PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG...
Transcript of PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG...
ICASERD WORKING PAPER No. 27
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KALIMANTAN TIMUR
Bambang Winarso
Februari 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 27
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONGDI KALIMANTAN TIMUR
Bambang Winarso
Februari 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]
No. Dok.038.27.02..04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONGDI KALIMANTAN TIMUR
Bambang Winarso
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK
Wilayah Provinsi Kalimantan Timur potensial untuk pengembangan ternak, khususnya sapi potong. Pemerintah daerah setempat melalui Dinas Peternakan telah berupaya mengembangkan komoditas ini yang sebenarnya amat prospektif. Hasil analisis finansial yang dilakukan di tingkat petani ternak menunjukkan keragaan usaha ternak sapi potong layak untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan oleh adanya ketersediaan input yang cukup disamping juga ditunjang oleh prospek pasar lokal yang cukup kuat, dukungan fasilitas lahan, penyuluhan maupun input lain. Walaupun dukungan fasilitas input maupun fasilitas-fasilitas lainnya cukup tersedia, namun pada kenyataannya tetap ada kendala. Di tingkat petani, adalah bahwa beternak sapi potong membutuhkan curahan jam kerja yang cukup tinggi, sehingga tidak mustahil apabila minat petani untuk berusahatani ternak masih terbatas. Sisi lain pekerjaan di luar sektor pertanian yang pendapatan menguntungkan tampaknya masih merupakan pesaing utama dalam alokasi tenaga kerja. Sementara itu dengan adanya dukungan modal usaha ternak di tingkat petani yang masih rendah, usaha ternak sapi potong tampak masih mengalami kesulitan untuk berkembang. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur khususnya Kabupaten Pasir, Kecamatan Sepaku-Semoi.
Kata kunci : sapi potong Kalimantan Timur, agribisnis, pengembangan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan industri penting di
Indonesia. Dengan semakin berkembangnya industri-industri penting di wilayah ini
seperti minyak, gas alam, methanol dan industri penggergajian kayu, menyebabkan
pendapatan domestik regional terus semakin meningkat. Dalam 10 tahun terakhir (1991-
2000) laju pertumbuhan pendapatan daerah (PDRB) rata-rata 17,48 persen/tahun.
Dampak langsung adalah semakin meningkatnya pendapatan masyarakat yang
disebabkan oleh semakin terbukanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha.
Sisi lain sumbangan di sektor pertanian juga mengalami pertumbuhan pesat
terutama disebabkan oleh semakin berkembangnya industri perkebunan terutama kelapa
sawit dan karet. Dengan semakin meningkatnya peran sektor-sektor ekonomi penting
tersebut, dengan sendirinya juga akan berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat
setempat, terutama kaitannya dengan naiknya permintaan bahan makanan asal ternak
2
seperti kebutuhan daging, telur, susu, minyak dan lemak yang terus meningkat. Dengan
semakin meningkatnya pola makan terutama jenis makanan yanag berasal dari ternak
tersebut, menyebabkan kebutuhan penyediaan ternak potong di wilayah Kalimantan
Timur dituntut untuk terus meningkat.
Seperti yang dikemukakan oleh Yusdja et al. (2001), bahwa pertumbuhan
subsektor peternakan sangat sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini disebabkan
karena sebagian besar produk yang dihasilkan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi. Data Tabel lampiran 5 menunjukkan bahwa di wilayah Provinsi Kalimantan
Timur selama periode tahun 1994-2000, pemotongan ternak sapi potong terus
mengalami peningkatan, dimana selama periode tersebut besarnya ternak sapi yang
dipotong meningkat rata-rata per tahun 2,83 persen; dengan rata-rata pemotongan
ternak sapi sebesar 32.519 ekor/tahun, dengan produksi daging ternak sapi sebesar 6,69
ribu ton /tahun.
Areal lahan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur sebagian besar masih berupa
lahan tidur yang belum dimanfaatkan. Data terakhir menunjukkan bahwa luas lahan yang
diperuntukkan untuk pengembangan kebutuhan pangan (sawah, ladang, kolam dan
tambak) baru mencapai 13,48 persen dari total areal 3.300.833 ha, untuk pengembangan
tanaman kayu-kayuan dan perkebunan seluas 21,05 persen, sementara sisanya 59,75
persen masih merupakan padang rumput dan lahan yang belum diusahakan (Tabel
lampiran 1). Hal ini tentu merupakan peluang untuk pengembangan usaha produktif
termasuk juga pengembangan usahatani ternak sapi potong, di samping masih luasnya
lahan-lahan terbuka juga melimpahnya limbah-limbah pertanian.
Neraca pengadaan ternak sapi potong di wilayah ini menunjukkan bahwa selama
tahun 1990-2001, wilayah Provinsi Kalimantan Timur selalu menunjukkan keadaan yang
defisit, dimana imbangan untuk neraca perdagangan ternak sapi potong lebih diwarnai
oleh besarnya pemasukan ternak dari luar wilayah. Bahkan rasio antara pemasukan dan
pengeluaran mendekati 100 persen (Tabel lampiran 2) untuk setiap tahunnya. Besarnya
ternak yang masuk ke wilayah ini merupakan indikasi bahwa wilayah Provinsi Kalimantan
Timur sampai saat ini masih kekurangan ternak sapi potong yang cukup serius.
Sebenarnya pemerintah daerah setempat telah mengupayakan untuk melakukan
pengembangan dan peningkatan peternakan melalui kegiatan proyek seperti kasus di
Kabupaten Pasir antara lain pengadaan ternak, pembinaan dan penyuluhan, ekspose
hasil pembangunan peternakan dan intensifikasi usaha peternakan diantaranya adalah
3
ternak sapi potong. Disamping juga diimbangi dengan pengadaan hijauan makanan
ternak (HMT) meliputi pengadaan bibit ternak, pengadaan peralatan kebun, pengolahan
kebun HMT, penanaman rumput dan pengembangan sistem tiga strata (STS). Juga telah
dilaksanakan kegiatan pengamanan ternak terutama pengadaan vaksin ND, SE, obat-
obatan, pengiriman specimen, pengiriman obat-obatan dan penggemukan ternak,
termasuk didalamnya pembinaan ternak terutama kepada calon penggaduh.
