PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
-
Upload
annisa-istiqomah -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
description
Transcript of PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Teori belajar disebut juga dengan psikologi belajar yaitu teori yang mempelajari
perkembangan intelektual (mental) siswa. Di dalamnya terdiri atas dua hal, yaitu: pertama,
uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak, dan yang kedua
adalah uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia
tertentu.
Teori belajar perlu kiranya untuk diketahui dan dipahami untuk kemudian menjadi dasar
dalam melaksanakan proses pembelajaran. Para tokoh-tokoh terkemuka telah mengemukakan
beberapa teori belajar yang mendasari pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik adalah pembelajaran berdasarkan teori
psikologi kontruktivisme. Menurut Orton (2004: 196) constructivism is therefore based on the
view that, in the last resort, we all have to make sense of the world ourselves; we develop our
understandings throughout life continuously, and through our own efforts and insights. Makna
konstruktivisme adalah pandangan berdasarkan bahwa, kita semua harus memahami diri kita
sendiri, kita mengembangkan pemahaman kita sepanjang hidup terus menerus, dan melalui usaha
kita sendiri dan wawasan yang kita miliki.
Salah satu ciri dari pembelajaran `matematika berdasarkan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) adalah penyajiannnya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran. Dalam
bagian ini akan dijelaskan berbagai teori pembelajaran berdasarkan aliran psikologi Stimulus-
Respon dan aliran psikologi kognitif dan penerapannya dalam pengajaran matematika sekolah.
Dengan menguasai psikologi pembelajaran, seorang guru dapat mengetahui kemampuan
yang telah dimiliki peserta didik, bagai mana proses berpikirnya, dan mampu menciptakan
proses pembelajaran sesuai dengan kondisi dan tujuan yang diharapkan.
A. ALIRAN PSIKOLOGI STIMULUS-RESPON
1. Teori Thorndike
2. Teori Skinner
3. Teori Ausubel
4. Teori Gagne
5. Teori Pavlov
6. Teori Baruda
B. ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF
1. Teori Piaget
2. Teori Bruner
3. Teori Gestalt
4. Teori Brownell
5. Teori Dienes
6. Teori Van Hiele
a. Teori Belajar Piaget
Dijelaskan dalam Orton (2004: 49) Piaget's theory of intellectual development was based
on results from experiments with children using the clinical or individual interviewing
method. Teori Piaget tentang perkembangan intelektual didasarkan pada hasil dari eksperimen
pada anak-anak dengan menggunakan metode klinis atau wawancara individu.
Gambar 1.Conservasi Piaget
Satu percobaan konservasi didasarkan pada kemasan yang berisi manik-manik. Dua jumlah manik-manik yang sama jumlahnya dimasukan kedalam wadah yang identik, sehingga mencapai ketinggian yang sama di kedua wadah yang dimaksudkan untuk dilihat oleh anak-anak agar anggapannya pada ke dua wadah tersebut benar-benar setara. Manik-manik dari salah satu wadah kemudian dituangkan kedalam wadah dari bentuk yang sangat berbeda, pertama ke dalam wadah luas dan pendek, dan kedua ke dalam wadah yang tinggi dan sempit (lihat Gambar 1). Pada setiap tahap, anak ditanya apakah ada perbedaan antara isi wadah (jumlah manik-manik).
Piaget membagi tahap perkembangan pada manusia berdasarkan usia dalam empat tahap, seprti yang dijelaskan dalam Hergenhahn & Olson (2008: 318-320):
1) Tahap sensori motor, berada pada usia dari lahir sampai dua tahun. Anak pada tahap ini bersikap egosentris. Segala sesuatu dilihat berdasarkan kerangka referensi dirinya sendiri, dan dunia psikologis mereka adalah satu-satunya dunia yang ada.
2) Tahap berpikir pra operasional, berada pada usia sekitar dua sampai tujuh tahun. Pada tahap ini, anak mulai membentuk konsep sederhana. Mereka mulai mengklasifikasikan benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya, tetapi mereka melakukan banyak kesalahan lantaran konsep mereka itu. Anak-anak memecahkan problem secara intuitif, bukan berdasarkan kaidah logika. Dan yang paling menonjol pada tahap ini adalah kegagalannya untuk mengembangkan konservasi.
3) Tahap operasional konkrit, berada pada usia antara tujuh sampai sebelas atau dua belas tahun. Anak kini mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan (konservasi), kemampuan mengelompokkan secara memadai, melakukan pengukuran, dan mengenali konsep angka.
4) Tahap Operasi formal, berada sekitar sebelas atau 12 tahun sampai empat belas atau Lima belas tahun. Anak-anak kini bisa menangani situasi hipotetis, dan proses berpikir mereka tak lagi tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil.
Asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek aktivitas mental yang pada dasarnya merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi antara pikiran dan kenyataan, kita menstruktur hal-hal yang ada dalam pikiran kita, namun tergantung kepada bagaimana hal-hal itu ada di dalam realita. Dengan demikian, belajar tidak hanya menambah informasi dan pengalaman baru yang ditempalkan ke informasi dan pengalaman sebelumnya, Tetapi setiap informasi dan pengalaman baru menyebabkan informasi dan pengalaman sebelumnya dimodifikasi untuk mengasimilasi-akomodasi informsi dan pengalaman baru.
b. Teori Belajar VygotskyMenurut Wood, Nelson, & Warfield (2001: 6) menjelaskan prinsip dasar
pembelajaran konstruktivis,they all take as basic tenets of a constructivist theory of learning that children actively construct
mathematical knowledge for themselves through interaction with the social and physical
environment and through extension and reorganization of their own mental constructs. Children
are not passive recipients of such knowledge; they generate it, put structure into it, assimilate it
in light of their own mental frameworks, and revise existing mental frameworks to accommodate
new experience. Further, such mathematical thinking does not begin in school. Children begin
life as active mathematical thinkers and come to school with rich networks of informal
mathematical ideas already in place.
Bahwa anak-anak secara aktif membangun pengetahuan matematika untuk diri mereka sendiri melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik dan melalui perpanjangan dan reorganisasi mental mereka sendiri konstruksi. Anak-anak tidak penerima secara pasif dari pengetahuan tersebut; mereka menghasilkan hal itu, ia struktur ke dalamnya, mengasimilasi dalam kerangka mental mereka sendiri, dan merevisi kerangka mental yang ada untuk mengakomodasi pengalaman baru. Selanjutnya, berpikir matematis tersebut tidak dimulai di sekolah. Anak-anak memulai hidup sebagai pemikir matematika aktif dan datang ke sekolah dengan jaringan yang kaya ide-ide matematika informal sudah di tempat.
Dalam pandangan ini, mengajar tidak lagi menjadi masalah melihat pikiran siswa sebagai papan tulis kosong dan membuat mereka menginternalisasi matematika yang benar. Sebaliknya, karya pengajaran akan terdiri dari pengembangan konteks pembelajaran di mana siswa bisa bergerak dari mereka sendiri, intuitif, pemahaman matematika untuk orang-orang matematika konvensional. Proses matematika seperti pemecahan masalah, penalaran, membuat koneksi antara ide-ide matematika, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika yang disorot. Singkatnya, mengajar matematika dibayangkan sebagai matematika-mengajar untuk membuat rasa, dengan fokus pada isi dan proses.
c. Teori Belajar BrunerTomei (2010: 29-30) menjelaskan “Cognitive theorists focus on the mind’s ability to
make sense of the world. Thinking, beliefs, expectations, and feelings influence what and how we
learn. Cognitivists view knowledge as the outcome of learning and the power of knowledge as
the driving motivator in adult learning”.Teori kognitif berfokus pada kemampuan pikiran untuk
memahami dunia. Berpikir, keyakinan, harapan, dan perasaan mempengaruhi apa dan bagaimana
kita belajar.Kognitif melihat pengetahuan sebagai hasil pembelajaran dan kekuatan pengetahuan
sebagai motivator pada pembelajaran orang dewasa.
Teori belajar yang dipopulerkan Bruner disebut discovery learning.Batasan pengertian discovery learning disebutkan oleh Lefrancois (2000: 209), “discovery learning can be defined as the learning that takes place whwn student are not presented with subject matter in its final form but rather are required to organize it themselves”. Kondisi siswa dalam pengertian belajardiscovery tidak pasif menerima keterangan materi dalam bentuk final dari guru, melainkan cenderung menyusun materi sebagaimana yang siswa pahami.
Bruner (Tomei, 2010: 27) mengemukakan bahwa dalam proses belajar anak-anak
berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu:
1) Tahap Enaktif
Pada tahap ini, anak secara langsung terlihat menggunakan atau memanipulasi
(mengotak-atik) objek-objek konkret secara langsung.
2) Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran
dari objek-objek konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti
pada enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek-objek
yang dimaksud.
3) Tahap Simbolik
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi
ada kaitannya dengan objek-objek. Pada saat belajar anak belajar lebih mudah dari suatu gerak
ataupun proses penginderaan pada objek, selanjutnya berkembang belajar melalui media visual
seperti gambar, grafik, peta, foto, dan sebagainya. Pada tahapan berikutnya, seorang anak
memiliki kemampuan menerima informasi melalui kata-kata verbal.
d. Teori Belajar DienesDienes (Bell, 1978: 124) percaya bahwa semua abstraksi didasarkan pada intuisi dan
pengalaman konkret, maka dari itu sistem dalam pembelajaran matematika menekankan
pada mathematics laboratories, memanipulasi objek, dan permainan matematika.
