RANGKUMAN KALANGWAN

28
IV PENYAIR, SYAIR DAN PUISI 1. BAHAN TULIS Tak ada suatu penelitian mengenai sastra dalam bahasa apa pun atau dari periode mana pun yang dapat dianggap lengkap, bila itu terbatas pada suatu ikhtisar mengenai karya- karya yang sudah diterbitkan serta seluk beluk biografis pengarang-pengarang yang bersangkutan. Periode yang kita tinjau terselubung oleh masa silam, terjadi pada suatu jaman dan dalam keadaan yang berminat terhadap sejarah yang berlainan sama sekali dengan keadaan yang kita kenal. Sumber-sumber memang sedikit dan tidak memadai, inilah kesulitan yang harus dihadapi oleh setiap orang yang berminat terhadap sejarah Jawa Kuno. Penulis telah berjumpa dengan kesukaran-kesukaran ketika berusaha menyusun suatu laporan mengenai pengaruh kebudayaan India terhadap sastra dan bahasa Jawa, dan kesukaran ini merupakan rintangan utama dalam menyusun suatu gambar mengenai kedudukan puisi di dalam masyarakat Jawa Kuno. Satu-satunya kesimpulan boleh kita tarik dari kenyataan, bahwa bahan epigrafis bungkam mengenai kegiatan penulisan puisi, ialah bahwa kegiatan ini dikhususkan bagi suatu kelompok sosial di luar lingkungan orang-orang yang disebut dalam prasasti-prasasti atau dengan kata lain bahwa kegiatan ini tidak termasuk kepandaian professional. Pertama, penelitian ini membuka kemungkinan supaya kita belajar dari para penyair

Transcript of RANGKUMAN KALANGWAN

Page 1: RANGKUMAN KALANGWAN

IV

PENYAIR, SYAIR DAN PUISI

1. BAHAN TULIS

Tak ada suatu penelitian mengenai sastra dalam bahasa apa pun atau dari periode

mana pun yang dapat dianggap lengkap, bila itu terbatas pada suatu ikhtisar mengenai karya-

karya yang sudah diterbitkan serta seluk beluk biografis pengarang-pengarang yang

bersangkutan. Periode yang kita tinjau terselubung oleh masa silam, terjadi pada suatu jaman

dan dalam keadaan yang berminat terhadap sejarah yang berlainan sama sekali dengan

keadaan yang kita kenal.

Sumber-sumber memang sedikit dan tidak memadai, inilah kesulitan yang harus

dihadapi oleh setiap orang yang berminat terhadap sejarah Jawa Kuno. Penulis telah

berjumpa dengan kesukaran-kesukaran ketika berusaha menyusun suatu laporan mengenai

pengaruh kebudayaan India terhadap sastra dan bahasa Jawa, dan kesukaran ini merupakan

rintangan utama dalam menyusun suatu gambar mengenai kedudukan puisi di dalam

masyarakat Jawa Kuno.

Satu-satunya kesimpulan boleh kita tarik dari kenyataan, bahwa bahan epigrafis

bungkam mengenai kegiatan penulisan puisi, ialah bahwa kegiatan ini dikhususkan bagi suatu

kelompok sosial di luar lingkungan orang-orang yang disebut dalam prasasti-prasasti atau

dengan kata lain bahwa kegiatan ini tidak termasuk kepandaian professional. Pertama,

penelitian ini membuka kemungkinan supaya kita belajar dari para penyair sendiri apa yang

mereka ceritakan tentang dirinya sendiri serta karyanya dalam kata pengantar dan penutup

karya itu. Kedua, cerita itu sendiri mengandung bagian-bagian yang berurusan dengan puisi

dan dengan mereka yang menulis puisi. Akhirnya, secara istimewa perlu disebut kakawin

yang kita kenal sebagai Nāgarakrtāgama beserta uraian tentang kehidupan kraton

Majapahit. Jadi, keterangan mengenai tema yang sedang kita bicarakan di sini, memang ada

juga.

Di Bali hampir semua sastra Jawa Kuno diselamatkan dan kami telah melukiskan

sampai seluk-beluknya bagaimana naskah-naskah kuno disalin dan karya-karyanya baru

ditulis, sebagai bahan tulis orang Bali memakai daun lontar dan sebagai alat tulis memakai

sebilah pisau besi kecil (pĕngutik atau pĕngrupak).

Page 2: RANGKUMAN KALANGWAN

Ada dua macam sumber yang dapat kita andalkan untuk melakukan penelitian

seperlunya, yaitu yang pertama : seni rupa, khusunya relief-relief yang terdapat pada candi-

candi Jawa Kuno, dan yang kedua : informasi mengenai metoda penulisan yang diberikan

dalam karya sastra itu sendiri.

Mengenai data literer, kata yang dewasa ini dipakai di Bali untuk menunjukkan

daun-daun palma sebagai bahan tulis ialah ĕntal atau lontar (suatu bentuk metatetis dari ron

tal, yaitu daun pohon tal ; kata ini mungkin berasal dari Jawa).

Korawarama adalah sebuah karya prosa, jadi dengan demikian terletak di luar tradisi

puisi kakawin. Kalimat-kalimat kitab Korawasrama ini praktis menghapuskan keragu-raguan,

bahwa daun-daun palma dipakai sebagai bahan tulis di Jawa maupun di Bali dan bahwa kata

lontar sejak cukup lama dikenal di pulau Jawa.

2. TANAH DAN KARAS

Dalam Hariwangsa, bagian paling akhir, pengarang yaitu Mpu Panuluh

menceritakan bahwa rajanya, raja Jayabahya yang memerintah pada pertengahan abad ke-12

dalam kalangan luas terkenal sebagai pelindung para penyair. Bila penyair yang paling

terkemuka (kawindra, raja para penyair) menulis syair-syairnya untuk memuji sang raja,

maka majikannya tidak hanya mengganjarinya dengan menerima syair-syair itu dengan

senang hati, melainkan juga dengan melimpahkan nyata-nyata anugrahnya dalam bentuk

hadiah-hadiah, yaitu tanah dan karas sesuka hati. Tanah ialah alat yang dipakai untuk

menulis sedangkan karas adalah bahan yang ditulisi. Raja bermaksud agar hadiah itu dapat

dijadikan perangsang untuk meneruskan karyanya dan sebagai tanda persetujuan raja

mengenai cara ia menunaikan tugasnya selaku penyair kraton.

