PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS...
Transcript of PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS...
-
MAKNA MAḤABBAH DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN
TAFSῙR AL-JῙLĀNῙ
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Muhammad Idris Alimuddin
NIM. 1113034000095
PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
-
dc
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul MAKNA MAHABBAH DALAM HAQĀ'IQ AL-TAFSĪR DAN TAFSIR AL-JILĀNĪ telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 Juni 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 04 Agustus 2020
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M.Ag
Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Prof. Dr. Sri Mulyati
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19560417 198603 2 001 NIP. 19600908 198903 1 005
Pembimbing,
Moh. Anwar Syarifuddin, MA NIP. 19720518 199803 1 003
-
MAKNA MAḤABBAH DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN
TAFSῙR AL-JῙLĀNῙ
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Muhammad Idris Alimuddin
1113034000095
Pembimbing
Moh. Anwar Syarifuddin, MA.
NIP: 197205 18199803 1 003
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020 M
-
i
ABSTRAK
Muhammad Idris Alimuddin
Makna Maḥabbah dalam Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsῑr al-Jῑlānῑ
Dari sekian banyak permasalahan yang dibicarakan dalam al-Qur’an
salah satunya adalah tema tentang Maḥabbah dalam Haqā’iq al-Tafsῑr dan
Tafsῑr al-Jῑlānῑ, yang mana di dalam al-Qur’an sendiri banyak sekali lafadz-
lafadz yang menunjuk konsep Maḥabbah (cinta) seperti yang terdapat pada
QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭā-ḥā[20]:39. Pokok penelitian skripsi ini
adalah bagaimana dalam Tafsῑr Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsῑr al-Jῑlānῑ
menafsirkan QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭā-hā[20]:39 dalam menjelaskan
makna maḥabbah.
Penelitian ini termasuk library research dengan menggunakan analisis
deskriptif. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh konsep Maḥabbah
dalam Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsir al-Jῑlānῑ dengan makna ketaatan,
keriḍaan kepada Allah dan Rasulnya yang terdapat di dalam
QS.’Ali’Imrān[3]:31 yang menggambarkan bahwa jika seseorang ingin
memperoleh akan maḥabbah Allah, maka seseorang tersebut harus
mengikuti apa yang diperintahkan oleh Nabi akan tetapi, bukan mencintai
Nabi yang menjadi tujuan melainkan cinta Allah-lah tujuan manusia
sebenarnya. Makna maḥabbah dalam kedua tafsir ini sangat jelas bahwa
murni pemberian karunia dari Allah kepada hamba-Nya, karena mereka
yang menjalankan syariat-Nya dalam sehari-hari dan menjalankan
sunatullah, ketika ingin mencapai akan maḥabbah Allah. Kemudian
maḥabbah dalam kedua tafsir ini digolongkan ke dalam maqamat karna
berdasarkan pernyataan di atas murni datang dari Allah.
Selanjutnya makna maḥabbah dalam QS.Ṭā-hā[20]:39 ialah di dalam
Haqā’iq al-Tafsῑr dan al-Jῑlānῑ bahwa menjelaskan akan gambaran
maḥabbah Allah yang diberikan kepada Nabi Musa dengan cara selalu
menolong Nabi Musa dalam hal apapun, akan tetapi Tafsῑr al-Sulami
menjelaskannya di dalam penafsiran QS.Al-Araf[7]:143, bahwa Nabi Musa
bermunajat kepada Allah agar diperlihatkan Dzat-Nya, akan tetapi saat
Allah bertajalli pada sebuah gunung, maka gunung itu hancur, kemudian
Nabi Musa jatuh pingsan dan bertaubat kepada Allah. sedangkan menurut
al-Sulami menjelaskan dalam kitabnya bahwa Nabi Musa ketika bermunajat
kepada Allah Nabi Musa dihilangkan sifat kemanusiaannya dan nampaklah
akan dzat-Nya kemudian Nabi Musa pingsan, setelah Nabi Musa terbangun
dari pingsannya Nabi Musa langsung bertaubat kepada Allah bahwa tidak
ada yang bisa melihat-Nya jika bukan karna kehendak-Nya.
Kata Kunci: Tafsir Sufi al-Qur’an, maḥabbah.
-
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Tiada kata yang pantas untuk dihaturkan selain rasa syukur atas rahmat
dan hidayah-Nya yang senantiasa penulis rasakan setiap waktu. Hanya Dia
Tuhan Maha Kasih yang telah memberikan nikmat sehat dan iman, serta
petunjuk kepada penulis sehingga kata demi kata bisa penulis rangkum
menjadi sebuah karya tulis ilmiah (skripsi) yang akan penulis serahkan
sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan jenjang strata 1 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dialah Tuhan Maha Sayang yang
senantiasa memberikan kekuatan kepada penulis disaat penulis merasa lelah
bahkan frustasi untuk menyelesaikan penelitian ini.
Shalawat serta salam seiring kerinduan akan senantiasa tercurahkan ke
haribaan baginda Rasul Muhammad Saw. beserta keluarga dan para
sahabatnya yang telah memperjuangkan Kalamullah yang sempurna
sehingga dapat tersampaikan pula dengan begitu sempurna kepada kita
sebagai ummatnya sampai akhir zaman.
Dengan ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul
MAKNA MAḤABBAH DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN TAFSῙR
AL-JῙLĀNῙ tidak akan terselesaikan tanpa adanya banyak sosok yang
senantiasa mendampingi baik secara langsung dan tidak langsung,
memberikan semangat dengan penuh cinta dan kasih sayang, memberikan
sumbangsih moral ataupun moril kepada penulis dengan penuh kesabaran.
Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati, penulis rasa wajib kiranya
untuk mengungkapkan rasa terimakasih itu kepada mereka:
-
iii
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA., selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuludin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Quran dan
Tafsir, dan Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH, selaku Sekertaris Jurusan
Ilmu al-Quran dan Tafsir beserta segenap jajaran pengurus Fakultas
Ushuluddin yang telah banyak membantu mempermudah proses
administrasi dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.
