PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah...

69
PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] A. RAMSES OHEE, warga negara Indonesia, tempat tanggal lahir Asei Besar, 10 Oktober 1931, agama Kristen, pekerjaan Ondofolo, alamat Jalan Isele Waena RT/RW 005/08, Kelurahan Waena, Distrik Abepura, Jayapura; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------- PEMOHON I; B.1. RAMSES OHEE, warga negara Indonesia, tempat tanggal lahir Asei Besar, 10 Oktober 1931, agama Kristen, pekerjaan Ondofolo, alamat Jalan Isele Waena RT/RW 005/08, Kelurahan Waena, Distrik Abepura, Jayapura; 2. YONAS ALFONS NUSI, warga negara Indonesia, tempat tanggal lahir Jayapura, 12 Agustus 1967, agama Kristen, pekerjaan swasta, alamat Jalan Amphibi Hamadi RT. 02/VI, Kelurahan Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Jayapura. Dalam hal ini bertindak masing-masing dan berturut-turut dalam jabatannya selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Organisasi Pejuang Barisan Merah Putih Papua, berkedudukan di Jayapura. Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------- PEMOHON II;

Transcript of PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah...

Page 1: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

PUTUSAN

Nomor 116/PUU-VII/2009

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat

pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Pengujian

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan

oleh:

[1.2] A. RAMSES OHEE, warga negara Indonesia, tempat tanggal lahir Asei

Besar, 10 Oktober 1931, agama Kristen, pekerjaan Ondofolo, alamat

Jalan Isele Waena RT/RW 005/08, Kelurahan Waena, Distrik Abepura,

Jayapura;

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------- PEMOHON I;

B.1. RAMSES OHEE, warga negara Indonesia, tempat tanggal lahir Asei

Besar, 10 Oktober 1931, agama Kristen, pekerjaan Ondofolo, alamat

Jalan Isele Waena RT/RW 005/08, Kelurahan Waena, Distrik Abepura,

Jayapura;

2. YONAS ALFONS NUSI, warga negara Indonesia, tempat tanggal lahir

Jayapura, 12 Agustus 1967, agama Kristen, pekerjaan swasta, alamat

Jalan Amphibi Hamadi RT. 02/VI, Kelurahan Hamadi, Distrik Jayapura

Selatan, Jayapura.

Dalam hal ini bertindak masing-masing dan berturut-turut dalam

jabatannya selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Organisasi

Pejuang Barisan Merah Putih Papua, berkedudukan di Jayapura.

Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------- PEMOHON II;

Page 2: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

2

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 3 Agustus 2009, memberikan kuasa

kepada 1) Amiryun Aziz, S.H. 2) Nurman S. Idrus, S.H., K.N., M.H. 3) A.N.A.

Kusuma Melati, S.H. dan 4) H. Moh. Ferry, S.H. semuanya adalah Advokat pada

kantor Hukum “Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum TRISULA–SOKSI”,

beralamat di Rasuna Office Park YO-8, Rasuna Epicentrum, Jalan H.R. Rasuna

Said, Jakarta 12960; yang dalam hal ini dapat bertindak secara bersama-sama

ataupun sendiri-sendiri;

Selanjutnya ketiganya disebut sebagai ------------------------------ PARA PEMOHON;

[1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;

Mendengar keterangan dari para Pemohon;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pihak Terkait (Gubernur

Provinsi Papua);

Mendengar keterangan Ahli serta para Saksi dari para Pemohon;

Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon;

Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan

surat permohonannya bertanggal 18 Agustus 2009 yang diterima di Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari

Rabu tanggal 19 Agustus 2009 dan diregistrasi pada hari Rabu tanggal 26 Agustus

2009 dengan Nomor 116/PUU-VII/2009, yang telah diperbaiki dan diterima di

Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, tanggal 15 Oktober 2009, menguraikan

hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

melakukan uji materiil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) adalah sebagai

berikut:

Page 3: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

3

1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, berbunyi "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi".

2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, berbunyi "Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil Pemilihan Umum”.

3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkmnah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316,

selanjutnya disebut UU MK) menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar''. Oleh karena

itu, berdasarkan pasal tersebut para Pemohon mengajukan permohonan ini

kepada Mahkamah Konstitusi.

4. Bahwa objek permohanan ini adalah Undang-Undang Nomar 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884),

maka berdasarkan peraturan tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berwenang

memeriksa dan mengadili permohonan ini;

Page 4: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

4

II. PARA PEMOHON DAN KEPENTINGAN PARA PEMOHON

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan: "Pemohon adalah pihak yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara".

2. Bahwa Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa "yang

dimaksud dengan 'hak konstitusional' adalah hak-hak yang diatur dalam

Undang-Undang Dasar 1945".

3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-1II/2005

tertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007

tertanggal 20 September 2007, Mahkamah Konstitusi telah memberikan

penjelasan mengenai hak konstitusional dan kerugian konstitusional sebagai

berikut:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang

dibenikan oleh UUD 1945;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon

dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian;

c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan

aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang

wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian

dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi;

Page 5: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

5

4. Bahwa Pemohon I adalah adalah pemohon perorangan warga negara

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK.

Pemohon I adalah seorang Ondoafi besar (Kepala Adat) Heram-Waena

Jayapura dari salah satu kesatuan masyarakat hukum adat di Jayapura

serta merupakan salah seorang dari pejuang Pepera (Penentuan Pendapat

Rakyat) yang masih hidup, yang dirugikan hak konstitusionainya akibat

alokasi anggota DPRP yang diangkat yang seharusnya diperuntukkan bagi

wakil adat Papua ternyata diisi oleh partai politik.

Dengan demikian, Pemohon I memiliki kedudukan hukum (legal standing)

untuk memperjuangkan agar para wakil adat Papua dapat diangkat sebagai

anggota DPRP, sehingga tujuan utama pemberian otonomi khusus bagi

Provinsi Papua yang menempatkan orang asli Papua sebagai subjek utama

dalam semua bidang pembangunan di tanah Papua dapat tercapai.

5. Pemohon II adalah Pemohon perorangan warga negara Indonesia

sebagaimana termuat dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK. Pemohon II

adalah Organisasi Pejuang Barisan Merah Putih Papua, yang didirikan

berdasarkan akta tertanggal 6 Januari 2009 nomor 04, yang dibuat di

hadapan Suprakoso, S.H. Notaris di Jayapura, yaitu suatu organisasi yang

merupakan gabungan kelompok-kelompok pejuang pembebasan Irian Barat

(Papua), yang terdiri dari:

a. Gerakan Angkatan Pemuda Irian Indonesia (GAPII);

b. Gerakan Merah Putih (GMP);

c. Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat [Dewan

Musyawarah PEPERA (DMP)];

d. Rumpun Tri Komando Rakyat (Rumpun Trikora);

e. Kelompok Organisasi Veteran Irian Barat;

f. Kelompok Pejuang Diplomatik Pembebasan Irian Barat di Perserikatan

Bangsa-Bangsa.

yang telah menyatakan integrasi Papua ke dalam dan menghendaki keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maksud dari pembentukan Organisasi Pejuang Barisan Merah Putih Papua adalah

untuk mempersatukan misi dan visi dari kelompok-kelompok organisasi Pejuang

Page 6: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

6

Pembebasan Irian Barat dari penjajah Belanda yang merebut dan menggagalkan

pemerintah Belanda di Irian Barat dan memenangkan pemerintah Republik

Indonesia di Irian Barat dan menjadi bagian wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang pada masa-masa lalu organisasi kelompok-kelompok pejuang

tersebut kurang berfungsi dan hampir tenggelam.

Tujuan dari Organisasi Pejuang Barisan Merah Putih Papua adalah:

a. untuk mempennudah hubungan timbal batik dalam mencapai misi dan

visi organisasi kelompok-kelompok pejuang baik antara pejuang dengan

organisasi pejuang di tanah Papua maupun antar organisasi pejuang

secara nasional;

b. untuk mempermudah pencapaian misi dan visi untuk kepentingan orang

banyak khusus masyarakat Papua dan masyarakat pejuang dalam

mencapai tercapainya kesejahteraan bersama yang terus meningkat

menuju masyarakat adil dan makrnur berdasarkan Pancasila;

c. untuk mempermudah hubungan timbal batik antara pemerintah dengan

pejuang Papua maupun hubungan dengan pihak-pihak lainnya.

Dengan merujuk kepada Pasal 27 ayat (3) UUD 1945, dapat dikatakan

bahwa Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

memperjuangkan agar para Wakil Adat Papua yang pro Indonesia dapat

diangkat sebagai Anggota DPRP, sehingga tercapai keseimbangan antara

mereka yang menghendaki integrasi dengan Indonesia dan mereka yang

menghendaki pemisahan dengan Indonesia.

Pemohon II adalah organisasi (perkumpulan) yang peduli dan berkepentingan

dengan integrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

dirugikan hak konstitusionalnya, karena pengisian anggota DPRP yang diangkat

yang seharusnya diperuntukkan bagi wakil adat Papua ternyata diambil

seluruhnya oleh partai politik. Pengambilan kursi Anggota DPRP yang

diangkat oleh partai politik merupakan bentuk penyerobotan hak Wakil Adat

Papua yang dapat mengakibatkan konflik antara kelompok separatis yang

menginginkan kemerdekaan dan pro-integrasi kembali semakin meruncing.

Page 7: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

7

Dengan demikian, bahwa Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal

standing) untuk memperjuangkan agar para Wakil Adat Papua yang pro

integrasi dengan Indonesia dapat diangkat sebagai anggota DPRP,

sehingga tercapai keseimbangan antara mereka yang menghendaki

integrasi dengan Indonesia dan mereka yang menghendaki pemisahan

dengan Indonesia.

6. Bahwa para Pemohon memiliki hak konstitusional yang diatur dan dijamin

oleh UUD 1945, yaitu (i) pengakuan dan penghormatan Negara atas

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi,

"Negara mengakui dan menghonnati kesatuankesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dengan undang-undang", (ii) hak untuk turut

berpartisipasi dalam upaya pembelaan negara sebagaimana tercantum

dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap warga negara

berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara", dan (iii) hak

untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif

sebagaimana tercantum dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang

berbunyi, "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

bangsa dan Negaranya”.

7. Bahwa berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya

secara kolektif tersebut dikuatkan lagi dalam ketentuan Pasal 28H ayat (2)

UUD 1945 yang berbunyi, Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama

guna mencapai persamaan dan keadilan” dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945

yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah”.

8. Bahwa selaras dengan hak konstitusional tersebut di atas, terdapat pula

pengaturannya dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Page 8: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

8

tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3886, selanjutnya disebut UU HAM) yang berbunyi, "Setiap orang berhak

untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi

maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya",

dan Pasal 8 UU HAM yang berbunyi, "Perlindungan, pemajuan, penegakan,

dan pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab

Pemerintah''.

9. Bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

menegaskan "DPRP terdiri atas Anggota yang dipilih dan diangkat

berdasarkan peraturan perundang-undangan". Penjelasan Pasal 6 tersebut

menyatakan "cukup jelas". Selanjutnya mengenai apa yang dimaksud

dengan DPRP termuat di dalam Pasal 1 huruf f Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

Menjadi Undang-undang, yang berbunyi, "Dewan Perwakilan. Rakyat

Papua, yang selanjutnya disebut DPRP adalah Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi Papua sebagai badan legislatif Daerah Provinsi Papua".

10. Bahwa Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pada bagian 1.

Umum paragraf 6 berbunyi sebagai berikut:

Hal-hal mendasar yang, menjadi isi Undang-Undang ini adalah:

Pertama : pengaturan kewenangan antara Pernerintah dengan

Pemerintah Provinsi Papua serta penetapan kewenangan

tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;

Kedua : pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua

serta pemberdayaan secara strategis dan mendasar; dan

Ketiga : mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan

berciri .

a. Partisipasi rukyat sebesar-besarnya dalam perencanaan,

Page 9: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

9

pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan

pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui

keikutsertaan para wakil adat, agama dan kaum perempuam

b. Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-

besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli

Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada

umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip

pelestarian lingkungan pembangunan berkelanjutan,

berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan

Keernpat : pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas

dan jelas antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta

Majelis Permusyawaratan Rakyat Papua sebagai representasi

kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan

tertentu.

Selanjutnya Penjelasan bagian 1. Umum paragraf 8 dan 9 Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut:

Undang-undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua

pada umumnya sebagai subjek utarna keberadaan. Pemerintah, Pemerintah

Provinsi, Pemerintah di Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya,

semua diarahkan untuk mernberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan

rakyat. Undang-Undang ini juga mengandung semangat penyelesaian

masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk

menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan

tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi

Papua.

Perjabaran dan pelaksanaan Undang-Undang ini di Provinsi dan

Kabupaten/Kota dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan

semangat berbangsa dan bernegara, yang hidup dalam nilai-nilai luhur

masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan

Penturan Daerah Pravinsi. Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan

Daerah Provinsi adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua yang tidak

Page 10: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

10

mengesarnpingkan peraturan perundang-Undangan lain yang ada termasuk

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pernerintahan Daerah dan

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perirnbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sepanjang tidak diatur dalam

Undang-Undang ini.

11. Bahwa hak para Pemohon untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif dan ikut berpartisipasi dalam

perencanaan, serta pengawasan dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan

pembangunan di tanah Papua menjadi terhalang, karena sejak berlakunya

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, keanggotaan DPRP melalui sistem

pengangkatan dilakukan oleh partai politik, sehingga para Pemohon tidak

dapat diangkat sebagai anggota DPRP. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal

6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 berbunyi, "DPRP terdiri

atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-

undangan" memuat norma hukum yang tidak jelas, bias dan menimbulkan

multi penafsiran.