Dalam Hariwangśa penyair melukiskan sebuah bukit dekat laut, sebuah tempat yang

sering didatangi oleh orang-orang yang mencari keindahan sambil menikmati pemandangan

yang indah. Ini dapat disimpulkan dari debu tanah yang jatuh pada batu yang rata dan yang

dipakai sebagai tempat duduk dan dengan demikian menutupi gambar Kāma dan Ratih (dewa

dewi asmara) yang digoreskan dalam batu itu.

Di lain tempat, dalam sebuah lukisan mengenai adegan asmara sang jejaka main-

main dengan jari kekasihnya dan memakai kukunya seolah-olah jari itu adalah tanah-tanah;

dan dalam sebuah teks lain sang jejaka mengatakan, bahwa ia khawatir nanti akan menjelma

sebagai tanah kekasihnya, karena dengan demikian kuku kekasihnya akan melukainya. Tak

mungkin kita menganggap contoh-contoh itu dapat diselaraskan dengan pengertian tanah

sebagai semacam pisau pena tulis.

Page 3: RANGKUMAN KALANGWAN

Dengan demikian kita sekurang-kurangnya mempunyai sebuah indikasi, bahwa

orang Bali terbiasa atau dapat membayangkan sejenis papan tulis yang lain daripada daun

lontar. Tanah dikatakan meninggalkan goresan atau alur-alur pada karas. Goresan itu kadang-

kadang bahkan disebut jurang. Ini mengingatkan kita akan goresan pada daun lontar akibat

tulisan pada kulitnya yang keras, dan kemudian diisi dengan tinta kemiri yang hitam. Bahwa

huruf-huruf pada karas itu berwarna hitam dapat disimpulkan dari dua kutipan lain.

Kita tidak dapat memastikan dengan tepat bagaimana sifat karas itu. Di satu pihak

rupanya dibuat dari bahan yang menyerupai kayu, seperti daun lontar yang telah diolah, tetapi

dilain pihak bentuk dan ukurannya tidak cocok dengan daun semacam itu. Kemungkinan

bahwa yang dimaksud dengan karas itu semacam papan yang dibuat dari bambu yang dibelah

atau yang dipukul sehingga menjadi ceper.

3. PUḌAK

Selain karas dan tanah masih ada bahan tulis lain yang sering disebut-sebut

berhubungan dengan para penyair dan syair mereka, yaitu puḍak yang juga dinamakan ketaka

atau ketaki dan cindaga. Yang dimaksud ialah bunga pohon pandan. Pohon pandan sering

disebut dalam deskripsi-deskripsi tentang alam. Tanaman ini suka bertumbuh di sepanjang

pantai atau sungai dan di atas batu-batu karang yang muncul dari laut, sedikit lepas pantai;

bunganya sering bergantungan sehingga hampir menyentuh permukaan air (angudoda).

Beberapa jenis pandan cukup tinggi untuk memberi naungan kepada manusia. Bunganya

(puḍak) tersusun menurut lapisan, berwarna kuning, terbungkus dalam semacam bungkus

lonjong, yang pada satu ujung meruncing; bunga kelihatan bila pelepah itu mekar. Bunga itu

sering diumpamakan dengan betis seorang wanita bila kainnya terbuka sedikit.

Daun bunga puḍak itu yang panjang dan putih dipakai sebagai bahan tulis. Setiap

goresan yang dibuat dengan sebuah alat runcing pada daun bunga seketika menjadi hitam.

Namun bahan tulis ini jauh daripada awet, tidak hanya karena daun bunga itu menjadi layu,

tetapi juga karena latarbelakangnya yang putih atau kuning, dalam waktu singkat juga

menjadi hitam, sama seperti tulisan di atas kulitnya. Maka dari itu tidak mengherankan,

bahwa cara memakainya juga berbeda dengan karas. Karas adalah bahan tulis bagi seorang

penyair sungguh-sungguh, dan bagi setiap orang yang ingin menulis sebuah syair yang lebih

panjang atau yang diharapkan akan tetap lestari, sedangkan puḍak itu sesuai sekali bagi

penulisan okasional saja, seperti misalnya untuk menulis sepucuk surat (khususnya suatu

surat cinta dalam bentuk kakawin singkat dan yang panjangnya tidak lebih banyak dari

Page 4: RANGKUMAN KALANGWAN

beberapa bait saja) atau untuk menggambarkan wajah sang kekasih yang sedang dirindukan.

Puḍak itu sewaktu-waktu dapat dipakai, sambil berimprovisasi (angdadak). Biasanya puḍak

itu tidak perlu dicari jauh-jauh, seperti juga penanya, karena setiap benda yang tajam dapat

dipergunakan. Tidak diperlukan tanah; dan dalam hubungan dengan bunga puḍak, tanah itu

jarang disebut, mungkin juga karena mereka yang menulis di atas puḍak tidak termasuk

golongan “pembawa tanah” atau kaum penyair profesional. Sebatang tusuk gading (sadak),

dipakai sebagai hiasan rambut atau telinga dan bahkan duri pohon paṇḍan sendiri dapat

dipakai. Dalam sastra kakawin sering disebut-sebut mengenai dipakainya selembar puḍak,

karena dalam hampir setiap kakawin terdapat buah kisah asmara dan dalam kisah-kisah

asmara itu hampir selalu surat cinta macam itu terbang kian ke mari.

Puḍak itu merupakan bahan tulis bukan bagi para penyair profesional, melainkan

bagi para amatir – menurut arti kata ganda: bukan profesional dan pencinta. Puḍak itu

membuka kesempatan bagi para kekasih untuk mengungkapkan isi hatinya yang terpendam,

tanpa meninggalkan tulisan yang tahan lama dan yang di kemudian hari mungkin merepotkan

mereka, lagi pula untuk mengatakan isi hatinya dengan (atau: di atas) bunga.

4. YAṠA, MAHANTỀN, BALE

Berkat deskripsi-deskripsi mengenai petualangan asmara dan pertemuan-pertemuan

rahasia yang demikian biasa terdapat dalam kakawin, kita mendapat sebagian besar informasi

tentang cara menulis dan mengawetkan sajak. Jelaslah bahwa tidak hanya karas dan puḍak

yang dipergunakan oleh para kekasih. Sering juga disebut-sebut mengenai adanya pondok-

pondok atau padepokan, tempat kakawin-kakawin ditemukan.

