KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf ·...

30
0 PROPOSAL OPERASIONAL TA. 2013 KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGAN UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA Oleh: Supriyati Sri Hery Susilowati Ashari Mohamad Maulana Yonas Hangga Saputra PM (Puslitbangbun) PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2013

Transcript of KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf ·...

Page 1: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

PROPOSAL OPERASIONAL TA. 2013

KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGAN UNTUK MENDUKUNG

SWASEMBADA GULA

Oleh: Supriyati

Sri Hery Susilowati Ashari

Mohamad Maulana Yonas Hangga Saputra

PM (Puslitbangbun)

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

2013

Page 2: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

RINGKASAN

Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia, baik dilihat dari sisi produksi, sisi konsumsi maupun perdagangan, dengan demikian kebijakan pergulaan tidak hanya ditentukan oleh pertimbangan aspek-aspek ekonomi tetapi juga oleh aspek-aspek politik. Swasembada gula nasional merupakan salah target Kementerian Pertanian yang akan dicapai pada tahun 2014. Namun berdasarkan perkiraan capaian produksi tahun 2014, diperkirakan produksi gula hanya akan mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi GKP oleh rumahtangga, dan belum mampu memenuhi kebutuhan industri mamin. Hal ini antara lain disebabkan karena masih adanya permasalahan di tingkat hilir (usahatani), di hulu (industri gula), maupun di bidang perdagangan, harga dan distribusi gula. Berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang telah dikeluarkan pemerintah memiliki dimensi cukup luas, terkait dengan produksi dan sarana produksi, perdagangan, distribusi, dan harga. Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan sarana produksi. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengidentifikasi dan melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan dan peraturan perundangan lainnya di bidang pergulaan secara komprehensif. Tujuan umum dari kajian ini adalah menghasilkan rumusan reorientasi konsepsi, dan implementasi kebijakan industri pergulaan untuk meningkatkan pencapaian sasaran swasembada gula. Secara khusus, tujuan dari kajian adalah sebagai berikut: (1) Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula; (2) Mengevaluasi implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada gula. Mengingat banyaknya kebijakan dan peraturan perundangan pergulaan yang ada, maka aspek yang akan dikaji dibatasi pada aspek : (a) Usahatani/produksi tebu; (b) Industri pengolahan; dan (c) Perdagangan gula putih dan rafinasi, distribusi dan penetapan HPP gula. kajian akan dilakukan di beberapa propinsi dengan mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut : (a) Sentra produksi tebu dan industri gula; (b) Potensi bagi pengembangan/perluasan areal dan peningkatan produktivitas tebu dan (c) Program pembangunan kedepan terutama berkaitan dengan kawasan pengembangan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025). Atas dasar itu maka kajian akan dilakukan di beberapa propinsi dan kabupaten/kota contoh di DKI Jakarta, Banten, Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan. Analisis yang digunakan adalah diskriptif dan kuantitatif. Kata Kunci: kebijakan, peraturan perundangan, swasembada, gula

Page 3: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia,

baik dilihat dari sisi produksi, sisi konsumsi maupun perdagangan. Dari sisi produksi,

dengan luas areal tebu sekitar 452 ribu hektar ha, produksi tebu mencapai 33.7 juta

ton (atau sekitar 2.7 juta ton gula) pada tahun 2012 dan jumlah tenaga kerja yang

terlibat mencapai 1,3 juta orang, menjadikan industri gula nasional pada saat ini

merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani (Direktorat

Jenderal Perkebunan, 2012). Dari sisi konsumsi, gula merupakan salah satu kebutuhan

pokok masyarakat dengan jumlah konsumsi gula tidak kurang dari 5 juta ton setiap

tahun baik untuk kebutuhan gula konsumsi langsung maupun untuk bahan baku

industri makanan dan minuman (mamin). Dari sisi perdagangan, Kementerian

Perdagangan telah menetapkan gula sebagai salah satu produk pangan yang

diawasi dan diatur pemerintah. Gula diawasi dan diatur karena memenuhi syarat seperti

yang ditetapkan pemerintah, antara lain: (a) Menyangkut hajat hidup orang banyak;

(b) Mempengaruhi perekonomian nasional; (c) mempengaruhi keseimbangan

penawaran dan permintaan; (d) Barang yang disubsidi pemerintah; (e) Barang yang

banyak diselundupkan; dan (f) Perlindungan terhadap produsen dalam negeri

(Kementerian Perdagangan, 2010). Oleh karena peranan gula yang begitu penting

dalam perekonomian nasional, kebijakan pergulaan tidak hanya ditentukan oleh

pertimbangan aspek-aspek ekonomi tetapi juga oleh aspek-aspek politik (Kholifah,

1995).

Mengingat pentingnya peran gula dalam perekonomian nasional dan dalam

stabilitas politik, maka swasembada gula nasional 2014 menjadi suatu keniscayaan bagi

pemerintah, meskipun diperkirakan target swasembada gula tersebut masih sulit

untuk dicapai dengan masih dijumpainya persoalan-persoalan di bidang pergulaan,

baik di hulu usahatani dan di hilir industri serta berbagai persoalan administrasi

birokrasi pemerintah saat ini (Arifin, 2012). Target pencapaian swasembada gula

Page 4: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

sebetulnya bukanlah suatu hal yang baru, mengingat target swasembada gula

nasional telah dicanangkan akan tercapai tahun 2007, namun hingga kini belum dapat

terwujud. Tahun 2009 pemerintah menyatakan swasembada gula konsumsi untuk

memenuhi kebutuhan langsung rumah tangga telah dicapai (Kementerian Pertanian,

2011) dan swasembada gula pada tahun 2014 ditujukan untuk swasembada gula

konsumsi langsung rumah tangga, industri dan sekaligus menutup defisit neraca

perdagangan gula nasional. Target produksi gula nasional pada tahun 2014 pada

awalnya ditetapkan oleh pemerintah cukup tinggi, yaitu 5,7 juta ton, yang pada

tahun 2012 baru tercapai 2,3 juta ton, masih jauh dari target produksi tahun 2014 yang

ditetapkan, sehingga pemerintah memandang perlu melakukan revisi terhadap target

produksi 2014 menjadi 3.5 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012). Berdasarkan

perkiraan capaian produksi tahun 2014 tersebut, meskipun target produksi gula tahun

2014 telah direvisi, diperkirakan hanya akan mampu untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi gula kristal putih (GKP) oleh rumahtangga, dan belum mampu memenuhi

kebutuhan gula kristal rafinasi (GKR) untuk kebutuhan industri mamin.

