Referat

44
BAB I PENDAHULUAN Ilmu kedokteran psikosomatik adalah salah satu cabang dari ilmu kedokteran yang mempelajari pengetahuan dan perawatan gangguan fisik dengan latar belakang psikogenik. Tegangan-tegangan emosional yang muncul dari konflik-konflik yang tidak terpecahkan dan frustasi-frustasi yang berlebihan menyebabkan reaksi- reaksi tubuh (penyakit-penyakit fisik), misalnya hipertensi, ulkus peptik, migrain, asma, dan gangguan pada kulit tertentu. Gangguan-gangguan psikosomatik ini disebut juga neurosis karena gangguan-gangguan dan kerusakan pada beberapa bagian tubuh disebabkan oleh kesulitan mental atau emosional. 1 Gangguan-gangguan psikosomatik harus dibedakan dari gangguan-gangguan somatoform. Pada kedua macam gangguan ini, penyebabnya adalah psikologis dan simptomnya adalah fisik. Perbedaannya adalah pada gangguan- gangguan psikosomatik, ada kerusakan fisik (misalnya ulkus peptik adalah luka-luka dalam lapisan perut), sedangkan pada gangguan-gangguan somatofom tidak ada kerusakan fisik (misalnya individu mengalami sakit perut tetapi perutnya tetap dalam kondisi baik. Istilah somatoform digunakan karena tidak ada kerusakan fisik, simtomnya hanya mengambil wujud gangguan somatik. 2

description

psikosomatik pada pasien asma

Transcript of Referat

Page 1: Referat

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu kedokteran psikosomatik adalah salah satu cabang dari ilmu kedokteran

yang mempelajari pengetahuan dan perawatan gangguan fisik dengan latar

belakang psikogenik. Tegangan-tegangan emosional yang muncul dari konflik-

konflik yang tidak terpecahkan dan frustasi-frustasi yang berlebihan menyebabkan

reaksi-reaksi tubuh (penyakit-penyakit fisik), misalnya hipertensi, ulkus peptik,

migrain, asma, dan gangguan pada kulit tertentu. Gangguan-gangguan

psikosomatik ini disebut juga neurosis karena gangguan-gangguan dan kerusakan

pada beberapa bagian tubuh disebabkan oleh kesulitan mental atau emosional.1

Gangguan-gangguan psikosomatik harus dibedakan dari gangguan-gangguan

somatoform. Pada kedua macam gangguan ini, penyebabnya adalah psikologis

dan simptomnya adalah fisik. Perbedaannya adalah pada gangguan-gangguan

psikosomatik, ada kerusakan fisik (misalnya ulkus peptik adalah luka-luka dalam

lapisan perut), sedangkan pada gangguan-gangguan somatofom tidak ada

kerusakan fisik (misalnya individu mengalami sakit perut tetapi perutnya tetap

dalam kondisi baik. Istilah somatoform digunakan karena tidak ada kerusakan

fisik, simtomnya hanya mengambil wujud gangguan somatik.2

Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik klinis sehari-hari.

Dokter umum juga seringkali mendapati pasien dengan keluhan psikosomatik.

Kepustakaan melaporkan lebih dari 50% pasien dengan keluhan fisik yang tidak

mempunyai penyebab objektif dari keluhannya itu. Keluhannya bisa dari

kelelahan, nyeri dada, batuk, nyeri punggung, napas pendek, hingga berbagai

keluhan yang melibatkan organ tubuh. Keluhan psikosomatik sebaiknya dikaji

dengan pendekatan biopsikososial. Dalam praktik sehari-hari, keluhan tersebut

dapat diatasi dengan kemampuan komunikasi yang baik dari dokter yang

merawat.

Rasa tertarik dokter terhadap keluhan pasien, empati, dan apresiasi terhadap

pasien, serta memberikan kepastian pengobatan sering membuat pasien dengan

Page 2: Referat

keluhan psikosomatik menjadi lebih baik. Sayangnya hal itu seringkali tidak

dilakukan dengan baik dan menyebabkan pasien berpindah-pindah dokter untuk

mencari jawaban akan keluhannya. Pasien seperti itu sering dikenal dengan

sebutan “pasien sulit” yang sering menimbulkan rasa frustasi pada pasien dan juga

dokter.3-6

Menurut “United States National Tuberculosis Association” 1967, asma

bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang

meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan

manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang

menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan saluran napas ini bersifat dinamis,

dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan, maupun karena

pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa gangguan imunologi.7

Busse dan reed (1988) menganjurkan agar menggunakan definisi asma yang

dibuat atas dasar keperluan operasional tadi merupakan hasil diskusi panel para

pakar dari “Allergy Foundation of America”, yang mendefinisikan asma sebagai

suatu peristiwa (episode) kumat-kumatan dari wheezing dan sesak yang ditandai

dengan peningkatan dari tahanan aliran udara didalam saluran pernapasan yang

secara spontan atau setelah pengobatan terjadi masa bebas gejala dan keluhan

(normal) atau mendekati normal dengan diikuti penurunan tahanan aliran udara

pernapasan.7

Di amerika serikat saat ini diperkirakan ada 6-8 juta penderita asma,

sedangkan di Indonesia jumlah penderita asma belum dapat ditentukan dengan

pasti karena belum ada data. Di Laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga/UPF Paru RSUD Dr.Soetomo Surabaya

menurut data 1991, jumlah penderita asma rawat jalan dan rawat tinggal

menduduki tempat kedua setelah penyakit infeksi tuberkulosis paru.7

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai

dengan mengi episodik , batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran

napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di

Page 3: Referat

negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti

Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak

masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika

Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di

Rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.

Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma masih jauh dari

pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).8,9

Asma adalah penyakit kronis yang paling umum di Amerika Serikat, yang

mempengaruhi 5-7% dari populasi, atau sekitar 17 juta orang. kematian telah

meningkat terus sejak awal tahun 1980-an. Komorbiditas dengan gangguan

kejiwaan, banyak peneliti telah menilai komorbiditas psikiatrik pada asma. Pasien

asma memiliki dua kali lipat tingkat kecemasan dan gangguan mood yang buruk

dibanding pasien tanpa asma. Hampir setengah dari pasien asma di pusat

perawatan tersier memiliki penyakit depresi. Studi dari 230 pasien rawat jalan

dengan asma ditemukan bahwa hampir setengah dari mereka positif mengalami

depresi. Goodwin et al menemukan bahwa asma dikaitkan dengan meningkatnya

odds rasio gangguan kecemasan, termasuk panik, fobia sosial, kecemasan umum,

dan fobia spesifik. Pemuda dengan asma memiliki hampir dua kali prevalensi

komorbiditas kecemasan DSM-IV dan gangguan depresi dibandingkan dengan

pemuda non asma.10

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian

pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC

(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan

prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi

5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia

(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan

Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)

berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta pusat sebesar

5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah

kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.10

Page 4: Referat

Gangguan kecemasan yang lebih sering pada pasien dengan asma ada

beberapa alasan. Kecemasan meningkatkan risiko asma, dan asma meningkatkan

risiko kecemasan. Kecemasan meningkat dengan serangan asma, sensasi kronis

sesak napas, dan antisipasi serangan dalam menanggapi pemicu tertentu.

Gangguan pernapasan menyebabkan berbagai macam gejala kecemasan (serangan

panik, umum dan antisipatif kecemasan, avidance fobia), dan mengi terdengar

memperburuk kecemasan sosial.11

Page 5: Referat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan Psikosomatis

1. Definisi gangguan psikosomatis

Terdapat dua klasifikasi yang tumpang tindih. Gangguan

psikosomatis (tidak di dalam DSM-IV) yaitu suatu penyakit fisik yang

sebagian disebabkan atau dicetuskan oleh faktor-faktor psikologis,

sedangkan menurut kategori baru DSM-IV, merupakan faktor-faktor

psikologis yang mempengaruhi medis. Kedua macam klasifikasi tersebut

berlaku hanya pada kondisi-kondisi yang pengaruh faktor psikologis atau

perilaku sangat bermakna. Istilah “psikosomatis” ataupun kategori dalam

DSM-IV mengacu pada (a) suatu gejala fisik atau tampilan klinis yang

disebabkan oleh faktor psikologis dan tidak ada dasar organiknya (misal,

gangguan konversi, gangguan nyeri, gangguan somatisasi), atau (b)

seorang pasien dengan keluhan fisik palsu yang disadari (misal,

gangguan buatan, malingering); tetapi DSM-IV memperbolehkan

keluhan-keluhan fisik akibat gangguan kebiasaan (misal, sesak napas

pada perokok berat, masalah-masalah akibat obesitas).12

Konflik psikologis yang secara bermakna mengubah fungsi somatik

merupakan tanda gangguan psikosomatik. Beberapa jenis distres

emosional mungkin terkait dengan beberapa tipe gangguan psikosomatik

pada anak dan remaja; tipe perasaan dan konflik tertentu tidak

menimbulkan jenis psikosomatik khusus. Nampaknya ada faktor-faktor

baik bawaan sejak lahir, yaitu faktor kerentanan konstitusi (fisik) maupun

faktor lingkungan, keduanya tidak dipahami dengan baik, yang

menentukan mengapa satu organ atau sistem menjadi disfungsi bukannya

yang lain.13

2. Kategori gangguan psikosomatis

Page 6: Referat

Ada tiga kategori gangguan psikosomatis. Pertama, faktor psikologis

yang mempengaruhi kondisi fisik (gangguan psikofisiologis), terjadi bila

reaksi psikologis pada stimuli eksterna atau interna mempengaruhi

perkembangan atau kambuhnya kondisi fisik dengan aspek patologis

organik yang dapat diperagakan (misalnya, diabetes melitus, artritis

reumatoid, atau asma). Kedua, gangguan somatoformis, datang dengan

keluhan somatis dan/atau disfungsi yang tidak berada di bawah kendali

kesadaran dan yang tidak ada penyebab organik yang dapat diperagakan.

Gangguan ini meliputi gangguan dismorfik tubuh, gangguan konversi,

hipokondriasis, gangguan somatisasi, dan gangguan nyeri somatoformis.

Ketiga, gangguan palsu, datang dengan keluhan somatik dan psikologis

dan/atau disfungsi yang dikendalikan secara sadar dan diimbas sendiri

untuk tujuan mendapatkan keuntungan sekunder.13

Meskipun ada banyak teori mengenai penyebab, pendekatan

biopsikososial dari Engel tentang perkembangan dan psikopatologi

memberikan pemahaman yang paling kuat dan meyakinkan. Faktor-faktor

watak yang mendasari, stress lingkungan, masalah-masalah keluarga, dan

psikodinamik individu, kesemuanya, memberikan kontribusi, yang satu

lebih dari yang lain, tergantung pada situasi. Gagasan kuno akan tipe-tipe

kepribadian spesifik menimbulkan gangguan-gangguan tertentu belum

terbukti.

Gangguan konversi, kehilangan atau perubahan fungsi fisik tanpa

penyakit organik yang dapat diperagakan, merupakan tipe gangguan

somatoformis yang biasanya muncul pada masa remaja atau dewasa.

Namun, banyak kasus pada masa anak yang telah terjadi. Reaksi konversi

biasanya mulai secara mendadak, sering dapat terlacak pada peristiwa-

peristiwa lingkungan yang mempercepat, dan berakhir dengan cepat

setelah masa waktu yang singkat. Otot dan organ indera khusus yang

dikendalikan dengan sengaja merupakan tempat sasaran yang paling sering

untuk pengungkapan “histeris” konflik psikologis. Reaksi-reaksi tersebut

Page 7: Referat

mungkin ada dalam banyak bentuk, meliputi kebutaan histeris, paralisis,

diplopia, gangguan gaya berjalan, kejang, dan yang serupa karena histeri.

Pemeriksaan fisik sering gagal menampakkan abnormalitas yang objektif.

Riwayat penderita biasanya menunjukkan hubungan yang dekat dengan

orang yang memperlihatkan gejala yang sama atau memperlihatkan

episode baru dari penyakit yang sebenarnya.