Berdasarkan Penjelasan bagian Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2001 tersebut, para Pemohon memiliki hak untuk berpartisipasi dalam

perencanaan, dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pelaksanaan pembangunan melalui sistem pengangkatan sebagai anggota

DPRP [vide Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001].

12. Bahwa dengan berlakunya frasa "berdasarkan peraturan perundang-

undangan" yang termuat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 tersebut, hak konstitusional para Pemohon yaitu hak Pemohon

I untuk diangkat sebagai anggota DPRP telah didirugikan, karena tidak

dapat diangkat dalam keanggotaan DPRP untuk periode masa jabatan

2004-2009 dan periode 2009-2014 dan hak Pemohon II yang dirugikan,

karena konflik yang terjadi di antara masyarakat Papua akan menggoyahkan

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, para Pemohon memiliki kepentingan terhadap pengujian

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

Page 11: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

11

35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua. Menjadi Undang-Undang, terutama pengujian Pasal 6 ayat (2).

III. TENTANG POKOK PERKARA

13. Bahwa pada tanggal 21 November 2001 telah diundangkan Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151, selanjutnya disebut UU

Nomor 21/2001) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4884, selanjutnya disebut UU Nomor 35/2008);

14. Bahwa UU Nomor 21/2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35

Tahun 2008 tersebut adalah merupakan pengejawantahan dari Pasal 18B

ayat (1) UUD 1945. Menurut Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, dinyatakan,

bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan

undang-undang". Sebagai perwujudan dari ketentuan tersebut, di Indonesia

terdapat beberapa daerah yang memiliki sifat kekhususan dan/atau sifat

keistimewaan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan perundang-

undangan tersendiri, antara lain Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007

tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara

Kesatuan Republik Indonesia; Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur

dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh;

Provinsi Papua diatur dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan

Page 12: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

12

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang dan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bahwa antara daerah yang satu dengan daerah lain memiliki sifat

Kekhususan dan/atau sifat keistimewaan tersebut di atas, memiliki ciri dan

karakteristik yang berbeda-beda, yang disesuaikan dengan kepentingan dan

kebutuhan daerahnya masing-masing.

15. Bahwa salah satu kekhususan dan keistimewaan dari UU Nomor 21/2001

sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35/2008 adalah memuat

pengaturan mengenai kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial

budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran

yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama,

dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan

kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dan melestarikan

budaya serta lingkungan alam Papua.

16. Bahwa partisipasi masyarakat asli Papua sebagairnana dikemukakan dalam

Penjelasan Bagian Umum paragraf 5 UU Nomor 21/2001 sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 35/2008, pada hakikatnya bermakna keinginan

masyarakat asli Papua untuk ikut serta dalam kehidupan politik yang

berpotensi mempengaruhi proses pembangunan dan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia diantaranya melalui keanggotaan DPRP

dengan sistem pengangkatan.

Dengan ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa keanggotaan DPRP melalui

sistem pengangkatan dimaksudkan untuk memberikan peran memadai bagi

orang-orang asli Papua melalui para wakil adat untuk ikut serta merumuskan

kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dan melestarikan

budaya serta lingkungan alam Papua.

17. Bahwa kekhususan dan keistimewaan tersebut termuat diantaranya dalam

Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001. Pasal 6 ayat (2) menyatakan "DPRP

terrliri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan

Page 13: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

13

perundang-undangan". Berdasarkan ketentuan tersebut, di dalam DPRP

terdapat 2 (dua) jenis keanggotaan, yaitu anggota DPRP yang dipilih melalui

Pemilihan Umum dan anggota DPRP berdasarkan pengangkatan. Pengisian

keanggotaan DPRP melalui pemilihan umum merupakan pengisian

keanggotaan berdasarkan sistem individual, sedangkan keanggotaan DPRP

melalui pengangkatan merupakan pengisian berdasarkan sistem

komunal/kolegial.

Instrumen hukum bagi calon anggota DPRP yang akan dipilih melalui

pemilihan umum dan masa jabatannya sudah jelas diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836, selanjutnya disebut UU

Nomor 10/2008) sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 7,

Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) huruf b, dan Pasal 50 ayat (1) UU Nomor

10/2008, yang merupakan pengejawantahan dari Pasal 22E ayat (1), ayat

(2) dan ayat (3) UUD 1945.

Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 10/2008 menyatakan, "Pemilu dilaksanakan

setiap 5 (lima) tahun sekai”'. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1)

tersebut, masa jabatan dari anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD

kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun. Dengan demikian, anggota DPRP

yang dipilih melalui pemilihan umum adalah 5 (lima) tahun.

Pasal 7 UU Nomor 10/2008 berbunyi, "Peserta Pemilu untuk memilih

anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai

politik". Sesuai ketentuan Pasal 7 tersebut, partai politik adalah peserta

pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD

kabupaten/kota.

Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 10/2008 berbunyi, "Jumlah kursi DPRD

Provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 100

Page 14: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

14

(seratus)". Merujuk kepada ketentuan tersebut, jumlah kursi DPRD Provinsi

minimal 35 (tiga puluh lima) dan maksimal 100 (seratus) kursi.

Pasal 23 ayat (2) huruf b UU Nomor 10/2008 berbunyi sebagai berikut:

Jumlah kursi DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan pada jumlah Penduduk Provinsi yang bersangkutan

dengan ketentuan:

a. ….

b. Provinsi dengan jurnlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)

sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45

(empat puluh lima) kursi;

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf b tersebut, dan merujuk pada

data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Papua,

bahwa jumlah penduduk Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 2.015.616

(dua juta lima belas ribu enam ratus enam belas), sehingga alokasi kursi

anggota DPRP melalui pemilihan umum adalah 45 (empat puluh lima) kursi.

Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 10/2008 berbunyi sebagai berikut:

(1) Bakal colon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/

kota harus memenuhi persyaratan:

a. warga negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu)

tahun atau lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;

e. berpendidikan paling rendah tarnat Sekolah Menengah Atas (SMA),

Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),

Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

f setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita

Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. tidak pernah dijatuhi hukurnan pidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena

Page 15: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

15

rnelakukan

h. sehat jasmani dan rohani;

i. terdaftar sebagai pemilih.

j. bersedia bekerja penuh waktu;

k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara

Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,

pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha

milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari

keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri

dan yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat

/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak

melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan

dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat

menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan

hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara

lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan

usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber

dari keuangan negara;

n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;

o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan

p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

Sesuai ketentuan Pasal 50 ayat (1) huruf n tersebut, untuk menjadi peserta

pemilihan umum anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota,

calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota haruslah

menjadi anggota partai politik peserta pemilihan umum. Dengan demikian,

untuk menjadi anggota DPRP melalui pemilihan umum, calon anggota

DPRP tersebut harus menjadi anggota partai politik peserta pemilihan

umum.

Page 16: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

16

18. Bahwa sama halnya dengan anggota DPRP yang dipilih melalui pemilihan

umum, anggota DPRP yang diangkat juga diatur berdasarkan peraturan

perundang-undangan sebagaimana ditegasican oleh Pasal 6 ayat (2) UU

Nomor 21/2001. Adanya frasa "benlasarkorn peraturan perundang-

undangan'' tersebut menunjuk pada aturan perundang-undangan yang

sudah ada pada, saat UU Nomor 21/2001 tersebut diberlakukan, yang

faktanya ternyata belum ada. Apa yang dimaksud dengan peraturan

perundang-undangan'' menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389, selanjutnya disebut UU

Nomor 10/2004) adalah "peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum''.

Frasa 'berdasarkan peraturan perundang-undangan' tersebut adalah frasa

yang sangat tidak jelas, bias, multi penafsiran dalam pelaksanaannya.

Perbedaan penafsiran ini secara yuridis akan menyebabkan tidak adanya

kepastian hukum, dan secara sosial-politis dapat menimbulkan konflik dalam

masyarakat. Ketidakjelasan, kebiasan, multi penafsiran dan rawan konflik

tersebut berkaitan dengan (i) organ atau lembaga manakah yang berwenang

untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud; (ii)

peraturan perundang-undangan macam apakah yang akan dibentuk, apakah

berbentuk Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan

Daerah Khusus (Perdasus) atau Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), (iii)

siapa-siapa atau wakil-wakil dari manakah yang diangkat dan (iv) berapa

lama masa keanggotaan DPRP yang diangkat tersebut.

Frasa 'bendasarkan peraturan perundang-undangan'' tersebut telah

mereduksi nilai kekhususan yang termuat dalam UU Nomor 21/2001 dan

dapat dijadikan sebagai alat oleh Pemerintah untuk melakukan intervensi

terhadap pelaksanaan otonomi khusus di tanah Papua serta masih adanya

kecurigaan dari Pemerintah yang menempatkan masyarakat adat Papua

sebagai ekstrimis politik menuju separatisme.

Page 17: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

17

Adanya frasa "berdasarkan peratunin perundang undangan" tersebut

membuktikan pembentuk undang-undang tidak menentukan secara spesifik

bentuk peraturan perundang-undangan yang akan mengaturnya. Padahal

UU Nomor 21/2001 tersebut dengan tegas telah mendelegasikan

kewenangan penjabaran dan pelaksanaan UU ini dengan Peraturan Daerah

Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) sebagaimana

termuat dalam Penjelasan bagian 1. Umum paragraf 9 UU Nomor 21/2001

berbunyi sebagai berikut:

Selanjutnya Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 21/2001 menyatakan, "Jumlah

anggota DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota

DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan". Ketentuan ini juga tidak jelas, bias dan mengandung multi

penafsiran. Terdapat 4 (empat) hal yang menyebabkan ketentuan Pasal 6

ayat (4) tersebut memuat norma hukum yang tidak jelas, bias dan multi

interpretasi.

PERTAMA, di dalam ketentuan Pasal 6 ayat (4) tersebut, seakan-akan

terdapat 2 (dua) lembaga legislatif di Provinsi Papua, yaitu DPRP dan DPRD

Provinsi Papua. Ketentuan tersebut jelas mengandung contradictio in

terminis, karena sesungguhnya DPRP adalah DPRD Provinsi Papua

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 huruf f UU Nomor 21/2001 yang

berbunyi, "Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut

DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua sebagai

badan legislatif Daerah Provinsi Papua".

KEDUA, ketentuan Pasal 6 ayat (4) yang menentukan keanggotaan DPRP

sebanyak 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi

Papua. Dengan perkataan lain, jumlah anggota DPRP lebih banyak dari

pada anggota DPRD Provinsi Papua. Ukuran atau kuota tersebut jelas tidak

logis.

KETIGA, ketentuan Pasal 6 ayat (4) yang menentukan 1 1/4 (satu

seperempat) kali tersebut diberikan kepada siapa, apakah anggota DPRP

yang dipilih atau anggota DPRP yang diangkat. Ketentuan tersebut jelas

Page 18: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

18

bertentangan dengan Penjelasan Umum UU Nomor 21/2001 yang

menempatkan wakil adat Papua sebagai subjek dalam pembangunan sosial

politik di Papua.

Penjelasan Umum UU Nomor 21/2001 tersebut dengan jelas menempatkan

orang asli Papua harus terlibat dalam berpikir dan bertindak dalam kerangka

kepentingan bersama Papua dan pendekatan pembangunan dan terfokus

pada orang asli Papua diharapkan dapat terjadi perubahan kualitas orang

asli Papua yang mempunyai kemampuan menguasai dan mengelola sumber

daya alam, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Penjelasan Umum UU

No.21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan kebijakan afirmatif

(affirmative action policy), yang bertujuan untuk memberikan peluang dan

keistimewaan pada para wakil adat Papua yang sebelumnya tidak

diuntungkan secara sosio politis dan historis selama orde baru agar parra

wakil adat Papua menguasai akses sumber daya dan memiliki kemampuan

serta kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses sosial politik

di berbagai bidang. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Bagian 1 Umum

paragraf 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut:

Penjabaran dan pelaksanaan Undang-Undang ini di Provinsi dan

Kabupaten/Kota dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan

semangat berbangsa dan bernegara, yang hidup dalam nilai-nilai luhur

masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan

Peraturan Daerah Provinsi. Peraturan Daerah Khusus dan/atau

Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua

yang tidak mengesampingkan peraturan perundang-undangan lain yang

ada terrnasuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan antam Pemerintah Pusat dan Daerah,

sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini.

Dengan demikian, terjadi pertentangan antara norma yang diatur & dalam

Penjelasan Bagian 1. Umum paragraf 9 UU Nomor 21/2001 dengan norma

dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001, sehingga terjadi ketidaktaatan

asas (inkonsistensi) dan mendua (ambivalensi) norma. Padahal semangat

Page 19: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

19

pemberian kewenangan khusus dalam UU Nomor 21/2001 tersebut adalah

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua

(vide Pasal 1 huruf b UU Nomor 21/2001). Pemberian kewenangan khusus

tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

Selanjutnya Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 21/2001 menyatakan, "Jumlah

anggota DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota

DPRD Pmvinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan". Ketentuan ini menyatakan jumlah anggota DPRP adalah 1 1/4

(satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua, yang

menurut ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 10/2008 ditetapkan

sebanyak 45 (empat puluh lima) kursi, sehingga jumlah anggota DPRP

adalah sebanyak 1 ¼ x 45 = 56 (lima puluh enam) kursi. Dan dari 56 (lima

puluh enam) kursi DPRP tersebut, alokasi untuk anggota DPRP yang dipilih

melalui pemilihan umum adalah 45 (empat puluh lima), sehingga sisanya

sebanyak 11 (sebelas) kursi adalah jatah untuk anggota DPRP yang

diangkat.