Namun demikian upaya tersebut belum memberikan hasil seperti yang
diharapkan, berbagai macam kendala dan hambatan tampaknya masih perlu
ditanggulangi. Tulisan ini di samping mencoba mengemukakan keragaan usaha ternak
sapi potong yang dilakukan oleh masyarakat setempat, juga mengemukakan berbagai
kendala, hambatan sekaligus prospek untuk meningkatkan kinerja usaha ternak yang
cukup menjajikan tersebut.
Kawasan pengembangan ternak sapi potong yang diamati adalah wilayah
Kabupaten Pasir khususnya Kecamatan Sepaku-Semoi, dengan pertimbangan bahwa
berdasarkan data, terutama kaitannya dengan komoditi yang terpilih (ternak sapi) wilayah
ini merupakan daerah potensial usaha ternak sapi potong di kawasan Provinsi
Kalimantan Timur. Wawancara dilakukan terhadap 93 KK (kepala keluarga) peternak
sapi potong, pedagang ternak serta beberapa ke informan kunci guna melengkapi data
dan informasi. Pengambilan sample dilakukan secara Porposive Random Sampling
sesuai dengan tingkat penguasaan ternak yang ada di tingkat peternak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Usahatani Ternak
Ada 3 keragaan pola usahatani ternak sapi potong yang dikembangkan oleh
masyarakat di wilayah Kecamatan Sepaku-Semoi yaitu, Pertama, usaha ternak dengan
sistem breeding dimana hasil utama adalah sapi bakalan/pedet; Kedua, adalah sistem
fattening atau penggemukan sapi potong; dan Ketiga, adalah kombinasi antara
keduanya. Usaha pengembangan ternak sapi potong di wilayah tersebut cukup potensial.
Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung lahan yang mulai dikembangkan untuk
tanaman rumput pakan ternak oleh petani, disamping juga semakin intensifnya
bimbingan dan penyuluhan oleh aparat penyuluh kepada petani dan relatif mudahnya
memasarkan hasil ternak.
4
Daerah Kecamatan Sepaku-Semoi, khususnya Desa Semoi II, Sepaku II dan
Sepaku III merupakan salah satu kawasan pengembangan ternak sapi potong di wilayah
Kalimantan Tmur, khususnya Kabupaten Pasir. Dilihat dari karakteristik budidaya ternak
yang dilakukan oleh petani di ketiga desa contoh tersebut, ada perbedaan yang
dominan. Desa Sepaku II maupun Sepaku III, budidaya ternak yang dilakukan oleh para
petani ternak lebih mengarah pada sistem pengembangan sapi potong (breeding).
Sehingga produk utama ternak sapi dari kedua desa contoh tersebut adalah sapi
bakalan. Sementara para peternak di desa Semoi II usaha budidaya ternak sapi lebih
didominasi oleh usaha penggemukan sapi bakalan (kereman), dimana produk utama
yang dihasilkan adalah sapi pedaging yang telah digemukkan.
Kawasan Sepaku-Semoi, merupakan salah satu wilayah kecamatan di
Kalimantan Timur yang diprogramkan oleh pemerintah daerah setempat sebagai
kawasan sentra pengembangan ternak sapi potong. Dari hasil studi yang telah dilakukan
terhadap para peternak menunjukkan karakteristik bahwa keberadaan usahatani ternak
sapi potong telah lama dikembangkan di kawasan ini, hanya saja selama ini
pertumbuhannya belum begitu pesat karena pola budidaya ternak di wilayah ini masih
dikembangkan secara tradisional. Pola penguasaan ternak dapat dikategorikan peternak
skala kecil dimana 94,73 persen responden peternak menguasai ternak < 10 ekor/KK
yang umumnya merupakan ternak sapi milik sendiri (Tabel 1).
Apabila ditelaah lebih jauh jumlah ternak yang dikuasai petani, maka pola
penguasaan ternak di tingkat petani juga cukup beragam, skala kecil tampaknya lebih
dominan terutama < 5 ekor yaitu sebanyak 78,94 persen. Hal ini disebabkan oleh faktor
keterbatasan modal, disamping pola budidaya kereman antara 2-3 ekor memang banyak
diminati masyarakat. Hal lain yang penting adalah pola penguasaan ternak, walaupun
pengelolaan ternak milik sendiri masih merupakan yang dominan (63,3%), namun pola
gaduhan banyak diminati masyarakat di wilayah ini. Pola gaduhan disamping
mengandung unsur kerjasama bagi hasil, lebih dari itu adalah merupakan salah satu
upaya dalam mengatasi kekurangan modal bagi penggaduh.
Yang mendorong munculnya sistem gaduhan diantaranya adalah: (a) belum
berkembangnya lembaga keuangan desa, (b) bentuk usaha ternak masih bersifat usaha
keluarga, (c) masih banyaknya keluarga yang berpenghasilan rendah, dan (d) desa
bersangkutan punya potensi produksi (Simatupang et al., 1994). Melalui pola ini seorang
petani penggaduh dapat memperbesar/menambah modal kerja lewat ternak gaduhan.
5
Dalam desa lokasi contoh terdapat 36,67 persen petani gaduhan. Disamping itu dengan
jumlah anggota keluarga peternak umumnya kurang dari 6 orang anggota keluarga/KK,
menyebabkan kemampuan untuk mengelola ternak terbatas. Hal ini disebabkan oleh
curahan jam kerja yang juga diperuntukkan untuk mengelola usahatani lainnya
khususnya usahatani tanaman pangan seperti mengelola lahan/tegalan, dimana rata-
rata/KK menguasai lahan tegalan antara 1-3 ha/KK.
