Proposal Tesis
-
Upload
mike-jihan-nabila-haryanto -
Category
Documents
-
view
187 -
download
12
Transcript of Proposal Tesis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Indikasi
keberhasilan Otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), kehidupan demokrasi
yang semakin maju, keadilan pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi
antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah. Keadaan tersebut dapat tercapai,
salah satunya apabila manajemen keuangan (anggaran) dilaksanakan dengan
baik.
Pelaksanaan Otonomi daerah secara tidak langsung akan memaksa
daerah untuk melakukan perubahan penting dan mendasar yang dimaksudkan
untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada serta upaya
untuk mengakomodasikan berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang di
daerah dan masyarakat, baik perubahan struktur maupun perubahan proses
birokrasi dan Kultur Birokrasi. Perubahan kultur meliputi pembaharuan yang
sifatnya kelembagaan (Institutional reform) yaitu perubahan struktur birokrasi
2
Pemerintah Daerah yang lebih ramping akan tetapi kaya fungsi ( form follow
functions).
Perubahan proses meliputi perubahan yang menyentuh keseluruhan
aspek dalam siklus pengendalian manajemen di Pemerintah Daerah, yaitu
perumusan strategis, perencanaan strategik, penganggaran, pelaporan kinerja,
penilaian kinerja, dan mekanisme reward and punishment system.
Perubahan kultur birokrasi terkait dengan perubahan budaya kerja dan
perilaku pegawai yang mengarah pada tercapainya profesionalisme birokrasi.
Salah satu perubahan proses dalam pelaksanaan otonomi daerah yang fundamental
dalam hubungan tata pemerintahan dan hubungan keuangan, sekaligus membawa
perubahan penting dalam pengelolaan Anggaran Daerah adalah masalah
penganggaran. Reformasi dalam penganggaran tidak hanya pada aspek
perubahan struktur APBD, namun juga diikuti dengan perubahan proses
penyusunan anggaran.
Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan
dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi. Dengan PP 105/2000 (ditindaklanjuti
dengan Kependegari No. 29/2002, serta diundangkan dengan UU No. 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara) telah ditetapkan sistem penyusunan anggaran
daerah yang berbasis kinerja (performance budgeting). Dengan basis kinerja ini,
arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input, tetapi pada
output. Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran untuk
menggunakan sumber daya pemerintah yang makin terbatas, tetapi tetap dapat
memenuhi kebutuhan dana yang makin tinggi. Selain itu, Pemerintah juga dituntut
3
untuk mengembangkan standar analisa belanja, tolok ukur kinerja dan standar
biaya
Dalam makalah yang disampaikan oleh Guru Besar Ilmu
Administrasi Publik FISIP UNPAD (Kartiwa, H.A.,2004) disebutkan bahwa
sistem anggaran berbasis kinerja dalam implementasinya telah menghadapi
berbagai kendala diantaranya :
(1) Ketidaksiapan pemerintah, masyarakat dan DPRD untuk menyusun
anggaran berbasis kinerja, misalnya proses perencanaan masih
menitikberatkan pada pembagian jatah anggaran tanpa memperhatikan
Aspirasi masyarakat.
(2) Belum adanya parameter kinerja dalam penyusunan APBD berupa Standar
Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Analisa Belanja (SAB).
(3) Skedul Perencanaan Aggaran yang belum dapat dilaksanakan dengan
efektif.
(4) Adanya keterlambatan pelaksanaan APBD sebagai akibat
keterlambatan dalam perencanaan dan penyusunan APBD membawa
implikasi bahwa pelaksanaan berbagai program dan kegiatan tertunda.
(5) Ketidaksiapan berbagai perangkat untuk mentaati aturan hidup dan
prinsip dalam anggaran berbasis kinerja yang membutuhkan penyiapan
aparatur yang berdedikasi, akuntabel, dan efisien.
(6) Ketidaksiapan ini juga diperlihatkan dalam melengkapi manajemen
keuangan daerahnya dengan berbagai mekanisme keuangan (sistem
keuangan dan akuntansi).
4
(7) Pada tahap pengendalian juga masih terdapat berbagai ketidaksiapan,
diantaranya masih kurangnya peran dan fungsi DPRD sebagai pengontrol
langsung dalam pengelolaan anggaran daerah.
(8) Masyarakat juga tidak siap dan tidak mampu memainkan fungsi kontrol
terhadap alokasi keuangan daerah.
Sedangkan Utari, Nuraeni (2009) mengemukakan beberapa kendala
dan hambatan dalam Penyusunan anggaran berbasis kinerja antara lain (1) struktur
SKPD belum memberikan ruang yang cukup bagi penyusunan perencanaan dan
penganggaran secara terintegrasi (2) Tim anggaran belum terlibat secara penuh
pada setiap tahapan perencanaan (3) kurangnya pengetahuan, pemahaman dan
juga motivasi dari para pegawai untuk menerapkan anggaran kinerja secara
optimal (4) keterbatasan anggaran daerah.
Untuk meminimalisir berbagai kendala dan hambatan di atas, maka
perlu diterapkan faktor-faktor pemicu keberhasilan implementasi Anggaran
Berbasis Kinerja (ABK). Tim Deputi IV BPKP (2005) mengungkapkan bahwa
faktor-faktor pemicu keberhasilan implementasi penggunaan anggaran berbasis
kinerja, yaitu :
1. Kepemimpinan dan Komitmen dari seluruh komponen organisasi
2. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus-menerus.
3. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang,
waktu dan orang)
4. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.
5. Keinginan yang kuat untuk berhasil.
5
Dari survei awal dan hasil pengamatan peneliti dilapangan, diperolah
informasi bahwa proses penyusunan anggaran daerah di Pemerintah Kota Jambi
telah sesuai dengan Prosedur dan undang-undang yang berlaku akan tetapi diduga
kualitasnya masih belum optimal dan belum sepenuhnya berdasarkan
penganggaran berbasis kinerja.
Hal ini tampak pada beberapa sisi diantaranya yaitu :
1. Dalam penganggaran masih didasarkan pada anggaran tahun sebelumnya.
Program dan kegiatan SKPD di Pemerintah Kota Jambi masih sangat
dipengaruhi oleh program dan kegiatan yang telah dikerjakan pada tahun-
tahun yang lalu.
2. Penentuan besarnya anggaran belum sepenuhnya mengacu pada target
kinerja berupa output dan outcome.
3. Pengisian pengukuran indikator kinerja pada RKA dan DPA SKPD belum
menggambarkan kaitan yang erat dengan proses pengelolaan pencapaian
(management for results).
4. Kurangnya sumber daya yang cukup (waktu, uang dan orang) untuk
peningkatan implementasi anggaran berbasis kinerja. Hal ini tampak pada
belum adanya upaya penyediaan sarana dan prasarana peningkatan kualitas
implementasi anggaran berbasis kinerja.
5. Masih banyak ditemukan gejala penggunaan pendekatan traditional budget
atau line item dalam praktek penyusunan anggaran, antara lain adanya
pencatuman indikator kinerja (input, output dan outcome) yang tidak jelas
dan belum sepenuhnya menggunakan standar analisis belanja, standar biaya,
6
standar pelayanan minimal, perencanaan kinerja dan target kinerja yang
merupakan indikator utama pendekatan anggaran kinerja.
Kondisi demikian, merupakan salah satu daya tarik bagi peneliti untuk
meneliti lebih jauh mengenai penyusunan anggaran kinerja pada pemerintah
kabupaten/kota, dengan sampel kasus di Pemerintah Kota Jambi dengan
menggunakan faktor gaya kepemimpinan, komitmen dari seluruh komponen
organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, kualitas sumber daya manusia
dan motivasi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan Anggaran
Berbasis Kinerja.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Apakah faktor gaya kepemimpinan, komitmen dari seluruh komponen organisasi,
penyempurnaan sistem administrasi, kualitas sumber daya manusia dan motivasi
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja
secara simultan dan parsial ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah
diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh faktor gaya kepemimpinan, komitmen dari seluruh
komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, kualitas sumber daya
7
manusia dan motivasi terhadap penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja secara
simultan dan parsial.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan peneliti khususnya tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi penyusunan anggaran berbasis kinerja.
2. Bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah di Pemerintah Kota Jambi, penelitian ini
dapat dijadikan sebagai bahan informasi tambahan, masukan atau sebagai
bahan pertimbangan pejabat pemerintah daerah untuk melakukan
penyempurnaan dan perbaikan penyusunan anggaran berbasis kinerja.
3. Bagi Akademisi, penelitian ini dapat memperkaya hasil penelitian dan referensi
untuk sarana pengembangan bidang penyusunan anggaran berbasis kinerja.
4. Sebagai tambahan informasi dan referensi untuk penelitian selanjutnya tentang
gambaran pengembangan dibidang penyusunan anggaran berbasis kinerja.
1.5 Originalitas Penelitian
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi penerapan anggaran berbasis kinerja dalam penyusunan
APBD yang terinspirasi dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, serta perubahannya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2008, dimana penyusunan
APBD harus diawali dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja. Berdasarkan
keterkaitan antara penyusunan APBD dengan pengganggaran berbasis kinerja,
penulis tertarik melakukan penelitian tentang keterkaitan tersebut di atas dengan
8
judul "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja
(Studi pada Pemerintah Kota Jambi)".
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Benar Baik
Sembiring (2009) di Pemerintah Kabupaten Karo dengan judul : Faktor-faktor
yang mempengaruhi Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Berbasis Kinerja (Studi Empiris di Pemerintah Kabupaten Karo) dengan hasil
penelitian bahwa secara simultan terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor
komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi,
sumber daya yang cukup, penghargaan yang jelas serta sanksi yang tegas terhadap
APBD berbasis kinerja. Sedangkan secara Parsial terdapat pengaruh yang
signifikan dari faktor penyempurnaan sistem administrasi, penghargaan yang
jelas, serta sanksi yang tegas. Namun komitmen dari seluruh organisasi dan
sumber daya yang cukup tidak berpengaruh secara signifikan terhadap APBD
berbasis kinerja.
Pengembangan yang penulis lakukan adalah faktor-faktor gaya
kepemimpinan, komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan
sistem administrasi, kualitas sumber daya manusia dan motivasi yang
mempengaruhi penyusunan anggaran berbasis kinerja dengan lokasi penelitian di
Pemerintah Kota Jambi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Benar Baik
Sembiring (2009) terdapat pada penambahan variabel independen yaitu gaya
kepemimpinan dan motivasi sesuai dengan saran yang dikemukakan oleh Benar
Baik Sembiring untuk penelitian berikutnya. Peneliti juga secara khusus meneliti
variabel kualitas sumber daya manusia sebagai bagian dari variabel sumber daya.
9
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Benar Baik Sembiring
adalah Sumber variabel independen yang diambil dari buku Pedoman Penyusunan
Anggaran Berbasis Kinerja yang diterbitkan oleh Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan/BPKP (2005) serta variabel dependen yaitu Anggaran Berbasis
Kinerja.
1.6 Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi menjadi lima bagian. Bab I adalah pendahuluan,
yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, manfaat
dan originalitas penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II adalah kajian pustaka, yang berisi tentang teori-teori dan
penelitian terdahulu yang melandasi penelitian ini berupa pengertian anggaran,
anggaran berbasis kinerja, perencanaan kinerja, target kinerja, Standar Analisa
Belanja, Standar Biaya, review penelitian terdahulu, kerangka/ konsep pemikiran
dan hipotesis dari penelitian ini.
Bab III adalah metode penelitian yang menjelaskan tentang desain
penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data,
jenis dan sumber data, definisi operasional dan pengukuran variabel penelitian
serta metode analisis data untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari awal
penelitian.
