Protap Kegawatdaruratan Kedokteran Gigi (1)
-
Upload
aditya-dana-iswara -
Category
Documents
-
view
263 -
download
23
description
Transcript of Protap Kegawatdaruratan Kedokteran Gigi (1)
PROTAP KEGAWATDARURATAN KEDOKTERAN GIGI
1. Hentikan pemberian obat penyebab shock atau penyebab alergi (allergen)
Bila tanda-tanda fisik dan gejala yang mungkin mengindikasikan kegawat daruratan
medis termasuk nyeri dada, kulit pucat, berkeringat, muntah, pernapasan tidak teratur,
perdarahan, dan perubahan denyut nadi dan tekanan darah. Ketika situasi darurat.
perawatan gigi harus dihentikan segera, dan obat-obatan yang berpotensi menyebabkan
kegawat daruratan, dihentikan pemberiannya. (Resuscitation Council (UK), 2012)
2. Segera posisikan pasien dalam posisi supine dengan kaki diangkat hingga ± 30
derajat.
Penderita diposisikan pada posisi supine atau shock. Bertujuan untuk menghasilkan
peningkatan aliran darah di daerah kepala dengan sedikit hambatan dalam sistem
respirasi. (Simon et al, 2012)
3. Segera cek tanda vital pasien (A,B,C) dan minta bantuan.
Hal yang dilakukan, untuk mengkaji situasi kegawatdaruratan adalah dengan memberikan
pasien stimulasi seperti cubitan, tepukan, atau panggilan. Bila pasien tidak responsif,
pasien beresiko terkena obstruksi jalan napas. Perlu diingat penilaian sederhana dari
tingkat kesadaran sangat berguna untuk langkah penanganan berikutnya. (Resuscitation
Council (UK), 2012)
A: Dengarkan suara nafas, lihat gerak rongga dada pasien saat bernafas dan
rasakan hembusan nafas penderita (listen, look, feel).
Listen, Look, Feel, bertujuan untuk mengecek ada tidaknya nafas, adanya obstruksi nafas,
dan tingkat pernafasan. Dengan mendengar adanya suara yang tidak normal pada
pernapasan, seperti snoring, yang menandakan adanya obstruksi jalan nafas. Lalu melihat
pergerakan sangkar dan merasakan nafas penderita. (Resuscitation Council (UK), 2012)
B: Apabila korban sadar, jaga jalan nafas, respirasi dan sirkulasi pasien tetap
stabil. Apabila pasien bernafas secara spontan dan ada sumbatan pada jalan
nafasnya, segera buka dan bebaskan jalan nafas dengan head tilt-chin lift atau jaw
thrust. Lepaskan juga perhiasan dan aksesoris yang dapat mengganggu jalannya
nafas.
Sedangkan apabila korban tidak sadar dan henti nafas, segera lakukan 30x pijat
jantung tanpa terlebih dahulu meraba nadi karotis.
Tekhnik head tilt–chin lift merupakan manuver untuk membuka jalan napas korban
kegawatdaruratan dengan tidak ada tanda trauma kepala atau leher. Manuver head tilt–
chin lift tidak bisa dilakukan pada penderita obstruksi tulang belakang. Bagi korban
dengan cedera tulang belakang, penyelamat harus awalnya menggunakan manual
pembatasan gerak tulang belakang (misalnya, menempatkan 1 tangan di kedua sisi kepala
pasien untuk menahan). Perangkat imobilisasi tulang belakang dapat mengganggu
mempertahankan jalan napas pasien. (Chair et al, 2012)
Jika diduga terjadi adanya cedera tulang belakang leher, manuver yang harus
dilakukan adalah membuka jalan napas menggunakan jaw thrust tanpa ekstensi kepala.
Karena mempertahankan jalan napas paten dan memberikan ventilasi yang memadai
adalah prioritas dalam CPR. Manuver head tilt–chin lift tidak cukup membuka jalan
napas. (Chair et al, 2012)
C: raba nadi karotis 5-10 detik setelah 30x pijat jantung. Bila tidak teraba
lanjutkan pijat jantung dan nafas buatan dengan ratio 30 : 2.
4. Berikan injeksi Epinephrine (adrenaline) 1:1000 aqueos solution
Epineprine diberikan sebanyak 0.01mL/kg (maksimum 0,5 mL per injeksi) secara
intramuscularly (IM) pada lengan atas yang tidak ada bekas imunisasi.
- Apabila ada permasalahan pada akses menuju otot paha dan pasien berusia
lebih dari 12 bulan, maka epinephrine dapat diberikan secara IM pada otot
deltoid.