Tabel 1. Karakteristik Petani Contoh di Lokasi Penelitian Sepaku-Semoi, Provinsi Kalimantan Timur, 1997
KeteranganJumlah
(%) KeteranganJumlah
(%)1. Jumlah keluarga:
a. < 4 orang/KKb. 4-6 orang/KKc. > 6 orang/KK
2. Penguasaan lahan/tegal:a. < 1,0 Hab. 1 – 2 Hac. 3 – 5 Had. > 5 Ha
3. Penguasaan Ternak:a. 1 – 3 ekorb. 4 – 5 ekorc. 6 – 10 ekord. > 10 ekor
4. Penguasaan pekarangan:a. < 0,25 Hab. > 0,25 ha
15,7978,95 5,26
5,2647,3742,10 5,26
57,8921,0515,79 5,26
94,74 5,26
5. Pengalaman beternak:a. < 5 tahunb. 5 – 8 tahunc. > 8 tahun
6. Penguasaan kebun rumput:a. < 0,5 Hab. 0,5 – 1,0 Hac. > 1,0 Ha
7. Keragaan ukuran kandang:a. < 10 m2b. 10 – 20 m2c. > 20 m2
8. Pola penguasaan ternak:a. Milik sendirib. Menggaduhc. Kombinasi
15,7915,7968,42
42,3742,1010,53
10,573,68
15,79
63,33 6,6730,00
Catatan: n = 98 KK
Keterbatasan tenaga kerja untuk mengelola ternak terutama dalam hal
pengadaan pakan, maka dalam upaya untuk mengatasi masalah, sebagian responden
mengupayakan untuk menanam rumput. Upaya penanaman rumput, disamping ditunjang
oleh adanya bantuan program pengadaan hijauan pakan ternak oleh dinas terkait, juga
dalam upaya petani mengatasi kesulitan hijauan pakan ternak pada musim kemarau.
Namun demikian hasil dari tanaman rumput belum sepenuhnya mampu mengatasi
kekurangan pakan hijauan ternak pada musim kemarau tersebut. Hal ini disebabkan
karena program relatif masih baru sehingga tanaman rumput yang ada belum bisa
diandalkan.
6
Rendahnya ketersediaan pakan hijauan hasil budidaya diantaranya disebabkan
oleh karena peternak belum sepenuhnya menguasai teknologi yang berhubungan
dengan pengadaan dan penyediaan pakan (Ilham, 1995; Simatupang et al., 1993;
Prasetyo et al., 1995). Data Tabel 1 menunjukkan bahwa penguasaan kebun rumput
tampaknya telah diupayakan oleh sebagian besar pemilik ternak, dimana 42,10 persen
responden memiliki lahan rumput antara 0,5 ha–1,0 ha, bahkan 10,53 persen lebih dari
1,0 ha. Namun demikian, tanaman rumput tersebut merupakan tanaman tumpangsari
dengan tanaman lada, sebagai tanaman utamanya. Hal ini dapat berhasil sejalan dengan
adanya intensitas pembinaan terhadap peternak yang belum begitu lama dilakukan. Pola
budidaya ternak yang masih tradisional tersebut, secara perlahan-lahan mulai berubah
kearah yang lebih produktif, karena diperkenalkannya budidaya hijauan pakan ternak.
Masuknya teknologi budidaya hijauan pakan ternak tersebut, tidak saja menjamin
kontinuitas pakan ternak terutama pada masa paceklik pakan, lebih dari itu pakan yang
diberikan kepada ternak adalah jenis rumput pakan yang berkualitas dan baik dari segi
kandungan gizi pakan, yang pada akhirnya dapat mempercepat pertumbuhan dan
kesehatan ternak terutama ternak kereman. Hal lain yang cukup penting adalah
termanfaatkannya lahan-lahan tidur yang kurang produktif. Keadaan pekarangan
maupun lahan tegalan yang sementara oleh para petani tidak dimanfaatkan, dengan
adanya pengembangan hijauan pakan ternak tersebut maka menjadikan lahan yang
bersangkutan lebih produktif.
Data Tabel 1 juga menginformasikan bahwa sebagian penguasaan lahan rumput
responden (42,37%) masih kurang dari 0,5 ha. Hal ini disebabkan oleh: Pertama, adanya
keterbatasan tenaga kerja, dan Kedua, masih relatif baru diperkenalkannya khususnya
jenis rumput yang dikembangkan seperti jenis King Grass, Andropogon dan lain-lain
yang perkembangannya belum begitu luas. Karakteristik jenis rumput yang
dikembangkan di wilayah ini ditampilkan dalam Tabel lampiran 3.
Kelayakan Finansial Usahatani Ternak
Seperti telah dikemukakan bahwa ada tiga pola budidaya ternak sapi potong di
lokasi contoh, yaitu: pola pembibitan, pola penggemukan dan pola campuran. Dalam
pola pembibitan, karakteristik yang cukup menonjol adalah penguasaan ternak yang
lebih besar dari pada kereman yaitu secara rata-rata kurang dari 3 ekor/KK, disamping
7
itu jumlah jam kerja penggembalaan ternak yang lebih tinggi, mengingat pada pola ini
ternak lebih banyak digembalakan. Sebaliknya pola kereman/penggemukan, pada pola
ini dicirikan oleh sapi yang digemukkan umumnya sapi jantan dan jam kerja lebih banyak
pada pengelolaan pakan ternak, mengingat ternak lebih banyak dikandangkan, dan
cenderung lebih intensif pakan.