4. Moh. Anwar Syarifuddin, MA, selaku dosen pembimbing skripsi,
yang telah membuka wawasan dan memberikan judul skripsi ini,
ucapan terimakasih saja belum cukup untuk menggantikan jasa – jasa
yang diberikan, akan tetapi hanya doa terbaik yang bisa saya
panjatkan, terimakasih untuk semua yang telah bapak berikan kepada
saya, dan terimakasih sudah menjadi pendidik sekaligus menjadi
orang tua kedua, semua jasa – jasa bapak tidak akan saya lupakan.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan kebaikan dan
kemurahan hatinya baik secara sadar dan tidak sadar telah mendorong
penulis untuk pantang menyerah sebelum menang dalam menggali
kedalaman dan keindahan kitab suci al-Qurān serta ke-Uswah-an
Nabi Muhammad saw.
6. Kedua orang tua tercinta, sepertinya ucapan terimakasih tidaklah
cukup atas semua yang telah diberikan, sejak lahir sampai beranjak
dewasa, anakmu ini terlalu sering mengecewakan mu, anakmu selalu
berdoa akan kesehatan mu dan segalanya yang terbaik untukmu,
terimakasih Bapa dan Ibu sudah bersabar untuk mendidik dan
membesarkan anakmu ini, skripsi ini saya persembahkan untuk Bapa
dan Mimih, semoga bisa menjadi kebanggaan untuk Bapa.
-
iv
7. Kakak dan adik, yang selalu memberikan motivasi dan semangatnya,
berkat kakak dan adik, akhrinya yang di cita-citakan terselesaikan
juga untuk menyegerakan Sarjana abangmu, terimakasih karena
ocehan dan omelanmu abangmu dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Skripsi ini saya berikan kepada perempuan hebat yang semoga
menjadi calon pendamping hidup saya Nurcholifah, M.pd.
terimakasih atas kesabaran dan support nya selama ini, skripsi ini saya
persembahkan untuk wanita yang saya cintai setelah Umi, tetap sabar
dan support lelakimu ini.
9. Sahabat dan teman seperjuangan, keluarga besar IAT angkatan 2013
terimakasih selalu mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan
skripsi ini dan sudah membantu dalam penulisan skripsi ini, Haikal
Fadhil, Muhammad Fauzan, S.Ag, Abdul Barry, S.Ag, Ibadurrahman
Bayhaki, Muhammad Esa Fachresa, dkk, terimakasih telah menjadi
sahabat terbaik, dan semoga kita bisa bertemu kembali bersama-sama
di suatu saat nanti.
10. Alumni Pondok Pesantren Yayasan MUMTAZ Ibadurrahman, saya
ucapkan terimakasih yang mendalam terutama pada angkatan 07,
sebab tanpa support dan dukungan kalian penulis tidak akan sampai
menyelesaikan Skripsi ini, maka Skripsi ini penulis berikan kepada
kalian teman.
11. Organisasi, komunitas, dan lembaga, terutama untuk Lembaga KPS
Komuniitas Peduli Sesama yang selalu memberikan motivasi dan
arahannya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini, dan
terimakasih kepada teman-teman penghuni Buntu Blok B.7 yang
sudah mempersilahkan saya untuk mencari inspirasi sekaligus yang
menjadi rumah kedua selama menjadi Mahasiswa sehingga bisa
menyelesaikan Skripsi ini.
-
v
Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terimakasih yang begitu
mendalam dan seuntai doa senantiasa penulis haturkan kepada mereka agar
senantiasa segala kebaikannya dibalas oleh Allah swt dengan balasan yang
setimpal. Akhirnya, penulis berharap semoga karya tulis ini senantiasa
dapat memberikan wawasan mengenai Quran dan bermanfaat bagi
semuanya, khususnya bagi penulis sendiri. Āmīn yā rabb
Ciputat, 2 Juni 2020
Penulis
-
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................... 10
a. Identifikasi Masalah ............................................................. 10
b. Pembatasan Masalah ............................................................ 11
c. Perumusan Masalah .............................................................. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 11
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 12
E. Metodologi Penelitian ................................................................. 14
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 16
BAB II MAḤABBAH DALAM AL-QUR’AN.................................... 19
A. Pengertian Maḥabbah .................................................................. 19
B. Maqam-maqam Mencapai Tingkatan Maḥabbah ........................ 23
C. Pandangan Maḥabbah Menurut Para Ulama Sufi ....................... 29
1. Shaikh Abdurahmān al-Sulami ............................................ 29
2. Shaikh ‘Abdul al-Qādir al-Jailāni ......................................... 31
3. Imam al-Ghazāli ................................................................... 34
4. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy ........................................ 37
5. Imam al-Ṭustari .................................................................... 38
BAB III METODOLOGI HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN TAFSῙR AL-
JῙLĀNῙ ................................................................................................... 43
A. Mengenal Haqā’iq al-Tafsῑr ........................................................ 43
-
vii
1. Biografi pengarang Haqā’iq al-Tafsῑr ................................... 43
2. Karya-karyanya..................................................................... 47
3. Metode dan Corak Penafsiran ............................................... 47
B. Mengenal Tafsῑr al-Jῑlānῑ ............................................................. 48
1. Biografi pengarang Tafsῑr al-Jῑlānῑ ....................................... 48
2. Karya-karyanya..................................................................... 51
3. Metode dan Corak Penafsiran ............................................... 52
BAB IV PENAFSIRAN HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN AL-JῙLĀNῙ
TENTANG MAKNA MAḤABBAH .................................................... 55
A. Apa Itu Maḥabbah ....................................................................... 55
B. Limpahan Maḥabbah Kepada Nabi Musa As .............................. 59
C. Mencintai Nabi Muhammad Saw Sebagai Wasilah Mencintai Allah
Swt ............................................................................................... 67
D. Ma’rifat Sebagai Pencapaian Tertinggi ....................................... 72
BAB V PENUTUP ................................................................................. 83
A. Kesimpulan .................................................................................. 83
B. Saran ............................................................................................ 84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 85
-
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا b Be ب t Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
J Je ج ḥ ha dengan titik bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د Ż zet dengan titik atas ذ r Er ر
z Zet ز s Es س sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
-
ix
ḍ de dengan titik bawah ض ṭ te dengan titik bawah ط ẓ zet dengan titik bawah ظ Koma terbalik di atas hadap „ ع
kanan
gh ge dan ha غ
f Ef ؼ
q Qi ؽ
k Ka ؾ
l El ؿ m Em ـ
n En ف w We ك h Ha ق Apostrof ‟ ء y Ye ي
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal
rangkap. Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatḥah َـ
i Kasrah ِـ
-
x
u Ḍammah ُـ
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي َـ
au a dan u ك َـ
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab dilambangakan
dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi di atas ىَ
Ī i dengan topi di atas ِىي
Ū u dengan topi di atas ىـُو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf ؿا dialih aksarakan menjadi huruf „l‟ baik diikuti huruf
syamsiyah maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ّـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
-
xi
Misalnya, kata ةركرضلا tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.