- Apabila semua lengan telah digunakan untuk imunisasi maka pemberian
epinephrine dapat diberikan pada otot yang ada bekas imunisasi dengan jarak
minimum 2.5 cm (atau 1 inchi)
- Epinephrine pada dosis yang sama dapat digunakan sebagai initial dose dengan
pemberian yang diulangi dua kali selama 10-15 menit dengan dosis maksimum 3
dosis.
Telah diketahui bahwa gejala-gejala syok dalam penaganan kegawatdaruratan
banyak sekali tanda-tandanya diantaranya adalah sakit kepala, pusing, gatal dan perasaan
panas pada sistem organ gejala kulit eritema, batuk , napas cepat dan pendek. Penanganan
pada pasien syok ini harus cepat dan tepat untuk menolong hidupnya. (Protzman, 2012)
Untuk mengembalikan fungsi sirkulasi tubuh secara normal dan mengatasi gawat
darurat dengan menggunakan obat-obatan tertentu. Tidak hanya hal itu saja pemberian
obat-obatan harus dilakukan pada orang yang berkompeten (dokter atau tenaga terlatih
dibidang gawat darurat). Mengingat banyaknya jenis-jenis kegawatdaruratan maka
seorang tenaga ahli dalam menangani kegawatdaruratan harus jeli dalam melihat kasus
per kasus yang dialami seorang pasien. (Protzman, 2012)
Jenis-jenis obat yang diberikan pada penanganan kegawatdaruratan banyak
jenisnya salah satunya adalah epinephrine. Ephinephrine (adrenaline) merupakan obat
pertama untuk menangani pasien syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk
meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. (Mitrovic, 2008)
Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine dan mediator lain
yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast
dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan
mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. (Arifah
dan Purwanti, 2008)
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri
dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik
seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Betabloker akan selalu juga menghambat
frekuensi dan konduksi jantung pada dosis terapi dan morfin juga selalu akan mengurangi
rasa sakit dan menghambat pernapasan dalam dosis lebih besar. Semua reaksi ini
merupakan dose-dependent reactions yang nyata. Dengan demikian banyak obat lain bisa
kita golongkan kedalamnya seperti kontaseptif oral, insulin, dsb. Obat sejenis ini
termasuk daftar Obat Esensial. (Mitrovic, 2008)
Cara pemberian obat epinehrine (adrenalin) ada tiga cara yaitu adrenalin
intramuskuler, adrenalin intravena dan pemberian sendiri adrenalin. Namun yang sering
dipakai adalah pemberian epinephrine secara intramuskular karena pemberian dengan
cara ini lebih cepat dalam menangani pasien syok. (Suyanto, 2012)
Pemberian epinephrine (adrenalin) secara intramuskuler merupakan pilihan
pertama dari cara pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin
memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler dan pada pasien dalam
keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebihg cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan untuk pemberian sendiri injeksi
intramuskuler adrenalin. Volume injeksi adrenalin 1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi
intramuskuler pada syok anafilaksis. Dosis tersebut dapat diulang tiap 10 menit, menurut
tekanan darah dan nadi sampai perbaikan terjadi (mungkin diulangi beberapa kali)
(Suyanto, 2012)
Kebanyakan indikasi dalam pemberian obat epinephrine (adrenalin) adalah henti
jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi atau syok anfilaktik,
hipotensi yang salah satu dari itu telah disebutkan seperti diatas. Pemberian dimaksud
untuk merangsang reseptor α adrenergic dan meningkatkan aliran darah ke otak dan
jantung. (Mitrovic, 2008)
5. Berikan injeksi Diphenhydramine (Benadryl) 50 mg/mL (maksimum 50 mg) secara
IM. Dhypenhydramine diberikan setelah pemberian Epinephrine, pemberian
Dhypenhydramine tidak boleh diulangi dan tidak boleh dberikan sendiri sebelum
pemberian epinephrine.
Setelah pemberian epinephrine (adrenalin) beberapa kali dan terlihat adanya
perbaikan atau kesadaran pada pasien maka setelah itu diberikan Dhypenhydramine
(benadryl). Indikasi pemberian obat diphenhydramine digunakan untuk mengurangi
gejala kondisi alergi termasuk urtikaria, angioedema, rhinitis, dan gangguan pruritus pada
kulit. Selain itu, juga digunakan sebagai antimuntah pada terapi mual dan muntah,
khususnya pada pencegahan dan terapi motion sickness ( diberikan 30 menit sebelum
bepergian ) dan terapi vertigo karena berbagai penyebab. (Gadis dkk, 2008)
Diphenhydramine sebagai antimuskarinik untuk mengontrol Parkinson, obat yang
menginduksi gangguan ekstrapiramidal, digunakan sebagai hipnotik pada terapi singkat
insomnia. Diphenhydramine digunakan secara pareneral untuk terapi shock anafilaksis.
