Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

20
1 Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun 1959—1960 dan 1966—1974 oleh Teguh Prasetyo dan Ibnu Wahyudi Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok E-mail: [email protected] Abstrak Pandji Masjarakat merupakan majalah berhaluan Islam modernis yang terbit tahun 1959. Majalah tersebut sempat dibredel tahun 1960 karena memuat artikel “Demokrasi Kita” hingga terbit kembali tahun 1966. Dalam rentang tahun 1959—1974, Pandji Masjarakat banyak menerbitkan artikel dan karya sastra yang bersinggungan dengan gejolak politik zamannya. Genre sastra yang cukup jelas memperlihatkan gagasan sosial- politik adalah cerpen-cerpen yang diterbitkannya. Sejumlah cerpen bertema sosial-politik itu akan ditelaah dengan metode sosiologi sastra. Setelah dilakukan penelaahan, diketahui bahwa tujuh cerpen majalah Pandji Masjarakat mempunyai gagasan yang menyuarakan kritik sosial-politik terhadap zamannya. Kata Kunci: Pandji Masjarakat, Tema, Sosial-politik, Orde Lama, Orde Baru, Demokrasi Terpimpin. Socio-political Theme in A Batch of Short Stories in Pandji Masjarakat Magazines in 1959—1960 and 1966—1974 Abstract Pandji Masjarakat was an Islamic modernist magazine that was published in 1959. That magazine was ceased in 1960 because of the article “Demokrasi Kita” and was published again in 1966. In years between1959–1974, Pandji Masjarakat published a lot of articles and literary works that were related to the political turmoil of the era. The obvious literary genre shows the socio-political thoughts in the published short stories. Those socio-political short stories then were examined with the socioliterary method. After that, it is known that seven short stories in the Pandji Masjarakat magazine have a socio-political thought that expresses a socio-political criticism of that era. Key words: Pandji Masjarakat, Theme, Socio-political, Old Order, New Order, Guided Democracy. 1. Pendahulan H.B. Jassin dalam bukunya yang berjudul Koran dan Sastra Indonesia mengemukakan bahwa perkembangan kesusastraan Indonesia erat kaitannya dengan keberadaan surat kabar. Selain itu, Jassin juga menambahkan bahwa sebagian besar karya para sastrawan Indonesia terlebih dahulu dipublikasikan melalui surat kabar, baru kemudian dibukukan. Kumpulan puisi atau kumpulan cerpen biasanya berasal dari puisi-puisi atau cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media massa, sedangkan novel biasanya dari cerita bersambung (1994: 86). Merujuk pada pernyataan Jassin tersebut, dapatlah kita menilik beberapa surat kabar ataupun media yang pernah ada dan menampilkan karya-karya sastra di dalamnya. Sejak awal Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Transcript of Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

Page 1: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

1  

 

Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun 1959—1960 dan 1966—1974

oleh Teguh Prasetyo dan Ibnu Wahyudi

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok

E-mail: [email protected]

Abstrak

Pandji Masjarakat merupakan majalah berhaluan Islam modernis yang terbit tahun 1959. Majalah tersebut sempat dibredel tahun 1960 karena memuat artikel “Demokrasi Kita” hingga terbit kembali tahun 1966. Dalam rentang tahun 1959—1974, Pandji Masjarakat banyak menerbitkan artikel dan karya sastra yang bersinggungan dengan gejolak politik zamannya. Genre sastra yang cukup jelas memperlihatkan gagasan sosial-politik adalah cerpen-cerpen yang diterbitkannya. Sejumlah cerpen bertema sosial-politik itu akan ditelaah dengan metode sosiologi sastra. Setelah dilakukan penelaahan, diketahui bahwa tujuh cerpen majalah Pandji Masjarakat mempunyai gagasan yang menyuarakan kritik sosial-politik terhadap zamannya. Kata Kunci: Pandji Masjarakat, Tema, Sosial-politik, Orde Lama, Orde Baru, Demokrasi Terpimpin.

Socio-political Theme in A Batch of Short Stories in Pandji Masjarakat Magazines in

1959—1960 and 1966—1974

Abstract

Pandji Masjarakat was an Islamic modernist magazine that was published in 1959. That magazine was ceased in 1960 because of the article “Demokrasi Kita” and was published again in 1966. In years between1959–1974, Pandji Masjarakat published a lot of articles and literary works that were related to the political turmoil of the era. The obvious literary genre shows the socio-political thoughts in the published short stories. Those socio-political short stories then were examined with the socioliterary method. After that, it is known that seven short stories in the Pandji Masjarakat magazine have a socio-political thought that expresses a socio-political criticism of that era. Key words: Pandji Masjarakat, Theme, Socio-political, Old Order, New Order, Guided Democracy. 1. Pendahulan

H.B. Jassin dalam bukunya yang berjudul Koran dan Sastra Indonesia mengemukakan

bahwa perkembangan kesusastraan Indonesia erat kaitannya dengan keberadaan surat kabar.

Selain itu, Jassin juga menambahkan bahwa sebagian besar karya para sastrawan Indonesia

terlebih dahulu dipublikasikan melalui surat kabar, baru kemudian dibukukan. Kumpulan

puisi atau kumpulan cerpen biasanya berasal dari puisi-puisi atau cerpen-cerpen yang dimuat

di berbagai media massa, sedangkan novel biasanya dari cerita bersambung (1994: 86).

Merujuk pada pernyataan Jassin tersebut, dapatlah kita menilik beberapa surat kabar

ataupun media yang pernah ada dan menampilkan karya-karya sastra di dalamnya. Sejak awal

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 2: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

2  

 

abad ke-20 surat kabar telah turut andil dalam penerbitan karya sastra di Indonesia. Claudine

Salmon mencatat pada tahun 1905 cerita Tambahsia terbit pada koran Warna Warta sebagai

cerita bersambung (1985: 5). Selanjutnya, pada tahun 1920-an, muncul majalah Jong Sumatra

yang di dalamnya memuat karya-karya Muhammad Yamin, Moh. Hatta, dan Sanusi Pane

(Rosidi: 1964: 7). Dalam periode tahun 1920-an ini pula muncul surat kabar yang masih

berada dalam pengawasan lembaga penerbitan Balai Pustaka, seperti Sri Poestaka, Pandji

Poestaka, Kedjawen, dan Perhiangan yang di dalamnya dimuat pula karya-karya sastra mulai

dari puisi hingga prosa (Iskandar: 1960: 8).

Pada dasawarsa 1930-an, muncul sebuah majalah yang menjadi salah satu majalah

yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, yakni majalah

Pujangga Baru. Majalah ini memunculkan nama-nama sastrawan besar, seperti Sutan Takdir

Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Maria Josephine Mantik mencatat, selama

umur terbitnya, majalah Pujangga Baru memunculkan ratusan puisi, 38 cerpen, dan enam

buah drama (1981: 20—36).

Setelah dasawarsa 1930-an, penerbitan karya sastra melalui surat kabar atau majalah

terus bermunculan. Puncaknya terjadi pada dasawarsa 1950-an. Jakob Sumardjo menyatakan

bahwa pada dasawarsa 1950-an, majalah kebudayaan bermunculan seperti marmot1 sehingga

pada dasawarsa ini muncullah istilah “sastra majalah” (2000: 635). Selain itu, Nugroho

Notosusanto juga menyatakan bahwa pada dasawarsa 1950-an ini muncul berbagai surat

kabar ataupun majalah yang memuat karya sastra, seperti Zenith, Basis, Budaya, Konfrontasi,

Gajah Mada atau Pelangi, Medan Sastera (di Yogyakarta), Kompas, dan Dwiwarna (2000:

285—286).

