Proposal Fix Awal

44
1 STUDI PERENCANAAN JEMBATAN SETAIL KEC. GENTENG, KAB. BANYUWANGI MENGGUNAKAN RANGKA BAJA SEBAGAI STRUKTUR UTAMA SKRIPSI Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Teknik Sipil (S1) dan mencapai gelar Sarjana Teknik Oleh : Eka Hidayat Dariyanto NIM 121910301036 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS JEMBER 2016

description

Contoh proposal skripsi jembatna jalan raya umum

Transcript of Proposal Fix Awal

1

STUDI PERENCANAAN JEMBATAN SETAIL KEC. GENTENG,

KAB. BANYUWANGI MENGGUNAKAN RANGKA BAJA

SEBAGAI STRUKTUR UTAMA

SKRIPSI

Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat

untuk menyelesaikan Program Studi Teknik Sipil (S1)

dan mencapai gelar Sarjana Teknik

Oleh :

Eka Hidayat Dariyanto

NIM 121910301036

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS JEMBER

2016

2

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Nasution (2012:1) menyatakan bahwa jembatan secara umum memeliki

pengertian yaitu suatu konstruksi yang berfungsi untuk menghubungkan dua

bagian jalan yang terputus oleh adanya rintangan-rintangan seperti lembah yang

dalam, alur sungai, danau, saluran irigasi, kali, jalan kereta api, jalan raya yang

melintang tidak sebidang dan lain-lain.

Jembatan dapat dianggap baik dan kokoh bila jembatan tersebut tidak ambruk

atau roboh ketika terdapat kendaraan yang melintas di atasnya. Tapi perlu diingat,

bahwa setiap bentuk konstruksi juga memiliki umur rencana tidak terkecuali

jembatan. Saat umur jembatan tersebut telah melampaui batas umur rencana atau

saat kondisi jembatan sudah tidak layak pakai maka, diperlukan perencanaan

jembatan yang baru guna memenuhi tingkat pelayanan transportasi yang sesuai

dengan standar yang berlaku.

Jembatan Setail yang terdapat di Desa Jalen, Kecamatan Genteng, Kabupaten

Banyuwangi ini menghubungkan antara Desa Jalen di sebelah Barat jembatan

dengan Desa Ciningsari di sebelah timur jembatan. Jembatan dengan gelagar

beton yang terdiri dari tiga segmen tersebut membentang sejauh ± 62,5 meter di

atas Sungai Setail dan ditopang dengan pilar-pilar komposit di bagian bawahnya.

Adapun lingkungan sekeliling jembatan yang dimaksud merupakan lahan

pertanian (sawah/ tegalan), kawasan pendidikan dan sebagian kecil daerah

perniagaan.

Kondisi Jembatan Setail saat ini mengalami beberapa kerusakan. Di antara

kerusakan tersebut yaitu, kropos pada abutment bagian timur, hilangnya beberapa

bagian handling pada struktur atas serta ikatan antara pelat lantai kendaraan

dengan pilar-pilar di bawahnya yang tidak sepenuhnya menyatu. Sehingga, baik

struktur atas maupun struktur bawah jembatan sudah mengalami kerusakan yang

dapat mengganggu nilai fungsional jembatan itu sendiri. Selain itu, seiring dengan

kemajuan zaman tidak menutup kemungkinan di tahun-tahun pertumbuhan

1

3

penduduk sekitar akan jauh lebih cepat berkembang sehingga tingkat sarana

transportasinya pun harus turut meningkat.

Oleh sebab itu, studi perencanaan Jembatan Setail ini dirasa perlu dilakukan

agar faktor keamanan dan kenyamanan pengguna dalam jangka waktu yang lama

dapat terpenuhi.

1.2 Rumusan Masalah.

Adapun perumusan masalah yang didapat dari latar belakang yang telah

diuraikan sebelumnya adalah "Bagaimana merencanakan Jembatan Setail yang

awalnya dibangun dengan struktur beton menjadi struktur rangka baja yang aman

sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku?."

1.3 Tujuan.

Berdasar pada rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini

yaitu, untuk merencanakan Jembatan Setail yang awalnya dibangun dengan

struktur beton menjadi struktur rangka baja yang aman sesuai Standar Nasional

Indonesia (SNI) yang berlaku.

1.4 Manfaat.

Adapun manfaat yang akan diperoleh dari perencanaan jembatan rangka baja

ini, yaitu :

1) Meningkatkan pelayanan serta faktor keamanan dan kenyamanan

pengguna jalan pada jembatan dan penduduk sekitar;

2) Dapat membantu perorangan atau instansi terkait dalam perencanaan

jembatan rangka baja;

3) Sebagai usaha untuk merealisasikan setiap ilmu yang berkaitan dengan

teori yang diperoleh selama masa-masa perkuliahan.

1.5 Batasan Masalah.

Beberapa batasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

4

1) Perencanaan jembatan meliputi perencanaan bangunan atas (super

structures) beserta abutment hingga gambar desain tidak termasuk

desain, ukuran, dan jumlah pondasi.

2) Jembatan yang direncanakan merupakan jembatan rangka baja dengan

bentang ± 62,50 meter, lebar jalur perkerasan ± 8,00 meter (2 lajur x 4,00

meter), lebar trotoar kanan dan kiri ± 1,00 meter (2 x 1,00 meter).

3) Sifat mekanis untuk baja struktural dalam studi perencanaan ini

menggunakan jenis baja BJ 41 (fu = 410 Mpa; fy = 250 Mpa; Regangan

minimum = 18%), sedangkan untuk kuat tekan beton rencana

menggunakan K350 (f'c = 35 Mpa).

5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Umumnya jembatan merupakan suatu sarana transportasi yang berfungsi

untuk menunjang arus lalu lintas dengan baik. Proses perencanaan jembatan pun

sebaiknya turut mempertimbangkan data-data primer dan sekunder maupun

berbagai aspek yang diperlukan seperti; (1) Aspek lalu lintas, (2) Aspek teknis, (3)

Aspek estetika. (Supriyadi dan Muntohar, 2007:24).

Salah satu tipe bentuk jembatan adalah jembatan rangka baja. Menurut

(Nasution, 2012:11) jembatan rangka baja (truss bridge) merupakan struktur

jembatan yang terdiri dari rangkaian profil batang-batang baja dan dihubungkan

satu sama lain dengan pelat buhul, pengikat paku keling, baut atau las. Selain itu,

jenis jembatan ini hanya memikul gaya dalam aksial (normal) tekan atau tarik,

berbeda dengan jembatan gelagar lainnya yang memikul gaya-gaya momen lentur

dan gaya lintang.