Pondok merupakan salah satu bangunan kecil yang pada berbagai tempat dalam

sastra kakawin dan kidung disebut dengan nama yang berbeda-beda; bangunan-bangunan

kecil ini merupakan bagian dari pemandangan seperti terpahat dalam banyak relief Jawa

Kuno. Bangunan semacam itu kita jumpai di halaman candi-candi, pertapaan atau biara-biara,

di halaman-halaman dan taman-taman dekat kraton dan rumah para bangsawan, di hutan dan

khusus di atas batu-batu karang dekat pantai. Berbagai nama yang dipakainya itu mungkin

disebabkan karena perbedaan dalam bentuk dan gaya, tetapi sukarlah menarik kesimpulan

yang pasti berdasarkan informasi yang diberikan oleh teks-teks saja. Untuk mengadakan

suatu perbandingan yang efektif antara sedikit data yang kita jumpai dalam teks-teks di satu

pihak dan informasi yang dapat disimpulkan setelah mempelajari relief-relief di lain pihak,

diperlukan suatu kompetensi yang lebih besar daripada apa yang dimiliki penulis ini. Namun

Page 5: RANGKUMAN KALANGWAN

satu kenyataan muncul dari bahan literer yang tersedia, yaitu berbagai bagian dari bangunan-

bangunan itu dihiasi dengan lukisan atau teks-teks tertulis. Mungkin kita tidak jauh dari

kebenaran, bila kita membayangkan bahwa bangunan-bangunan itu agak mirip dengan balai

Kěrtagosa di Klungkung, Bali; di sana lukisan dan tulisan menghiasi papan-papan miring

pada langit-langit dan dinding-dinding sekitar. Selain itu perlu diperhitungkan pula

kemungkinan, bahwa tiang-tiang kayu dapat ditulisi atau dihiasi dengan lukisan. Bangunan

macam ini biasanya disebut yaśa padan kata bale, sepatah kata Indonesia asli.

Sebuah nama lain yang juga dipakai untuk menyebut bangunan semacam ini ialah

rangkang yang sukar dibedakan dari bale; yang secara istimewa disebut ialah rangkang

emas, mutiara, dan gading. Dalam konteks yang relevan bagi penulisan puisi kata manatěn

sama sering dipakai dengan yaśa; yang biasanya dimaksudkan ialah sebuah bangunan yang

dipakai oleh dua kekasih sebagai tempat pertemuan atau tempat sang penyair atau seorang

kekasih yang merasa rindu mencari kesunyian. Sebagai penutup penelitian singkat mengenai

pondok-pondok perlu kita sebut juga patani yang merupakan sebuah tempat untuk

melepaskan lelah, mungkin sebuah bangku yang beratap atau gardu. Di antara perbuatan-

perbuatan yang ada pahalanya juga disebut menyediakan patani-patani di sepanjang jalan

raya atau alun-alun. Istilah patani jamur jelas berhubungan dengan bentuk atapnya. Terdapat

suatu hubungan istimewa antara sanjak-sanjak, khususnya sanjak-sanjak cinta, dengan gardu-

gardu atau bangunan-bangunan. Sudah biasa bahwa sebuah sanjak disimpan dalam bangunan

macam itu.

5. TĚTŐ, WILAH

Dalam beberapa teks disinggung mengenai adanya sanjak-sanjak atau ungkapan

perasaan singkat yang ditulis di atas (atau di dalam) sebuah tětő. Arti kata ini seperti

diberikan oleh Juynboll (“nyanyian”, “sanjak singkat”) diambil alih oleh berbagai

penerjemah lain. Para komentator Bali yang dikutip dalam KBW s.v. tětő rupanya

membayangkan sesuatu yang berlainan sekali. Mereka menerjemahkan tětő dengan berbagai

istilah yang semuanya menunjukkan bagian-bagian bale Bali yang dibuat dari kayu atau

bambu dan terdapat sepanjang tepi atap sebelah bawah. Pantas kita perhatikan, bahwa di

bagian lain dalam KBW kata-kata ini (apit-apit, taḍah alas, lambang) diterangkan sebagai

bagian-bagian bangunan yang sampai sekarang ini memperlihatkan lukisan-lukisan dalam

bentuk mutiara.

Page 6: RANGKUMAN KALANGWAN

Tětő dapat ditafsirkan sebagai sebuah sifat arsitektonis dalam bale, yaśa, mahantěn

atau patani yang berkaitan dengan bagian bawah atap – rupanya semacam papan yang

melingkari bagian atas tembok, semacam tirai yang dibuat dari kayu atau bambu dan yang

bergantungan. Dari kiasan-kiasan dalam teks kita menjadi maklum, bahwa tětő itu dapat

tertutup oleh pucuk-pucuk tanaman berbunga yang menjalar (gaḍung, jangga) dan yang

melingkari tětő itu bagaikan sebuah kalungan. Di atas tětő itu ditulis puisi, atau seperti

dikatakan dalam teks-teks puisi itu diatur dengan saksama (tinatā) sedangkan huruf-huruf

tersebar sepanjang tětő itu bagaikan butir-butir gandum (inurākěn).

Kemungkinan tětő adalah sebuah papan karena sebuah papan menyediakan lebih

banyak tempat untuk menulis sebuah kakawin dan karena lebih selaras dengan satu-satunya

teks tempat kata tětő dipakai dalam suatu konteks yang sama sekali tidak ada sangkutpautnya

dengan sebuah bangunan. Dalam sebuah lukisan mengenai suatu pertempuran dikatakan

bahwa para peserta terhanyut oleh lautan darah yang melanda tětő kereta-kereta perang yang

berserakan di sepanjang medan pertempuran dalam keadaan rusak. Masuk akal bila tětő di

sini diartikan sebagai papan kayu pada dinding kereta; tetapi arti balok atau kasau tidak dapat

dikesampingkan seluruhnya, karena ada indikasi-indikasi, bahwa balok atau kasau pun dapat

ditulisi dan dilukisi. Di antara kata-kata yang sering dipakai dalam suatu kontes yang mirip

dengan konteks yang menampilkan kata tětő adalah panglari dan panghrět. Kedua kata

tersebut masih dikenal di Bali sampai sekarang ini dan berkaitan dengan seni bangunan;

panglari merupakan sebuah papan yang dipasang sepanjang atap (dalam bahasa Jawa

Modern: blandar), sedangkan panghrět merupakan balok lintang (Jawa Modern: pangěrět).

Dalam sastra kakawin kita berjumpa dengan tiga kata lain yang jelas juga

menunjukkan sesuatu benda yang dapat dipakai untuk dihiasi dengan bait-bait sebuah

kakawin. Seorang dayang-dayang di kraton yang dahulu bersuamikan seorang penyair (kawi)

menceritakan kepada teman-temannya, bagaimana dulu ia dan suaminya pernah mengadakan

lomba menulis puisi. Puisi itu mereka tulis pada wilah yang sama, yang nantinya akan

dipasang dalam sebuah gardu. Di lain tempat diceritakan, bagaimana seorang kekasih

memakai sepotong wilah bertuliskan kakawin yang telah luntur. Biarpun kita tak dapat

menyimpulkan dengan tepat bahan apa yang dimaksudkan dengan wilah itu, baik berdasarkan

teks-teks ini maupun berdasarkan teks-teks lain yang disajikan dalam KBW, namun jelaslah

bahwa wilah itu merupakan bagian dari bangunan. Sangat masuk akal bahwa yang

dimaksudkan dengan kata itu adalah sebilah bambu yang dibelah-belah dan yang dapat

dirangkaikan sehingga merupakan sebuah dinding.