6. Tā’ Marbūṭah
Kata Arab Alih Aksara Keterangan
Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة
-Al-jāmi„ah al اجالمعة اإلسامليةislāmiyyah
Diikuti oleh kata
sifat
waḥdat al-wujūd Diikuti oleh kata كحدة الوجودbenda
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih
aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
seseorang, dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut.
Misalnya: Abū ‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū
‘Abdullāh Muhammad Al-Qurṭubī
Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama,
untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari
bahasa Arab. Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn
al-Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
-
xii
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan diatas:
Kata Arab Alih Aksara
َوۡزنَ Wa jâwaznâ َوجََٰ
Alâ Aṣnâmi‘ مِ َعَلىَٰٰٓ َأۡصَنا
َهُلونَ م ِإنَُّكۡم قـَوۡ Innakum qawmun tajhalûna ََتۡ
Hum fīhi wa bâṭilun ل َوبََٰطِ ُهۡم ِفيهِ
9. Singkatan
Huruf Latin Keterangan
Swt, Subḥāh wa ta‘ālā
Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam
QS. Quran Surah
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang telah diberi rasa cinta,
sehingga manusia mampu menjadikan dirinya makhluk yang mampu
mengasihi kepada sesamanya. Dengan perasaan cinta itu manusia dapat
mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan, namun apa yang terjadi
pada zaman saat ini sebagian manusia dengan mengatas namakan cinta
mereka rela berbuat suatu kedhaliman (kedurjanaan), hal tersebut-lah yang
tidak diharapkan oleh ajaran Islam itu sendiri.1
Melihat perkembangan modern saat ini, semua hal dapat diukur dengan
nilai materi, serta rasa ihklas pun menjadi hal langka untuk diperoleh, dan
rasa tanggung jawab tersebut menjadi terbelakang seakan-akan terkesan
menjadi hal yang tidak ada pertanggung jawaban untuk melakukan
kegiatan di dunia kemudian hal yang menyebabkan terjadinya berbagai
ketimpangan sosial, yang akan mengarahkan hidup manusia bagaikan
tidak mempunyai tujuan ajaran. Maḥabbah dalam konteks saat ini harus di
perlukan karena demi kembalinya tatanan hidup manusia agar hanya
mencintai Allah Swt, dan serta selalu mengharap riḍa Allah Swt.2
Dari sekian banyak mahkluk di dunia ini pasti memiliki rasa maḥabbah,
dengan tidak melihat kondisi mahkluk serta keadaan mahkluk tersebut,
dari yang tua hingga yang muda. Dengan demikian, rasa maḥabbah
tersebut mempunyai perbedaan yang satu dengan yang lainnya, sebab rasa
1 Anwar Mustofa,”Konsep Maḥabbah dalam al-Qur’an Telaah Tafsῑr Maudhu’I”.
(Skripsi S1, Institut Agama Islam Negeri TulungAgung, 2013). 2 Hasan Galunggung, Pendidikan Islam Abad 21, Cet.III (Jakarta: Pustaka al-Husna
Baru, 2003), 2.
-
2
maḥabbah itu merupakan fitrah yang di miliki oleh setiap mahkluk yang
ada di dunia.3
Rasa mencintai merupakan hal yang tidak dapat di pisahkan pada diri
seseorang dan akan selalu ada pada diri manusia sampai kapanpun juga,
dengan rasa cinta tersebut manusia akan merasakan hidup yang lebih
sempurna. Kemudian mencintai ialah kegiatan progresif yang mengenal
batas sehingga membutuhkan energi yang banyak, karena rasa mencintai
adalah anugerah yang Allah berikan kepada setiap mahkluk, sehingga rasa
cinta tersebut itu selalu bergantung pada lawan objeknya yang di jadikan
tempat bergantung padanya. Mempunyai rasa mencintai merupakan hal
terindah yang akan selalu di perjuangkan oleh setiap makhluk sebab rasa
mencintai dengan yang di cintai itu, ketika di satukan secara bersamaan
maka akan bersinergi di dalam kehidupan manusia, karena secara fitrah
rasa maḥabbah itu suci berasal dari Allah Swt.4
Sesungguhnya getaran rasa cinta merupakan energi yang menggerakan
alam semesta. Gerakan tersebut telah menjadikan hidup menjadi indah dan
penuh pesona, sebab energi cinta itu telah menggerakan kehidupan.5 Tidak
ada seorangpun yang tidak menginginkan cinta, sebab rasa cinta itu bisa
mengubah kehidupan manusia di dunia kemudian menurut Sirsabae
Alafsana, bahwa cinta itu akan membuat hidup serasa lebih indah dan
mengasyikkan, hal-hal yang terasa pahit menjadi manis.6
3 Muhammad Tsaqif, “Konsep Cinta (maḥabbah) dalam Kitab Tafsῑr al-Jῑlānῑ”
(Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017). 4 Ibnu Ibrahim, Memadamkan Api Neraka dengan Cinta: Rahasia agar Anda Di
cintai Allah dan Terhindar dari Siksa Api Neraka, (Bandung: Grafindo, 2011), 25-27. 5 Abd. Halim Rofi’ie, Cinta Illahi Menurut al-Ghazali dan Rabi’ah al-Adawiyah, cet.