2.1.1 Jembatan Rangka (Truss Bridge)

Menurut Satyarno (dalam Setiawan et al, 2015) jembatan rangka dibuat dari

struktur rangka yang biasanya terbuat dari bahan baja dan dibuat dengan

menyambung beberapa batang dengan las atau baut yang membentuk pola-pola

segitiga. Jembatan rangka biasanya digunakan untuk bentang 20 meter sampai

dengan 375 meter. Ada banyak tipe jembatan rangka yang dapat digunakan

diantaranya sebagai berikut, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 :

(a) Baltimore (Pratt) Truss

(b) Pennsylvania (Pratt) Truss

4

6

Gambar 2.1 Tipe-tipe Jembatan Rangka

(Sumber : Satyarno, 2003)

2.1.2 Material Baja.

Menurut Nasution (2012:4) perencanaan struktur menggunakan material

rangka baja memiliki berbagai keuntungan dalam pembangunan jembatan bila

dibandingkan dengan material beton dan kayu, antara lain :

1) Baja mempunyai kekuatan dan keliatan yang tinggi;

2) Ada jenis baja yang tahan terhadap cuaca, bahkan tidak perlu dicat;

3) Dari segi kekuatannya, bahan baja lebih murah dari beton ataupun kayu,

sebab dengan kekuatannya memerlukan volume bahan lebih sedikit;

4) Rendahnya biaya pemasangan;

5) Jadwal konstruksi yang lebih cepat;

6) Tingkat keselamatan kerja tinggi;

7) Mudah dalam pemasangan;

(c) Warren Truss (d) Subdivided Warren Truss

(e) Howe Truss (f) Wichert Truss

(g) Cantilever Through Truss (h) Cantilever Through Truss

7

8) Elemen struktur dapat dibuat di pabrik, dan dapat dilakukan secara

besar-besaran;

9) Dapat dilakukan bongkar pasang dengan cepat, tanpa ada bahan

terbuang;

10) Membutuhkan ruang kerja yang lebih sempit;

11) Dapat mengikuti bentuk-bentuk arsitektur;

12) Ramah lingkungan, dapat menggantikan posisi kayu sebagai bahan

konstruksi.

Selain berbagai kelebihan yang telah disebutkan di atas, menurut Setiawan

(2008:2) material baja juga memiliki beberapa kekurangan, terlebih dari segi

pemeliharaan. Bagi konstruksi baja yang berhubungan langsung dengan air

maupun udara harus dicat secara periodik. Selain itu, perlindungan dari bahaya

kebakaran pun perlu ditanggapi secara serius, sebab temperatur yang cukup tinggi

akan menyebabkan penurunan kekuatan material baja secara drastis. Di samping

itu, material baja juga merupakan konduktor panas yang baik sehingga dapat

menyebabkan nyala api dalam suatu bangunan menyebar lebih cepat. Kelemahan

lain dari stuktur baja adalah masalah tekuk yang merupakan fungsi dari

kelangsingan penampang.

Setiawan (2008:17) menjelaskan lebih lanjut mengenai sifai-sifat mekanik

dari baja yang biasa digunakan dalam struktur dan mengklasifikasikannya sebagai

berikut :

a. Baja karbon.

Baja karbon terbagi menjadi tiga kategori yang didasarkan pada

presentase kandungan karbonnya, yaitu; (1) Baja karbon rendah (C =

0,03-0,35%); (2) Baja karbon medium (C = 0,35-0,50%), dan; (1) Baja

karbon tinggi (C = 0,55-1,70%).

b. Baja paduan rendah mutu tinggi.

Baja paduan rendah mutu tinggi (high-strength low-alloy steel/

HSLA) memiliki tegangan leleh yang berkisar antara 290-550 MPa

dengan tegangan putus (fu) antara 415-700 MPa.

8

c. Baja paduan.

Baja paduan rendah (low alloy) dapat ditempa dan dipanaskan untuk

memperoleh tegangan leleh antara 550-760 MPa.

2.2 Tinjauan Umum

Saat ini di Indonesia, perencanaan jembatan jalan raya menggunakan

peraturan baru yaitu BMS (Bridge Management System) 1992 yang merupakan

hasil kerjasama antara DPU-RI dengan Australian International Development

Assistance Bureau yang mempunyai konsep desain kekuatan batas (Load

Resistance and Factor Design).

Beberapa literatur yang dipakai untuk menunjang perencanaan jembatan

rangka baja ini nantinya adalah sebagai berikut :

1. BMS (Bridge Management System) 1992;

2. SNI 03-1729-2002 Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan

Gedung;

3. RSNI T-02-2005 Standar Pembebanan untuk Jembatan;

4. RSNI T-03-2005 Perencanaan Struktur Baja untuk Jembatan.

Jembatan rangka baja dalam studi perencanaan ini menggunakan tipe Warren

Truss Bridge dengan panjang bentang jembatan (L) sepanjang ± 62,50 m dan

bentang rencana tiap gelagar memanjangnya (l) sepanjang ± 5,00 m. Adapun lebar

jalur (b) rencana sepanjang 8,00 m yang mana terdiri dari dua lajur tanpa median

(2/2 UD), sedangkan lebar trotoar (b1) rencana yaitu selebar 1,00 m di setiap sisi

kanan dan kiri jembatan. Selain itu, tinggi zona bebas (H1) rencana yaitu, ± 6,50

m beserta tinggi jagaan (H2) yang berdasar pada High Water Level (HWL)

setinggi 5,00 m beserta tinggi abutment (h) rencana ± 9,50 m. Gambar berikut

(lihat Gambar 2.2) menunjukkan rencana awal studi perencanaan jembatan rangka

baja ini.

9

Gambar 2.2 Rencana Awal Studi Perencanaan Jembatan Rangka Baja

(Sumber : Koleksi Pribadi)

(a) Potongan memanjang jembatan

(b) Potongan meintang jembatan

(c) Denah awal jembatan

10

2.2.1 Pembebanan Struktur dengan BMS

Konsep desain struktur baru ini pertama kali diperkenalkan di Amerika

pada tahun 1986 dengan terbitnya AISC-LRFD. Di Indonesia khususnya untuk

desain jembatan, konsep tersebut mulai dipakai tahun 1992 dengan ditandainya

kerja sama antara Dinas Pekerjaan Umum dengan Australian International

Development Assistance Bureau dengan keluarnya Peraturan Perencanaan

Teknik Jembatan atau lebih dikenal dengan nama Bridge Management System

(BMS 1992).

Menurut para ahli, konsep ini lebih rasional karena antara lain

menggunakan angka keamanan (faktor beban) yang berbeda untuk setiap macam

beban, dan kekuatan penampang (faktor resistensi/ reduksi) yang berbeda untuk

setiap kondisi pembebanan. Konsep ini merupakan teori kekuatan batas (Limit

State Design) yakni perencanaan pada pembebanan sesaat sebelum terjadi

keruntuhan dengan batasan mencapai tegangan leleh (σy), sedangkan untuk

analisa strukturnya dapat dipakai analisa elastis (jika penampang profil baja

tidak kompak) dan analisa plastis (jika penampang profil baja kompak).

2.2.2 Pembebanan Struktur

Berdasarkan peraturan RSNI T-02-2005 (2005:3), diperkirakan terdapat dua

kategori aksi berdasarkan jangka waktu beban bekerja bila dibandingkan dengan

umur rencana jembatan :

a. Aksi tetap.

Merupakan aksi yang bekerja sepanjang waktu dan bersumber pada sifat

bahan, cara jembatan dibangun, dan bangunan lain yang mungkin

menempel pada jembatan.

b. Aksi transien.

Merupakan aksi yang bekerja dengan jangka waktu yang pendek,

walaupun mungkin seringkali terjadi.