Selanjutnya, tahun 1960-an hingga sekarang ini, surat kabar ataupun majalah yang

berkontribusi dalam penerbitan karya sastra terus bermunculan, misalnya seperti majalah

Sastra, Horizon, surat kabar Tempo, dan Kompas. Tidak hanya itu, bahkan surat kabar dan

majalah juga menjadi media tanding ide dalam polemik antara sastrawan Lekra dan Manikebu

pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an. Surat kabar atau majalah tersebut diantaranya

majalah Sastra, surat kabar Duta Masjarakat, Harian Rakyat, maupun Bintang Timur.

Masing-masing surat kabar atau majalah tersebut memiliki keberpihakan terhadap kubunya

                                                                                                                         1 Kata marmot yang digunakan oleh Jakob Sumardjo pastilah merupakan sebuah metafor dari

banyaknya karya sastra yang muncul pada saat itu (1950-an). Marmot merupakan sebuah hewan yang sangat mudah berkembang biak sehingga penulis menyimpulkan bahwa kata marmot merupakan metafor dari penerbitan karya sastra yang sangat pesat dalam surat kabar atau majalah.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 3: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

3  

 

sendiri, seperti Sastra yang pro Manikebu dan Harian Rakjat atau Bintang Timur yang pro

Lekra (Ismail dan Moeljanto, 1995).

Di antara sekian banyak surat kabar dan majalah kebudayaan yang terbit dan memuat

karya sastra di akhir tahun 1950-an dan sepanjang tahun 1960-an, terdapat majalah yang

bergerak di bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam yang juga turut memuat karya-karya

sastra di dalamnya, yakni majalah Pandji Masjarakat. Majalah Pandji Masjarakat ini terbit di

akhir tahun 1959. Majalah ini sempat dibredel pada tahun 1960 karena dianggap memicu

tindakan subversif dengan pemuatan artikel Moh. Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”.

Majalah ini kemudian terbit kembali pada tahun 1966 hingga tahun 2003. Semenjak

diterbitkan kembali pada tahun 1966 itu majalah ini lebih memiliki kebebasan dalam

menyuarakan aspirasinya, termasuk kritik terhadap pemerintahan. Hal tersebut sekiranya

terlihat hingga tahun 1974.2

Sebagai sebuah majalah yang berbasis Islam,3 artikel dalam majalah ini banyak

menyoroti hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, tidak terkecuali karya sastra yang

diterbitkannya. Karya-karya sastra yang bernafaskan Islam ini juga sebenarnya tidak lepas

dari pengaruh ideologi majalah tersebut. Bahkan, dalam sebuah artikel yang ditulis Jusuf

Abdullah Puar yang berjudul “Posisi Sastera nan Bernafaskan Ketuhanan: Persadjakan Islam

dalam Menghadapi Individualisme, Naturalisme, dan Realisme Proletar” yang dimuat dalam

majalah ini pada edisi 15/15 Januari 1960, dikatakan bahwa kesusastraan bernafaskan Islam

memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan gaya kesusastraan individualisnya Chairil

Anwar ataupun Realisme Proletar yang ditunjukkan Lekra (1960: 12—14).

Hal yang cukup menarik yang ditunjukkan karya-karya sastra yang dimuat dalam

majalah ini adalah munculnya karya sastra yang ternyata turut andil dalam menyuarakan

kritik sosial-politik terhadap keadaan sosial zamannya, misalnya terhadap pemerintahan Orde

Lama, PKI, bahkan konflik Lekra dan Manikebu. Terlebih lagi, kritik yang terlihat dari karya-

karya tersebut disuarakan dengan lebih gamblang ketika majalah ini terbit kembali tahun 1966

atau setelah keruntuhan Orde Lama, sedangkan pada tahun 1959—1960, kritik sosial-politik

dalam beberapa karya sastra dinyatakan dengan lebih tersirat.

                                                                                                                         2   Penulis menyimpulkan hal tersebut karena penulis hanya membatasi penelitiannya pada Pandji

Masjarakat yang terbit tahun 1959—1960 dan 1966 hingga awal tahun 1974. 3  Profil majalah Pandji Masjarakat yang menerangkan bahwa majalah tersebut merupakan majalah

yang berbasis Islam akan lebih lanjut dijelaskan pada subbab “Pandji Masjarakat dan Kesusastraan”.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 4: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

4  

 

Hal tersebut membuat penulis kemudian mencoba merumuskan beberapa

permasalahan yang akan coba dikaji dalam makalah ini. Pertama, seperti apakah profil singkat

majalah Pandji Masjarakat beserta rubrik sastra di dalamnya? Selanjutnya, bagaimana

kecenderungan tematiknya? Terakhir, bagaimana penggambaran tema sosial-politik dalam

cerpen-cerpen majalah ini.

2. Tinjauan Teoritis

Makalah ini akan menyajikan analisis terhadap cerpen-cerpen yang diterbitkan pada

majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974, khususnya cerpen-cerpen

yang memiliki tema sosial-politik. Oleh karena analisis cerpen tersebut menggunakan kajian

tematik, dalam subbab ini akan pula dipaparkan landasan teori kajian tematik tersebut. Akan

tetapi, karena korpus penganalisisan ini adalah cerpen, terlebih dahulu akan coba dipaparkan

pengertian cerpen itu sendiri.

H.B. Jassin mendefinisikan cerpen atau cerita pendek sebagai cerita yang pendek.

Pendeknya cerita pendek menurutnya memang masih diperdebatkan, tetapi cerita yang seratus

halaman panjangnya sudah tentu tidak dapat disebut cerita pendek dan memang tidak ada

cerita pendek yang demikian panjangnya. Menurutnya pula, cerita yang panjangnya sepuluh

atau dua puluh halaman masih dapat disebut cerita pendek, tapi ada juga cerita pendek yang

panjangnya hanya satu halaman (1983: 69). Mengenai panjang atau pendeknya cerita pendek,

Richard Summers (1948: 27) menekankan keriteria pendek itu biasanya terdiri dari 500

hingga 40.000. Pernyataan Summers tersebut mungkin akan mengaburkan perbedaan cerpen

dan novel karena 40.000 kata dapat dikategorikan menjadi cerita yang cukup panjang.

Kekaburan mengenai perbedaan cerpen dan novel tersebut dapat dijawab dari pernyataan H.B.

Jassin yang berbunyi, “Kalau roman ceritanya melingkungi seluruh kehidupan, cerita pendek

hanya sesuatu kejadian saja dalam kehidupan yang luas itu.” Kemudian, Ia juga menyatakan

bahwa cerita pendek harus lebih padu dari roman (1983: 69—71).