Menurut Penjelasan Umum UU Nomor 21/2001, alokasi 11 (sebelas) kursi

anggota DPRP yang diangkat harus diberikan kepada para wakil adat Papua,

karena UU Nomor 21/2001 dengan jelas menempatkan wakil adat Papua sebagai

subjek dalam pembangunan sosial politik di Papua, yang harus terlibat dalam

berpikir dan bertindak dalam kerangka kepentingan bersama Papua dan

pendekatan pembangunan dan terfokus pada orang asli Papua diharapkan dapat

terjadi perubahan kualitas orang asli Papua yang mempunyai kemampuan

menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Ini merupakan jalan bagi para wakil adat Papua untuk mengatur dan menentukan

masa depannya dalam suatu negara, antara lain melalui otonomi khusus.

Penjelasan Umum UU Nomor 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan

adanya kebijakan afirmatif (affirmative action policy), yaitu semacam

program khusus yang bertujuan untuk memberikan peluang dan

keistimewaan pada para wakil adat Papua yang sebelumnya tidak

diuntungkan secara sosio politis dan historis selama orde baru agar para

Page 20: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

20

wakil adat Papua menguasai akses sumber Jaya dan memiliki kemampuan

serta kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses sosial politik

di berbagai bidang. Hal ini sejalan dengan Penjelasan bagian 1. Umum

paragraf 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai berlkut:

Undang-Undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk

Papua pada umumnya sebagai subjek utama keberadaan Pemerintah,

Pemerintah Provinsi, Pemerintah di Kabupaten/Kota, serta perangkat di

bawahnya, sernua diarahkan untuk mernberikan pelayanan terbaik dan

pemberdayaan rakyat undang-undang ini juga mengandung semangat

penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Pembentukan komisi ini

dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi

di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan

nasional Indonesia di Provinsi Papua.

Pengaturan tersebut sejalan dengan ketentuan (i) Pasal 18B ayat (2) UUD

1945 yang memberi pengakuan dan penghormatan Negara atas kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, (ii) Pasal

28C ayat (2) UUD 1945 mengenai hak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

bangsa dan negara dan (iii) Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 mengenai hak

untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan

keadilan.

Hak-hak tersebut di atas juga diakui oleh hukum internasional sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 27 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan

Politik (The International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah

diratifikasi oleh Pemerintah R.I. melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political

Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang

menyatakan sebagai berikut:

Page 21: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

21

Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku

bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam

kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam

masyarakat, bersama-sama anggota kelornpoknya yang lain, untuk

menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan

agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.

Pasal 4 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All

Forms of Racial Discrimination) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah R.I.

melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan

International Convention on the Eliminnation of All Forms of Racial

Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) yang berbunyi sebagai berikut:

Langkah langkah khusus yang semata-mata diambil untuk menjamin

Pemajuan kelompok ras atau etnik atau perorangan atau kelompok

perorangan yang memerlukan perlindungan agar mereka dapat menikmati

atau melaksanakan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan

mendasar secara sederajat, tidak dapat dianggap suatu diskriminasi rasial,

sepanjang langkah-langkah tersebut tidak mempunyai konsekuensi yang

mengarah kepada berlanjutnya hak-hak terpisah bagi kelompok rasial

yang berbeda dan bahwa langkah-langkah tersebut tidak dilanjutkan

setelah tujuannya tercapai.

Pasal 4 Deklarasi Hak-Hak Manusia bagi yang berasal dari Bangsa atau Etnis,

Agama. dan Bahasa Minoritas menyatakan sebagai berikut

Negara-negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk

rnemastikan bahwa orang-orang yang termasuk dalarn kelompok

minoritas dapat menjalankan dengan penuh dan efektif hak-hak asasi

manusia dan kebebasan mendasar tanpa diskriminasi dan mendapat

kesetaraan dalarn hukum.

19. Bahwa secara geografis, keseluruhan tanah Papua dibagi ke dalarn 7 (tujuh)

wilayah kesatuan masyarakat hukum adat, yang terdiri dari:

Page 22: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

22

− Wilayah Adat I MAMTA;

− Wilayah Adat II SAIRERI;

− Wilayah Adat III BOBERAI;

− Wilayah Adat IV BOMBERAI;

− Wilayah Adat V HA-ANIM;

− Wilayah Adat VI LA-PAGO; dan

− Wilayah Mat VII MI-PAGO;

Secara politis dan administratif, Wilayah Adat I MAMTA, Wilayah Adat II

SAIRERI, Wilayah Adat V HA-ANIM, Wilayah Adat VI LA-PAGO dan

Wilayah Adat VII MI-PAGO berada di Wilayah Provinsi Papua, sedangkan

Wilayah Adat III BOBERAI dan Wilayah Adat IV BOMBERAI berada di

wilayah Provinsi Papua Barat

Sesuai dengan pembagian Wilayah Masyaralcat Adat Papua tersebut,

alokasi kursi anggota DPRP yang diangkat diperuntukkan bagi para wakil

adat dari Wilayah Adat I MAMTA, Wilayah Adat II SAIRERI, Wilayah Adat V

HA-ANIM, Wilayah Adat VI LA-PAGO dan Wilayah Adat VII MI-PAGO yang

kelimanya berada di wilayah Provinsi Papua.

Sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 21/2001, alokasi anggota

DPRP yang diangkat adalah berjumlah 11 (sebelas) kursi DPRP Provinsi

Papua dan 9 (sembilan) kursi DPRP Provinsi Papua Barat yang mengacu

pada angka 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah total anggota DPRD

Provinsi Papua yang dipilih berjumlah 45 (empat puluh lima) kursi dan 1 ¼

(satu seperempat) kali dari jumlah total anggota DPRP Provinsi Papua Barat

yang dipilih yang berjumlah 35 (tiga puluh lima) kursi sesuai ketentuan Pasal

23 ayat (1) UU Nomor 10/2008. Jumlah kursi 11 (sebelas) dan 9 (sembilan)

kursi tersebut dibagikan secara proporsional kepada para Wakil Adat Papua,

baik yang ada di Provinsi Papua maupun yang ada di Provinsi Papua Barat,

dimana wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang berpenduduk lebih

banyak akan memperoleh kursi DPRP lebih banyak.

Namun, sejak UU Nomor 21/2001 diberlakukan sejak awal tahun 2002,

ketentuan mengenai pengisian keanggotaan DPRP yang diangkat tersebut

Page 23: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

23

hingga saat ini belum pernah dilakukan, karena peraturan perundang-

undangan yang diamanatkan oleh UU Nomor 21/2001 untuk mengatur

mengenai pengangkatan anggota DPRP sampai sekarang belum pernah

ada. Bahkan faktanya pengisian keanggotaan DPRP yang diangkat tersebut

diambil alih dan dilakukan sendiri oleh partai-partai politik, sehingga pada

tanggal 22 Agustus 2008 telah terjadi demonstrasi besar-besaran, yang

dilakukan oleh masyarakat asli Papua sebagai penolakan terhadap

pengambilalihan hak masyarakat adat Papua oleh partai politik. Penolakan

tersebut merupakan titik kulminasi dari kekecewaan masyarakat Papua,

karena DPRP telah disalahgunakan bahkan dijadikan sarana untuk

melakukan pemisahan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bahkan KPU Papua pada tanggal 9 September 2009 melalui rapat pleno

telah menetapkan 56 (lima puluh enam) anggota DPRP periode 2009-2014,

dimana 11 (sebelas) kursi DPRP tersebut adalah merupakan hak para wakil

adat Papua. Dalam hal ini KPU Papua telah melampaui batas weweriangnya

dalam menetapkan 11 (sebelas) anggota DPRP yang diangkat, karena 11

(sebelas) anggota DPRP yang diangkat tidak berasal dari para Wakil Adat

Papua, melainkan dari partai politik, sehingga penetapan terhadap 11

(sebelas) anggota DPRP tersebut bukan merupakan kewenangan KPU

Papua untuk menetapkannya. Kewenangan KPU Papua hanya menetapkan

45 (empat puluh lima) anggota DPRP yang terpilih melalui pemilihan umum

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i dan huruf j Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Umum, yang

berbunyi,

i. menerbitkan Keputusan KPU Provinsi untuk mengesahkan hasil Pemilu

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan

mengumumkannya;

j. mengumumkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi terpilih sesuai dengan alokasi jumlah kursi setiap daerah

pemilihan di Provinsi yang bersangkutan dan membuat berita acaranya;

Dengan demikian, adalah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

menyatakan bahwa penetapan terhadap 11 (sebelas) anggota DPRP yang

Page 24: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

24

diangkat oleh KPU Papua adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan

hukum.

Sesungguhnya hak partai politik bukan dalam sistem pengangkatan,

melainkan ikut serta dalam pemlihan umum sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801), yang

berbunyi:

Partai politik berhak:

a. …

b. ...

c. …

d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan

Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan;

20. Bahwa norma hukum yang termuat dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001

tersebut merupakan norma hukum yang sangat tidak jelas, bias, multi penafsiran,

rawan konflik dan contradictio in terminis. Perumusan norma hukum tersebut

merupakan kelalaian pembuat undang-undang dalam merumuskan norma hukum

Pasal 6 ayat (2) tersebut karena apabila dibandingkan misalnya dengan ketentuan

Pasal 19 UU Nomor 21/2001, yang mengatur tentang Majelis Rakyat Papua

(MRP), yaitu suatu lembaga yang merupakan representasi kultural dan tidak

memiliki peran signifikan dalam politik, yang memiliki wewenang tertentu dalam

rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada

penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan

pemantapan kerukunan hidup beragama. Pasal 19 UU Nomor 21/2001

selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(1) MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-

waki adat, wakil-waki agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya

masing-masing sepertiga dari total anggota MRP;

Page 25: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

25

(2) Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun;

(3) Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditetapkan dengan Perdasus.

(4) Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

maka ketentuan Pasal 19 UU Nomor 21/2001 tersebut lebih Iengkap dan

terperinci, karena Pasal 19 UU Nomor 21/2001 tersebut memuat frasa

"jumlah anggota dari masing-masing wakil”, "masa keanggotaan" dan

"keanggotaan dan jumlah anggota ditetapkan dengan Perdasus " Frasa-

frasa tersebut ternyata tidak terdapat pengaturannya dalam Pasal 6 ayat (2)

UU Nomor 21/2001. Dengan tidak adanya pengaturan "jumlah anggota dari

masing-masing wakil" "masa keanggotaan" dan "keanggotaan dan jumlah

anggota ditetapkan dengan Perdasus" dalam DPRP sebagaimana termuat

dalam Pasal 6 ayat (2) tersebut, menunjukkan bahwa pembentukan UU

Nomor 21/2001 itu tidak sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang

dalam masyarakat asli Papua, sehingga UU Nomor 21/2001 tersebut

disalahgunakan oleh partai politik dan KPU Papua sesuai dengan

kepentingan masing-masing.

Menurut Prof. H.A.S. Natabaya, S.H.,LL.M., bahwa di dalam sistem peraturan

perundang-undangan, unsur-unsurnya merupakan satu kesatuan (totalitas) yang

integral, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Antara satu unsur

dengan unsur lainnya saling pengaruh mempengaruhi dan apabila salah satu unsur

baik yang berkaitan dengan formalitas maupun materialitas (substantif) tidak

berjalan sebagaimana mestinya maka sistem itu akan timpang dan bahkan dapat

menghasilkan suatu produk yang cacat hukum yang dapat direview (diuji/dinilai) baik

oleh lembaga legislatif (legislative review) atau kadang disebut political review

maupun oleh Iembaga judikatif (judicial review) [vide Prof. H.A.S. Natabaya, S.H.

LL.M, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Jejak

Langkah dan Pemikiran Hukum Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M (Hakim

Konstitusi Periode 2003-2008), Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hal.8-9].

Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Hakim Konstitusi

Maruarar Siahaan, S.H. yang menyatakan., bahwa dalam pembentukan

Page 26: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

26

peraturan perundang-undangan, pembuat undang-undang di dalam

merancang dan membuat undang-undang harus konsisten dan tidak

menimbulkan multi penafsiran. Pendapatnya tersebut dikemukakan ketika

mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004

tertanggal 22 Maret 2005, yang menyatakan:

Pasal-pasal konstitusi harus dilihat dan dibaca dalam satu-kesatuan

konstitusi ketika merancang dan membuat Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004, yaitu pasal yang satu dengan pasal yang lain yang

menyangkut kategori yang sama harus dilihat dalam satu kesatuan yang

harmonis. Jikalau harmonisasi demikian tidak terdapat dalam konstitusi itu

sendiri, adalah menjadi tugas Hakim MK untuk melakukannya melalui

interpretasi. (Heinrich Schuller, Notes on Constitutional Interpretation, hal

19).

Tafsir yang tidak hanya tekstual, melainkan juga kontekstual, historic dan

sistematis, dengan mendudukkan pasal-pasal UUD 1945 secara serasi

dalam satu kesatuan (principle of the unity of Constitution), merupakan

cara melihat yang seharusnya juga dilakukan oleh pembuat Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam membangun penyelenggaraan

ketatanegaraan yang demokratis di Negara Kesatuan RI yang mengakui

otonomi Pemerintah Daerah, dan pilihan kebijakan harus dilakukan

dengan batas yang digariskan dalam konstitusi dalam tafsir yang

mempertimbangkan struktur konstitusi.

Dengan demikian, seharusnya pasal-pasal konstitusi tersebut juga harus dilihat dan

dibaca dalam satu kesatuan ketika merancang dan membuat UU Nomor 21/2001,

sehingga antara pasal yang satu dengan pasal yang lain yang menyangkut

kategori yang sama terdapat satu kesatuan yang harmonis. Oleh karena

harmonisasi tersebut tidak terdapat dalam UU Nomor 21/2001, adalah menjadi

tugas Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian melalui interpretasi, baik

tekstual, maupun kontekstual, historis dan sistematis.