Page 7: RANGKUMAN KALANGWAN

Rupanya wělah itu belahan-belahan bambu yang diikat dengan tali, sehingga

merupakan bagian dari kerangka titian kayu atau bambu, dan yang jelas menyerupai sebuah

bangunan beratap. Dapat dibayangkan bahwa wělah itu dipakai sebagai alas lantai dan itulah

juga yang dibayangkan oleh komentator Bali yang menerjemahkan wělah dengan galar.

Tetapi juga dapat dibayangkan, bahwa wělah itu merupakan semacam kerai yang menutupi

bagian kanan dan kiri jembatan.

Teks-teks menghadapkan kita dengan sejumlah teka-teki yang jawabannya juga

beranekaragam. Ini juga berlaku bagi istilah terakhir yang akan kita bicarakan, ialah wulětan.

Mengenai sebuah patani tua dan tak terpelihara diceritakan, bahwa atapnya penuh jamur

sedangkan wulětan-nya telah pecah karena hujan, tetapi beberapa tulisan di atas wulětan itu

masih dapat dibaca. Dalam Malat juga sering disebut mengenai sanjak-sanjak yang ditulis di

atas sebuah wulětan dan yang dibaca dalam sebuah mahantěn itu. Rupanya dapat

disimpulkan, bahwa wulětan itu semacam wilah atau wělah. Semula mungkin dibuat dari

bambu atau kayu, tetapi di kemudian hari istilah ini juga dapat dipakai untuk menunjukkan

lukisan di atas kanvas seperti masih terdapat di Bali sampai hari ini.

Bagaimana sanjak-sanjak itu dituliskan pada papan-papan yang dibuat dari kayu atau

bambu? Beberapa teks menggambarkan, bahwa huruf-huruf digoreskan seperti halnya dengan

karas. Juga istilah-istilah yang diturunkan dari cacah, tutug, dan carik dan yang kita jumpai

dalam hubungan ini, menunjukkan kepada alat tulis yang sama. Namun terdapat juga teks-

teks yang menggambarkan, bahwa cat pun, khususnya sepuh, dipakai juga.

6. BENTUK-BENTUK PUISI

Ketika kita membicarakan berbagai teknik persajakan Jawa Kuno, dibeberkan

dengan cukup panjang lebar perbedaan pokok antara sebuah kategori sanjak-sanjak yang

dinamakan kakawin dan sebuah yang lain bernama kidung. Kita tak dapat mengesampingkan

kemungkinan bahwa terdapat sanjak-sanjak dan lagu-lagu, atau mungkin juga puisi rakyat,

yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah tegas yang harus ditaati dalam sastra kakawin dan

kidung. Sanjak-sanjak serupa itu pernah ada di Jawa dan Bali sampai hari ini juga dan

rupanya bentuk puisi ini pada masa yang silam pun pernah ada. Namun, sejauh kita tahu,

sanjak-sanjak itu tidak diawetkan dalam bentuk naskah tertulis.

Pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah istilah kakawin dan kidung pada

semua periode sastra jawa kuno selalu dipakai menurut arti teknis, yaitu mengenai sajak-

Page 8: RANGKUMAN KALANGWAN

sajak yang tertulis menurut teknik persajakan tertentu, atau istilah ini untuk menunjukan puisi

atau lagu?

Mengenai istilah kakawin jawabannya sudah cukup gamblang, biarpun kata kakawin

tidak disebut dalam prasasti atau dalam teks-teks prosa namun kita tahu bahwa jenis kakawin

ditulis semenjak periode jawa tengah seterusnya, karena kita mempunyai contoh-contoh pada

jaman itu. Tapi tidak demikian dengan kidung. Dalam bab ini kami mengakui bahwa tidak

mungkin menetapkan 1 kidungpun bahwa ia ditulis di Jawa. Kata kidung berasal dari kata

mangindung dan sebagainya berarti lagu “bernyanyi” dan kata-kata ini muncul dari berbagai

prasasti semenjak periode paling awal. Kata-kata ini juga dipakai dalam teks-teks prosa awal

dalam dalam kombinasi angingel-angindung (menari dan menyayi). Tetapi terdapat juga

bagian-bagian dalam sastra kakawin pra-majapahit yang menyebabkan kita menerima adanya

kidung-kidung dalam arti kata teknis pada kurun itu sebagai suatu kemungkinan yang sangat

masuk akal. Maka tidak heran jika kita mendengar dalam karya-karyanya di Majapahit kita

dengar ditembangkan kidung-kidung dan kakawin. Terdapat juga hasil karya kegiatan puitis

yang disebut dengan berbagai nama dan yang mungkin harus digolongkan pada jenis

kakawin. Yang dimaksud adalah wilapa, pralaplita, bhasa dan palambang.

Wilapa merupakan sebuah syair dalam metrum kakawin yang membahas tentang

cinta dan keindahan, tetapi tidak perlu merupakan sebuah ratapan. Pralaplita yaitu sebuah

sajak yang metrum dengan metrum kakawin yang membahas cinta dan keindahan. Bhasa

biasanya mengungkapkan daerah asalnya, bahasa lebih bersifat liris daripada epis.

Palambang adalah kata lain yang sering digunakan dalam sastra kakawin untuk menunjukkan

sebuah sajak. Akar kata ini adalah lambang. Arti lambang adalah sesuatu yang terbentang

dengan horisontal. Sukar diputuskan apakah palambang merupakan suatu jenis puisi tertentu

di dalam kelompok sastra kakawin. Berbagai kakawin utama yang cukup dipajang juga

dinamakan palambang oleh pengarangnya, tetapi istilah ini juga dipakai bagi sebuah sajak

cerita pendek atas daun pudak. 4 adalah jumlah baris dalam kakawin, pun pula bila ia

merupakan bagian dari sebuah palambang dan rupanya ada perbedaan antara keduanya.