Cerita pendek sebagai sebuah karya sastra tentu memiliki sebuah gagasan. Gagasan,

ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra disebut juga dengan tema

(Sudjiman, 1987: 50). Tema sebagai sebuah gagasan yang mendasari karya (cerpen) dapat

didukung oleh pelukisan latar, atau dalam karya yang lain tersirat dalam tokoh dan

penokohan. Kadang pula tema menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu

alur (Sudjiman, 1988: 51). Oleh karena itu, pengkajian tema tentunya akan melibatkan unsur

penting lain dalam karya seperti, latar, alur, dan penokohan—pendekatan struktural.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 5: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

5  

 

Analisis dalam makalah ini memfokuskan penelaahan pada sejumlah cerpen yang

dianggap menyuarakan kritik sosial-politik terhadap pemerintahan pada masa itu. Dengan

demikian, pengkajian tema atau gagasan dalam cerpen-cerpen tersebut cenderung lebih

menitikberatkan pada pendekatan kontekstual. Hal itu disebabkan karya sastra tidak dapat

dipisahkan dari pengaruh pengarang sebagai pembuat karya. Ronald Tanaka (1976)

mengatakan bahwa teks tidak jatuh dari langit. Di sekeliling teks ada berbagai persoalan

sosial, politik, ekonomi, budaya, yang melatarbelakangi dan melatardepani kelahiran teks,

penerbitan karya sastra (dalam Mahayana, 2007: 6). Hal yang senada juga diungkapkan oleh

Sapardi Djoko Damono bahwa karya sastra tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan oleh

sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Menurutnya pula, sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah

sesuatu kenyataan sosial sehingga sah apabila kita memasalahkan pengaruh timbal balik

antara sastra, sastrawan, dan masyarakat (2010: 1). Selain itu, karya sastra yang dimuat dalam

sebuah majalah dapat saja memiliki keterkaitan dengan ideologi dari majalah tersebut. Hal itu

disebabkan karya sastra memang pada saatnya dapat menjadi sebuah alat penyebarluasan

ideologi (Damono, 2010: 105).

Studi sosiologi terhadap sastra menurut Rene Wellek dan Austin Warren dapat,

pertama, ditelusuri melalui pengarang dan biografinya sebagai makhluk sosial; kedua, dari isi

karya sastra, tujuan, dan hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri yang berkaitan

dengan masalah sosial; dan ketiga, adalah dari pembaca dan dampak sosial karya sastra itu.

Menurutnya, pengarang juga seorang warga masyarakat yang mempunyai pendapat tentang

masalah-masalah politik dan sosial yang penting, serta mengikuti isu-isu zamannya. Karena

itu, dalam sastra dapat ditelusuri pandangan-pandangan atau ideologi yang muncul dalam

karya sastra. Selain itu, karena pengarang terkadang dalam mengarang sebuah karya

mempertimbangkan siapa pembacanya, studi sosiologi dalam sastra juga harus

mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkan karya (1995: 110—117). Namun, dalam

penelitian ini, penulis akan lebih menitikberatkan pada metode sosiologi sastra yang meninjau

isi karya sastra itu sendiri yang berkaitan dengan masalah sosial. Hal itu dikatakan Wellek

dan Warren sebagai sosiologi karya, yakni mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, atau

potret kenyataan sosial. Menurutnya, sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk

menguraikan ikhtisar sejarah sosial (1995: 122). Akan tetapi, Wellek juga menegaskan bahwa

tidak benar pengarang mengekspresikan kehidupan secara konkret dan menyeluruh dalam

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 6: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

6  

 

karyanya (1995: 110). Oleh karena itu, kita harus bisa menyikapi sastra sebagai sebuah karya

seni bukan sebuah gambaran kehidupan yang utuh.

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penelitian

kualitatif. Menurut Sugiyono (2008: 1) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian

yang digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah, teknik pengumpulan data

dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Selanjutnya, Sugiyono juga

menerangkan bahwa data alamiah merupakan data yang tidak dibuat-buat (berdasar dari yang

sudah ada), dan analisis induktif merupakan analisis dari data-data yang kemudian

dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Metode penelitian seperti ini oleh Nyoman

Kutha Ratna disebut pula sebagai metode deskriptif-analitik, yakni metode yang dilakukan

dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta atau data-data yang kemudian disusul dengan

analisis (Ratna, 2007: 53)

Penelitian ini berfokus pada cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—

1960 dan 1966—1974. Dibatasinya fokus penelitian ini hanya pada Pandji Masjarakat tahun

1959—1960 dan 1966—1974 karena kedua periode tersebut merupakan periode yang sangat

berpengaruh pada pandangan majalah ini mengenai keadaan sosial-politik masa itu. Tahun

1959—1960 merupakan tahun ketika majalah ini merasakan tekanan dari pemerintahan Orde

Lama dalam menyampaikan aspirasinya. Sementara itu, tahun 1966—1974 merupakan

periode awal Pandji Masjarakat setelah terbit kembali, juga pada tahun tersebut Orde Lama

telah runtuh dan Orde Baru berada pada awal mulanya sehingga kebijakan pada saat itu juga

dirasa turut mempengaruhi pandangan yang muncul dari cerpen-cerpen majalah ini. Tidak

hanya itu, majalah ini selama periode 1959—1960 dan 1966—1974 mengusung semboyan

“penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”

sehingga penulis juga membatasi penelitian tersebut dengan pertimbangan masih berada

dalam periode yang mengusung semboyan tersebut.

Setelah pembatasan tahun, penulis juga mencoba membatasi cerpen yang akan

dianalisis sebagai sampel. Pertimbangan pemilihan sampel ini didasarkan pada cerpen-cerpen

yang dilihat memiliki kecenderungan tema atau kritik sosial-politik. Dengan demikian,

penulis memilih tujuh cerpen yang dilihat memiliki tema sosial-politik, yakni cerpen

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 7: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

7  

 

“Turunnja Sebuah Ilham”, “Dia dan Kemauannya”, “Ia Selalu Senjum”, “Laporan Pertama”,

“Di Tengah Sawah”, “Djandji Anak-anakku”, dan “Tanggul”.

Penelitian ini sendiri diawali dengan mengumpulkan data, yakni cerpen-cerpen dalam

Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974. Cerpen-cerpen tersebut, yang disebut

sebagai data primer, kemudian ditelaah secara tematik. Penelaahan secara tematik tersebut

memungkinkan penulis untuk menganalisis data tersebut dengan metode struktural (intrinsik)

dan sosiologis (ekstrinsik). Selanjutnya, tujuh cerpen yang menjadi sampel akan ditelaah lebih

mendalam dengan menitikberatkan pada penggunaan pendekatan sosiologis. Selain itu,

penelitian ini juga akan sedikit mengulas perjalanan Pandji Masjarakat serta kolom

kesusastraannya, yang merupakan konteks yang mungkin mempunyai pengaruh pada cerpen-

cerpen yang diteliti. Dari langkah-langkah itu, penulis akan mendapatkan sebuah kesimpulan

yang dapat dijadikan sebagai pengetahuan baru dalam perkembangan kesusastraan Indonesia,

terutama kesusastraan yang diterbitkan lewat media, seperti koran dan majalah.

4. Pandji Masjarakat dan Kesusastraan

Seperti telah dikatakan sebelumnya, Pandji Masjarakat terbit di tahun 1959 dan

sempat dibredel pada tahun 1960 karena memuat artikel Moh. Hatta yang berjudul

“Demokrasi Kita”. Majalah ini kemudian terbit kembali tahun 1966 hingga tahun 2003.

Selama itu, Pandji Masjarakat terus menghadapi situasi yang berbeda, juga berganti struktur

keredaksian dan semboyan.

Oleh karena itu, di bawah ini penulis akan memaparkan profil Pandji Masjarakat

tahun 1959—1960 dan 1966—19744 beserta dengan perkembangan rubrik sastra dan

pemuatan karya di dalamnya.

4.1 Profil Pandji Masjarakat 1959—1960 dan 1966—1974

Pada tanggal 15 Juni 1959, didirikanlah sebuah majalah berbasis Islam yang dinamai

Pandji Masjarakat. Majalah ini berdiri atas prakarsa Moh. Faqih Usman, Hamka, Jusuf

Abdullah Puar, dan M. Jusuf Ahmad.5 Keempat pemrakarsa majalah ini sejatinya merupakan

                                                                                                                         4   Pembatasan ruang lingkup waktu tersebut disebabkan penelitian ini, seperti yang dipaparkan

sebelumnya, hanya berfokus pada Pandji Masjarakat yang terbit tahun 1959—1974, yang pada saat itu masih bersemboyan “penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”.  