Keragaan usahatani pada dua pola budidaya ternak sapi potong di lokasi contoh
menunjukkan bahwa secara teknis budidaya pembibitan ternak dalam jangka waktu 1
tahun seekor induk dapat melahirkan 1 ekor anak sapi, sementara pada pola
penggemukan, seekor sapi bakalan umumnya digemukkan rata-rata 6 bulan. Secara
finansial usaha budidaya penggemukan maupun pembibitan menguntungkan peternak.
Pada pola pembibitan, hasil yang didapat berupa sapi (bakalan) yang dilahirkan dari
induk, sementara pola penggemukan hasil yang didapat berupa nilai jual akhir dari
tambahan berat badan dari sapi yang digemukkan, disamping itu hasil pupuk kandang
cukup penting artinya. Secara umum di lokasi contoh, kotoran ternak yang berupa pupuk
kompos tersebut tidak dijual, namun dimanfaatkan sendiri untuk memenuhi kebutuhan
pupuk bagi tanaman pangan maupun tanaman lainnya, sehingga hasil pupuk kandang
tersebut mempunyai nilai penting sebagai substitusi kebutuhan pupuk buatan.
Analisis finansial menunjukkan bahwa pola kereman lebih menguntungkan. Di
samping adanya Asset Turn Over yang lebih cepat tampaknya keuntungan pupuk lebih
menonjol. Hal ini logis mengingat pola kereman menuntut frekuensi penyediaan pakan
yang cukup intensif, dengan sendirinya limbah pakannya pun juga cenderung tinggi. Di
sisi lain kepadatan tenaga kerja lebih terkonsentrasi pada pengelolaan pakan daripada
penggembalaan ternak, mengingat frekuensi penggembalaan pada ternak kereman
relatif rendah. Data analisis finansial pada kedua pola tersebut dapat dilihat pada Tabel 2
Untuk melihat kinerja keberhasilan usaha ternak sapi potong yang dilakukan oleh
para peternak di wilayah contoh dapat dilihat dari aspek analisis cost volume profit, yang
didekati dengan analisis BEP ( Break Event Point ) dimana analisis ini merupakan
analisis yang menunjukkan hubungan antara investasi dan volume produksi atau
penjualan untuk mendapatkan suatu tingkat profitabilitas, analisis ini merupakan suatu
pendekatan yang didasarkan pada hubungan antara hasil penjualan produksi dan biaya
produksi, posisi BEP menunjukkan dimana suatu usaha tidak memperoleh laba dan
sekaligus tidak menderita kerugian.
8
Tabel 2. Analisis Finansial Ushatani Ternak Sapi Potong dengan Pola Pembibitan dan Pola Penggemukan di Lokasi Contoh
Uraian Pola pembibitan(1 ekor/th/Rp)
Pola penggemukan(2 ekor/th/Rp)
A. Biaya:a. Bibit (sapi bakalan)b. Pemeliharaan rumput: - pupuk buatan
- pupuk kandangc. Obat-obatand. Tenaga kerjae. Penyusutan: - kandang
- peralatanf. Bunga modal kerjag. Retribusih. Total biaya
B. Pendapatan/hasil:i. Nilai jual ternakj. Nilai jual pupukk. Total pendapatan
C. Keuntungan (B-A):
B/C Ratio
-7.480
22.12515.000
224.6153.1709.574
155.75010.000
447.714
589.670201.937791.607
343.893
0,77%
1.047.3408.538
54.05831.264
213.7502.8109.496
271.51020.000
1.658.846
1.850.320239.731
2.090.051
431.205
0,26%
Dalam analisis ini hal yang perlu dilakukan adalah pemisahan yang jelas antara
biaya yang tergolong biaya tetap dan biaya variabel, karena terdapat suatu kenyataan
bahwa masing-masing komponen biaya tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka formulasi analisis BEP dapat disusun
sebagai berikut : ( Weston J. and Brigham E, 1978)
P x Q = BT + V x Q P x Q = S
PQ – VQ = FC
sehingga BEP dapat diformulasikan sebagai berikut:
FCa) BEP quantitas produk: b) BEP harga = VC B.T 1 - Q = S P-V
dimana: Q = Kuantitas produk yang dijual; FC= Biaya Tetap; P = Harga produk; VC = Biaya variabel; P-) = Kontribusi Marjinal/unit; S = Sale total
Berdasarkan data analisis pada Tabel 2, dapat ditentukan bahwa komponen biaya
tetap (fixed cost) untuk pola pembibitan adalah sebesar Rp.168.494 dan untuk pola
kereman adalah Rp.283.816, sedangkan selebihnya yang merupakan biaya variabel
9
(variable cost). Besarnya total biaya variabel untuk pola pembibitan adalah Rp.279.220
dan pada pola kereman adalah Rp.1.375.030. Biaya tetap artinya biaya yang tidak
terpengaruh oleh volume produksi yaitu seperti biaya penyusutan dan bunga modal,
sedangkan selebihnya adalah tergolong biaya variabel yaitu biaya-biaya yang sangat
berfluktuasi sesuai dengan tinggi rendahnya volume produksi.
Dari rincian jenis biaya tersebut di atas, maka dapat ditentukan besarnya nilai Break
Event Point berdasarkan formulasi titik impas. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa titik
impas harga pada pola pembibitan dicapai pada nilai harga sebesar Rp.320.026,
sedangkan pada pola kereman sebesar Rp.1.109.772. Sementara titik impas produksi
tercapai pada saat dimana budidaya pembibitan sapi mencapai 0,54 ekor, sedangkan
pada pola kereman (penggemukan) dicapai pada saat nilai bobot sapi yang digemukkan
mencapai 0,59 dari nilai bobot sapi akhir. Hal ini menunjukkan bahwa usaha
pengembangan ternak sapi potong baik dilakukan denga pola pembibitan maupun pola
penggemukan, kedua pola ini layak secara finansial setidaknya dilihat dari hasil analisis
BEP yang keduanya dicapai < 1 unit produk akhir.
