabsorbsi
dari tempat injeksi subkutan. Senyawa tersebut terinaktivasi secara cepat di dalam
tubuh oleh enzim yang sama yang memetilasi dan mendeaminasi oksidatif epinefrin.
Pemberian norepinefrin dapat meningkatkan tekanan darah. Sehingga perlu dilakukan
pemantauan tekanan darah yang cermat selama pemberian norepinefrin secara
sistemik.3,4
2.3 Dopamin
Dopamin (3,4-dihidroksifeniletilamin) merupakan prekursor metabolik langsung
norepinefrin dan epinefrin. Dopamin merupakan substrat untuk MAO dan COMT,
sehingga tidak efektif jika diberikan secara oral. Pada konsentrasi rendah, interaksi
utama dopamin adalah dengan reseptor D1-dopaminergik vaskular, terutama di ginjal,
mesenterium, dan jaringan koroner. Stimulasi reseptor-D1 menyebabkan vasodilatasi
melalui aktivasi adenilsiklase dan peningkatan konsentrasi siklik AMP intraselular.
Pemberian dosis rendah dopamin dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran
darah ginjal, dan ekskresi Na+. Sehingga dopamin tepat digunakan dalam menangani
keadaan rendahnya curah jantung pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, seperti
gagal jantung kengestif parah.3
Pemberian dopamin dengan dosis yang sedikit lebih tinggi dapat memberikan
efek inotropik positif pada miokardium, yang bekerja pada reseptor β1-adrenergik.
Dopamin juga menyebabkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf, yang turut
berperan terhadap efeknya pada jantung. Dopamin seringkali memperlihatkan
peningkatan tekanan darah sistolik dan nadi serta tidak berefek atau sedikit
meningkatkan tekanan diastolik. Pada umumnya resistensi perifer total tidak mengalami
perubahan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kemampuan dopamin dalam
menurunkan resistensi arteri setempat pada beberapa jaringan vaskular, seperti
mesenterium dan renal. Pemberian dopamin dengan konsentrasi tinggi dapat
mengaktivasi reseptor α1-adrenergik vaskular sehingga menimbulkan vasokonstriksi.
Pemberian dopamin secara IV biasanya tidak menimbulkan efek sentral meskipun
terdapat reseptor spesifik dopamin di SSP. Hal tersebut terjadi akibat ketidakmampuan
dopamin dalam menumbus sawar darah otak.3
Perbaikan hipovolemia harus terlebih dahulu dilakukan sebelum pemberian
dopamin pada pasien syok. Perbaikan dapat dilakukan dengan memberikan transfusi
8
darah lengkap, plasma, atau cairan lain. Ekstravasasi jumlah besar dopamin selama
pemberian infus dapat menyebabkan nekrosis iskemia dan penglupasan. Pada beberapa
kasus dapat terjadi gangren pada jari tangan atau kaki setelah pemberian dopamin
dalam jangka waktu yang lama. Dopamin harus dihindari atau diberikan dalam dosis
yang jauh lebih rendah apabila pasien sudah diberikan suatu terapi MAO inhibitor.
Pemberian pada pasien dengan terapi antidepresan trisiklik juga perlu diperhatikan
karena dapat menimbulkan respons yang berubah-ubah.2
Dopamin dapat digunakan dalam menangani gagal kongestif parah, terutama
pada pasien oliguria dan resistensi vaskular perifer yang rendah atau normal. Dopamin
hidroklorida hanya digunakan secara intravena dengan laju awal pemberian
2-5μg/KgBB. Laju pemberian tersebut dapat dinaikkan secara bertahap hingga
50μg/KgBB per menit atau lebih sesuai kebutuhan klinis. Penilaian klinis tentang fungsi
miokardial dan perfusi organ vital sangat penting dilakukan selama pasien diberikan
infus dopamin. Pengurangan aliran urin, takikardia, dan perkembangan aritmia dapat
menjadi indikasi untuk memperlambat atau menghentikan infus. Durasi kerja dopamin
berlangsung singkat, sehingga laju pemberian dapat digunakan untuk mengendalikan
intensitas efeknya.3
2.4 Dobutamin
Dobutamin merupakan agonis selektif reseptor β1. Struktur senyawa dobutamin
menyerupai dopamin. Namun, memiliki substitusi aromatik yang besar pada gugus
amino. Efek farmakologis dobutamin terjadi akibat adanya interaksi langsung dengan
reseptor α-1 dan β- adrenergik. Dobutamin diindikasikan untuk penanganan jangka
pendek pada dekompensasi jantung yang dapat terjadi setelah pembedahan jantung,
pada pasien gagal jantung kongestif, atau infark miokardial akut. Dobutamin dapat