5 Keempat pemrakarsa majalah Pandji Masjarakat ini kemudian duduk sebagai pengurus inti dalam keredaksian majalah ini. Moh. Faqih Usman duduk sebagai pemimpin umum, Hamka dan Jusuf Abdullah Puar duduk sebagai pemimpin redaksi, dan M Jusuf Ahmad duduk sebagai pemimpin usaha. Namun, pada edisi majalah yang ke-12, Jusuf Abdullah Puar mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi. Karena itu, dari edisi majalah yang ke-13 hingga ke-33, Hamka duduk sendiri sebagai pemimpin redaksi.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 8: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

8  

 

sekumpulan teman lama yang pernah menerbitkan majalah-majalah Islam yang cukup

populer, yakni majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat. Karena itu, dengan

diterbitkannya majalah ini, mereka seolah membangun kembali cita-cita mereka sebagai

manusia yang mencintai kebudayaan dan pengetahuan yang berasaskan Islam.

Majalah yang juga dikenal dengan Pandjimas ini dapat dikatakan berorientasi pada

organisasi Muhammadiyah. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendiri majalah ini, yang

merupakan orang-orang yang menjadi pimpinan majalah Pandji Islam dan Pedoman

Masjarakat. Hal itu dilandaskan para pendapat Abdurrachman Surjomihardjo yang

menyebutkan bahwa majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat merupakan majalah

yang membawa suara Muhammadiyah (1980: 80).

Orientasi pada organisasi Muhammadiyah membuat majalah ini juga memiliki

pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri

merupakan organisasi sosial-kemasyarakatan Islam yang modernis (Sjadzali, 2001: 3). Islam

modernis dapat diartikan sebagai Islam yang lebih rasional atau tidak akliah (2001: 155).

Sebagai organisasi Islam modernis, Muhammadiyah mengembangkan etos atau sikap tajdid

(pembaruan, reformasi, dan purifikasi). Selain itu, Muhammadiyah juga senantiasa kukuh

mempertahankan identitas sebagai gerakan Islam dan dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar,

juga mendasarkan pandangan pada Al-quran dan Sunah (Baraas, dkk, 2000:32—33).

Pandangan Pandji Masjarakat yang selaras dengan pandangan Muhammadiyah

tersebut sebenarnya cukup tercermin pada semboyannya sebagai “penyebar kebudayaan dan

pengetahuan untuk perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”. Dengan semboyan tersebut,

majalah ini berusaha menyajikan artikel-artikel yang oleh Moh. Faqih Usman disebut artikel

bermuatan gerakan “tajdid”6 dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan. Oleh karena itu,

majalah Pandji Masjarakat ini berusaha melihat segala sesuatu dari bidang pengetahuan dan

kebudayaan. Kalaupun ada pemuatan artikel-artikel yang berbicara mengenai kenegaraan, itu

akan dilihat dari segi yang menjadi bidangnya, yakni pengetahuan dan kebudayaan (Usman,

1960: 3).

Pemuatan artikel-artikel yang berdasarkan pandangan tajdid itu dapat dilihat dari

beberapa artikel, seperti “Orthodox dan Modernisasi” karya Hamka, “Perbandingan Alam

Pikiran Islam Moderen di Indonesia dan Mesir” karya A. Mukti Ali, dan “Islam Mentjapai                                                                                                                          

6  Gerakan tajdid merupakan gerakan pembaruan dalam kalangan umat Islam yang berhaluan modern yang kemudian membawa gerakan-gerakan kemerdekaan dan kemajuan hidup (Usman, 1960: 3). Gerakan tajdid ini tentunya selaras dengan gerakan tajdid yang disuarakan Muhammadiyah, yakni yang membawa pembaruan, reformasi, dan purifikasi.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 9: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

9  

 

Masjarakat Bahagia”. Artikel-artikel tersebut merupakan artikel yang membawa semangat

kebaruan dalam pemikiran Islam.

Selain artikel-artikel tersebut, terdapat pula beberapa artikel yang secara langsung

maupun tidak langsung turut mengkritik keadaan zaman itu, seperti “Dasar Parlementer dan

Demokrasi dalam Islam” karya Wiranta Koesoemah, “Tantangan dan Djawaban” karya Ali

Audah, dan “Machiavellisme dan Khaldounisme” karya Amir Ma’sum. Namun dari seluruh

artikel yang menyuarakan aspirasinya tentang kehidupan sosial-politik saat itu, artikel karya

Moh. Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” lah yang paling disorot pemerintah. Artikel ini

menyoroti pemerintahan Soekarno yang dianggap “diktator” dan “krisis” (Hatta, 1960: 3).

Sikap oposisi dari artikel yang dimuat oleh Muhammad Hatta ini, serta beberapa artikel yang

bernada subversif, membuat Pandji Masjarakat kemudian dibredel di akhir tahun 1960.

Selepas runtuhnya Orde Lama bersamaan dengan Gestapu, Orde Baru didirikan.

Penpres no. 6/1963 dicabut secara resmi dan digantikan dengan UU No. 11/1966

(Surjomihardjo, 1980: 150—151). Dicabutnya Penpres no. 6/1963 tersebut membuat beberapa

surat kabar yang sempat dibredel dapat terbit kembali, salah satunya Pandji Masjarakat.

Majalah Pandji Masjarakat terbit kembali, setelah dibredel di penghujung tahun 1960,

pada tanggal 1 Oktober 1966 dengan Surat Ijin Terbit (SIT) No. 0487/SK/Dirdjen

PPG/SIT/1966. Sebelum itu, Hamka, M. Jusuf Ahmad, Syafril Umar Ali, Hasjim St.

Pamenan, dan Rusjdi Hamka mendirikan Yayasan Nurul Islam sebagai badan hukum penerbit

majalah Pandji Masjarakat (Noorsy, 1993: 44). Struktur keredaksian mengalami sedikit

perubahan. Mesipun begitu, visi, semboyan, dan ideologi majalah ini tetap sama.

Semenjak Orde Lama runtuh, suara-suara lantang yang dikeluarkan sebagai kritik

terhadap Orde Lama banyak dimuat di majalah ini. Salah satunya adalah artikel “Orde Baru

dan Orde Lama” karya Sumarsono. Artikel tersebut menyuarakan betapa bobroknya sistem

yang ada dalam Orde Lama. Selain itu, artikel tersebut juga menyatakan bahwa Orde Lama

merupakan bentuk dari berbagai penyelewengan baik sosial, politik, maupun ekonomi

(Sumarsono, 1966: 26). Berkebalikan dengan sikapnya terhadap pemerintahan Orde Lama,

pada awal terbit kembali, Pandji Masjarakat dan majalah-majalah Islam lainnya menyatakan

harapan besarnya pada Orde Baru. Dalam artikel yang berjudul “Madjalah Islam dan Orde

Baru” disebutkan bahwa dengan ditumbangkannya Orde Lama dan dibentuknya Orde Baru,

kebebasan berpendapat dapat dijunjung tinggi dan tidak ada tali pengekang lagi yang dapat

membredel majalah Islam (Sumarsono, 1967: 18—19). Meskipun tidak terus menerus

memuji-muji Orde Baru, Pandji Masjarakat hingga terbit tahun 1974, tidak pernah

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 10: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

10  

 

menyatakan kritik-kritik dan pernyataan yang ofensif dan subversif terhadap Orde Baru.

Karena itu, majalah ini dapat terus bertahan di antara berbagai majalah yang satu persatu

dibredel pada awal tahun 1974.