Bab IV adalah hasil dan pembahasan berisikan pokok dari penelitian
yang mencakup deskripsi objek penelitian dan analisis data, serta pembahasan
mengenai pengaruh faktor gaya kepemimpinan, komitmen dari seluruh komponen
10
organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, kualitas sumber daya manusia
dan motivasi terhadap penyusunan anggaran berbasis kinerja.
Bab V adalah penutup yang memaparkan kesimpulan peneliti yang
diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan. Selain itu, juga disertakan saran
sekaligus implikasi untuk penelitian selanjutnya.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Definisi Anggaran
Anggaran merupakan suatu rencana terinci yang dinyatakan secara
formal dalam ukuran kuantitatif untuk menunjukkan bagaimana sumber-sumber
akan diperoleh dan digunakan selama jangka waktu tertentu umumnya satu tahun.
Sedangkan menurut Mulyadi (1993) dalam Puspaningsih (2002) anggaran
merupakan suatu rencana kerja yang dinyatakan secara kuantitatif, yang diukur
dalam satuan moneter standar dan satuan lain yang mencakup jangka waktu satu
tahun.
Menurut Munandar (2001) definisi anggaran dapat dibedakan menjadi
empat unsur yaitu:
1. Rencana. Anggaran merupakan rencana yang telah disusun untuk
memberikan arah bagi perusahaan dimasa yang akan datang.
2. Pedoman kerja. Anggaran berfungsi sebagai pedoman kerja sehingga harus
mencakup seluruh kegiatan perusahaan.
3. Satuan moneter. Anggaran dinyatakan dalam unit moneter yang dapat
diterapkan pada berbagai kegiatan perusahaan yang beraneka ragam.
Satuan moneter berguna untuk menyeragamkan semua kegiatan perusahaan
yang beraneka ragam sehingga mudah untuk diperbandingkan dan dianalisa.
12
4. Jangka waktu tertentu. Anggaran disusun untuk jangka waktu tertentu yang
akan datang sehingga memuat taksiran-taksiran tentang segala sesuatu
yang akan terjadi dan akan dilakukan dimasa mendatang.
Anggaran berbeda dengan penganggaran. Mardiasmo (2002)
mengemukakan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan
suatu anggaran. Penganggaran dalam organisasi sektor publik merupakan tahapan
yang cukup rumit dan mengandung nuansa politik yang tinggi. Dalam organisasi
sektor publik, penganggaran merupakan suatu proses politik. Hal tersebut berbeda
dengan penganggaran pada sektor swasta yang relatif kecil nuansa politiknya.
Pada sektor swasta, anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang
tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru harus
diinformasikan kepada publik untuk dikritik, didikusikan, dan diberi masukan.
Penganggaran sektor publik terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana
untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, anggaran negara/ daerah
meliputi :
1. Rencana keuangan mendatang yang berisi pendapatan dan belanja.
2. Gambaran strategi pemerintah dalam pengalokasian sumber daya untuk
pembangunan.
3. Alat pengendalian.
4. Instrumen Politik, dan
5. Disusun dalam periode tertentu.
13
Suatu sistem penganggaran memiliki banyak fungsi dan fungsi-
fungsi tersebut bisa saja saling terkait. Sangat sulit menemukan suatu sistem
penganggaran yang dapat memenuhi seluruh fungsinya dengan baik dan dapat
memuaskan seluruh pihak yang berkepentingan. Dalam pasal 3 (4) Undang –
Undang RI No. 17 tahun 2003 disebutkan bahwa anggaran (APBN dan APBD)
mempunyai fungsi : otorisasi, perencanaan, pengawasan alokasi , distribusi dan
stabilisasi, dengan artian sebagai berikut:
a. Fungsi otorisasi berarti anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan belanja pada tahun yang bersangkutan.
b. Fungsi perencanaan berarti anggaran negara menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
c. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah
negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
d. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan
untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
e. Fungsi distribusi berarti bahwa kebijakan anggaran Negara harus
mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan.
f. Fungsi stabilisasi berarti bahwa anggaran Negara menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Selanjutnya dalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan bahwa
anggaran negara adalah alat akuntabilitas, manajemen dan kebijakan
ekonomi.
14
Terdapat beberapa fungsi yang mengaitkan anggaran dengan manajer
(pemimpin) dan para staf yang terkait di dalamnya. Fungsi-fungsi tersebut antara
lain adalah (Mardiasmo, 2002):
1. Anggaran sebagai alat perencanaan.
Perencanaan adalah proses penentuan tujuan yang telah ditetapkan. Melalui
perencanaan, seorang manajer atau pimpinan mengidentifikasikan hasil
kerja yang diinginkan dan mengidentifikasi tindakan untuk mencapainya.
Dalam kaitannya dengan fungsi perencanaan, anggaran merupakan
tujuan/target yang ditetapkan untuk dicapai dalam periode tertentu. Dalam
rangka pencapaian rencana jangka pendek (sebagai bagian dari perencanaan
jangka panjang), maka manajemen perlu menyusun anggaran sebagai
pedoman pelaksanaan kegiatan.
2. Anggaran sebagai alat pengendalian.
Anggaran sebagai instrumen pengendalian digunakan untuk menghindari
adanya overspending, underspending dan salah sasaran (misappropriation)
dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan
prioritas. Proses pengendalian dapat diidentifikasikan menjadi 3 tipe yakni:
preliminary control, concurrent control, dan feedback control.
3. Anggaran sebagai Alat Koordinasi dan Komunikasi.
Setiap unit kerja pemerintahan terkait dalam proses penyusunan anggaran.
Anggaran publik yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi
terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi.
Disamping itu, anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi
15
antarunit kerja dalam lingkungan eksekutif. Anggaran harus
dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi untuk dilaksanakan.
4. Anggaran sebagai alat penilaian kinerja.
Dalam hal ini, kinerja budget holder akan dinilai berdasarkan pencapaian
target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer publik
dinilai berdasarkan berapa yang berhasil ia capai dikaitkan dengan anggaran
yang telah ditetapkan. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk
pengendalian dan penilaian kinerja.
5. Anggaran sebagai Alat Motivasi.
Anggaran dapat digunakan sebagai alat umtuk memotivasi manajer dan
stafnya agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai
target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Agar dapat memotivasi
pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau
demanding but achievable. Maksudnya adalah target anggaran hendaknya
jangan terlalu tinggi sehingga tidak dapat dipenuhi, namun juga jangan
terlalu rendah sehingga terlalu mudah untuk dicapai.
Rinusu dan Sri Mastuti (2003), mengemukakan anggaran daerah
paling tidak memiliki 3 fungsi, yaitu:
1. Sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerah,
terutama keuangan daerah untuk satu periode di masa yang akan datang.
2. Sebagai instrumen pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan
pembagunan daerah.
3. Sebagai instrumen untuk menilai kinerja pemerintah.
16
2.1.2 Anggaran Berbasis Kinerja
Sistem penganggaran adalah tatanan logis, sistematis dan baku
yang terdiri dari tata kerja, pedoman kerja dan prosedur kerja penyusunan
anggaran yang saling berkaitan. Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran
negara telah mengalami banyak perkembangan. Sistem perencanaan anggaran
negara berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika perkembangan
menejemen sektor publik dan perkembangan tuntutan yang muncul di masyarakat.
Secara garis besar proses perencanaan dan penyusunan anggaran
negara dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan utama yang memiliki
perbedaan mendasar yaitu :
a. Anggaran tradisional atau anggaran konvensional
Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang
bersifat line-item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang
hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya,
konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar terhadap anggaran baru. Hal ini
seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat.
Adapun karakterisitik Anggaran Tradisional adalah:
a. Sentralistis
b. Berorientasi pada input
c. Tidak terkait dengan perencanaan jangka panjang
d. Line-item dan incrementalism.
e. Batasan departemen yang kaku (rigid department)
f. Menggunakan aturan klasik.
17
g. Vote accounting,
h. Prinsip anggaran bruto
i. Bersifat tahunan
b. Anggaran dengan pendekatan New Public Management (NPM)/ Anggaran
Berbasis Kinerja
Anggaran berbasis kinerja pada dasarnya merupakan sistem
penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian
hasil atau kinerja. Adapun kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan
publik.
Reformasi sektor publik salah satunya ditandai oleh munculnya era
New Public Management (NPM) yang telah mendorong usaha untuk
mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran
sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik
penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja
(Performance Budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning,
Programming, and Budgeting System (PPBS).
Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai
instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan
oleh instansi pemerintah atau lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan, serta
memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan
oleh instansi pemerintah. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk
mencapai kinerja tahunan. Dengan kata lain, integrasi dari rencana kerja tahunan
18
yang merupakan rencana operasional dari rencana strategis dan anggaran tahunan
merupakan komponen dari anggaran berbasis kinerja.
Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran
berbasis kinerja adalah :
a. Tujuan yang disepakati dan ukuran pencapaiannya.
b. Pengumpulan informasi yang sistimatis atas realisasi pencapaian kinerja
dapat diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara
biaya dengan prestasinya.
c. Penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat digunakan
dalam manajemen perencanaan, pemprograman, penganggaran dan evaluasi.
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut
cenderung memiliki karakteristik umum sebagai berikut :
a. Komprehensif atau komparatif
b. Terintegrasi dan lintas departemen
c. Proses pengambilan keputusan yang rasional
d. Berjangka panjang
e. Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
f. Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
g. Berorientasi input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar
input.
h. Adanya pengawasan kinerja.
19
Terdapat beberapa karakteristik penyusunan anggaran yang
didasarkan pada kinerja. Mardiasmo (2002) menjelaskan beberapa karakteristik
kunci dalam PBK diantaranya:
1. Pengeluaran anggaran didasarkan pada outcome yang ingin dicapai, dimana
outcome merupakan dampak suatu program atau kegiatan terhadap
masyarakat.
2. Adanya hubungan antara masukan (input) dengan keluaran (output) dan
outcome yang diinginkan.
3. Adanya peranan indikator efisiensi dalam proses penyusunan anggaran.
Pengertian efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktivitas.
Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara
output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output).
Proses kegiatan operasional dikatakan efisien apabila suatu produk atau
hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana
yang serendah-rendahnya (spending well). Dalam konsep anggaran berbasis
kinerja, pemerintah harus bertindak berdasarkan fokus pada biaya (cost
minded) dan harus efisien.
4. Adanya penyusunan target kinerja dalam anggaran.
Tujuan ditetapkannya target kinerja dalam anggaran adalah untuk
memudahkan pengukuran kinerja atas output yang dicapai. Pengukuran
kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama,
pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk dapat membantu
memperbaiki kinerja pemerintah, dimana ukuran kinerja dimaksudkan untuk
membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja.
20
Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi
sektor publik dalam pemberian pelayanan publik. Kedua, ukuran kinerja
digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan.
Ketiga, ukuran kinerja dimaksudkan untuk mewujudkan
pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
Ketentuan penyusunan anggaran juga dapat dijadikan dasar dalam
penyusunan anggaran di sektor publik yaitu pada pemerintah daerah. Anggaran
yang disusun pada pemerintah daerah adalah anggaran pendapatan dan
belanja daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan
ditetapkan dengan peraturan daerah. Dalam proses penyusunan anggaran APBD
agar memperhatikan prinsip- pinsip penyusunan anggaran adalah sebagai berikut :
a. Partisipasi Masyarakat
Proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan
partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan
kewajibannya dalam pelaksanaan APBD.
b. Transparasi dan Akuntabilitas Anggaran
APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan
mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan
pada setiap jenis belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan
manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan.
Oleh karena itu, setiap pengguna anggaran harus bertanggung jawab
21
terhadap pengguna sumber daya yang dikelola untuk mencapai hasil yang
ditetapkan.
c. Disiplin Anggaran
Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian
tersediannya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan
melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit
anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD.
d. Keadilan Anggaran
Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan
dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.
e. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.Oleh karena itu,
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran, dalam perencanaan
anggaran perlu memperhatikan; tujuan, sasaran, hasil dan manfaat, serta
indikator kinerja yang ingin dicapai, penetapan prioritas kegiatan dan
penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.
f. Taat azas
APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum, lebih diarahkan agar
mencerminkan keberpihakan kepada kebutuhan dan kepentingan publik.