Masih jauhnya peluang untuk mencapai swasembada gula nasional tahun 2014

disebabkan ekonomi pergulaan nasional masih sarat dengan persoalan-persoalan di

tingkat hulu (usahatani), persoalan-persoalan di hilir industri maupun persoalan-

persoalan dari sisi perdagangan. Persoalan-persoalan di tingkat usahatani, terutama

adalah fenomena inefisiensi yang sampai saat ini masih belum mampu diatasi

(Susilowati dan Tinaprilla, 2012) sehingga bermuara pada rendahnya produktivitas

tebu di tingkat petani, yaitu rata-rata berkisar 70 ton/ha, sedangkan idealnya lebih

dari 100 ton/ha (Badan Litbang Pertanian, 2007) dan lebih lanjut berakibat pada

rendahnya produksi tebu secara nasional. Berbagai hasil kajian empiris menunjukkan

peningkatan produktivitas tebu petani masih terkendala oleh beberapa faktor, yaitu

pertama, tingginya biaya penanaman ulang (bongkar ratoon) sehingga memaksa

petani untuk mempertahankan tanaman ratoon sehingga status tanaman tebu sebagian

besar (sekitar 70 persen) adalah keprasan, bahkan sampai belasan kali kepras,

sementara idealnya untuk tetap memperoleh produktivitas yang baik maksimal adalah

Page 5: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

kepras 3 kali. Kedua, penerapan teknologi usahatani belum optimal karena

keterbatasan modal ditambah dengan penyediaan sarana produksi untuk budidaya tebu

belum tepat jumlah, waktu, harga, dan mutu. Ketiga, kurangnya sarana

irigasi/pengairan, terutama untuk wilayah pengembangan di lahan kering. Keempat,

keterbatasan alat pengolahan tanah dan keterbatasan infrastruktur terutama untuk

wilayah pengembangan tebu lahan kering di Luar Jawa. Peningkatan produksi gula

untuk mencapai target swasembada gula 2014 juga menghadapi kendala terbatasnya

pengembangan areal baru di satu sisi dan di sisi lain kesulitan mempertahankan lahan

yang sudah ada karena tingginya tingkat konversi lahan pertanian ke non pertanian

serta persaingan dengan komoditas lainnya.

Persoalan-persoalan di hilir (industri pengolahan) bermuara pada semakin

mendesaknya dilakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula di Indonesia karena berbagai

faktor, antara lain: (a) Tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) masih jauh di bawah

standard; (b) Biaya produksi relatif tinggi; (c) Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik

yang mempengaruhi efisiensi dan daya saing usaha; dan (d) Kualitas gula yang

dihasilkan relatif rendah ( ICUMSA>150) (Kementerian Pertanian, 2012)

Demikian pula dari sisi perdagangan dan distribusi gula, pemerintah sampai saat ini

dipandang belum mampu membenahi struktur pasar gula agar tercipta pasar

persaingan dan pasar yang adil buat produsen dan konsumen serta persoalan-

persolan yang sering timbul dari kebijakan-kebijakan di bidang perdagangan gula.

Struktur pasar gula di dalam negeri cenderung menjauhi pasar persaingan yang adil.

Posisi tawar PG BUMN dan petani yang mengambil pangsa produksi sekitar 64 % masih

lemah dalam menghadapi pedagang gula yang bermodal kuat, serta menguasai jalur

distribusi (Sawit, 2010). Berbagai kebijakan yang didukung melalui berbagai

peraturan perundangan, telah dikeluarkan oleh Pemerintah dengan sasaran akhir untuk

mendorong perkembangan industri pergulaan Indonesia, yaitu peningkatan produksi

gula nasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan gula masyarakat, industri

makanan dan minuman dan menjadikan perdagangan gula lebih adil dan kompetitif,

Page 6: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

terutama dalam kerangka pencapaian target swasembada gula. Beberapa kebijakan

dan perundangan khususnya terkait dengan perdagangan gula, seperti misalnya

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004

tentang Ketentuan Impor Gula, menurut Khudori (2005) cukup efektif dalam mencapai

sasarannya, seperti peningkatan produksi gula, dan pendapatan petani tebu dan

kebijakan-kebijakan yang terkait secara umum telah memberi dampak positif terhadap

kinerja industri gula nasional.

Posisi peraturan perundangan adalah mendukung, mengawal proses, dan

mengamankan hasil pembangunan (Suprahtomo, 2012). Berbagai kebijakan dan

peraturan perundangan yang telah dikeluarkan pemerintah memiliki dimensi cukup luas,

terkait dengan produksi dan sarana produksi, perdagangan, distribusi, dan harga.

Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif

dibandingkan dengan kebijakan produksi dan sarana produksi. Oleh karena itu

diperlukan kajian untuk mengidentifikasi dan melakukan evaluasi terhadap berbagai

kebijakan dan peraturan perundangan lainnya di bidang pergulaan secara komprehensif

baik di tingkat hilir (usahatani), di hulu (industri gula), maupun di bidang perdagangan,

harga dan distribusi gula, dalam rangka membuka kemungkinan dilakukan perbaikan

terhadap peraturan perundangan yang sedang berlaku, disesuaikan dengan

perkembangan ekonomi pergulaan khususnya dan perekonomian nasional umumnya.

1.2. Dasar Pertimbangan

Swasembada pangan, termasuk di dalamnya swasembada gula, dan peningkatan

pendapatan petani menjadi target sukses yang ingin dicapai oleh Kementerian

Pertanian pada era 2010-2014 diantara target sukses yang lain, yaitu peningkatan

diversifikasi pangan dan peningkatan ekspor, nilai tambah dan daya saing (Kementerian

Pertanian, 2011). Banyak lembaga/kementerian terlibat untuk mewujudkan target

swasembada gula, baik gula putih untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi

masyarakat maupun gula rafinasi untuk pemenuhan kebutuhan industri makanan

dan minuman. Berbagai kebijakan yang didukung melalui peraturan perundangan telah

Page 7: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

dikeluarkan oleh pemerintah khususnya yang terkait dengan kepentingan petani tebu,

industri pengolah tebu, industri gula rafinasi, industri makanan dan minuman, industri

farmasi, konsumen dan pelaku perdagangan, dengan fokus sasaran kebijakan

diarahkan untuk mencapai target nasional tersebut. Kendati telah dikeluarkan

berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang diarahkan untuk mendorong

perkembangan industri pergulaan Indonesia, namun target pencapaian swasembada

gula nasional masih jauh dari harapan. Impor gula Indonesia tahun 2010 masih

mencapai 68,1 persen dari kebutuhan konsumsi (USDA, 2011). Pemerintah masih

menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam pencapaian swasembada gula,

mulai permasalahan dan tantangan dari hulu sampai hilir dan juga dari aspek

perdagangan.