4.2 Rubrik Sastra Majalah Pandji Masjarakat Tahun 1959—1960 dan 1966—1974

Sebagai majalah yang bergerak dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan Islam,

majalah Pandji Masjarakat juga mempunyai rubrik yang memuat karya-karya sastra. Rubrik

sastra tersebut, selama periode 1959—1960 dan 1966—1974, tidak ditampilkan secara

konsisten dan sering berubah-ubah namanya. Pada awalnya rubrik sastra tersebut tampil

dengan nama “Bahasa dan Sastera”, kemudian berubah menjadi “Sadjak-sadjak Kebangkitan

Angkatan 1966” pada tahun 1966, kemudian berubah lagi menjadi “Lembaran Seni dan

Budaja”, hingga terakhir menjadi “Lembaran Sastra dan Seni”. Meskipun sering berubah-

ubah, rubrik sastra tersebut telah banyak menerbitkan berbagai bentuk karya sastra seperti

puisi, prosa, maupun drama. Tidak hanya itu, Rubrik sastra dalam majalah ini juga telah

banyak menampilkan pengarang-pengarang dan penyair-penyair baru yang tidak pernah

tercatat dalam catatan H.B. Jassin, seperti Ndang Adi Nusantara, Saiful Huda, Sutadyananta,

dan Abdulhafiz Rafie.

Rubrik sastra majalah Pandji Masjarakat ini menampilkan puisi, prosa dan drama

dengan intensitas yang berbeda-beda. Puisi menjadi genre sastra yang paling banyak

diterbitkan oleh majalah ini. Sejak tahun 1959 hingga tahun 1974, lebih dari dua ratus puisi

telah diterbitkan dalam rubrik sastra majalah ini. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah

yang tidak dapat ditemukan oleh penulis. Puisi-puisi yang diterbitkan oleh majalah Pandji

Masjarakat ini lebih banyak didominasi oleh penyair-penyair baru, seperti Hasyim K.S.,

Muhammad Bilal, Ndang Adi Nusantara, Slamet Rahardjo Rais, Basriyan, dan Badruzzaman

Busyairi. Akan tetapi, penyair-penyair yang sudah lebih dulu dikenal, seperti Taufik Ismail,

Bur Rasuanto, Marwan Saridjo, dan M. Saribi Afn juga tidak jarang muncul.

Berbeda dengan puisi, penerbitan prosa dalam rubrik sastra majalah Pandji

Masjarakat cenderung lebih sedikit. Selama periode 1959 hingga 1974, penulis hanya

menemukan empat puluh buah prosa yang terdiri dari satu fragmen dan 39 cerpen. Dalam hal

pemunculan nama-nama pengarangnya, prosa juga beberapa kali memunculkan nama-nama

baru seperti Abdulhafiz Rafie, Nasiv H.A., Moechith Ilham, dan M. Rasjid Nur. Akan tetapi,

pengarang-pengarang yang lebih dikenal seperti Djamil Suherman, B. Sularto, M. Saribi Afn,

Marwan Saridjo, dan Junus Mukri Adi juga sering ditampilkan karya-karyanya.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 11: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

11  

 

Jika penerbitan puisi mencapai angka lebih dari dua ratus dan prosa mencapai empat

puluh buah, penerbitan drama jauh lebih sedikit. Selama periode 1959 hingga 1974, penulis

hanya menemukan tujuh drama. Ketujuh Drama itu pun didominasi oleh nama-nama yang

telah dikenal di kancah kesusastraan Indonesia, seperti Djamil Suherman, Taufik Ismail, dan

Mohammad Saribi.

5. Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun

1959—1960 dan 1966—1974 Seperti telah disebutkan dalam pendahuluan, karya-karya sastra majalah Pandji

Masjarakat sebagian memiliki kecenderungan merespon keadaan zaman. Namun, karena

penulis hanya berfokus pada karya sastra yang berbentuk cerpen, dalam subbab ini, penulis

akan memaparkan kecenderungan tematik cerpen-cerpen Pandji Masjarakat dan tendensi

tema sosial-politik cerpen-cerpen majalah tersebut tahun 1959—1960 dan 1966—1974.

5.1 Kecenderungan Tematik Cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—

1960 dan 1966—1974

Pandji Masjarakat, seperti telah disebutkan, selama periode tahun 191959—1960 dan

1966—1974, mengusung semboyan “penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk

perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”. Semboyan itu merupakan semboyan yang oleh

M. Faqih Usman disebut beraroma tajdid yang khas dengan Islam Modernis. Semboyan yang

bernada tajdid tersebut secara tidak langsung mempengaruhi ideologi majalah Pandji

Masjarakat. Ideologi itulah yang secara tidak langsung juga mempengaruhi isi majalah

tersebut, termasuk cerpen-cerpen di dalamnya. Oleh karena itu, tema cerpen-cerpen majalah

Pandji Masjarakat ini tentu tidak akan menyimpang dari ideologi Islam yang modernis.

Dalam lingkup tahun 1959—1960, Pandji Masjarakat memiliki cerpen-cerpen yang

didominasi oleh tema-tema keagamaan dan ketuhanan. Sementara itu, semenjak terbit

kembali pada tahun 1966 hingga tahun 1974, tema-tema yang ditampilkan oleh cerpen-cerpen

Pandji Masjarakat lebih beragam, walaupun cara penyajian ceritanya masih banyak yang

dibalut dengan kehidupan keagamaan. Secara keseluruhan, tema yang muncul pada cerpen-

cerpen majalah Pandji Masjarakat dari tahun 1959—1960 dan 1966—1974 dapat diuraikan

menjadi tema keagamaan, modernisasi, eksistensialisme, kehidupan keluarga (domestik),

pergolakan zaman perjuangan, dan sosial-politik.7

                                                                                                                         7  Dalam penggolongan tema ini, dapat dimungkinkan sebuah cerpen memiliki dua tema yang berbeda.

Karena itu, dalam pembahasan kecenderungan tematis ini, sebuah cerpen bisa saja dimasukkan atau digolongkan

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 12: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

12  

 

Kecenderungan tematik yang ada dalam cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat

tahun 1959—1960 dan 1966—1974 dapat dilihat dalam poin-poin berikut.

a. Tema keagamaan merupakan tema yang paling dominan dalam cerpen-cerpen majalah

Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974. Tema keagamaan yang

muncul dalam cerpen-cerpen majalah tersebut memiliki bentuk penyajian cerita yang

berbeda-beda. Umumnya bentuk cerita yang bertema keagamaan memiliki balutan

keagamaan yang kental dengan menempatkan latar serta watak tokoh yang religius

ataupun Islami. Cerpen-cerpen yang memiliki kecenderungan tersebut di antaranya

“Kebaktian Anak” karya Moechith Ilham, “Awal Sekolah Mengadji” karya Piek

Ardijanto Suprijadi, dan “Kesunyian Mendjelang Ashar” karya Djamil Suherman.