1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997), 4. 6 Sirsabae Alafsana, Kado Ulangtahun Kekasihku: Menggapai Kebahagiaan CInta,
Kesuksesan, dan Kesejahteraan dalam Samudra Kehidupan, ( Yogyakarta: Penerbit al-
Rai,2002), 128.
-
3
Seiring dengan perkembangan zaman yang selalu berubah ini, serta
manusia yang selalu cenderung mengabaikan nilai agama, salah satu nilai
agama yang di abaikan adalah bagaimana mencintai Allah yang telah
memberikan anugerah dalam kehidupan ini, serta bagaimana mencapai
cinta sesama manusia dengan saling tolong menolong. Kesenjangan inilah
yang nampak dalam kehidupan manusia baik antar perorangan atau
lembaga, bahkan negara sekali pun akan berdampak pada timbulnya
kesenjangan sosial, dengan kesenjangan sosial ini merupakan awal dari
munculnya berbagai masalah atau konflik, serta ketidakstabilan dalam
bersosial.7
Cinta hamba kepada Allah merupakan hal yang bisa mengangkatnya ke
derajat yang tinggi, sempurna, dan suci. Kedudukan yang tinggi ini
menuntut manusia untuk berkorban demi kekasihnya, sebagaimana yang
berlaku pada setiap orang yang mencintai, manusia yang mencinta harus
rela mecintai objek cintanya dengan hati dan pikiran. Ia harus sanggup
berkorban demi yang di cintai dengan suka cita. Ia juga harus mampu
berlapang dada atau ihklas atas segala apa yang kurang berkenan di dalam
diri, dan juga harus bersabar atas segala ujian yang menimpanya karena
rasa cinta itu.8
Sebagaimana yang telah tercatat di dalam al-Qur’an, tentang bagaimana
seseorang dapat mencintai Allah, QS.’Ali‘Imrān[3]:31.
ِبۡبُكُم ُ َغُفور رهِحيمُقۡل ِإن ُكنُتۡم ُتُِبُّوَن ٱَّللهَ فَٱتهِبُعوِن ُُيۡ َوٱَّللهُ َويَ ۡغِفۡر َلُكۡم ُذنُوَبُكۡمۚۡ ٱَّلله
7 Anwar Mustofa, “Konsep Maḥabbah dalam al-Qur’an Telaah Tafsῑr Maudhu’I”
(Skripsi S1, Institut Agama Islam Negeri TulungAgung, 2013). 8 Al-Faisal, “Konsep Cinta Menurut al-Qur’an (Studi Anlisis Arti Ayat-ayat Cinta
dalam Tafsir al-Maraghi,” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2004).
-
4
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Diriwayatkan bahwa ayat ini turun menanggapi ucapan delegasi
Kristen Najran yang menyatakan bahwa pengagungan mereka terhadap Isa
as adalah pengejantewahan dari cinta kepada Allah. Riwayat lain
menyatakan bahwa ayat ini turun menanggapi ucapan sementara kaum
muslim yang mengaku cinta kepada Allah Swt, sampaikanlah wahai Nabi
Muhammad Saw kepada manusia yang benar mencintai Allah:
“jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, yakni laksanakan apa yang
diperintahkan Allah melalui aku, yaitu beriman kepada Allah dan
bertaqwa kepada-Nya. Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah masuk
ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memlihara
kesinambungan ketaatan kepada-Nya serta meningkatkan pengamalan
kewajiban dengan melaksanakan Sunnah-sunnah Nabi”
Niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu,
karena Allah mempunyai sifat yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang jika kalian benar mengikuti Nabi Muhammad Saw.9 Jika
seseorang telah sampai pada tingkat tersebut, maka cinta hamba kepada
Allah itulah keimanan yang hakiki. Keimanan yang hakiki bukanlah
sekedar pengetahuan dan ketundukan jiwa, dengan kata lain Iman yang
benar adalah Imannya sang pencipta yang bergairah kepada Allah, yang
bahkan bisa membukakan dan melupakan diri sendiri dan akan
berpengaruh pada seluruh ucapan, tindakan dan sikap.10
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa cinta Ilahi tumbuh karena di dalam
diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Sifat ketuhanan yang di
9 M.Quraish Shihab, Tafsῑr al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keseraian al-Qur’an),
(Jakarta: Penerbit Lentera Hati), 65. 10 Al-Faisal, “Konsep Cinta Menurut al-Qur’an (Studi Analisis Arti Ayat-ayat Cinta
dalam Tafsῑr al-Maraghi” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2004).
-
5
maksud adalah sifat yang tidak bercampur dengan unsur-unsur fisika,
sehingga ia mampu merasakan kenikmatan rohani yang tidak ada pada
kenikmatan jasadi yang sederhana.11 Dengan kata lain berikut ulasan ayat
mengenai cinta Allah kepada umatnya, QS.Ṭā-hā[20]:39.
ُخۡذُه َعُدّو ّلِّ َوَعُدّو ۡۚۥۡ أَِن ٱۡقِذِفيِه ِف ٱلتهابُوِت فَٱۡقِذِفيِه ِف ٱۡلَيمِّ فَ ۡليُ ۡلِقِه ٱۡلَيمُّ بِٱلسهاِحِل ََي لهُه
َعۡيِنٓ َنَع َعَلى َولُِتصۡ َوأَۡلَقۡيُت َعَلۡيَك ََمَبهة مِّنِّ “Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke
sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil
oleh (Fir´aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan
kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di
bawah pengawasan-Ku.
