PENGEMBANGAN TERINTEGRASI TANAMAN PANGAN...

12
Pengembangan Terintegrasi Tanaman Pangan dan Ternak pada Kawasan Hutan Tanaman Rakyat: Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Zainal Abidin 75 PENGEMBANGAN TERINTEGRASI TANAMAN PANGAN DAN TERNAK PADA KAWASAN HUTAN TANAMAN RAKYAT: Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Integrated Development of Food Crops and Livestock in Community Plantation Forest Area: An Option for Increasing National Food Production and Society Welfare around Forest Area Zainal Abidin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl. Prof. Muhammad Yamin No. 89, Puwatu, Kendari E-mail: [email protected] ABSTRACT One of the most fundamental challenges for the future is to provide food for the growing population. So far, most of the sources of food are grown in wetland and upland areas that continuously declining. Community Plantation Forest (CPF) declared by the government as a part of national effort to increase timber production should be able to be used as a source of food production. There are some constraining factors for the development of food crops in CPF area, including sunlight, water availability, and soil fertility. However, these can be minimized through the application of appropriate technologies such as the use of shade-tolerant varieties, land management based on conservation models, and application of food crops-livestock integration technology. Development of upland rice under shade area could produce between 2.41 to 4.37 t/ha, while corn can produce up to 3.9 t/ha. Meanwhile, Dena 1 and Dena 2, soybean varieties, could yield 1.35 t/ha and 1.69 t/ha. The utilization of CPF land about 1 million (or 20% of total existing CPF) for developing food crops could give additional production of 1.5 million tons of rice or 3.9 million tons of corn or 1.35 million tons of soybeans. Development of integrated food crops-livestock in CPF area would reduce poverty in the community around the forest area as well as reduce forest degradation due to illegal logging. Keywords: food crop-livestock integration, Community Plantation Forest, community welfare ABSTRAK Salah satu tantangan paling mendasar ke depan adalah penyediaan pangan bagi penduduk yang terus tumbuh. Selama ini sumber produksi pangan sebagian besar adalah pada lahan sawah dan lahan kering yang luasnya terus mengalami penurunan. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya peningkatan produksi kayu nasional mestinya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber produksi pangan. Terdapat berbagai hambatan di antaranya adalah faktor cahaya matahari, ketersediaan air, hingga kesuburan lahan. Hal tersebut dapat diminimalkan melalui penerapan teknologi seperti pemilihan varietas yang tahan naungan, pengelolaan lahan berbasis konservasi, dan penerapan teknologi integrasi tanaman-ternak. Pengembangan padi gogo yang ditanam di bawah naungan mampu memberikan produktivitas yang cukup baik, yaitu berkisar antara 2,414,37 t/ha, sementara jagung dapat memberikan produksi hingga 3,9 t/ha, dan kedelai, yaitu varietas Dena 1 dan Dena 2, juga mampu menghasilkan biji kering 1,35 t/ha dan 1,69 t/ha. Pemanfaatan lahan HTR sekitar 1 juta ha (20% dari total luas HTR saat ini) memungkinkan diperolehnya tambahan produksi padi sebesar 1,5 juta ton beras atau 3,9 juta ton jagung pipil atau 1,35 juta ton kedelai. Pengembangan tanaman pangan yang terintegrasi dengan ternak pada kawasan HTR juga sekaligus akan mengurangi kemiskinan masyarakat di wilayah sekitar hutan yang pada akhirnya juga dapat menekan terjadinya degradasi hutan akibat illegal logging. Kata kunci: integrasi tanaman pangan-ternak, Hutan Tanaman Rakyat, kesejahteraan masyarakat

Transcript of PENGEMBANGAN TERINTEGRASI TANAMAN PANGAN...

Pengembangan Terintegrasi Tanaman Pangan dan Ternak pada Kawasan Hutan Tanaman Rakyat: Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Zainal Abidin

75

PENGEMBANGAN TERINTEGRASI TANAMAN PANGAN DAN TERNAK PADA KAWASAN HUTAN TANAMAN RAKYAT:

Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan

Integrated Development of Food Crops and Livestock in Community Plantation

Forest Area: An Option for Increasing National Food Production and Society Welfare around Forest Area

Zainal Abidin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl. Prof. Muhammad Yamin No. 89, Puwatu, Kendari

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

One of the most fundamental challenges for the future is to provide food for the growing population. So far,

most of the sources of food are grown in wetland and upland areas that continuously declining. Community Plantation Forest (CPF) declared by the government as a part of national effort to increase timber production should be able to be used as a source of food production. There are some constraining factors for the development of food crops in CPF area, including sunlight, water availability, and soil fertility. However, these can be minimized through the application of appropriate technologies such as the use of shade-tolerant varieties, land management based on conservation models, and application of food crops-livestock integration technology. Development of upland rice under shade area could produce between 2.41 to 4.37 t/ha, while corn can produce up to 3.9 t/ha. Meanwhile, Dena 1 and Dena 2, soybean varieties, could yield 1.35 t/ha and 1.69 t/ha. The utilization of CPF land about 1 million (or 20% of total existing CPF) for developing food crops could give additional production of 1.5 million tons of rice or 3.9 million tons of corn or 1.35 million tons of soybeans. Development of integrated food crops-livestock in CPF area would reduce poverty in the community around the forest area as well as reduce forest degradation due to illegal logging. Keywords: food crop-livestock integration, Community Plantation Forest, community welfare

ABSTRAK

Salah satu tantangan paling mendasar ke depan adalah penyediaan pangan bagi penduduk yang terus tumbuh. Selama ini sumber produksi pangan sebagian besar adalah pada lahan sawah dan lahan kering yang luasnya terus mengalami penurunan. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya peningkatan produksi kayu nasional mestinya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber produksi pangan. Terdapat berbagai hambatan di antaranya adalah faktor cahaya matahari, ketersediaan air, hingga kesuburan lahan. Hal tersebut dapat diminimalkan melalui penerapan teknologi seperti pemilihan varietas yang tahan naungan, pengelolaan lahan berbasis konservasi, dan penerapan teknologi integrasi tanaman-ternak. Pengembangan padi gogo yang ditanam di bawah naungan mampu memberikan produktivitas yang cukup baik, yaitu berkisar antara 2,41–4,37 t/ha, sementara jagung dapat memberikan produksi hingga 3,9 t/ha, dan kedelai, yaitu varietas Dena 1 dan Dena 2, juga mampu menghasilkan biji kering 1,35 t/ha dan 1,69 t/ha. Pemanfaatan lahan HTR sekitar 1 juta ha (20% dari total luas HTR saat ini) memungkinkan diperolehnya tambahan produksi padi sebesar 1,5 juta ton beras atau 3,9 juta ton jagung pipil atau 1,35 juta ton kedelai. Pengembangan tanaman pangan yang terintegrasi dengan ternak pada kawasan HTR juga sekaligus akan mengurangi kemiskinan masyarakat di wilayah sekitar hutan yang pada akhirnya juga dapat menekan terjadinya degradasi hutan akibat illegal logging. Kata kunci: integrasi tanaman pangan-ternak, Hutan Tanaman Rakyat, kesejahteraan masyarakat

Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial 76

PENDAHULUAN

Ke depan terdapat lima fokus perhatian dunia, yaitu “food, fuel, fibre, financial and environment”. FAO memprediksi harga pangan global akan mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, yang pasokannya semakin terbatas. Bank Dunia memprediksi akan terjadi defisit terhadap neraca pangan sebesar 127 juta ton di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara hingga tahun 2025. Pada sisi lain, isu penyelamatan lingkungan juga menjadi topik utama karena semakin terasanya efek dari pemanasan global (global warming) yang menimbulkan perubahan iklim dan berpengaruh pada produksi komoditas pertanian (PSEKP, 2013).

Kebutuhan pangan penduduk sebagian besar diproduksi pada areal persawahan dan lahan kering. Pada kedua areal tersebut terkendala oleh semakin derasnya alih fungsi lahan terutama lahan sawah irigasi, sementara pada lahan kering produktvitasnya semakin menurun karena terbatasnya waktu tanam. Haryono (2012) menyatakan bahwa produktivitas tanaman pangan mulai memperlihatkan kecenderungan pencapaian leveling off, sehingga perlu upaya untuk perluasan areal pertanaman pada lahan supoptimal. Lebih spesifik Presiden RI pada Musrembangnas 2012 mengatakan bahwa swasembada pangan saja tidak cukup, akan tetapi harus menuju kemandirian pangan (Dirjen Tanaman Pangan, 2013).

Kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dapat menjadi salah satu alternatif areal sumber baru produksi tanaman pangan. Kawasan HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007). Program HTR merupakan program Kementerian Kehutanan yang tujuan utamanya adalah peningkatan pemenuhan kebutuhan kayu nasional. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan menetapkan target pembangunan 5,4 juta ha hutan tanaman rakyat (Dephut, 2007). Pemanfaatan kawasan hutan tersebut dalam bentuk kawasan hutan rakyat, dengan masa pemanfaatan maksimal 60 tahun. Bahkan hingga tahun 2020, Kemenhut menargetkan luas hutan yang dikelola masyarakat mencapai 10 juta ha (rri.co.id., 2014).

Pemanfaatan hutan produksi sebagai hutan tanaman rakyat adalah menanam tanaman hutan yang dapat dipanen oleh petani peserta. Biasanya berbagai tanaman hutan tersebut di antaranya adalah jati, jabon, dan berbagai tanaman hutan lainnya. Masalahnya adalah umur panen tanaman tersebut cukup lama yaitu berkisar >10 tahun, sehingga tidak dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan harian petani. Oleh karena itu, masyarakat di sekitar hutan terlihat dalam pusaran kemiskinan, yang hanya mengandalkan hasil kehutanan sekitar seperti madu dan rotan. Wollenberg (2004) menyatakan bahwa sekitar 48,8 juta penduduk tinggal di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta orang di antaranya tergolong dalam kategori miskin. Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan sekitar 6 juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang di antaranya bekerja di sektor swasta kehutanan.

Masa awal pertumbuhan tanaman kayu inilah hingga umur panen yang menjadi titik krusial dalam pengembangan HTR, jika tidak didukung oleh sumber pendapatan baru dan permanen petani selain madu dan rotan yang jumlahnya juga terbatas. Bahkan jika keadaan tersebut terus berlanjut, upaya pemerintah untuk pelaksanaan HTR ini justru akan mempermudah dan seakan mempermudah akses kepada masyarakat dalam mengeksplorasi kawasan hutan yang berada di sekitar HTR, yang mungkin batasnya relatif “samar”. Oleh karena itu, penataan komposisi antara tanaman utama (kehutanan) dengan tanaman pendamping harus diupayakan secara proporsional sehingga HTR masih dapat memenuhi fungsihidrologis, berbasis kehutanan, dan dalam skala komersial (Setiasih, 2008).

DASAR HUKUM PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

Hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (PP 6/2007 bab 1 pasal 1 : 19).

Pengembangan Terintegrasi Tanaman Pangan dan Ternak pada Kawasan Hutan Tanaman Rakyat: Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Zainal Abidin

77

Kebijakan pembangunan HTR adalah terkait dengan kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antarpelaku ekonomi (pre-growth) sebagimana menjadi agenda revitalisasi (Emila dan Suwito, 2007). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pola pengembangan HTR mengikuti tiga pola yaitu (1) pola mandiri, (2) pola kemitraan dengan HTR BUMN/S, dan (3) pola developer.

Luas lahan yang menjadi jatah setiap KK adalah sekitar 15 ha. Dengan total lahan yang dicadangkan seluas 5,4 juta ha, maka ada sekitar 360 ribu kepala keluarga yang mendapat jatah HTR. Dengan asumsi tiap keluarga terdapat 5 anggota, maka program HTR diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan sebesar 1,8 juta penduduk (Arifin, 2007).

Lebih lanjut Presiden SBY saat membuka Rakernas Departemen Kehutanan 2008 yang diselenggarakan di Istana Negara memberikan sembilan instruksi dan ajakan kepada jajaran kehutanan dan masyarakat luas. Instruksi dan ajakan tersebut adalah: (1) pembangunan sumber daya hutan yang memberikan manfaat nyata kepada negara dan rakyat, (2) ekonomi lingkungan, (3) kelestarian sumber air, (4) pencegahan banjir dan tanah longsor, (5) pencegahan kebakaran hutan, (6) pemberantasan kejahatan kehutanan, (7) good governance, (8) membantu rakyat di dalam dan sekitar area hutan, dan (9) penghijauan.

PENGEMBANGAN TERINTEGRASI TANAMAN – TERNAK PADA KAWASAN HTR

Pengembangan tanaman pangan pada kawasan HTR dapat dilakukan dengan memanfaatkan space antara tanaman pokok. Space tersebut sangat tergantung pada beberapa hal di antaranya umur tanaman, karakteristik morfologis percabangan tanaman utama serta pola budi daya tanaman utama.