Dari sisi kebijakan dan peraturan perundangan, mengingat kebijakan-

kebijakan dan peraturan perundangan tersebut dikeluarkan oleh dan terkait dengan

berbagai instansi dan kementerian yang bisa jadi belum terkoordinasi secara baik,

maka sinkronisasi antar kebijakan dan peraturan perundangan memiliki peluang

belum berjalan secara baik, sehingga potensi terjadinya tumpang tindih antar

kebijakan dan peraturan perundangan. Bahkan dalam pelaksanaan di lapang,

berbagai kebijakan dan peraturan perundangan tersebut terdapat peluang untuk

saling menghambat. Oleh karena itu, kajian Kebijakan dan Perundangan Industri Gula

Untuk Mendukung Swasembada Gula penting untuk dilakukan sebagai sarana untuk

menilai konsistensi antar kebijakan/peraturan perundangan dengan peraturan

pelaksanaannya, serta menilai sinkronisasi berbagai kebijakan dan peraturan yang

setingkat agar tidak terjadi tumpang-tindih atau saling menghambat. Dengan

dilakukannya kajian ini diharapkan akan mampu membuka kemungkinan dilakukan

perbaikan terhadap peraturan perundangan yang sedang berlaku seiring dengan

perkembangan ekonomi pergulaan yang terjadi.

Page 8: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

1.3. Tujuan

Tujuan umum dari kajian ini adalah menghasilkan rumusan reorientasi konsepsi,

dan implementasi kebijakan industri pergulaan untuk meningkatkan pencapaian sasaran

swasembada gula. Secara khusus, tujuan dari kajian adalah sebagai berikut:

1. Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan

perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula;

2. Mengevaluasi implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri

pergulaan dengan sasaran swasembada gula;

3. Mengevaluasi dampak implementasi kebijakan dan peraturan perundangan

industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada gula.

1.4. Keluaran yang Diharapkan

Keluaran kajian ini adalah rumusan reorientasi konsepsi, dan implementasi

kebijakan industri pergulaan untuk meningkatkan pencapaian sasaran swasembada

gula. Keluaran terinci dari kajian adalah sebagai berikut:

1. Informasi tentang konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan

perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula;

2. Informasi tentang implementasi peraturan perundangan industri pergulaan

dengan sasaran swasembada gula;

3. Informasi tentang dampak implementasi kebijakan dan peraturan

perundangan industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada

gula.

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Manfaat dari kajian ini, antara lain dapat diketahuinya: (i) Konsistensi dan

sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dari tingkat pusat

sampai daerah; (ii) Implementasi kebijakan dan peraturan perundangan industri

pergulaan dari kementerian/lembaga/unit kerja di tingkat pusat/daerah saling

melengkapi atau mungkin saling bertentangan dalam pencapaian sasaran swasembada

Page 9: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

gula; (iii) Dampak kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan terhadap

pencapaian sasaran swasembada gula.

Dengan saran reorientasi konsepsi dan implementasi kebijakan industri

pergulaan, diharapkan berdampak terhadap peningkatan kinerja produktivitas tebu di

tingkat on farm dan produktivitas gula di masa yang akan datang.

Page 10: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

 

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

2.1.1. Hirarki Peraturan Perundangan

Dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dipusat maupun didaerah,

pembentukan peraturan perundangan merupakan sesuatu hal yang sangat penting.

Menurut S.J. Fockema Andrea dalam bukunya “Rechtsgeleerd Handwoorden Book”

perundangan-undangan atau legislation dalam Hakim (2009), mempunyai dua

pengertian yang berbeda, yaitu: (a) perundangan merupakan proses pembentukan

peraturan-peraturan negara baik di tingkat pusat maupun daerah; (b) perundangan-

undangan merupakan semua peraturan-peraturan negara, yang merupakan hasil

pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat maupun d itingkat daerah.

Tata urutan/hirarki peraturan perundangan-undangan tertera pada pasal 7 ayat

(1) UU 12 Tahun 2011, jenis dan hirarki Peraturan Perundangan di Indonesia terdiri

atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah

Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa

kekuatan hukum Peraturan Perundangan sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

Pasal 8 ayat (1) dari UU yang sama menyebutkan bahwa jenis Peraturan

Perundangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan

yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi

yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah

Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang

setingkat. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa Peraturan Perundangan sebagaimana

Page 11: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

10 

 

dimaksud pada pasal 8 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan (Lembaran Negara RI, 2011).

Dengan adanya hirarki peraturan perundangan, salah satu keharusan peraturan

perundangan adalah tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih

tinggi tingkatannya. Terkait dengan hirarki peraturan perundangan, kajian peraturan

perundangan penting dilakukan, dengan alasan sebagai berikut: (1) Untuk menilai

sinkronisasi vertikal antar beberapa peraturan perundangan dan peraturan

pelaksanaannya, atau antar peraturan perundangan dengan aturan dasar negara.

Sinkronisasi vertikal didasarkan pada hirarki peraturan perundangan untuk menilai

apakah secara formal maupun materil sesuai atau tidak antara peraturan perundangan

yang lebih rendah dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; (2) Untuk

melakukan penilaian terhadap sinkronisasi antar beberapa peraturan yang setingkat

agar tidak terjadi tumpang-tindih; (3) Untuk menilai apakah peraturan perundangan

yang berlaku sudah sesuai atau tidak dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam

masyarakat terutama untuk menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan

bermasyarakat; (4) Untuk menghindari terjadinya perlawanan oleh masyarakat

terhadap peraturan perundangan yang sedang dan akan diberlakukan dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Perlawanan ini dapat dalam bentuk Gugatan Uji Materil

(Judicial Review) atau perlawanan lainnya; (5) Untuk membuka kemungkinan dilakukan

perbaikan terhadap peraturan perundangan yang sedang berlaku untuk merespon

perkembangan dalam masyarakat (Hakim dalam Supriyati, et al., 2012).

Implementasi peraturan perundangan dapat berupa program pemerintah. Secara

umum kebijakan pemerintah dapat dikategorikan menjadi: (1) Kebijakan yang

memungkinkan memberikan kegunaan (useful enablers), melalui peningkatan

keterkaitan bisnis (business linkages), pengembangan pelayanan bisnis (business

development services), dan kemudahan dalam berbisnis (ease of doing business); (2)

Kebijakan pendukung yang penting (important enable) melalui pengembangan

pelayanan keuangan mikro (micro financial services), kegiatan penelitian dan

Page 12: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

11 

 

pengembangan inovasi teknologi (research and development), serta standarisasi dan

regulasi yang mendukung (standards and regulations); dan (3) Kebijakan yang secara

esensial memungkinkan bisnis berjalan secara lancar, seperti kebijakan perdagangan,

pengembangan infrastruktur secara memadai, serta penatagunaan lahan dan hak

kepemilikan (Daryanto dalam Supriyati, et al., 2012).