Setelah itu, dalam RSNI T-02-2005 (2005:5) dijelaskan lebih lanjut

mengenai macam-macam beban yang kemudian dibedakan mejadi :

11

1. Beban tetap;

2. Beban lalu lintas;

3. Beban lingkungan.

2.2.2.1 Beban Tetap.

1. Berat Sendiri

Berat sendiri dari bagian bangunan adalah berat dari bagian

tersebut dan elemen-elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk

dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan

elemen struktural, ditambah dengan elemen non-struktural yang

dianggap tetap. Berikut tabel berat isi untuk beban mati :

Tabel 2.1 Berat Isi untuk Beban Mati (kN/m3)

No. Bahan Berat/ Satuan isi

(kN/m3)

Kerapatan Masa

(kg/m3)

1 Lap. permukaan

beraspal 22,0 2.240

2 Timbunan tanah

dipadatkan 17,2 1.760

3 Aspal beton 22,0 2.240

4 Beton 22,0 - 25,0 2.240 - 2.560

5 Beton prategang 25,0 - 26,0 2.560 - 2.640

6 Beton bertulang 23,5 - 25,5 2.400 - 2.600

7 Baja 77,0 7.850

8 Kayu (keras) 11,0 1.120

9 Air murni 9,8 1.000

12

10 Besi tempa 75,5 7.680

Sumber : RSNI T-02-2005 (Standar Pembebanan untuk Jembatan)

2. Beban Mati Tambahan/ Utilitas.

Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang

membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non-

struktural dan mungkin besarnya berubah selama umur rencana. Beban

mati tambahan diantaranya :

a. Perawatan permukaan khusus

b. Pelapisan ulang dianggap sebesar 50 mm aspal beton (hanya

digunakan dalam kasus menyimpang dan dianggap nominal 22

kN/m3);

c. Sandaran, pagar pegangan, dan penghalang beton;

d. Tanda-tanda;

e. Perlengkapan umum, seperti pipa air dan penyaluran (dianggap

kosong atau penuh).

3. Pengaruh Penyusutan dan Rangkak.

Susut dan rangkak menyebabkan momen, geser, dan reaksi ke

dalam komponen tertahan. Penyebab gaya-gaya tersebut umumnya

diperkecil dengan retakan beton dan baja leleh. Pengaruh ini dihitung

dengan menggunakan beban mati dari jembatan. Apabila rangkak dan

penyusutan bisa mengurangi pengaruh muatan lainnya, maka harga dari

rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil minimum (misalnya

pada waktu transfer dari beton prategang).

4. Pengaruh Prategang.

Prategang akan menyebabkan pengaruh sekunder pada

komponen-komponen yang terkekang pada bangunan statis tidak tentu.

Pengaruh sekunder tersebut harus diperhitungkan baik pada batas daya

layan ataupun batas ultimate. Prategang harus diperhitungkan sebelum

13

(selama pelaksanaan) dan sesudah kehilangan tegangan dalam

kombinasinya dengan beban-beban lainnya.

5. Tekanan Tanah

Tekanan tanah horizontal akibat beban lalu lintas vertikal

dianggap setara dengan beban tanah setebal 0,6 m yang bekerja secara

merata pada bagian tanah yang dilewati oleh beban lalu lintas tersebut.

Berat tanah vertikal dapat diambil dari tabel berikut :

Tabel 2.2 Berat Tanah Vertikal

Tanah Berat Tanah Nominal (kN/m3)

Tanah dipadatkan

17,2 - Timbunan tanah dipadatkan

Tanah tidak kohesif

- Kerikil lepas 16-19

- Kerikil kepasiran 18-20

- Kerikil kelempungan 21-22

- Pasir kasar 17-20

- Pasir kelanauan 15-17

Tanah kohesif

- Lempung plastik 16-19

- Lempung lembek 17-20

- Lempung teguh 18-21

- Lempung kenyal 21-22

- Lempung organik 14-17

- Gambut 10,5-14

2.2.2.2 Beban Lalu Lintas

1. Lajur lalu Lintas Rencana.

Lajur lalu lintas Rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Lajur

lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan sumbu memanjang

14

jembatan. Jumlah maksimum lajur lalu lintas yang digunakan untuk

berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam Tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana

Tipe Jembatan Lebar Jalur Kendaraan (m) Jumlah Lajur Lalu

Lintas Rencana (n1)

Satu lajur 4,00 - 5,00 1

Dua arah, tanpa

median

5,50 - 8,25

11,30 - 15,00

2

4

Banyak arah

8,25 - 11,25

11,30 - 15,00

15,10 - 18,75

18,80 - 22,50

3

4

5

6

Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus

ditentukan oleh instansi yang berwenang. Lebar jalur kendaraan adalah

jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak

antara kerb/ rintangan/ median dengan median untuk banyak arah.

Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur kendaraan adalah 6.0 m.

Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena

hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah

memungkinkan untuk menyiap.

Sumber : RSNI T-02-2005 (Standar Pembebanan untuk Jembatan)

2. Beban Lajur "D".

Beban lalu lintas untuk rencana jembatan jalan raya terdiri dari

pembebanan lajur “D” dan pembebanan truk “T”. Pembebanan lajur

“D” ditempatkan melintang pada lebar penuh dari jalur lalu lintas pada

jembatan dan menghasilkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen

dengan rangkaian kendaraan sebenarnya. Jumlah total pembebanan

lajur “D” yang ditempatkan tergantung pada lebar jalur pada jembatan.

15

Beban lajur "D" terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang

digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam Gambar 2.2

berikut :

Gambar 2.3 Beban lajur "D"

Sumber : RSNI T-02-2005 (Standar Pembebanan untuk Jembatan) a) Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, di mana

besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani.

Adapun besar beban tersebut adalah sebagai berikut :

L ≤ 30 m q = 9,0 kPa............................................ 2.1

L ≥ 30 m q = 9,0 ( 0,5 + 1 5 / L ) kPa.................. 2.2

di mana :

q = intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah

memanjang jembatan.

L = panjang total jembatan yang dibebani.

b) Beban garis (BGT) dengan intensitas p kN/m harus

ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada

jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m.

a) intensitas beban lajur "D" untuk "b ≤ 5,5 meter"

b

100 %

16

b) intensitas beban lajur "D" untuk "b > 5,5 meter"

c) penempatan alternatif intensitas beban lajur "D" untuk "b > 5,5

meter"

Gambar 2.4 Penyebaran pembebanan pada arah melintang

Sumber : RSNI T-02-2005 (Standar Pembebanan untuk Jembatan)

3. Pembebanan Truk "T".

Pembebanan truk “T” adalah kendaraan berat tunggal

(semitriller) dengan tiga gandar yang ditempatkan dalam kedudukan

jembatan pada lajur lalu lintas rencana. Tiap gandar terdiri dari dua

pembebanan bidang kontak yang dimaksud agar mewakili pengaruh

roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” yang boleh ditempatkan

per-spasi lajur lalu lintas rencana.

Bila dibandingkan, umunya pembebanan “D” akan menentukan

untuk bentang sedang sampai panjang dan pembebanan “T” akan

menentukan untuk beban pendek dan sistem lantai. Pembebanan truk

"T" mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat dalam Gambar 2.4

berikut :

b

100 %

17

Gambar 2.5 Pembebanan truk "T" (500 kN)

Sumber : RSNI T-02-2005 (Standar Pembebanan untuk Jembatan)

Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata

sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan

permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0

m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah

memanjang jembatan. Hanya satu truk yang harus ditempatkan dalam

tiap lajur lalu lintas rencana untuk panjang penuh dari. Beban truk “T”

harus ditempatkan ditengah lajur lalu lintas. Lajur-lajur ini

ditempatkan dimana saja antara kerb.

4. Faktor Beban Dinamis (FBD).

Untuk pembebanan lajur "D", faktor beban dinamis (FBD)

merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan

jembatan. Untuk perencanaan, FBD dinyatakan sebagai beban statis

ekuivalen. Untuk bentang menerus panjang bentang ekuivalen LE

diberikan dengan rumus :

LE = √𝐿𝑎𝑣 𝐿𝑚𝑎𝑥 ............................................................ 2.3.

di mana :

LE = panjang bentang ekuivalen

Lav Lmax

18

Lav = panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang

disambungkan secara menerus.

Lmax = panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang

yang disambung secara menerus.

Untuk pembebanan truk "T", faktor beban dinamis (FBD) diambil

30%. Untuk bagian bangunan bawah dan fondasi yang berada dibawah

garis permukaan, harga FBD harus diambil sebagai peralihan linier dari

harga pada garis permukaan tanah sampai nol pada kedalaman 2 m.

5. Gaya Rem.

Pengaruh gaya rem dan traksi yang ditinjau untuk kedua lajur lalu

lintas harus diperhitungkan sebesar 5% dari beban lajur "D" (rumus

2.1.) yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas tanpa dikalikan

dengan faktor beban dinamis dan dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut

dianggap bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik

tangkap setinggi 1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan.

6. Pembebanan untuk Pejalan Kaki.

Intensitas beban pejalan kaki untuk jembatan jalan raya

tergantung pada luas beban yang dipikul oleh unsur yang direncanakan.

Bagaimanapun elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang

langsung memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk beban

nominal 5 kPa. Bila memungkinkan untuk dilewati kendaraan ringan

atau ternak tidak maka, trotoar juga harus direncanakan agar dapat

menahan beban terpusat 20 kN.

7. Beban Tumbukan pada Penyangga Jembatan.

Penyangga jembatan dalam daerah lalu lintas harus direncanakan

agar menahan tumbukan sesaat atau dilengkapi dengan penghalang

pengaman yang khusus direncanakan sebagai berikut :

a) Tumbukan kendaraan diambil sebagai beban statis sebesar 100

kN pada 10o terhadap garis pusat jalan pada tinggi 1,8 m di

atas permukaan jalan;

19

b) Pengaruh tumbukan kereta api dan kapal ditentukan oleh yang

berwenang dengan relevan.

2.2.2.3 Beban Lingkungan.

Pada perencanaan bangunan atas dari suatu jembatan, beban lingkungan

yang berpengaruh dalam perhitungan nantinya yaitu, beban angin dan beban

gempa. Menurut RSNI T-02-2005 (2005:33) pasal 7.6. gaya angin pada

bangunan atas tergantung pada luas ekuivalen diambil sebagai luas padat

jembatan dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan

rangka luas ekuivalen ini diambil 30% luas yang dibatasi oleh unsur rangka

terluar.

Gaya nominal ultimate dan daya layan jembatan akibat angin tergantung

kecepatan angin rencana seperti berikut :

TEW = 0,0006 CW (VW)2 Ab [ kN ]............................................ 2.4.

Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas.

Apabila suatu kendaraan sedang berada di atas jembatan, beban garis merata

tambahan arah horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti

diberikan dengan rumus berikut :

TEW = 0,0012 CW (VW)2 Ab [ kN ]............................................ 2.5.

di mana :

TEW = gaya nominal ultimate jembatan akibat angin.

VW = kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang

ditinjau.

CW = koefisien seret; untuk bangunan atas rangka nilai, CW = 1,20.

Ab = Luas koefisien bagian samping jembatan (m2).

Tabel 2.4 Koefisien Seret CW.

Tipe Jembatan CW

Bangunan atas masif; (1), (2)

b/d = 1,0

2,10 (3)

20

b/d = 2,0

b/d ≥ 6,0

1,50 (3)

1,25 (3)

Bangunan atas rangka 1,20

di mana :

b = lebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar sandaran.

d = tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran yang

masif.

Untuk harga antara dari b/d bisa diinterpolasi linier. Apabila bangunan atas

mempunyai superelevasi, CW harus dinaikkan sebesar 3 % untuk setiap derajat

superelevasi, dengan kenaikkan maksimum 2,5 %.

Sumber : RSNI T-02-2005 (Standar Pembebanan untuk Jembatan)

Tabel 2.5 Kecepatan Angin Rencana VW.

Keadaan Batas Lokasi

≤ 5 km dari pantai > 5 km dari pantai

Daya layan 30 m/s 25 m/s

Ultimate 35 m/s 30 m/s

Sumber : RSNI T-02-2005 (Standar Pembebanan untuk Jembatan)

Adapun menurut RSNI T-03-2005 (2005:122) pasal 14.1.2. beban gempa

rencana lateral harus ditinjau dalam dua arah horisontal utama dengan kombinasi

linier sebesar 30% unuk arah memendek konstruksi dan 100% untuk arah

memendek konstruksi.

2.2.3 Faktor Pembebanan Jembatan.

Menurut RSNI T-02-2005 pasal 4.2, faktor beban aksi rencana dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.6 Faktor Beban untuk Keadaan Batas Ultimate.

Jenis Faktor Beban

Keadaan Batas Ultimate

21

Keterangan Faktor Beban

Berat sendiri Baja

Beton cor ditempat

1,10

1,30

Beban mati tambahan Keadaan umum

Keadaan khusus

2,00

1,40

Pengaruh penyusutan

dan rangkak - 1,00

Pengaruh prategang - 1,00 (1,15 pada prapenegangan)

Tekanan tanah

Vertikal 1,25

Lateral;

- aktif

- pasif

1,25

1,40

Beban lajur "D” - 1,80

Beban Truk “T” - 1,80

Gaya rem - 1,80

Beban pejalan kaki - 1,80

Beban angin - 1,20

Sumber : RSNI T-02-2005 (Standar Pembebanan untuk Jembatan)

2.2.4 Faktor Reduksi Penampang Baja.

Menurut RSNI T-03-2005 (2005:9) pasal 4.5, faktor reduksi kekuatan untuk

penampang baja dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.7 Faktor Reduksi Kekuatan untuk Keadaan Batas Ultimate.

Situasi Rencana Faktor Reduksi Kekuatan, ϕ

a. Lentur 0,90

b. Geser 0,90

c. Aksial tekan 0,85

22

d. Aksial tarik;

1. terhadap kuat tarik leleh. 0,90

2. terhadap kuat tarik fraktur. 0,75

e. Penghubung geser 0,75

f. Sambungan baut 0,75

g. Hubungan las;

1. Las tumpul penetrasi penuh 0,90

2. Las sudut dan las tumpul penetrasi

sebagian

0,75

Sumber : RSNI T-03-2005 (Perencanaan Struktur Baja untuk Jembatan)

2.2.5 Komponen Struktur Lentur.

2.2.5.1 Kelangsingan Penampang.

Kelangsingan penampang adalah ukuran dari kecenderungan untuk

menekuk pada lentur atau beban aksial atau kombinasi keduanya. Kelangsingan

penampang ini sangat mempengaruhi kecenderungan tekuk suatu unsur. Dengan

kelangsingan besar, suatu unsur akan lebih mudah menekuk dibanding dengan

kelangsingan kecil. Menurut RSNI T-03-2005 (2005:31) pasal 7.2. kelangsingan

penampang dapat dirumuskan melalui beberapa paduan rumus seperti di bawah

ini :

1) Penampang kompak.

Penampang baja yang digunakan dapat dikatakan kompak bila

memenuhi persamaan;

λ ≤ λp............................................................................................ 2.6.

Sehingga nilai Momen nominal, (Mn) = Mp.................................... 2.7.

2) Penampang tidak kompak.

23

Penampang baja yang digunakan dapat dikatakan tidak kompak bila

memenuhi persamaan;

λ ≤ λp ≤ λr .................................................................................. 2.8.

Sehingga nilai Momen nominal, (Mn) = Mp - (Mp - Mr) λ − λp

λr − λp ..... 2.9.

3) Penampang langsing.

Penampang baja yang digunakan dapat dikatakan langsing bila

memenuhi persamaan;

λ > λr ............................................................................................ 2.10.

Sehingga nilai Momen nominal, (Mn) = Mr (λr/ λ)2........................ 2.11.

di mana :

Λ = Parameter kelangsingan.

λp = Batas maksimum parameter kelangsingan untuk penampang

kompak.

λr = Batas maksimum parameter kelangsingan untuk penampang

tidak kompak.

Mn = Momen nominal penampang.

Mp = Momen lentur plastis penampang.

Mr atau Mcr = Momen batas tekuk.

Secara garis besar, kekuatan unsur terhadap momen lentur ultimate

rencana (Mu) tergantung pada tekuk pada penampang elemen unsur, sehingga

ditentukan Mu ≤ Ø Mn. Jika elemen berpenampang kompak (λ ≤ λp) maka,

besarnya momen nominal adalah sama dengan momen plastis (Mn = Mp). Momen

plastis sendiri dapat dirumuskan sebagai berikut :

Mp = Z . fy ......................................................................................... 2.12.

sedangkan, Z = f . S .......................................................................... 2.13.

di mana :

24

Z = Modulus elastis penampang

f = Faktor bentuk penampang (penampang I, f = 1,12)

S = Modulus elastisitas penampang

fy = Tegangan leleh minimum (Mpa)

2.2.5.2 Pelat Badan dengan Pengaku Vertikal.

Menurut RSNI T-03-2005 pasal 7.7. ketebalan pelat badan dengan

pengaku vertikal tetapi tanpa pengaku memanjang harus memenuhi persamaan

berikut :

(h/tw) ≤ 7,07 √𝐸

𝑓𝑦 jika 1,0 ≤ a/h ≤ 3,0 ...................................... 2.14.

(a/tw) ≤ 7,07 √𝐸

𝑓𝑦 jika 0,74 ≤ a/h ≤ 1,0 .................................... 2.15.

(h/tw) ≤ 7,07 √𝐸

𝑓𝑦 jika a/h ≤ 0,74 ............................................ 2.16.

di mana :

H = Tinggi bersih pelat sayap profil baja, (mm).

tw = Tebal pelat badan profil baja, (mm).

A = Luas penampang profil baja, (mm).

E = Modulus elastisitas profil baja, (200.000 Mpa).

Semua pelat badan yang mempunyai a/h > 3,0 harus dianggap tidak

diperkaku, dengan h adalah tinggi panel yang terbesar di bentang tersebut.

2.2.5.3 Kuat Geser Pelat Badan.

Menurut RSNI T-03-2005 (2005:40) pasal 7.8. kekuatan unsur terhadap

gaya geser terfaktor (Vu) ditentukan oleh kekuatan geser pelat badan dan harus

memenuhi persamaan berikut :

Vu ≤ ϕ Vn ........................................................................................ 2.17.

dengan; Vn = 0,6 fy Aw .................................................................. 2.18.

kuat geser nominal penampang pipa; Vn = 0,36 fy Ae .................... 2.19.

25

di mana :

Vu = Gaya geser terfaktor, (N).

Φ = Faktor reduksi sesuai tabel 2.7.

Vn = Kuat geser nominal pelat badan.

E = Modulus elastisitas profil baja, (200.000 Mpa).

Aw = Luas kotor pelat badan.

Ae = Luas kotor penampang bulat berongga.

2.2.5.4 Tahanan Nominal Batang Tekan dan Panjang Tekuk.

Suatu komponen strktur yang mengalami gaya tekan konsentris akibat

beban terfaktor Nu, menurut SNI 03-1729-2002 (2002:55) pasal 9.1 harus

memenuhi persamaan berikut :

Nu ≤ ϕc . Nn ...................................................................................... 2.20.

di mana :

Nu = Beban terfaktor.

ϕc = 0,85

Nn = Kuat tekan nominal komponen struktur = Ag . fcr

Daya dukung nominal, Nn struktur tekan dihitung sebagai berikut :

Nn = Ag . fcr = Ag . 𝑓𝑦

𝜔 ..................................................................... 2.21.

di mana :

Ag = Luas penampang bruto (mm2).

fcr = Tegangan kritis penampang, Mpa.

fy = Tegangan leleh material, Mpa.

Ω = Besaran yang ditentukan oleh nilai λc

26

Berikut besarnya nilai ω yang ditentukan oleh nilai λc yaitu :

Untuk λc < 0,25 maka; ω = 1,00 ............................ 2.22.

Untuk 0,25 < λc < 1,20 maka; ω = 1,43

1,6 − 0,67 λc ................ 2.23.

Untuk λc < 0,25 maka; ω = 1,25 λc2 ....................... 2.24.

Menurut Setiawan (2008:57) elemen vertikal dengan kekangan yang besar

terhadap rotasi dan translasi pada ujung-ujungnya (contoh; tumpuan jepit) akan

mampu menahan beban yang lebih besar dibandingkan dengan kolom yang

mengalami rotasi serta translasi pada bagian tumpuan ujungnnya (contoh;

tumpuan sendi). Selain kondisi tumpuan ujung, besar beban yang dapat diterima

oleh suatu komponen struktur tekan juga tergantung pada panjang efektifnya.

Semakin kecil panjang efektif suatu komponen struktur tekan, maka semakin kecil

pula resikonya terhadap masalah tekuk. Faktor panjang efektif tersebut

digambarkan seperti pada Gambar 2.5 berikut :

27

Gambar 2.6 Faktor Panjang Efektif.

Sumber : RSNI T-03-2005 (Perencanaan Struktur Baja untuk Jembatan).

Untuk menentukan parameter nilai λc maka, menurut SNI 03-1729-2002

(2002:27) pasal 7.6.1. digunakan persamaan sebagai berikut :

λc = 1

𝜋 𝑘𝑐 . 𝐿

𝑟 √

𝑓𝑦

𝐸 ......................................................................... 2.25.

di mana :

λc = Parameter kelangsingan kolom.

kc = Faktor panjang tekuk (Gambar 2.5).

L = Panjang teoritis.

r = Radius girasi penampang profil baja.

fy = Tegangan leleh penampang profil baja.

E = Modulus elastisitas penampang profil baja.

2.2.5.5 Tahanan Nominal Batang Tarik.

Menurut SNI 03-1729-2002 (2002:70) pasal 10.1, dinyatakan bahwa

semua komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial terfaktor sebesar Tu,

maka harus memenuhi persamaan berikut :

Tu ≤ ϕ . Tn .......................................................................................... 2.26.

Menurut Setiawan (2005:31) tahanan nominal suatu batang tarik harus

diperiksa terhadap tiga macam kondisi keruntuhan yang menentukan, yaitu :

a. Kondisi leleh dari luas penampang kotor.

Bila kondisi leleh lebih menetukan, maka tahanan nominal, Tu dari

batang tarik harus memenuhi persamaan berikut :

Tn = Ag . fy .................................................................................. 2.27.

b. Kondisi fraktur dari luas penampang efektif.

28

Untuk batang tarik yang memiliki lubang (misal; lubang penempatan

baut) maka, luas penampangnya tereduksi yang kemudian disebut

sebagai luas netto (An). Bila kondisi ini lebih menetukan, maka tahanan

nominal, Tu dari batang tarik harus memenuhi persamaan berikut :

Tn = Ae . fu ........................................................................... 2.28.

di mana :

Tu = Tahanan ultimate penampang profil.

ϕ = 0,90 untuk kondisi leleh, dan

= 0,75 untuk kondisi fraktur.

Tn = Tahanan nominal penampang profil.

Ag = Luas penampang bruto (mm2).

fy = Tegangan leleh material, Mpa.

Ae = Luas penampang efektif = U. An

An = Luas netto penampang, mm2.

fu = Tegangan tarik putus, Mpa.

U = Koefisien reduksi.

Menurut SNI 03-1729-2002 (2002:70) pasal 10.2. yang mengatur masalah

perhitungan luas netto efektif (shear lag) menyatakan bahwa luas penampang

efektif komponen struktur yang mengalami gaya tarik harus ditentukan sebagai

berikut :

Biasanya nilai koefisien reduksi diambil; U = 1 - �̅�

𝐿 ≤ 0,9 .............. 2.29.

di mana :

29

�̅� = Eksentrisitas sambungan.

L = Panjang sambungan dalam arah gaya tarik.

Apabila gaya tarik disalurkan dengan menggunakan alat sambung las,

maka terdapat 3 macam kondisi yang akan dijumpai, yaitu :

bila gaya tarik disalurkan hanya oleh las memanjang ke eleman bukan

pelat, atau oleh kombinasi las memanjang dan melintang, maka;

Ae = Ag ......................................................................................... 2.30.

bila gaya tarik disalurkan oleh las melintang saja, maka;

Ae = luas penampang yang disambung (U = 1) ........................... 2.31.

bila gaya tarik disalurkan ke elemen pelat oleh las memenjang

sepanjang kedua sisi bagian ujung elemen, maka;

Ae = U.Ag ..................................................................................... 2.32.

Nilai koefisien reduksi, U juga dapat dicari dengan persamaan berikut :

U = 1,00 untuk l ≥ 2w ....................................................................... 2.33.

U = 0,87 untuk 2w > l ≥ 1,5w .......................................................... 2.34.

U = 0,75 untuk 1,5w > l ≥ w ............................................................. 2.35.

di mana :

l = Panjang las.

w = Jarak antar las memanjang (lebar pelat).

Selain itu, Setiawan (2008:37) juga menjelaskan bahwa koefisien reduksi

U untuk beberapa penampang menurut manual dari AISC dapat diperoleh sebagai

berikut :

Penampang I dengan b/h > 2/3 atau penampang T yang dipotong dari

penampang I, dan sambungan pada pelat sayap dengan jumlah baut

lebih atau sama dengan 3 buah per-baris (arah gaya), maka;

U = 0,90 ....................................................................................... 2.36.

Untuk penampang yang lain (termasuk penampang tersusun) dengan

jumlah alat pengencang minimal 3 buah per-baris, maka;

U = 0,85 ....................................................................................... 2.37.

30

Semua penampang dengan banyak baut = 2 per-baris (arah gaya). maka;

U = 0,75 ....................................................................................... 2.38.

2.2.5.6 Momen Lentur dan Gaya Aksial untuk Penampang Simetris.

Menurut RSNI T-03-2005 (2005:48) pasal 7.16. komponen struktur yang

mengalami momen lentur dan gaya aksial harus direncanakan memenuhi

ketentuan sebagai berikut :

A. Untuk 𝑁𝑢

∅𝑐 𝑁𝑛 ≥ 0,2 maka;

𝑁𝑢

∅𝑐 𝑁𝑛 +

8

9 (

𝑀𝑢𝑥

∅𝑏 𝑀𝑛𝑥+

𝑀𝑢𝑦

∅𝑏 𝑀𝑛𝑦) ≤ 1,0 ............................................. 2.39.

B. Untuk 𝑁𝑢

∅𝑐 𝑁𝑛 < 0,2 maka;

𝑁𝑢

2 ∅𝑐 𝑁𝑛 +

8

9 (

𝑀𝑢𝑥

∅𝑏 𝑀𝑛𝑥+

𝑀𝑢𝑦

∅𝑏 𝑀𝑛𝑦) ≤ 1,0 ........................................... 2.40.

di mana :

Nu = Gaya aksial (tarik atau tekan) terfaktor.

Nn = Kuat nominal penampang.

Mux, Muy = Momen lentur terfaktor terhadap sumbu-x dan sumbu-y.

Mnx, Mny = Kuat nominal lentur penampang terhadap sumbu-x dan

sumbu-y

ϕc = Faktor reduksi kekuatan komponen tekan.

ϕb = 0,90; faktor reduksi kuat lentur.

2.3 Desain Bridge Management System.

Menurut BMS 1992 beban pada pelat lantai jembatan berupa beban truk

“T” yang merupakan beban roda ganda sebesar 100 kN, dari kendaraan truk

semitriller. Beban ini mempunyai bidang kontak pada pelat (20 x 50 cm2) dan

31

disebarkan 45o ke arah bawah sampai ke tengah-tengah tebal pelat. Adapun

langkah-langkah perencanaannya adalah sebagai berikut :

1. Menentukan mutu beton (f’c) dan mutu tulangan (fy) yang dipakai.

2. Menentukan tebal plat yang direncanakan (tebal total + tebal

ekuivalen).

3. Menghitung pembebanan.

a. Beban mati, berupa beban perkerasan dan beban trotoar (faktor

beban).

b. Beban hidup, berupa beban truk “T” (faktor beban dan beban

dinamik) dan beban air hujan (faktor beban).

c. Beban angin pada kendaraan (faktor beban).

4. Analisa struktur (momen), perencanaan pelat dua arah (metode

amplop dan koefisien momen).

5. Memilih momen yang paling menentukan (momen terbesar) antara

kombinasi (1,2 Dead Load + 1,6 Life Load) atau (1,2 Dead Load +

0,5 Life Load + 1,3 Wind Load).

6. Menghitung tulangan dua arah pada daerah serat atas/ tekan saja.

2.4 Perencanaan Struktur Atas.

2.4.1 Perencanaan Plat Lantai.

Pelat lantai berfungsi sebagai konstruksi penahan beban lalu lintas.

Konstruksi pelat lantai dicor dan menumpu seluruhnya pada metal dek (dek

gelombang), sehingga pelat lantai hanya menahan beban tekan saja dari beban lalu

lintas dan tidak mengalami lentur karena sudah ditahan oleh dek gelombang tadi.

Artinya perencanaan tulangan pelat lantai hanya pada daerah tekan saja. Menurut

RSNI T-03-2005 (2005:73) pasal 10.6. dek gelombang harus dirancang dapat

memikul beban berupa :

a. Berat sendiri beton bertulang (termasuk yang ada di dalam gelombang);

b. Beban konstruksi 2400 N/m2;

c. Berat sendiri dek gelombang.

32

Selain itu, lendutan yang timbul akibat beban mati tidak boleh melampaui

L/180 (13 mm) untuk panjang bentang di bawah atau sama dengan 3,00 meter (L

≤ 3,00 m) atau L/240 (19 mm) untuk panjang bentang di atas 3,00 meter (L ≤ 3,00

m). Sebenarnya konstruksi pelat lantai bagian tengah diasumsikan tertumpu

menerus pada gelagar-gelagar di empat sisi-sisinya, sedangkan pada bagian tepi

dianggap sebagai konstruksi kantilever yang menumpu pada gelagar memanjang.

2.4.2 Perencanaan Gelagar Memanjang.

Gelagar memanjang berfungsi menahan beban pelat lantai, beban

perkerasan, beban lalu lintas “D” dan beban air hujan, kemudian menyalurkannya

ke gelagar utama/ melintang. Gelagar ini tidak direncanakan sebagai struktur

komposit karena bentangnya pendek (L = 5 m) namun tetap saja diberikan elemen

pengikat (baut) antara profil gelagar dengan metal dek (dek gelombang) yang

berfungsi juga sebagai pengikat lateral gelagar memanjang.

2.4.3 Perencanaan Gelagar Melintang.

Gelagar jembatan berfungsi untuk menerima beban-beban yang bekerja

diatasnya dan menyalurkannya ke bangunan di bawahnya. Pembebanan pada

gelagar memanjang meliputi :

Beban mati

Beban mati terdiri dari berat sendiri gelagar dan beban-beban yang

bekerja di atasnya (pelat lantai jembatan, perkerasan, dan air hujan).

Beban hidup

Beban hidup pada gelagar jembatan dinyatakan dengan beban “D” atau

beban jalur, yang terdiri dari beban terbagi rata “q” ton per-meter

panjang per-jalur, dan beban garis “P” ton per-jalur lalu lintas tersebut.

2.4.4 Perencanaan Penghubung Geser (Shear Connector).

Menurut SNI 03-1729-2002 (2002:91) pasal 12.6.3. kuat nominal

penghubung geser jenis paku/ stud yang ditanam dalam beton ditentukan melalui

adalah sebagai berikut :

Qn = 0,5.Asc √𝑓′𝑐 𝐸𝑐 ≤ Asc. fu ........................................................ 2.41.

33

di mana :

Qn = Kuat geser nominal untuk penghubung geser, N.

Asc = Luas penampang penghubung geser jenis paku, mm2.

f'c = Kuat tekan beton.

Ec = Modulus elastisitas beton; 4700 √𝑓′𝑐

fu = Tegangan putus penghubung geser jenis paku, Mpa.

Persyaratan mengenai jarak antar penghubung geser diatur dalam SNI 03-

1729-2002 (2002:92) pasal 12.6.6 yang antara lain menjelaskan sebagai berikut :

1. Selimut lateral minimum = 25 mm, kecuali ada dek baja;

2. Diameter maksimum = 2,5 kali tebal flens profil baja;

3. Jarak longitudinal minimum = 6 kali diameter penghubung geser;

4. Jarak longitudinal maksimum = 8 kali tebal pelat beton;

5. Jarak minimum dalam arah tegak lurus sumbu longitudinal = 4 kali

diameter;

6. Jika digunakan dek baja gelombang, jarak minimum penghubung geser

dapat diperkecil menjadi 4 kali diameter.

2.4.5 Perencanaan Rangka Baja.

Rangka baja berfungsi menahan semua beban yang bekerja pada jembatan

dan menyalurkannya pada tumpuan untuk disalurkan ke tanah dasar melalui

struktur bawah jembatan.

2.4.5.1 Desain Load Resistance and Factor Design (LRFD).

Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah :

1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu baja (σy).

2. Menghitung pembebanan yang terjadi;

34

a. Beban mati berupa berat sendiri profil, beban trotoar, beban pelat

lantai, beban perkerasan, beban gelagar-gelagar, beban ikatan angin,

dan lain-lain (faktor beban).

b. Beban hidup berupa beban satu satuan/ beban berjalan yang

dikonversikan terhadap beban “D” (faktor beban).

c. Beban akibat tekanan angin (faktor beban).

d. Semua beban dikonversikan per-simpul (joint) rangka.

3. Menghitung gaya-gaya batang, dengan manual maupun bantuan

program (SAP 2000) untuk tiap pembebanan.

4. Menghitung kombinasi beban yang terjadi akibat Dead Load, Life

Load, dan Wind Load yang kemudian diambil perpaduan gaya-gaya

yang terbesar untuk batang tekan atau batang tarik.

5. Kontrol kekuatan/ tegangan (tarik, tekan dan lentur).

6. Menghitung alat penyambung.

2.4.6 Perencanaan Ikatan Angin.

Ikatan angin berfungsi untuk menahan gaya yang diakibatkan oleh tekanan

angin samping, sehingga struktur dapat lebih kaku. Untuk pekerjaan Jembatan

Setail ini perencanaan ikatan angin meliputi ikatan angin atas dan ikatan angin

bawah.

2.5 Perencanaan Struktur Bawah.

2.5.1 Perhitungan dan Penulangan Abutment.

Pembebanan yang direncanakan pada abutment meliputi :

a. Gaya akibat struktur atas;

b. Gaya akibat berat sendiri abutment;

c. Gaya akibat beban tekanan tanah aktif;

d. Gaya akibat rem dan traksi;

e. Gaya akibat gesekan;

f. Gaya akibat beban gempa pada abutment;

g. Gaya akibat beban gempa pada struktur atas jembatan;

35

h. Gaya akibat beban angin.

Adapun untuk penulangan abutment menggunakan rumus perhitungan

sebagai berikut :

Pu = 1,2 PDL + 1,6 PLL …………………………………………..….. 2.42

Mu = 1,2 MDL + 1,6 MLL ……………………………………………. 2.43

e = 𝑀𝑢

𝑃𝑢 …………………………………………………..……….... 2.44

xb = 600 x d

600 + 𝑓𝑦 …………………………………………………… 2.45

ab = β1 x xb …………………………………………………... 2.46

f’s = 200.000 x 0,003 x (𝑋𝑏 − 𝑑𝑠)

𝑋𝑏 ………………………………. 2.47

Bila f’s > fy maka, digunakan f’s = fy ………………………….... 2.48

Pnb = 0,85 x f’c x b x ab + A’s x f’s x – As x fy ……………......... 2.49

Mnb = 0,85 f’c x b x ab x ( ℎ

2−

𝑎𝑏

2) ……………………………….... 2.50

eb = 𝑀𝑛𝑏

𝑃𝑛𝑏 ≤ e ……………………………………………………….. 2.51

2.5.2 Penulangan Wing Wall dan Pelat Injak.

Wing Wall merupakan bagian struktur bawah jembatan yang berfungsi

menahan gaya horizontal yang disebabkan oleh tanah di sisi jembatan. Adapun

untuk penulangannya menggunakan rumus sebagai berikut :

Mnb = 0,85 f’c x b x ab x (d – 0,5a ) ………………………………….. 2.52

Cc = Ts = As x fy ……………………………………………………. 2.53

As = 0,85 𝑓𝑐′ 𝑥 𝑎 𝑥 𝑏

𝑓𝑦 ………………………………………………... 2.54

2.5.3 Perencanaan Dinding Penahan Tanah.

Perencanaan struktur ini harus berdasarkan angka aman (safety factor) yang

dapat diterima sebagaimana rumus di bawah ini :

SF = Jml. momen yang melawan guling

Jml.momen guling ≤ 1,5 ……………………… 4.55

36

SF = Jml. momen yang melawan guling

Jml.momen guling ≤ 2 (tanah kohesif) ……….. 4.56

x = Jml. momen − momen guling

R ………………………………… 4.57

e = 0,5 B – x …………………………………………………………… 4.58

e ≤ 𝐵

6 ……………………………………………………………… 4.59

qult = c Nc + ɣ D Nq + 0,5ɣ B Nɣ …………………………………… 4.60

qsafe = 𝑞 𝑢𝑙𝑡

𝑆𝐹 ...………………………………………………………… 4.61

37

BAB 3. METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan.

Studi perencanaan jembatan ini dilakukan selama satu semester, yaitu pada

bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016. Jembatan Setail yang akan

direncanakan tersebut berada di aliran Sungai Setail, yang menghubungkan Desa

Jalen di sebelah Barat dengan Desa Ciningsari di sebelah timur jembatan. (lihat

Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Peta Lokasi Studi Perencanaan.

Sumber : maps.google.com (November 2015)

3.2 Tahap Penelitian.

Penelitian tersebut akan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut :

a. Tahap persiapan penelitian.

Persiapan penelitian meliputi penjabaran maksud dan tujuan

penelitian, penyiapan metodologi penelitian, check list kebutuhan

pelaksanaan penelitian, kajian awal hasil studi kepustakaan dan

perencanaan terkait.

b. Tahap pengumpulan data.

1. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan cara melakukan

penelitian langsung di lapangan. Data primer dalam penelitian ini

adalah survey inventarisasi Jembatan Setail yang digunakan saat ini,

34

38

seperti; panjang bentang jembatan, lebar jalur perkerasan dan trotoar

(pedestrian), dan tinggi jagaan.

2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber-sumber lain

seperti; buku refrensi, studi pustaka, serta data-data yang diperoleh dari

instansi terkait. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini,

antara lain :

Gambar rencana dan spesifikasi jembatan saat ini.

Data lalu lintas di wilayah Desa Jalen, Kecamatan Genteng.

Data hidrologi Sungai Setail.

3.3 Tahap Analisis.

Perencanaan ulang Jembatan Setail yang akan dilakukan menggunakan

rangka baja sebagai struktur utama sesuai dengan Standar Nasional Indonesia

(SNI) yang berlaku saat ini. Analisis perencanaan tersebut dilakukan dengan

metode LRFD (Load Resistance and Factor Design) dengan bantuan software

SAP2000. Adapun tahap perencanaan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Persiapan data perencanaan jembatan, meliputi ukuran jembatan dan

gambar perencanaan;

2. Perhitungan pipa sandaran;

3. Perhitungan lantai trotoar;

4. Perhitungan pelat lantai kendaraan, antara lain :

a) Pembebanan;

b) Perhitungan deck baja;

c) Perhitungan tulangan;

5. Perencanaan gelagar memanjang, antara lain :

a) Pembebanan;

b) Kontrol tegangan akibat tumbukan dan rem;

6. Perencanaan gelagar melintang;

7. Perhitungan ikatan angin;

8. Perhitungan rangka induk jembatan;

9. Perhitungan penghubung geser (shear connector);

39

10. Perhitungan sambungan baut dan las, antara lain :

a) Sambungan gelagar memanjang dengan gelagar melintang;

b) Sambungan gelagar melintang bawah dengan pelat buhul;

c) Sambungan gelagar melintang atas dengan pelat buhul;

d) Sambungan ikatan angin;

e) Sambungan pada gelagar induk;

11. Perhitungan elastomer;

12. Perhitungan pelat injak;

13. Perhitungan tonase;

14. Perhitungan dan penulangan abutment;

15. Penulangan Wingwall;

3.4 Diagram Alir Perencanaan.

Diagram alir studi perencanaan Jembatan Setail diuraikan melalui

gambar berikut :

B

Data Primer

Data yang diperoleh dari

hasil survey lapangan,

yaitu; Bentang jembatan

(L); Lebar jalur (b); Lebar

trotoar (b1); Tinggi zona

bebas (H1); Tinggi jagaan

(H2); Tinggi abutment (h).

Data Sekunder

Data yang diperoleh dari

dinas-dinas yang terkait

perencanaan sebelumnya,

yaitu; Gambar rencana dan

spesifikasi jembatan; Data

lalu lintas jembatan; Data

topografi tanah (nilai

kohesi, sudut geser, berat

isi, dan lain-lain).

Mulai

Pengumpulan Data

A

40

B

Tidak

Tidak

Ya

A

Ya

Perhitungan Pipa Sandaran

- Perhitungan Lantai Trotoar

- Perhitungan Pelat Lantai Kendaraan

Weight Control

(Wprofil ≥ Wperlu)

Kontrol Momen

(Mn ≥ Mult)

Perhitungan Struktur Tarik, Tekan

dan Geser Gelagar Memanjang,

Gelagar Melintang, Ikatan Angin

dan Rangka Induk Jembatan

Kontrol Tarik,

Tekan dan Geser

(∅Tn ≥ Tult), (∅cNn ≥ Nult)

(∅Mn ≥ Mult)

C

Ya

Tidak

41

Perhitungan Sambungan Las

C

Perhitungan Sambungan Baut

Kontrol Tahanan

(∅Rn ≥ Rult)

Tidak

Ya

Kontrol Geser

(Qn ≥ Asc . fu)

Perhitungan Shear Connector

Tidak

Ya

Kontrol Tahanan

(∅Rnw ≥ Rult)

Tidak

Ya

B

D

Perhitungan Elastomer

Kontrol

(Strength ≥ Htotal)

)

Tidak

Ya

42

D

Perhitungan Tonase (Qtotal)

Perhitungan Penulangan Abutment

Kontrol Momen

(∅Mn ≥ Mult)

Perhitungan Wingwall

Kontrol Momen

(∅Mn ≥ Mult)

Perhitungan Abutment

Kontrol Safety Factor

(𝜶 ≥ 1,5)

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

E

B

Perhitungan Pelat Injak

Kontrol Momen

(∅Mn ≥ Mult)

Tidak

Ya

43

Gambar 3.2 Diagram Alir Perencanaan Jembatan Rangka Baja Sungai Setail.

E

Gambar Desain

Desain gambar dengan variabel;

Bentang jembatan (L); Lebar

jalur (b); Lebar trotoar (b1);

Tinggi zona bebas (H1); Tinggi

jagaan (H2); Tinggi abutment (h).

Selesai

44

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Bridge Managament System (BMS). Jakarta: Badan Penerbit

Pekerjaan Umum.

Badan Standarisasi Nasional. 2005. RSNI T-02-2005; Standar Pembebanan untuk

Jembatan. Bandung.

Badan Standarisasi Nasional. 2005. RSNI T-03-2005; Perencanaan Struktur Baja

untuk Jembatan. Bandung.

Badan Standarisasi Nasional. 2002. SNI 03-1729-2002; Peraturan Perencanaan

Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung. Bandung.

Nasution, Thamrin. 2012. MODUL 1; Pengenalan Jembatan Baja. FTSP – ITM.

Malang.

Setiawan, Agus. 2008. Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD (Sesuai

SNI 03-1729-2002). Jakarta. Erlangga.

Setiawan, Andhi, Candra Kusmawargi dan Eka Afrianti Sanjani. 2015. Jembatan

Struktur Rangka Baja (Steel Truss Bridge) Pemodelan Jembatan Rangka

Akkas. Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.

Supriyadi, Bambang dan Agus Setyo Mutohar. 2007. Jembatan. Yogyakarta: Beta

Goup.