Akan tetapi, terdapat pula tema keagamaan yang menyajikan atau memposisikan hal-

hal berbau keagamaan sebagai pemecah masalah. Cerpen-cerpen yang memiliki

kecenderungan seperti itu di antaranya “Putri Zulecha” karya Junus Mukri Adi “Gadis

Pembawa Puisi” karya Nurcholis Huda, dan “Sebuah Tas Hitam” karya A.G Mustopa.

b. Tema Modernisasi dalam cerpen-cerpen Pandji Masjarakat merupakan tema yang

menonjolkan perbedaan antara modern dan tradisional. Perbedaan modern dan

tradisional itu ditonjolkan melalui penokohan dengan memperlihatkan adanya dialog

antara watak tokoh yang mempunyai pola pikir tradisional dan pola pikir modern. Hal

tersebut dapat dilihat dalam cerpen “Ketjemburuan Orang Tua” karya Usman Al

Hudawy dan “Bang Sikur Berpesta Pora” karya Abdulhafiz Rafie. Namun, tema

modernisasi juga ada yang ditampilkan dalam bentuk penyalahartian pemikiran

modern, seperti yang ditunjukkan oleh cerpen “Hostess” karya Abdulhafiz Rafie.

c. Tema eksistensialisme merupakan tema yang menyoal tentang keberadaan manusia

atau Tuhannya. Dalam cerpen-cerpen Pandji Masjarakat ini, tema Eksistensialisme

disajikan dalam bentuk dialog. Dialog antara pandangan yang materiil dan pandangan

yang religius. Hal tersebut dapat dilihat melalui cerpen “mentjari Kebenaran” karya Ki

Agus Soeryo.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           ke dalam dua subtema yang berbeda. Meskipun demikian, sebuah cerpen tetap mempunyai tema utama atau gagasan yang menonjol sehingga dalam hal ini penulis mempunyai alasan tersendiri untuk memasukkan sebuah cerpen dalam subtema tertentu. Misalnya, cerpen “Djandji Anak-anakku” adalah cerpen yang menyajikan cerita tentang kehidupan domestik, tetapi karena dalam cerpen terdapat gagasan sosial-politik yang cukup kuat, penulis memasukkan cerpen tersebut dalam tema sosial-politik.  

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 13: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

13  

 

d. Tema kehidupan keluarga (domestik) merupakan tema yang menunjukkan kehidupan

berkeluarga dan beberapa masalah di dalamnya. Dalam cerpen-cerpen majalah Pandji

Masjarakat ini, tema kehidupan keluarga menyajikan tokoh yang mengalami konflik

di dalam lingkup keluarganya. Hal tersebut dapat dilihat dalam cerpen “Buah-buah

pertama” dan “Kita Akan Mendapatkan Tanah Itu”

e. Tema pergolakan Zaman Perjuangan dalam cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat

merupakan tema yang menyoroti kehidupan zaman penjajahan maupun zaman

revolusi, ketika Indonesia masih berjuang mendapatkan kemerdekaannya. Tema

seperti itu terdapat dalam cerpen “Guru Mengaji Kami” karya Moechith Ilham dan

“Tahun 2603” karya Nasiv H.A.

f. Tema sosial-politik dalam hal ini penulis maksudkan sebagai gagasan yang berkenaan

dengan masalah sosial yang mempunyai hubungan erat dengan masalah politik. Dalam

cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974,

terdapat tujuh cerpen yang mengindikasikan bertema sosial-politik, yakni “Turunnja

Sebuah Ilham”, “Dia dan Kemauannya”, “Ia Selalu Senjum”, “Laporan Pertama”, “Di

Tengah Sawah”, “Djandji Anak-anakku”, dan “Tanggul”.

5.2 Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun

1959—1960

Setelah melakukan penelaahan secara tematik terhadap semua cerpen yang dimuat

dalam majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974, penulis mengambil

sampel tujuh cerpen yang bertema sosial-politik sebagai sejumlah cerpen yang menyuarakan

respon terhadap keadaan zamaannya. Dari ketujuh cerpen yang bertema sosial-politik, dua

diantaranya diterbitkan pada majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—1960, yakni cerpen

“Turunnja Sebuah Ilham” karya Djamil Suherman dan “Dia dan Kemauannja” karya M.

Rasjid Nur”.

Cerpen-cerpen bertema sosial-politik pada Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 ini

menampilkan kritik atau gagasan sosial-politiknya secara halus. Kedua cerpen tersebut

mencoba menampilkan kritik terhadap keadaan sosial-politik zamannya melalui pelukisan

latar sosial dari tokoh-tokohnya, yakni kehidupan sosial yang serba susah. Meskipun

demikian, kritik atau gagasan itu dibalut dengan warna dan pesan religius yang cukup kental.

Konflik yang ditampilkan juga lebih menyoroti dialog antara tokoh utama dengan keluarga

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 14: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

14  

 

mereka maupun dirinya sendiri yang mempermasalahkan hal-hal yang terjadi dalam

kehidupan keluarga mereka.

Hal tersebut dapat dilihat dalam deskripsi maupun dialog yang ditampilkan dalam

kedua cerpen tersebut. Misalnya saja, pada cerpen “Turunnja Sebuah Ilham”, terdapat

gagasan sosial-politik yang ditunjukkan melalui deskripsi atau penokohan Hafid sebagai

seorang pengarang yang serba kekurangan. Deskripsi tersebut mengandung suasana yang

religius karena adanya latar maupun watak tokoh itu sendiri yang menunjukkan hal-hal

bernuansa keagamaan. Deskripsi tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Ia tahu Hafidah, Isterinja sedang hamil tua, dan ia dapat mengirakan mendjelang idulfitri nanti sang baji bakal lahir. Ini berarti ia bakal djadi seorang bapak dari empat anak. Tentu sadja hadirnja hamba Allah itu akan memerlukan banjak uang untuk ongkos dukun dan djamu2, disamping, (ah, ini beban lagi), hari lebaran, jang mau takmau seorang kampung ia mesti dapat menjesuaikan dirinja (Suherman, 1960: 31).

Kutipan tersebut merupakan deskripsi isi pikiran Hafid yang sedang memikirkan

kondisi keluarganya. Hafidah adalah istri Hafid yang sebentar lagi akan melahirkan anak

keempat mereka. Karena itu, Hafid membutuhkan biaya untuk ongkos dukun maupun obat-

obatan (jamu). Dari kutipan kalimat di atas, dapat disimpulkan bahwa Hafid memiliki

masalah dengan keadaan ekonomi keluarganya. Masalah ekonomi tersebut sangat

membebaninya. Kutipan tersebut seolah mengisyaratkan sebuah kritik terhadap pemerintahan

Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Pada saat itu, keadaan ekonomi Indonesia sedang

memburuk. Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya, Sejarah Nasional Indonesia, mengatakan

bahwa sejak periode Demokrasi Terpimpin keadaan neraca perdagangan Indonesia belum

menampakkan suatu kemajuan, malahan telah menunjukkan perkembangan yang lebih

memburuk. Akibatnya, indeks biaya hidup menunjukkan perkembangan yang semakin

menaik (1975: 109).

Pada cerpen “Dia dan Kemauannja”, pesan dan kritik sosial-politik terhadap zamannya

juga masih terlihat dalam deskripsi keadaan sosial masyarakatnya yang serba kekurangan.

Akan tetapi, dalam cerpen ini, sisi religiositas cerpennya ditunjukkan oleh penokohan Nana

yang senantiasa tabah, sabar, dan terus berada di jalan Tuhan. Hal itu dapat dilihat dalam

kutipan berikut.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 15: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

15  

 

Seminggu lamanja dia tidak pulang2. Berkirim wangpun dia tidak. Isterinja selalu meratap tanpa air mata lagi—membudjuk ketiga anaknja jang telah berlatih dalam kepahitan hidup.

Sekali malam hudjan turun lebat. Beras jang dapat dipindjam dari tetangga hanja tjukup makan untuk seorang anaknja. Ismed anaknja jang sulung, batuknja semakin mendjadi. Malam jang hanja digendangi runtuhan hudjan pada atap, mengetjilkan batuk Ismed jang beruntun2 (Nur, 1960: 26).