21. Bahwa landasan filosofis (filosofische grondslag) dibentuknya UU Nomor

21/2001 tersebut mengandung pengakuan terkait dengan kondisi faktual

Page 27: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

27

Provinsi Papua sebelum berlakunya UU Nomor 21/2001 dan komitmen

Pemerintah R.I. atas sejumlah agenda perbaikan yang direncanakan akan

dilaksanakan dalam era otonomi khusus ini. Pengakuan dan komitmen

tersebut termuat pada konsiderans bagian Menimbang huruf a sampai

dengan huruf k UU Nomor 21/2001, yang berbunyi sebagai berikut:

a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari

umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,

nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup

dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil

pembangunan secara wajar;

c. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati

satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat

istimewa yang diatur dalam undang-undang;

d. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik

Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan

dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui

penetapan daerah Otonorni Khusus;

e. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari

ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di

Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat,

dan bahasa sendiri;

f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan

di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya mernenuhi rasa

keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan

rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum,

dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak

Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;

g. bahwa pengelolaan dan pemaanfaatan basil kekayaan alam Provinsi

Page 28: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

28

Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan

antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian

hak-hak dasar penduduk asli Papua;

h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua

dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi

Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua,

diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia;

i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-

nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap

etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli. Hak Asasi Manusia,

suprernasi hukurn, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan,

hak, dan kewajiban sebagai warga negara;

j. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk

memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan. terhadap

hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang

berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia

penduduk asli Papua;

k. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya

menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama

Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan

DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus

2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;

Landasan sosiologis (sociologische grondslag) dari UU Nomor 21/2001

tercantum pada konsiderans bagian Menimbang huruf h yang berbunyi

sebagai berikut:

bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan

Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua,

diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia;

Page 29: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

29

Dengan demikian, ditinjau dari landasan sosiologis pembentukan UU Nomor

21/2001 tersebut, pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan

tindakan affirmatif (affirmative action) sebagai jalan keluar dari permasalahan

masyarakat adat Papua atas ketertinggalannya di berbagai bidang. Hal ini sesuai

dengan semangat dan jiwa dibentuknya UU Nomor 21/2001 yang tergambar

dengan jelas dalam Penjelasan bagian Umum paragraph 9, yang berbunyi:

Penjabaran dan pelaksanaan Undang-Undang ini di Provinsi dan

Kabupaten/Kota dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat

berbangsa dan bernegara, yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Papua,

yang diatur dalam. Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.

Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan Daerah Provinsi adalah

Peraturan Daerah Provinsi Papua yang tidak mengesampingkan peraturan

perundang-undangan lain yang ada terrnasuk Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nornor 25

Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini.

Sesuai Penjelasan Umum tersebut di atas, sudah sewajarnyalah Mahkamah

Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) sekaligus

sebagai penafsir akhir secara yudisial terhadap UUD 1945 (the last judicial

interpreter of constitution) dan pembentuk UU secara negatif (negative

legislator) berkenan memberikan pertimbangan hukum, bahwa pengaturan

anggota DPRP yang diangkat harus berasal dari para Wakil Adat Papua dan

diatur dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Berhubung Peraturan

Daerah Khusus (Perdasus) tersebut sampai dengan saat ini belum terbentuk,

maka mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur mengenai

pengangkatan anggota DPRP yang diangkat dan untuk selanjutnya

pengangkatan anggota DPRP tersebut melalui Peraturan Daerah Khusus

(Perdasus).

Landasan politis dari UU Nomor 21/2001 termuat pada konsiderans bagian

Menimbang huruf d, yang berbunyi sebagai berikut:

Page 30: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

30

bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman

kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah

Otonomi Khusus

Merujuk pada landasan politis dari UU Nomor 21/2001 tersebut di atas, frasa

"berdasarkan peraturan perundang-undangan" dalam Pasal 6 ayat (2) UU

Nomor 21/2001 tersebut adalah bertentangan dengan landasan politis, sehingga

sudah seharusnyalah Mahkamah Konstitusi berperan untuk mengusahakan UUD

1945 fungsional di antaranya fungsi nasionalistis atau pengintegrasi (memelihara

rasa nasionalisme, rasa persatuan dan merupakan identitas nasional), terutama

disebabkan karena kemajemukan Indonesia yang begitu kompleks [vide Abdul

Mukhthie Fadjar, “Sang Penggembala”, Perjalanan Hidup dan Pemikiran Hukum

Abdul Mukhthie Fadjar (Hakim Konstitusi Periode 2003-2008), Penerbit

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hal.

327].

22. Bahwa menurut ketentuan Pasal 5 UU Nomor 10/2004, yang berbunyi,

Dalam mernbentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c, kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan

Selanjutnya pembentukan peraturan perundang-undangan itu juga harus

mempunyai landasan filosofis (filosofische grondslag), landasan sosiologis

(sociologische grondslag), landasan yuridis (rechtsgrond) dan landasan politis,

ekologis, medis, ekonomis sesuai dengan jenis atau objek yang diatur oleh

peraturan perundang-undangan.

Page 31: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

31

Berdasarkan asas-asas dan landasan tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 6

ayat (2) UU Nomor 21/2001 sepanjang frasa "berdasarkan peraturan penndang-

undangan" tersebut bertentangan dengan asas kejelasan tujuan, asas kesesuaian

antara jenis dan materi muatan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dan asas

kejelasan rumusan, serta landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan

politis.

23. Bahwa oleh karena ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001 tidak sesuai

dengan tujuan pembentuk undang-undang serta landasan filosofis, sosiologis dan

politis, serta norma yang termuat dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001 tersebut

juga tidak sesuai dengan asas kejelasan tujuan, asas kesesuaian antara jenis dan

materi muatan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dan asas kejelasan

rumusan serta telah bertentangan dengan (i) hak untuk turut berpartisipasi dalam

upaya pembelaan negara; (ii) hak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif; (iii) hak untuk mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama; serta

(iv) kewajiban Negara, terutama Pemerintah untuk memberikan perlindungan,

pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), Pasal. 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2) dan

Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, maka ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001

sepanjang frasa "berdasarkan peraturan perundang-undangan" tersebut adalah

bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2),

Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 serta tidak mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat

24. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa norma hukum ketentuan Pasal 6 ayat

(2) UU Nomor 21/2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35/2008

sepanjang frasa "berdasarkan peraturan perundang-undangan" telah

menghilangkan hak konstitusional para Pemohon dan para Wakil Adat Papua untuk

diangkat sebagai anggota DPRP, sehingpa Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001

sepanjang frasa "berdasarkan peraturan perundang-undangan" bertentangan

dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H

ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.

Page 32: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

32

25. Bahwa oleh karena Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001 sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 35/2008 sepanjang frasa “berdasarkan peraturan

perundang-undangan” tersebut telah bertentangan dengan Pasal 18B ayat

(2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I

ayat (4) UUD 1945, maka para Pemohon memohon kepada Mahkamah

Konstitusi untuk memberikan penafsiran terhadap Pasal 6 ayat (2) UU

Nomor 21/2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35/2008

sepanjang frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” tersebut

harus diartikan sebagai Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan untuk

pertama kalinya pengangkatan anggota DPRP yang harus dilakukan melalui

Peraturan Pemerintah;

IV. PETITUM

Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon mohon kepada

Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, yang

amarnya berbunyi sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tabun 2001 Nomor 135, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4884) sepanjang frasa "berdasarkan peraturan perundang-

undangan" bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal

28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang

Dasar 1945;

3. Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara

Page 33: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

33

Republik Indonesia Nomor 4884) sepanjang frasa “bendasarkan peraturan

perundang-undangan" tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang

seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon

telah mengajukan alat bukti tulis yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan

P - 25 sebagai berikut:

1. Bukti P.I.II-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama RAMSES OHEE.

2. Bukti P. I.II-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama YONAS ALFONS

NUSI.

3. Bukti P-I.II-3a : Fotokopi Akta Pendirian Organisasi Pejuang Barisan

Merah Putih Papua Nomor 04 tertanggal 06 Januari 2009,

dibuat di hadapan SUPRAKOSO, S.H., Notaris di Jayapura

4. Bukti P.I.II-3b : Fotokopi Surat Keputusan Nomor 01/SK/MUNAS

I-BMP/II/2006 tentang Pembentukan dan Pengesahan

Komposisi Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Barisan

Merah Putih Republik Indonesia tertanggal 13 Februari

2006.

5. Bukti P.I.II-4a : Fotokopi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua (LN RI Tahun 2001 Nomor 135, TLN RI

Nomor 4151).

6. Bukti P.I.II-4b : Fotokopi UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua Menjadi Undang-Undang (LN RI Tahun 2008 Nomor

112, TLN RI Nomor 4884).

7. Bukti P.I.II-5 : Fotokopi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (LN RI Tahun 1999 Nomor 165, TLN RI Nomor

3886)

Page 34: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

34

8. Bukti P.I.II-6 : Fotokopi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (LN RI Tahun

2008 Nomor 51, TLN RI Nomor 4836).

9. Bukti P.I.II-7 : Fotokopi UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(LN RI Tahun 2008 Nomor 2, TLN RI Nomor 4801).

10. Bukti P.I.II-8 : Fotokopi UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (LN RI Tahun 2004 Nomor

53, TLN RI Nomor 4389)

11. Bukti P.I.II-9 : Fotokopi Peta Pembagian Wilayah Masyarakat Adat Provinsi

Papua.

12. Bukti P.I.II-10 : Fotolopi Keputusan Majelis Rakyat Papua Nomor

07/MRP/2008 tentang Rekomendasi Tentang Tata Cara

Pemilihan Sebelas Kursi Otonomi Khusus DPRP Provinsi Papua

Dan Sembilan Kursi DPRD Provinsi Papua Barat Dalam

Pemilu Tahun 2009 tertanggal 11 Agustus 2008.

13. Bukti P.I.II-11 : Fotokopi Surat dari Majelis Rakyat Papua Nomor 150/099/

MRP/2009 tertanggal 06 Maret 2009 Perihal Rekomendasi

tentang Pemilu Legislatif Tahun 2009 di Tanah Papua

14.Bukti P.I.II-12a : Fotokopi Surat dari Masyarakat Hukum Adat Ikatan Keluarga

Besar Masyarakat Adat di Papua/Pejuang Pembebasan Irian

Barat ke NKRI Nomor 21/PMA/III/2009 tertanggal 04 April 2009

Perihal Mohon Pengangkatan 11 (sebelas) Anggota DPRD

Dan 2 (dua) Utusan Daerah/(DPD) Provinsi Papua Masa Bakti

2099-2014.

15.Bukti P.I.II-12b : Fotokopi Surat dari Masyarakat Hukum Adat Ikatan Keluarga

Besar Masyarakat Adat di Papua/Pejuang Pembebasan Irian

Barat ke NKRI Nomor 22/PMA/III/2009 tertanggal 21 April

2009 Perihal Mohon tindak lanjut Surat kami Nomor

21/PMA/III/2009 tanggal 04 April2 009 Ikatan Keluarga Besar

Masyarakat Adat/Pejuang Pembebasan Irian Barat ke NKRI.

Page 35: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

35

16. Bukti P.I.II-13 : Fotokopi Pokok-pokok Pikiran Masyarakat Hukum Adat Keluarga

Besar Masyarakat Adat Tanah Papua Dan Pejuang Pembebasan

Irian Barat tertanggal 29 Mei 2009.

17. Bukti P.I.II-14 : Fotokopi Daftar Hadir Rapat Pembahasan Calon Legislatif Priode

2009-2014 dan Tokoh Adat Dan Pejuang Eks Pembebasan Irian

Barat Kembali Kedalam Bagian NKRI tertanggal 22 Maret

2009.

18. Bukti P.I.II-15 : Fotokopi Dukungan Untuk Pengangkatan 11 (sebelas) Anggota

DPRP dan Pengangkatan 2 (dua) Utusan Daerah/Dan

Mahasiswa/Anak-anak Masyarakat Hukum Adat/Keluarga Besar

Pejuang Pembebasan Irian Barat (PPIB) ke NKRI tertanggal 22

Maret 2009.

19. Bukti P.I.II-16 : Fotokopi Surat dari Sentral Organisasi Generasi Muda Indonesia

Barisan Merah Putih (SOGMI-BMP) Provinsi Papua Nomor 01/

SOGMI-BMP/PS/IX/2008 Perihal Pernyataan Sikap SOGMI-BMP

Provinsi Papua.

20. Bukti P.I.II-17 : Fotokopi Surat Pernyataan Masyarakat Adat Sentani Kabupaten

Jayapura tertanggal 04 Agustus 2009.

21. Bukti P.I.II-18 : Fotokopi Pernyataan Sikap dari Komponen Masyarakat Papua

Peduli NKRI tertanggal 13 Oktober 2008 Jumat, 22 Agustus

2008 Guna Mengkritisi 11 Kursi Bagi Orang Asli Papua di

DPRP Papua Periode 2009-2014 Mendatang.

22. Bukti P.I.II-19 : Fotokopi Pokok-pokok Pikiran Demo Damai di KPUD Provinsi

Papua Jumat, 22 Agustus 2008 Guna Mengkritisi 11 Kursi

Bagi Orang Asli Papua di DPRP Papua Periode 2009-2014

Mendatang.

23. Bukti P.I.II-20 : Fotokopi Surat dan Persekutuan Gereja-Gereja Di Tanah

Papua Nomor 08/PGGP/VIII/09 tertanggal 7 Agustus 2009

Perihal Dukungan Gereja-Gereja Terhadap Penetapan 11

Kursi DPRP Provinsi Papua.

24. Bukti P.I.II-21 : Fotokopi Pernyataan Sikap Dari Komponen Pejuang Dan

Generasi Muda Pejuang tertanggal 13 Juli 2007.

Page 36: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

36

25. Bukti P.I.II-22a: Fotokopi Pokok-pokok Pikiran saksi ONISIMUS NUSSY.

26. Bukti P.I.II-22b : Fotokopi Surat Pernyataan Saksi dari ONISIMUS NUSSY

tertanggal 11 Agustus 2009 tentang kesediaan untuk memberikan

keterangan sebagai saksi di dalam persidangan uji materiil di

Mahkamah Konstitusi.