Tabel 3. Klasifikasi Biaya Menurut Jenis dan Pola Usahatani Ternak di Desa Contoh
Klasifikasi biaya danhasil jual produk
Polapembibitan
Pola penggemukan (kereman)
- Biaya variabel (Rp)- Biaya tetap (Rp)- Hasil penjualan (Rp)- BEP: dalam harga (Rp) dalam unit (ekor)
279.220168.494589.670320.026
0,54
1.375.030 283.8161.850.3201.104.772
0,59
Catatan: Komponen biaya variabel meliputi kebutuhan pakan, obat-obatan, tenaga kerja, retribusi; sementara untuk komponen biaya tetap adalah biaya penyusutan yang ditentukan berdasarkan declining balance method dan biaya bunga modal yang ditentukan 20% rata-rata/tahun.
Pemasaran Ternak
Untuk memenuhi kebutunan konsumsi daging sapi, wilayah Provinsi Kalimantan
Timur masih termasuk daerah net import. Artinya kebutuhan konsumsi daging sapi masih
sepenuhnya mengandalkan masukan daging sapi dari luar daerah, sebab populasi sapi
potong yang ada, selama ini belum dapat mencukupi kebutuhan/permintaan konsumen
daging setempat yang cenderung terus meningkat. Dengan kondisi yang demikian maka
pola perdagangan ternak sapi potong didominasi oleh besarnya arus masuk baik berupa
ternak hidup maupun daging segar beku dari luar daerah ke Provinsi Kalimantan Timur
(Tabel lampiran 2). Ada empat jalur tataniaga penting kaitannya dengan masalah
permintaan daging sapi di Kalimantan Timur.
10
Pertama; jaringan tataniaga lokal ternak sapi potong, yaitu tataniaga jual-beli
ternak sapi yang dilakukan oleh pedagang setempat. Data lapangan menunjukkan
bahwa ada beberapa mata rantai dalam proses tataniaga lokal ternak sapi di Kawasan
Kalimantan Timur tersebut yang melibatkan petani ternak setempat sebagai produsen
dan pedagang pengumpul tingkat desa yang umumnya bermukim di sekitar desa yang
merupakan sentra ternak. Peternak setempat dalam transaksi jual-beli ternak sapi,
sepenuhnya mengandalkan pedagang ini. Dari sini (pedagang ternak tingkat desa)
ternak sapi sebagian besar dijual langsung ke pedagang besar di kota atau membawa
langsung sapinya ke RPH (rumah potong hewan) untuk dijual berupa daging sapi ke
pengecer.
Kedua: jaringan tataniaga ternak hidup sapi potong regional, seperti yang telah
dikemukakan bahwa kebutuhan daging sapi di Kalimantan Timur sebagian besar berasal
dari luar daerah. Berdasarkan SK Dirjen Peternakan No. 946/TN.120/Kpts/DJP/1996
telah ditentukan bahwa Sulawesi secara umum khususnya wilayah sentra-sentra
pengembangan ternak sapi potong diharapkan dapat memasok kebutuhan ternak potong
ke wilayah Kalimantan Timur. Dalam Surat Keputusan tersebut telah disebutkan bahwa
Provinsi Kalimantan Timur perlu dipasok ternak sebanyak 27.250 ekor per tahun dari
kebutuhan sejumlah ternak potong tersebut terdiri dari 25.000 ekor sapi potong dan
2.250 ekor kerbau, masing-masing quota tersebut diharapkan dapat dipenuhi dari
Sulawesi Selatan 4.500 ekor, Sulawesi Tengah 6.250 ekor, Sulawesi Utara 9.000 ekor
dan Jawa Timur 7.500 ekor, namun dalam realisasinya sulit untuk dipenuhi.
Transaksi jual-beli ternak antar pulau umumnya dilakukan dalam skala besar,
sehingga yang terlibat dalam tataniaga ternak sapi potong antar pulau ini adalah
pedagang besar antar pulau. Perdagangan sapi potong yang ditangani oleh pedagang
besar (87%) ternak sapi berasal dari luar daerah, sementara sapi lokal yang masuk ke
pedagang ini diperkirakan baru mencapai 13 persen. Kecilnya pangsa pasar sapi lokal
tersebut, dikarenakan oleh ketersediaan sapi lokal yang memang masih sangat terbatas.
Ketiga: jaringan tataniaga daging sapi beku dari Pulau Jawa. Pesatnya permintaan
konsumsi daging sapi di wilayah ini belum sepenuhnya dapat ditanggulangi dengan
mendatangkan ternak hidup dari luar daerah. Berbagai kendala yang ada menyebabkan
tidak/kurang mampu memenuhi kuota yang telah diberikan dari daerah suplier ternak
hidup. Maka untuk memenuhi kekurangan permintaan tersebut, salah satu upaya yang
ditempuh adalah mendatangkan daging segar beku dari luar terutama dari Jakarta,
11
Surabaya dan Semarang sebagai salah satu alternatifnya. Hasil perkiraan sementara
bahwa suplier daging beku tersebut mampu memenuhi 15 persen dari sebagian besar
kebutuhan konsumsi daging di Provinsi Kalimantan Timur lewat jalur grosir pedagang
daging. Daging beku yang masuk ke Kalimantan Timur ini sebagian merupakan daging
impor yang masuk lewat pelabuhan Tanjung Priok/Soekarno Hatta atau Tanjung Perak
yang diteruskan ke Balikpapan. Sebagian besar suplier bekerjanya didasarkan atas
permintaan pengecer-pengecer tertentu seperti supermarket, hotel maupun restoran
tertentu.
Keempat: jaringan tataniaga impor ternak sapi hidup. Dengan dibukanya peluang
impor sapi ke Kalimantan Timur melalui SK Direktorat Jenderal No.