22
Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan di
atas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-
perubahan kunci tentang penganggaran sebagai berikut :
a. Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan
kerangka yang menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses
perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal,
mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan
pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi
ketidakpastian di masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk
membiayai pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan baru, dalam
penganggaran tahunan. Pada saat yang sama, harus pula dihitung
implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal dalam
jangka menengah.
Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan analisis apakah
pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap kebijakan yang ada,
termasuk menghentikan program-program yang tidak efektif, agar
kebijakan-kebijakan baru dapat diakomodasikan.
b. Penerapan penganggaran secara terpadu
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan instansi pemerintah disusun secara
terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran
belanja pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan
23
sebagai bagian upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran
menjadi lebih transparan, dan memudahkan penyusunan dan pelaksanaan
anggaran yang berorientasi kinerja.
Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja
program, sangat penting untuk mempertimbangkan biaya secara
keseluruhan, baik yang bersifat investasi maupun biaya yang bersifat
operasional.
c. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari
pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan
mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan
sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan tentang
kebijakan dalam kerangka jangka menengah. Rencana Kerja dan Anggaran
(RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber
daya yang terbatas.
Tim Deputi IV BPKP (2005) menayatakan bahwa kondisi yang harus
disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi penggunaan anggaran
berbasis kinerja adalah :
a. Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
b. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
c. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang,waktu
dan orang).
24
d. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas
e. Keinginan yang kuat untuk berhasil.
2.1.3 Konsep Gaya Kepemimpinan
Menurut William H.Newman (1968) dalam Miftah Thoha (2003)
kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni
mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Dan satu hal
yang perlu diingat bahwa kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan
atau tata karma birokrasi. Kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, asalkan
seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain
kearah tercapainya suatu tujuan tertentu. Gaya kepemimpinan, mengandung
pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang
menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya
membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pola tindakan pemimpin terhadap
bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan
pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu
sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan.
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan adalah seseorang yang dapat
mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja
maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan
berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan
setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan
teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau
25
sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut
yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati
bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai
peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan
bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan
dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan
yang kondusif, dimana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu
mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam
rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan
pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada
saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian,
ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan,
bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan
akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
Ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para
pakar leardership, mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya
kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard. Teori klasik gaya
kepemimpinan mengemukakan, pada dasarnya di dalam setiap gaya
kepemimpinan terdapat dua unsur utama, yaitu unsur pengarahan (directive
behavior) dan unsur bantuan (supporting behavior). Dari dua unsur tersebut gaya
kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu otokrasi
(directing), pembinaan (coaching), demokrasi (supporting), dan kendali bebas
(delegating).
26
1. Mengarahkan (directing)
Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan
yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam
kemampuan, minat dan komitmennya. Sementara itu, organisasi
menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini
Hersey and Blancard menyarankan agar manajer memainkan peran directive
yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu,
dengan terus intens berhubungan sosial dan komunikasi dengan
bawahannya.
Pertama pemimpin harus mencari tahu mengapa orang tersebut tidak
termotivasi, kemudian mencari tahu dimana keterbatasannya. Dengan
demikian pemimpin harus memberi arahan dalam penyelesaian tugas
dengan terus menumbuhkan motivasi dan optimismenya.
2. Melatih (coaching)
Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas,
takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga harus memproporsikan
struktur tugas sesuai kemampuan dan tanggung jawab karyawan.
Oleh karena itu, pemimpin hendaknya menghabiskan waktu mendengarkan
dan menasihati, dan membantu karyawan untuk memperoleh keterampilan
yang diperlukan melalui metode pembinaan.
3. Partisipasi (participation)
Gaya kepemimpinan partisipasi, adalah respon manajer yang harus
diperankan ketika karyawan memiliki tingkat kemampuan yang cukup,
tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab. Hal ini
27
bisa dikarenakan rendahnya etos kerja atau ketidakyakinan mereka untuk
melakukan tugas/tangung jawab. Dalam kasus ini pemimpin perlu membuka
komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan dan mengapresiasi
usaha-usaha yang dilakukan para karyawan, sehingga bawahan merasa
dirinya penting dan senang menyelesaikan tugas.
4. Mendelegasikan (delegating)
Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang
tinggi, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya “delegasi”.
Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun
dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan
tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan
sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, kapan dan dimana
pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu
diperlukan komunikasi dua arah, cukup memberikan untuk terus
berkembang saja dengan terus diawasi.
Henry Mintzberg (Luthans, 1995 dalam Alimuddin, 2002),
berdasarkan studi observasi yang ia lakukan secara langsung, membagi tiga
jenis fungsi pemimpin atau manajer :
1. Fungsi Interpersonal (The Interpersonal Roles)
Fungsi ini dapat ditingkatkan melalui jabatan formal yang dimiliki
oleh seorang pemimpin dan antara pemimpin dengan orang lain.
Fungsi interpersonal terbagi menjadi 3, yaitu :
28
a. Sebagai Simbol Organisasi (Figurehead). Kegiatan yang dilakukan
dalam menjalankan fungsi sebagai simbol organisasi umumnya bersifat
resmi, seperti menjamu makan siang pelanggan.
b. Sebagai Pemimpin (Leader). Seorang pemimpin menjalankan fungsinya
dengan menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi dan mendorong
karyawannya untuk mencapai tujuan organisasi.
c. Sebagai Penghubung (Liaison). Seorang pemimpin juga berfungsi
sebagai penghubung dengan orang diluar lingkungannya, disamping ia
juga harus dapat berfungsi sebagai penghubung antara manajer dalam
berbagai level dengan bawahannya.
2. Fungsi Informasional (The Informational Roles)
Seringkali pemimpin harus menghabiskan banyak waktu dalam
urusan menerima dan menyebarkan informasi. Ada tiga fungsi pemimpin
disini.
a. Sebagai Pengawas (Monitor). Untuk mendapatkan informasi yang valid,
pemimpin harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara
kontinyu terhadap lingkungannya, yakni terhadap bawahan, atasan,
dan selalu menjalin hubungan dengan pihak luar.
b. Sebagai Penyebar (Disseminator). Pemimpin juga harus mampu
menyebarkan informasi kepada pihak-pihak yang memerlukannya.
c. Sebagai Juru Bicara (Spokesperson). Sebagai juru bicara, pemimpin
berfungsi untuk menyediakan informasi bagi pihak luar.
3. Fungsi Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
29
Ada empat fungsi pemimpin yang berkaitan dengan keputusan.
a. Sebagai Pengusaha (Entrepreneurial). Pemimpin harus mampu
memprakarsai pengembangan proyek dan menyusun sumber daya yang
diperlukan. Oleh karena itu pemimpin harus memiliki sikap proaktif.
b. Sebagai Penghalau Gangguan (Disturbance Handler). Pemimpin sebagai
penghalau gangguan harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan
situasi.
c. Sebagai Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator). Disini pemimpin
harus dapat memutuskan kemana saja sumber dana akan didistribusikan
ke bagian-bagian dari organisasinya. Sumber dana ini mencakup uang,
waktu, perbekalan, tenaga kerja dan reputasi.
d. Sebagai Pelaku Negosiasi (Negotiator). Seorang pemimpin harus mampu
melakukan negosiasi pada setiap tingkatan, baik dengan bawahan, atasan
maupun pihak luar.
Dalam teori jalur tujuan (Path Goal Theory) yang dikembangkan
oleh Robert House (1971, dalam Kreitner dan Kinicki, 2005) menyatakan bahwa
pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan cara
memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi bawahannya agar percaya
bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang serius.
Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan tingkat kinerja
dan kepuasan bawahan yang tinggi. Dalam situasi yang berbeda mensyaratkan
gaya kepemimpinan yaitu karakteristik personal dan kekuatan lingkungan. Teori
ini juga menggambarkan bagaimana persepsi harapan dipengaruhi oleh hubungan
30
kontijensi diantara empat gaya kepemimpinan dan berbagai sikap dan
perilaku karyawan. Perilaku pemimpin memberikan motivasi sampai tingkat
(1) mengurangi halangan jalan yang mengganggu pencapaian tujuan, (2)
memberikan panduan dan dukungan yang dibutuhkan oleh para karyawan,
dan (3) mengaitkan penghargaan yang berarti terhadap pencapaian tujuan.
Selain itu House percaya bahwa pemimpin dapat menunjukkan lebih
dari satu gaya kepemimpinan, dan mengidentifikasikan lima gaya kepemimpinan,
yaitu :
a. Gaya Direktif
Dimana pemimpin memberitahukan kepada bawahan apa yang
diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus diselesaikan
dan standar kerja, serta memberikan bimbingan secara spesifik tentang cara-cara
menyelesaikan tugas tersebut, termasuk didalamnya aspek perencanaan,
organisasi, koordinasi dan pengawasan.
b. Gaya Supportif
Gaya kepemimpinan yang menunjukkan keramahan seorang
pemimpin, mudah ditemui daan menunjukkan sikap memperhatikan bawahannya.
Jika manajer ingin meningkatkan kesatuan dan kekompakan kelompok digunakan
gaya kepemimpinan supportif.
c. Gaya Partisipatif
Gaya kepemimpinan dimana mengharapkan saran-saran dan ide
mereka sebelum mengambil suatu keputusan.
d. Gaya Orientasi Prestasi
31
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang
menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin
serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam pencapaian tujuan
tersebut. Tingkah laku individu didorong oleh need for achievement atau
kebutuhan untuk berprestasi. Kepemimpinan yang berorientasi kepada prestasi
(achievement) dihipotesakan akan meningkatkan usaha dan kepuasan bila
pekerjaan tersebut tidak tersetruktur (misalnya kompleks dan tidak diulang-ulang)
dengan meningkatkan rasa percaya diri dan harapan akan menyelesaikan sebuah
tugas dan tujuan yang menantang.
e. Gaya Pengasuh
Dalam kepemimpinan gaya pengasuh, sikap yang mungkin tepat
adalah campur tangan minim dari pimpinan. Dimana pemimpin hanya memantau
kinerja tetapi tidak mengawasi pegawai secara aktif. Tidak dibutuhkan banyak
interaksi antara pimpinan dengan pegawai sepanjang kinerja pegawai tidak
menurun. Pimpinan merasa lebih tepat untuk tidak campur tangan dengan
tugas-tugas pegawai.
2.1.4 Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi adalah dorongan dari dalam individu untuk
berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan
tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi dibandingkan dengan
kepentingan sendiri. Dorongan yang ada pada setiap individu dapat
mempengaruhi keberhasilan suatu organisasi dalam berpartisipasi dalam
penyusunan anggaran dan dapat meningkatkan kinerja manajerial.
32
Menurut Allen dan Meyer (1990:78) ada tiga komponen didalam
komitmen organisasi yaitu :
1. Affective commitment yaitu suatu kondisi yang menunjukkan keinginan
karyawan untuk melibatkan diri dan mengidentifikasi diri dengan
organisasi karena adanya kesesuaian nilai-nilai dalam organisasi atau
seberapa jauh tingkat emosi keterlibatan langsung dalam organisasi.
2. Normative commitment yaitu komitmen yang muncul karena karyawan
berkewajiban untuk tinggal dalam organisasi seperti kesetiaan, kebanggaan,
kesenangan, kebahagiaan, dan lain- lain
3. Continuance commitment yaitu komitmen yang timbul karena adanya
kekhawatiran terhadap kehilangan manfaat yang biasa diperoleh dari
organisasi atau tetap tinggal karena merasa memerlukannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi
antara lain karakteristik individu, karakteristik pekerjaan, dan pengalaman kerja.