Kita akan terbawa terlalu jauh dari bidang sastra dari bidang sastra andaikata

persoalan ini ingin kita teliti lebih lanjut. Hanya untuk kata parab baiklah kita membuat

perkecualian, karena implikasinya untuk kasusastraan. Parab berarti nama khususnya “nama

samaran”

Page 9: RANGKUMAN KALANGWAN

7. PARA KAWI

Yang lebih penting dari teknik-teknik penulisan dan bentuk-bentuk puisi adalah

orang-orang mempergunakan teknik itu, cita-cita serta tujuan mereka. Di luar keraton tidak

dijelaskan sama sekali dan hanya dijelaskan di dalam keraton nagarakrtagama kita

mempunyai suatu deskripsi langsung mengenai kehidupan di keraton dewasa itu menurut

kenyataannya. Kakawin-kakawin lainnya merupakan rekaan yang menyajikan cerita-cerita

yang sering terjadi di negeri-negeri yang topografinya bersifat India dan tokoh-tokohnya

memakai nama-nama India pula. Bagian manggala yang mengawali setiap kakawin serta

bagian penutup memberi keterangan sedikit mengenai para penyair sendiri serta sikap mereka

terhadap profesinya.

Bagian-bagian puisi ini menghubungkan kita dengan mereka yang dapat dianggap

kurang lebih profesional dalam kepandaianya sedangkan bagian yang bersifat naratif

mengungkapkan bahwa seni puisi beserta perkembanganya bukanlah monopoli kelompok

profesional yang terbatas itu. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan

bagian dari pendidikan umum yang harus diikuti oleh setiap pegawai istana.

Kepandaian dalam hal puisi dianggap sebagai suatu bakat alamiah bagi seorang

pangeran. Dengan mengubah cerita dari India itu sedemikian rupa, terbuktilah dengan terang,

betapa kepandaian seorang pangeran sebagai seorang penyair sangat dihargai dalam

kehidupan di kraton di Jawa pada jaman dahulu. Apabila seorang penyair Jawa-Kuno memuji

sang raja-majikannya selaku seorang pangeran diantara para penyair, ia tidak semata-mata

diilhami oleh suatu khayalan yang kosong untuk menyanjung-nyanjung sasaran pujaannya.

Belajar menggubah sanjak-sanjak dianggap sebagai suatu bagian mutlak dalam

pendidikan seorang bangsawan. Pada pokoknya, diantara syair-syair Jawa Kuno yang

diselamatkan bagi kita tak ada satupun yang dapat membanggakan seorang raja atau pangeran

sebagai penciptanya, berlaianan dengan sastra Jawa di kemudian hari, yaitu dari periode

Surakarta (akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19), yang dapat menunjukkan raja-raja diantara

para penyairnya seperti Pakubuwana III dan IV serta Mangkunegara IV.

Semua pengarang syair-syair itu sejauh kita ketahui dan rupanya ini juga berlaku

bagi semua kawi profesional tinggal di kraton, tetapi mereka sendiri bukanlah anggota

keluarga raja atau keluarga bangsawan, dan dari mereka rupanya banyak yang memegang

jabatan religius. Dalam kalangan inilah bahasa Sansekerta dipelajari dan sastra dalam arti

yang paling luas dikembangkan, takanan pertama diberikan kepada teks-teks religius yang

Page 10: RANGKUMAN KALANGWAN

dipakai dalam melaksanakan upacara-upacara ibadat atau yang merupakan bahan untuk

mempelajari dan mengajarkan agama. Istilah yang umum dipakai untuk seorang yang

bertugas dalam bidang agama ialah wiku. Para rohaniawan yang mengikuti sang raja atau

yang secara tetap ada hubungan dengan kraton sebagai perugas ex officio, dinamakan

demikian; demikian juga mereka yang telah mengundurkan diri dari kalangan kraton untuk

hidup dalam sebuah biara atau menjadi pertapa. Perlu dicatat pula, bahwa pejabat utama

diantara para pemuja Siwa, Ki Brahmaja, juga diberi gelar mahakawi.

Dalam pelukisan-pelukisan mengenai kehidupan di Kraton, misalnya bila sang raja

membagi-bagikan hadiah-hadiah kepada para abdinya, para kawi disebut sebagai kelompok

tersendiri, dan Prapanca juga terdapat dalam kelompok itu. Dalam masyarakat kraton yang

rumit itu mereka mungkin merupakan semacam ”Jawatan Kebudayaan dan Kesusastraan”,

bila kita boleh memakai istilah yang anakronistis itu untuk menunjukkan suatu lembaga pada

jaman Majapahit yang agak paralel dengan keadaan di dalam masyarakat Indonesia sekarang

ini. Mereka yang termasuk para kawi pasti tidak semuanya merupakan penyair-penyair

kreatif, tetapi tari dan musik juga termasuk keahlian mereka.

Para kawi mempunyai hubungan erat dengan kaum rohaniawan. Banyak diantara

mereka yang diberi gelar kehormatan kawindra (pangeran di antara para kawi) rupanya

dibedakan dari para kawi biasa dan termasuk rohaniawan. Di muka beberapa nama pengarang

kakawin terkenal kita jumpai gelar Mpu. Kata kawi yang menunjukkan entah seluruh

kelompok itu maupun perorangan, kadang-kadang didahului oleh partikel ra atau sang, yang

katanya menunjukkan suatu kehormatan. Tetapi memang ada gelar-gelar lain yang tidak

pantas dipakai oleh penyair bila ia berbicara tentang dirinya sendiri, misalnya kawiwara

(kawi yang unggul), kawiswara, kawindra, atau kawiraja (pangeran diantara para kawi),

karena gelar-gelar ini menunjukkan suatu kepandaian yang luar biasa.

Berhubung kata raja sinonim dengan indra, maka istilah kawiraja tidak perlu diberi

perhatian istimewa, kecuali kalau menimbulkan persoalan yang agak penting untuk

memahami kedudukan seorang kawi di tengah masyarakat Jawa. Semangat dunia dan

semangat tapa kadang-kadang saling berbentur bila penghuni-penghuni baru membawa serta

suasana kraton. Bagi para dayang yang melayani seorang puteri, kepandaian dan pengalaman

dalam aneka cabang kesenian sangat dihargai. Bila mereka pandai menabuh gamelan,

menyanyi dan menembang, maka kepada setiap orang diberinya sebuah gelang. Kepandaian

yang lebih tinggi dihadiahi suatu perhiasan bagi pakaian mereka (singhel) serta sebuah

kalung tanda keunggulan mereka. Bila mereka sampai pada tingkat kawi dan mahir dalam

Page 11: RANGKUMAN KALANGWAN

setiap bentuk kegiatan artistik, mereka dihadiahi sebuah cincin (karah). Puteri terakhir yang

demikian berbakat itu baru saja memakai nama penuh melankoli, yaitu Jayaluh atau

Jayawaspa ‘yang telah mengatasi ratap tangisnya’ setelah ia menjadi abdi sang puteri.