Maḥabbah mempunyai arti kecintaan yang asli sehingga selalu
tertanam di dalam hati manusia, dan inilah penjelasan yang di sampaikan
oleh al-Maraghi di dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan QS.Ṭā-
hā[20]:39. 12Sedangkan menurut Ali al-Ṣhabuni di dalam shafwatu al-
Tafsῑr maḥabbah menjelaskan bahwa sifat maḥabbah yang di miliki
manusia mempunyai kesetiaan, sehingga manusia rela melakukan apapun
demi mencapai cinta-Nya.13Kemudian makna maḥabbah itu merupakan
yang akan selalu berada di dalam lubuk hati manusia, sampai akan muncul
rasa kepatuhan dan kehormatan kepada yang dicintai-Nya, dan inilah yang
dijelaskan di dalam Tafsῑr Jalalain.14 Kemudian ‘Ibn Taimiyah
11 Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Ahklak, terj. Helmi Hidayat, (Bandung:
Mizan, 1994), 135. 12 Ahmad mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 16, (Mesir: Maktabah wa
Mathba’ah Mustfa al-Bani wa awladihi, 1946), 110. 13 Muhammad Ali al-Ṣhabuni, Shafwatu al-Tafsir, (Kairo: Darrul al-Ṣhabuni wa
Nasyr wa tawzi, 1997) Maktabah Syamilah dalam penafsiran Surat Ibrahim[14]:3 14 Jalaludin al-Mahali dan Jalaludin al-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Kairo: Darrul Hadits)
Maktabah Syamilah dalam penafsiran Surat Yusuf[12]:30.
-
6
menjelaskan akan makna maḥabbah ialah kecendrungan hati shingga tidak
ada kata terpaksa pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya15.
Cinta adalah suatu derajat yang untuknya kebanyakan menusia
berlomba-lomba, kepadanya orang kembali, kepada alamnya mereka
bergegas dan karenanya orang yang mencintai saling memusnahkan serta
semilir anginnya mereka merasakan kebahagiaan.16 Orang yang mencintai
secara tulus selalu memberi dan berkorban ia selalu senang, tenang dan
berbahagia.17 Bahkan terkadang tidak peduli antara halal dan haram, boleh
dan tidak, menguntungkan atau merugikan. Bahayanya apabila cinta telah
membutakan seseorang maka ia akan di butakan oleh segala sesuatu, cinta
membuat seseorang tidak objektif. Cinta juga membuat orang tak mampu
lagi membedakan dua sisi yang sangat kontras. Bahayanya, cinta membuat
seseorang tak lagi bisa melihat yang benar (haq) dan yang salah (batil).18
Kemudian berdasarkan penelitian penulis terhadap kitab Mu’jam
Mufahras li al-Fādhi al-Qur’an karya Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqi
akan macam-macam bentuk lafaz maḥabbah al-Qur’an terdapat 83 lafaz
al-ḥubb yang mengandung arti cinta dengan berbagai bentuk lafaz yang
tersebar dalam beberapa surat dan ayat di dalam al-Qur’an. Ada yang
lafaznya berbentuk fi’il muḍāri’, fi’il māḍi, masdar dan fa’il, sedangkan
yang paling banyak adalah lafaz dengan bentuk fi’il muḍāri’ yakni
sebanyak 38 ayat dan yang paling sedikit adalah bentuk fa’il yakni dalam
satu ayat QS.Al-Māidah[5]:18, sedang bentuk lainnya yakni fi’il māḍi
15 Duriana, “Pandangan Tasawuf Ibnu Tamiyah dalam Kitab al-Tuhfah al-Iraqiyyah fi
al-A’amal al-Qalbiyah”, Jurnal Fakultas Ushuluddin dan Dakwan IAIN Ambon. 28. 16 Abdul Hadi, Di Bawah Naungan Cinta, terj. AH. Ba’dillah, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002), 1. 17 Muhammad Majni Marjan, Muhammad Nabi Cinta, terj. Subhan Nur, (Depok:
Pustaka Iman, 2006), 10. 18 Kusmarwanti M Idham, Smart Love Jurus jitu Mengurus Cinta, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2007), 9.
-
7
terdapat dalam tujuh ayat dan bentuk masdar terdapat dalam 37 ayat.
Untuk lebih detailnya dapat di lihat pada tabel seperti yang dicantumkan
penulis di bawah ini:19
Tabel 1
Macam-Macam Bentuk Lafaz Maḥabbah dalam Ayat-ayat Al-Qur’an
Nomor Bentuk lafaz Surat Surat (Nomor) Ayat
Al-Hujurāt (49) 7 َحبهبَ 1
(Al-Qaṣaṣ (28 َأۡحبَ ۡبتَ 2Ṣad (38)
56
32
Al-An’ām (6) 76 أُِحبُّ 3
Al-Baqarah (2) 216 ُتُِبُّوا 4
(Ali’Imrān (3 ُتُِبُّونَ 5Al-‘Arāf (7)
Al-Nur (24)
Al-Qiyāmah (75)
Al-Fajr (89)
31,92,152
79
22
20
20
Al-Ṣāffaāt (61) 13 ُتُِبُّوََنَا 6
Ali’Imrān (3) 119 ُتُِبُّوََنُمۡ 7
(Al-Baqarah (2 ُيُِبُّ 8
Ali’Imrān (3)
190,195,205,222,
dan 276
32,57,76,134,
19 Muhammad Fuad ‘Abdul Bāqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fādhil Qur’an (Kairo:
Darul Kutub Misriyyah, t.t.), 191-193.