2.1.2. Konsep Swasembada Pangan/Gula

Swasembada dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi segala

kebutuhan. Pangan adalah bahan-bahan makanan yang didalamnya terdapat hasil

pertanian, perkebunan dan lain-lain. Jadi swasembada pangan adalah kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bahan makanan sendiri tanpa perlu

mendatangkan dari pihak luar. Menurut Sutrisno dalam Ilham et al. (2011) menyatakan

bahwa paling tidak ada tiga pengertian tentang swasembada, yaitu: (1) swasembada

absolute, (2) swasembada menurut trend (self sufficiency on trend) dan (3)

swasembada dalam pengertian kemampuan ekonomi untuk membayar impor pangan

dari penerimaan ekspor.

Menurut Suryana dalam Ilham et al. (2011), swasembada pangan nasional

adalah kebutuhan pangan nasional seluruhnya dipenuhi dari produksi domestik, disebut

juga swasembada absolut. Ada beberapa varian swasembada pangan. Pertama, apa

yang disebut dengan kemandirian pangan, yaitu kondisi di mana kebutuhan pangan

nasional minimal 90 persen dipenuhi dari produksi dalam negeri. Kedua, swasembada

on trend, yaitu dalam beberapa tahun tertentu mengimpor pangan, tetapi pada tahun

lain mengekspor, sehingga rata-rata dalam jangka menengah tetap memenuhi

swasembada.

Terkait dengan gula, dikemukakan bahwa pengertian umum swasembada untuk

suatu produk di suatu negara akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam

negeri minimal mencapai 90 persen dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk

konsumsi rumah tangga, industri maupun neraca perdagangan. Dengan demikian, yang

dimaksud swasembada gula adalah produksi gula berbasis tebu dalam negeri telah

Page 13: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

12 

 

mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Dengan definisi tersebut, swasembada gula

konsumsi untuk memenuhi kebutuhan langsung rumah tangga telah dicapai pada tahun

2009 (Kementerian Pertanian, 2012). Swasembada gula nasional (untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi langsung rumah tangga, industri dan sekaligus menutup defisit

neraca perdagangan gula nasional) diupayakan akan dicapai pada tahun 2014

(Kementerian Pertanian, 2012).

2.2. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

Kebijakan Industri Pergulaan

Uraian berikut merukan hasil review kebijakan industri pergulaan oleh Simatupang

et al. (2005). Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan

beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan industri

gula Indonesia (Tabel 2.1). Kebijakan tersebut mempunyai dimensi cukup luas yang

mencakup input, produksi, distribusi, dan harga. Kebijakan yang paling signifikan di

antara berbagai kebijakan produksi dan input adalah kebijakan TRI yang tertuang

dalam Inpres No. 9/1975 tanggal 22 April 1975. Tujuan Inpres ini adalah untuk

meningkatkan produksi gula nasional dan pendapatan petani tebu. Esensi dari kebijakan

tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan

pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan

melibatkan KUD, dan menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan

pabrik gula (Adisasmito, 1998).

Pada awal tahun 1990-an, kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi

areal, produktivitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah

mengeluarkan Inpres No. 5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran

tebu rakyat, perusahaan perkebunan dan koperasi dalam pengembangan industri gula.

Inpres tersebut juga mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri

gula, baik melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga

penelitian maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya dengan

pembangunan tebu rakyat (Sudana et al., 2000). Namun Inpres tersebut dicabut dengan

Page 14: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

13 

 

Inpres No 5/1998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling

menguntungkan sesuai dengan UU No. 12/1992.

Tabel 2.1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Nasional di Indonesia.

Nomor SK/Keppres/Kepmen Perihal Tujuan

Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971

Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula

Menjaga kestabilan pasokan gula sebagai bahan pokok

Surat Mensekneg No. B.136/ABN SEKNEG/3/74, 27 Maret 1974

Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP

Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP

Inpres No. 9/1975, 22 April 1975

Intensifikikasi tebu rakyat (TRI)

Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu

Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981

Tataniaga gula pasir dalam negeri

Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani

Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987

Penetapan harga gulapasir produksi dalam negeri dan impor

Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik

UU No. 12/1992 Budidaya tanaman

Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar

Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997

Program pengembangan tebu rakyat

Pemberian peranan kepada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas

Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998

Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997

Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992

Kepmen perindag No. 25/MPP/Kep/1/1998

Komoditas yang diatur tataniaga impornya

Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang

Kepmenhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999

Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani

Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produk-si

Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999

Tataniaga impor gula Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen

Kepermenindag No. 230/MPP/ Kep/6/1999, 5 Juni 1999

Mencabut Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999

Pembebanan tarif impor gula un-tuk melindungi industri dalam negeri.

Page 15: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

14 

 

Nomor SK/Keppres/Kepmen Perihal Tujuan

Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002 Perubahan bea masuk Peningkatan efektivitas bea

masuk

Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002

Tataniaga impor gula

Pembatasan pelaku impor gulahanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen

SK 522/MPP/Kep/9/2004: Tetang Ketentuan Impor Gula

Revisi dan mempertegas esensi Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002

Sumber: Sudana et al. (2000) dan Susila (2002); Bisnis Indonesia (2004).

Kebijakan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2003/2004 adalah

pengembangan program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas gula

nasional. Pemerintah mencanangkan tercapainya swasembada gula pada tahun 2007

dengan produksi tiga juta ton dan produktivitas rata-rata 8,0 ton gula/ha. Esensi

program diarahkan pada kegiatan pokok pembongkaran tanaman ratoon dengan

penggunaan varietas tebu unggul baru dan penyediaan bibit bermutu. Upaya perbaikan

di tingkat on farm dari program bongkar ratoon telah menunjukkan hasil positif, yaitu

peningkatan produksi tebu menjadi hampir 126 persen dari produksi sebelumnya

(taksasi Maret 2004). Dari petikan contoh kelompok sasaran bongkar ratoon tampak

bahwa bongkar ratoon di Jawa Timur telah meningkatkan kisaran hasil tebu dari 54,8-

80,4 ton/ha pada tahun 2003 menjadi 72,1-105,0 ton/ha pada tahun 2004. Demikian

pula produktivitas hablur gula telah meningkat dari kisaran 3,24-5,27 ton/ha pada

tahun 2003 menjadi 5,40-8,19 ton/ha pada tahun 2004.

Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan

distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar

domestik. Bahkan dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih

intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan input. Secara garis besar, dinamika

kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi empat tahapan utama yaitu

Page 16: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

15 

 

kebijakan Era Isolasi (1980-1997), Era Perdagangan Bebas (1997-1999), Era Transisi

(1999-2002), dan Era Proteksi dan Promosi (2003-Sekarang).