946/TN.120/Kpts/DJP/1996, dan dibukanya ijin usaha peternakan oleh Pemda setempat
untuk jenis sapi asal impor, maka kesempatan tersebut telah dimanfaatkan oleh salah
satu pengusaha setempat yaitu PT. Celebes Agro Perdana yang bergerak di bidang
usaha Fetenning sapi asal impor. Dan jaringan tataniaga impor ternak sapi hidup ini yang
khususnya ternak sapi bakalan telah berjalan beberapa periode, dimana pada beberapa
semester perusahaan tersebut telah mengimpor sapi bakalan dari Australia.
Pada saat penelitian ini dilakukan, perusahaan tersebut dalam keadaan tidak
beroperasi, karena adanya krisis moneter, maka usaha tersebut mengalami
kebangkrutan. Untuk beralih ke pengadaan sapi lokal tampaknya masih menemui
kendala, terutama dari sisi kapasitas produksi perusahaan yang cukup besar yaitu +
2000 ekor/bulan, sehingga tidak mungkin dapat dipenuhi oleh peternak lokal. Pada
akhirnya untuk jaringan tataniaga impor ternak sapi impor bakalan hidup ini untuk
sementara waktu tidak dilakukan lagi oleh perusahaan tersebut.
Dengan semakin intensifnya jalur-jalur perhubungan baik melalui laut maupun
udara dari dan ke Kalimantan Timur dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia
menyebabkan iklim perdagangan ternak sapi potong ke wilayah Kalimantan Timur tidak
mengalami hambatan. Sarana perhubungan laut dan udara mampu menghubungkan
Kalimantan Timur dengan Provinsi lain di luar, sementara sarana perhubungan darat baik
jalan raya maupun sungai yang mampu menghubungkan wilayah ini dengan Provinsi
tetangga di Kalimantan. Kebutuhan daging sapi maupun ternak sapi hidup di Kalimantan
Timur disamping mengandalkan suplai dari daerah sendiri juga mengandalkan dari
daerah lain baik provinsi-provinsi di sekitar Kalimantan maupun provinsi-provinsi dari luar
Kalimantan, seperti Sulawesi, Jawa Timur, Jakarta, Jawa Tengah dan daerah-daeah
12
lain. Jaringan tataniaga baik sapi hidup maupun daging beku yang dilakukan oleh
pedagang di Kalimantan Timur dapat dilihat pada ilustrasi Gambar 1.
Perkembangan Harga Ternak
Harga suatu komoditas pada dasarnya merupakan salah satu refleksi dari adanya
indikator kuat lemahnya permintaan dari suatu komoditas. Keseimbangan supply-
demand juga dapat dilihat dari fluktuasi harga yang ada yang pada akhirnya akan dapat
diketahui sampai sejauh mana kuat-lemahnya pasar terhadap permintaan-penawaran
suatu komoditias Demikian pula dengan perkembangan harga ternak sapi hidup maupun
harga daging sapi di wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Data pada Tabel lampiran 5 menunjukkan bahwa selama periode 5 tahun
terakhir (1994-1998) perkembangan harga ternak sapi hidup maupun harga daging sapi
di wilayah Porvinsi Kalimantan Timur ada kecenderungan terus meningkat dengan tajam.
Harga ternak sapi hidup pada tingkat pedagang pengecer meningkat tajam dengan laju
pertumbuhan rata-rata 13,24 persen/tahun, dimana pada tahun 1994 harga sapi hidup
adalah Rp.2.100/kg dan pada tahun 1998 meningkat menjadi Rp.4.408/kg, demikian pula
harga daging sapi.
Di tingkat pasar pengecer daging sapi, data menunjukkan bahwa selama periode
tersebut (1994-1998) perkembangan harga daging sapi juga mengalami fluktuasi
kenaikan yang cukup tajam dengan tingkat kenaikan rata-rata 15,64 persen/tahun. Harga
daging sapi pada tahun 1994 adalah sebesar Rp.8.417/kg dan pada tahun 1998
meningkat tajam menjadi Rp.16.333/kg. Tingginya trend harga rata-rata per
tahun tersebut, mencerminkan bahwa permintaan akan komoditas ini cukup kuat, artinya
peluang pemasaran komoditas ternak sapi potong maupun hasilnya memiliki peluang
yang cukup kuat.
13
100% 100% 100%
100%
5% 10%
95% 90%
30% 70%
100% 90%
10% 10%
Keterangan Jalur pemasaran ternak sapi hidup________ Jalur pemasaran daging ternak sapi
________ Cakupan pasar internasional
Cakupan pasar regional
Cakupan pasar lokal
Gambar 1. Mata Rantai Pemasaran Ternak dan Daging Sapi di WilayahProvinsi Kalimantan Timur
Importir daging dari luar negeri
Importir ternak hidup
dari luar negeri
Peternak lokal:- Sapi kereman- Sapi afkiran
Agen sapi hidup luar daerah:- Sulawesi Utara- Sulawesi Selatan- Sulawesi Tengg.- Jawa Timur
Pedagang antar Pulau
Pedagang pengumpul ternak lokal
Perusahaan penggemukan ternak
(feed lotter)
Importir daging:- Jakarta- Surabaya- Semarang
Rumah Potong Hewan(RPH)
Pedagang grosir daging beku/segar
Pedagang pengecer
daging lokal
Konsumen daging lokal di Kalimantan Timur
14
Prospek Pengembangan Investasi Ternak Potong
Kuatnya permintaan pasar akan suatu komoditas, belum sepenuhnya dapat
dijadikan sebagai indikator untuk meningkatkan peran “investor pemodal dari luar” mau
menginvestasikan modalnya pada suatu usaha pengembangan bisnis komoditas tertentu
khususnya pengembangan bisnis ternak sapi potong ke wilayah Provinsi Kalimantan
Timur. Ada pertimbangan lain yang dapat dijadikan indikatornya, diantaranya adalah
masalah kemudahan perizinan, kepastian hukum dan kestabilan politik sebagai salah
satu jaminan keamanan investasi dan yang tidak kalah pentingnya adanya nilai
keunggulan kompetitif maupun komparatif bagi komoditas yang akan dikembangkan.
