Raden Pandji Soeroso

3
Mengenang Raden Pandji Soeroso Kerap kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda, Soeroso gigih membela rakyat kecil. Terpilih sebagai Gubernur Jawa Tengah yang pertama. Kepedulian Raden Panji Soeroso terhadap kondisi negeri ini tak pernah padam. Setidaknya, hal itu yang hingga kini masih tertanam di benak Nies Anggraeni, 63 tahun. “Sampai akhir hayatnya pun beliau masih berjuang untuk bangsa ini. Tentu tanpa suara yang menggebu-gebu,” ujar Nies, cucu Soeroso. Pria yang dikenal dengan nama RP Soeroso itu berjuang dengan tindakan-tindakan nyata. Dia misalnya, gigih memperjuangkan pegawai negeri agar dapat membeli rumah dinas dengan cara mencicil. Dia merintis pembangunan 188 rumah pegawai negeri pada 1972. Untuk menunjang kesejahteraan pegawai negeri, ia mendukung gerakan koperasi. Soeroso tergerak mendirikan Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN). “Beliau memimpin koperasi ini kurang lebih sekitar 30 tahunan,” ujar Nies. Dia sempat menjadi Ketua Gerakan Koperasi Indonesia. Kemudian, dia menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi Pusat Koperasi Pegawai Negeri Seluruh Indonesia. Pada 1979, ia dikukuhkan sebagai Bapak Koperasi Pegawai Negeri. Soeroso pun mendirikan pabrik sepeda Turangga IKPN. Pabrik itu dibangun agar dapat memenuhi kebutuhan transportasi sederhana bagi pegawai negeri golongan rendah di daerah-daerah. Masalah kesehatan masyarakat pun tak lepas dari perhatian Soeroso. Untuk kemajuan kesehatan anak-anak, terutama yang menderita penyakit paru-paru, dia mendirikan Yayasan Fatmawati. “Yang seringkali beliau sampaikan adalah bahwa beliau dapat berbuat amal bakti karena Allah SWT,” kata Nies. Peran Soeroso untuk negeri ini tak sebatas itu. Pria yang menamatkan pendidikan sekolah guru pada 1916 ini pernah aktif sebagai anggota Boedi Oetomo. Setelah itu, ia menjadi Ketua Sarekat Islam cabang Probolinggo. Semasa kepemimpinannya, dia selalu berupaya membantu rakyat kecil. Caranya: mendirikan toko yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga murah. Pria kelahiran Sidoarjo, 3 November 1895, ini sangat peka terhadap golongan masyarakat kecil. Sebagai lelaki dari golongan priyayi, dia tak segan membela nasib pemilik warung di pinggir jalan yang hendak digusur pemerintah kolonial Belanda pada 1917.

description

Raden Pandji Soeroso

Transcript of Raden Pandji Soeroso

Page 1: Raden Pandji Soeroso

Mengenang Raden Pandji Soeroso

Kerap kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda, Soeroso gigih membela rakyat kecil. Terpilih sebagai Gubernur Jawa Tengah yang pertama. Kepedulian Raden Panji Soeroso terhadap kondisi negeri ini tak pernah padam. Setidaknya, hal itu yang hingga kini masih tertanam di benak Nies Anggraeni, 63 tahun. “Sampai akhir hayatnya pun beliau masih berjuang untuk bangsa ini. Tentu tanpa suara yang menggebu-gebu,” ujar Nies, cucu Soeroso.

Pria yang dikenal dengan nama RP Soeroso itu berjuang dengan tindakan-tindakan nyata. Dia misalnya, gigih memperjuangkan pegawai negeri agar dapat membeli rumah dinas dengan cara mencicil. Dia merintis pembangunan 188 rumah pegawai negeri pada 1972. Untuk menunjang kesejahteraan pegawai negeri, ia mendukung gerakan koperasi. Soeroso tergerak mendirikan Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN). “Beliau memimpin koperasi ini kurang lebih sekitar 30 tahunan,” ujar Nies.

Dia sempat menjadi Ketua Gerakan Koperasi Indonesia. Kemudian, dia menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi Pusat Koperasi Pegawai Negeri Seluruh Indonesia. Pada 1979, ia dikukuhkan sebagai Bapak Koperasi Pegawai Negeri. Soeroso pun mendirikan pabrik sepeda Turangga IKPN. Pabrik itu dibangun agar dapat memenuhi kebutuhan transportasi sederhana bagi pegawai negeri golongan rendah di daerah-daerah.

Masalah kesehatan masyarakat pun tak lepas dari perhatian Soeroso. Untuk kemajuan kesehatan anak-anak, terutama yang menderita penyakit paru-paru, dia mendirikan Yayasan Fatmawati. “Yang seringkali beliau sampaikan adalah bahwa beliau dapat berbuat amal bakti karena Allah SWT,” kata Nies.