Pengembangan tanaman lain khususnya tanaman pangan dalam konteks peningkatan pendapatan petani pada kawasan HTR merupakan suatu keharusan, dengan berbagai pertimbangan di antaranya karena tanaman kayu yang diusahakan baru dapat dipanen setelah berumur lebih dari 10 tahun. Demikian pula, dengan adanya komposisi tanaman budi daya berkayu yang juga dapat berproduksi optimal setelah berumur lebih dari 5 tahun. Oleh karena adanya senjang waktu sebelum adanya penghasilan menetap dari tanaman utama, diperlukan adanya sumber pendapatan sampingan selain hasil hutan misalnya madu, rotan, dan berbagai hasil samping hutan lainnya yang semakin terbatas.

Beberapa jenis tanaman pangan yang potensial dikembangkan di kawasan HTR di antaranya adalah padi gogo, jagung, dan kedelai. Pengembangan komoditas ini searah dengan target Kementerian Pertanian untuk menjadikan ketiga komoditas tersebut sebagai komoditas yang strategis. Berkaitan dengan posisi ketiga komoditas tersebut, Haryono (2012) memberikan gambaran sebagaimana terliihat pada Tabel 1. Tabel 1. Self-sufficiency Achievement Index (SAI) beberapa komoditas tanaman pangan, 2011-2012

No. Komoditas (000 ton) Tahun 2011* Tahun 2012**

1. Padi Produksi 36.969 38.564 Permintaan 33.045 33.035 SAI 111,87 116,74

2. Jagung Produksi 17.643 18.945 Permintaan 15.272 16.097 SAI 115,52 117,69

3. Kedelai Produksi 851 780 Permintaan 2.122 2.246 SAI 40,10 34,71

Keterangan : * Angka tetap 2011, ** Angka sementara 2012 Sumber: Haryono (2012)

Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial 78

Khusus untuk komoditas padi, meskipun telah dicapai swasembada pada tahun 2012, hal ini harus terus dikembangkan sehingga menjadi swasembada beras berkelanjutan. Selanjutnya, menyangkut pentingnya komoditas jagung, Lakitan (2013) menyebutkan bahwa pada tahun 2011 Indonesia menghabiskan lebih dari US$ 1 miliar untuk mengimpor jagung. Demikian pula untuk kedelai sebagai salah satu komoditas strategis kebutuhan mencapai 2 juta ton per tahun, sementara produksi nasional yang hanya mencapai 30–40% dari kebutuhan nasional, atau hanya sekitar 700–900 ribu ton/tahun, sehingga pemerintah harus mengimpor komoditas tersebut (Marwoto et al., 2012; Statistik Konsumsi Pangan, 2012).

Ketiga komoditas pangan tersebut memiliki peluang untuk dikembangkan pada kawasan HTR. Namun, pengembangan tanaman pangan pada kondisi tersebut memerlukan ketersediaan teknologi karena adanya beberapa faktor pembatas, di antaranya:

Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas dalam pengembangan tanaman pangan di kawasan HTR. Hal ini karena adanya efek naungan oleh tanaman utama yang bertanggung jawab terhadap jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman pangan yang ditata di sela tanaman hutan sebagai tanaman pokok.

Purnomo (2009) menyatakan bahwa tanaman pertanian pada umumnya merupakan tanaman suka cahaya (sun loving) sehingga cahaya menjadi salah satu faktor pembatas utama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Cahaya untuk tanaman sepenuhnya tergantung dari radiasi matahari dan tidak mudah diatasi bila terdapat permasalahan.

Radiasi surya merupakan sumber energi utama bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Terdapat tiga faktor utama radiasi yang penting bagi tanaman yaitu intensitas, kualitas, dan lama penyinaran. Intensitas radiasi adalah jumlah energi yang diterima tanaman pada luasan dan jangka waktu tertentu. Pengaruh radiasi terhadap tanaman yaitu pada (a) laju pertumbuhan, (b) laju transpirasi, dan (c) pada periode kritis dalam pertumbuhan, tingkat energi yang tinggi dapat menyebabkan pembakaran (Squire, 1993).

Secara teoritis cahaya yang dapat dipergunakan untuk fotosintesis adalah cahaya yang mempunyai panjang gelombang antara 400–700 nm. Cahaya itu kemudian disebut sebagai radiasi aktif untuk fotosintesis (Photosynthetic Active Radiation/PAR) (Taiz dan Zieger, 1998; Hall dan Rao, 1999).

Secara khusus pada tanaman padi, pengurangan intensitas radiasi akan memengaruhi pertumbuhan dan produksi serta terganggunya proses metabolisme pada tanaman (Vijayalaksmi et al., 1991; Tong dan Zhang, 1993 dalam Sahardi, 2000). Demikian pula halnya pada tanaman C4 seperti jagung dan C3 seperti kedelai akan memperlihatkan produksi yang rendah pada pencahayaan yang kurang optimum, (Sitompul 2003; Adisarwanto et al., 2000). Hasil biji rendah berhubungan dengan laju fotosintesis rendah sehingga biomassa juga rendah (Monteith, 1965 dalam Purnomo, 2005). Laju fotosintesis tidak terlepas dari penangkapan cahaya yang dilakukan oleh daun tanaman dengan sifat antara lain luas (dinyatakan dalam indeks luas daun/ILD) dan ketebalan (dinyatakan dalam luas daun spesifik/LDS). Sinclair dan Garner (1998) menyatakan bahwa bila ILD =1 prediksi cahaya yang diintersep oleh tanaman sebesar 50%; bila ILD = 2 cahaya diintersep sebesar 90%; dan bila ILD = 4,3 cahaya diintersep sebesar 95%. Indeks luas daun tanaman jagung sebesar 1,14-2,42 yang berarti prediksi cahaya yang diintersep 79-89% sehingga melampaui prediksi di atas. Kemungkinan hal itu adalah karena kedudukan daun tanaman jagung yang vertikal.