Menurut Dienes (Bell, 1978: 125-126), konsep-konsep matematika akan berhasil jika
dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap,
sebagai berikut.
a) Free Play (permainan bebas). Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang
aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Walaupun guru memberikan arahan yang
bervariasi dari materi untuk siswa memanipulasi. Disini siswa mendapatkan pengalaman yang
pertama dari suatu konsep baru melalui interaksi dengan lingkungan yang mana
berisi representation konkret dari konsep. Pada tahap ini struktur dan bakat mental siswa
dibentuk yang mana disiapkan untuk memahami konsep struktur matematika .
b) Games (permainan yang disertai aturan). Pada tahap ini siswa akan memulai mengobservasi
pola dan keteraturan yang diwujudkan dalam konsep. Melalui permainan anak mulai mengenal
dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Pada tahap ini anak juga sudah mulai
mengabstraksikan konsep. Untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu
kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk menolak
yang tidak relevan dengan pengalaman itu.
c) Searching for communities (permainan kesamaan sifat). Pada tahap ini siswa belum mampu
mengklasifikasikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep. Dienes menyarankan bahwa
guru dapat membantu siswa melihat strukturcommunality dalam contoh dari konsep yang
ditunjukan kepada siswa bagaimana tiap contoh dapat ditransfer kedalam tiap contoh yang lain
tanpa merubah sifat abstrak yang umum dari semua contoh.
d) Representation (representasi). Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari
beberapa situasi yang sejenis. Para anak didik menentukan representasi dari konsep-konsep
tertentu. Representasi yang diperoleh bersifat abstrak. Dengan melakukan representasi anak didik
telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat abstrak pada topik-topik yang
sedang dipelajari.
e) Symbolization (simbolisasi). Simbolisasi adalah belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika
atau melalui perumusan verbal.
f) Formalization (formalisasi). Setelah siswa mempelajari sebuah konsep dan hubungannya
dengan struktur matematika, siswa harus memahami sifat dari konsep dan mengingat akibat dari
sifat tersebut. Sifat dasar struktur matematika adalah sistem aksioma yang diambil dari sifat
theorema dan prosedur. Pada tahap ini siswa dituntut menggunakan konsep untuk memecahkan
masalah dan mengaplikasikan masalah dalam matematikahttp://sutartomathlovers.blogspot.co.id/2012/03/psikologi-pembelajaran-matematika.html
1. Psikologi pembelajaran adalah suatu hal yang mutlak dikuasai oleh guru
dan calon guru agar tujuan pembelajaran matematika yang telah direncanakan
tercapai secara maksimal. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru
tidak hanya memperhatikan hakikat matematika tetapi juga psikologi
pembelajaran matematika.
a. Apa yang dimaksud psikologi pembelajaran matematika? Jelaskan!
Pertama kita harus mengetahui dahulu apa itu PSIKOLOGI, apa itu
PSIKOLOGI PEMBELAJARAN, dan PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA.
Yang saya ketahui makna dari PSIKOLOGI adalah studi ilmiah tentang prilaku dan
proses mental , sedangkan PSIKOLOGI PEMBELAJARAN adalah Pembelajaran
antara guru dan siswa. Siswa bisa belajar efektif dan guru mengajar baik cabang
psikologi yang terkhusus dalam cara memahami pengajaran, pembelajran, dalam
lingkungan pendidikan. mengenai psikolgi pembelajaran matematika terutama
adalah bagaimana seseorang belajar, tentang bagaimana orang tersebut
melakukan atau melaksanakan suatu tugas dan tentang bagaimana orang tersebut
bisa berkembangan. Pengertian tersebut dinyatakan oleh Resnick dan Ford
(1984:3) yaitu: “Most people know psychology is concerned with how people learn,
with how they perform tasjs, and with how they develop.” Meskipun begitu Resnik
dan Ford mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran
matematika, diantaranya:
* Daripada hanya membahas atau mengkaji tentang bagaimana seseorang
berfikir ketika ia sedang mengerjakan tugasnya, mengapa kita tidak mengkaji
bagaimana cara seseorang berfikir ketika ia sedang mengerjakan matematika?
* Daripada hanya membahas atau mengkaji bagaimana pemahaman konsep
dapt berkembang di benak siswa, mengapa kita tidak mengkaji bagaimana tentang
bagaimana pemahaman konsep matematika dapat berkembang dibenak siswa?
Psikologi pembelajaran matematika menurut Resnick dan Ford (1984:4) adalah
ilmu yang mengkaji tentang struktur atau susunan bangunan matematika itu
sendiri dan mengkaji juga tentang bagaimana seseorang itu berfikir (think),
bernalar (reason), dan bagaimana ia menggunakan kemampuan intelektualnya
tersebut. Pada akhir-akhir ini, banyak ahli pembelajaran matematika muncul,
diantara nya Resnick dan Ford yang telah menulis buku “The Psyhology of
Mathematics for Instruction” dan juga Orton yang menulis buku “Learning
Mathematics”. Kedua buku tersebut membahas teori belajar yang langsung
dikaitkan dengan materi matematika.http://nurul-huda-blog.blogspot.co.id/2012/07/psikologi-pembelajaran-maematika_7212.html