Kutipan tersebut memperlihatkan kepahitan Nana dan anak-anaknya ketika ditinggal

Irwan ke luar kota. Dari kutipan tersebut disebutkan bahwa Irwan sama sekali tidak

mengirimkan uang. Dengan demikian, Nana tidak bisa mengharapkan materi apa pun dari

suaminya. Ia harus meminjam beras ke tetangga untuk memenuhi kebutuhannya. Ia juga harus

menenangkan anak-anaknya, termasuk Ismed, anaknya yang sakit. Deskripsi yang

menyebutkan bahwa beras yang dipinjam dari tetangganya hanya cukup untuk makan satu

anaknya mengisyaratkan sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan pada tokoh Nana dan

anaknya. Kondisi kemiskinan seperti ini seolah mengkritik pemerintahan yang tidak mampu

mengatasi masalah kemiskinan. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan Hamka dalam rubrik

“dari hati ke hati” yang terbit pada Pandji Masjarakat nomor 3 tahun 1966. Ia mengatakan

pada masa itu, Orde Lama, banyak rakyat yang disuruh makan batu, sedangkan para pejabat

makan roti, mentega, keju, dan kemewahan lainnya (1966: 4).

5.3 Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun

1966—1974

Jika dua cerpen bertemakan sosial-politik yang terbit pada Pandji Masjarakat tahun

1959—1960 cenderung menampilkan kritik lebih tersirat, empat cerpen bertema sosial-politik

pada Pandji Masjarakat tahun 1966—1974 seperti “Laporan Pertama”, “Ia Selalu Senjum”,

“Di Tengah Sawah”, dan “Tanggul” berkecenderungan menampilkan kritik atau gagasan

sosial-politiknya secara lebih terbuka atau gamblang. Gagasan-gagasan mengenai

permasalahan sosial-politik ditampilkan sebagai konflik dan ide utama dari cerpen tersebut.

Walaupun demikian, ada satu cerpen, yakni “Djandji Anak-anakku” yang menampilkan

kritiknya secara lebih halus, dengan menampilkan gagasan itu dibalik permasalahan domestik.

Contoh salah satu cerpen yang cukup gamblang menampilkan kritiknya adalah cerpen

“Ia Selalu Senjum” karya B. Sularto. Cerpen ini cukup unik. Cerpen ini merupakan satu-

satunya cerpen yang ditemukan penulis dalam majalah Pandji Masjarakat sebagai cerpen

yang mempunyai catatan kaki di akhir cerpennya. Catatan kaki tersebut berbunyi seperti

berikut.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 16: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

16  

 

Tjerpen ini adalah kritik terhadap regime demokrasi-terpimpin jang setjara paksa terus-menerus memeras kekajaan rakjat, membikin berantakan perekonomian rakjat. Dan memaksa pengorbanan rakjat terus menerus dengan dalih “demi revolusi jang belum selesai” dan demi tertjapainja masjarakat sosialis NASAKOM, jang hakikatnja suatu praktek politik-sosial menurut konsepsi PKI. Tjerpen ini dimasa pra-gestapu, tidak mungkin bisa dipublikasi. Ditjipta pada tahun 1960 (Pandji Masjarakat edisi 15/I/Mei 1967).

Dari kutipan catatan kaki tersebut, cerpen ini jelas sekali diterbitkan untuk mengkritik

keadaan pada zaman Orde Lama. Catatan kaki ini seolah dibuat untuk menegaskan pesan-

pesan yang ingin disampaikan dalam cerpen. Hal tersebut jelas merupakan salah satu upaya

dari redaksi Pandji Masjarakat untuk turut mengkritik keadaan Orde Lama, meskipun

sebenarnya keberadaan catatan kaki tersebut hanya akan mengurangi nilai kesastraan dari

karya tersebut.

Sementara itu, cerpen itu sendiri menceritakan keadaan mbah Blantik yang terus

menderita karena kebijakan pemerintah. Mbah Blantik diceritakan harus bersabar karena

“Sang Gajah” dan “Sang Macan” ditarik dari peredaran. Berikut kutipan fragmen yang

menceritakan hal tersebut.

Di suatu tengah-hari sebuah pengumuman menjendatkan sjarap-sjarap sjantungnja pada ketegangan. Pengumuman bahwa Sang Gadjah dan Sang Matjan dibantai angka nolnja jang terahir, masing-masing dikebiri nilainja. Dan berpuluh lembar djenis kedua hewan jang tersimpan dalam peti-besinja tidak luput dari pembantaian.

-Kenapa musti ada tindakan begitu? Tanjanja pada pak Lurah, sobat baiknja. -Maksud Pemerintah tidak lain ialah untuk mentjegah merosotnja nilai uang

kita, untuk mentjegah in-plasi. Djadi demi eh demi keselamatan perekonomian rakjat dan Negara dari bentjana itu, pemerinth terpaksa mengambil tindakan mengebiri Sang Gadjah dan Sang Matjan (Sularto, 1967: 25).

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Mbah Blantik merasakan sesuatu yang

membuatnya resah, yakni pengebirian nilai “Sang Gadjah” dan “Sang Matjan”. “Sang

Gadjah” dan “Sang Matjan” dalam cerpen ini tentu bukanlah seekor gajah maupun macan

atau harimau asli. “Sang Gadjah” dan “Sang Matjan”, yang dalam catatan kaki juga

dijelaskan, merupakan mata uang yang memiliki nominal seribu rupiah dan lima ratus rupiah.

Kemudian, pengebirian yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah pemotongan nilai

angkanya (devaluasi).

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 17: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

17  

 

Jika fragmen tersebut ditinjau secara sosiologis, fragmen cerita tersebut dapat

dikatakan sebagai sebuah kritik terhadap kebijakan pemerintah saat itu yang mendevaluasi

beberapa nilai mata uang. Hal tersebut dikatakan Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya Sejarah

Nasional Indonesia jilid VI, sebagai berikut.  

Pada tanggal 24 Agustus 1959 pemerintah mengadakan serangkaian tindakan di bidang ekonomi dan keuangan. Uang kertas yang bernilai Rp. 500,- didevaluasi menjadi Rp. 50,- dan yang bernilai Rp. 1000,- dihapuskan menjadi Rp. 100,-. Semua simpanan dalam bank yang melebihi Rp. 25.000 dibekukan, Bukti Export (BE) dihapuskan dan diganti dengan pungutan export dan pungutan import, serta penilaian kembali bilai rupiah denga valuta asing (Kartodirdjo, 1975: 231).

Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah di era Demokrasi Terpimpin

melakukan sejumlah kebijakan ekonomi dengan cara mendevaluasi mata uang yang

bernominal seribu rupiah dan lima ratus rupiah menjadi seratus rupiah dan lima puluh rupiah.

Selain itu, jumlah tabungan yang melebihi Rp25.000,00 dibekukan. Hal ini tentunya akan

meresahkan dan menyusahkan kehidupan orang kecil (proletar) yang dalam cerpen ini

disimbolkan oleh Mbah Blantik.

Sementara itu, cerpen “Djandji Anak-anakku” merupakan cerpen yang masih

menyampaikan kritik secara halus walaupun cerpen tersebut diterbitkan setelah Orde Lama

runtuh. Cerita ini memang lebih menyoroti kehidupan keluarga, tetapi dalam beberapa

dekripsi dan dialog cerita tersebut tersirat sebuah pesan sosial-politik yang bisa saja dimaknai

sebagai sebuah kritik terhadap pemerintahan yang pernah ada pada zaman itu. Misalnya saja

pada kutipan berikut.

Pada suatu hari, terpaksa aku harus menghadapi mereka. Ketika itu siibu sedang bepergian, dan pemerintahan ruamahtangga diserahkan padaku. Rupanja mereka atjuh tak atjuh menerima keputusan ini. Si A jang menganggap aku sebagai diktator enggan bitjara, dan si T jang kasar itu melihatku seperti melihat lawan partainja.