Ketersediaan Air

Ketersediaan air pada kawasan olah bisa menjadi sangat kritis. Hal ini karena terjadi kompetisi dengan tanaman utama, terutama pada musim kemarau. Keterbatasan air ini akan memengaruhi pertumbuhan tanaman. Pengaruh awal dari tanaman yang mendapat cekaman air adalah terjadinya hambatan terhadap pembukaan stomata daun yang kemudian berpengaruh besar terhadap proses fisiologis dan metabolisme dalam tanaman (Penny-Packer et al., 1990; Jones, 1992.). Lebih spesifik

Pengembangan Terintegrasi Tanaman Pangan dan Ternak pada Kawasan Hutan Tanaman Rakyat: Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Zainal Abidin

79

Jones (1992) menyatakan bahwa dalam jangka pendek kekurangan air akan memengaruhi aktivitas stomata dan fotosintesis, dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi proses biokimia dan psikologis tanaman di antaranya adalah pertumbuhan tanaman, morfologi, dan reproduksi tanaman. Tanaman yang mengalami cekaman air stomata daunnya menutup sebagai akibat menurunnya turgor sel daun sehingga mengurangi jumlah CO2 yang berdifusi ke dalam daun. Selain itu, dengan menutupnya stomata laju transpirasi menurun sehingga mengurangi suplai unsur hara dari tanah ke tanaman karena transpirasi pada dasarnya memfasilitasi laju aliran air dari tanah ke tanaman, sedangkan sebagian besar unsur hara masuk ke dalam tanaman bersama-sama dengan aliran air (Kramer, 1972).

Lebih lanjut Ritche (1980) dalam Mappegau (2011) menyatakan bahwa proses yang sensitif terdapat kekurangan air adalah pembelahan sel. Hal ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan tanaman sangat peka terhadap defisit (cekaman) air karena berhubungan dengan turgor dan hilangnya turgiditas dapat menghentikan pembelahan dan pembesaran sel yang mengakibatkan tanaman lebih kecil. Bayer (1976) dalam Harwati (2007) menunjukkan bahwa pada tanaman yang cukup air stomata dapat dipertahankan selalu membuka untuk menjamin kelancaran pertukaran gas-gas di daun termasuk CO2 yang berguna dalam aktivitas fotosintesis. Aktivitas yang tinggi menjamin pula tingginya kecepatan pertumbuhan tanaman. Djazuli (2010) menyatakan bahwa pengaruh cekaman kekeringan tidak saja menekan pertumbuhan dan hasil, bahkan menjadi penyebab kematian tanaman.

Secara khusus pada tanaman jagung, Tollenaar dan Lee (2011) dalam Roth et al. (2013) menyatakan bahwa jagung sangat sensitif terhadap kekeringan, terutama pada masa dua minggu sebelum dan sesudah pengisian biji. Lebih lanjut, Roth et al. (2013) menyatakan bahwa kekeringan akan menyebabkan menurunnya aktivitas fotosintesis dan transpirasi pada akhir fase vegetatif jagung.

Kesuburan Lahan

Aspek kesuburan pada lahan kelola antara tanaman utama pada HTR juga menjadi salah satu faktor pembatas. Meskipun diketahui bahwa kawasan hutan memiliki kesuburan yang cukup baik dalam mendukung pertumbuhan tanaman, akan tetapi seiring dengan pembukaan lahan untuk penanaman tanaman kehutanan, akan secara langsung juga memengaruhi kesuburan tanah di wilayah tersebut. Pembukaan lahan akan menyebabkan terjadinya run-off pada musim hujan yang bertanggung jawab terhadap erosi tanah. Keterbukaan lahan dapat menurunkan nilai kesuburan tanah hutan sehingga lahan mudah terdegradasi terutama pada sifat kimia dan biologi tanah.

Nugroho (2009) yang melakukan penelitian terhadap sifat fisik–kimia dan kesuburan tanah pada lokasi rencana hutan tanaman industri PT Prima Multibuwana menyatakan bahwa tingkat kesuburan tanah di wilayah tersebut relatif rendah dengan beberapa parameter di antaranya kandungan C-Organik 0,53–0,83 dengan status C% mempunyai harkat sangat rendah yaitu < 1,00%. Selanjutnya kandungan N 0,084–0,140% dengan harkat Nitrogen sangat rendah. Nilai P2O5 dan K2O juga menunjukkan nilai yang sangat rendah hingga sedang, dengan nilai P2O5 berkisar antara 0,754–2,987 mg/100 g dan nilai K2O antara 1,330–33,012 mg/100g.

Namun demikian, Yamani (2009) yang melakukan penelitian tingkat kesuburan tanah pada hutan lindung gunung sebatung di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan menunjukkan hasil yang berbeda, yang menyatakan bahwa status kesuburan lahan pada empat titik contoh bervariasi dari sedang hingga tinggi. Secara lebih khusus disebutkan bahwa sifat kimia pada beberapa kawasan hutan lindung Sebatung menunjukkan hasil sebagaimana pada Tabel 2.

Lebih lanjut disebutkan bahwa struktur tanah pada wilayah hutan tergolong remah, didukung pula tingginya kandungan bahan organik yang terdapat di lantai hutan, dengan kondisi tanah demikian mudah untuk menyerap air. Mengingat keadaan topografi yang curam berbukit dengan porositas tanah yang relatif besar dan permeabilitas tanahnya yang sangat cepat, dikhawatirkan rentan terhadap kehilangan air baik melalui air infiltrasi yang masuk ke dalam tanah maupun air permukaan (surface run-off), sehingga dapat menurunkan kesuburan tanah karena terjadinya proses pencucian dan erosi.

Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial 80

Tabel 2. Sifat kimia tanah di hutan lindung Gunung Sebatung

Parameter Satuan

Lokasi pengamatan

Kebun buah Tegakan hutan Tegakan

hutan Semak belukar

C % 2,68 (S) 3,13 (T) 3,16 (T) 2,12 (S)

N % 0,19 (R) 0,22 (S) 0,19 (R) 0,09 (SR)

P total ppm 159,95 (ST) 168,70 (ST) 76,28 (ST) 16,81(R)

P Bray ppm 0,15 (SR) 0,09 (SR) 0,32 (SR) 0,04 (SR)

K total ppm 501,74 (ST) 1.992,99 (ST) 882,57 (ST) 1.366,26 (ST)

K –dd me/100gr 0,71 (T) 1,87 (ST) 1,43 (ST) 2,46 (ST)

Ca –dd me/100gr 10,32 (T) 20,48 (ST) 4,66 (R) 20,51 (ST)

Mg –dd me/100gr 0,29 (SR ) 0,77 (R) 0,55 (R) 0,72 (R)

Na –dd me/100gr 0,89 (T) 0,1,05 (ST) 1,42 (ST) 1,19 (ST)

KTK me/100gr 16,04 (R) 28,25 (T) 9,41 (R) 27,85 (T)

pH (H2O) - 5,64 (agk msm) 6,02 (agk msm) 4,82 (msm) 5,83 (agk msm)

Sumber: Yamani (2009).