Peran Soeroso untuk negeri ini tak sebatas itu. Pria yang menamatkan pendidikan sekolah guru pada 1916 ini pernah aktif sebagai anggota Boedi Oetomo. Setelah itu, ia menjadi Ketua Sarekat Islam cabang Probolinggo. Semasa kepemimpinannya, dia selalu berupaya membantu rakyat kecil. Caranya: mendirikan toko yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga murah.

Pria kelahiran Sidoarjo, 3 November 1895, ini sangat peka terhadap golongan masyarakat kecil. Sebagai lelaki dari golongan priyayi, dia tak segan membela nasib pemilik warung di pinggir jalan yang hendak digusur pemerintah kolonial Belanda pada 1917.

Menurut Nies, kakeknya sempat memimpin surat kabar Harian Kemajuan Hindia pada 1922 hingga 1924. Tulisan di koran itu selalu berkaitan dengan gerakan nasional. Namun, surat kabar tersebut tidak bertahan lama karena terbentur masalah anggaran. Para pedagang yang semula diharapkan membantu pendanaan secara rutin, tidak mau lagi merogoh koceknya untuk harian pribumi tersebut.

Soeroso lantas menjadi anggota Volksraad, semacam Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda, pada 1924. Ia termasuk anggota yang berani. Dia pernah menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang pelaksanaan pajak tanah di Sumatera Barat. Pada 1945, ia ditunjuk sebagai Wakil Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pasca kemerdekaan Indonesia, menurut Naskah Sekitar Perjuangan Rakyat Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang terbitan Pemda Kabupaten Magelang 1974, Soeroso juga berperan menenangkan Kota Magelang, Jawa Tengah, yang sempat memanas. Peristiwa bermula ketika seorang prajurit Jepang menyobek plakat Merah Putih yang ditempel di depan Hotel Nitaka, Magelang, Jawa Tengah. Tindakan itu memicu kemarahan sekelompok pemuda Indonesia. Sejurus kemudian, mereka terlibat perang mulut.

Page 2: Raden Pandji Soeroso

Para pemuda menuntut prajurit Jepang tersebut dihukum. Mereka juga meminta bendera Jepang diganti dengan bendera Indonesia. Namun, pihak Jepang tak memenuhi permintaan itu. Para pemuda lantas bergerak ke markas Kempetai. Situasi pun menjadi semakin panas. Perundingan yang dilakukan perwakilan pemuda dengan komandan Kempetai tidak membuahkan hasil. Soeroso lantas berunding dengan Jenderal Nakamura dari Jepang. Hasil perundingan tersebut kemudian disampaikan oleh seorang pemuda lainnya kepada massa. Mereka lalu membubarkan diri dengan tertib.

Masih pada 1945, Soeroso diangkat menjadi Gubernur Jawa Tengah pertama. Pengangkatan itu berdasarkan keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang pleno pada 19 Agustus 1945. Namun, dia hanya sekejap menduduki jabatan itu. Pada tahun yang sama, dia digantikan oleh Mr Wongsonegoro.

Pada masa pemerintahan Kabinet Natsir (6 September 1950- 27 April 1951), Soeroso diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja. Karena pengalamannya dalam organisasi perburuhan, ia berhasil menghentikan pemogokan ribuan buruh perkebunan. Dua tahun kemudian, dia diangkat menjadi Menteri Sosial. Saat itu, ia menggagas program transmigrasi di daerah Sumatera Selatan.

Selanjutnya, pada 1962, ia ditunjuk sebagai Ketua Panitia Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Ia berhasil menyelesaikan Rancangan Undang-undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah. Panitia ini bertugas meninjau kembali perimbangan keuangan dan menyusun rancangan pemerintahan desa dengan hak otonomi.

Soeroso wafat pada 16 Mei 1981 di Jakarta karena sakit. Dia dimakamkan di Mojokerto, Jawa Timur. Pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 081/TK/1986. Tetapi tidak hanya itu, Soeroso sudah pernah mendapat beberapa penghargaan, seperti Mahaputera Adhi Pradana, Bintang Gerilya, Satya Lencana Perintis Kemerdekaan I, Satya Lencana Perang kemerdekaan II, dan Satya Lencana Pembangunan.

Meski sudah menghadap sang Pencipta, Soeroso tetap dikenang. Menurut Nies, cucunya, Raden Pandji Soeoroso sang kakek selalu meminta cucu-cucunya untuk hidup sederhana dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Tak hanya sekadar nasehat. Soeroso pun mencontohkan langsung kepada keluarganya tentang kesederhanaan. Meski beberapa kali menjabat sebagai menteri, mobil yang dia gunakan tetap Opel Capitan tahun 1970-an. Dia mengembalikan mobil dinas Mercy lantaran merasa tidak nyaman dengan kendaraan mewah itu.