Dilihat dari prospek investasi ke depan, pengembangan bisnis ternak sapi potong
di wilayah Kalimantan Timur sebenarnya cukup prospektif. Hal ini setidaknya didasarkan
atas adanya peluang yang cukup terbuka setidaknya dilihat dari: Pertama, ketersediaan
lahan pengembangan yang cukup potensial dan dalam skala yang cukup luas. Kedua,
ketersediaan kebutuhan input produksi ternak seperti limbah perkebunan terutama sawit
dan limbah pertanian lainnya. Ketiga, prospek pasar lokal, regional maupun pasar
nasional yang masih teruka lebar untuk komoditas daging sapi. Keempat, berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Hutabarat, et al., (1997) pengembangan ternak sapi potong di
wilayah Kalimantan Timur memiliki keunggulan kompetitif .
Ppermasalahan yang muncul adalah bahwa dalam era seperti saat ini dimana
jaminan keamanan dan kepastian hukum dan adanya krisis moneter yang masih belum
sepenuhnya normal, menjadikan para investor masih enggan untuk menginvestasikan
modalnya dalam bisnis ternak sapi potong. Seperti yang dikemukakan oleh Hadi et al.,
(2001), dampak adanya krisis moneter terhadap industri ternak sapi potong, tidak saja
menurunnya impor ternak sapi hidup dan tingginya kenaikan harga daging, melainkan
juga terkurasnya ternak sapi potong dalam negeri, karena untuk memenuhi permintaan
lokal.
Kasus “PT. Celebes Agro Perdana” yang telah melakukan investasi di bidang
fattening (usaha penggemukan ternak) ternyata mengalami kebangkrutan saat adanya
krisis moneter tahun 1997 tampaknya dapat dijadikan pengalaman bagi calon investor
lainnya. Dalam upaya mengatasi krisis seperti tersebut di atas tampaknya masih
diperlukan kerja keras oleh semua pihak dalam hal menjamin keamanan sosial, politik
dan hukum, dan yang tidak kalah penting adalah diperlukan sosialisasi yang intensif
kepada calon investor.
15
KESIMPULAN DAN SARAN
Wilayah Provinsi Kalimantan Timur potensial untuk pengembangan ternak sapi
potong, dan pemerintah daerah setempat telah berupaya untuk berperan serta dalam
mengembangkan komoditas ini yang sebenarnya amat prospektif. Hasil analisis finansial
yang dilakukan di tingkat petani ternak menunjukkan keragaan usahatani ternak yang
layak untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan oleh prospek pasar lokal yang kuat,
dukungan fasilitas lahan, penyuluhan maupun input lain.
Walaupun dukungan fasilitas input maupun fasilitas-fasilitas lainnya cukup
tersedia, namun pada kenyataannya kendala tetap saja ada. Di tingkat petani, beternak
sapi potong membutuhkan ketrampilan dan ketekunan tersendiri serta curahan jam kerja
yang tinggi, sehingga menyebabkan minat petani untuk berusahatani ternak masih
terbatas. Sisi lain pekerjaan lain di luar sektor pertanian yang lebih menjanjikan
pendapatannya, tampaknya masih merupakan pesaing utama dalam alokasi tenaga
kerja. Kurang adanya dukungan modal usahatani ternak di tingkat petani menyebabkan
upaya untuk mengembangkan usaha ternak di tingkat petani masih sulit untuk
berkembang.
Walaupun secara finansial usaha budidaya ternak sapi potong tersebut
menguntungkan dan dilihat dari aspek keunggulan kompetitif maupun keunggulan
komparatif juga memiliki keunggulan, namun pada kenyataannya kesempatan ini belum
banyak menarik minat pengusaha/pemodal untuk mau menginvestasikan modalnya di
bidang ini. Tampaknya diperlukan sosialisasi yang lebih intensif tentang perspektif
maupun prospektif investasi di bidang usaha pengembangan ternak sapi potong di
daerah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Peternakan (berbagai tahun). Statistik Peternakan. Tahun 2001.
Hadi, P.U., T.Ashari, N. Ilham, dan B. Winarso. 2001; Analytic Framework to Facilitate Development of Indonesia Beef Industries. Progress Report Summary. CASERD
Hutabarat, B. et al., 1998. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Sumber-sumber Pertumbuhan Produksi Pertanian Unggulan di Kalimantan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
16
Ilham, N. 1995. Strategi Pengembangan Ternak Ruminansia di Indonesia Ditinjau dari Potensi Sumberdaya Pakan dan Lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Prasetyo, T., A. Hermawan dan C. Setiani. 1995. Penelitian Pengembangan Tanaman Pakan Ternak di Lahan Kering DAS Jratun Seluna Bagian Hulu. Prosiding Pertemuan Ilmiah Komunikasi dan Penyaluran Hasil Penelitian, Sub Balai Penelitian Ternak Klepu.
Simatupang , P., E. Jamal dan M.H. Togatorop. 1994; Sistem Gaduhan Sapi Tradisional Bali: Faktor Pendorong, Penopang dan Karakteristiknya. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Litbang Pertanian.
Weston J. and Brigham E., 1978; Managerial Finance; Six Edition; The Dryden Press Hinsdale, Illnois.