meningkatkan curah jantung dan volume stroke tanpa disertai kenaikan frekuensi
jantung yang berlebihan. Perubahan tekanan darah atau resistensi perifer biasanya juga
tidak signifikan.4
Waktu paruh dobutamin sekitar 2 menit dengan onset kerja yang cepat, sehingga
tidak diperlukan loading dose dalam pemberiannya. Metabolit utama dobutamin
merupakan hasil konjugasi dobutamin dan 3-O-metildobutamin. Konsentrasi optimal
umumnya dapat tercapai dalam waktu 10 menit setelah awal pemberian infus dengan
dosis 2,5 dan 10 μg/KgBB per menit. Pemberian laju dan durasi infus ditentukan oleh
9
respon klinis dan respons hemodinamik pasien. Selama pemberian dobutamin dapat
terjadi peningkatan tekanan darah dan frekuensi jantung secara signifikan pada
beberapa pasien. Respon presor yang berlebihan ini terutama terjadi pada pasien dengan
riwayat hipertensi. Pemberian dobutamin pada pasien dengan fibrilasi atrial beresiko
meningkatkan laju respons ventrikel, karena dobutamin mempermudah konduksi
atrioventrikular. Pemberian digoksin dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hal
tersebut.4
2.5 Non Katekolamin
Efedrin merupakan alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra atau ma
huang. Efek farmakodinamik efedrin banyak menyerupai efek epinefrin. Perbedaannya
adalah efedrin bukan katekolamin, maka efektif pada pemberian oral, masa kerjanya
jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih kuat, tetapi diperlukan dosis yang lebih besar
daripada dosis epinefrin. Efedrin bekerja pada reseptor α1, β1, dan β2. Efek perifer
efedrin terjadi melalui kerja langsung dan pelepasan norepinefrin endogen. Kerja tidak
langsung efedrin mendasari timbulnya takifilaksis terhadap efek perifernya2.
Efek kardiovaskular efedrin menyerupai efek epinefrin tetapi berlangsung kira-
kira 10 kali lebih lama. Pemberian efedrin dapat meningkatkan tekanan sistolik,
biasanya juga disertai peningkatan tekanan diastolik dan tekanan nadi. Peningkatan
tekanan darah tersebut sebagian disebabkan oleh vasokonstriksi, tetapi terutama
disebabkan oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan
curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat refeks kompensasi vagal
terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan viseral berkurang, sedangkan
aliran darah koroner, otak dan otot rangka meningkat3.
Pada beberapa orang yang sensitif terhadap efedrin, pemberian dalam dosis
rendah sudah dapat menimbulkan kesulitan tidur, tremor, gelisah dan gangguan
berkemih. Sedangkan, pada dosis yang berlebihan dapat menimbulkan efek berbahaya
pada SSP dan jantung seperti palpitasi. Pemberian efedrin 5-10 mg secara intra vena
seringkali dilakukan dalam anestesi spinal untuk mengatasi hipotensi yang diakibatkan
oleh penurunan aliran balik vena dan/atau disertai penurunan frekuensi jantung.3
2.6 Penghambat Fosfodiesterase
10
Milrinone merupakan derivate karbonitril (-CN) yang berkhasiat inotrop positif
dan vasodilatasi. Mekanisme kerja milrinone belum diketahui seluruhnya, antara lain
menghambatphosphodiesterase type-3 (PDE-3) di myocard dan pembuluh, hingga
kadar cAMP intraseluler dinaikkan (cyclic Adenyl-Mono-Phospate). Hal tersebut
meningkatkan resorpsi kalsium dalam sel-sel myocard dengan efek perbaikan
kontraktilitas jantung. Peningkatan kadar cAMP di jaringan otot polos dapat
menurunkan penyerapan kalsium dengan efek vasodilatasi. Milrinone umumnya
diberikan melalui jalur intra vena dengan dosis 0,375-0,75 mcg/Kg/menit.2
2.7 Pengobatan Vasoaktif pada Unit Perawatan Intensif
Tujuan penggunaan obat vasoaktif pada unit perawatan intensif yang utama
adalah untuk mengembalikan perfusi jaringan pada keadaan syok. Syok hipovolemi,
syok kardiogenik dan obstruktif yang di karakteristikkan dengan menurunnya cardiac
output, tekanan arteri, dan vasokonstriksi pada sirkulasi perifer. Pada kondisi syok
vasodilator terjadi interaksi kompleks diantara vasodilatasi patologis, relatif dan
hipovolemia absolut, depresi miokard dan perubahan distribusi aliran darah yang terjadi
akibat respon inflamasi terhadap jejas. Sepsis merupakan penyebab tersering dari syok
vasodilator, bagaimanapun syok vasodilator juga merupakan jalan terjadinya syok yang
lebih berat dan berkepanjangan.1,6
Manajemen hemodinamik pada syok bertujuan untuk mempertahankan aliran
oksigen dan meningkatkan tekanan arteri rerata (Mean Arterial Pressure) ke level yang
adekuat untuk cardiac output sehingga perfusi organ terdistribusi secara adekuat. Agen
vasopressor meningkatkan MAP dimana akan meningkatkan tekanan perfusi organ dan
memlihara distribusi cardiac output menuju organ. Pertahanan tekanan sistemik yang
adekuat penting untuk perfusi organ yang adekuat. Saat MAP turun dibawah kisaran
normal terjadi penurunan aliran darah yang menyebabkan iskemia jaringan dan
kegagalan organ. Agen vasopressor juga memperbaiki cardiac output dan pengaturan
aliran oksigen dengan menurunkan compliance kompartemen vena sehingga venous
return bertambah.1
Fungsi ventrikel juga menurun pada keadaan syok baik dari kondisi sebelumnya
ataupun karena depresi miokard akibat sepsis. Karena distribusi oksigen bergantung
11
pada curah jantung, kesuksesan resusitasi pasien tergantung identifikasi disfungsi
ventrikel kiri dan di koreksi dengan penggunaan agen inotropik.1
KESIMPULAN
Vasoaktif didefinisikan sebagai bahan kimia yang memiliki efek pada pembuluh
darah. Obat-obat vasoaktif seringkali digunakan sebagai pilihan lanjutan apabila terapi
cairan tidak mampu memperbaiki kondisi syok. Pemilihan obat-obat vasoaktif
tergantung pada pengertian mengenai mekanisme kerja dan keterbatasan
penggunannya. Sebagian besar obat vasoaktif adalah katekolamin yang pengaruhnya
bergantung pada interaksinya dengan reseptor α dan β adrenergik.
Obat vasoaktif katekolamin terdiri atas epinefrin, norepinefrin,
dopamin, dan dobutamin yang perngaruhnya bergantung pada
interaksinya dengan reseptor α dan β adrenergik, serta reseptor DA.
Efedrin merupakan contoh obat vasoaktif non katekolamin yang
memiliki efek farmakodinamik menyerupai epinefrin. Namun, efedrin
efektif pada pemberian oral, memiliki masa kerja yang jauh lebih
panjang dengan efek sentral lebih kuat, dan memerlukan dosis yang
lebih besar daripada dosis epinefrin. Dalam anestesi spinal efedrin
seringkali digunakan untuk meningkatkan tekanan darah pada
hipotensi yang diakibatkan oleh penurunan aliran balik vena dan/atau
disertai penurunan frekuensi jantung.
Tujuan penggunaan obat vasoaktif pada unit perawatan intensif yang utama
adalah untuk mengembalikan perfusi jaringan pada keadaan syok. Manajemen
12
hemodinamik pada syok bertujuan untuk mempertahankan aliran oksigen dan
meningkatkan tekanan arteri rerata (Mean Arterial Pressure) ke level yang adekuat
untuk cardiac output sehingga perfusi organ terdistribusi secara adekuat. Agen
vasopressor meningkatkan MAP dimana akan meningkatkan tekanan perfusi organ dan
memlihara distribusi cardiac output menuju organ. Pertahanan tekanan sistemik yang
adekuat penting untuk perfusi organ yang adekuat. Saat MAP turun dibawah kisaran
normal terjadi penurunan aliran darah yang menyebabkan iskemia jaringan dan
kegagalan organ.
DAFTAR PUSTAKA
1. Holmes Cheryl L. Vasoactive Drugs In The Intensive Care Unit. Current
opinion and critical care. 2005. (11) 413-417. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16175026
2. Miller RD & Pardo MC. Basic of Anesthesia, Sixth Edition. Philadelphia:
Elsevier; 2011.
3. Brunton LL & Parker KL. Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology
and Therapeutics. United States: Mc Graw Hill; 2008.
4. Katzung BG. Farmakologi Dasar Klinik, Edisi ke-10. Jakarta: EGC; 2010.
5. Pei Xian Bo, Ma Pen Ling, Zhou Qing. Extensive Variability in Vasoactive
Agent Therapy: A Nationwide Survey in Chinese Intensive Care Units.
Chinese medical journal. 2015. (128). Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25881592
6. Deblieux P., Winters Michael. Vasoactive agents for managing shock.
Emergency Medicine News. 2011. Available from :
13
http://journals.lww.com/emnews/Fulltext/2011/01001/Vasoactive_Agents_f
or_Managing_Shock.1.aspx
14