Komitmen organisasi itu sendiri mempunyai tiga komponen yaitu keyakinan yang
kuat dari seseorang dan penerimaan tujuan organisasi, kemauan seseorang
untuk berusaha keras bergantung pada organisasi, dan keinginan seseorang yang
terbatas untuk mempertahankan keanggotaan. Semakin kuat komitmen, semakin
kuat kecenderungan seseorang untuk diarahkan pada tindakan sesuai dengan
standar. Komitmen dianggap penting bagi organisasi karena: (1) Pengaruhnya
pada turnover, (2) Hubungannya dengan kinerja yang mengasumsikan bahwa
individu yang memiliki komitmen cenderung mengembangkan upaya yang lebih
besar pada pekerjaan (Morrison, 1997).
33
2.1.5 Penyempurnaan Sistem Administrasi
Penyempurnaan sistem administrasi merupakan penyiapan instrumen
pengukuran anggaran berbasis kinerja secara terus menerus, berupa target kinerja,
pengukukuran kinerja, analisis standar belanja, standar pelayanan minimal dan
standar biaya yang merupakan alat pengukuran implementasi anggaran berbasis
kinerja.
1. Perencanaan Kinerja
Perencanaan Kinerja adalah aktivitas analisis dan pengambilan
keputusan ke depan untuk menetapkan tingkat kinerja yang diinginkan di masa
mendatang. Pada prinsipnya perencanaan kinerja merupakan penetapan tingkat
capaian kinerja yang dinyatakan dengan ukuran kinerja atau indikator kinerja
dalam rangka mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan. Perencanaan
merupakan komponen kunci untuk lebih mengefektifkan tujuan pemerintah.
Sedangkan perencanaan kinerja membantu pemerintah untuk mencapai tujuan
yang sudah didefenisikan dalam rencana stratejik (Renstra), Rencana Kinerja
(Renja), termasuk didalamnya pembuatan target kinerja dengan menggunakan
ukuran-ukuran kinerja.
Tingkat pelayanan yang diinginkan pada dasarnya merupakan
indikator kinerja yang diharapkan dapat dicapai oleh Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan kewenangannya. Selanjutnya untuk penilaian kinerja dapat
digunakan ukuran penilaian didasarkan pada indikator sebagai berikut :
1. Masukan (input), yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan
kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini
merupakan tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber-
34
sumber: dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan
sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan program dan atau
kegiatan.
2. Keluaran (output) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan produk
(barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai
dengan masukan yang digunakan. Indikator keluaran adalah sesuatu yang
diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik
dan/ atau non fisik.
3. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator ini
merupakan tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat
dicapai berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah
dilaksanakan.
4. Manfaat (benefit) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat
kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat
dan Pemerintah Daerah dari hasil.
5. Dampak (impact) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan dampak terhadap
kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat.
2. Target Kinerja
Target kinerja adalah tingkat kinerja yang diharapkan dicapai terhadap
suatu indikator kinerja dalam satu tahun anggaran tertentu dan jumlah
pendanaan yang telah ditetapkan. Target kinerja harus mempertimbangkan
sumber daya yang ada dan juga kendala-kendala yang mungkin timbul dalam
35
pelaksanaannya. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menentukan
target kinerja yang baik, seperti dapat dicapai, ekonomis, dapat
diterapkan, konsisten, menyeluruh, dapat dimengerti, dapat diukur, stabil,
dapat diadaptasi, legitimasi, seimbang, dan fokus kepada pelanggan.
Penetapan target kinerja harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai
berikut (BPKP,2005):
a. Spesifik berarti unik, menggambarkan objek atau subjek tertentu, tidak
berdwimakna atau diinterpretasikan lain. Indikator untuk tiap-tiap unit
organisasi berbeda-beda tergantung pada tipe pelayanan yang dihasilkan.
Agar betul-betul menggambarkan program yang akan dilaksanakan,
penetapan target kinerja perlu mempertimbangkan komponen berikut:
1. Biaya pelayanan (cost of service) yang biasanya diukur dalam bentuk
biaya unit.
2 Penggunaan (utilization) dimana indikator untuk komponen ini pada
dasarnya mempertimbangkan antara jumlah pelayanan yang ditawarkan
dengan permintaan publik.
3. Kualitas dan standar pelayanan (quality and standards), merupakan
komponen yang paling sulit diukur, karena menyangkut pertimbangan
yang sifatnya subjektif.
4. Cakupan pelayanan (coverage) perlu dipertimbangkan apabila terdapat
kebijakan atau peraturan perundangan yang mensyaratkan untuk
memberikan pelayanan dengan tingkat pelayanan minimal yang telah
ditetapkan.
36
5. Kepuasan (satisfication) biasanya diukur melalui metode jajak pendapat
secara langsung. Pembuatan indikator kinerja tersebut memerlukan kerja
sama antarunit kerja.
b. Dapat diukur.
Secara objektif dapat diukur baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
c. Relevan.
Target kinerja sebagai alat ukur harus terkait dengan apa yang diukur dan
menggambarkan keadaan subjek yang diukur, bermanfaat bagi pengambilan
keputusan.
d. Tidak bias.
Tidak memberikan kesan atau arti yang menyesatkan. Target kinerja yang
ditetapkan harus dapat membantu memperjelas tujuan organisasi serta dapat
menunjukkan standar kinerja dan efektivitas pencapaian program organisasi.
3. Standar Analisis Belanja
Standar Analisis Belanja (SAB) merupakan salah satu komponen
yang harus dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam
penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. Menurut buku Pedoman
Penyusunan APBD Berbasis Kinerja diterbitkan oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (2005), Standar Analisis Belanja adalah standar
untuk menganalisis anggaran belanja yang digunakan dalam suatu program atau
kegiatan untuk menghasilkan tingkat pelayanan tertentu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. SAB digunakan untuk menilai kewajaran beban kerja dan biaya
setiap program anggaran atau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Unit Kerja
dalam satu tahun anggaran. Penilaian terhadap usulan anggaran belanja
37
dikaitkan dengan tingkat pelayanan yang akan dicapai melalui program atau
kegiatan.
SAB dalam hal ini digunakan menilai dan menentukan rencana
program, kegiatan dan anggaran belanja yang paling efktif dalam upaya
pencapaian kinerja. Penilaian kewajaran berdasarkan SAB berkaitan dengan
kewajaran biaya suatu program atau kegiatan yang dinilai berdasarkan hubungan
antara rencana alokasi biaya dengan tingkat pencapaian kinerja program atau
kegiatan yang bersangkutan. Disamping atas dasar SAB, dalam rangka menilai
usulan anggaran belanja dapat juga dilakukan berdasarkan kewajaran beban kerja
yang dinilai berdasarkan kesesuaian antara program atau kegiatan yang
direncanakan oleh suatu Unit Kerja dengan tugas pokok dan fungsi unit kerja
yang bersangkutan.
Penerapan SAB pada dasarnya akan memberikan manfaat antara
lain (1) mendorong setiap unit kerja untuk lebih selektif dalam merencanakan
program dan atau kegiatannya, (2) menghindari adanya belanja yang kurang
efektif dalam upaya pencapaian kinerja, (3) mengurangi tumpang tindih
belanja dalam kegiatan investasi dan non investasi.
4. Standar Biaya
Standar biaya adalah harga satuan unit biaya yang berlaku. Penerapan
standar biaya ini membantu penyusunan anggaran belanja suatu program atau
kegiatan bagi setiap satuan kerja perangkat daerah yang ada agar kebutuhan atas
suatu kegiatan yang sama tidak berbeda biayanya. Pengembangan standar biaya
akan dilakukan dan diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perubahan
38
harga yang berlaku. Sehingga penganggaran dengan pendekatan kinerja adalah
secara keseluruhan proses yang terjadi dalam organisasi pemerintah
daerah/satuan kerja perangkat daerah harus dapat diukur kinerjanya, mulai dari
output, outcome/result dan impact.
2.1.6 Konsep Kualitas Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (human resources) adalah the people who are
ready, willing and able to contribute to organizational goals (Werther dan Davis,
1996 dalam Ndraha, 1997)). Kualitas SDM adalah unsur yang sangat penting
dalam meningkatkan pelayanan organisasi terhadap kebutuhan publik. Oleh
karena itu, terdapat dua elemen mendasar yang berkaitan dengan pengembangan
SDM yaitu tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki karyawan/ pekerja.
Kualitas SDM menyangkut dua aspek, yaitu aspek kualitas fisik dan aspek
kualitas nonfisik, yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir, dan
keterampilan-keterampilan lain.
Sumber daya manusia (SDM) berkualitas tinggi adalah SDM yang
mampu menciptakan bukan saja nilai komparatif, tetapi juga nilai kompetitif
generatif inovatif dengan menggunakan energi tertinggi seperti intelligence,
creativity, dan imagination; tidak lagi semata-mata menggunakan energy kasar
seperti bahan mentah, lahan, air, tenaga otot, dan sebagainya. (Ndraha,1997:12).
Dalam mengelola SDM, diperlukan sistem pengendalian manajemen
agar tujuan organisasi tercapai. Sistem pengendalian manajemen suatu organisasi
dirancang untuk mempengaruhi orang-orang di dalam organisasi tersebut agar
berperilaku sesuai dengan tujuan organisasi. Pengendalian organisasi dapat berupa
39
aturan dan prosedur birokrasi atau melalui sistem pengendalian dan manajemen
informasi yang dirancang secara formal. Dalam suatu organisasi setiap orang
memiliki tujuan personal (individual goal). Untuk menyikapi hal tersebut perlu
adanya suatu jembatan yang mampu mengantarkan organisasi mencapai
tujuannya, yaitu tercapainya keselarasan antara individual goal dengan
organization goal. Dalam hal ini, sistem pengendalian manajemen hendaknya
dapat menjadi jembatan dalam mewujudkan adanya goal congruence, yaitu
keselarasan antara tujuan organisasi dengan tujuan personal (Mardiasmo,
2002:50).
Perubahan pendekatan penganggaran dari pendekatan tradisional
menuju anggaran berbasis kinerja memerlukan suatu kesiapan dari seluruh
organisasi dengan melakukan perencanaan strategik. Perencanaan strategik dapat
digunakan untuk membantu mengantisipasi dan memberikan arahan perubahan.
Dalam pelaksanaannya, setiap personel atau SDM yang terkait di dalamnya harus
memperoleh kejelasan wewenang dan tanggungjawab serta memperoleh
pendelegasian wewenang dan tugas. Selain itu, harus didukung dengan adanya
regulasi keuangan, pengendalian personel, dan manajemen kompensasi yang jelas
dan fair.
Selanjutnya, agar proses perubahan pendekatan penganggaran
tersebut dapat mencapai tujuannya dengan sukses, setiap organisasi juga harus
memperhatikan kultur organisasi. Kultur organisasi terkait dengan lingkungan
kerja dan kesediaan anggota untuk melakukan perubahan. Perencanaan strategik
harus didukung dengan budaya organisasi yang kuat. Perencanaan strategik harus
diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap anggota organisasi untuk
40
melaksanakan program-program secara efektif dan efisien. Program-program
yang sudah dirancang secara baik dapat gagal bila personel di lapangan bertindak
tidak sesuai dengan arah dan strategi (Mardiasmo, 2002:57).
Kunci menuju keunggulan kompetitif suatu organisasi, pada dasarnya
bersandar pada penggunaan optimal sumber daya manusianya dan pemeliharaan
kerjasama antara pengguna jasa dan orang yang diperkerjakan dalam usaha
mencapai tujuan-tujuan organisasi. Tidak mudah menjadikan SDM sebagai
sumber keunggulan kompetitif organisasi karena hal itu berkaitan dengan bukan
saja faktor kemampuan dan keahlian melainkan berkaitan pula dengan faktor-
faktor personal lainnya seperti, nilai yang dianut, persepsi, sikap, personality, dan
kemauan individu untuk maju. SDM dikatakan memiliki keunggulan kompetitif
jika memiliki kemampuan dan keahlian yang khas dan memiliki kepribadian yang
sesuai dengan organizational personality di mana mereka bekerja.