Seluruh cerita mengenai Kawidosa dan Jayaluh yang merupakan sumber kita untuk

segala informasi tentang kehidupan kraton dan yang merupakan sebuah plo sekunder dalam

cerita Sumanasantaka sama sekali tidak terdapat dalam versi India seperti disajikan oleh

Kalisada dalam Raghuvamsanya.

1. Di puncak gunung di sana kulakukan ibadatku, rindu mencari kontak dengan alam

dewata. Batinku terpusat pada turunnya Dewa Wisnu, yang kuhadirkan dalam

batinku, bersemayam di atas bunga seroja.

2. Kisah yang akan kuceritakan tiada lain daripada suatu pujaan terhadap dewa Wisnu;

cerita ini akan mengungkap-Nya dalam segala keramahan-Nya lewat sebuah Wilapa,

tercatat dalam goresan papan tulis (karas).

3. Satu-satunya tujuan usahaku ini ialah meletakkan bunga pada kaki Janardana (wisnu)

dalam satu perbuatan bakti.

Dalam pupuh-pupuh penutup sang raja disebut selaku Wisnu yang telah menjelma

untuk memulihkan kesejahteraan di pulau Jawa dan dibantu dalam tugas oleh Agastya

yang bijak itu, yang telah kembali pula ke bumi selaku Brahmin utama serta penasihat

sang raja.

53.9 inilah sebabnya mengapa pangeran (atau para pangeran) di antara para penyair

istana menulis kakawinnya sebagai pujian terhadap sang raja.

3. usahaku yang pertama dalam menulis puisi dan menangkap keindahan diakibatkan

oleh pengembaraanku mencari daya tarik alam.

Kutipan ini cukup panjang, namun pantas disajikan di sini karena memang sangat

penting. Tak ada karya lain, kecuali Nagarakrtagama yang sifat dan tujuannya

memang berlainan, yang pengarangannya demikian banyak menceritakan mengenai

dirinya sendiri serta karyanya.

Mengenai diri Panuluh sendiri, kita memperoleh pengetahuan sedikit tentang

hubungan pribadi dengan gurunya yang rupanya sukar dapat dipuaskan. Juga apa

yang diceritakan oleh panuluh usaha-usahanya terdahulu pantas kita perhatikan.

Page 12: RANGKUMAN KALANGWAN

8. PENYAIR DAN RAJA SEBAGAI PELINDUNGNYA

Suatu bagian dalam kata pengantar tadi memberikan kesempatan untuk meneliti

secara lebih dekat sebuah persoalan umum yang penting sekali guna memahami puisi Jawa

Kuno, yaitu hubungan antara seorang Kawi di kraton dan majikannya, yaitu sang raja

Panuluh mengatakan (Hariwangsa 1.2), bahwa ia terdorong menulis karyanya atas perintah

eksplisit sang raja; andaikata tidak demikian, ia tidak berani menanganinya, karena bakatnya

tidak memadai.

Restu sang raja memberikan dorongan yang diperlukan untuk mengerjakan tugasnya

dan menyelesaikannya dengan memuaskan. Restu itu juga meliputi dukungan material berupa

hadiah-hadiah yang mungkin lebih daripada “papan tulis dan tanah” semata-mata, seperi telah

disebut dalam kutipan di atas. Dengan menyebut hubungan antara penyiar dengan

pelindungnya, kata pengantar bagi Hariwangsa mengikuti sebuah pola yang umum bagi

kebanyakan kakawin Jawa Kuno yang ditulis di Jawa Timur.

Bagi seorang penyair kata-kata merupakan alat-alatnya dan sebagai seorang tukang

yang pandai ia mahir dalam tehnik menggunakan alat-alat itu, ia tahu rahasia alat-alatnya dan

ia pandai memakainya dengan seefektif mungkin, termasuk kesaktiannya.

Setiap orang yang mengembangkan, membaca atau mendengarkan kakawin itu akan

kebagian kesaktiannya yang menyelamatkan. Dalam ulasan kita mengenai sastra parwa kita

telah melihat, bahwa bagian-bagian tertentu dari Mahabarata dianggap mempunyai hasil yang

sama. Pertimbangan yang sama mungkin dapat menerangkan, mengapa baik dalam sastra

maupun dalam seni rupa (relief-relief pada candi-candi) beberapa cerita demkian popular; itu

semua berkaitan dengan kesaktian tapa brata dalam mengatasi hawa nafsu, pelepasan dari

penderitaan dan kematian serta kelana untuk mencari air amrta.

Berg berpendapat, bahwa tugas seorang penyair keratin dalam masyarakat Jawa

Kuno pada dasarnya bersifat religious; tugas utamanya adalah mengabdikan pekerjaaannya

kepada raja sebagai suatu sumber kekuatan yang dapat menangkis kekuatan magis yang

berbahaya, yang dapat mengurangi akibat buruk dari peristiwa-peristiwa yang silam dengan

menampilkannya dalam suatu sorotan yang berlainan serta mempengaruhi arus kejadian di

hari depan menurut arah yang diharapkan; tetapi semuanya ini mengandaikan, bahwa

kehidupan Jawa Kuno demikian diresapi oleh pandangan dunia yang magi situ, sehingga

semua penilaian dan perbuatan terpengaruh olehnya.

Page 13: RANGKUMAN KALANGWAN

Mempelajari hasil-hasil dari suatu kebudayaan kuno selalu melihat usaha untuk

menafsirkannya, tetapi usaha itu hanya dapat dilaksanakan selaras dengan semangat

kebudayaan itu sendiri.

Dalam sastra kakawin penyair sendiri termasuk pelukisan alam, sama dengan pohon

aśoka yang berbunga, kumbang yang berdengung dan guntur yang gemuruh kejauhan.

Pengembaraan seorang penyair sering dilaksanakan sering dilukiskan dengan istilah-istilah

yang biasanya dipakai untuk para tapa yang mencari kesucian atau kesaktian, yaitu: awukiran

(mengundurkan diri di pegunungan guna melakukan ulah kebatinan), atirtha (mengunjungi

tempat-tempat pemandian yang keramat bila sedang berziarah), abrata (melakukan mati

raga).