Pada Era Isolasi, Keppres No. 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi

pemerintah dalam pemasaran gula. Keppres tersebut pada dasarnya memberi wewenang

kepada BULOG untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Agar lebih

efektif, Keppres tersebut didukung oleh Surat Mensekneg No. B. 136/APBN Sekneg/3/74

yang menjelaskan mengenai Keppres tersebut. Pada periode 1970-80, jumlah stok gula

yang dikuasai BULOG berkisar 50-80 persen stok total. Ketika program TRI mulai

dijalankan dan bagian gula petani menjadi semakin besar, maka stok dan penawaran gula

di luar BULOG meningkat. Oleh karena itu, sejak tahun 1980 BULOG membeli semua

produksi gula dalam negeri dan menyalurkannya ke pasar (Amang, 1994).

Kebijakan selanjutnya pada era ini adalah Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987

mengenai harga gula. Instrumen utama kebijakan tersebut adalah harga provenue dan

harga jual gula yang dikelola oleh BULOG. Tujuannya adalah untuk stabilisasi harga

gula di pasar domestik, peningkatan penerimaan pemerintah, harga gula yang

terjangkau masyarakat, serta menjamin pendapatan petani tebu dan pabrik gula

(Sudana et al., 2000). Kebijakan ini bertujuan ganda, namun antar tujuan ada yang

bertentangan, seperti peningkatan pendapatan petani versus harga yang terjangkau dan

peningkatan penerimaan pemerintah.

Era perdagangan bebas terjadi ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia

yang ditandai dengan dihapuskannya sekat isolasi pasar domestik. Dalam upaya

peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian

dan Perdagangan No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada

BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk gula. Implikasi terbesar dari

kebijakan ini adalah impor gula terbuka lebar karena pada saat itu tarif impor gula adalah

nol persen. Saat itu adalah era membanjirnya gula impor ke pasar Indonesia.

Ketika krisis ekonomi mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula di dalam negeri

justru menurun secara signifikan. Penurunan tersebut disebabkan oleh terus menurunnya

harga gula dunia, menguatnya nilai tukar rupiah, dan tidak adanya tarif impor. Pada tahun

Page 17: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

16 

 

1999, rata-rata harga dunia di pasar internasional adalah US$ 137,3/ton, sedangkan nilai

tukar rupiah pada saat tersebut rata-rata mencapai Rp 7.100/US$. Sebagai akibatnya, harga

paritas impor gula pada saat itu mencapai titik terendah yaitu Rp 1800-1900 per kg. Hal ini

membuat harga gula dalam negeri mengalami tekanan.

Situasi tersebut merupakan awal dimulainya kebijakan yang bersifat transisi. Untuk

melindungi produsen, pada Era Transisi ini pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan harga

provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan ini ternyata tidak efektif karena tidak

didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai, misalnya pemerintah tidak mempunyai

dana dalam jumlah yang memadai. Di sisi lain, BUMN perkebunan yang mengelola gula

juga tidak mempunyai dana yang memadai untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Sebagai akibatnya, harga gula petani tetap mengalami ketidakpastian.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melalui Departemen Perindustrian

dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menteri No. 364/MPP/Kep/8/1999. Instrumen

utama kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah importir dengan hanya mengijinkan

importir produsen. Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan

volume impor disamping memiliki data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok.

Dengan demikian, harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat

ditingkatkan.

Kebijakan importir-produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk

mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Walaupun

tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh

stok gula dalam negeri yang sudah terlalu banyak dan adanya gula impor ilegal. Situasi ini

membuat harga gula di pasar domestik tetap rendah. Oleh karena itu, desakan petani dan

pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat

(Dewan Gula Indonesia, 1999). Menanggapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan

kebijakan tarif impor melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

No.230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20 persen untuk

raw sugar dan 25 persen untuk white sugar. Walaupun masih menimbulkan kontroversi,

Page 18: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

17 

 

kebijakan tarif impor ini secara bertahap dapat mengangkat harga gula di pasar domestik

(Susila dan Susmiadi, 2000).

Tekanan terus-menerus yang dihadapai industri gula domestik serta meningkatnya

kesadaran bahwa negara lain melakukan proteksi yang cukup intensif, pemerintah

mengembangkan kebijakan yang dikenal sebagai Era Kebijakan Proteksi dan Promosi.

Kebijakan ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan medan persaingan yang

lebih adil bagi industri gula dalam negeri. Untuk itu, pada pertengahan tahun 2002,

pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan

membatasi importir hanya menjadi importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT) dan

membatasi volume gula impor. Gula yang diimpor oleh importir-produsen hanya ditujukan

untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi

lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75 persen berasal dari petani.

Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari

kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani

mencapai minimal Rp 3.100/kg. Pemerintah juga menetapkan tarif spesifik untuk impor

gula mentah sebesar Rp 550/kg (setara 20%) dan gula putih Rp 700/kg (setara 25%)

yang berlaku hingga sekarang. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di

dalam negeri sehingga produksi gula nasional menjadi lebih kompetitif untuk merangsang

petani menanam tebu.

Pada tanggal 17 September 2004, kebijakan tataniaga impor direvisi untuk

mempertegas atau memperkuat dari esensi kebijakan menjadi Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan 522/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula.

Importir Terdaftar (IT) gula yang mendapatkan ijin impor tidak boleh mengalihkan

impor gulanya ke perusahaan lain, namun boleh bekerja sama. Pemerintah menetapkan

kualitas gula (gula rafinasi, gula putih dan gula mentah) yang boleh diimpor oleh

importir produsen. IT yang mengimpor gula harus menyangga gula di tingkat petani

sebesar Rp 3.400/kg. Secara implisit, IT mempunyai kewajiban yang lebih jelas untuk

menjamin bahwa harga gula di tingkat petani adalah minimal Rp 3.400/kg.

Page 19: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

18 

 

Rangkaian kebijakan pergulaan nasional selama 2000-2004 tampaknya sudah

membuahkan hasil positif, yaitu meningkatkan harga gula di pasar domestik yang

secara signifikan berada di atas harga gula di pasar dunia. Diharapkan upaya-upaya

proteksi dan promosi demikian dapat diteruskan di masa depan agar industri pergulaan

nasional menjadi makin kompetitif.

Wahyuni et al. (2009) melakukan review kebijakan industri pergulaan sejak

Zaman penjajahan sampai dengan 2008. Hasil sintesis Wahyuni et al. (2009), bahwa

dari sejarah industri pergulaan sejak zaman penjajahan sampai sekarang,

dapat diperoleh pembelajaran dalam aspek produksi, perdagangan, kelembagaan

serta penelitian dan pengembangan.