2.1.7 Motivasi
Motivasi atau dorongan adalah suatu pendorong yang dapat
mendorong manusia untuk melakukan sesuatu tindakan dorongan (tenaga) atau
suatu pendorong tersebut merupakan gerak hati (jiwa) maupun jasmani untuk
bertindak atau berbuat atau sesuatu yang melatar belakangi manusia berbuat
sesuatu untuk mencapai keinginannya atau tujuannya (Mohyi 1996). Dalam
proses penyusunan anggaran mungkin akan lebih efektif dalam kondisi
karyawan mempunyai motivasi yang tinggi, begitu juga sebaliknya (Mia,1998).
Secara garis besar teori motivasi terbagi menjadi dua, Teori Kepuasan/
Isi (Content Theory) dan Teori Proses (Process Theory).
41
1. Teori Kepuasan (Content Theory)
Yang termasuk teori ini adalah teori-teori yang meneliti faktor-faktor apa
saja dalam diri induvidu yang menggerakkan, mengarahkan, mendukung,
danmenghentikan perilaku induvidu. Diantara teori kepuasan adalah:
a. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow (Maslow's Hikrordhy of Needs).
Teori ini dikembangkan oleh Abraham Maslow. Maslow berpendapat ada
lima tingkat kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan fisiologis yang
paling mendasar sampai kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri.
Menurut Maslow, induvidu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan
yang paling menonjol, atau paling kuat, bagi mereka pada waktu tertentu.
Kemenonjolan dari kebutuhan ini tergantung pada situasi saat itu dan
pengalaman mutakhir individu tersebut dimulai dengan kebutuhan fisik
(sandang dan pangan) yang paling mendasar sampai dengan kebutuhan
yang berdimensi spiritual dan religius (ketuhanan).
b. Teori X dan Y (XY Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Douglas Mc Gregor. la mengatakan ada dua
tipe manusia, yaitu tipe X dan tipe Y. Tipe X adalah manusia yang tidak
menyukai kerja, malas, tidak menyukai tanggung jawab dan harus
dipaksa agar berprestasi. Sebaliknya, manusia tipe Y adalah manusia
yang menyukai kerja, kreatif, berusaha bertanggung jawab dan dapat
bekerja tanpa perlu dipaksa.
c. Teori ERG (ERG Theory)
Teori yang disampaikan oleh Clayton Alderfer ini berpendapat bahwa
setiap orang mempunyai kebutuhan yang tersusun dalam suatu hirarki.
42
Pertama, yang paling dasar adalah kebutuhan eksistensi (Existence),
yakni kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor seperti makanan,
minuman, udara, upah dan kondisi kerja. Kedua, kebutuhan relasi
(Relatedness), yakni kebutuhan yang dipuaskan oleh hubungan sosial
yang bermanfaat. Ketiga, kebutuhan pertumbuhan (Growth), yaitu
kebutuhan dimana induvidu merasa puas jika dapat memberikan
kontribusi yang kreatif dan produktif. Teori ERG berpendapat seperti
Maslow bahwa kebutuhan tingkat lebih rendah yang terpuaskan
menghantar ke hasrat kebutuhan yang lebih tinggi. Namun halangan
terhadap kebutuhan yang lebih tinggi dapat menghasilkan regresi ke
tingkat kebutuhan yang lebih rendah.
d. Teori Kebutuhan Mc. Clelland (Mc Clelland Theory)
Mc. Clelland mengajukan teori motivasi yang berkaitan erat dengan
konsep belajar, la berpendapat ada tiga kebutuhan yang dapat dipelajari,
yaitu kebutuhan berprestasi (need for achievement), kebutuhan berkuasa
(need for power) dan kebutuhan berafiliasi (need for affiliation). Mc
Clelland mengatakan bahwa jika kebutuhan seseorang sangat kuat, maka
motivasinya akan kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
e. Teori Motivasi Higiene (Hygiene Motivation Theory)
Frederick Herzberg mengemukakan dua faktor tentang motivasi. Faktor
itu adalah faktor yang membuat orang merasa tidak puas dan faktor yang
membuat orang puas. Faktor yang membuat tidak puas lebih disebabkan
faktor higiene (ekstrinsik), yaitu kondisi di luar individu, seperti upah,
jaminan kerja, status, pergaulan, hubungan atasan/ bawahan, dan lain-
43
lain. Sedang faktor yang membuat orang puas adalah faktor motivator
(intrinsik), yaitu yang berasal dari dalam induvidu itu sendiri, seperti
tantangan,rasa berprestasi, minat, rasa tanggung jawab dan aktualisasi
diri. Model Herzberg pada dasarnya mengasumsikan bahwa kepuasan
bukanlah konsep berdimensi satu. Diperlukan dua variabel untuk
menafsirkan kepuasan kerja secara tepat. Artinya, untuk mencapai
motivasi optimum dibutuhkan dua kondisi intrinsik dan ekstrinsik yang
sama-sama memuaskan.
2. Teori Proses (Process Theory)
Teori ini menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku digerakkan,
didukung dan dihentikan. Yang termasuk teori ini diantaranya :
a. Teori Harapan (Expectancy Theory)
Dalam teorinya, Victor Vroom menyatakan bahwa orang memilih cara
bertingkah laku tertentu berdasarkan harapan akan apa yang akan
diperoleh dari setiap tindakannya. Semakin kuat harapannya,semakin
tinggi motivasi untuk bertindak. Sebaliknya, semakin kecil harapannya,
semakin menurun motivasi untuk melakukan tindakan tertentu.
b. Teori Penentuan Tujuan (Goal Setting Theory)
Teori ini memusatkan pada proses penentuan sasaran diri mereka sendiri.
Menurut Edwin Locke, penggagasnya, manusia cenderung untuk
menentukan sasaran dan berjuang keras untuk mencapainya. Namun hal
ini hanya akan memotivasi jika sasaran tersebut diterima olehnya, jelas,
dan terdapat harapan yang cukup besar untuk dapat dicapai. Penelitian
44
menujukkan, semakin spesifik dan menantang suatu sarasan, maka
semakin efektif untuk memotivasi orang atau kelompok.
c. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Dikemukaan oleh B.F. Skinner, yang mengatakan bahwa tingkah laku
dengan konsekuensi positif (penghargaan) cenderung akan diulang.
Sebaliknya, tingkah laku dengan konsekuensi negatif (hukuman)
cenderung untuk tidak diulang.
d. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori yang digagas oleh J. Stacy Adam ini mengasumsikan bahwa
seseorang membandingkan usaha mereka dengan orang lainnya dalam
situasikerja yang sama. Teori ini mengatakan bahwa orang dimotivasi
untuk diperlakukan secara adil. Bila ia merasa diperlakukan tidak adil,
maka motivasinya akan menurun. Sebaliknya jika merasa diperlakukan
adil, maka motivasinya akan bertambah.
Berdasarkan teori-teori motivasi di atas, arti motivasi adalah alasan
yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu.
Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut
memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan
mengerjakan pekerjaannya yang sekarang.
Tujuan pemberian motivasi menurut Hasibuan (2001) dikemukakan
antara lain :
1. Mendorong gairah dan kerja karyawan.
45
2. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan.
3. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan karyawan perusahaan.
4. Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi karyawan.
5. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.
6. Meningkatkan kreativitas, partisipasi dan kesejahteraan karyawan.
7. Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap tugas, meningkatkan
produktivitas kerja dan meningkatkan efisiensi.
2.2 Review Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang Anggaran Berbasis Kinerja telah banyak dilakukan
dan apabila dibandingkan dengan penelitian ini akan mempunyai beberapa
kesamaan antara lain permasalahan yang akan dibahas mengenai penyusunan
anggaran berbasis kinerja dan tata pemerintahan yang baik. Sembiring, Baik
Benar (2009) melakukan penelitian di Pemerintah Kabupaten Karo dengan judul :
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Berbasis Kinerja (Studi Empiris di Pemerintah Kabupaten Karo)
dengan hasil penelitian bahwa secara simultan terdapat pengaruh yang signifikan
dari faktor komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem
administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan yang jelas serta sanksi yang
tegas terhadap APBD berbasis kinerja. Sedangkan secara Parsial terdapat
pengaruh yang signifikan dari faktor penyempurnaan sistem administrasi,
penghargaan yang jelas, serta sanksi yang tegas. Namun komitmen dari seluruh
organisasi dan sumber daya yang cukup tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap APBD berbasis kinerja.
46
Penelitian anggaran kinerja yang dilakukan Utari (2009) mengenai
masalah penganggaran di daerah pada umumnya terjadi ketidak konsistenan
dengan berbagai produk perencanaan yang telah dipersiapkan. Disamping itu juga
tidak jarang harus berbenturan dengan peraturan yang mengaturnya. Hal lain
dalam penerapan anggaran kinerja, tidak terdapat indikator untuk mengukur
pencapaian target penyediaan layanan yang digunakan dalam perencanaan, serta
tidak adanya kaitan dengan indikator target dalam anggaran tahunan yang
berbasiskan kinerja.
Fenomena masalah anggaran kinerja pemerintah daerah (eksekutif)
telah banyak diteliti, antara lain penelitian Widyantoro (2009) mencermati bahwa
anggaran kinerja belum tercapai, dikarenakan terdapat kesalahan dalam tahapan
proses perencanaan, implementasi, pengukuran, evaluasi dan pelaporan.
Sedangkan Rahayu dkk (2007) menemukan format dan komposisi teknis dari
proses penganggaran pemerintah daerah sudah sesuai Permendagri No. 13 Tahun
2006, tetapi idealisme anggaran kinerja belum terlaksana, kurangnya sosialisasi,
dan rendahnya pemahaman tentang anggaran kinerja dari masyarakat dan
pemerintah.
Hotman Atiek (2005) dalam Sembiring, B.B. (2009) di Lampung
melakukan penelitian tentang hubungan peranan Bappeda dalam melaksanakan
perencanaan sesuai anggaran berbasis kinerja dengan pemahaman sumber daya
manusia mengenai anggaran berbasis kinerja dan hubungan penerapan
anggaran berbasis kinerja dengan arah kebijakan umum pemerintah
kabupaten. Hasil penelitian Hotman Atiek menyebutkan terdapat
hubungan antara sumber daya manusia masih sedikit yang mengerti dan
47
memahami anggaran berbasis kinerja berpengaruh dalam pelaksanaan
perencanaan dan terdapat penyimpangan program yang dilaksanakan dari arah
kebijakan umum dengan belum diterapkan anggaran berbasis kinerja.
2.3 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori dan masalah penelitian, maka penulis
mengembangkan kerangka penelitian sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Dalam kerangka konsep perlu dijelaskan secara teoritis antara
variabel independen dan variabel dependen. Menurut Lubis dan Syahputra
(2008) kerangka konsep penelitian adalah gambaran ringkas, lugas dan bernas
mengenai keterkaitan satu konsep dengan konsep lainnya yang akan diteliti atau
Gaya Kepemimpinan (X1)
Komitmen dari seluruh Komponen Organisasi
(X2)
Penyempurnaan Sistem Administrasi (X3)
Kualitas Sumber Daya Manusia (X4)
Motivasi (X5)
Anggaran Berbasis Kinerja (Y)
48
menggambarkan pengaruh atau hubungan antara satu kejadian/fenomena dengan
kejadian/fenomena lainnya.
Menurut Wahono (2001), “Kepemimpinan sebagai suatu proses dan
perilaku untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai
tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan
organisasi”. Komitmen organisasi adalah dorongan dari dalam individu untuk
berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan
tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi dibandingkan dengan
kepentingan sendiri.