27. Bukti P.I.1I-23 : Fotokopi Surat Pernyataan dan HEEMSKERCKE BONAY, S.H.

tertanggal 8 Agustus 2009 tentang kesediaan untuk memberikan

keterangan sebagai saksi di dalam persidangan uji materiil di

Mahkamah Konstitusi.

28. Bukti P.I.II-24a : Fotokopi Kliping Koran Cenderawasih Pos, Edisi, Rabu, 01

April 2009 Dengan Judul "11 Kursi di DPRP Kembali

Mencuat"

29. Bukti P.I.II-24b: Fotokopi Kliping Koran Cenderawasih Pos, Edisi, Senin, 01

Juni 2009 Dengan Judul "Jatah 11 Kursi di DPRP Kembali

Dipersoalkan".

30. Bukti P.I.II-24c: Fotokopi Kliping Koran Papua Pos, Edisi Selasa, 2 Juli 2009

Dengan Judul "11 Kursi di DPRP Digugat".

31. Bukti P.I.II-24d: Fotokopi Kliping Koran Bintang Papua, Edisi Rabu, 29 Juli

2009 Dengan Judul "BMP Ajukan Judisial Review ke MK

Tuntut Hak Orang Papua Atas 11 Kursi di DPRP".

32. Bukti P.I.II-24e: Fotokopi Kliping Koran Bintang Papua Dengan Judul

"11 Kursi Orang Papua di DPRP Hilang".

33. Bukti P.I.II-25 : Fotokopi Naskah Deklarasi Dewan Presidium Masyarakat Papua

Indonesia (DPMPI) tertanggal 11 Agustus 2006.

Selain itu, para Pemohon telah mengajukan satu orang ahli bernama Dr. Ibnu

Tricahyo, S.H., M.H, dan 3 (tiga) orang saksi bernama 1. M. Wati Kogoya,

2. Heemskercke Bonay, S.H, dan 3. Onisimus Nussy, yang telah memberi

keterangan di bawah sumpah dalam persidangan pada hari Rabu tanggal 4 November

2009, sebagai berikut:

Page 37: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

37

Keterangan Ahli para Pemohon Dr. Ibnu Tricahyo, S.H., M.H

− Bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua, di penjelasan pada alenia ke-5, khususnya bahwa otonomi

khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah memberikan kewenangan

yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan dan

mengurus diri sendiri di dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.

− Bahwa untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan

kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

− Bahwa kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan

perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadai

bagi orang-orang asli Papua melalui para Wakil Adat, agama dan kaum

perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan

daerah menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai

kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua.

− Bahwa Pasal 6 ayat (1) DPRP mestinya adalah mengikutsertakan masyarakat

adat, kenapa?. Oleh karena RAN adalah sangat stategis yang tak mungkin

dilakukan oleh MRP, karena MRP sebenarnya tidak ikut membahas, tidak ikut

menentukan yang strategis, mereka hanya mempertimbangkan menyarankan

menyetujui tetapi justru pembentukan politik daerah, kebijakan daerah

dilakukan oleh DPRP dan gubernur. Oleh karena itulah peran ini sangat

strategis kalau di dalam DPRP selain yang dipilih melalui Pemilu juga diartikan

bahwa itu adalah diangkat, bahwa itu mewakili masyarakat adat.

− Bahwa dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (2) tidak

dirubah. Artinya bahwa pembentuk undang-undang menginginkan tidak hanya

Pasal 6 dilakukan perubahan memberi peluang yang dulu ada Fraksi TNI dan

Polri, tetapi memang bahwa Pasal 2 ayat (6) dipertahankan dan mestinya

ditafsirkan itu diiisi oleh wakil masyarakat adat. Oleh karena itu konteks dalam

masyarakat adat sebenarnya harus tertampung saat pemerintah daerah

membentuk kebijakan untuk daerahnya. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan

partai politik, meskipun anggota DPRP adaalh masyarakat Papua asli. Tetapi

Page 38: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

38

mereka itu diikat dalam fraksi, fraksi adalah kepanjangan tangan partai yang dia

secara tidak langsung menyuarakan suara partainya. Oleh karena itu dalam hal

kepentingan masyarakat Papua, tetap dalam Pasal 6 ayat (2) seyogianya

dimasukan termasuk di dalamnya adalah wakil dari masyarakat adat yang

diangkat.

− Bahwa materi muatan undang-undang dalam Pasal 6 ayat (2) yang tidak jelas

mestinya juga dilakukan revisi yang ideal terhadap undang-undang, bisa juga

presiden mengeluarkan Perppu, setidak-tidaknya presiden mengunakan Pasal

5 ayat (2) yaitu mengeluarkan peraturan pemerintah, karena sebenarnya

presiden sebenarnya memiliki kewenangan dalam ragka menjalankan undang-

undang. Nanti tergantung peraturan pemerintah bagaimana cara mengatur

apakah itu mau diserahkan kepada Perdasus. Tetapi setidaknya Pasal 6 ayat

(2) yang penting adalah menampung pengangkatan melalui masyarakat adat.

Keterangan Saksi para Pemohon M. Wati Kogoya

− Bahwa haknya lewat otonomi khusus Peraturan, Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001, Pasal 6 ayat (2) sudah diberikan kepada kami/rakyat asli orang

Papua, usia otonomi khusus sudah menjelang 9 tahun. Pembelajaran politik,

demokrasi yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Papua tidak adil pada

rakyatnya sendiri.

− Bahwa pesta demokrasi yang sudah dilakukan dari tahun 2004 sampai tahun

2009 ini hak kami/rakyat orang asli Papua sesuai dengan Undang-Undang

Pemerintah Republik Indonesia, berikan kepada kami/rakyat, belum nampak

sampai saat ini.

− Bahwa rakyat sudah rugi dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Pemilihan umum

yang terjadi di tanah Papua penuh dengan kasus dan bermasalah karena

haknya dari tahun 2004 sama saja dengan tahun 2009. KPU didemo rakyat sini-

sana, rakyat jadi pemberontak, rakyat tidak punya tangan untuk melakukan

sesuatu.

− Bahwa rakyat Papua yang sudah ditindas selama 9 (sembilan) tahun, bahwa

kami/rakyat Papua menuntut 11 (sebelas) kursi itu benar-benar dilaksanakan

dan diberikan haknya kepada rakyat kami;

Page 39: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

39

− Bahwa saksi nanti pulang ke tanah Papua dengan damai. Karena rakyat

sedang menangis, karena hak demokrasi tidak ada sama sekali. Sudah 2

periode hak-hak rakyat Papua tidak diberikan kepada kami/rakyat Papua,

sehingga kami mohon agar semua masayarakat Papua ada dalam keutuhan

bangsa NKRI ini.

Keterangan Saksi para Pemohon Heemskercke Bonay, S.H

− Bahwa sudah 8 tahun, kursi emas bagi orang asli Papua yaitu kursi yang

berjumlah 11 untuk anggota Dewan tidak pernah terwujud. Ini adalah satu

penyelewengan terhadap UUD 1945 yang menjadi landasan dan menciderai

terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua.

− Bahwa ini sebagai pembunuhan karakter bagi orang asli Papua yang ingin

berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

kita cintai bersama-sama.

− Bahwa secara sadar sudah terjadi pelanggaran Konstitusi di tanah Papua sejak

2004 dan 2009. Mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum seperti

ini. Bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, undang-undangnya

sudah jelas, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, implementasinya seperti

apa. Dasar apa yang mereka gunakan.

− Bahwa sembilan pernyataan sikap yang mengakui seluruh paguyuban

masyarakat nusantara Indonesia yang berada di tanah Papua sebagai orang

asli tanah Papua dan salah satu poinnya adalah Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 Pasal 6 ayat (2) yang sampai saat ini belum dinikmati oleh orang-

orang asli Papua.

− Bahwa masyarakat Papua tetap berkeinginan dalam NKRI, tetap menjaga

keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, saksi minta hak orang Papua harus

ditegakkan sehingga saksi pulang dengan tidak sia-sia. Rakyat Papua

menunggu hasil yang kami perjuangkan disini;

Keterangan Saksi para Pemohon Onisimus Nussy

− Bahwa sesungguhnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua diberikan adalah hanya sebagai siasat. Saksi

Page 40: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

40

sepakat bahwa Papua tetap bagian integral dari bangsa Indonesia. Sehingga

pemerintah harus mendukung dan memberikan sumbangsih pemikiran untuk

mengangkat harkat dan martabat orang Papua yang merupakan bagian integral

dari bangsa Indonesia.

− Bahwa telah terjadi pelanggaran hukum penunjukkan 11 kursi secara sepihak,

tanpa melalui aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Diberlakukan dan

diperebutkan oleh partai politik. Perampasan hak politik orang asli Papua,

arogansi politik yang mereka lakukan di tanah Papua, sekian banyak uang yang

diberikan berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus. Tetapi aturan

pelaksanaan untuk melaksanakan implementasi uang dan undang-undang tidak

jalan di tanah Papua, sampai hari ini tidak ada perubahan-perubahan yang

berarti dalam rangka mengangkat taraf hidup masyarakat tanah Papua.

− Bahwa agar Pemerintah mengeluarkan Peraturan Penganti Undang-Undang

karena sangat urgen, karena tidak dapat ditunda dengan peraturan khusus atau

pemberian khusus. Tetapi ini sangat urgen harus keluar peraturan untuk

Pemerintah Papua duduk di dalam lembaga Dewan untuk menentukan

nasibnya sendiri dalam merencanakan kebijakan–kebijakan pembangunan bagi

rakyat Papua.

− Bahwa untuk mencari solusi-solusi terbaik bagi penyelesaian Papua, di

Republik nusantara ini hanya dua provinsi yang selalu merupakan agenda

khusus atau prioritas bangsa yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Papua.

[2.3] Menimbang bahwa dalam persidangan tanggal 4 November 2009,

Pemerintah yang diwakili oleh Ir. Agung Mulyana, M.Sc (Staf Ahli Mendagri)

memberikan keterangan secara lisan, yang kemudian dilengkapi dengan

keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 23

November 2009 sebagai berikut:

1. Pokok Permohonan

Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang a quo

bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (3),

Pasal 28H, dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945;

2. Tentang kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon

Page 41: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

41

Bahwa Pemohon hanya menyampaikan asumsi-asumsi atau hanya berandai-

andai saja padahal tidak ada jaminan bilamana ada Anggota DPRP yang

diangkat maka Pemohon 1 ataupun Pemohon 2 pasti akan diangkat sebagai

Anggota DPRP secara substantif hak para Pemohon untuk ikut serta dalam

perencanaan pengawasan, penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan

di tanah Paua sampai saat ini masih dapat terus dilaksanakan melalui berbagai

mekanisme baik melalui Musrenbang (musyawarah perencanaan

pembangunan) maupun berbagai program pemerintah daerah dalam

penyelenggaraan pembangunan merata dapat melakukan pengawasan

terhadap program-program yang dilakaukan oleh pemerintah daerah, untuk

memperjuangkan hak konstitusional orang asli Papua Undang-Undang a quo

telah memberikan ruang yang istimewa melalui lembaga Majelis Rakyat Papua

(MRP) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 yang menyatakan bahwa MRP beranggotakan orang asli Papua

yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, wakil-wakil perempuan

yang jumlahnya masing-masing 1/3 dari total anggota MRP dengan demikian

upaya untuk memperjuangkan hak konstitusional orang asli Papua sudah

diakomodasikan dalam lembaga Majelis Rakyat Papua. Pemerintah

berkesimpulan bahwa tidak ada kerugian konstitusional apapun yang diderita

oleh Pemohon 1 dan Pemohon 2 dengan berlakunya Undang-Undang a quo

oleh karena itu Pemohon 1 dan Pemohon 2 tidak memenuhi kualifikasi sebagai

Pemohon.

3. Tentang materi pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 6

Undang-Undang a quo menyatakan anatara lain bahwa:

1. Kekuasaaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP.

2. DPRP terdiri atas Anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

3. Pemilihan, penetapan, dan pelantikan Anggota DPRP dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

4. Jumlah Anggota DPRP adalah 1 ¼ kali jumlah Anggota DPRD Provinsi

Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Page 42: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

42

5. Kedudukan tugas wewenang hak dan tanggung jawab keanggotaan

pimpinan dan alat kelengkapan DPR diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

6. Kedudukukan keuangan DPR diatur dengan peraturan perundang-

undangan. Seluruh ketentuan yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (2), ayat

(3), ayat (4), ayat (5), dan atau ayat (6) selalu merujuk dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dengan penormaan yang demikian itu

menunjukkan bahwa Undang-Undang a quo tidak berdiri sendiri dalam

mewujudkan system pengaturan terhadap perbuatan hukum subjek hukum

maupun peristiwa hukum, hal ini menandakan bahwa dari aspek pranata

hukum Undang-Undang a quo memerlukan peraturan perundang-undangan

lain sebagai bentuk pengaturan secara lebih khusus karena Undang-

Undang a quo tidak memberikan pengaturan didalam batang tubuhnya

dengan demikian pemberlakuan norma Pasal 6 Undang-Undang a quo

harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua

Pemerintah berpendapat bahwa prasa sesuai dengan peraturan perundang-

undangan haruslah dikembalikan pada norma hukum yang berlaku yaitu

ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

pembentukan peraturan perundang-undangan jenis peraturan perundang-

undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 adalah UU, PERPU, PP, PERPRES dan PERDA

selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (4) dinyatakan bahwa selain peraturan

tersebut peraturan lainya diakaui keberadaannya mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 memberikan tafsir bahwa yang dimaksud dengan

peraturan lainya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan dan lembaga

atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau

Page 43: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

43

Pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD

Kabupaten, Bupati, Walikota Kepala Desa atau yang setingkat.