Hipokondria, hanyut dengan rasa takut menderita penyakit serius dan

gangguan somatisasi, penggunaan banyak keluhan somatik sebagai cara

penurunan ketegangan bagian dalam, adalah juga merupakan gangguan

somatoformis. Seperti pada histeria konversi, gangguan ini memberikan

alur dan mekanisme alternatif untuk pelepasan ketegangan fisiologis dan

emosional. Masa remaja dan dewasa awal adalah saat yang paling lazim

untuk presentasi dari masing-masing, meskipun keduanya dapat dilihat

pada beberapa kecemasan, anak usia sekolah yang sering memiliki model

peran orang dewasa biasanya tergantung pada gambaran gejala yang

serupa.13

3. Mekanisme terjadinya gangguan

Ada banyak penyakit spesifik yang sangat dipengaruhi faktor

psikologis. Walaupun telah banyak diteliti, mekanisme otak dalam

menimbulkan patologi organik hingga kini belum jelas.

a. Mekanisme psikologis

Stress baik internal maupun eksternal, ada pada gangguan tersebut,

tetapi tampaknya lebih menyebabkan penyakit jika:

1) Stress tersebut berat (misal, kematian orang yang dicintai,

perceraian atau perpisahan, penyakit atau cedera berat, krisis

finansial, ditahan). Holmes dan Rahe mengembangkan suatu skala

bertingkat mengenai peristiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan

stress (diukur dengan unit perubahan hidup-LCU (life change unit)

dan menemukan hubungan yang dekat dengan stress yang dialami

Page 8: Referat

pada peristiwa kehidupan dengan kecenderungan pasien untuk

mengalami gangguan fisik.

2) Stress kronis

3) Pasien menganggap stress tersebut sangat memberatkan.

4) Ketidakstabilan umum pasien meningkat (misal, kesulitan dalam

pekerjaan, perkawinan bermasalah, menjadi penduduk urban,

mengganggu lingkungan sosial, dll)

Dahulu menurut F.Dunbar ciri bawaan kepribadian superfisial yang

spesifik menyebabkan penyakit-penyakit organik spesifik (misal,

kepribadian koroner, kepribadian ulkus, dll). dahulu juga dikemukakan

(F.Alexander) bahwa konflik neurotik spesifik yang dalam, nirsadar dan

tidak terselesaikan, menimbulkan gangguan-gangguan fisik tertentu. Kini,

spesifitas yang secara umum diterima, menghubungkan kepribadian tipe

“A” (misal, rasa diburu waktu, tidak sabar, agresif, cenderung

meningkatkan upaya, kompetitif, cenderung marah apabila frustasi, dan

terutama mempunyai hostilitas yang sinis) dengan penyakit arteri koroner.

Yang secara umum lebih diterima yaitu hipotesis tidak spesifik

mengaitkan berbagai macam stress dengan perkembangan penyakit pada

seorang individu, sebagai berikut:

1) Adanya kerentanan genetik

2) Suatu derajat kelemahan kronis, saat ini menderita penyakit, atau

“suatu kerentanan organ”

3) Adanya kecenderungan untuk bereaksi terhadap stress dengan

kemarahan, dendam, frustasi, anxietas, atau depresi.

4) Adanya “kerentanan psikologik” (misal, seorang pasien yang

pesimis dan “mengharapkan hal yang terburuk,” bukan optimis dan

aktif berusaha untuk mengatasi stress.)

5) Kepribadian “aleksitimik”(misal, seseorang yang jarang

menggunakan emosinya dan miskin kehidupan fantasinya).

b. Mekanisme fisiologik

Page 9: Referat

Mekanisme-mekanisme ini sangat kurang dimengerti dan hanya dapat

digambarkan garis besarnya saja. Stress diterima secara kognitif (oleh

korteks serebri) tetapi setelah dikenali akan diperantarai terutama oleh

sistem limbik, yang di bawah stress kronis akan terus menerus

memberikan stimulasi pada hipotalamus dan pusat vegetatif di batang

otak. Stimulasi ini akan memberikan efek langsung pada organ-organ

dengan:

1) Pengaktifan susunan saraf otonom (simpatik dan medulla

adrenal;parasimpatik)

2) Keterlibatan sistem neuroendokrin, yaitu releasing hormones dari

hipotalamus melalui sistem portal hipofisis ke hipofisis anterior,

tempat keluarnya hormon-hormon tropik (misal,ACTH, TSH, GH,

FSH) yang melakukan aksi secara langsung atau mengeluarkan

hormon-hormon lain dari kelenjar endokrin (misal, kortisol,

tiroksin, epinefrin, norepinefrin, hormon-hormon seks). Hal ini

menyebabkan berbagai perubahan pada struktur-struktur tubuh.

Hal-hal yang rinci masih harus diteliti lebih lanjut; masih lebih

banyak perhatian daripada jawaban. Hormon yang baru-baru ini telah

diidentifikasi, yaitu endorfin, mungkin mempunyai peran yang besar di

dalam pengaturan respons terhadap stress. Inti dari sistem fisiologik ini

adalah konsep homeostasis—gangguan psikosomatis muncul apabila

“keseimbangan alamiah” tubuh terganggu, terutama apabila terjadi

secara kronis.

Walaupun ilmu kedokteran psikosomatik semula hanya mencakup

penyakit yang diyakini sebagai “psikosomatik”, kini konsep itu telah

diperluas dengan memasukkan (atau bertumpang tindih dengan) bidang

ilmu kedokteran perilaku. Inti dari ilmu kedokteran perilaku ialah

aplikasi teknik modifikasi perilaku yang berasal dari teori belajar untuk

mengatasi berbagai problem medis (nyeri kronis, hipertensi, dan

penyakit psikosomatik lainnya, gangguan-gangguan kebiasaan, dsb).