Mekanisme kerja dhypenhydramine merupakan antagonis reseptor H1 dengan
menghambat efek histamine pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam – macam otot
polos, mengobati reaksi hipersensitivitas / keadaan lain yang disertai pelepasan histamine
endogen berlebih. (Gadis dkk, 2008)
Interaksi Diphenhydramine yang pertama menghambat sitokrom P450 isoenzim
CYP2D6 yang memiliki respon untuk metabolism beberapa beta blocker termasuk
metoprolol dan antidepresan venlafaxine. Kemudian yang kedua sedative antihistamin
dapat meningkatkan efek sedative CNS depressant termasuk alkohol, barbiturate,
hipnotik, analgesik opioid, anxiolytic sedative dan antipsikotik. Dan yang terakhir
sedative antihistamin mempunyai aksi aditif muskarinik dengan obat antimuskarinik yang
lain seperti atropine dan beberapa antidepresan. (Steals, 2012)
Dosis untuk injeksi intramuscular atau intravena digunakan konsentrasi 1 % atau
5 % . dosis yang biasa digunakan 10 – 50 mg meskipun dosis 100 mg dapat diberikan.
Tidak lebih dari 400 mg dapat diberikan dalam 24 jam. Anak – anak dapat diberikan 5
mg/kg sehari dengan dosis terbagai maksimal 300 mg dalam 24 jam. (Steals, 2012)
6. Setelah pemberian epinephrine dan diphenhydramine awasi dan catat tanda vital
pasien (nadi, respirasi dan tekanan darah jika ada sphygmomanometer).
Tujuan dari pengecekan vital sign adalah menentukan adanya normotensi,
hipertensi atau hipotesi. Tanda vital meliputi:
1. Suhu
Pengukuran suhu mengindikasikan suhu inti tubuh yang secara normal memberi efek
pada reaksi kimia. Suhu dapat diukur untuk menetapkan suhu tubuh normal suatu
individu untuk memeriksa tubuh dan kondisinya. Alasan utama pengukuran suhu tubuh
adalah untuk memeriksa suhu tubuh untuk melihat adanya tanda-tanda infeksi sistemik
atau inflamasi pada saat terjadi demam (suhu >38.5 C/101.3 F ) atau peningkatan
secara signifikan diatas suhu normal individu.
2. Tekanan darah
Tekanan darah mengukur dua macam tekanan, yaitu tekanan sistolik dan diastolik.
Tekanan sistolik adalah tekana jantung saat melakukan kontraksi maksimal. Sedangkan
tekanan diastolik adalah tekanan darah saat jantung mengalami relaksasi. Pengukuran
tekanan darah dilakukan dengan menggunakan sphygmomanometer. Ada dua jenis
sphygmomanometer, yaitu jenis raksa dan aneroid. Peningkatan tekanan darah
(hipertensi) adalah saat tekanan sistolik mencapai angka lebih dari 140-160 mmHg.
Sedangkan tekanan darah rendah disebut hipotensi.
3. Denyut nadi
Denyut nadi adalah adalah ekspansi fisik dari arteri. Laju nadi biasanya diukur melalui
pergelangan tangan (arteri radialis), atau di lengan (arteri brakialis) atau di sekitar leher
(arteri carotis). Denyut nadi bayi sekitar 130-150 kali per menit, sedangkan balita 100-
120 kali per menit, anak-anak 60-100 kali, 80-100 kali, lanjut usia 80-100 kali,
sedangkan dewasa 50-8- kali.
4. Pernapasan
Frekuensi pernapasan pada orang dewasa adalah 12-20 napas per menit. Frekuensi
pernapasan dapat menjadi indikator yang jelas dari keadaan asidosis, sebagai fungsi
utama respirasi adalah pengeluaran CO2 dari bikarbonat yang ada dalam sirkulasi.
(Protzman, 2012)
7. Setelah pemberian obat, berikan terapi oksigen 100% dengan kanula (bila pasien
masih sadar, dengan 2 liter O2 per menit) atau masker wajah atau“face mask” (bila
kesadaran pasien menurun atau pasien kehilangan kesadaran, dengan 6-8 liter O2
per menit).