4. Mekanisme pengisian Anggota DPRP melalui pengangkatan sebagaimana

dimaksudkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang a quo haruslah dipahami dalam

konteks politik hukum harmonisasi dan sinkronisasi hukum pada saat Undang-

Undang tersebut diterbitkan, yaitu konteksnya dengan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang memberikan peluang rekrutmen

Anggota DPRD melalui mekanisme pengangkatan, jadi ketika konteksnya

adalah pada saat periode Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun

2001 yang berlaku sistem politik di Indonesia ada anggota parlemen yang

dianggkat dan anggota parlemen yang dipilih ketika ada satu fraksi di parlemen

yang diangkat mekanisme pengisian Anggota DPRP melalui pengangkatan

dimaksudkan untuk mengakomodasikan pengangkatan Anggota DPRP dari

unsur Anggota TNI/Polri karena hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang berlaku saat itu.

5. Sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum mekanisme pengisian Anggota

DPRD dengan pengangkatan tidak ada lagi sehingga pengisian Anggota DPRD

hanya dilakukan melalui Pemilu, Anggota Partai Politik pilihan kebijakan ini

berlanjut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD jadi yang berlaku pada saat ini adalah

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pengisian Anggota DPRD melalui

pemilihan ditegaskan kembali dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

6. Pasal 290 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 mengatakan bahwa DPR

Provinsi terdiri atas Anggota Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang dipilih

melalui Pemilihan Umum dalam Pasal 400 Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2009 juga ditegaskan bahwa undang-undang ini berlaku juga bagi Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh,

Dewan Perwakilan Rakyat Papua atau DPR di Provinsi Papua dan DPRD

Provinsi Papua Barat sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang tersendiri

Page 44: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

44

dengan norma yang demikian maka pengisian Anggota DPRP hanya dapat

dilakukan melalui pemilihan.

7. Kekhususan Papua terkait dengan DPRP itu sebetulnya terletak pada jumlah

anggota yang lebih banyak daripada DPRD Provinsi lainnya yaitu Anggota

DPRP 1 ¼ kali dari DPRD sebelumnya bukan dalam mekanisme perekrutannya

melalui pengangkatan sehingga jumlah Anggota DPRP sekarang adalah 1 ¼

kali jumlah Anggota DPRD Papua hak konstitusional asli orang Papua tetap

dilindungi dalam Undang-Undang a quo dan tidak ada halangan bagi orang-

orang asli Papua untuk menjadi Anggota DPRP melalui Pemilu, perlindungan

terhadap orang Papua juga diprioritaskan dalam Undang-Undang a quo yaitu

adanya prioritas bagi masyarakat asli Papua dalam rekrutmen Politik oleh Partai

Politik.

Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang a quo menyebutkan bahwa, rekrutmen politik

oleh Partai Politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan

masyarakat asli Papua, Pasal 28 ayat (4) menyebutkan bahwa Partai Politik

wajib meminta pertanggungan pada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen

Partai Politik rekrutmen Politik Partai masing-masing.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa mengadili dan memutus

permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Provinsi Papua terhadap Undang-Undang Dasar 1945 kiranya

dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya;

2. Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua tidak bertentangan

dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal

28H, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan ditafsirkan sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Namun demikian apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain

mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aquo et bono).

Page 45: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

45

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon Pihak

Pemerintah Daerah Gubernur Provinsi Papua yakni Barnabas Suaebu telah

menyampaikan keterangannya pada persidangan tanggal 4 November 2009, yang

kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan

Mahkamah pada tanggal 17 November 2009 sebagai berikut:

I. Dasar Hukum pelaksanaan/pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Bahwa Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebelum diamandemen UUD Tahun

1945 telah ditetapkan dengan TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-

Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 dan direkomendasikan dengan

TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam

Penyelenggaraan Otonomi Daerah. TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000 pada

angka 1 berbunyi, " ……… Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi

Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan MPR Nomor

IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar

dikeluarkan selambat-Iambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi

masyarakat daerah yang bersangkutan. "TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000

ditetapkan setelah adanya amandemen I UUD 1945 Tahun 1999 telah

mempunyai landasan konstitusional tertuang dalam Pasal-Pasal UUD 1945

antara lain, Pasal 18, Pasal18A, dan Pasal 18B.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua mempunyai landasan konstitusional. Hal yang perlu

dicermati secara baik, sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2001 belum berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan. Yang

menyebabkan otonomi khusus di Papua belum berjalan efektif karena belum

ditetapkannya payung hukum berupa Perdasi dan Perdasus untuk

pelaksanaan pasal-pasal tertentu yang diamanatkan oleh Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001. Ironisnya terdapat beberapa pasal yang

mendelegasikan pengaturan Iebih lanjut dengan frasa "berdasarkan peraturan

perundang-undangan", dan frasa "dengan Perdasi/Perdasus berdasarkan

/dengan berpedoman pada PP/Peraturan perundang-undangan, yang sampai

saat ini ketentuan-ketentuan yang menjadi Dasar atau payung hukum

Perdasus dan Perdasi belum dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Hanya 1

Page 46: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

46

(satu) Peraturan Pemerintah Pusat yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 54

Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua.

II. Bahwa disamping hal tersebut di atas, muatan materi dalam Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 sangat abstrak serta memuat bagian materi yang telah

diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga perlu dirinci

bidang-bidang serta sektor-sektor mana saja yang menjadi pelaksanaan

(kewenangan) otonomi khusus di Papua. Perincian bidang-bidang dan sektor-

sektor ini diatur dengan Perdasi.

Berkaitan dengan Permohonan Uji Material terhadap Pasal 6 ayat (2) UU Nomor

21 Tahun 2001 perlu disampaikan hal-hal sebagai berikut:

- Ayat (2),

"DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan

peraturan perundang-undangan".

- Ayat (3),

"Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan".

- Ayat (4),

"Jumlah anggota DPRP adalah 1 1/4. (satu seperempat) kali dari jumlah

/anggota DPRP Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan".

Analisis:

1) Sebelum reformasi pengisian anggota legislatif dilakukan melalui 2 cara yaitu

melalui proses pemilihan umum dan pengangkatan. Setelah era reformasi,

pengisian anggota legislatif hanya melalui pemilihan umum.

2) Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 masih mengalokasikan jatah kursi

lembaga legislatif melalui proses pengangkatan. Setelah pemberlakuan UU

Nomor 21 Tahun 2001 secara efektif pada tanggal 1 Januari 2002, pengisian

anggota legislatif di DPRP dalam PEMILU Tahun 2004 berlaku UU Nomor 22

Tahun 2003, dimana pengisian anggota DPRP hanya melalui proses pemilihan

lewat Pemilu Legislatif yang dilaksanakan oleh KPUD Provinsi. Dengan

demikian pengisian anggota DPRP tidak lagi melalui proses pengangkatan.

Page 47: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

47

Dengan sendirinya sudah tidak dimungkinkan lagi alokasi jatah kursi kepada

beberapa unsur, seperti TNI, POLRI atau Organisasi Kemasyarakatan termasuk

masyarakat adat melalui proses pengangkatan.

3) Lalu dimana alokasi kursi untuk masyarakat adat?. Dengan berlakunya UU

Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 19 ayat (1) telah disediakan wadah berhimpunnya

organisasi kemasyarakatan (untuk orang asli Papua) yaitu Majelis Rakyat

Papua:

"MRP beranggotakan orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat,

wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-

masing sepertiga dari total anggota MRP".

Wakil-wakil adat diberikan tempat untuk turut serta memberikan pertimbangan

terhadap praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka otonomi

khusus pada umumnya, dan pembentukan Perdasus dalam rangka melindungi

hak-hak orang asli Papua. UU Nomor 21 Tahun 2001 telah memberikan

tempat yang tepat dan proposional kepada wakil-wakil adat dalam lembaga

MRP.

4) Dengan demikian angka 4 permohonan Pemohon, yang menegaskan bahwa

"…….. yang dirugikan hak konstitusionalnya akibat alokasi anggota DPRP yang

diangkat seharusnya diperuntukkan bagi wakil adat Papua, temyata diisi oleh

partai politik" merupakan kekeliruan karena tidak ada alokasi jatah kursi wakil

adat di DPRP. Wakil-wakil adat hanya mempunyai alokasi jatah kursi di MRP

sebagai lembaga representatif kultur orang asli Papua.

5) Dalam permohonan uji materiii inl, nampak bahwa Pemohon tidak konsisten dalam

merumuskan argumentasi atau alasan-alasan. Pemohon selalu

mencampuradukkan dan mempertukarkan antara konsep hak wakil adat dan hak

orang asli Papua.

6) Alokasi jumlah kursi pada DPRP adalah 1 1/4 kali dari jumlah anggota DPRD

Provinsi Papua, menurut Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 21 Tahun 2001

mengandung pemahaman bahwa jumlah yang diberikan kepada Provinsi

Papua berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang adalah 1 kali Jumlah kursi

DPRD Provinsi Papua yaitu 45 kursi, ditambah dengan 1/4 kali jumlah kursi DPRD

Page 48: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

48

Provinsi Papua yaitu sebanyak 11 kursi yang diperuntukan khusus bagi orang

Papua asli, bukan masyarakat adat. Dengan demikian maka jumlah kursi

DPRP adalah 56 kursi. Alokasi tambahan 1 1/4 kursi merupakan kekhususan

UU Nomor 21 Tahun 2001. dengan demikian pengisian anggota DPRP

tambahan 1/4 diatur melalui pemilihan, dan pemilihan dimaksud bukan melalui

mekanisme Pemilihan Umum tetapi pemilihan yang diatur dengan

Perdasi/Perdasus sebagai aturan pelaksana dari UU Nomor 21 Tahun 2001.

7) Dengan demikian Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak bertentangan

dengan Konstitusi.

[2.5] Menimbang bahwa para Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis

yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 17 November 2009, yang pada

pokoknya tetap pada dalil-dalilnya, yang selengkapnya terlampir dalam berkas

perkara;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala

sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk

menguji Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151,

selanjutnya disebut UU 21/2001) terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki Pokok Permohonan, Mahkamah

Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan

mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus permohonan a quo serta kedudukan hukum (legal standing) para

Pemohon;

Page 49: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

49

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945

dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor

98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya

disebut UU MK) juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358),

Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji

konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 terhadap UUD 1945, yang

menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah

berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta

Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu

Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD

1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

Page 50: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

50

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)

UU MK;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD

1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-

putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi

lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau

setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan

akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan

syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana

diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan

hukum (legal standing) para Pemohon sesuai dengan uraian para Pemohon

dalam permohonannya beserta bukti-bukti yang relevan;

[3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan sebagai

perorangan warga negara Indonesia dan/atau kelompok orang yang mempunyai

kepentingan sama yang mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam:

Page 51: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

51

Pasal 18B ayat (2), “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”;

Pasal 27 ayat (3), “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya

pembelaan negara”;

Pasal 28C ayat (2), “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,

dan negaranya”;

Pasal 28H ayat (2), “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan”;

Pasal 28I ayat (4), “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”;

Hak-hak tersebut di atas telah dirugikan secara spesifik dan aktual akibat

diberlakukannya Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001, sepanjang frasa “berdasarkan

peraturan perundang-undangan”, dengan alasan pada pokoknya adalah:

• Bahwa hak para Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan

haknya secara kolektif dan ikut berpartisipasi dalam perencanaan, serta

pengawasan dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan di tanah

Papua menjadi terhalang, karena sejak berlakunya UU 21/2001, khususnya

Pasal 6 ayat (2) sepanjang frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan”

keanggotaan DPRP melalui sistem pengangkatan oleh Komisi Pemilihan Umum

dilakukan oleh partai politik, sehingga para Pemohon tidak dapat diangkat

sebagai anggota DPRP;

• Bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 telah memuat norma hukum

yang tidak jelas, bias dan menimbulkan multi penafsiran;

• Bahwa dengan berlakunya frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan”

yang termuat dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 tersebut juga dapat

Page 52: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

52

menimbulkan konflik di antara masyarakat Papua yang akan menggoyahkan

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK dan syarat

kerugian seperti termuat dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6], dihubungkan

dengan dalil kerugian para Pemohon, Mahkamah berpendapat:

[3.9.1] Bahwa selaku perorangan warga negara Indonesia para Pemohon

mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, terutama hak

konstitusional yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal

28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2);

[3.9.2] Bahwa sejak diberlakukan UU 21/2001, khususnya Pasal 6 ayat (2), hak

para Pemohon untuk ikut berpartisipasi di bidang politik untuk menjadi anggota

DPRP dengan cara diangkat tidak pernah terwujud;

[3.9.3] Bahwa sejak berlakunya UU 21/2001, pelaksanaan pengisian

keanggotaan DPRP baik yang seharusnya dipilih maupun yang seharusnya

diangkat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) keduanya dilakukan melalui

pemilihan umum;

[3.9.3] Bahwa kerugian hak konstitusional yang dialami oleh para Pemohon

bersifat spesifik (khusus) dan aktual, memiliki hubungan sebab-akibat (causal

verband) antara kerugian dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian, dan kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan atau tidak lagi

terjadi apabila permohonan para Pemohon dikabulkan;

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan uraian paragraf [3.9] tersebut di atas,

menurut Mahkamah, para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal

standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001

terhadap UUD 1945;

[3.11] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa,

mengadili, dan memutus permohonan a quo, dan para Pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan

mempertimbangkan pokok permohonan;

Page 53: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

53

Pokok Permohonan

[3.12] Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan para Pemohon adalah

mengenai konstitusionalitas Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 sepanjang frasa

“berdasarkan peraturan perundang-undangan”, bertentangan dengan Pasal 18B

ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2), dengan

alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

• Bahwa partisipasi masyarakat asli Papua sebagaimana dikemukakan dalam

Penjelasan Bagian Umum paragraf 5 UU 21/2001 sebagaimana telah diubah

dengan UU 35/2008, pada hakikatnya bermakna keinginan masyarakat asli

Papua untuk ikut serta dalam kehidupan politik yang berpotensi mempengaruhi

proses pembangunan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia di

antaranya melalui keanggotaan DPRP dengan sistem pengangkatan.