Dalam aspek produksi/produktivitas di tingkat petani dan pabrik,

beberapa pembelajaran yang dapat dipetik adalah sebagai berikut: (a)

Peningkatan produksi melalui perluasan areal yang dipaksakan tidak akan

berkelanjutan, seperti sistem tanam paksa, ekonomi terpimpin dan TRI; (b)

Peningkatan investasi pabrik tidak harus dilakukan dengan mengorbankan petani

(sewa lahan murah, upah tenaga kerja murah (c) Tidak pada tempatnya apabila

petani mensubsidi pemerintah (sistem tanam paksa); (d) Dukungan kebijakan lahan,

harus saling menguntungkan baik bagi PG maupun petani.Ketentuan sewa lahan

harus mengikuti dinamika ekonomi, seperti pasar lahan dan inflasi. Sewa lahan

yang rendah menyebabkan petani enggan menyewakan lahannya untuk PG. Hal

ini yang menyebabkan ketersediaan lahan untuk PG yang terbatas pada era 1950-

an; (e) Untuk melindungi produsen, menetapkan harga pokok pembelian (HPP) gula.

Kebijakan HPP menjadi kebijakan yang tidak efektif kalau tidak didukung oleh

rencana tindak lanjut yang memadai. Dengan rencana yang memadai, kebijakan ini

bisa menjadi insentif untuk meningkatkan produksi; (f) Ketika harga gula industri

terus merosot dan industri gula sudah diambang kebangkrutan, pemerintah

mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan

membatasi industri hanya menjadi industri produsen (IP) dan industri terdaftar

(IT); (7) Pengembangan PG rafinasi, yang dimaksudkan untuk membantu mencukupi

Page 20: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

19 

 

kebutuhan gula untuk industri makanan dan minuman, harus sinergi dengan

pengembangan PG eks tebu.

Dalam aspek perdagangan beberapa pembelajaran yang dapat dipetik

adalah sebagai berikut: (a) Kebijakan perdagangan yang bersifat monopsoni akan

mengakibatkan harga tidak bersaing. Kebijakan monopoli juga akan merugikan

konsumen; (b) Liberalisasi perdagangan sebelum penjajahan hanya mengun-

tungkan pemerintah, sementara liberalisasi perdagangan bebas pada era 1990-an

menyebabkan harga domestik menurun, sehingga petani tebu dirugikan; (c)

Pembentukan lembaga pemasaran seperti BPB (Badan pemasaran Bersama) dan

konsorsium memerlukan dukungan modal, BPB yang dibentuk pada tahun 1968

tidak dapat berfungsi optimal karena keterbatasan modal. Namun perusahaan

tersebut harus bankable. Dukungan permodalan dari perbankan untuk perusahaan

not bankable akan menimbulkan permasalahan baru, terlihat pada kasus konsorsium;

dan (d) Penunjukkan Bulog sebagai instansi yang bertugas menjaga stabilitas harga dan

pasokan gula pasir, cukup bagus menjaga stabilitas harga gula domestik, namun

mengarah ke monopsoni dan monopoli.

Dalam aspek kelembagaan beberapa pembelajaran yang dapat dipetik

adalah sebagai berikut: (a) Kebijakan harus didukung dengan kesiapan kelembagaan,

contoh kebijakan nasionalisasi dan industri terpimpin kurang berhasil karena

kelembagaan dan SDM belum siap, Nasionalisasi PG yang berlangsung cepat

belum diimbangi dengan kesiapan tenaga ahli serta manager dan teknisi Belanda

yang diusir tiba-tiba. Pusat Penjualan Gula Indonesia (PPGI) dan Pedagang Gula

Tangan Pertama (PGTP) juga mengalami kegagalan karena pedagang murni hanyalah

pedagang boneka yang merupakan kolusi dari pejabat pemerintah atau elit partai

politik yang korup; (b) Sistem bagi hasil antara PG dan petani seharusnya didasarkan

pada rasa keadilan, ketidakadilan menyebabkan sistem tersebut tidak berhasil.

Sebagai contoh, pola peralihan dan pola bagi hasil yang dikembangkan tahun

1963 tidak berhasil. Bagi hasil senantiasa diperbaiki, pada saat ini petani

memperoleh 66 persen dan PG 34 persen; (c) Pembagian wewenang antar departemen

Page 21: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

20 

 

harus jelas, kegagalan pemasaran pada periode 1966-1971 menimbulkan polemik

pembagian tugas dan wewenang antara Departemen Pertanian dan Perdagangan;

(d) Penataan kelembagaan produksi yang dilakukan melalui Inpres No.9/1975 juga

bertujuan mengubah sosok industri gula dari sistem perusahaan perkebunan besar

(estate) menjadi sistem usaha pertanian rakyat. Kebijakan ini mampu meningkatkan

areal tebu rakyat. Namun karena pengelolaan usahatani yang dilakukan terpisah dari

PG, usahatani tebu terpencar-pencar karena pemilikan lahan yang sempit sehingga tidak

efisien.

Dalam aspek penelitian dan pengembangan, dukungan dana yang kuat

untuk lembaga ini akan menghasilkan teknologi yang baik. P3GI yang sebelumnya

dibiayai oleh PG, namun akhir-akhir ini dukungan tersebut berkurang, maka

lembaga ini kurang kerkembang secara optimal.

Page 22: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

21 

 

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Permintaan akan gula baik untuk konsumsi maupun industri makanan dan

minuman terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan

peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan gula yang terus

meningkat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan

produksi dalam negeri melalui berbagai kebijakan antara lain TRI, rehabilitasi pabrik-

pabrik gula, penetapan harga provenue, dan sebagainya yang bertujuan menjaga

ketersediaan gula dengan melindungi produsen dalam negeri dengan tidak merugikan

konsumen.

Berbagai kebijakan dan peraturan perundangan telah dikeluarkan oleh

pemerintah dengan sasaran akhir untuk meningkatkan produksi gula nasional dan

mendorong terciptanya perdagangan gula yang adil dan berdaya saing. Kebijakan dan

peraturan perundangan pergulaan yang telah ada idealnya saling terkait, saling

melengkapi dan bersinergi untuk mencapai sasaran akhir peningkatan produksi gula

nasional dalam rangka pencapaian swasembada gula nasional. Dalam hal ini kebijakan

dan peraturan perundangan di pergulaan dapat dipilah menjadi 4 (empat) aspek utama,

yaitu: (a) Usahatani; (b) Industri pengolahan; (c) Perdagangan gula; dan (d)

Kelembagaan. Pada aspek usahatani, kebijakan yang terkait diantaranya adalah

perluasan lahan tebu dan usaha mempertahankan yang telah ada (existing land),

peningkatan produktivitas tebu, dan penetapan harga patokan petani (HPP). Kebijakan

dan perundangan yang terkait dengan upaya peningkatan produktivitas tanaman tebu

menjadi bagian penting dari aspek usahatani, yaitu diantaranya kebijakan penerapan

teknologi budidaya, penataan varietas, dan permodalan (diantaranya melalui kredit

KKPE, bongkar ratoon, rawat ratoon dan Program Kemitraan Bina Laingkungan atau

PKBL). Pada aspek industri pengolahan tebu, kebijakan dan peraturan perundangan

yang terkait adalah bagaimana mengefisienkan dan mengefektifkan pabrik gula melalui

revitalisasi pabrik gula, sedangkan pada aspek perdagangan, kebijakan dan peraturan

perundangan yang terkait adalah aturan distribusi atau tataniaga gula, kebijakan

Page 23: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

22 

 

pengenaan tarif impor, kebijakan penetapan HPP, serta kebijakan impor gula, yang

dipilah menjadi impor gula putih, gula mentah/raw sugar.