Setelah mengecek kesadaran pasien, diberikan terapi oksigen pada pasien yang
bertujuan untuk membantu pernafasan. Adapun tujuan dari terapi oksigen adalah
mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 %, sehingga dapat mencegah
terjadinya hipoksia sel dan jaringan, menurunkan kerja pernapasan dan menurunkan kerja
otot jantung. Jika pasien sadar dan nafasnya sudah teratur, itu membuktikan bahwa
sirkulasi oksigen dalam tubuhnya sudah lancar, sehingga pemberian bantuan oksigen
yang diberikan tidak perlu terlalu banyak, yaitu dengan kanula sebanyak 2 liter per menit.
(Emergency care, 2011)
Ini berbeda dengan pasien yang hilang kesadarannya, sirkulasi oksigen pada
tubuhnya tidak lancar, jika dibiarkan berlama – lama darah akan membawa sedikit
oksigen dan dapat menyebabkan kematian jaringan atau dapat menyebabkan kematian sel
otak yang berbahaya. Pada pasien yang hilang kesadaran seperti ini berlu diberikan
bantuan oksigen lebih banyak, yaitu sebanyak 6 hingga 8 liter per menit, dengan face
mask, untuk mempertahankan sirkulasi oksigen dalam darah sesuai dengan kebutuhan
tubuh manusia. (Emergency care, 2011)
Selain itu kelebihan penggunaan kanula adalah ketika sejak awal pasien sudah
ditakutkan akan memiliki gangguan pada pernafasan, maka kita dapat memberikan
oksigen dengan kanula dan kita masih dapat memberikan perawatan pada pasien. Ini
berbeda dengan keadaan jika menggunakan masker, biasanya diutamakan untuk
kegawatdaruratan dan kita tidak bisa menggunakannya sambil melakukan perawatan.
(Rasmin, 2006)
Terapi oksigen dapat diberikan sebagai bentuk suplemen atau sebagai terapi.
Suplemen oksigen diberikan pada suatu keadaan akut yang memerlukan oksigen kurang
dari 30 hari, seperti pada pneumonia atau eksaserbasi/serangan asma. Berbeda dengan itu,
pemberian oksigen sebagai bentuk terapi digunakan bilamana pasien memerlukan terapi
oksigen 30 hingga 90 hari (short term oxygen therapy) atau lebih dari 90 hari (long term
oxygen therapy). (Rasmin, 2006)
8. Apabila dalam 30 menit kondisi penderita tidak membaik, berikan penanganan
lebih lanjut meliputi: rehidrasi dengan infus larutan Ringer lactate dan injeksi
diazepam 5 mg IM.
Larutan Ringer Laktat adalah larutan yang isotonik dengan darah dan dapat
dialirkan melalui intravena. Larutan Ringer Laktat dikelompokkan dengan larutan
intravena yang disebut kristaloid, yang didalamnya mengandung larutan saline dan
dekstrosa. (Fuentes, 2007)
Larutan digunakan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
Kekurangan cairan pada ruang intravaskular mengakibatkan perfusi menjadi tidak baik
dan oksigenasi jaringan tidak cukup. Berkurangnya volume cairan tersebut
mengakibatkan tekanan pada pembuluh darah menjadi berkurang. Parameter fisik yang
menunjukkan status perfusi adalah denyut jantung, intensitas pulsus, capillary refill time
(CRT), warna membran mukosa, dan temperatur rektal. Kebanyakan hewan yang
mengalami kekurangan cairan intravaskular (perfusi jelek) juga mengalami kekurangan
cairan ekstravaskular. (Fuentes, 2007)
Sehingga cairan kristaloid harus diberikan secara simultan pada saat pemberian
koloid yang digunakan untuk memperbaiki kekurangan cairan intravaskular. Kekurangan
cairan pada ruang ekstravaskular (interstisial dan intraselular) menyebabkan dehidrasi.
Dehidrasi adalah kehilangan air tubuh yang sering diikuti oleh kehilangan elektrolit dan
perubahan keseimbangan asam-basa di dalam tubuh. Kehilangan air dan elektrolit,
terutama kehilangan natrium, akan mengancam kehidupan hewan, karena natrium
berperan untuk mempertahankan tekanan osmotik plasma dan volume cairan yang
bersirkulasi. (Fuentes, 2007)
9. Setelah pasien sadar, jangan langsung mengembalikan posisi pasien, tetap
pertahankan pada posisi supine.