Ketentuan tentang keanggotaan DPRP diisi melalui sistem pengangkatan

dimaksudkan untuk memberi peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua

melalui para wakil adat untuk ikut serta merumuskan kebijakan daerah,

menentukan strategi pembangunan dan melestarikan budaya serta lingkungan

alam Papua.

• Bahwa kekhususan dan keistimewaan tersebut termuat di antaranya dalam

Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 yang menyatakan, "DPRP terdiri atas anggota

yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan".

Berdasarkan ketentuan tersebut, di dalam DPRP terdapat 2 (dua) jenis

keanggotaan, yaitu anggota DPRP yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan

anggota DPRP berdasarkan pengangkatan. Pengisian keanggotaan DPRP

melalui pemilihan umum merupakan pengisian keanggotaan berdasarkan

sistem individual, sedangkan keanggotaan DPRP melalui pengangkatan

merupakan pengisian berdasarkan sistem komunal/kolegial.

• Instrumen hukum bagi calon anggota DPRP yang akan dipilih melalui pemilihan

umum dan masa jabatannya sudah jelas diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang sudah ada, yaitu Pasal 4 ayat (1), Pasal 7, Pasal 23 ayat (1)

dan ayat (2) huruf b, dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Page 54: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

54

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4836), selanjutnya disebut UU Nomor 10/2008, yang

merupakan pengejawantahan dari Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

UUD 1945;

• Bahwa sama halnya dengan anggota DPRP yang dipilih melalui pemilihan

umum, anggota DPRP yang diangkat juga diatur berdasarkan peraturan

perundang-undangan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 6 ayat (2) UU Nomor

21/2001. Adanya frasa "berdasarkan peraturan perundang-undangan'' tersebut

menunjuk pada aturan perundang-undangan yang seharusnya sudah ada

setelah UU Nomor 21/2001 diberlakukan, tetapi ternyata peraturan perundang-

undangan tersebut belum ada. Apa yang dimaksud dengan peraturan

perundang-undangan, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4389, selanjutnya disebut UU Nomor

10/2004) adalah "peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau

pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum'';

• Bahwa frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” tersebut adalah

frasa yang sangat tidak jelas, bias, multi penafsiran dalam pelaksanaannya.

Perbedaan penafsiran ini secara yuridis akan menyebabkan tidak adanya

kepastian hukum, dan secara sosial-politis dapat menimbulkan konflik dalam

masyarakat. Ketidakjelasan, bias, multi penafsiran dan rawan konflik tersebut

berkaitan dengan (i) organ atau lembaga manakah yang berwenang untuk

mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud; (ii) peraturan

perundang-undangan macam apakah yang akan dibentuk, apakah berbentuk

Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Khusus

(Perdasus) atau Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi); (iii) siapa-siapa atau

wakil-wakil dari manakah yang diangkat; dan (iv) berapa lama masa

keanggotaan DPRP yang diangkat tersebut;

Page 55: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

55

• Bahwa frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan'' tersebut juga telah

mereduksi nilai kekhususan yang termuat dalam UU Nomor 21/2001 dan dapat

dijadikan sebagai alat oleh Pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap

pelaksanaan otonomi khusus di tanah Papua serta masih adanya kecurigaan

dari Pemerintah yang menempatkan masyarakat adat Papua sebagai ekstremis

politik menuju separatisme;

• Bahwa adanya frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan”,

membuktikan pembentuk undang-undang tidak menentukan secara spesifik

bentuk peraturan perundang-undangan yang akan mengaturnya. Padahal UU

Nomor 21/2001 tersebut dengan tegas telah mendelegasikan kewenangan

penjabaran dan pelaksanaan Undang-Undang ini dengan Peraturan Daerah

Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) sebagaimana

termuat dalam Penjelasan Umum paragraf 9 UU Nomor 21/2001;

• Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (2)

UU Nomor 21/2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35/2008

sepanjang frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” bertentangan

dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H

ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, para Pemohon

memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran

terhadap Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001 sebagaimana telah diubah

dengan UU Nomor 35/2008 sepanjang frasa “berdasarkan peraturan

perundang-undangan” tersebut harus diartikan sebagai Peraturan Daerah

Khusus (Perdasus);

[3.13] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, para Pemohon di

samping mengajukan bukti-bukti tertulis (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-25),

juga telah mengajukan Ahli Dr. Ibnu Tricahyo, S.H., M.H. dan saksi-saksi M. Wati

Kogoya, Heemskercke Bonay, S.H., dan Onisimus Nussy, yang keterangan

selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai

berikut:

Page 56: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

56

Keterangan Ahli Dr. Ibnu Tricahyo, S.H., M.H.

− Bahwa dalam Penjelasan Umum alinea 5 UU 21/2001, otonomi khusus bagi

Provinsi Papua pada dasarnya adalah memberikan kewenangan yang lebih

luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri

di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

− Bahwa kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan

perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadai

bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil masyarakat adat, agama, dan

kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan

kebijakan daerah menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai

kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua;

− Bahwa Pasal 6 ayat (1) UU 21/2001, DPRP seharusnya mengikutsertakan

masyarakat adat, karena peran DPRP sangat strategis yang tidak mungkin

dilakukan oleh MRP, sebab MRP tidak ikut membahas dan tidak ikut

menentukan hal yang strategis, sedangkan pembentukan politik daerah dan

kebijakan daerah dilakukan oleh DPRP dan Gubernur. Oleh karena itu, selain

yang dipilih melalui Pemilu ada juga yang diangkat untuk mewakili masyarakat

adat;

− Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, Pasal 6 ayat (2) tidak

diubah. Artinya, pembentuk Undang-Undang menginginkan memberi peluang

yang semula diberikan kepada Fraksi TNI dan Polri, sehingga menurut ahli

Pasal 6 ayat (2) seharusnya ditafsirkan diisi oleh wakil masyarakat adat. Hal ini

berbeda dengan yang dilakukan partai politik yang diikat dalam fraksi sebagai

kepanjangan tangan partai. Oleh karena itu, dalam hal kepentingan masyarakat

Papua, seyogianya wakil masyarakat adat yang diangkat diwujudkan sesuai

dengan Undang-Undang a quo;

− Bahwa materi muatan Undang-Undang dalam Pasal 6 ayat (2) yang tidak jelas

harus dilakukan revisi, yang ideal dengan Undang-Undang, namun dapat juga

Presiden mengeluarkan Perpu, karena Presiden sebenarnya memiliki

kewenangan dalam rangka menjalankan Undang-Undang;

Page 57: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

57

Keterangan Saksi M. Wati Kogoya

− Bahwa pesta demokrasi yang sudah dilakukan dari tahun 2004 dan tahun 2009

belum memberikan hak kepada rakyat asli Papua sesuai dengan Undang-

Undang Pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini;

− Bahwa rakyat Papua sudah rugi dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Pemilihan

umum yang terjadi di tanah Papua penuh dengan kasus dan bermasalah,

karena haknya dari tahun 2004 sama saja dengan tahun 2009;

− Bahwa rakyat asli Papua yang sudah “ditindas” selama sembilan tahun

menuntut 11 (sebelas) kursi benar-benar dilaksanakan dan diberikan haknya

kepada rakyat Papua;

Keterangan Saksi Heemskercke Bonay, S.H.

− Bahwa sudah delapan tahun kursi emas bagi orang asli Papua yang berjumlah

11 (sebelas) untuk anggota Dewan tidak pernah terwujud. Hal tersebut

merupakan satu penyelewengan terhadap UUD 1945 yang menjadi landasan,

dan mencederai terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

− Bahwa permasalahan dimaksud merupakan pembunuhan karakter bagi orang

asli Papua yang ingin berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang kita cintai bersama-sama;

− Bahwa secara sadar sudah terjadi pelanggaran Konstitusi di tanah Papua sejak

tahun 2004 dan tahun 2009;

− Bahwa sembilan pernyataan sikap yang mengakui seluruh paguyuban

masyarakat Nusantara Indonesia yang berada di tanah Papua sebagai orang

asli tanah Papua yang salah satu poinnya adalah Pasal 6 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 21 tahun 2001 sampai saat ini belum dinikmati oleh orang-

orang asli Papua;

− Bahwa masyarakat Papua tetap berkeinginan dalam NKRI dan tetap menjaga

keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, saksi minta hak orang asli Papua harus

ditegakkan. Rakyat Papua menunggu hasil yang sedang diperjuangkan di

Mahkamah Konstitusi;

Page 58: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

58

Keterangan Saksi Onisimus Nussy

− Bahwa UU 21/2001 diberikan hanya sebagai siasat. Saksi sepakat bahwa

Papua tetap bagian integral dari bangsa Indonesia, sehingga pemerintah harus

mendukung dan memberikan sumbangsih pemikiran untuk mengangkat harkat

dan martabat orang asli Papua yang merupakan bagian integral dari bangsa

Indonesia;

− Bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dengan penunjukkan 11 kursi secara

sepihak, tanpa melalui aturan dan perundang-undangan yang berlaku, karena

diperebutkan oleh partai politik-partai politik dalam Pemilu. Hal ini merupakan

perampasan hak politik orang asli Papua yang merupakan arogansi politik yang

dilakukan di tanah Papua. Sekian banyak uang yang diberikan berdasarkan

Undang-Undang Otonomi Khusus, tetapi aturan pelaksanaan untuk

melaksanakan implementasi uang dan undang-undang tidak jalan di tanah

Papua sampai hari ini, sehingga tidak ada perubahan-perubahan yang berarti

dalam rangka mengangkat taraf hidup masyarakat tanah Papua;

− Bahwa agar Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang

atau dengan peraturan khusus atau pemberian khusus karena sangat urgen

dan tidak dapat ditunda guna menentukan nasibnya sendiri dalam

merencanakan kebijakan-kebijakan pembangunan bagi rakyat Papua;

[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Pemerintah,

selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

‒ Mekanisme pengisian anggota DPRP melalui pengangkatan sebagaimana

dimaksudkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang a quo haruslah dipahami dalam

konteks politik hukum, harmonisasi, dan sinkronisasi hukum pada saat Undang-

Undang tersebut diterbitkan, yaitu konteksnya dengan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang memberikan peluang rekrutmen

anggota DPRD melalui mekanisme pengangkatan, sehingga ketika konteksnya

adalah pada saat periode Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun

2001 yang berlaku adalah sistem politik di Indonesia yaitu ada anggota

parlemen yang diangkat dan ada anggota parlemen yang dipilih. Ketika ada

Page 59: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

59

satu fraksi di parlemen yang diangkat dengan mekanisme pengisian adalah

melalui pengangkatan, dimaksudkan untuk mengakomodasi pengangkatan

anggota DPRP dari unsur Anggota TNI/Polri karena hal tersebut sejalan dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang berlaku

saat itu;

‒ Sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, mekanisme pengisian

anggota DPRD dengan pengangkatan tidak ada lagi, sehingga pengisian

anggota DPRD hanya dilakukan melalui Pemilu, pilihan kebijakan tersebut

berlanjut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dengan demikian, yang berlaku pada

saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang ditegaskan

kembali dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,

DPD dan DPRD;

‒ Pasal 290 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 menyatakan bahwa DPR

Provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih

melalui pemilihan umum. Dalam Pasal 400 Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2009 juga ditegaskan bahwa Undang-Undang ini berlaku juga bagi Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh,

Dewan Perwakilan Rakyat Papua atau DPRD di Provinsi Papua dan DPRD

Provinsi Papua Barat sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri.

Dengan norma yang demikian maka pengisian anggota DPRP hanya dapat

dilakukan melalui pemilihan;

‒ Kekhususan Papua terkait dengan DPRP sebetulnya terletak pada jumlah

anggota yang lebih banyak daripada DPRD Provinsi lainnya, yaitu anggota

DPRP 1¼ kali dari DPRD sebelumnya bukan dalam mekanisme perekrutannya

melalui pengangkatan sehingga jumlah anggota DPRP sekarang adalah 1¼ kali

jumlah anggota DPRD Papua. Hak konstitusional orang asli Papua tetap

dilindungi dalam Undang-Undang a quo dan tidak ada halangan bagi orang-

orang asli Papua untuk menjadi Anggota DPRP melalui Pemilu. Perlindungan

terhadap orang asli Papua juga diprioritaskan dalam Undang-Undang a quo

Page 60: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

60

yaitu adanya prioritas bagi masyarakat asli Papua dalam rekrutmen politik oleh

partai politik;

‒ Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang a quo menyebutkan bahwa rekrutmen politik

oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan

masyarakat asli Papua, Pasal 28 ayat (4) menyebutkan bahwa partai politik

wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen

partai politik masing-masing;

[3.15] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Pemerintah

Provinsi Papua yang diwakili oleh Gubernur Barnabas Suaebu, yang selengkapnya

telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut:

‒ Sebelum reformasi, pengisian anggota legislatif dilakukan melalui dua cara yaitu

pemilihan umum dan pengangkatan. Setelah era reformasi, pengisian anggota

legislatif hanya melalui pemilihan umum;

‒ Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 masih mengalokasikan jatah kursi lembaga legislatif

melalui proses pengangkatan. Setelah pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2001

secara efektif pada tanggal 1 Januari 2002, pengisian anggota legislatif di DPRP

dalam Pemilu Tahun 2004 berlaku UU Nomor 22 Tahun 2003, dimana pengisian

anggota DPRP hanya melalui proses pemilihan lewat pemilu legislatif yang

dilaksanakan oleh KPU Provinsi. Dengan demikian, pengisian anggota DPRP

tidak lagi melalui proses pengangkatan, yang dengan sendirinya sudah tidak

dimungkinkan lagi alokasi jatah kursi kepada beberapa unsur seperti TNI, Polri

atau organisasi kemasyarakatan termasuk masyarakat adat melalui proses

pengangkatan;