-
8
An-Nisa (4)
Al-Māidah (5)
Al-An’ām (6)
Al-A’raf (7)
Al-Anfāl (8)
Al-Taubah (9)
An-Nahl (16)
Al-Hājj (22)
Al-Qaṣaṣ (28)
Al-Rum (30)
Luqmān (31)
Al-Syu’arā (26)
Al-Hujarāt (49)
Al-Hadid (57)
Al-Muntaḥanah (60)
Al-Sāffāt (61)
140,146, 148
159
36,107,146
13,42,64,87,93
141
31 dan 51
4,7, dan 108
23
38
76 dan 77
45
18
40
9 dan 12
23
8
4
ِبۡبُكمُ 9 Ali’Imrān (3) 31 ُُيۡ
Al-Māidah (5) 53 ُيُِب ُُّهمۡ 10
(Ali’Imrān (3 ُيُِبُّونَ 11Al-Taubah (9)
Al-Nur (24)
Al-Ḥasyr (59)
Al-Insān (76)
188
108
19
9
27
Ali’Imrān (3) 117 ُيُِبُّوَنُكمۡ 12
-
9
Al-Māidah (5) 54 ُيُِبُّونَهُ 13
Al-Baqarah (2) 165 ُيُِبُّوََنُمۡ 14
(Al-Taubah (9 ٱۡسَتَحبُّوا 15Al-Naḥl (16)
Fuṣṣilat (41)
23
107
17
Ibrāhim (14) 3 َيۡسَتِحبُّونَ 16
(Al-Baqarah (2 ُحبُّ 17Ali’Imrān (3)
Ṣad (38)
Al-Ādiyāt (100)
165
14
32
8
(Al-Baqarah (2 ُحّبا 18Yusuf (12)
Al-Fajr (89)
165
30
20
(Al-Baqarah (2 ُحبِّهِ 19Al-Insān (76)
177
8
(Al-Taubah (9 َأَحبه 20Yusuf (12)
24
8 dan 33
ُؤهُ 21 Al-Māidah (5) 18 َأِحبهٓ
Tāḥā (20) 39 ََمَبهة 22
(Al-An’ām (6 ٱۡۡلَبِّ 23Qāf (50)
Al-Rahmān (55)
39
9
12
(Al-An’ām (6 َحّبا 24Yāsin (36)
99
33
-
10
Al-Naba’ (78)
‘Abasa (80)
15
27
(Al-Baqarah (2 َحبهة 25Al-An’am (6)
Al-Anbiyā (21)
Luqmān (31)
261
59
47
16
Dalam hal ini permasalahan cinta cukup menjadi misteri di dalam
kehidupan manusia, tidak sedikit orang yang mencari makna dari cinta itu
sendiri, dalam al-Qur’an pun termaktub kata maḥabbah yang di dalamnya
memiliki makna yang berbeda dengan penyebutan yang berbeda, namun
ayat yang akan penulis pilah dalam penelitian ini adalah
QS.’Ali‘Imrān[3]:31 mengungkapkan cintanya Allah, serta memberikan
gambaran kecintaannya yang Allah berikan kepada umatnya, kemudian
pada ayat selanjutnya terdapat pada QS.Ṭā-hā[20]:39 yang
mengungkapkan bagaimana gambaran kecintaan Allah terhadap umatnya
seperti yang tertera dalam ayat ini bahwa Nabi Musa telah di limpahkan
sebuah anugerah maḥabbah (kasih sayang) Allah yang di berikan kepada
Nabi Musa, kemudian penulis berusaha untuk melihat kesamaan
penafsiran kedua ayat tersebut melalui kitab Haqā’iq al-Tafsir dan Tafsir
al-Jailāni maka skripsi ini penulis beri judul “MAKNA MAḤABBAH
DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN TAFSῙR AL-JῙLᾹNῙ”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat
diidentfikasian masalah sebagai berikut:
a. Gambaran maḥabbah dalam al-Qur’an
-
11
b. Pemahaman ulama’ dalam membicarakan maḥabbah
c. Pandangan ulama’ terhadap makna maḥabbah dalam al-Qur’an
d. Pemahaman masyarakat akan maḥabbah.
e. Pandangan penafsiran makna Maḥabbah dalam kitab Haqā’iq al-Tafsῑr
dan Tafsῑr al-Jῑlānῑ dalam QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭa-ḥā[20]:39.
2. Pembatasan Masalah
Dari kelima poin di atas, penulis tidak akan mengambil semuanya
untuk di bahas. Penulis hanya memfokuskan pada poin ‘E’ saja yaitu
pandangan penafsiran makna maḥabbah dalam kitab Haqā’iq al-Tafsῑr dan
Tafsῑr al-Jῑlānῑ dalam QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭā-hā[20]:39.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah, maka pertanyaan besar dari penelitian ini
adalah bagaimana pandangan penafsiran makna Maḥabbah dalam kitab
Haqā’iq al-Tafsῑr dengan Tafsῑr al-Jῑlānῑ dalam QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan
QS.Ṭa-hā[20]:39?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pandangan penafsiran makna Maḥabbah dalam kitab Haqā’iq al-Tafsῑr
dan kitab Tafsῑr al-Jῑlānῑ dalam QS.’Ali‘Imrān[3]:31 dan QS.Ṭa-
ḥa[20]:39.
Sedangkan manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan
sumbangsih terhadap kajian Tafsῑr Ishāri. Sedangkan manfaat praktis
penelitian ini ialah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Strata 1 S1
Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Selain itu ia juga
bermanfaat untuk menambah wawasan kajian al-Qur’an khususnya dalam
mengkaji akan makna maḥabbah yang terkandung dalam
-
12
QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭa-ḥā[20]:39 agar memotivasi bagi umat
Islam agar berlomba-lomba mencapai maḥabbah Allah.
D. Tinjauan Pustaka
Pembahasan tentang maḥabbah yang terdapat pada suatu ayat al-Qur’an
bukanlah sesuatu yang baru. Baik dari segi teorinya maupun dari segi
penerapannya. Ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan, di
antaranya:
Adapun kitab yang membahas akan maḥabbah, banyak karya yang
telah membahas tentang makna maḥabbah di antaranya karangan Abu
Abdurrahāman al-Sulami20 dengan judul Tafsῑr Haqā’iq al-Tafsῑr, Shaikh
Abdul al-Qādir al-Jailāni21 dengan judul Tafsῑr al-Jῑlānῑ, Shaikh Abdul al-
Qādir al-Jailāni22 dengan judul Futuh al-Ghaib, M Quraish Shihab23
dengan judul Tafsῑr al-Mishbah.
Penelitian terkait maḥabbah dan cinta, selama ini lebih banyak di bahas
dari sudut pandang pemikiran suatu tokoh di antaranya penelitian Al-
Faisal (2004),24 Buya Riadi (2008),25 Raudhatul Jannah Ilyas (2017),26 Ali
Saputra (2019).27 Penelitian-penelitian di atas membahas beberapa
20 Abu ‘abd al-Rahman al-Sulami, Tafsir Haqā’iq al-Tafsῑr, (Beirut: Dar al-Kutum al-
‘Ilmiyya, 2002). 21 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Tafsῑr al-Jῑlānῑ”, Juz 1 (Beirut: Markaz al-Jilani, 2009). 22 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Futuh al-Ghaib”, Terj: Abdullah Zakiy al-Kaaf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004). 23 M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati 2009). 24 Al-Faisal, “Konsep Cinta Menurut al-Qur’an (Studi Analisis Arti Ayat-ayat Cinta
dalam Tafsῑr al-Maraghi” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2004). 25 Buya Riadi, “Bentuk-bentuk Cinta dalam Tafsῑr al-Mishbāh dan urgensinya
terhadap pendidikan anak studi terhadap pemikiran M. Quraish Shihab” (Skripsi S1,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). 26 Raudhatul Jannah Ilyas, “Maḥabbah Sesama Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an”
(Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 2017). 27 Ali Saputra, “Konsep Maḥabbah dalam Pemikiran Syekh Zulfiqar Ahmad” (Skripsi
S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).