Setelah kesadaran pulih tetap pertahankan penderita pada posisi supine, jangan
tergesa-gesa mendudukkan penderita pada posisi tegak karena hal ini dapat menyebabkan
terulangnya kejadian syncope yang dapat berlangsung lebih berat dan membutuhkan
waktu pemulihan lebih lama. Seorang penderita sempat mengalami kehilangan kesadaran
maka penderita akan mempunyai kecenderungan untuk pingsan selama beberapa jam
setelahnya apabila penderita terlalu cepat di kembalikan pada posisi duduk atau terlalu
cepat berdiri. (Kamadjaja, 2010)
Ketika penderita baru memasuki fase awal postsyncope kemudian terlalu cepat
didudukkan kembali dalam posisi tegak, sehingga terjadi vasodepressor syncope yang
kedua yang berlangsung lebih berat dan pemulihannya membutuhkan waktu yang lebih
lama. Periode syncope yang kedua, penderita seringkali mengalami kejang ekstremitas
dan perut. Gerakan konvulsif seperti kontraksi tonic atau clonic pada lengan dan tungkai
dapat terjadi pada vasodepressor syncope karena menurut penelitian iskemia serebral
selama lebih dari 10 detik saja akan dapat menyebabkan aktifitas seizure pada otak
sekalipun penderita tidak mempunyai riwayat seizure atau epileptic attack sebelumnya.
(Kamadjaja, 2010)
10. Bila keadaan tidak membaik, persiapkan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap.
Jika posisi supine sudah dilaksanakan tetapi pasien tetap tidak sadar,segera
menghubungi pelayanan darurat serta jika praktisi dirasa tidak mampu melakukan untuk
meminimalisir terjadinya penanganan kegawatdaruratan. (Gabbot, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
1. Chair, Robert A. Berg; Robin Hemphill; Benjamin S. Abella; Tom P. Aufderheide; Diana
M. Cave; Mary Fran Hazinski; E. Brooke Lerner; Thomas D. Rea; Michael R. Sayre;
Robert A. Swor. Adult Basic Life Support part 5. American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science. 2010
2. Emergency care. 11th edition,p. 226-244
3. Fuentes, V. L. 2007. Cardiovascular emergencies. In Proceedings of the SCIVAC
Congress. Rimini, Italy.
4. Gabbot D.2006. Resuscitation UK:Medical Emergency Resuscitation.p 16
5. Gadis, Meinar Sari, dkk. 2008. Efek Pemberian Efinephrine Terhadap Hemoglobin,
Jumlah Eritrosit dan Retikulosit. J. Penelitian. Med. Eksakta. Vol.7 No. 1 April 2008 1-8
6. Igor Mitrovic, MD Introduction to the Hypothalamus Pituitary-Adrenal (HPA) Axis
7. Kamadjaja, David B. Vasodepressor syncope di tempat praktek dokter gigi: Bagaimana
mencegah dan mengatasinya? Jurnal PDGI Vol. 59, No. 1 (2010). ISSN 0024-9548: 8-13
8. Protzman, Prue; Jeff Clark, MS, REMT-P; Wilhemina Leeuw, MS, CDA. 2012.
Management of Medical Emergencies in the Dental Office. Crest® Oral-B®at
dentalcare.com Continuing Education Course, Revised January 24, 2012
9. Rasmin M. Terapi Oksigen: Mengenal terapi oksigen. 2006. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Hal.1-9.
10. Simons, F. Estelle R., Ardusso, Ledit R.F. et al. 2012. 2012 Update: World Allergy
Organization Guidelines for The Assessment and Management of Anaphylaxis. Winnipeg
: Walters Kluwer Health
11. Siti Arifah, Okti Sri Purwanti. 2008. Pengaruh Pemberian Epinephrine dan
Hidrokortison Terhadap Jumlah dan Diameter Germinal Center Kelenjar Getah Bening
Tikus Putih Wistar. Berita Ilmu Keperawatan ISSN1976-2697, Vol 1. No. 3. September
2008. 101-106
12. Steals., Bayu. 2012. Jurnal Formulasi Injeksi Dyphenhydramine. Steals. Co.Id
13. Suyanto , Sri Utami. 2012. The Effect Of Epinephrine On The Development of Oogenesis
Mice (Mus Muscular) Strain of Japanesse. Global Journal Of Medical and Public Health.
GJMEDPH, Vol. 1 Feb 2012
14. The Resuscitation Council (UK). 2012. Standards For Clinical Practice And Training For
Dental Practitioners And Dental Care Professionals In General Dental Practice