Berdasarkan berbagai hambatan tersebut, maka beberapa hal yang dapat dilakukan berkaitan dengan pengembangan tanaman pangan pada kawasan HTR adalah sebagai berikut:

Pemilihan varietas toleran

Pemilihan varietas toleran terhadap cahaya dan kekeringan merupakan salah satu strategi pengembangan tanaman pangan di kawasan HTR. Terdapat beberapa jenis tanaman pangan yang memiliki varietas yang toleran terhadap kondisi tersebut, misalnya padi gogo, jagung, dan kedelai.

Padi gogo merupakan salah satu alternatif tanaman pangan yang dapat dikembangkan pada kawasan HTR. Beberapa penelitian menyangkut toleransi beberapa varitas padi gogo terhadap naungan sebagai salah satu syarat pengembangan padi gogo di kawasan HTR telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya adalah Sahardi (2000) yang menyatakan bahwa terdapat 10 genotipe padi gogo yang toleran terhadap naungan, di antaranya adalah Jatiluhur, Dodokan, B2966F-PN-7-MR-2-PN-4, TB177E-TB-30-B-2, TB165E-TB-6, B9049C-TB-4-B-2, TB154E-TB-l, S3613FPN-l-l, C22, dan B8503ME-TB-19-B-3-4.

Lebih lanjut, Toha (2007) menunjukkan bahwa padi gogo sangat potensial untuk ditumpangsarikan dengan tanaman jati muda karena dapat memberikan produksi hingga 5 t/ha. Yusuf (2008) menunjukkan bahwa dari empat varietas padi gogo yang ditanam di bawah tanaman karet memberikan produktivitas yang cukup baik yaitu varietas Situ Bagendit, Batu Tegi, Situ Patenggang, dan Limboto memberikan produksi berkisar antara 2,41-4,37 t/ha. Secara lebih khusus Lubis et al. (1993) menyatakan bahwa pengembangan padi gogo sebagai tanaman sela di bawah tegakan memerlukan beberapa persyaratan di antaranya adalah umur genjah-sedang (80–120) hari, tinggi tanaman 110–125 cm, jumlah anakan sedang, tahan terhadap penyakit blas, dan toleran terhadap kekeringan dan naungan.

Selain tanaman padi gogo, komoditas pangan lain yang juga potensial dikembangkan pada kawasan HTR adalah jagung. Penelitian Randriani et al. (1998) mengemukakan bahwa hasil jagung pipilan kering tiap hektar varietas hibrida C3 yang ditanam di bawah kelapa dengan penyinaran 35,1% selama tiga tahun berturut-turut adalah 1.167 kg pada tahun pertama, pada tahun kedua hasil jagung di bawah kelapa 802,4 kg, dan pada tahun ketiga adalah 2.566,7 kg. Lebih lanjut, Purnomo (2005) menyatakan bahwa varietas Pioneer 11 memberikan produktivitas hingga 3,9 t/ha pada tingkat naungan hingga 60%.

Tanaman kedelai juga merupakan salah satu tanaman yang memiliki karakteristik yang dapat beradaptasi baik pada kondisi ternaung. Balitkabi (2007) telah melakukan evaluasi terhadap 195 genotipe kedelai pada lingkungan optimal dan penaungan 50% memperoleh tujuh genotipe yang tergolong toleran, 16 genotipe toleran, 141 genotipe agak toleran, 28 genotipe rentan, dan 3 genotipe sangat rentan. Hal senada juga dilakukan oleh Sundari (2007) yang menghasilkan beberapa varietas kedelai yang tahan terhadap naungan, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.

Pengembangan Terintegrasi Tanaman Pangan dan Ternak pada Kawasan Hutan Tanaman Rakyat: Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Zainal Abidin

81

Tabel 3. Genotipe kedelai toleran naungan, 2007

No. Genotipe Bobot biji (g/tanaman)

ITC Kriteria

toleransi N0 N1

1. Argopuro 3,59 3,32 1,11 ST

2. Wilis 5,97 2,96 0,99 ST

3. Kaba 5,68 2,24 0,75 T

4. Tanggamus 4,16 2,22 0,74 AT

5. Grobogan 4,14 1,79 0,60 AT

6. Argomulyo 4,29 1,66 0,55 AT

7. Sinabung 3,73 1,54 0,51 AT

8. Merapi 4,35 0,60 0,20 SR

9. Petek 4,93 0,45 0,15 SR

N0 = tanpa naungan, N1 = dengan naungan 50% menggunakan paranet; ITC = Indeks toleran cekaman naungan Toleransi: ST = sangat tahan, SR = sangat rentan, T = tahan, dan AT = agak tahan Sumber: Sundari (2007)

Sumber: Sundari (2013)

Gambar 1. Kedelai di bawah hutan jati

Sistem pengelolaan berbasis konservasi tanah

Pengelolaan tanaman pangan di antara tanaman di satu sisi merupakan salah satu strategi untuk mengurangi laju aliran permukaan pada musim hujan dan di sisi lain memberikan manfaat tambahan pendapatan bagi petani. Penerapan sistem konservasi merupakan suatu strategi yang penting untuk mengurangi resiko surface run off maupun juga untuk mempertahankan kesuburan lahan di areal antara tegakan hutan yang merupakan tanaman pokok.

Idjuddin (2011) menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat beberapa teknik konservasi yang dapat diterapkan, di antaranya: (1) teras bangku yang berfungsi untuk memperlambat aliran permukaan, meningkatkan laju infiltrasi, dan mempermudah pengolahan tanah; (2) teras gulud yang juga berfungsi mirip dengan teras bangku; (3) teras individu di mana teras dibuat pada setiap individu

Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial 82

tanaman khususnya tanaman tahunan; (4) teras kebun yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penerapan teknik konservasi tanah, dan memfasilitasi pengelolaan lahan (land management facility); (5) rorak yang merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan; (6) penanaman tanaman penutup tanah, serta (7) penggunaan mulsa.