Penyempurnaan sistem administrasi merupakan penyiapan instrumen
pengukuran anggaran berbasis kinerja secara terus menerus, berupa target kinerja,
pengukukuran kinerja, analisis standar belanja, standar pelayanan minimal dan
standar biaya yang merupakan alat pengukuran implementasi anggaran berbasis
kinerja. Kualitas sumber daya manusia yang memiliki keunggulan kompetitif
berkaitan dengan faktor kemampuan dan keahlian yang khas serta faktor personal
lainnya seperti, nilai yang dianut, persepsi, sikap, personality, dan kemauan
individu untuk maju.
Motivasi merupakan gabungan dari berbagai faktor yang
menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku. Motivasi
merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu. la mampu mendorong seseorang
untuk berbuat atau tidak berbuat. Mampu membuat manusia semangat atau tidak
semangat melakukan sesuatu.
Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Budgeting) adalah sistem
penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan berkaitan sangat erat
49
dengan Visi, Misi dan Rencana Strategis Organisasi (Indra bastian tahun 2004).
Dengan demikian maka kerangka konsep penulis dalam penelitian ini adalah
anggaran berbasis kinerja (sebagai variabel dependen) dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan, komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan
sistem administrasi, kualitas sumber daya manusia dan motivasi sebagai variabel
independen.
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah kesimpulan sementara atau proposisi tentatif tentang
hubungan dari beberapa variabel yang dapat dipergunakan sebagai tuntunan
sementara dalam penelitian untuk menguji kebenarannya. Hipotesis dapat ditulis
dalam bentuk hipotesis nol (null hypothesis) maupun hipotesis alternatif
(alternative hypothesis) atau keduanya. Hipotesis nol dicoba untuk ditolak
(rejected) dan hipotesis alternatif dicoba untuk diterima (accepted) atau didukung
(supported). Hipotesis nol (Ho) ditulis dengan arah yang berlawanan dengan
hipotesis alternatif (Ha).
Berdasarkan landasan teori dan kerangka konsep yang telah
dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ho : tidak terdapat pengaruh antara faktor gaya kepemimpinan, komitmen dari
seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi,
kualitas sumber daya manusia dan motivasi terhadap penyusunan
anggaran berbasis kinerja secara simultan dan parsial
Ha : terdapat pengaruh antara faktor gaya kepemimpinan, komitmen dari seluruh
komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, kualitas
50
sumber daya manusia dan motivasi terhadap penyusunan anggaran
berbasis kinerja secara simultan dan parsial
51
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kausal (causal) yang
berguna untuk menganalisis bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel
lain, dan juga berguna pada penelitian yang bersifat yang bersifat eksperimen
dimana variabel independennya diperlakukan secara terkendali oleh peneliti untuk
melihat dampaknya pada variabel dependennya secara langsung.
Peneliti menggunakan desain penelitian ini untuk menganalisis
pengaruh faktor gaya kepemimpinan, komitmen dari seluruh komponen
organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, kualitas sumber daya manusia
dan motivasi sebagai variabel independen terhadap penyusunan anggaran berbasis
kinerja di Pemerintah Kota Jambi sebagai variabel dependen.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Sekretariat Daerah Kota Jambi Jl.
Jend. Basuki Rahmat No.01 Kecamatan Kota Baru Jambi dan di Sekretariat/
Dinas/ Badan/ Kantor/ Kecamatan dalam lingkungan Pemerintah Kota Jambi.
52
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh satuan kerja perangkat
daerah Kota Jambi yang berjumlah 39 (tiga puluh sembilan) unit, dengan jumlah
responden sebanyak 87 (delapan puluh tujuh) orang yang terdiri dari :
1. Dinas 30 Orang
2. Sekretariat 13 Orang
3. Badan 16 Orang
4. Kantor 28 Orang
Jenis penelitian ini adalah sensus, menurut Erlina dan Mulyani (2007)
“jika peneliti menggunakan seluruh elemen populasi menjadi data penelitian maka
disebut sensus, sensus digunakan jika elemen populasi relatif sedikit dan bersifat
heterogen”. Sehingga seluruh populasi yaitu Kepala SKPD dan Kepala Bidang
Perencanaan/Anggaran yang secara struktural bertanggung jawab dan terlibat
dalam penyusunan anggaran pada satuan kerja perangkat daerah yang berjumlah
87 (delapan puluh tujuh) orang dijadikan sampel. Metode yang digunakan adalah
metode survey seperti yang disebutkan Ikhsan dan Gozali (2006) bahwa “metode
survey merupakan pengumpulan data primer yang diperoleh secara langsung dari
sumber asli”.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 8 Tahun 2008
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota Jambi,
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat DPRD Kota Jambi, Peraturan Daerah Kota
Jambi Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
53
Dinas-dinas Daerah Kota Jambi, Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 11 Tahun
2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah
Kota Jambi dan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan Kota Jambi, sejak April
tahun 2009 telah disahkan perubahan/pemekaran satuan kerja perangkat daerah
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 menjadi 39 (tiga puluh
sembilan) SKPD.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan
kuesioner, seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (1999) bahwa “kuesioner
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan atau pertanyaan tertulis kepada responden untuk
dijawabnya”.
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, menurut
Indriantoro dan Supomo (1999) “data primer merupakan sumber data penelitian
yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara)”.
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari responden yaitu kepala satuan
perangkat kerja daerah dan kepala bidang perencanaan pada satuan kerja
perangkat daerah di Pemerintah Kota Jambi.
Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner yang sebagian
dirancang sendiri oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang ada dan sebagian lagi
dirancang oleh peneliti sebelumnya yang telah teruji validitas dan reabilitasnya.
54
Sebelum kuesioner disebar ke responden terlebih dahulu dilakukan
pratest (uji coba sebelum penelitian yang sebenarnya dilakukan). Menurut
Kuncoro (2003) “setelah instrumen disusun dalam bentuk draft maka pratest
sebaiknya dilakukan pada sejumlah responden yang sama dengan responden
penelitian yang sebenarnya”.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan
kuesioner, seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (1999), kuesioner merupakan
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara member seperangkat
pertanyaan atau pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.
Dalam penelitian ini yang akan diberikan kuesioner adalah seluruh
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Kepala Bidang
Perencanaan/Anggaran SKPD dilingkungan Pemerintah Kota Jambi yang
berjumlah 87 (delapan puluh tujuh) orang. Tahapan dalam penyebaran dan
pengumpulan kuesioner dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama adalah
melakukan penyebaran kuesioner kepada seluruh Kepala SKPD dan Kepala
Bidang Perencanaan/Anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Jambi,
kemudian menunggu pengisian kuesioner tersebut. Tahap yang kedua adalah
pengambilan kuesioner yang telah diisi oleh Kepala SKPD dan Kepala Bidang
Perencanaan/Anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Jambi untuk
dilakukan pengolahan data.
55
3.6 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel harus didefinisikan secara operasional agar lebih mudah
dicari hubungan antara satu variabel dengan lainnya dan pengukurannya. Menurut
Jogiyanto (2004) definisi operasional adalah “hasil dari pengoperasionalan konsep
(operationnalizing the concept) kedalam elemen-elemen yang dapat diobservasi
yang menyebabkan konsep dapat diukur dan dioperasionalkan dalam konsep”.
Suwono (2006) mengatakan “definisi operasional memungkinkan
sebuah konsep yang bersifat abstrak dijadikan suatu yang operasional sehingga
memudahkan penelitian dalam melakukan pengukuran”. Beberapa konsep dapat
langsung dipecah dan ditemukan elemen-elemen perilaku yang dapat diukur,
tetapi banyak konsep yang tidak dapat langsung ditemukan elemen-elemen
perilakunya, tetapi lewat beberapa dimensi dulu.
Untuk pengukuran variabel dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan skala interval. Menurut Erlina dan Mulyani (2007) menyebutkan
“skala interval adalah skala pengukuran yang menyatakan kategori, peringkat dan
jarak konstruk yang diukur tetapi tidak menggunakan angka nol sebagai titik awal
perhitungan dan bukan angka absolute”. Apabila skalanya interval maka rata-rata
hitung dipakai sebagai ukuran nilai sentral dan prosedur-prosedur statistik yang
dapat dipakai adalah korelasi product moment, uji t, dan uji F dan lain-lain uji
parametrik (Cooper dan Emory : 1995).
Penelitian ini menggunakan 5 (lima) variabel independen yaitu faktor
gaya kepemimpinan (X1), komitmen dari seluruh komponen organisasi (X2),
penyempurnaan sistem administrasi (X3), kualitas sumber daya manusia (X4),
56
dan motivasi (X5), dan 1 (satu) variabel dependen yaitu yaitu Anggaran Berbasis
Kinerja (Y).
Faktor Gaya Kepemimpinan (X1) dalam penelitian ini merupakan
norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut
mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan. Gaya
kepemimpinan dalam organisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan
lingkungan kerja yang kondusif dan membangun iklim motivasi bagi karyawan
sehingga diharapkan akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Pengukuran
variabel dalam penelitian ini dengan menggunakan skala pengukuran interval.
Faktor komitmen dari seluruh komponen organisasi (X2), dalam
penelitian ini adalah komitmen/kesepakatan antara kepala satuan kerja perangkat
daerah beserta seluruh komponen organisasi dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsi organisasinya untuk keberhasilan melaksanakan visi, misi, tujuan,
sasaran, sesuai dengan rencana stratejik (renstra) SKPDnya dikaitkan dengan
implementasi penyusunan anggaran berbasis kinerja. Pengukuran variabel dalam
penelitian ini dengan menggunakan skala pengukuran interval.
Faktor penyempurnaan sistem administrasi (X3) dalam penelitian ini
adalah penyiapan instrumen pengukuran anggaran berbasis kinerja berupa target
kinerja, pengukuran kinerja, analisis standar belanja, standar pelayanan minimal
dan standar biaya yang merupakan alat pengukuran implementasi penyusunan
anggaran berbasis kinerja. Pengukuran variabel dalam penelitian ini dengan
menggunakan skala pengukuran interval.
Faktor kualitas sumber daya manusia (X4) dalam penelitian ini adalah
sumber daya manusia yang memiliki keunggulan kompetitif berkaitan dengan
57
faktor kemampuan dan keahlian yang khas serta faktor personal lainnya seperti,
nilai yang dianut, persepsi, sikap, personality, dan kemauan individu untuk maju.
Pengukuran variabel dalam penelitian ini dengan menggunakan skala pengukuran
interval.
Dan faktor yang mempengaruhi kelima adalah motivasi. Menurut
Herzberg (1966) ada dua jenis faktor motivasi yaitu faktorhigiene (faktor
ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi
seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah
hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor
ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha
mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan,
kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik). Pengukuran variabel dalam
penelitian ini dengan menggunakan skala pengukuran interval.
Anggaran berbasis kinerja (Y) dalam penelitian ini adalah tersusunnya
anggaran pendapatan dan belanja daerah yang berbasis kinerja dari suatu sistem
anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari
perencanaan alokasi biaya, dan juga dapat menjamin hubungan yang lebih jelas
antara tujuan, sasaran, program dan kegiatan satuan kerja perangkat daerah dan
rencana kerja pemerintah daerah. Pengukuran variabel dalam penelitian ini
dengan menggunakan skala pengukuran interval.
58
3.7 Model dan Teknik Analisis Data
3.7.1 Model Analisis Data
Model analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
regresi linier berganda (Multiple Linear Regression Analysis). Menurut Sugiyanto
(2004) “analisis regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh
lebih dari satu variabel independen terhadap variabel dependen”. Untuk
keabsahan hasil analisis regresi berganda terlebih dahulu dilakukan uji kualitas
instrumen pengamatan, uji normalitas data dan uji asumsi klasik. Pengolahan data
menggunakan software SPSS.