Profil penyair yang dengan paling jelas muncul dari semua kutipan tadi ialah sebagai

seorang pecinta keindahan alam. Kita dapat mengajukan sebagai bukti kakawin sendiri

dengan deskripsi-deskripsinya yang panjang lebar dan banyak jumlahnya. Kita tak ada alasan

untuk meragukan kesungguhan Prapanca, ketika ia melukiskan reaksinya terhadap kematian

sahabatnya Krtayasa, pejabat agama Buddha itu. Rasa duka yang mendalam karena

kehilangan seorang sahabat tercampur dengan rasa kecewa, karena andaikata tidak terhalang

oleh kematiannya maka Krtayasa, pecinta buku dan sastra, akan menunjukkan kepada

Prapanca tempat-tempat dimana para penyair menulis kakawinnya.

Keindahan seorang wanita tak kalah penting dengan keindahan selalu dibandingkan

satu dengan yang lainnya; pujian tertinggi dan tanda rasa kagum yang dapat disampaikan

seorang wanita yang cantik ialah dengan mengatakan bahwa alam pun kalah dengan dia.

Kata-kata yang dipakai untuk menunjukkan keadaan ini, bilamana kesadaran

menurun dan penyair seolah-olah mengalami suatu “trance”, pantas diperhatikan juga karena

suatu alasan lain. Kata-kata itu seolah-olah mempunyai dua segi; tidak hanya menunjukkan

pengalaman itu sendiri, melainkan juga sifat-sifat dalam obyek yang menyebabkan

pengalaman itu.

Secara obyektif kata langö dapat berarti sifat yang menyebabkan obyek itu

menghimbau pada perasaan estetis. Kata langö dapat berarti baik pengalaman estetis maupun

keindahan itu sendiri. Dan kata-kata yang dipakai untuk menunjukkan puisi atau sastra indah

(kalangwan, kalangön) berasal dari akar yang sama yang juga menurunkan kata yang

menunjukkan seorang yang membaktikan diri kepada keindahan itu, yaitu mangö. Ia seorang

Page 14: RANGKUMAN KALANGWAN

abdi keindahan dan dengan setia melakukan ibadatnya. Betapa harfiah hal ini harus kita

tafsirkan akan menjadi kentara dari apa yang diuraikan di bawah.

9. AGAMA SANG KAWI

Pembukaan dalam sebuah kakawin biasanya disebut manggala ialah segala sesuatu,

setiap kata, perbuatan atau orang yang karena kesaktiannya dapat menjamin sukses sebuah

pekerjaan yang akan dimulai; dan itulah maksud bait-bait pengantar itu. Dua kakawin dan

kedua-duanya termasuk hasil sastra Jawa Timur yang paling kuno, yaitu Arjunawiwaha dan

Bharatayuddha, rupanya mengacu pada raja sebagai pelindung dalam bait pembukaan.

Di Jawa Saraswati tidak begitu dijunjung seperti di Bali. Dalam sejumlah kakawin

yang berasal dari kedua periode itu, dewa Kama, dewa asmara dan keindahan, rupanya lebih

sering dipuja; demikian misalnya dalam karya-karya dari jaman dahulu seperti Smaradhana,

Bhomantaka, Abimanyuwiwaha, dan mungkin juga dalam Gatotkacasraya; dan dalam karya-

karya dari periode Bali; Ramawijaya, Narakawijaya dan Krsnandhaka. Dalam karya terakhir

itu dewa Kama disertai isterinya, Ratih.

Bila kita membanding-bandingkan berbagai manggala kita didorong pada

kesimpulan, bahwa di sini kita tidak berurusan dengan seorang dewa tertentu yang wilayah

kekuasaannya ialah keindahan, sehingga memang pantas bagi seorang penyair untuk memilih

dewa itu sebagai tujuan hormat dan ibadatnya.

Bagi seorang ksatriya dewa yang sama dapat dipandang sebagai dewa yang sama

dapat dipandang sebagai dewa keperkasaan dan kewiraan dalam perang , oleh seorang

pujangga atau bijak ia dipandang sebagai dewa kebijaksanaan. Kami ingin mengajukan

beberapa contoh untuk menerangkan hal ini. Sumanasantaka dimulai sebagai berikut:

1. Sang dewa yang menguasai papan tulis seorang kawi

2. Inilah sebabnya kuletakkan tindak kebaktianku pada kakinya, sambil mengharapkan

agar dapat menjadi seorang taruna dalam sarekat para kawi.

Lubdhaka diawali oleh bait sebagai berikut :

1. Dalam bentuk yang luput dari segala indera. Dia, dewa di atas segala dewa,

tersembunyi di dalam lubuk jiwa seseorang yang telah mencapai kematangan dalam

Page 15: RANGKUMAN KALANGWAN

mencari keindahan. Dalam bentuknya yang dapat diraba indera, ia selalu bersemayam

di tengah bunga padma hatiku.

Hariwijaya berawal sebagai berikut ini:

1. Biarpun ia hadir dalam bentuk yang dapat diraba panca indera, bila ia bersemayam di

tengah hutan padma, namun ia sebetulnya tak dapat diraba indera, itulah hakekat

kodratnya, yaitu bila ia menampilkan diri dalam kesatuan yang terjadi pada lubuk

dasar pengalaman estetis.

Perbuatan yang dilakukan penyair sambil mendekati seorang dewa sebagai

seorang pemohon hina yang minta bantuanNya; penyair itu sadar akan kekurangannya, ia

mengakui kekuasaan seorang dewa dan menaruh kepercayaannya pada kemurahan hati

dewa itu. Ia dapat disamakan dengan seorang juru salin di Eropa pada abad pertengahan

yang juga memohon berkat Allah untuk karyanya dan menempatkan itu di bawah

perlindungan Santa Perawan Maria. Dan kita teringat ucapan bismillah yang selalu

menyertai seorang pengarang Muslim bila memulai karyanya. Bila penyair berbakti pada

iṣṭadewatanya, dewa pilihannya, ia berusaha untuk mencapai kemanunggalannya itu, dan

syair itu sendiri memainkan peranan pokok.

Kepercayaan akan kemanunggalannya antara Yang Mutlak dan semesta alam

dalam segala bentuk seluk beluknya akan kemungkinan agar kemanunggalan itu dapat

diperkuat, atau dihayati dengan lebih mendalam, terdapat dalam sejumlah tulisan religius

pada jaman Jawa Kuno.

Sang penyair berharap mencapai tujuan yaitu bertunggal dengan Tuhan Yang

Maha Esa lewat jalan keindahan. Tuhan hadir melalui sūkṣma, tetapi penyair menemukan

keindahan Tuhan di mana saja. Kutipan Sumanasāntaka berbicara tentang hakekat akṣara

yaitu yang menguasai papan tulis dan dalam keadaan rumit bersembunyi dalam debu

papan tulis.