-
13
pemikiran tokoh seperti al-Maraghi, Shaikh Zulfiqar Ahmad, M.Quraish
Shihab, Buya Hamka, Hasbi ash-Shiddieqy, Imam al-Syirāzi, bahkan al-
Sulami. Akan tetapi pembacaan wacana maḥabbah dari sudut pandang al-
Sulami di batasi pada pembahasan mengenai batasan maḥabbah sesama
manusia.
Selain pembahasan pemikiran tokoh ada juga pembahasan mengenai
konten, yakni ayat-ayat yang berkaitan dengan maḥabbah dan cinta,
seperti yang di lakukan oleh Anwar Mustofa(2013),28 yang membaca
QS.’Ali’Imrān[3]:31-32 dan QS.At-Taubah[9]:24. Sedangkan penelitian
terkait Haqā’iq al-Tafsῑr dan al-Sulami, penelitian terdahulu yang relevan
seperti penelitian Arsyad Abrar(2015)29, yang membahas tentang
pandangan al-Sulami terhadap Tafsir Sufi. Ada juga penelitian terkait
biografi dan kerangka berpikir al-Sulami seperti yang di lakukan oleh Muh
Sofiudin(2018),30 juga ada yang membahas tentang karyanya, khususnya
kitab Haqā’iq al-Tafsῑr seperti yang telah di lakukan oleh Hilman
Mulyana(2018).31Akan tetapi penelitian hilman hanya terfokus kepada
wacana kematian saja.
Dan yang terakhir untuk penelitian al-jailani dan tafsirnya, peneltiian-
penelitian yang telah di lakukan berkisar wacana pemikiran al-Jailani
seperti wacana kehidupan yang di lakukan oleh Badriyatul
Azizah(2018),32wacana taubat yang di tulis oleh Sisa Rahayu(2014),33
28 Anwar Mustofa, “Konsep Maḥabbah dalam al-Qur’an Telaah Tafsir Maudhu’I”
(Skripsi S1, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulungagung, 2013). 29 Arsyad Abrar, “Epistemologi Tafsir Sufi Studi terhadap Tafsir al-Sulami dan al-
Qushayri” (Disertasi S3, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). 30 Muh Sofiudin, “Studi Tasawuf Abd Al-Rahmān al-Sulami Persektif Historis”
(Tesis S2, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018). 31 Hilman Mulyana, “Kematian Perspektif Kitab Haqa’iq al-Tafsir” (Skripsi S1,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 32 Badriyatul Azizah, “Al-Hayah Perspektif Tafsir al-Jilāni” (Skripsi S1, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018).
-
14
wacana tentang surge seperti yang telah ditulis oleh Riswan
Sulaeman(2017),34wacana tentang sufi yang di lakukan Irwan
Muhibudin(2018),35 bahkan wacana tentang maḥabbah juga yang telah di
tulis oleh M Syafiq (2017),36 hanya saja m syafiq tidak memfokuskan
ayat-ayat tertentu saja sebagaimana yang di lakukan oleh penulis.
Dari literature review penulis belum menemukan penelitian yang bahas
tentang wacana mahabbah melalui suatu tokoh apalagi di analisi dengan
cara komparasi.
E. Metodologi Penelitian
Dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah tentunya memerlukan
sebuah metode penelitian untuk menghasilkan penelitian yang baik,
sistematis, terstruktur, dan dapat di pertanggung jawabkan.37
Adapun metodologi yang penulis pakai dalam menyusun penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang sedang penulis kaji menggunakan jenis penilitian
kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan datanya merujuk
kepada buku-buku perpustakaan dan kitab-kitab lainnya yang sekiranya
33 Sisa Rahayu, “Konsep Taubat Menurut Shaikh Abdul al-Qādir al-Jailāni” (Skripsi
S1, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2014). 34 Riswan Sulaeman, “Tafsir Isyāri Tentang Surga Menurut Shaikh ‘Abd al-Qādir al-
Jailāni” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017). 35 Irwan Muhibudin, “Tafsir Ayat-ayat Sufistik Studi Komparatif Tafsir al-Qusyairi
dan Tafsir al-Jailāni” (Tesis S2, Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta,
2018). 36 Muhammad Tsaqif, “Konsep Cinta (maḥabbah) dalam KItab Tafsir al-Jilāni”
(Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017). 37 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Askara,
2013), 12.
-
15
sejala dengan topik yang di kaji.38 Maka penulis akan menggunakan buku-
buku yang membahasa tentang makna maḥabbah, kitab-kitab tafsir, buku,
jurnal, artikel, skripsi, data dari internet dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan penelitian ini.
2. Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer yang digunakan adalah kitab Haqā’iq al-Tafsῑr
karya Shaikh Abu Abdurahmān al-Sulami dan kitab Tafsῑr al-Jῑlānῑ karya
Shaikh Abdul al-Qādir al-Jailāni. Sedangkan data sekunder yang dipakai
adalah kitab, buku-buku, artikel, jurnal yang relevan dengan penelitian
terkait.
3. Metode Analisa Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif39-
analisis.40 Dengan teknik analisa menggunakan data, serta melihat
penafsirkan dan mengklasifikasikan dengan membandingkan penafsiran-
penafsiran pada sumber data yang penulis kaji dan melalui langkah-
langkah mengumpulkan data kemudian mengintrepretasi data. Adapun
data yang akan dianalisa yaitu (QS.’Ali‘Imrān[3]:31) dan (QS.Ṭā-
hā[20]39) melalui kitab Tafsῑr Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsir al-Jῑlānῑ dan
38 Muhammad Nazir, Metode Penulisan (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), 24. 39 Metode deksriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang bertujuan untuk
menggambarkan suatu fenomena yang ada, baik dari masa lampau atau pada saat ini.