Pemilihan teknik konservasi dan proporsi tanaman tahun dan semusim berdasarkan karakteristik lahan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pedoman pemilihan teknologi konservasi tanah secara mekanis dan vegetatif berdasarkan

tingkat kemiringan lahan, erodibilitas tanah, dan kedalaman solum (P3HTA dengan modifikasi)

Lereng (%)

Kedalaman solum (cm)/erodibilitas Rekomendasi proporsi tanaman

(%) >90 cm 40-90 cm <40 cm

Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Semusim Tahunan

15-25 TB, BL, PH, SP,

PT, RR, ST

TB, BL, PH, SP,

PT, RR, ST

TB, BL, PH, SP,

PT, RR, ST

TB, BL, PH, SP,

PT, RR, ST

TB, BL, PH, SP,

PT, RR, ST

TB, BL, PH, SP,

PT, RR, ST

Maks 50 %

Min 50%

25 – 40 TB, BL, PH, PT

TG, BL, PH, PT

TG, BL, PH, PT

TG, BL, PH, PT

TG, BL, PH, PT

TI, RR, BL, PH

Maks 25%

Min 75%

>40% TI, TK TI, TK TI, TK TI, TK TI, TK TI, TK 0 100

Keterangan: * Untuk tanah peka erosi (Ultisol, Entisol, Vertisol, Alfisol) dibatasi sampai lereng 65%, sedangkan untuk tanah yang kurang peka sampai lereng 100%. TB = Teras bangku; BL = Budi daya lorong, TG = Teras gulud; TI = Teras Individu; RR = Rorak; TK = Teras Kebun, PH = Pagar hidup; ST = Strip rumput atau strip tanaman alami; SP = Silvipastura; PT = Tanaman penutup tanah Sumber: Departemen Pertanian (2006)

Pengelolaan terintegrasi ternak

Salah satu kunci untuk pengembangan tanaman pangan di kawasan hutan tanaman rakyat adalah dengan mengintegrasikan pegelolaannya dengan ternak ruminansia misalnya sapi, kambing, dan domba. Pengembangan ternak di kawasan ini sebagai bagian dari sitem terintegrasi sangat memungkinkan dalam kerangka penerapan sistem LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Selain itu, fungsi ternak juga sekaligus sebagai sumber pendapatan tambahan baru bagi masyarakat di sekitar hutan. Pengembangan sistem integrasi ini juga biasanya dikenal sebagai sistem food feed system yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan ekosistem yang sangat kompleks (Diwyanto dan Handiwirawan, 2004).

Pengembangan ternak secara terintegrasi dengan tanaman pada kawasan HTR sangat memungkinkan karena dengan penanaman tanaman pangan, maka akan tersedia sumber pakan ternak berupa serasah hasil tanaman pangan. Pemanfaatan serasah jagung sebagai sumber pakan ternak juga telah diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya. Meskipun tongkol jagung memiliki kualitas yang cukup rendah, sebagai sumber pakan yang ditandai oleh kadar protein tongkol jagung <4,64%, kadar lignin 15,8% dan selulosa yang tinggi (Brant dan Klopfenstein, 1986; Aregheore, 1995, Ramirez et al., 2007), juga kecernaan tongkol jagung juga rendah yaitu <50% (Brant, 1986). Akan tetapi, Pamungkas et al. (2006) menyatakan bahwa untuk meningkatkan nilai gizi limbah tanaman jagung dapat dilakukan beberapa upaya perlakuan, di antaranya adalah: (1) fisik berupa pencacahan, penggilingan, perebusan, perendaman, pemeletan, dan penjemuran/pengeringan; (2) perlakuan kimiawi misalnya pencampuran dengan urea, NaCl, Na2CO3 dalam konsentrasi tertentu; (3) perlakuan biologi berupa penambahan enzim, mikroba atau probiotik atau kombinasinya dengan perlakuan kimia dan (4) suplementasi, berupa penambahan mineral, dedak, molasses atau prebiotik. Yulistiani et al. (2012) mengemukakan bahwa melalui pengolahan tongkol jagung dengan perlakuan urea 3% dan fermentasi menggunakan Aspergilus niger yang disuplemasi urea 0,5% dapat meningkatkan kandungan protein menjadi 210% dan meningkatkan kecernaan sebesar 43%.

Selain pemanfaatan bahan tongkol jagung, pakan ternak juga dapat diperoleh melalui penerapan teknologi penjarangan jagung, sehingga bahan pakan berasal dari hijauan jagung segar.

Pengembangan Terintegrasi Tanaman Pangan dan Ternak pada Kawasan Hutan Tanaman Rakyat: Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Zainal Abidin

83

Hasil pengkajian BPTP Yogyakarta (2008) menunjukan bahwa pada pengembangan terintegrasi jagung dengan kambing dengan penerapan pola penjarangan jagung sebagai pakan ternak kambing diperoleh bahwa penjarangan jagung yang ditanam dengan jarak tanam 20x20cm sebanyak 4 kali penjarangan diperoleh bahan hijauan sebesar 22,5 ton/ha dan juga diperoleh produksi jagung pipil sebesar 4,2 t/ha. Selanjutnya Rohaeni et al. (2005) menyatakan bahwa setiap ha jagung menghasilkan produk samping berupa daun, batang, dan janggel jagung dengan produksi sebesar 12,19 t. Anggraeny et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan jerami jagung yang dikombinasikan dengan suplementasi multinutrien menunjukkan Pertambahan Bobot Hidup Harian (PBHH) sebesar 0,63 kg/ekor/hari. Lebih lanjut Rohaeni et al. (2005) menyatakan bahwa dari sistem integrasi ternak sapi dengan skala 20 ekor yang diintegrasikan dengan tanaman jagung seluas 3 ha diperoleh pendapatan sebesar Rp19,51 juta per musim.

Potensi pengembangan terintegrasi padi dengan ternak juga sangat besar. Menurut Haryanto et al. (2002), setiap hektar sawah menghasilkan jerami segar 12-15 t/ha/musim, dan setelah melalui proses fermentasi menghasilkan 5-8 t/ha, yang dapat digunakan untuk pakan 2-3 ekor sapi/tahun. Selanjutnya, Sunyoto dan Benny (2005) menyatakan bahwa pemberian 5–10 kg jerami padi terfermentasi yang ditambahkan dengan pangan penguat konsentrat sebanyak 1–1,5 kg, dengan pemeliharaan selama 3 bulan diperoleh PBBH sapi sebesar 0,36–0,8 kg/ekor/hari; bahkan menurut Bahrein et al. (2002) dengan penambahan konsentrat hingga 3 kg PBBH sapi dapat mencapai > 1 kg/ekor/hari.

Pengembangan sistem terintegrasi tanaman ternak juga memiliki fungsi lain, yaitu berkaitan dengan perubahan Iklim. Wahyuni et al. (2012) menyatakan bahwa sistem integrasi antara padi sawah tadah hujan dan ternak sapi merupakan salah satu cara yang efektif dan adaptif untuk mengantisipasi perubahan iklim.