Model analisis regresi linier berganda dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan :
Y = Anggaran Berbasis Kinerja
α = Konstanta
b = Koefisien regresi
x1 = Gaya Kepemimpinan
x2 = Komitmen dari seluruh komponen organisasi
x3 = Penyempurnaan Sistem Administrasi
x4 = Kualitas Sumber Daya Manusia
x5 = Motivasi
e = Error term
59
3.7.2 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
model regresi. Dalam suatu penelitian, kemungkinan munculnya masalah dalam
analisis regresi cukup sering dalam mencocokkan model prediksi ke dalam sebuah
model yang dimasukkan ke dalam serangkaian data. Penelitian diuji dengan
beberapa uji statistik yang terdiri dari uji kualitas data, uji asumsi klasik, statistik
deskriptif dan uji statistik untuk pengujian hipotesis.
3.7.2.1 Uji Kualitas Data
Menurut Indriantoro dan Supomo (1999) ada dua konsep mengukur
kualitas data yaitu reliabilitas dan validitas. Kualitas data yang dihasilkan dari
penggunaan instrumen penelitian dapat dievaluasi melalui uji validitas dan
reliabilitas. Pengujian tersebut masing-masing untuk mengetahui konsistensi dan
akurasi data yang dikumpulkan dari penggunaan instrumen.
Dalam penelitian ini untuk mengukur kualitas data digunakan antara
lain :
1. Uji Validitas
Pengujian validitas dilakukan untuk menguji apakah instrumen
penelitian yang telah disusun benar-benar akurat, sehingga mampu mengukur apa
yang seharusnya diukur (variabel kunci yang sedang diteliti). Menurut Umar
(2008) “uji validitas berguna untuk mengetahui apakah ada pertanyaan-pertanyaan
kuesioner yang harus dibuang/diganti karena dianggap tidak relevan”. Validitas
dalam hal ini merupakan akurasi temuan penelitian yang mencerminkan
kebenaran sekalipun responden yang dijadikan objek pengujian berbeda (Ghozali
60
dan Ikhsan, 2006). Pada penelitian ini pengujian dilakukan dengan program SPSS,
dan untuk uji validitas dengan menggunakan korelasi Bivariate Pearson (Produk
Momen Pearson) dan Corrected Item-Total Correlation. Priyatno (2008)
mengemukakan “criteria pengujiannya dengan taraf signifikansi 5% atau 0,05
yaitu Jika r hitung ≥ r table maka instrumen pertanyaan-pertanyaan kuesioner
berkorelasi terhadap skor total (dinyatakan valid), dan jika r hitung < r table maka
instrumen pertanyaan-pertaanyaan kuesioner tidak berkorelasi signifikan terhadap
skor total (dinyatakan tidak valid)”.
2. Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas dilakukan untuk menguji konsistensi jawaban
nresponden atas seluruh butir pertanyaan atau pertanyaan yang digunakan, untuk
keperluan pengujian tersebut. Pengujian reliabilitas berguna untuk mengetahui
apakah instrumen yang dalam hal ini kuesioner dapat digunakan lebih dari satu
kali, paling tidak oleh responden yang sama (Umar, 2008). Dalam melakukan Uji
reliabilitas digunakan metode Alpha (Cronbach’s) dengan bantuan program
SPSS, menurut Priyatno (2008) menyebutkan “metode alpha sangat cocok
digunakan pada skor berbentuk skala”. Santosa (2005) mengatakan “suatu
kuesioner dikatakan reliabel jika cronbach alpha lebih besar dari 0,6”.
3.7.2.2 Pengujian Asumsi Klasik
Untuk dapat melakukan analisis regresi berganda perlu pengujian
asumsi klasik sebagai persyaratan dalam analisis agar datanya dapat bermakna
dan bermanfaat. Menurut Lubis et.al (2007) “dalam membuat uji asumsi klasik
61
kita harus menggunakan data yang akan digunakan dalam uji regresi”. Uji asumsi
klasik meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas dan uji heterokesdastisitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah pengujian tentang kenormalan distribusi data
(Santosa, 2005). Tujuan digunakan uji normalitas untuk mengetahui apakah
populasi data berdistribusi normal atau tidak. Menurut Umar (2008) “uji
normalitas berguna untuk mengetahui apakah variabel dependen, independen atau
keduanya berdistribusi normal, mendekati normal atau tidak. Jika data ternyata
tidak berdistribusi normal, analisis non parametrik termasuk model-model regresi
dapat digunakan”. Mendeteksi apakah data berdistribusi normal atau tidak dapat
diketahui dengan menggambarkan penyebaran data melalui sebuah grafik. Jika
data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka
model regresi memenuhi asumsi normalitas. Sebagaimana dikemukakan oleh
Lubis et.al (2007) data dalam keadaan normal apabila distribusi data menyebar
disekitar garis diagonal.
2. Uji Multikolinieritas
Erlina dan Mulyani (2007) menyebutkan “Multikolineritas adalah
situasi adanya korelasi variabel-variabel responden antara yang satu dengan yang
lainnya”. Selanjutnya Nugroho (2005) menyebutkan “Uji Multikolinieritas
diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen yang memiliki
kemiripan dengan variabel independen lain dalam satu model”. Kemiripan
anatarvariabel independen dalam suatu model akan menyebabkan terjadinya
korelasi yang sangat kuat antara suatu model independen dengan variabel
independen yang lain. Pada penelitian ini untuk mendeteksi terhadap
62
multikolineritas dengan melihat Variance Inflation Factor (VIF) pada model
regresi. Menurut Nugroho (2005) “Deteksi multikolineritas pada suatu model
dapat dilihat bila nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih dari 10 dan
nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1, maka model dapat dikatakan terbebas dari
multikolineritas VIF = 1/Tolerance, dan bila VIF = 10 maka Tolerance =
1/10=0,1. Semakin tinggi VIF maka semakin rendah Tolerance”.
3. Uji Heteroskedastisitas
Nugroho (2005) mengemukakan bahwa “heteroskedastisitas menguji
terjadinya perbedaan variance residual suatu periode pengamatan ke periode
pengamatan yang lain, atau gambaran hubungan antara nilai yang diprediksi
dengan studentized residual nilai tersebut”. Tujuan digunakan uji
heteroskedastisitas adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan
asumsi klasik heteroskedastisitas, yaitu adanya ketidaksamaan varian dari residual
untuk semua pengamatan pada model regresi. Pada penelitian ini dilakukan uji
heteroskedastisitas dengan melihat pola grafik regresi. Menurut Priyatno (2008)
“prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala
heteroskedastisitas”. Jika varians dari residual dari suatu pengamatan ke
pengamatan lain tetap disebut homokedastisitas, sedangkan untuk varians yang
berbeda disebut heteroskedastisitas. Menurut Nugroho (2005) mengemukakan :
“analisis pada gambar Scatterplot yang menyatakan model regresi linier tidak
terdapat heteroskedastisitas jika : titik-titik data menyebar di atas dan di bawah
atau disekitar angka 0, titik-titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di
bawah saja, penyebaran titik-titik data tidak boleh membentuk data bergelombang
63
melebar kemudian menyempit dan melebar kembali, dan penyebaran titik-titik
data sebaiknya tidak berpola”.
3.7.2.3 Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif dalam penelitian pada dasarnya merupakan proses
transformasi data penelitian dalam bentuk tabulasi, sehingga mudah dipahami dan
diinterprestasikan. Tabulasi menyajikan ringkasan, pengaturan atau penyusunan
data dalam bentuk tabel numerik. Statistik deskriptif umumnya digunakan peneliti
untuk memberikan informasi mengenai karakteristik variabel penelitian yang
paling utama dan data demografi responden. Dalam penelitian ini menggunakan
statistik deskriptif yang terdiri dari rata-rata, deviasi standar, jawaban minimum
dan jawaban maksimum dari jawaban yang telah didapat melalui kuesioner.
3.7.2.4 Uji Hipotesis
Uji hipotesis adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui
apakah kesimpulan pada sampel dapat berlaku untuk populasi (dapat
digeneralisasikan). Pengujian hipotesis ditujukan untuk menguji ada tidaknya
pengaruh dari variabel bebas secara keseluruhan terhadap variabel dependen. Jika
terdapat deviasi antara sampel yang ditentukan dengan jumlah populasi maka
tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya kesalahan dalam mengambil
keputusan antara menolak maupun menerima suatu hipotesis. Untuk menguji
hipotesis mengenai gaya kepemimpinan, komitmen dari seluruh komponen
organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, kualitas sumber daya manusia
dan motivasi secara simultan dan parsial, berpengaruh signifikan terhadap
64
Anggaran berbasis kinerja, digunakan pengujian hipotesis secara simultan dengan
uji F dan secara parsial dengan uji t.
1. Uji F
Uji simultan dengan uji F bertujuan untuk mengetahui apakah variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen. Dengan tingkat signifikansi dalam penelitian ini menggunakan alpha
5% atau 0,05 maka hasil uji F dapat dihitung dengan bantuan program SPSS pada
table ANOVA. Hasil uji F menunjukkan variabel independen secara bersama-
sama berpengaruh terhadap variabel dependen, jika p-value (pada kolom sig.)
lebih kecil dari level of significant yang ditentukan (sebesar 5%).
2. Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah model regresi variabel
independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
Dengan tingkat signifikansi dalam penelitian ini menggunakan alpha 5% atau 0,05
maka hasil uji t dapat dihitung dengan bantuan program SPSS dapat dilihat pada
table t hitung (table Coefficients). Nilai dari uji t hitung dapat dilihat dari p-value
(pada kolom Sig.) pada masing-masing variabel independen, jika p-value lebih
kecil dari level of significant yang ditentukan atau t hitung (pada kolom t) lebih
besar dari t table (dihitung dari two-tailed α = 5% df=n-k-1, k merupakan jumlah
variabel independen), maka nilai variabel independen secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen (dalam arti Ha diterima dan Ho ditolak,
dengan kata lain, terdapat pengaruh antara variabel independen terhadap variabel
dependen). Rumus yang digunakan untuk uji statistik thitung :
65
Dimana :
b = koefisien regresi
Sb = kesalahan baku koefisien regresi
3.7.3 Analisis Koefisien Determinasi (R)
Menurut Nugroho (2005) “koefisien determinasi bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar kemampuan variabel independen menjelaskan variabel
dependen”. Dengan bantuan olahan program SPSS koefisien determinasi terletak
pada table model Summary dan tertulis R Square. Namun menurut Nugroho
(2005) menyebutkan “untuk regresi linier berganda sebaiknya menggunakan R
square yang sudah disesuaikan atau tertulis Adjusted R Square karena disesuaikan
dengan jumlah variabel independen yang digunakan dalam penelitian. Nilai R
Square dikatakan baik jika di atas 0,5 karena nilai R Square berkisar antara 0
sampai dengan 1”.
66
DAFTAR RUJUKAN
Alimuddin. 2002. Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Daerah Kota Makassar. Tesis. Program Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Gajah Mada (tidak dipublikasikan).
Allen, NJ., Meyer PJ and Smith CA. 1990. Commitment to Organizations and Occupations: Extention and Test of a Three – Component Conceptualization. Jurnal of Applied Psychology. Vol. 78 No.4.
Bastian, Indra. 2004. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta. Penerbit Erlangga.
BPKP. 2000. Pengukuran Kinerja: Suatu Tinjauan Pada Instansi Pemerintah. Jakarta.
BPKP. 2005. Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi). Jakarta.
Cooper Donald R.C,. William Emory. 1995. Metode Penelitian Bisnis. Erlangga. Jakarta.
Erlina dan Mulyani, Sri. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. USU Press. Medan.
Hasibuan, Malayu. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Hersey, P dan K.H. Blanchard. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi: Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Edisi Keempat. Erlangga. Jakarta.
Indriantoro dan Supomo. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Edisi Pertama. BPFE Yogyakarta.
Kartiwa, H.A. 2004. Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Arah Kebijakan Umum. Makalah.
Kreitner dan Kinicki. 2005. Perilaku Organisasi. Salemba Empat. Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Erlangga. Jakarta.