‒ Dengan berlakunya UU 21/2001 khususnya Pasal 19 ayat (1) telah disediakan

wadah berhimpunnya organisasi kemasyarakatan untuk orang asli Papua, yaitu

MRP yang beranggotakan orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil

masyarakat adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan, yang

jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Wakil-wakil

masyarakat adat diberikan tempat untuk turut serta memberikan pertimbangan

terhadap praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka otonomi

khusus pada umumnya, dan pembentukan Perdasus dalam rangka melindungi

Page 61: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

61

hak-hak orang asli Papua. Dengan demikian, permohonan Pemohon angka 4

merupakan kekeliruan karena tidak ada alokasi jatah kursi wakil masyarakat adat

di DPRP. Wakil-wakil masyarakat adat hanya mempunyai alokasi jatah kursi di

MRP sebagai lembaga representatif kultur orang asli Papua;

‒ Dalam permohonan uji materiil ini, tampak para Pemohon tidak konsisten dalam

merumuskan argumentasi atau alasan-alasan. Para Pemohon selalu

mencampuradukkan dan mempertukarkan antara konsep hak wakil masyarakat

adat dan hak orang asli Papua;

‒ Alokasi jumlah kursi pada DPRP adalah 1¼ kali dari jumlah anggota DPRD

Provinsi Papua, menurut Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 21 Tahun 2001

mengandung pemahaman bahwa jumlah yang diberikan kepada Provinsi Papua

berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang adalah 1 kali jumlah kursi DPRD

Provinsi Papua, yaitu 45 kursi, ditambah dengan ¼ kali jumlah kursi DPRD

Provinsi Papua, yaitu sebanyak 11 kursi, yang diperuntukkan khusus bagi orang

asli Papua, bukan masyarakat adat. Dengan demikian, maka jumlah kursi

DPRP adalah 56 kursi. Alokasi tambahan 1¼ kursi merupakan kekhususan UU

21/2001, sehingga pengisian anggota DPRP tambahan ¼ diatur melalui

pemilihan, dan pemilihan dimaksud bukan melalui mekanisme pemilihan umum

tetapi pemilihan yang diatur dengan Perdasi/Perdasus sebagai aturan

pelaksana dari UU Nomor 21 Tahun 2001. Oleh karena itu Pasal 6 ayat (2) UU

Nomor 21 Tahun 2001 tidak bertentangan dengan Konstitusi;

Pendapat Mahkamah

[3.16] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama

permohonan para Pemohon, bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh para Pemohon,

keterangan Pemerintah, keterangan ahli dan saksi-saksi dari para Pemohon, dan

keterangan Pihak Terkait, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.16.1] Bahwa Provinsi Papua merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan bahasa daerah, namun

dari fakta hukum dalam persidangan, orang asli Papua merasakan bahwa berbagai

kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan belum

sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat,

Page 62: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

62

mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan penghormatan

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, yang berakibat pada

terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam

bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, dan sosial politik;

[3.16.2] Reformasi pada tahun 1998 telah memberi peluang bagi timbulnya

pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar

bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih

baik. Terkait dengan hal tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun

1999 mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis

Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, terutama dalam Bab IV huruf (g) angka 2,

telah menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi

Irian Jaya.

Selanjutnya pada tahun 2000, MPR kembali mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor

IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi

Daerah, yang isinya antara lain, menekankan tentang pentingnya segera

merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang

otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi

masyarakat. Di samping adanya Tap MPR tersebut, UUD 1945 sebagai hukum

tertinggi juga mengakui dan menghormati adanya pemerintahan yang bersifat

khusus. Ketentuan UUD 1945 dimaksud adalah Pasal 18B ayat (1) yang

menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-

undang”. Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan UUD 1945 dan Tap MPR

dimaksud, Pembentuk Undang-Undang sesuai dengan kewenangannya menyusun

Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang

kemudian disahkan menjadi UU 21/2001;

[3.16.3] Bahwa pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya

adalah pendelegasian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua

untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk

memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua,

termasuk memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua untuk ikut

Page 63: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

63

serta merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan.

Salah satu peran serta masyarakat asli Papua dalam merumuskan kebijakan

daerah dan menentukan strategi pembangunan terutama dalam bidang sosial

politik adalah menjadi anggota DPRP. Sehubungan dengan hal tersebut,

Penjelasan Umum UU 21/2001 secara tegas mendorong orang asli Papua untuk

terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua

dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam

menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Penjelasan Umum UU 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya

kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yakni pengistimewaan untuk

sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli

Papua untuk memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan;

[3.16.4] Bahwa UU 21/2001 sebagai pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1)

UUD 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan

dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan

rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan

daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain, adanya sebagian

anggota DPRP yang diangkat.

[3.16.5] Bahwa keanggotaan DPRP yang diangkat dengan kuota ditentukan oleh

Pasal 6 ayat (4) UU 21/2001 yang menyatakan bahwa jumlah anggota DPRP

adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua,

adalah bentuk perlakuan khusus yang tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat

(2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan”, merupakan kebijakan afirmatif. Perlakuan

khusus seperti itu diterapkan juga untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu

diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal;

[3.16.6] Bahwa akan tetapi pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 pengisian anggota

DPRP baik yang seharusnya dipilih maupun yang seharusnya diangkat, ternyata

semuanya dilakukan dengan cara pemilihan umum oleh KPU, sehingga hak

masyarakat asli Papua untuk mengisi keanggotaan DPRP dengan cara diangkat

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (4) UU 21/2001 belum pernah

Page 64: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

64

terwujud. Apabila mengacu pada Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka pengisian

keanggotaan DPRP yang dilakukan oleh KPU melalui pemilihan umum seharusnya

hanya sebanyak 45 kursi, sedangkan ¼ (seperempat) dari 45 kursi yaitu sebanyak

11 kursi, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU 21/2001 seharusnya

dilakukan dengan cara diangkat. Dengan demikian, pengisian 56 kursi DPRP

Provinsi Papua oleh KPU yang seluruhnya melalui pemilihan umum merupakan

tindakan yang melampaui kewenangan dan bertentangan dengan Pasal 18B ayat

(1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU

21/2001;

[3.16.7] Bahwa pengisian keanggotaan DPRP melalui pengangkatan merupakan

pengisian berdasarkan sistem komunal/kolegial, sedangkan keanggotaan DPRP

yang dipilih merupakan pengisian keanggotaan DPRP berdasarkan hasil pemilihan

umum. Tata cara pemilihan anggota DPRP yang akan dipilih melalui pemilihan

umum dan masa jabatannya sudah jelas diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik, yang merupakan pengejawantahan dari Pasal 22E ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Ada pun tata cara pengisian anggota DPRP

yang diangkat belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena

itu, dengan mengacu pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan,

“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh

lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”, maka

ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21/2001 sepanjang frasa “berdasarkan

peraturan perundang-undangan”, menurut Mahkamah harus diartikan sebagai

Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dengan pertimbangan bahwa ketentuan

pengisian keanggotaan DPRP dengan cara diangkat memerlukan peraturan

daerah khusus sebagai pelaksanaan pasal tertentu dari UU 21/2001, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1 huruf i UU 21/2001 yang menyatakan, “Peraturan Daerah

Page 65: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

65

Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi

Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang ini.”

Selain Pasal 1 huruf i UU 21/2001, Penjelasan Umum UU 21/2001 alinea sembilan

juga memberi penjelasan bahwa penjabaran dan pelaksanaan UU 21/2001 diatur

dengan Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. Ada pun bunyi

selengkapnya Penjelasan Umum UU 21/2001 alinea sembilan adalah sebagai

berikut, “Penjabaran dan pelaksanaan Undang-Undang ini di Provinsi dan

Kabupaten/Kota dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat

berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Papua,

yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.

Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan

Daerah Provinsi Papua yang tidak mengesampingkan peraturan perundang-

undangan lain yang ada termasuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sepanjang tidak

diatur dalam Undang-Undang ini”;

[3.16.8] Menimbang bahwa sesuai dengan pertimbangan hukum yang diuraikan di

atas, menurut Mahkamah keanggotaan DPRP yang telah diisi sejumlah 56 (lima

puluh enam) kursi/orang harus tetap dianggap sah, namun demi integrasi bangsa

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan guna memberi manfaat,

perlakuan yang adil, kesetaraan, dan kesempatan kepada masyarakat asli Papua,

yang didasarkan pada nilai-nilai dasar etika dan moral, hak-hak dasar penduduk

asli, demokrasi serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga

negara maka jumlah 11 (sebelas) kursi untuk keanggotaan DPRP dengan cara

diangkat harus tetap diberikan sebagai pelaksanaan Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001

khusus untuk periode 2009-2014;

[3.17] Menimbang bahwa sehubungan dengan pengisian 11 (sebelas) kursi

keanggotaan DPRP yang diangkat maka Gubernur Provinsi Papua bersama

Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua perlu segera membuat Peraturan

Daerah Khusus tentang tata cara pengisian anggota DPRP yang di dalamnya

memuat, antara lain, ketentuan tentang penambahan 11 (sebelas) anggota DPRP

yang diangkat dan berlaku satu kali (einmalig) untuk Periode 2009-2014. Untuk

Page 66: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

66

periode berikutnya harus dikembalikan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat

(4) UU 21/2001, yaitu dipilih melalui pemilihan umum dan dengan cara diangkat

yang tata cara pengangkatannya diatur dengan Peraturan Daerah Khusus

(Perdasus);

[3.18] Menimbang bahwa selanjutnya terkait dengan Pasal 290 maupun Pasal

400 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diutarakan Pemerintah, Mahkamah

berpendapat:

• bahwa UU 21/2001 merupakan Undang-Undang khusus bagi Provinsi Papua

yang di dalamnya secara khusus diatur pengisian anggota DPRP dengan dua

cara, yaitu dipilih dan diangkat. Untuk anggota DPRP jumlah kuotanya telah

ditentukan yaitu 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi

Papua;

• bahwa Pasal 290 dan Pasal 400 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tersebut, hanya dapat diterapkan untuk pengisian keanggotaan DPRP dengan

cara dipilih, sedangkan untuk pengisian keanggotaan DPRP dengan cara

diangkat tidak tunduk dengan pasal-pasal a quo, karena UU 21/2001 telah

mengaturnya secara khusus dan sebagai salah satu kekhususan Provinsi

Papua dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) yang pelaksanaannya diatur dalam

Peraturan Daerah Khusus;

Berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah keterangan Pemerintah terkait

dengan Pasal 290 dan Pasal 400 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 adalah

tidak tepat dan harus dikesampingkan;

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas,

meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum namun keberadaan pasal

a quo tidak dapat secara serta-merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena hal demikian dapat

menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pasal 6

ayat (2) UU 21/2001 sepanjang frasa “berdasarkan peraturan perundang-

Page 67: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

67

undangan” harus dinyatakan inkonstitusional kecuali frasa ”berdasarkan

peraturan perundang-undangan” dalam pasal a quo diartikan “berdasarkan

Peraturan Daerah Khusus”, karena jika tidak demikian dapat menimbulkan

ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

4. KONKLUSI

Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan

di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua sepanjang frasa ”berdasarkan peraturan

perundang-undangan” adalah inkonstitusional kecuali frasa

”berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam pasal a quo

diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah Khusus”;

[4.4] Peraturan Daerah Khusus mengenai pengisian keanggotaan DPRP

dengan cara diangkat sebanyak 11 (sebelas) kursi sebagai pelaksanaan

Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 hanya berlaku satu kali (einmalig) untuk

periode 2009-2014, dengan tetap menganggap sah 56 (lima puluh enam)

kursi yang telah ada.

Berdasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan mengingat Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor

98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili

• Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

Page 68: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

68

• Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4151) sepanjang frasa ”berdasarkan peraturan perundang-

undangan” adalah inkonstitusional kecuali frasa ”berdasarkan peraturan

perundang-undangan” dalam pasal a quo diartikan “berdasarkan Peraturan

Daerah Khusus”;

• Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4151) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa

”berdasarkan peraturan perundang-undangan” tidak diartikan

“berdasarkan Peraturan Daerah Khusus”;

• Menyatakan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua periode 2009-

2014 sebanyak 56 (lima puluh enam) anggota sah menurut hukum, ditambah

11 (sebelas) anggota yang diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Khusus

sebagaimana amar putusan ini dan berlaku hanya sekali (einmalig) untuk

periode 2009-2014;

• Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

• Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan

Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota,

Abdul Mukthie Fadjar, M. Akil Mochtar, Maruarar Siahaan, Harjono, Maria Farida

Indrati, Muhammad Alim, Achmad Sodiki, dan M. Arsyad Sanusi masing-masing

sebagai Anggota pada hari Rabu tanggal tiga puluh bulan Desember tahun dua

ribu sembilan dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka

untuk umum pada hari Senin tanggal satu bulan Februari tahun dua ribu sepuluh

oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap

Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Harjono, Maria Farida Indrati,

Muhammad Alim, M. Arsyad Sanusi, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva

masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Alfius Ngatrin sebagai

Page 69: PUTUSAN Nomor 116/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN …hukum.unsrat.ac.id/mk/mk2009_116.pdf · sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

69

Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa, Pemerintah atau yang

mewakili, Pihak Terkait atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Dewan

Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

td Achmad Sodiki

ttd.

M. Akil Mochtar

ttd.

Harjono

ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

Muhammad Alim

ttd.

M. Arsyad Sanusi

ttd.

Ahmad Fadlil Sumadi

ttd.

Hamdan Zoelva

PANITERA PENGGANTI

ttd.

Alfius Ngatrin