Gambar 1. Keterkaitan antar Kebijakan dan Peraturan Perundangan dalam Rangka Pencapaian Swasembada Gula

Pada aspek kelembagaan, kebijakan dan peraturan perundangan yang terkait

diantaranya adalah eksistensi Asosiasi Petani Tebu Rakyat sebagai wadah bagi petani

Konsistensi dan Sinkronisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Industri Usahatani Perdagangan

Produktivitas

Harga

Lahan Revitalisasi Pabrik Gula

Impor

Distribusi

Pembangunan Pabrik Gula

Teknologi

Varietas

Perluasan

Mempertahankan Yang ada

Penetapan HPP Gula

Produktivitas Gula

Produktivitas Tebu

Efektivitas Pabrik Gula

Gula Kristal Putih

Gula Mentah/ Raw Sugar

Modal Kredit

Bongkar Ratoon

KKPE

PKBL

Swasembada Gula

Kelembagaan Petani

Page 24: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

23 

 

tebu dalam bentuk organisasi petani yang bergerak khususnya dalam kegiatan

usahatani maupun pemasaran tebu. Keterkaitan kebijakan dan peraturan perundangan

baik antar maupun intra aspek yang berimplikasi pada konsistensi dan sinkronisasi

kebijakan dan peraturan perundangan diperlihatkan pada Gambar 1.

3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Sesuai dengan kerangka pikir di atas, maka lingkup kegiatan penelitian adalah :

(1) Inventarisasi, identifikasi, evaluasi konsistensi dan sinkronisasi kebijakan dan

peraturan perundangan pergulaan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang di

tingkat pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota); (2) Inventarisasi kelengkapan

dokumen dan sosialisasi kebijakan dan peraturan perundangan menurut hirarki dari

tingkat pusat sampai daerah (UU sampai Petunjuk Teknis/Juknis), (3) Inventarisasi

program-program yang ada sebagai implementasi kebijakan dan peraturan

perundangan.

Mengingat banyaknya kebijakan dan peraturan perundangan pergulaan yang ada,

maka aspek yang akan dikaji dibatasi pada aspek : (a) Usahatani/produksi tebu; (b)

Industri pengolahan; dan (c) Perdagangan gula putih dan rafinasi, distribusi dan

penetapan HPP gula.

3.3. Lokasi Penelitian, Data dan Responden

3.3.1. Lokasi Penelitian

Kajian ini akan lebih bersifat desk work untuk menganalisis kebijakan dan

peraturan perundangan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Untuk

memperoleh data dan informasi terkait dengan kebijakan dan perudangan pergulaan di

tingkat provinsi dan kabupaten/kota, kajian akan dilakukan di beberapa propinsi

dengan mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut : (a) Sentra produksi

tebu dan industri gula; (b) Potensi bagi pengembangan/perluasan areal dan

peningkatan produktivitas tebu dan (c) Program pembangunan kedepan terutama

berkaitan dengan kawasan pengembangan MP3EI (Masterplan Percepatan dan

Page 25: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

24 

 

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025). Atas dasar itu maka kajian

akan dilakukan di beberapa propinsi dan kabupaten/kota contoh di DKI Jakarta,

Banten, Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan.

3.3.2. Data dan Responden

Sesuai dengan ruang lingkup di atas, maka data yang digunakan mencakup data

dan informasi sekunder dan primer. Data/informasi sekunder berupa: (1) data nasional,

propinsi dan kabupaten/kota tentang industri gula, dan (2) berbagai peraturan

perundangan yang terkait dengan pergulaan di tingkat pusat, propinsi dan

kabupaten/kota. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan

industri pergulaan dari pusat, provinsi, kabupaten/kota. Data primer diperoleh dari

berbagai sumber yaitu petani, kelompok tani, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia

(APTRI), PTPN, praktisi industri gula, dan sumber informasi kunci lainnya yang relevan.

3.4. Metode Analisis

Untuk menjawab tujuan pertama (Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi

kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada

gula) pendekatan yang akan digunakan adalah analisis diskriptif komparasi, konsistensi

dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan kebijakan dan

peraturan perundangan industri pergulaan di pusat dan daerah. Analisa difokuskan

pada: (1) Konsistensi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan di

pusat/daerah sesuai dengan hirarki peraturan perundangan secara vertikal; (2)

Sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan antar institusi di

pusat/daerah secara horizontal; (3) Konsistensi kebijakan dan peraturan perundangan

industri pergulaan di pusat/daerah terhadap swasembada gula.

Untuk menjawab tujuan kedua (Mengevaluasi implementasi kebijakan dan

peraturan perundangan industri pergulaan dengan sasaran swasembada gula)

pendekatan yang akan digunakan adalah dengan pengambilan tiga indikator evaluasi di

wilayah contoh sebagai berikut: (1) indikator konsistensi dilakukan melalui deskripsi

Page 26: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

25 

 

diterapkan atau tidaknya kebijakan dan peraturan perundangan industri pergulaan

menurut hirarki dari tingkat pusat sampai daerah (UU sampai Petunjuk Teknis/Juknis);

(2) indikator efektifitas, dengan melihat apakah kebijakan/peraturan telah mampu

mencapai sasaran/target sesuai dengan tujuan diberlakukannya kebijakan/peraturan

tersebut; (3) indikator kompatabilitas, sesuai atau tidaknya kebijakan dan peraturan

perundangan industri pergulaan dengan kebutuhan peraturan di lapangan, yang akan

diuraikan secara deskriptif.