Peningkatan Produksi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa meskipun terdapat berbagai faktor pembatas di antaranya faktor cahaya, ketersediaan air hingga kesuburan lahan, penerapan teknologi yang tepat berupa penggunaan varietas tahan naungan, pengelolaan lahan berbasis konservasi hingga pengelolaan tanaman terintegrasi ternak akan mampu memberikan pendapatan yang layak bagi masyarakat di sekitar hutan.

Permadi dan Toha (1996) menyatakan bahwa varietas Cirata mampu memberikan produktvitas hingga 6,7 t/ha. Selanjutnya Toha et al. (2001) menyatakan bahwa padi gogo varietas Way Rarem yang ditanam pada hutan jati muda umur dua tahun memberikan produktivitas sebesar 4,65 t/ha. Menurut Permadi et al. (1998), varietas Cirata yang ditanam di sela karet muda umur satu tahun memberikan hasil sebesar 3,84 t GKG/ha. Penanaman padi gogo pada areal tegakan dapat dilakukan hingga tahun 6–7, tergantung pada umur tegakan, namun demikian batasannya adalah naungan hingga mencapai 50% (Permadi et al., 2006). Lebih lanjut Toha (2009) menyatakan bahwa penanaman padi gogo yang ditumpangsarikan dengan tanaman jati dengan menggunakan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada tanaman jati siap tebang produktivitasnya bisa mencapai 5,213 t/ha. Lebih lanjut dilaporkan bahwa pendapatan petani yang diperoleh dari pertanaman padi gogo pada tumpangsari jati siap tebang adalah sebesar Rp7,45 juta.

Selanjutnya, Purnomo (2005) menyatakan bahwa pada pengusahaan jagung hingga tingkat naungan mencapai 60% akan diperoleh jagung pipilan sebesar 3,9 t/ha. Demikian juga yang dilaporkan oleh Sundari (2013) bahwa kedelai varietas Dena 1 dan Dena 2 dapat ditanam pada kawasan hutan hingga umur tanaman hutan 0–3 tahun pada naungan hingga 50% masih akan memberikan produktivitas masing-masing sebesar 1,69 dan 1,35 t/ha. Selain pendapatan dari tanaman pangan, potensi pendapatan lain adalah dari usaha peternakan yang diintegrasikan dengan tanaman pangan. Jenis ternak yang dapat diintegrasikan terutama adalah ternak ruminansia.

Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial 84

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengembangan tanaman pangan pada kawasan HTR sangat potensial dilaksanakan dan memiliki multiplier effect yang cukup besar, di antaranya adalah peningkatan produksi pangan nasional. Meskipun kawasan HTR memiliki berbagai hambatan untuk pengembangan tanaman pangan, di antaranya adalah faktor cahaya matahari, air, dan kesuburan lahan, akan tetapi hambatan tersebut dapat diatasi melalui penerapan teknologi yang tepat yaitu penggunaan varietas tanaman pangan yang toleran terhadap naungan, pengelolaan lahan berbasis konservasi, serta pengembangan sistem integrasi ternak tanaman.

Dengan asumsi bahwa produktivitas padi gogo yang dapat diperoleh di bawah tegakan hutan rata-rata ± 3 t/ha, jagung sebesar ± 3,9 t/ha dan kedelai ± 1,35 t/ha dan luas lahan HTR yang dicanangkan di Indonesia yaitu seluas 5,4 juta ha, maka 1 juta ha (20%) lahan HTR diusahakan dengan penanaman tanaman padi, maka paling tidak akan diperoleh tambahan produksi padi sebesar 3 juta ton gabah padi atau sekitar 1,5 juta ton beras. Demikian juga jika ditanam dengan jagung, maka akan diperoleh tambahan produksi jagung dalam negeri sebesar 3,9 juta ton jagung pipil, atau jika ditanami dengan kedelai maka akan diperoleh tambahan produksi kedelai sebesar 1,35 juta ton kedelai. Tambahan produksi tanaman pangan ini akan memberikan keamanan bagi persediaan pangan dalam negeri, sekaligus menjadi sumber pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Selain itu, pengembangan terintegrasi ini juga sekaligus sebagai salah satu upaya adaptif untuk antisipasi perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T., Suhartina, dan Soegiyatni. 2000. Respon Kedelai terhadap Beberapa Tingkat Naungan. Edisi Khusus Balitkabi. 16:12-21.

Anggraeny, Y.N., U. Ummiyasih, dan D. Pamungkas. 2005. Pengaruh suplementasi multinutrien terhadap performans sapi potong yang memperoleh pakan basal jerami Jagung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Aregheore, E.M. 1995. Effect of sex on grouth rate, voluntary fed intake and nutrient digestibility of west African dwarf goats fed crop residue rations. Small Rum. Res. 15: 217- 221.

Arifin, M.Z. 2007. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat, mungkinkah? http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id14691.html. (15 Januari 2013).

Balitkabi. 2007. Kedelai tahan naungan. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id. (15 Januari 2013).

BPTP Yogyakarta. 2008. Integrasi tanaman jagung dan ternak kambing mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani di Gunung Kidul. http://yogya.litbang.deptan.go.id. (14 maret 2014).

Brandt, Jr. R.T. and T.J. Klopfenstein. 1986. Evaluation of alfalfa-corn cob associative action. I. Interactions between alfalfa hay an. ruminal escape protein on grouth of lambs and steers. J. Anim. Sci. 63: 894-901

Departemen Kehutanan. 2007. Dephut alokasikan lahan hutan 5,4 juta ha untuk usaha HTR dengan dukungan dana reboisasi. Siaran pers Nomor S.51/II/PIK-1/2007. http://www.dephut.go.id/index.php. (21 Maret 2013).

Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/ OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta

Dirjen Tanaman Pangan. 2013. Kebijakan dan Tatahubungan Kelembagaan Mendukung P2BN. Bahan Tayang, disampaikan pada Raker Badan Litbang Pertanian di Kudus Jawa Tengah. Maret 2013

Diwyanto, K. dan E. Wirawan. 2004. Peran Litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor

Djazuli A. 2010. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan dan beberapa karakter morfo-fisiologis tanaman nilam. Buletin Littro 21(1).

Pengembangan Terintegrasi Tanaman Pangan dan Ternak pada Kawasan Hutan Tanaman Rakyat: Suatu Opsi untuk Peningkatan Produksi Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Zainal Abidin

85

Hall, D.O., and K.K. Rao.1999. Photosynthesis. Sixth edition. Cambridge University Press.

Huxley, P. 1999. Tropical Agroforestry. Blackwell Science Ltd. Oxford. London.

Harwati, C.T. 2007. Pengaruh kekurangan air (water deficit) terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman

tembakau. Jurnal Inovasi Pertanian 6(1):44–51.