Belum lagi sedjam aku pegang pemerintahan, suatu huru-hara terdjadi. Si W, laki2 dan sudah duduk di SMP mau menang sendiri dengan adik2nja. (Suherman, 1970: 25)

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa sosok ayah yang memegang tanggung jawab

atas anak-anaknya, dalam cerpen ini, diibaratkan sebagai seorang pemerintah yang sedang

mengemban pemerintahan atas negara dan warganya. Hal tersebut dapat dilihat dari

penggunaan kata-kata “pemerintahan”, “diktator”, ataupun “partai”. Digunakannya kata-kata

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 18: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

18  

 

tersebut oleh pengarang seolah menyiratkan sebuah pesan bahwa pemerintahan, baik dalam

keluarga maupun institusi yang lebih besar seperti negara, memiliki inti yang hampir sama.

Inti dari pemerintahan itu sendiri tentunya tidak lepas dari sesuatu yang telah disebutkan

dalam kutipan sebelumnya, yakni prinsip keadilan dan asas demokrasi (menyesuaikan pikiran

anak atau warga) yang dijunjung oleh pemerintah yang menjabatnya.

6. Kesimpulan

Pandji Masjarakat merupakan majalah pengetahuan dan kebudayaan yang berbasis

Islam. Majalah ini diterbitkan pada 15 Juni 1959 dan sempat dibredel akhir tahun 1960 karena

memuat artikel karya Moh. Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”. Majalah ini kemudian

kembali terbit pada tahun 1966 setelah keruntuhan Orde Lama. Majalah ini terus terbit hingga

tahun 2003. Setelah majalah ini terbit kembali pada tahun 1966, majalah ini berani

menyuarakan aspirasinya dengan lebih gamblang, termasuk kritik-kritiknya terhadap

pemerintahan Orde Lama.

Majalah Pandji Masjarakat ini, selama terbit tahun 1959—1960 dan 1966—1970,

mengusung semboyan “penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk perjuangan reformasi

dan modernisasi Islam”. Semboyan tersebut tidak terlepas dari pengaruh Ideologi

Muhammadiyah yang mengusung gerakan tajdid. Semboyan dan ideologi tersebut

berpengaruh terhadap berbagai jenis rubrik dan tulisan di majalah Pandji Masjarakat ini,

termasuk karya sastra di dalamnya. Oleh karena itu, tema-tema yang muncul dalam karya

sastra majalah ini, khususnya cerpen, juga memiliki keterkaitan dengan ideologi gerakan

tajdid tersebut.

Cerpen-cerpen majalah ini sendiri sebagian besar bertemakan keagamaan. Akan tetapi,

tema-tema seperti eksistensialisme, modernisasi, kehidupan domestik, pergolakan zaman

perjuangan, maupun sosial-politik juga muncul.

Rekam jejak majalah ini yang pernah dibredel dan bersinggungan dengan isu sosial-

politik di Indonesia ternyata memiliki pengaruh terhadap karya-karya sastra, khususnya

cerpen, yang dimuatnya. Selama majalah ini terbit, terdapat sejumlah cerpen yang turut

menyuarakan kritik terhadap kedaan zaman waktu itu. Cerpen-cerpen tersebut antara lain,

“Turunnja Sebuah Ilham”, “Dia dan Kemauannya”, “Ia Selalu Senjum”, “Laporan Pertama”,

“Di Tengah Sawah”, “Djandji Anak-anakku”, dan “Tanggul”. Cerpen yang terbit pada tahun

1959—1960, yakni “Turunnja Sebuah Ilham”, dan “Dia dan Kemauannya”, memiliki

kecenderungan menyampaikan kritik secara lebih tersirat. Hal tersebut diakibatkan pada saat

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 19: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

19  

 

itu kebebasan bersuara dikekang. Semantara itu, cerpen yang terbit pada tahun 1966—1974,

yakni “Ia Selalu Senjum”, “Laporan Pertama”, “Di Tengah Sawah”, dan “Tanggul”,

berkenceduran menyuarakan kritik dengan lebih gamblang, kecuali cerpen “Djandji Anak-

anakku” yang penyampaian kritiknya masih cukup tersirat. Hal tersebut disebabkan pada saat

itu pemerintahan Orde Lama telah runtuh dan Pemerintah Orde Baru belum begitu

mengekang aspirasi pers, sebelum tahun 1974.

Daftar Pustaka:

Ahmad, M. Jusuf. 1960. “Setahun Pandjimas”. Pandji Masjarakat. Ed 25, hlm 5. Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949. “Kata Pengantar Peodjangga Baroe” dalam Kratz, E. Ulrich.

2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Baraas, Ahmad, dkk. 2000. “Mengatasi Tantangan Zaman” dalam Achmad, Nur dan Pramono

U. Tanthowi. (ed). 2000. Muhammadiyah Digugat: Reposisi Di Tengah Indonesia yang Berubah. Jakarta: Kompas.

Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra. Jakarta: Editum. Hamka. 1966. Pantjasilais Munafik. Pandji Masjarakat. Ed 3, hlm 3—4. ______. 1966. “Pandji Masjarakat Terbit Kembali”. Pandji Masjarakat. Ed 1, hlm 2. Hatta, Mohammad. 1960. “Demokrasi Kita”. Pandji Masjarakat. Ed 22, hlm 3—8. Iskandar, Nur Sutan. 1960. “Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia”

dalam Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Jassin, H.B. 1983. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung. _______. 1994. Koran dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Kartodirdjo, Sartono, dkk. 1975. Sejarah Indonesia Modern Jilid VI. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada. Mantik, Maria Josephine. 1981. Cerita Pendek Majalah Pujangga Baru. Jakarta: Skripsi

Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Moeljanto, D.S. dan Taufik Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI

dkk. Jakarta: Mizan dan Republika

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014

Page 20: Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji ...

20  

 

Noorsy, Indi Kurnaini. 1993. Peranan Pers Islam dalam Era Industrialisasi Pers di

Indonesia: Studi Kasus Majalah Amanah dan Pandji Masjarakat. Depok: Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Notosusanto, Nugroho. 1954. “Situasi 1954, Mythe Kelesuan” dalam Kratz, E. Ulrich. 2000.

Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Puar, Jusuf Abdullah. 1960. Posisi Sastera nan Bernafaskan Ketuhanan: Persadjakan Islam

dalam menghadapi Individualisme, Naturalisma, dan Realisme Proletar. Pandji Masjarakat. Ed. 15, hlm 12—14.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme

hingga Poststrukturalime Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 1964. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta; Bhratara. Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Terj. Dede Oetomo.

Jakarta: Balai Pustaka. Sjadzali, Munawir. 2001. “Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharu” dalam Maryadi, M.

A. Fattah Santosa. (ed). 2001. Muhammadiyah: Pemberdayaan Umat?. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV Alfabeta. Sumarsono. 1966. “Orde Baru Versus Orde Lama”. Pandji Masjarakat. Ed 1, hlm 26—28. ______. 1967. “Madjalah Islam dan Orde Baru”. Pandji Masjarakat. Ed 9, hlm 18—19. Summers, Richard. 1948. Craft of The Short Story. New York: Rinehaart & Company. Inc. Surjomihardjo, Abdurrachman, dkk. 1980. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di

Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Penerangan Departemen Penerangan RI.

Usman, Moh. Faqih. 1960. “Pandjimas Melangkah Tahun Jang ke Dua”. Pandji Masjarakat.

Ed 25, hlm 3. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Terj. Melanie Budianta.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014