Untuk menjawab tujuan ketiga (Menganalisis dampak kebijakan dan peraturan

perundangan industri pergulaan terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan)

dilakukan analisis kuantitatif. Dampak dari implementasi berbagai kebijakan dan

peraturan perundangan industri pergulaan diukur dengan dampak penerapan aturan

industri pergulaan pada wilayah contoh secara kualitatif dengan membandingkan

keadaan sebelum dan sesudah (before and after) diterapkannya aturan atau kebijakan

tersebut. Selain itu juga dilakukan perbandingan antara wilayah contoh yang

menerapkan aturan tersebut dan yang tidak (with and without). Secara kuantitatif,

analisis dampak ini didukung dengan data sekunder peningkatan produksi tebu dan

gula dan atau peningkatan pendapatan petani gula. Dampak tersebut dapat bersifat :

(1) Kualitatif seperti dampak yang bersifat positif/netral/negatif; atau dampak memper

cepat/netral/memperlambat; (2) Kuantitatif dengan besaran kuantitas tertentu

(peningkatan produksi tebu dan gula); dan (3) Target group penerima dampak seperti

petani/kelompok tani, konsumen, pemerintah, swasta atau lainnya.

Page 27: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

26 

 

IV. ANALISIS RISIKO

Pelaksanaan penelitian tidak lepas dari permasalahan dan hambatan dalam

mencapai tujuannya. Pada Tabel 4.1. dikemukakan beberapa risiko yang mungkin akan

dihadapi dalam penelitian ini, penyebab dan dampaknya serta cara menanggulanginya.

Tabel 4.1. Daftar kemungkinan risiko, penyebab, dampak dan cara penanggulangan-nya dalam penelitian.

No Risiko Penyebab Dampak Penanggulangan 1. Pendanaan,

berupa keterlambatan cairnya dana dan pengurangan jumlah dana.

Perubahan kebijakan di bidang anggaran

Mundurnya pelaksanaan penelitian sehingga waktu yang tersedia berkurang.

Pengurangan jumlah anggaran berakibat cakupan wilayah yang dikaji menjadi lebih sedikit

Menyesuaikan kegiatan penelitian dengan ketersediaan dana (misalnya: pengurangan jumlah lokasi observasi kajian)

Jika alokasi dana sangat sangat terbatas, kegiatan yang dilakukan lebih banyak bersifat review (desk study) dari literatur baik tercetak maupun elektronik website),

2 Kurangnya akses informasi dari pelaku usaha di industri pergulaan

Isu tentang pergulaan masih dianggap sensitif sehingga informasi Kurang transparansi

Hasil penelitian kurang holistik dan sehingga tidak komprehensif dalam analisisnya

Cross-check dengan pihak lain yang dipandang relevan dan memahami isu permasalahan

3. Pengumpulan data lapangan (primer) dan sekunder kurang lengkap

Waktu, tenaga dan biaya terbatas

Masukan data untuk analisis kurang lengkap

Persiapan yang matang, efisiensi pelaksanaan dan meningkatkan akses informasi ke berbagai sumber yang relevan

Page 28: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

27 

 

V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN

5.1. Susunan Tim Pelaksana

Tim pelaksana dalam penelitian “Kajian Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Industri Gula untuk Mendukung Swasembada Gula”, disajikan pada Tabel 5.1. sebagai

berikut:

Tabel 5.1. Susunan Tim Penelitian Berdasarkan Jabatan dan Status dalam Tim

No Nama Jabatan Status

1 Ir. Supriyati, MS Peneliti Madya Ketua Tim

2 Dr. Sri Hery Susilowati Peneliti Madya Anggota

3 Ashari, SP, MP Peneliti Madya Anggota

4 Mohamad Maulana, SP Peneliti Muda Anggota

5 Yonas Hangga Saputra, SP Calon Peneliti Anggota

5.2. Jadwal Pelaksanaan

Jadwal pelaksanaan kegiatan terangkum dalam tabel berikut.

Jenis Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov DesPembuatan Proposal operasional xxx

Seminar dan perbaikan proposal xxx

Studi literature xxx xxx Penyusunan Kuesioner X xxx Survai u xxx xxx xxx xxx xx Pengolahan dan analisis data xxx xxx xxx

Penulisan laporan x xxx Seminar hasil penelitian x

Perbaikan laporan xx Penggandaan laporan x

Page 29: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

28 

 

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis. Tebu. Edisi Kedua. Departemen Pertanian.

Arifin, B. 2012. Swasembada Gula 2014 Sulit Tercapai. Metro Kolom, 20 Januari 2012. 22:17 WIB.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012. Roadmap Swasembada Gula. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Kegiatan 2013 untuk Terwujudnya Swasembada Gula 2014. Makalah disampaikan pada Musrenbangtan 2012. Jakarta, 23-24 Mei 2012.

Ilham, N., E. Basuno, W. K. Sejati, Ashari, S. Nuryanti, F. B. M. Dabukke, R. Elizabeth. 2011. Keragaan, Permasalahan Dan Upaya Mendukung Akselerasi Program Swasembada Daging Sapi. Laporan Penelitian PSEKP.

Kementerian Pertanian. 2011. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 (Edisi Revisi).

Kementerian Pertanian. 2012b. Road Map Swasembada Gula Tahun 2010-2014 (Edisi Revisi).

Kemendag. 2010. Meredam Gejolak: Sistem Distribusi Kebutuhan Pokok di Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Kemendag: Jakarta.

Kholifah , E. 1995. Ekonomi Politik Perdagangan Gula di Indonesia. Tesis Sarjana S2. Program Studi Ilmu Politik. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta .

Khudori. 2005. Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula, LP3ES: Jakarta.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82. 2011. Sekretariat Negara. UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sawit, H. 2010. Kebijakan Swasembada Gula. Apanya yang Kurang? Makalah disampaikan pada pertemuan FGD tentang Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di Jakarta tgl 12 Oktober 2010

Simatupang, P., M. H. Malian, P. U. Hadi, S. Mardianto, A. Susmiadi, W. R. Susila. 2005. Analisis Komprehensif: Pergulaan Nasional (Dokumen 2). Laporan Analisis Kebijakan PSEKP. Bogor.

Suprahtomo. 2012. Pembahasan Proposal Penelitian Kajian legislasi dalam Mendukung Swasembada Pangan. Makalah disampaikan pada seminar proposal Operasional PSEKP 2012. Bogor 21-22 Februari 2012.

Page 30: KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_09.pdf · gula; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi ... mendesaknya dilakukan revitalisasi

29 

 

Supriyati, E. Jamal, V. Darwis. 2012. Kajian Legislasi Sarana Produksi Pertanian Mendukung Swasembada Pangan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Susilowati, S.H. , N. Tinaprilla. 2012. Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Tebu di Jawa Timur. Jurnal Littri 18(4), Desember 2012 Hlm.162-172

Wahyuni, S., Supriyati, dan J.F. Sinuraya. 2009. Industri Dan Perdagangan Gula Di Indonesia: Pembelajaran Dari Kebijakan Zaman Penjajahan – Sekarang. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167