Page 10: Referat

Teknik yang digunakan antara lain, metode behavioral self-

management, biofeedback, hipnosis,dan berbagai prosedur relaksasi.12

4. Gangguan-gangguan psikosomatik spesifik

Walaupun stress dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit

apapun dan saat ini dipandang bahwa kebanyakan penyakit ditentukan

oleh mutifaktor. Penyakit-penyakit yang paling jelas memiliki kontribusi

psikosomatik mayor mencakup gangguan-gangguan berikut ini: (1)

Kardiovaskuler yang meliputi penyakit arteri koroner, hipertensi, aritmia,

hipotensi (pingsan), gagal jantung kongestif, penyakit Reynaud, dan

migren, (2) Saluran napas yang meliputi asma bronkial, demam hay,

tuberkulosis, dan sindrom hiperventilasi, (3) Gastrointestinal yang

meliputi ulkus peptikum, kolitis ulserativ, dan obesitas, (4)

Muskuloskeletal yang meliputi artritis reumatoid, nyeri kepala tegang

otot, tortikolis spasmodik, fibromialgia, dan nyeri punggung bawah, (5)

Endokrin, (6) Genitourinarius, (7) Nyeri kronis, (8) Lainnya yang

meliputi kulit, keganasan, hematologi, kecenderungan mendapat

kecelakaan, sindrom kelelahan kronis, dan kejang.12

B. Asma Bronkial

1. Definisi Asma Bronkial

Definisi yang diterima secara universal tidak ada. Hal ini

menunjukkan bahwa asma bukan penyakit spesifik tetapi suatu sindrom

yang berasal dari mekanisme precipitatory multiple dan menyebabkan

kompleks klinis yang sering seperti obstruksi saluran napas. Definisi yang

paling banyak diterima secara luas adalah hasil panel National Institute of

Health (NIH)-National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI).

Menurut NHLBI, (Guidelines for the Diagnosis and Management of

Asthma 2007) asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas

dimana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T,

makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pada individu rentan proses inflamasi

tersebut menyebabkan wheezing berulang, sesak napas, dada rasa penuh

Page 11: Referat

dan batuk terutama malam dan atau menjelang pagi. Gejala tersebut terkait

dengan hambatan aliran udara yang luas tetapi variabel yang sering

reversibel spontan atau dengan pengobatan. Inflamasi juga menyebabkan

peningkatan hiperesponsif saluran napas terhadap berbagai stimuli.14

Asma adalah sindrom yang ditandai dengan obstruksi saluran nafas

yang nyata, baik secara spontan dan dengan pengobatan. Asma tipe khusus

yakni peradangan pada saluran nafas yang membuat mereka lebih

responsif dibanding pasien non asma untuk berbagai pemicu,

menyebabkan penyempitan berlebihan di aliran nafas dengan gejala

dyspnea dan tanda mengi. Penyempitan saluran nafas biasanya reversibel,

tetapi pada beberapa pasien dengan asma kronis mungkin ada unsur

obstruksi aliran nafas ireversibel.15

2. Etiologi

Asma adalah penyakit heterogen dengan interaksi antara faktor genetik

dan lingkungan. Beberapa faktor risiko telah terlibat:

a) Atopi. Atopi adalah faktor risiko utama untuk asma, dan individu

non-atopic mempunyai risiko yang sangat rendah untuk

berkembangnya asma. Pasien dengan asmabiasanya menderita

penyakit atopic lain, khususnya rhinitis alergi, yang dapat

ditemukan di lebih dari 80% pasien asma, dan dermatitis atopik

(eczema). Atopik dapat ditemukan 40% -50% dari populasi di

negara-negara makmur, dengan hanya sebagian dari individu atopik

menjadi asma. Pengamatan ini menunjukkan bahwa beberapa

faktor lingkungan atau genetik lainnya merupakan predisposisi

perkembangan asma pada individu atopik. alergen yang

menyebabkan sensitisasi biasanya protein yang memiliki aktivitas

protease, dan alergen umum yang berasal dari tungau debu rumah,

bulu kucing dan anjing, kecoa, rumput, dan serbuk sari pohon, dan

hewan pengerat (dalam pekerja laboratorium). atopi disebabkan

genetik ditentukan produksi antibodi IgE spesifik, dengan banyak

pasien yang menunjukkan riwayat keluarga penyakit alergi.

Page 12: Referat

b) Asma intrinsik. Sebagian kecil pasien asma (10%) memiliki hasil

negatif pada skin test untuk uji alergen inhalan umum dan

konsentrasi IgE serum normal. Pasien dengan non atopik atau asma

intrinsik, biasanya menunjukkan onset penyakit di kemudian hari

(onset dewasa asma), umumnya memiliki polip hidung secara

bersamaan, dan mungkin aspirin-sensitif. Mereka biasanya lebih

parah, terjadi asma persisten. Sedikit yang mengerti tentang

mekanismenya, tetapi hasil imunopatologi di biopsi bronkus dan

dahak tampaknya identik dengan yang idtemukan pada asma

atopik.

c) Infeksi. Meskipun infeksi virus yang umum adalah pemicu

eksaserbasi asma, tetapi belum diketahui pasti apakah berperan

dalam etiologi asma. Ada beberapa hubungan antara pernapasan

infeksi virus syncytial pada masa bayi dengan perkembangan asma,

namun patogenesis masih sulit untuk dijelaskan, karena infeksi ini

sangat umum pada anak-anak. baru-baru ini, bakteri atipikal seperti

Mycoplasma dan Chlamydia telah terlibat dalam mekanisme asma

berat, tapi bukti sejauh ini dari asosiasi belum begitu meyakinkan.

d) Faktor lingkungan. Ada kemungkinan bahwa faktor lingkungan

dalam kehidupan awal menentukan individu atopi menjadi asma.

Peningkatan prevalensi asma, terutama di negara-negara

Page 13: Referat

berkembang, selama beberapa dekade terakhir juga menunjukkan

pentingnya mekanisme lingkungan berinteraksi dengan

kecenderungan genetik.

e) Hipotesa kebersihan. “Hipotesa kebersihan” ini mengusulkan

bahwa kurangnya infeksi pada anak usia dini mempertahankan bias

terbentuknya sel Th2, sedangkan paparan infeksi dan hasil

endotoksin memicu respon Th1 sebagai pelindung yang dominan.

Contohnya anak yang dibesarkan di peternakan yang terpapar

tinggi endotoksin cenderung untuk mengembangkan sensitisasi

alergi dibandingkan anak yang dibesarkan di peternakan sapi perah.