Haryanto, B., I. Inounu, I.G.M. Budi Arsana, dan K. Dwiyanto. 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Jakarta

Haryono. 2012. Maize for food, feed and fuel in Indonesia: challenges and opportunity. Paper presented in International Maize Conference Gorontalo. Indonesia Agency of Agricultural Research and Development.

Idjudin A.A. 2011. Peranan konservasi lahan dalam pengelolaan perkebunan. Jurnal Sumberdaya Lahan 5(2).

Jones H.G. 1992. Plants and Microclimate.Canbridge University Press. Australia.

Kementerian Kehutanan. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.55/Menhut-Ii/2011 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.

Kementerian Pertanian 2012. Statistik Konsumsi Pangan 2012. Kementerian Pertanian. Jakarta

Kramer, P.J. 1972. Plant and Soil Water Relationship. A Modern Synthesis.Reprinted in India Arrangement with Mc Graw Hill Inc. New York. 428 p.

Lakitan, B. 2012. Technology’s perspective on maize-based agribusiness in Indonesia. Paper presented in International Maize Conference Gorontalo. Indonesia Agency of Agricultural Research and Development. Jakarta.

Lubis, R. Hermnasari, Sunaryo, A. Santika dan E. Suparman. 2007. Toleransi galur padi gogo terhadap cekaman abiotik. Prosiding Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Penelitian Padi. Sukamandi.

Mappegau. 2006. Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Jurnal Ilmu Pertanian Kultura 1(1).

Marwoto, A. Taufiq dan Suyamto.2012. Potensi pengembangan tanaman kedelai di perkebunan kelapa sawit. Jurnal Litbang Pertanian 13(4).

Nugroho, Y. 2009. Analisis sifat fisik-kimia dan kesuburan tanah pada lokasi rencana hutan tanaman industri PT Prima Multibuwana. Jurnal Hutan Tropis Borneo 10(27).

Penny-Packer, B.W., K.T. Leath, W.L. Stout, and R.R. Hill. 1990. Technique for stimulating field drought stress in the green house. Agr. J. 82 (5):951–957.

Permadi, P dan H.M. Toha. 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan penanaman kultivar unggul dan pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Lembaga Penelitian Unila. Lampung.

PSEKP. 2013. Isu-isu Strategis Pembangunan Pertanian. Disampaikan pada Raker Badan Litbang Pertanian di Kudus Jateng.

Purnomo J. 2005. Tanggapan varietas tanaman jagung terhadap irradiasi rendah. Jurnal Agrosains 7(1): 86-93.

Randriani, E., E. Wardiana, Y. Ferry, dan N. Heryana. 1998. Keragaan beberapa tanaman sela di antara kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa, Bandar Lampung. hlm. 266-273

Rohaeni, E.S., Ahmad S, N. Amali, Sumanto, dan A. Darmawan. 2004. Kontribusi pendapatan pemeliharaan ternak sapi dalam sistem integrasi jagung dan ternak sapi di lahan kering. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor

Roth, J.A., I.A. Ciampitti, and T.J. Vyn. 2013. Physiological evaluations of recent drought-tolerant 1 maize hybrids at varying management-imposed stress levels. Agronomy Journal 105(4):1129-1141

RRI.co.id. 2014. Kemenhut targetkan 10 juta ha hutan dikelola masyarakat pada tahun 2020. (Januari 2014).

Sahardi. 2009. Prospek pengembangan padi gogo toleran naungan sebagai tanaman sela. Prosiding Seminar Nasional Padi 2009. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang.

Setiasih Irawanti. 2008. Peranan aspek sosial budaya dan ekonomi dalam perencanaan hutan tanaman rakyat. Info Sosial Ekonomi 8(3):125-137.

Sinclair, T.R. and F.P. Gardner. 1998. Environmental limits to plant production. In T.R., Sinclair and F.P., Gardner (eds.). Principles of Ecology in Plant Production. CAB International. p. 63-78.

Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial 86

Sitompul, S.M. 2002. Radiasi dalam sistem agroforestri. Dalam Wanulcas. Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. ICRAF.79-102.

Squire, G.R. 1993. Tropical Crop Production. CAB. International Walligford Nairobi. Kenya.

Sutoro, I. Somodireja, dan S. Tirtoutomo. 1989. Pengaruh cekaman air dan reaksi pemuliaan tanaman jagung dan sorgum pada fase pertumbuhan vegetatif. Penelitian Pertanian 9(4):148-151

Toha, H.M. 2002. Padi Gogo sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Padi. Subang.

Toha, H.M. 2007. Pengembangan padi gogo menunjang program P2BN. Prosiding Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Penelitian Tanaman Padi. Subang.

Toha, H.M., Widyantoro, dan L.M. Zarwazi. 2009. Pengembangan padi gogo pada kawasan hutan jati: kasus KPH Randublatung. Prosiding Seminar Nasional Padi. Balai Penelitian Tanaman Padi. Subang.

Toha, H.M. 2008. Pengembangan padi gogo menunjang P2BN. http://www.litbang.deptan.go.id/special/padi/bbpadi_2008. (21 Maret 2014).

Vijayalaksmi, C., R. Radhakhrisman, M. Nagaran and C. Rehjendran. 1991. Effect of solar irradiation deficit on rice productivity. Jurnal Crop Science 167:184-187.

Wahyuni, E.S. Harsanti, dan N. Dedi. 2012. Sistem integrasi tanaman ternak (SITT) di lahan sawah tadah hujan mengantisipasi perubakan iklim. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 34(1).

Wollenberg, E., B. Brian, S. Douglas, D. Sonya, dan M. Moira. 2004. Mengapa kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. http://www.cifor.org (15 Maret 2014).

Yamani A. 2010. Kajian tingkat kesuburan tanah pada hutan lindung gunung sebatung di Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis 11 (29).

Yulistiani, D., W. Puastuti, E. Wina, dan Supriati. 2012. Pengaruh berbagai pengolahan terhadap nilai nutrisi tongkol jagung: komposisi kimia dan kecernaan in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 17(1).

Yusuf, A. 2008. Pengkajian empat varietas padi gogo sebagai tanaman tumpangsari perkebunan. Makalah Seminar Nasional.Pekan Padi Nasional II. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang.

Zarwazi L.M., Widyantoro, Supartopo, dan H.M. Toha. 2005. Keragaan galur dan varietas padi gogo sebagai tanaman tumpangsari hutan jatimuda di Blora dan Indramayu. Prosiding Seminar Nasional Padi 2009. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang.