Proposal Fenny
-
Upload
fennieanna -
Category
Documents
-
view
114 -
download
0
Transcript of Proposal Fenny
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke
dapat terjadi akibat pembentukan thrombus di suatu arteri serebrum, akibat embolus yang
mengalir ke otak dari tempat lain di tubuh atau akibat perdarahan otak. Pada stroke, terjadi
hipoksia serebrum yang menyebabkan cedera dan kematian sel-sel neuron. Kerusakan otak
karena stroke, terjadi sebagai akibat pembengkakan dan edema yang timbul dalam 24-72 jam
setelah kematian sel neuron (Corwin, 2000).
Stroke merupakan kondisi yang paling sering mengenai otak, dengan 100.000 kasus baru
per tahun di Inggris (Davey, 2005). Indonesia adalah Negara tertinggi angka stroke di Asia, lebih
dari 500.000 kasus per tahun dengan angka kematian lebih dari 100.000 orang per tahun, sisanya
mengalami cacat ringan atau sedang. Saat ini stroke menduduki urutan ketiga penyakit
mematikan setelah penyakit jantung dan kanker serta menempati urutan pertama penyebab
kematian di rumah sakit (Ismansyah, 2009).
Stroke iskemik terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak
normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per menit; jika turun hingga 18 mL/100 gram
jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik,
sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai <10 mL/100 gram
jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian perubahan biokimiawi sel dan membran yang
ireversibel membentuk daerah infark (Setyopranoto, 2011).
1
Kira-kira 10% stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama (Setyopranoto, 2011). Perdarahan
intraserebral umumnya diartikan sebagai perdarahan dalam parenkim otak dengan pembentukan
hematoma fokal. Kebanyakan perdarahan intraserebral disebabkan oleh hipertensi, sehingga teori
aneurisma Charcot-Bouchard (1868) masih dianut untuk patofisiologi sebagian perdarahan
intraserebral. Akan tetapi, kira-kira 50% penderita perdarahan intraserebral akut tidak
mempunyai riwayat hipertensi dan hasil pengobatan yang baik terhadap hipertensi menyebabkan
menurunnya prevalensi pada penderita perdarahan intraserebral dengan mantap dari tahun ke
tahun, antara 1945 - 1976 dari 98% menjadi 81%, kemudian terus menurun sampai 1987 dari
80% menjadi kira-kira 46% (Nasution, 1992).
Salah satu tindakan untuk mencegah kerusakan sel otak akibat iskemik selain
memperbaiki sirkulasi ke daerah yang infark juga menjaga keutuhan dan memperbaiki
komponen membran sel itu sendiri, mencegah enzim fosfolipase yang berperan dalam
pemecahan lipid dan pembentukan asam arachidonat serta mencegah pembentukan radikal
bebas. Memperbaiki komponen membran berarti juga menurunkan kegiatan akivitas fosfolipase
dengan demikian menjaga fosfolipid dan meningkatkan pembentukan fosfatidilkolin sebagai
komponen dari membran sel. Iskemik menyebabkan kerusakan fosfolipid pada membran sel atau
menyebabkan kehilangan fosfatidilkolin, terbentuknya asam arachidonat akibat pemecahan asam
lemak bebas di sekitar trauma yang nantinya sebagai penyebab edema dan inflamasi. Selain itu
terjadi kehilangan asetilkolin yang berperan sebagai neurotransmisi antar sel di susunan saraf
pusat. Pemberian citikolin pada hewan percobaan mengurangi edema serta meminimalkan
pemecahan fosolipid yang berarti menekan pemecahan asam lemak bebas terutama asam
2
arachidonat. Dengan mencegah pemecahan asam arachidonat berarti juga mencegah proses
inflamasi (Purba, 2008).
Penelitian menggunakan hewan percobaan membuktikan bahwa citikolin dapat
memperbaiki fungsi otak selama 14 hari setelah terjadi hipoksia (Fiedorowicz, 2008). Citikolin
juga dapat meregenerasi saraf periferal dan mengurangi bekas luka operasi setelah pembedahan
saraf periferal pada tikus (Ozay et al, 2007). Pengobatan dengan citikolin dapat memperbaiki
fungsi otak dan mengurangi volume pendarahan di sekeliling hematoma pada tikus (Clark et al,
1998). Penelitian lain menunjukkan bahwa citikolin dapat mengurangi jumlah infark (jumlah
kerusakan jaringan otak pada iskemik).
Penelitian yang menggunakan citikolin pada 272 pasien stroke iskemik dimana 133
pasien menggunakan citikolin dengan dosis 1000 mg dan 139 pasien sebagai placebo selama 14
hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54 % pasien yang menggunakan citikolin mengalami
perbaikan dibandingkan 29 % placebo, dimana citikolin memperbaiki kerusakan jaringan pada
stroke akut. Penelitian lain yang menggunakan citikolin dalam 24 jam pada pasien stroke
menunjukkan kesembuhan dalam 3 bulan (Conant, 2004).
Citikolin di RSUP DR. M. Djamil Padang belum masuk kedalam DPHO 2011 sehingga
belum masuk ke dalam obat ASKES. Tesis ini mencoba melihat faedah pemberian citikolin pada
pasien stroke iskemik dan hemoragik.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini
adalah penggunaan citikolin pada pasien stroke yang dirawat di bangsal saraf RSUP DR. M.
Djamil Padang.
3
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai penggunaan
citikolin pada pasien stroke di bangsal saraf RSUP.DR. M. Djamil Padang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui apakah penggunaan citikolin dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
stroke yang dirawat di bangsal saraf RSUP. DR. M. Djamil Padang serta mengetahui
aspek farmakoekonomi penggunaan citikolin.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Bagi managemen RSUP. DR. M. Djamil Padang, hasil penelitian ini diharapkan :
Memberikan informasi tentang penggunaan citikolin pada pasien stroke di bangsal
saraf RSUP. DR. M. Djamil Padang sebagai data tambahan pada penetapan kebijakan
penggunaan obat di RSUP. DR. M. Djamil Padang.
2) Bagi penelitian lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dan bahan
pembanding serta sebagai data awal penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil
yang lebih baik.
3) Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman lapangan tentang penggunaan citikolin.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke
dapat terjadi akibat pembentukan thrombus di suatu arteri serebrum, akibat embolus yang
mengalir ke otak dari tempat lain di tubuh atau akibat perdarahan otak. Pada stroke, terjadi
hipoksia serebrum yang menyebabkan cedera dan kematian sel-sel neuron. Kerusakan otak
karena stroke, terjadi sebagai akibat pembengkakan dan edema yang timbul dalam 24-72 jam
setelah kematian sel neuron (Corwin, 2000).
Stroke merupakan kondisi yang paling sering mengenai otak, dengan 100.000 kasus baru
per tahun di Inggris (Davey, 2005). Setiap tahunnya, 200 dari tiap 100.000 orang di Eropa
menderita stroke, dan menyebabkan kematian 275.000 – 300.000 orang amerika. Di pusat-pusat
pelayanan neurologi Indonesia jumlah penderita gangguan peredaran darah otak (GPDO) selalu
menempati urutan pertama dari seluruh penderita rawat inap (Harsono, 2007). Angka kejadian
stroke terus meningkat dengan tajam,jika tidak ada upaya penanggulangan stroke yang lebih baik
maka jumlah penderita stroke pada tahun 2020 diprediksikan akan meningkat 2 kali lipat, bahkan
saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia
dan keempat didunia, setelah India, Cina, dan Amerika (Feigin, 2006). Indonesia adalah Negara
tertinggi angka stroke di Asia, lebih dari 500.000 kasus per tahun dengan angka kematian lebih
dari 100.000 orang per tahun, sisanya mengalami cacat ringan atau sedang. Saat ini stroke
5
menduduki urutan ketiga penyakit mematikan setelah penyakit jantung dan kanker serta
menempati urutan pertama penyebab kematian di rumah sakit (Ismansyah, 2009).
Penggolongan Stroke
Stroke umumnya dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu :
1. Stroke perdarahan (hemoragik)
2. Stroke non perdarahan (infark/iskemik)
Stroke hemoragik dibagi lagi dalam 2 bagian, yaitu :
- Perdarahan Intraserebral (PIS)
- Perdarahan Subarachnoid (PSA)
2.1.1 Stroke Iskemik
Stroke adalah penyakit heterogen kompleks dengan beberapa subtype yang besar.
Serangan mendadak pada kehilangan sensorik fokal, kelemahan, atau mengacaukan suara
meningkatkan kemungkinan stroke iskemik atau infark. Tiga penyebab yang paling umum dari
infark serebral adalah penyumbatan atherothrombotik, penyumbatan pembuluh darah (embolism)
dan hipoperfusi (Venketasubramanian, 2007). Stroke iskemik merupakan stroke yang paling
banyak ditemukan kira-kira 80 % kasus stroke yang terdiri dari emboli ekstra cranial (25%) dan
trombosis intra cranial (75%) (Hinkle, 2007). Aktivasi koagulasi darah dan trombosis adalah
kejadian yang hampir selalu ada pada stroke iskemik. Pembentukan trombus seringkali berasal
dari kelainan hemostasis yang tidak diketahui yang ditemukan pada trauma endotel dalam suatu
preserebral aterosklerotik atau pada kelainan jantung (Brey, 2004). Aktivasi hemostasis berperan
dalam perkembangan klinis stroke iskemik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
peningkatan produksi fibrin dan trombin yang mempengaruhi aktivitas fibrinolitik. Pada tahun
6
1990 sejumlah penelitian memperlihatkan adanya gangguan fungsi hemostasis pada pasien
stroke iskemik dimana marker pembentukan fibrin meningkat setelah kejadian stroke iskemik
dan Transient Ischemic Attack (TIA) serta menunjukkan kadar yang berbeda berdasarkan subtipe
stroke iskemik (Ageno, 2002).
Stroke iskemik terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak
normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per menit; jika turun hingga 18 mL/100 gram
jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik,
sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai <10 mL/100 gram
jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian perubahan biokimiawi sel dan membrane yang
ireversibel membentuk daerah infark (Setyopranoto, 2011). Serangan stroke sementara
(TIA/Transient Ischemic Attack) dapat berlangsung selama 24 jam walaupun biasanya
berlangsung kurang dari beberapa menit (Davey, 2005). Stroke iskemik dapat menyebabkan
kematian saraf dimulai dari 3 hari setelah serangan dan memuncak pada hari keenam. Aktivasi
fosfolipase, hirodlisis fosfolipid, pelepasan asam arachidonat dan peroksidasi lipid merupakan
promoter yang penting terhadap kematian saraf setelah serangan stroke iskemik (Adibhatla et al,
2001).
2.1.2 Stroke hemoragik
Kira-kira 10% stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama (Setyopranoto, 2011). Perdarahan
intraserebral umumnya diartikan sebagai perdarahan dalam parenkim otak dengan pembentukan
hematoma fokal. Kebanyakan perdarahan intraserebral disebabkan oleh hipertensi, sehingga teori
aneurisma Charcot-Bouchard (1868) masih dianut untuk patofisiologi sebagian perdarahan
intraserebral. Akan tetapi, kira-kira 50% penderita perdarahan intraserebral akut tidak
7
mempunyai riwayat hipertensi dan hasil pengobatan yang baik terhadap hipertensi menyebabkan
menurunnya prevalensi pada penderita perdarahan intraserebral dengan mantap dari tahun ke
tahun, antara 1945 - 1976 dari 98% menjadi 81%, kemudian terus menurun sampai 1987 dari
80% menjadi kira-kira 46% (Nasution, 1992). Perdarahan intraserebral adalah masalah klinik
yang besar, terhitung 15% dari semua stroke akut di rumah sakit. Sekarang ini, tidak ada terapi
medis yang tersedia untuk pasien ini, dengan pilihan pada terapi pendukung yang terbatas. Ada
35% angka kematian pada pasien dengan perdarahan intraserebral, dengan tambahan pasien yang
cacat dari pasien yang selamat (Clark et al, 1998).
Pada perdarahan subarachnoid (PSA), darah keluar dari dinding pembuluh darah menuju
ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan otak (LCS) ke dalam ruangan
di sekitar otak. Perdarahan seringkali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak (pada
sirkulasi Willisii). Umumnya PSA timbul spontan, 10% disebabkan karena tekanan darah yang
naik dan terjadi saat aktivitas.
Istilah perdarahan intraserebral (PIS) menggambarkan perdarahan yang langsung masuk
ke substansi otak. Sekitar 70-90 % kasus PIS disebabkan oleh hipertensi. Perdarahan akibat
pecahnya arteri perforata subkortikal yaitu : a. lentikulostriata dan a. perforata thalamika (ciri
anatomis khas untuk PIS akibat hipertensi). Patogenesis PIS adalah akibat rusakya struktur
vaskuler yang sudah lemah akibat aneurisma, yang disebabkan oleh kenaikan tekanan darah, atau
pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah yang melebihi toleransi. Tole dan Utterback
mengatakan bahwa penyebab PIS adalah pecahnya mikroaneurisma Charcot-Bouchard akibat
kenaikan tekanan darah (Toole, 1990). Gejala dan tanda klinis berkaitan dengan lokasi,
kecepatan perdarahan dan besarnya hematom. Serangan selalu terjadi mendadak, saat aktif baik
aktivitas fisik maupun emosi, jarang saat istirahat. Gejala awal merupakan manifestasi kenaikan
8
tekanan darah seperti : nyeri kepala, mual dan muntah, epistaksis, penurunan daya ingat.
Penurunan kesadaran sampai koma akibat kegagalan otoregulasi atau kenaikan tekanan
intrakranial akibat adanya hematom. Hematom >3 cm dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
Kejang didapatkan pada 7-11% kasus. Kaku kuduk dapat dijumpai jika perdarahan mencapai
ruang subarachnoid. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan/kelumpuhan separuh
badan kontralateral terhadap sisi lesi dengan reflex Babinski positif (Sugiyanto, 2007).
2.2 Citikolin
Salah satu tindakan untuk mencegah kerusakan sel otak akibat iskemik selain
memperbaiki sirkulasi ke daerah yang infark juga menjaga keutuhan dan memperbaiki
komponen membrane sel itu sendiri, mencegah enzim fosfolipase yang berperan dalam
pemecahan lipid dan pembentukan asam arachidonat serta mencegah pembentukan radikal
bebas. Memperbaiki komponen membran berarti juga menurunkan kegiatan akivitas fosfolipase
dengan demikian menjaga fosfolipid dan meningkatkan pembentukan fosfatidilkolin sebagai
komponen dari membran sel. Iskemik menyebabkan kerusakan fosfolipid pada membran sel atau
menyebabkan kehilangan fosfatidilkolin, terbentuknya asam arachidonat akibat pemecahan asam
lemak bebas di sekitar trauma yang nantinya sebagai penyebab edema dan inflamasi. Selain itu
terjadi kehilangan asetilkolin yang berperan sebagai neurotransmisi antar sel susunan saraf pusat.
Pemberian citikolin pada hewan percobaan mengurangi edema serta meminimalkan pemecahan
fosolipid yang berarti menekan pemecahan asam lemak bebas terutama asam arachidonat.
Dengan mencegah pemecahan asam arachidonat berarti juga mencegah proses inflamasi (Purba,
2008).
Citikolin adalah derivate dari choline dan cytidine yang melibatkan biosintesa lechitin.
Citikolin dapat meningkatkan aliran darah dan oksigen ke otak dan diberikan pada pengobatan
9
stroke iskemik. Citikolin diberikan secara intravena atau intramuskular dalam dosis 1 g atau
secara per oral dengan dosis 200-600 mg sehari (Martindale, 2007).
Citikolin adalah molekul organik kompleks yang berfungsi untuk mensintesa sel
membrane fosfolipid. Citikolin juga dikenal dengan CDP-choline dan diphospat choline
(cytidine-5-diphospocholine). CDP-choline merupakan kelompok biomolekul yang dikenal
sebagai nukleotida yang berperan penting dalam metabolisme sel. CDP-choline terdiri dari
ribose, pyrophospat, cytosin dan choline. Penelitian citikolin pada hewan pecobaan dan uji klinik
pada manusia membuktikan bahwa citikolin berpotensi sebagai cholinergik dan neuroprotektive.
Sebagai suplemen, citikolin berguna untuk meningkatkan integritas struktural dan fungsi dari
membran saraf dimana membantu perbaikan membran. Studi hewan dan klinik menunjukkan
bahwa citikolin berpotensi meningkatkan defisit kognitif, stroke, luka pada otak dan tulang
belakang dan penyakit neurologi (Anonim, 2008).
Penelitian menggunakan hewan percobaan membuktikan bahwa citikolin dapat
memperbaiki fungsi otak selama 14 hari setelah terjadi hipoksia (Fiedorowicz, 2008). Citikolin
juga dapat meregenerasi saraf periferal dan mengurangi bekas luka operasi setelah pembedahan
saraf periferal pada tikus (Ozay et al, 2007). Pengobatan citikolin dapat memperbaiki fungsi otak
dan mengurangi volume pendarahan di sekeliling hematoma pada tikus (Clark et al, 1998).
Penelitian lain menunjukkan bahwa citikolin dapat mengurangi jumlah infark (jumlah kerusakan
jaringan otak pada iskemik).
Penelitian yang menggunakan citikolin pada 272 pasien stroke iskemik dimana 133
pasien menggunakan citikolin dengan dosis 1000 mg dan 139 pasien sebagai placebo selama 14
hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54 % pasien yang menggunakan citikolin mengalami
perbaikan dibandingkan 29 % placebo, dimana citikolin memperbaiki kerusakan jaringan pada
10
stroke akut. Penelitian lain yang menggunakan citikolin dalam 24 jam pada pasien stroke
menunjukkan kesembuhan dalam 3 bulan (Conant, 2004).
Gambar 1. Rumus stuktur citikolin (Secades, 1995).
2.2.1 Mekanisme Kerja
Citikolin sebagai precursor phospatidylcholine yang ditemukan pada uji dengan hewan.
Otak menggunakan choline untuk mensintesa acetylcholine yang mana dapat membatasi jumlah
choline untuk memproduksi phospatidylcholine. Ketika acetylcholine meningkat atau choline
dalam otak rendah, fosfolipid pada membran saraf akan mengkatabolisasi untuk menyediakan
kebutuhan choline. Citikolin membantu melindungi struktur dan fungsi dari membran saraf
(Anonim, 2008).
Citikolin berfungsi dalam metabolisme fosfolipid, sebagai precursor fosfatidilkolin dan
asetilkolin. Pada penyakit Alzheimer citicoline memperbaiki fungsi kognitif dengan cara
meningkatkan kadar kolin. Bila kebutuhan kolin meningkat, citikolin eksogen dapat mencegah
katabolisme membran sel saraf dalam upaya memperoleh kolin untuk transmisi impuls. Citikolin
11
diduga bermanfaat dalam terapi stroke dengan cara memperbaiki kerusakan membran saraf lewat
sintesis fosfatidilkolin, memperbaiki aktivitas saraf kolinergik dengan cara meningkatkan
produksi asetilkolin dan mengurangi akumulasi asam lemak di daerah kerusakan saraf (Suyatna,
2010).
Gambar 2. Bagan mekanisme kerja citikolin (Weiss, 1995).
2.2.2 Farmakokinetik
Citikolin oral bersifat larut air yang pada pemberian per oral cepat diabsorpsi. Kadar
puncak plasma bersifat bifasik, pertama 1 jam, dan kedua yang lebih besar adalah 24 jam setelah
12
Citikolin
Fosfatidilkolin
Citidin Citidin Trifosfat (CTP)
Citikolin
Hidrolisis dan defosforilasi pertama
Kolin Fosfokolin
Fosforilasi
Acetilkoklin
ProteinMetionin
Transmetilasi
Betaine
Bersatu dengan Asam Nukleat
makan obat. Bioavailabilitas > 90%, kurang dari 1% diekskresi dalam tinja. Citicoline
dihidrolisis dalam usus dan hati. Produk hasil hidrolisis pada dinding usus berupa kolin dan
sitidin. Di dalam tubuh kedua senyawa ini terdistribusi dalam jaringan, termasuk susunan saraf
pusat dan mengalami resintesis menjadi Citikolin oleh enzim cytidine-triphosphate
phosphocholine cytidyl transferase. Pemeriksaan kinetik Citikolin radioaktif menunjukkan
bahwa 0.5 % radioaktivitas total ditemukan dalan SSP. Asupan SSP meningkat hingga 2 % bila
Citikolin diberikan secara intravena. Pemberian dalam liposom meningkatkan transport Citikolin
eksogen ke dalam SSP. Eliminasi citikolin terutama lewat pernafasan (CO2) dan urin, waktu
paruh eliminasi 56 jam untuk CO2 dan 71 jam untuk urin. Pemberian Citicoline pada tikus
meningkatkan kadar kolin dan sitidin plasma dalam 6-8 jam. Pemberian kronik meningkatkan
kadar fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin dan fosfatidilserin dalam otak (Suyatna, 2010).
2.2.3 Efek Samping
Citikolin memperlihatkan toksisitas yang rendah pada manusia. Penelitian jangka pendek
yang dilakukan pada 12 orang dewasa sehat yang memakai citikolin dengan dosis 600 mg dan
1000 mg dan placebo untuk periode 5 hari. Sakit kepala terjadi pada 4 subjek yang menggunakan
dosis 600 mg dan 5 subjek yang menggunakan dosis 1000 mg dan 1 pada placebo. Tidak ada
perubahan yang dilihat pada hematology, biokimia klinik dan tes neurological. Studi pengawasan
untuk menganalisa penggunaan citikolin yang dilakukan pada 2.817 pasien berusia 60-80 tahun
yang menderita kepikunan dan penyempitan pembuluh darah otak. Efek Samping yang tercatat
terjadi pada 151 pasien, mewakili 5 % pasien. Efek samping yang paling umum adalah sakit
perut dan diare pada 102 kasus. Gejala hipotensi vascular, takikardia atau bradikardia terjadi
pada 16 kasus (Anonim, 2008).
13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan kurang lebih selama 2-3 bulan (Maret sampai Mei 2012 ) di
bangsal saraf RSUP DR. M. Djamil Padang.
3.2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data observasi prospektif pada pasien
stroke yang menggunakan citikolin dan yang tidak menggunakan citikolin yang dirawat di
bangsal saraf RSUP. DR. M. Djamil Padang
3.3. Sumber Data
Data diperoleh dari rekam medik pasien stroke yang menggunakan citikolin dan yang
tidak menggunakan citikolin dan observasi kepada pasien atau keluarga pasien yang di bangsal
saraf RSUP DR. M. Djamil Padang.
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1. Penetapan Kriteria Penderita
Penderita yang dipilih adalah pasien stroke yang di rawat inap di bangsal saraf RSUP
DR. M. Djamil Padang.
3.4.2. Penetapan Kriteria Obat
Obat yang akan dievaluasi adalah citikolin yang digunakan selama menjalani terapi di
bangsal saraf RSUP. DR. M. Djamil Padang.
14
3.4.3. Penetapan Kriteria Sampel
Sampel yang dipilih adalah rekam medik pasien stroke yang menggunakan citikolin dan
yang tidak menggunakan citikolin yang dirawat di bangsal saraf RSUP DR. M. Djamil
Padang.
3.4.4. Pengambilan Data
Data yang diambil adalah data rekam medik pasien stroke yang menggunakan citikolin
dan yang tidak menggunakan citikolin yang dirawat di bangsal saraf RSUP DR. M. Djamil
Padang selama 2-3 bulan (Maret sampai Mei 2010).
Data rekam medik dan laboratorium yang diperlukan antara lain:
a) Identitas Pasien : Nama, jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan.
b) Data pengobatan : Obat-obat yang digunakan.
c) Data Laboratorium
d) Riwayat penyakit pasien.
e) Data penunjang lainnya.
3.4.5. Pengambilan Sampel
Inklusi :
Pasien stroke yang dirawat di bangsal saraf RSUP DR. M. Djamil Padang selama 3 bulan
(Maret-Mei 2012).
Eklusi :
a) Pasien yang meninggal.
b) Pasien yang pulang paksa.
15
DAFTAR PUSTAKA
Adibhatla, MR, Hatcher, JF, Dempsey, RJ, 2001, Effect of Citicholine on Phospholipid and Glutathione Levels in Transient Cerebral Ischemia, American Heart Assosiation Inc, Dallas, Hal 2376
Ageno W, 2002 , Plasma Measurement of D-Dimer Levels for the Early Diagnosis ofIschemic Stroke Subtype. Arch. Intern.Med
Anonim, 2008, Altenative Medicine Review, Thorne Research Inc, Volume 3, Hal 50
Brey R. L., Coull B.M. 2004. Coagulation Abnormalities in Stroke. Stroke Pathophysiology,Diagnosis and Management, Churchill Livingstone
Clark W, Rinker L.G, Lessov N, Hazel K, Macdonald R.L, 1998, Citicoline Treatment For Experimntal Intracerebral Hemorrage In Mice, American Heart Assosiation inc, Portland, Hal 2136
Conant, R, Alexander, G, 2004, Therapeutic Application of Citicoline for Stroke and Cognitive Disfunction in the Elderly: A Review of the Literature, Alternative Medicine Review, Volume 9, Hal 24
Corwin, J. E, 2000, Handbook of Pathophysiology, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Davey, P, 2005, At Glance Medicine, Penerbit Erlangga, Jakarta
Feigin, V. 2006. Stroke. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Popular
Fiedorowicz, M, MakarewicZ, D, Kinga S.M, Grieb, P, 2008, CDP-Choline (Citicoline) Attuanates Brain Damage in a Rat Models of Birth Asphyxia, Department of Experimental Pharmacology, Warsaw, Poland, Hal 392
Harsono, DSS. 2007. Gambaran Umum tentang Gangguan Peredaran Darah Otak: KapitaSelekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hinkle, J.L, 2007, Acute Ischemic Strok Review, Journal of Neuroscience Nursing, Hal 39
Ismansyah, 2009, Pengaruh Latihan Mengunyah Dan Menelan Terstruktur Terhadap
Kemampuan Mengunyah dan Menelan Dalam Konteks Asuhan Keperawatan Pasien
Stroke Dengan Disfagia Di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda, Jurnal Mahakam,
Samarinda, Volume 11, Hal 35
Martindale: The Complete Drug Reference, 2007, Pharmaceutical Press great Britain, Edisi 35
Nasution, D, 2009, Stroke Hemoragik : Perdarahan Intraserebral, Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara, Medan, Edisi khusus
16
Ozay, R, Bekar A, Kocaeli H, Karh N, Filiz G, Hulus A, 2007, Citicholine Improves Functional
Recovery, Promotes Nerve Regeneration And Reduces Postoperative Scarring After
Peripheral Nerve Surgery in Rats, Departemen of Neurosurgery, Bura, Turkey, Hal 615
Purba, J. S, 2008, Efek Terapi Citicholine Terhadap Perbaikan Struktur dan Fungsi Membran
Sel Otak Pada Penerita Stroke, Departemen Neurologi, Jakarta
Secades, J.J, Frontera, G, 1995, CDP-Choline : Pharmacological and Clinical Review, Methods Find Exp Clin Pharmacol, Hal. 17
Setyopranoto, I, 2011, Stroke : Gejala dan Penatalaksanaan, Volume 38, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hal 247
Sugiyanto, E, 2007, Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular, Cermin Dunia Kedokteran, Volume 34, Hal 176
Suyatna, F. D, 2010, Farmakologi Klinik Citikolin, Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta
Toole, J.F, 1990, Cerebrovascular disorder, Intracerebral hemorrhage, Raven Press, Newyork
Venketasubramanian, N, Justina, M, 2007, Imaging in Ischemic Stroke State of the Art, Cermin
Dunia Kedokteran, Volume 34, Hal 181
Weiss, G.B, 1995, Metabolism and Actions of CDP-Choline as endogenous Compound and
Administation Exogenously as Citicoline, Life Sci, Hal 56
17