Infeksi parasit usus juga dapat dikaitkan dengan penurunan risiko

asma.

f) Diet. Peran faktor diet masih kontroversial. Studi observasional

telah menunjukkan bahwa diet rendah antioksidan, seperti vitamin

c dan vitamin, magnesium, selenium, dan lemak omega-3 tak jenuh

ganda (minyak ikan), atau tinggi natrium dan omega-6 tak jenuh

ganda yang terkait dengan peningkatan risiko asma .

g) Polusi udara. Tidak ada keraguan pada polusi udara, seperti sulfur

dioksida, ozon, dan pertikel diesel, bisa menjadi pencetus gejala

asma. Banyak juga yang berpendapat terhadap pengaruh polusi

udara terhadap asma lebih tinggi di kota-kota dengan tingkat polusi

akibat lalu lintas yang tinggi dibanding pedesaan yang rendah

polusi.

h) Allergen. Menghirup allergen adalah pemicu yang umum dari

gejala asma dan juga telah terlibat dalam sensitisasi alergi. Paparan

debu di rumahadalah faktor risiko sensitisasi alergi dan asma pada

anak.15

3. Patofisiologi

Page 14: Referat

Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan

dalam saluran napas, sebagai berikut:

a) Bronkokonstriksi. Pada asma eksaserbasi bronkospasme akut yang

menyebabkan penyempitan saluran napas sebagai respons terhadap

berbagai stimuli seperti alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut

akibat alergen terjadi lewat Ig-E dependent release of mediator dari

sel mast. Juga ada mekansime non Ig-E dalam pelepasan mediator.

b) Edema saluran napas. Jika inflamasi makin progresif ada faktor-faktor

lain yang menghambat aliran udara antara lain: edema, hipersekresi

mukus, mukus plug, hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran

nafas.

c) Hiperesponsif saluran nafas. Mekanisme hiperesponsif saluran nafas

bersifat multipel termasuk inflamasi, disfungsi neuroregulasi dan

perubahan struktural.

d) Airway remodelling. Airway remodelling menimbulkan perubahan

struktural yang meningkatkan hambatan aliran udara saluran nafas dan

hiperesponsif saluran nafas dan menyebabkan pasien kurang respons

terhadap pengobatan.14

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur immunologis dan saraf otonom.

Jalur immunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi

hipersensitifitas tipe 1 (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.

Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk

sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut

atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel

mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan

bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi,

antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan

antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini

Page 15: Referat

bergranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator

yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan

bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding

bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan

spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran

napas.15-17

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran

napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator

inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel

jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam

submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel

bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma

dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi

udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi

melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang

menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan

Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang

Page 16: Referat

menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,

hipersekresi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.15-17

4. Tanda dan gejala

Tanda: takipnea; terdengar mengi; dada hyperinflated; bunyi perkusi

hiperresonan; masukan udara menurun; mengi polifonik luas. Serangan

berat: ketidakmampuan menyelesaikan kalimat; nadi >110/mnt; RR

>25/mnt; PEF 33-50%. Serangan yang mengancam nyawa: silent chest;

pusing; lemas; sianosis;(PaO2 <8kPa tapi PaCO2 4,6-6,0, SpO2

<92%);bradikardi; PEF <33%.

Gejala: dyspnea intermittent, mengi, batuk (sering nokturnal), dan sputum.

Tanyakan spesifik tentang:

- Presipitants: udara dingin, latihan, emosi, allergen (tungau debu

rumah, serbuk sari, bulu), infeksi, merokok dan merokok pasif, polusi,

OAINS, β-blocker.

- Latihan: mengukur toleransi latihan

- Tidur terganggu

- Penyakit atopik lain: eksema, demam hay, alergi, atau riwayat

keluarga?

- Rumah (terutama tempat tidur): binatang peliharaan?karpet? bantal?

Dll

- Pekerjaan : jika gejala berkurang setiap akhir pekan atau saat liburan,

mungkin pekerjaan sebagai pemicu terjadinya asma yang diderita

(15% kasus berhubungan dengan pekerjaan, seperti : penyemprot cat,

prosessor makanan, tukang las, dan penangan hewan.18

5. Diagnosis

Pemeriksaan ini membantu penegakan diagnosis penyakit asma:

a. Pemeriksaan faal paru memperlihatkan tanda-tanda penyakit

obstruktif jalan nafas, kapasitas vital yang normal rendah atau

menurun, dan kapasitas total paru serta kapasitas resiudal yang

Page 17: Referat

meningkat. Faal paru dapat normal pada saat-saat diantara serangan.

Tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) serta PaCO2 biasanya

mengalami penurunan, kecuali pada asma berat, dengan PaCO2 bisa

normal atau meningkat, yang menunjukkan obstruksi bronkus yang

berat.

b. Kadar IgE serum dapat meningkat akibat reaksi alergi.

c. Analisis sputum dapat mengindikasikan adanya spiral Curshmann

(endapan berbentuk silinder dari jalan nafas), kristal Charcot-Leyden

dan sel-sel eosinofil.

d. Hitung darah lengkap dengan hitung jenis mengungkapkan

peningkatan jumlah eosinofil.

e. Foto rontgen thorax dapat dilakukan untuk mendiagnosis atau

memonitor perkembangan penyakit asma dan mungkin

memperlihatkan hiperinflasi disertai daerah-daerah atelektasis.

f. Analisis gas darah asrteri dapat mendeteksi hipoksemia (PaO2 yang

menurun; PaCO2 yang menurun, normal atau meningkat) dan

mengarahkan terapi.

g. Hasil tes kulit dapat mengenali alergen yang spesifik. Hasil yang

terbaca dalam waktu satu atau dua hari mendeteksi reaksi dini,

sesudah empat atau lima hari , reaksi lanjut.

h. Tes provokatif bronkus mengevaluasi makna klinis alergen yang

ditemukan melalui tes kulit.

i. Elektrokardiografi memperlihatkan sinus takikardi pada saat

serangan; serangan yang berat dapat menunjukkan tanda-tanda kor

pulmonale yang akan hilang setelah serangan terjadi.

6. Penanganan

Terapi obat bagi penyakit asma secara khas didasarkan pada intensitas

penyakit. Koreksi asma secara tipikal meliputi:

a. Pencegahan dengan mengenali dan menghindari faktor-faktor

presipitasi, seperti alergen atau iritan dari lingkungan, pencegahan

merupakan tindakan terbaik.

Page 18: Referat

b. Desensitisasi terhadap alergen tertentu- sangat membantu jika

stimulus tidak bisa dihilangkan sepenuhnya—yang mengurangi

intensitas serangan asma ketika terpajan alergen tersebut di kemudian

hari.

c. Pemberian preparat bronkodilator—yang meliputi obat-obat golongan

metilxantin (teofilin serta aminofilin) dan agonis adrenergik-beta2

(albuterol dan terbutalin) untuk mengurangi bronkokonstriksi,

meredakan edema pada jalan nafas bronkial, dan meningkatkan

ventilasi paru.

d. Pemberian kortikosteroid (seperti hidrokortison, sodium suksinat,

prednison, metil prednisolon dan beklometason) untuk memberikan

efek antiinflamasi dan imunosupresi, yang akan mengurangi reaksi

inflamasi dan edema pada jalan nafas.

e. Pemberian obat-obat penstabil sel mast (natrium kromolin dan

natrium nedokromil) yang efektif bagi pasien asma atopik dengan

serangan musiman

f. Pemberian obat-obat pengubah leukotrien seperti zileuton dan

antagonis reseptor leukotrien, seperti montelukas (singulaiir) serta

zafirlukas akan menghambat efek bronkokonstriksi dan inflamasi

yang ditimbulkan oleh leukotrien sisteinil.

g. Pemberian obat-obatan bronkodilator antikolinergik, seperti

ipatropium yang menyekat asetilkolin, yaitu mediator kimia yang

lain.

h. Pemberian oksigen yang dilembabkan dengan kecepatan aliran yang

rendah dapat diperlukan untuk mengatasi dispnea, sianosis, dan

hipoksemia.

i. Ventilasi mekanis, diperlukan jika pasien tidak bereaksi terhadap

dukungan ventilasi pendahuluan dan terapi obat atau bila pasien

mengalami gagal nafas.

j. Latihan relaksasi, seperti yoga untuk membantu meningkatkan

peredaran darah dan memulihkan pasien dari serangan asma.19

Page 19: Referat

C. Aspek Psikosomatis pada pasien asma

Dari sudut pandang psikosomatik teori dan hipotesis tentang timbulnya

asma sudah dipelajari sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Terdapat 2 hipotesis

besar tentang asma yaitu teori psikoanalisis dari teori conditioning.

1) Teori berdasarkan psikoanalisis.

Teori ini dikemukakan oleh Alexander dkk. Yang mengemukakan

bahwa serangan asma dapat dicetuskan dan diperberat oleh adanya

kemarahan atau kecemasan yang tertekan (terpendam) akibat

ketergantungan kebutuhan akan kasih sayang kedua orang tua

(terutama figur ibu) sekaligus khawatir akan kehilangan kasih

sayangnya. Situasi konflik psikososial ini menimbulkan konflik

internal yang dimulai sejak kecil dan terus menetap hingga pasien

dewasa. Pada asma ditemukan konflik antara menangis (crying) dan

percaya (confiding) pada image ibu yang dikhawatirkan akan hilang

oleh anak tersebut. Serangan asma merupakan tangis yang tertekan

atau rasa takut terasing dari ibu berpindah ke komunikasi nonverbal

yaitu asma. Umumnya adanya beban psikis, terganggunya integrasi

psikis dan integrasi psikososial sangat berhubungan dengan timbulnya

asma.

2) Teori Conditioning

Teori conditioning telah dikemukakan oleh Dekker dkk. Yang

menyebutkan bahwa serangan asma merupakan serangan psikogenik

tanpa adanya suatu allergen dan dicetuskan oleh suasana psikis

(konflik psikis) serta stimulus-stimulus yang serupa atau mirip dengan

kondisi yang pernah dialami saat serangan pertama.

Dengan perkembangannya penemuan-penemuan baru mengenai

patogenesis asma (teori hiperaktivitas dan inflamasi kronis) maka bila

dirangkum secara keseluruhan timbulnya asma dapat dipengaruhi oleh 3

Page 20: Referat

faktor yaitu faktor genetik; faktor lingkungan dan faktor individu beserta

problem psikososial yang melekat padanya.

Ketiga faktor tersebut dirinci sebagai berikut:

Faktor genetik. Yang termasuk faktor genetik ialah adanya atopi dan

hiperaktifitas bronkus yang dibuktikan pada anggota keluarga dan anak

kembar.

Faktor lingkungan. Alergen seperti debu rumah, pollen, infeksi virus dan

bakteri, polusi udara merupakan faktor penting yang mencetuskan asma.

Faktor individu. Telah diyakini bahwa sebagian pasien asma memiliki

pengalaman hidup yang penuh dengan stress sebelum atau pada saat awitan

dari serangan; pada saat timbulnya eksaserbasi atau relaps setelah mengalami

remisi yang cukup lama. Adanya stressor dan kemampuan untuk

mengatasinya sangat mempengaruhi perjalanan klinis asma. Pasien asma

umumnya menyimpan problem psikososialnya menjadi konflik internal dan

jarang meminta pertolongan walaupun dalma kesulitan apapun.

Pasien asma memiliki struktur kepribadian yang khusus yang khas untuk

mereka. Tidak berbeda apakah ada lergi/atopi atau tidak. Kalaupun ada

perbedaan sifatnya gradual hanya sedikit saja. Kepribadian yang khas pada

pasien asma disebabkan adanya gangguan/hambatan pada perkembangan

kepribadian mereka.

Perkembangan fase oral yang terganggu memberikan tanda-tanda

keinginan untuk diasuh atau dilindungi, sedangkan tanda-tanda gangguan

perkembangan pada fase anal ialah kecenderungan untuk kebersihan.

Hipersensitivitas pasien asma terhadap bau-bauan mungkin ada hubungannya

dengan kecenderungan kebersihan ini. Sebagian pasien asma menunjukkan

hipersensitivitas terhadap bau-bauan. Hipersensitivitas terhadap bau-bauan ini

bersifat sangat subjektif.

Page 21: Referat

Struktur kepribadian asma 50% bersifat ansietas (sering obsesi-kompulsif)

dan 40% bersifat depresif. Pada pria lebih banyak ansietas sedangkan pada

perempuan lebih banyak kecenderungan depresi.

Sudah diyakini bahwa faktor psikis (individu) sangat mempengaruhi asma.

Ia dapat mencetuskan serangan dan mempengaruhi perjalanan penyakitnya.

Faktor psikis juga dapat berkembang menjadi penyakit psikosomatik yang

kemudian berjalan bersama-sama dengan penyakit asmanya dan memperburuk

keadaan penyakitnya. Keadaan ini disebut sebagai ko-insidensi atau ko-

morbiditas antara asma dengan penyakit psikosomatik. Gangguan

psikosomatik yang muncul dapat berupa ansietas maupun depresi.

Asma sendiri dapat merupakan stressor untuk terjadinya gangguan

psikosomatik. Artinya perjalanan asma yang panjang dan lama dapat

menimbulkan gangguan psikis berupa ansietas maupun depresi.

Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa pada pasien asma yang ringan

gangguan psikosomatik yang muncul lebih banyak berupa ansietas sedangkan

pada asma berat dan tergantung pada steroid umumnya ditemukan depresi.

Problem psikis yang dialami pasien biasanya berupa stressor psikososial

yang tak bisa diselesaikan. Stressor psikososial inilah yang kemudian

membangkitkan serangan asma atau memperburuk perjalanan penyakitnya.

Pendekatan terapi psikosomatik. Pendekatan terapi pada pasien asma

sebaiknya dengan melakukan pendekatan psikosomatik yaitu melakukan

pengobatan menyeluruh dengan memperhatikan segala aspek yang

mempengaruhi penyakitnya. Pengobatan dimulai dengan menciptakan

hubungan yang baik antara dokter dengan pasien, dengan tindakan dokter

yang netral tidak berprasangka dan tidak berlebihan.

Terhadap gejala-gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar

yang sudah baku sesuai dengan tingkatnya beratnya penyakit (bronkodilator,

kortikosteroid).

Page 22: Referat

Sedangkan untuk gangguan psikosomatik seperti adanya ansietas atau

depresi secara bersamaan dilakukan psikoterapi dan psikoedukasi serta

pemberian psikofarmaka yang sesuai. Bila perlu diberikan psikoterapi

terhadap lingkungan atau keluarga.

Pada gangguan ansietas yang menyertai atau mencetuskan asma dapat

diberikan golongan benzodiazepin seperti alprazolam, klobazam, atau

golongan non benzodiazepin seperti buspiron. Bila dijumpai adanya depresi

maka dapat diberikan antidepressan yang aman misalnya golongan SSRI

(Selective serotonin Reuptake Inhibitor) seperti sertralin, fluoksetin,

paroksetin, dan fluvoksamin.

Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma memang belum

ada standar, namun pada umumnya pengobatan meliputi psikoterapi

superfisial, edukasi, dan instruksi.

Program pendekatan psikosomatik selangkah demi selangkah (stepwise)

sesuai dengan beratnya asma antara lain berupa;

- Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok (misalnya membentuk

kelas asma atau group asma). Kepada mereka diberikan

penerangan/edukasi mengenai perjalanan penyakit asma, mekanisme

timbulnya, faktor risiko, diagnosis sederhana, pengobatan, dan pencegahan

penyakit. Psikoterapi individual diberikan untuk meningkatkan daya

adaptasi dan kemampuan untuk menyelesaikan atau menghilangkan

stressor psikososial yang dialami pasien.

- Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring PEFR (Peak

Expiratory Flow Rate)

- Autogenic training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan memahami

bahwa faktor psikis dapat menimbulkan reaksi-reaksi tertentu pad abadan

seperti terjadinya bronkospasme.

- cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian dari diri

sendiri kepada hal-hal lain yang bermanfaat atau hobi.

Page 23: Referat

- Psikoterapi analisis yang sederhana.20

BAB III

TINJAUAN KEISLAMAN

Sebagai individu, manusia merupakan kesatuan antara jiwa dan raga yang terdapat

pembawaan-pembawaan yang dapat terpengaruh, baik oleh kata-kata yang tertulis

Page 24: Referat

maupun kata-kata yang terdengar. 21Dalam hal ini, jiwa sebagai pelengkap raga

juga bisa mengkondisikan seseorang untuk menjalarkan kedamaian dan penyakit,

yang membawanya ke arah benar ataupun salah.22

Dalam ilmu kejiwaan atau biasa disebut dengan ‘ilmu al-nafs’ yaitu ilmu yang

mengkaji tentang jiwa, ditemukan bahwa raga dan jiwa berkaitan erat, demikian

pula penyakitnya. Psikolog Muslim asal Persia Abu Zayd Ahmad Ibn Sahl Al-

Balkhi pada abad ke 10 (850-934), menemukan teori bahwa penyakit raga

berkaitan erat dengan penyakit jiwa. Alasannya, manusia tersusun dari jiwa dan

raga. Manusia tidak dapat sehat tanpa memilki keserasian jiwa dan raga. Jika

badan sakit, jiwa tidak mampu berpikir dan memahami, dan akan gagal menikmati

kehidupan. Sebaliknya, jika jiwa itu sakit maka badannya tidak dapat merasakan

kesenangan hidup. Sakit jiwa lama kelamaan dapat menjadi sakit fisik. 23

Untuk mendapatkan serta menggapai ketenangan dan kebahagiaan hidup bagi

hidup manusia modern diperlukan suatu solusi, dan solusi yang tepat adalah

mengacu pada terapi psikologis, karena problem ketenangan dan kebahagiaan

lebih merupakan bagian dari problem psikologis. Hal ini didasarkan atas asumsi

bahwa pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat materialistik belum tentu

dapat menjamin seseorang untuk memperoleh suatu ketenangan dengan

pemenuhan materi dalam mengantisipasi problem manusia, sebab kesucian jiwa

akan dapat menyebabkan kejernihan diri lahir dan batin.23 Disamping itu, bahwa

manusia merupakan kesatuan dua unsur pokok (rohani dan jasmani atau jiwa dan

raga) yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, karena jika dipisahkan ia

tidak dapat dinamakan dengan manusia.24

Dari psikolog muslim, seperti Al-Ghazali mengatakan, kebahagiaan manusia

sangat tergantung pada pembahasan terhadap jiwanya, sebaliknya, kegagalan

memahami jiwanya menyebabkan ketidakmampuannya dalam memperoleh

kebahagiaan hidup, maka iman dan akhlak solusinya.25 oleh karena itu, teori

kesehatan jiwa Ibnu Sina dalam karyanya al-syifa (The Book of Healing)

mengatakan, kesehatan jiwa tidak terlepas dengan pembahasan akhlak, artinya

Page 25: Referat

orang yang berakhlak baik menjadikannya mencapai kebahagiaan, ketentraman,

kejayaan dan keselamatan hidup.26 sementara itu Al-Razi dalam Al-Tib al-

Ruhaniy untuk mencapai kesehatan jiwa maka jalan yang harus ditempuh dengan

pola hidup sufistik.

Menurut hadits riwayat Bukhari Muslim bahwa penyakit-penyakit itu adalah juga

ciptaan Allah SWT., sebagaimana Allah pula yang menjadikan obatnya kecuali

satu macam penyakit yaitu penyakit tua,sehingga diserukan kepada manusia yang

menderita suatu penyakit agar berobat, ditegaskan pula oleh Allah dalam firman-

Nya pada AlQuran surah Asy syu’ara:80

يِن� ِف� َي�ْش� َو� ُه َف� ُت َم�ِر�ْض� �َذ�ا ِإ َو�

Artinya:

“Dan bila aku sakit, maka Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku”.27

BAB IV

KESIMPULAN

Gangguan psikosomatik merupakan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi

medis. Konflik psikologis yang secara bermakna mengubah fungsi somatik

merupakan tanda gangguan psikosomatik.

Page 26: Referat

Asma bronkial merupakan gangguan inflamasi pada jalan nafas yang ditandai oleh

obstruksi aliran jalan nafas. Dan respon jalan nafas yang berlebihan terhadap

berbagai bentuk rangsangan.

Aspek psikosomatis pada pasien asma, terdapat 2 hipotesis besar yakni teori

psikoanalisis dan teori conditioning.

DAFTAR PUSTAKA

1. Semiun, yustinus. Kesehatan Mental 1.”Pandangan umum mengenai

penyesuaian diri dan kesehatan mental serta teori-teori yang

terkait.yogyakarta:KANISIUS.

Page 27: Referat

2. Semiun,Yustinus. Kesehatan Mental 2. Gangguan-gangguan kepribadian,

reaksi-reaksi simtom khusus, gangguan penyesuaian diri anak-anak luar

biasa, dan gangguan mental yang berat.yogyakarta:kanisius 2006.

3. Simon GE, Gureje O. Stability of somatization disorder and somatization

symptoms among primary care patients. Arch Gen Psychiatry. 1999;56:90-

5.

4. Khan AA, Khan A, Harezlak J, Tu W, Kroenke K. Somatic symptoms in

primary care: Etiology and outcome. Psychosomatics. 2003;44:471–8.

5. Interian A, Allen LA, Gara MA, Escobar JI, Diaz-Martinez AL. Somatic

complaints in primary care: Further examining the validity of the patient

health questionnaire (PHQ-15). Psychosomatics. 2006;47:392-8.

6. Bronheim HE, Fulop G, Kunkel EJ, Muskin PR, Schindler BA, Yates WR,

et al. The academy of psychosomatic medicine practice guidelines for

psychiatric consultation in the general medical setting. Psychosomatics.

1998;39:S8-30.

7. Mukty,Abdul,dkk. Dasar-dasar Ilmu penyakit Paru. Surabaya:Airlangga

University Press. 2009

8. Global strategy for asthma management and prevention. National

Institutes of Health, 2007.

9. Rengganis, Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah

Kedokteran Indonesia, Vol.58 No.11.2008

10. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, et al. Allergy and Asthma, The scenario

in Indonesia. In: Shaikh WA.editor, Principles and practice of tropical

allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers; 2006.707-36.

11. Levenson,James.L. textbook of Psychosomatic medicine “Psychiatric Care

of the Medically Ill”.American Psychiatric Publishing,Inc. 2011.

12. Tomb, David.A. Buku Saku Psikiatri Edisi 6.Jakarta.EGC.

13. Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Vol.1 Edisi 15.jakarta:EGC

14. Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR RSUD

dr.Soetomo. Surabaya: 2010.

Page 28: Referat

15. Thorn, George.W, et all. Harrison’s Textbook 17 th edition.”priciples of

INTERNAL MEDICINE”. McGrawHill Medical. New York. 2008.

16. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,

Siregar SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In:

Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma.

Mumbai: Vicas Medical Publishers;2006.707-36.

17. Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic

review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.volume

63,646

18. Longmore, Murray et all. Ocfor handbook of CLINICAL MEDICINE 9th

edition. New York. Oxford University Oxford: 2014.

19. Kowalak,Jennifer.P dkk. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta,EGC:2008.

20. Ilmu penyakit dalam Edisi V Jilid III. InternaPublishing. 2009.

21. Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan Dalam Al-Quran. Bandung:

Alfabeta. 2009.

22. Muhyidin, Muhamma, Kecerdasan Jiwa; Rahasia memahami dan

Mengobati sakit dalam Jiwa (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005)

23. Imam ar-Razi, Ruh dan Jiwa: Tinjauan filosofis dalam Perspektif

Islam,terj. Mohtar zoerni (Surabaya:Risalah Gusti, 2000)

24. Hamka, Tasawuf Modern.Jakarta:Gunung Agung)

25. Ibid.hlm 73-74

26. Langgulung, Hasan. Teori-Teori Kesehatan Mental

27. Al Quran. Surah Asy syu’ara:80