Kedatangan dewa didahului dengan menjalankan laku yoga Batin mencapai

tingkat konsentrasi (dhyāna) sehingga penuh dengan gambaran sang dewa dan segala

sesuatu yang lain lenyap dari pandangan (dhāraṇa) sehingga seluruh pribadi sang yogi

terserap oleh dewa. Bagi seorang penyair jalan menuju terciptanya sebuah karya yang

indah adalah kakawi. Yoga yang diungkapkan dalam bait-bait pembukaan menjadikan

penyair mampu mengeluarkan tunas-tunas keindahan (along langő).

Page 16: RANGKUMAN KALANGWAN

Bentuk ibadat relegius yang diungkapkan dalam sebuah manggala mempunyi sifat

khusus dinamakan religio poetoe, agama dan praktek merupakan salah satu bentuk yoga

trantris, yaitu yoga yang mencari Sang Dewa dengan menghadirkan sang dewa turun.

Lingkungan yang khas bagi seorang literer dinamakan yoga literer. Manggala-manggala

merupakan bagian yang khas dari kakawin.

Ulasan prosa yang secara umum dinamakan tutur. Menurut ajaran yoga tantric,

sifat imanensi Illahi dalam semesta alam dan dalam diri manusia selaku bagian dari

semesta alam dibedakan menjadi tiga yaitu niṣkala atau lubuk hati seseorang (material

lepas dari sifat kebendaan yang dipakai untuk melukiskan Yang Mutlak dalam keadaan

transenden berkaitan dengan bentuknya sebagai hakikat terdalam), sakala-niṣkala

terwujud dalam hati seorang yogi (material-imaterial) dan sakala mencapai puncaknya

jika sang dewa menjadi obyek pencerapan panca indra, entah itu lewat renkarnasi atau

lewat benda (material).

Ada beberapa bagian tubuh manusia, yang bentuknya mirip dengan bunga padma,

yang merupakan tempat kediaman atau tahta seorang dewa, khususnya sebuah padma

sekitar jantung yang dinamakan anandakaṇḍapadma dan sat lagi di bawah tengkorak

(sahasrārapadma). Dari sana sang dewa dapat dipantulkan dari sebuah benda yang

dinamakan yantra. Yantra merupakan jalan yang dipakai seorang yogi untuk mencapai

tujuan yoganya. Seorang yogi harus bermeditasi melaksanakan dan mengalami

kemanunggalan.

Yang menjadi tahta dewa keindahan yaitu kakawin. Syair merupakan pusat

sentral dalam religio poetoe serta dalam yoga seorang kawi. Banyak manggala yang

mengawali kakawin dengan memuji sang dewa yang secara tak kelihatan hadir dalam

segala sesuatu: “Hanya satu yang ada dalam lubuk hakekat keindahan….yang menembus

segala sesuatu ke semua arah, inti hidup dari segala sesuatu yang ada. Teks-teks yang

berkaitan dengan yoga, yaitu praktek kepandaian dan praktek mencari kemanunggalan

kepada sang dewa. Sang penyair bertitik tolak dalam lubuk hatinya dan menghimbau sang

dewa untuk menampakkan diri dalam bentuk yang kelihatan, dalam lubuk hatinya ia

berharap dapat dipersatukan dengan dewa. Istilah Sansekerta yang berhubungan dengan

kemanunggalan tattwa (kenyataan atau hakekak kodrat), jnāna (pengetahuan), dan atma

(diri pribadi).

Page 17: RANGKUMAN KALANGWAN

Tujuan seorang yogi ialah menghadirkan dewa di dalam tubuhnya, sehingga ia

dapat memusatkan konsentrasinya pada dewa itu dengan segala daya kekuatannya. Dalam

manggala-manggala sering disebut bahwa bunga padma menunjukkan ke arah itu, karena

jantung laksana padma yang merupakan singgasana isyadewanata. Dalam praktik yoga

bersifat tantric cara seorang dewa sedang hadir di dalam anandakandapadma disebut

material-immaterial (sakala-niskala). Cara dewa bersemayam di atas bunga padma di

dalam lubuk hati dan cara ia dapat dipanggil agar masuk ke dalam sebuah patung di

sebuah candi, diungkapkan dengan kata yang sama yakni : pratistha. Menurut berbagai

aspek yoga dilakukan oleh seorang penyair guna menurunkan sang dewa menurut

bentuknya yaitu sakala-niskala ke dalam hati, mirip dengan cara menampilkan seorang

dewa dalam bentuknya yang material di dalam sebuah patung; kedua jalan itu

menguntungkan kemajuan seseorang agar dapat mencapai kemanunggalan dengan

dewanya. Seorang yogi mempergunakan sarana-sarana yang dapat disentuh panca-indera,

seperti puji-pujian (stuti), persembahan bunga (puspanjali), gerak tangan yang mempunyai

arti mistik (mudra), suku kata dan rumus-rumus sacral (mantra)

Syair dalam bentuk yang kelihatan dan kedengaran, yang tercatat dalam huruf-

huruf pada papan tulis serta dibaca dan dilagukan, dipandang sebagai sebuah wadah bagi

dewa keindahan; ia dihimbau agar turun ke dalam wadah itu dan bersemayam disana

bagaikan dalam candinya. Syair itu membantu Sang Kawi untuk mencapai tujuan yoga

literernya, yaitu kemanunggalan dengan istana dewanatanya.

Tetapi kemanunggalan itu hanya bersifat sementara dan hanya berlangsung dalam

ektase keindahan itu dirasakan, sambil menyerahkan diri kepada pengalaman estetis yang

dasyat. Tetapi dengan demikian sang penyair juga mencicipi dan mempersiapkan diri

untuk kemanunggalan dengan dewa yang disebut kalepasan atau pembebasan; inilah

pembebasan definitive dari segala jerat yang menahan manusia di dunia ini serta

pembebasan pula dari lingkaran kelahiran ulang. Dan inilah tujuan akhir bagi setiap yogi.

Bagi seorang penyair pembebasan berarti diserapnya secara total oleh dewa keindahan

lewat kemanunggalan tersebut.

Sang penyair merindukan saat pelepasan terakhir itu, ia mengungkapkan

keinginannya, agar syair yang telah membantunya dalam mencapai kontak dengan sang

dewa, dapat juga untuk mencapai kemanunggalan yang abadi. Inilah arti semua teks yang

mengungkapkan harapan, agar syair itu juga dapat merupakan suatu silunglung bagi

Page 18: RANGKUMAN KALANGWAN

penyair, yaitu sesuatu yang menyertainya dan memberi kekuatan kepadanya sambil

menopangnya dalam perjalanan terakhir; dari sana ia tak dapat kembali, karena diri pribadi

yang terbatas itu diserap oleh dan manunggal dengan Yang Mutlak.