Lubis, Ade Fatma, et.al. 2007. Aplikasi SPSS (Statistical Product and Service Solutions) untuk Penyusunan Skripsi dan Tesis. USU Press. Medan.
67
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit ANDI. Yokyakarta.
Mardiasmo. 2005. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Mia, L. (1998). Managerial Attitude, Motivation and Effectiveness of Budget Participation. Accounting Organazation and Society. Vol.13 No.5
Mohyi, A. 1996, Teori dan Perilaku Organisasi, UMM Press.
Morrison, Kimberly, 1997, “How Franchise Job Satisfaction and Personality Affects Performance, Organizational Commitment, Franchisor Relations, and Intention to Remain”, Journal of Small Business Management, Vol. 35, No. 3.
Munandar,M.. 2001. Budgeting: Perencanaan Kerja, Pengkoordinasian Kerja dan Pengawasan Kerja. BPFE. Yogyakarta.
Ndraha, T. 2005. Teori Budaya Organisasi. Rineka Cipta. Jakarta.
Nugroho, A.B. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistika dengan SPSS. Andi Offset. Yogyakarta.
Puspaningsih, A. 2002. Pengaruh Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Manajerial. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia.Volume 6 No.2. Desember 2002.
Rahayu, dkk. 2007. Studi Fenomenologis terhadap Prose Penyusunan Anggaran Daerah (Bukti Empiris dari Satu Satuan Kerja Perangkat Daerah di Propinsi Jambi). Simposium Nasional Akuntansi X. Universitas Hasanudin. Makasar.
Rinusu dan Sri Mastuti. 2003. Panduan Praktis Mengontrol APBD. Jakarta: Civic Education and Budget Transperency Advocation ( CiBa) & Friedrich Ebert Stiftung (FES).
Santoso, Singgih. 2000. SPSS Statistik Parametrik. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Sembiring, Benar Baik. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Berbasis Kinerja (Studi Empiris di Pemerintah Kabupaten Karo). Tesis. Program Studi Ilmu Akuntansi Universitas Sumatera Utara.
Sugiyanto. 2004. Analisis Statistika Sosial. Bayumedia Publishing. Malang Jawa Timur.
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. CV. Alfabeta. Bandung.
68
Thoha, M. 2001. Kepemimpinan dalam Manajemen. Suatu Pendekatan Perilaku. Rajawali Press. Jakarta.
Utari, Nuraeni. 2009. Studi Fenomenologis tentang Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja pada Pemerintah Kabupaten Temanggung. Semarang. Tesis Universitas Diponegoro. (Tidak Dipublikasikan)
Wahono, Romi Satria. 2001. Pengantar Manajemen Organisasi. LIPI, Saitama University.
Widiyantoro, A.E. 2009. Implementasi Performance Budgetting Sebuah Kajian Fenomenologis (Studi Kasus pada Universitas Diponegoro). Tesis tidak diterbitkan. Program Studi Magister Akuntansi PPS. Universitas Diponegoro. Semarang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, DEPKEU RI, Jakarta, 2003
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Kepmendagri No 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Jakarta.
69
KUESIONER
DAFTAR PERTANYAAN
IDENTITAS RESPONDEN
Nama Responden :
N I P :
Nama Instansi :
Jabatan/Eselon : Kepala Badan/Dinas/SKPD ( II / III )
Kepala Bidang Perencanaan /Anggaran ( III
/ IV )
Lama Menduduki jabatan terakhir : …………….. Tahun
Jenis Kelamin :
Pendidikan Formal Terakhir :
Nama Lembaga Pendidikan/ Instansi
Fakultas JurusanGelar Pendidikan( DIII, S1, S2, S3,
Lain-lain)
TTahun
Pendidikan/ Pelatihan/ Kursus/ Bintek tentang Anggaran/penyusunan anggaran :
Tidak Pernah
Jarang
Pernah
Sering
70
TATA CARA PENGISIAN
Kuisioner ini terdiri dari 6 dimensi pertanyaan, yang meliputi :
Analisis faktor yang mempengaruhi penyusunan anggaran berbasis kinerja berupa
gaya kepemimpinan, komitmen dari seluruh komponen organisasi,
penyempurnaan sistem administrasi, kualitas sumber daya manusia, motivasi dan
anggaran berbasis kinerja. .
Berikan jawaban Anda dengan jujur sesuai dengan pendapat dan
keadaan Anda yang sesungguhnya, dengan memberi tanda silang (X) pada
alternatif jawaban berikut ini :
STS = Sangat Tidak Setuju
TS = Tidak Setuju
R = Ragu-Ragu
S = Setuju
SS = Sangat Setuju
71
NO INDIKATOR SS S R TS STSI Gaya Kepemimpinan1 Pimpinan selalu berkonsultasi, menerima saran,
pendapat, usulan dan kritikan dari bawahan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja
2 Pimpinan berpatisipasi dan memberi bantuan kepada bawahan dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
3 Pimpinan selalu memberikan umpan balik dan keputusan yang tegas dalam melaksanakan penganggaran berbasis kinerja
4 Pimpinan memberikan semua pekerjaan dan tanggung jawab kepada bawahan dalam kegiatan penganggaran berbasis kinerja
5 Pimpinan tidak melakukan pengawasan terhadap proses penganggaran berbasis kinerja
6 Pimpinan selalu memperhatikan dan memberikan bimbingan, penjelasan, motivasi serta arahan dalam melaksanakan anggaran berbasis kinerja
7 Dalam penganggaran berbasis kinerja, pimpinan terlalu bergantung pada kekuasaan formalnya
8 Pimpinan tidak memberikan prioritas tugas yang akan dilaksanakan dalam penganggaran berbasis kinerja
9 Dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, pimpinan selalu mengarahkan pekerjaan harus selesai tepat waktu
II Komitmen dari seluruh komponen organisasi1 Pimpinan dan seluruh komponen SKPD, telah
mampu menjabarkan tugas pokok dan fungsi instansinya
2 Satuan kerja perangkat daerah telah memiliki dokumen perencanaan stratejik (renstra) instansinya yang lebih operasional
3 Penyusunan program dan kegiatan selama ini belum mengakomodir tugas pokok dan fungsi SKPD
4 Pimpinan dan seluruh komponen organisasi telah melibatkan seluruh bawahannya untuk mejabarkan tugas pokok dan fungsi instansinya.
5 Dalam penyusunan anggaran program dan kegiatan, pimpinan dan seluruh komponen SKPD telah memahami anggaran berbasis kinerja sebagai acuan.
72
6 Pimpinan dan seluruh komponen SKPD telah mengimplementasikan secara konsekuen siklus manajemen (perencanaan, penganggaran, pengendalian/monitoring dan evaluasi)
7 Selama ini pimpinan SKPD telah melibatkan semua bawahannya untuk berpartisipasi menyusun dalam anggaran instansinya.
8 Pada umumnya pimpinan SKPD telah memberi kesempatan kepada bawahannya untuk memberikan informasi yang dimilikinya sehingga pimpinan dapat memilih keputusan yang terbaik untuk mencapai tujuan instansinya.
9 Dalam penyusunan anggaran, komponen organisasi pada SKPD telah berdasarkan program/kegiatan tahunan, namun belum melakukan evaluasi pencapaian organisasi sehingga hampir tidak ada hal yang baru setiap penyusunan anggaran
10 Belum ada komitmen tertulis antara pimpinan SKPD dengan seluruh komponen pada SKPDnya untuk mencapai tujuan organisasi (visi, misi, tujuan dan sasaran sesuai dengan tugas pokok dan fungsi)
11 Pimpinan dan seluruh komponen SKPD belum memiliki sistem target kinerja yang akan dicapai sesuai visi, misi dan tujuan SKPDnya
III Penyempurnaan Sistem Administrasi1 Dokumen perencanaan daerah (Renstra/Renja
SKPD) pada umumnya berada pada pimpinan SKPD dan beberapa staf penyusun anggaran kegiatan
2 Dokumen perencanaan daerah (Renstra/Renja SKPD) tersebut telah dilengkapi dengan ukuran pencapaian kinerja program dan kegiatan
3 Instrumen pengukuran kinerja seperti analisis standar belanja, standar pelayanan minimal dan standar harga/satuan harga belum dimiliki semua SKPD
4 Standar analisis belanja dan standar harga yang spesifik pada masing-masing SKPD sudah dimutakhirkan/revisi setiap tahun
5 Pelaporan dan pertanggungjawaban kinerja SKPD belum menggambarkan pengukuran secara kuantitatif dan telah dikaitkan dengan analisis standar belanja, standar pelayanan minimal dan standar harga
6 Agar pencapaian kinerja SKPD bermanfaat,
73
pengukuran kinerja yang kuantitatif dan terukur secara berkala disempurnakan
IV Kualitas Sumber Daya Manusia1 Personil/sumber daya manusia pada SKPD
sebaiknya setiap ada kesempatan diikutsertakan dalam pembelajaran/ pelatihan tentang penyusunan anggaran berbasis kinerja
2 Guna meningkatkan kualitas kinerja SKPD, personil yang menangani penyusunan anggaran diberi kesempatan prioritas untuk mendalami anggaran berbasis kinerja.
3 Personil penyusun anggaran berbasis kinerja pada SKPD belum memiliki etos kerja tinggi
4 Jumlah personil pada SKPD belum memadai untuk melaksanakan kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
5 Personil pada SKPD memiliki keinginan dan kegairahan untuk berprestasi tinggi dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
6 Personil pada SKPD belum memiliki intelejensi, kreatifitas dan imajinasi yang tinggi dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
7 Nilai yang dianut, persepsi, sikap, personality penyusun anggaran sangat mempengaruhi kesuksesan dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
V Motivasi1 Saya tidak memperoleh jumlah insentif yang
sesuai dengan kinerja saya dalam pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja
2 Saya memperoleh tingkat kehidupan yang sesuai dengan kinerja saya dalam pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja
3 Saya mendapat kesempatan mengembangkan keahlian dan kemampuan saya dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
4 Saya diberi kesempatan untuk mempelajari hal yang baru dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja
5 Saya merasa telah mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
6 Saya belum memperoleh kebebasan yang lebih dalam melaksanakan kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
7 Saya merasa dihormati/mendapat pengakuan dari rekan-rekan kerja terkait dengan kinerja
74
saya dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
8 Saya memperoleh penghargaan dari pimpinan terkait dengan kinerja saya dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
9 Kondisi lingkungan tempat saya bekerja belum mendukung prestasi saya dalam kegiatan penyusunan anggaran berbasis kinerja
VI Anggaran Berbasis Kinerja1 Penyusunan Anggaran SKPD berbasis kinerja
agar mengacu pada visi, misi, tujuan, sasaran, program dan kegiatan serta tupoksinya
2 Penyusunan Anggaran SKPD berbasis kinerja dimulai dari Renstra dan Renja serta mengembangkan standar analisis belanja, standar pelayanan minimal dan standar harga yang spesifik pada SKPDnya
3 Penyusunan Anggaran SKPD berbasis kinerja menjadi perpaduan perencanaan kinerja yang mengaitkan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan
4 Seluruh komponen organisasi dalam SKPD membuat suatu komitmen untuk mengembangkan penganggaran berbasis kinerja pada SKPDnya
5 Pengembangan penganggaran berbasis kinerja dimaksud yaitu menyempurnakan standar analisis belanja, instrumen kinerja lainnya dan standar biaya yang spesifik secara berkalaa, agar kinerja penganggaran berbasis kinerja semakin baik
6 Pengembangan penganggaran berbasis kinerja yang semakin baik, termasuk adanya pemahaman yang sama bagi seluruh komponen organisasi tentang penganggaran berbasis kinerja
7 Pengambangan penganggaran berbasis kinerja yang semakin baik, termasuk peningkatan kemampuan dan kompetensi seluruh komponen organisasi dalam memahami penganggaran berbasis kinerja
75