Yusdja, Y., H. Malian, B. Winarso, Sayuti, dan A.S, Bagyo. 2001; Analisis Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
17
Tabel Lampiran 1. Penggunaan Lahan Berdasarkan Luas di Provinsi Kalimantan Timur, Tahun 2000
LuasPenggunaan Lahan
(Ha) (%)1. Lahan untuk pekarangan dan bangunan2. Tegal/ladang/huma3. Padang rumput4. Tambak/kolam5. Lahan tidak diusahakan6. Lahan untuk tanaman kayu-kayuan7. Lahan untuk tanaman perkebunan8. Sawah
188.743284.911
30.73750.138
1.292.376758.814585.000110.104
5,728,630,931,52
39,1522,9917,72
3,33Total luas 3.300.823 100,00
Sumber: Statistik Indonesia, Tahun 2001
Tabel Lampiran 2. Perkembangan Neraca Kebutuhan Ternak, Populasi dan Produksi Daging Sapi Potong di Provinsi Kalimantan Timur, Tahun 1990-2001
N e r a c a(+/-)
No. TahunPenge-luaran(ekor
Pemasukan(ekor)
ekor %
Populasi(ekor)
1.2.3.4.5.6.7.8.9.
10.11.12.
199019911992199319941995199619971998199920002001
2050
4265198665100
40100
24.90028.10823.18934.09835.32934.20231.87728.31012.45126.11131.03832.327
(-)24.880(-)28.103(-)23.189(-)34.056(-)34.678(-)33.216(-)31.226(-)28.310(-)12,451(-)26.061(-)31.028(-)32.327
(-) 99,91(-) 99,98(-)100,00(-) 99,87(-) 98,16(-) 97,12(-) 97,96(-)100,00(-)100,00(-) 99,81(-) 99,96(-)100,00
55.99270.59267.19473.94976.10180.72882.55884.73340.45745.90750.77353.707
Sumber : Statistik Peternakan, Ditjen Peternakan Tahun 1990-2001
KeteranganLaju pertumbuhan rata-rata/tahun untuk:a) Pengeluaran ternak sapi potong = -4,17b) Pemasukan ternak sapi potong = -0,04c) Populasi ternak sapi potong = -9,55
19
Tabel Lampiran 3. Karakteristik Jenis Rumput yang Dikembangkan di Desa Contoh
Jenis rumput Keunggulannya Kekurangannya Keterangan
1. King Grass
2. Andropogon Gayanus (Gamba Grass)
3. Brachiaria Decumbens(Signal Grass)
4. Brachiaria Brizantha
5. Brachiaria Humidieola
6. Centrosema Pubescens
- Produksinya tinggi bila dirawat dengan baik.
- Disenangi ternak dan gizinya tinggi dan daunnya lemas.
- Petumbuhannya cepat.
- Pertumbuhananya baik meskipun pada musim kering.
- Disukai ternak karena daunnya lemas.- Produksinya tinggi dan tidak gatal.- Ternak akan cepat gemuk.
- Jangka waktu pemanenan lebih cepat.- Pertumbuhannya cepat dan tidak perlu
perawatan khusus.- Tahan kekeringan.
- Anakan rumputnya banyak.- Tahan kekeringan
- Tahan pada lahan merjinal.- Tahan kekeringan
- Jenis makanan ternak bergizi tinggi.- Mudah menyebar dan berkembang.- Toleran terhadap naungan.
- Tidak tahan kekeringan- Perlu perawatan intensif- Daunnya gatal dan tajam dalam
pemberian pakan perlu variasi dengan jenis lain.
- Mudah roboh apabila tidak segera dipanen.
- Memerlukan pemanenan secara teratur.
- Daunnya berbulu dan gatal.- Ternak hanya suka daun yang muda.- Tidak tahan genangan air.
- Kurang disukai ternak, sehingga perlu campuran jenis lain.
- Produksinya rendah.
- Tidak tahan untuk diambil secara menyeluruh.
- Lambat untuk dapat tumbuh.
- Telah dikembangkan di lokasi dan dapat tumbuh dengan baik
- Telah dikembangkan
- Telah dikembangkan
- Telah dikembangkan
- Telah dikembangkan
- Telah dikembangkan
19
Tabel Lampiran 4. Karakteristik Kepemilikan Sapi oleh Anggota Kelompok Tani Ternak di Lokasi Contoh, Tahun 1997
Keterangan Kelompok Sepaku III
Kelompok Sepaku II
Kelompok Semo I
Jumlah
1. Jumlah anggota kelom-pok tani ternak (KK)
2. Total penguasaan ternak sapi (ekor)
3. Jenis sapi yang dikuasai (ekor):a. Bali : - Jantan
- Betina b. PO : - Jantan - Betina
4. Penguasaan ternak di tingkat petani (KK):a. 2-4 ekorb. 5-7 ekorc. 8-10 ekord. 11-20 ekore. > 20 ekor
34
112
361 246
29 4 1--
37
160
1339 7
101
24 8 4 1-
22
93
392328 3
17 3-
1 1
93
365
55123 37150
7015 5 2 1
Tabel lampiran 5. Perkembangan Jumlah Pemotongan dan Produksi Daging Ternak Sapi dan perkembangan Harga Daging dan Ternak Hidup Sapi Potong di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 1994-2000
Perkembangan Harga(Rp/kg)
TahunPemotongan ternak
sapi tercatat(ekor)
Produksi daging sapi(000 ton) Ternak sapi
hidup Daging murni
1994199519961997199819992000
29.37529.69030.29634.97636.77032.74633.780
6,386,596,766,977,916,036,21
2.1003.6253.6003.6004.408
tadtad
8.417 9.94211.00012.24016.333
tadtad
Sumber: Statistik Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan tahun 1994 - 2000.
Catatan:- Pertumbuhan rata-rata pemotongan 2,83 persen /th, dengan rata-rata pemotongan 32.519
ekor/th.- Pertumbuhan rata-rata produksi daging (-)0,25%/th, dengan rata-rata produksi 6,69 ribu
ton/th- Pertumbuhan rata-rata harga ternak sapi hidup 13,24%/th.- Pertumbuhan rata-rata harga daging sapi di tingkat pasar eceran 15,64%/th.- (tad) : Tidak ada datanya