Lihat: Asep Saipul Hamdi dan Burhanuddin, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi
dalam Pendidikan (Yogyakarta: Deepublish, 2014), 5. 40 Metode analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap objek yang diteliti, atau cara penanganan
terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan cara memilah-milah antara pengertian yang
satu dengan pengertian yang lain, untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai hal
yang diteliti. Lihat: Anton Bakker dan Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 27.
-
16
menjelaskan pandangan penafsiran kedua mufassir mengenai makna
maḥabbah.
4. Teknik Penulisan
Penulisan dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2013.41
F. Sistematika Penulisan
Supaya fokus dan tidak keluar dari arah penelitian, maka penulis
menetapkan sistemarika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diakhiri dengan
sistematika penulisan.
Bab kedua, penulis akan mendeskripsikan tentang Maḥabbah dan
maqam-maqam mencapai maḥabbah serta melihat pandangan ulama’ akan
maḥabbah. Dalam hal ini, penulis akan menyajikan pembahasan tentang
pengertian Maḥabbah, tingkatan-tingkatan untuk mencapai maḥabbah, dan
melihat padangan ulama mengenai akan maḥabbah.
Bab ketiga, penulis akan menerangkan tentang biografi Abu
Abdurrahman al-Sulami dan Abdul al-Qādir al-Jailāni. Di mulai dengan
penjelasan mengenai latar belakang kehidupan Abu Abdurrahman al-
Sulami dan Abdul al-Qādir al-Jailāni, aktivitas akademik dan karya-karya
ilmiahnya. Selain itu, penulis juga akan menerangkan tentang tafsirnya
41 Hamdi Nasuhi, dkk, Pedoman Akademik Progran Strata 1 2013/2014, dalam Tim
Penyusun Pedoman Akademik Program Strata 1 2013/2014 (Ciputat: Biro Administrasi
Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013),
361-394.
-
17
yang berjudul Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsir al-Jῑlānῑ, mulai dari
sistematika penulisan serta karakteristik kitab tafsirnya.
Bab keempat, berisi tentang analisi penulis terhadap persamaan
penafsiran al-Sulami dengan al-Jailāni tentang konsep maḥabbah, meliputi
apa itu maḥabbah dalam kitab Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsir al-Jῑlānῑ, serta
kemudian ialah limpahan maḥabbah yang diberikan kepada Nabi Musa
As, dan mencintai Nabi Muhammad Saw sebagai wasilah mencintai Allah,
serta makrifat yang menjadi tingkatan pencapaian tertinggi.
Bab kelima, merupakan penutup dari penelitian. Bab ini berisikan
kesimpulan dan saran-saran dari penulis sebagai bahan pertimbangan
untuk penelitian selanjutnya.
-
18
-
19
BAB II
MAḤABBAH DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Maḥabbah
Meninjau arti maḥabbah dalam kamus Bahasa Arab bahwa kata
maḥabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan, yang secara
harfiah mempunya arti mencintai secara mendalam.1 Dalam al-Mujam al-
Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan bahwa maḥabbah adalah lawan dari kata
al-Baghd (benci).2 Sedangkan maḥabbah juga berarti al-Wudud, yaitu yang
sangat pengasih atau penyayang.3 Maḥabbah dapat pula berarti suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhani tertinggi
dengan tercapainnya gambaran mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Selain
itu, maḥabbah dapat pula berarti kecendrungan terhadap sesuatu yang
sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat
material maupun spiritual. Seperti cintanya seseorang yang sedang
kasmaran pada sesuatu yang di cintainya, orang tua pada anaknya,
seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya.4
Kemudian dalam kamus Bahasa Indonesia kata cinta mempunyai banyak
arti seperti: suka sekali, sayang sekali, kasih sekali, ingin sekali, berharap
sekali, rindu, makin ditindas makin terasa rindunya, dan susah hati
(khawatir) tiada terperikan lagi.5 Sementara dalam kamus Bahasa Inggris
1 Kamus yunus, Kamus arab Indonesia, (Jakarta: Hidayakarya agung, 1990), 96 2 Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafati jilid 2, (Dar al-kairo: Mesir, 1978), 439 3 Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafati jilid 2, 349. 4 Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafati jilid 2, 208. 5 KBBI, pencarian “cinta” Diakses, 20 Desember, 2019, https://kbbi.web.id/cinta pukul
20:29
https://kbbi.web.id/cinta
-
20
arti cinta (love) mempunyai beragam makna, seperti: cinta, asmara, asmara
pada pandangan pertama, ia jatuh cinta, kecintaan, kasih, kasih sayang.6
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa kata cinta berasal dari al-
habab (air meluap ketika hujan deras turun) artinya kata cinta itu adalah
gejolak hatinya ketika seseorang yang cinta sedang merindukan kekasih-
Nya.7
Sedangkan secara terminologi maḥabbah adalah kecendrungan hati
secara keseluruhan kepada sesuatu, kepada sesuatu yang menyenangkan,
perhatian terhadap sesuatu itu melebihi perhatiannya kepada diri sendiri,
jiwa, dan harta, sikap diri dalam menerima baik secara lahiriah maupun
batiniah, perintah dan larangannya dan pengakuan diri akan kurangnya cinta
yang di berikan kepadanya.8
Sedangkan Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan bahwa maḥabbah dalam
dialog tasawuf ialah tingkat (maqam) tertinggi, dalam pemahaman Rabi’ah
al-Adawiyah kemudian untuk mencapainnya tingkat tersebut harus
melewati tingkatan yang lebih rendah dahulu. Selanjutnya secara global,
maḥabbah terbagi menjadi beberapa tingkat sebagaimana yang sudah di
jelaskan Ra’biah di antaranya: pertama. Maḥabbah orang biasa, kedua.
Maḥabbah orang jujur, ketiga. Maḥabbah orang yang arif dan inilah ciri-ciri
seorang manusia yang mendapatkan maḥabbah.9
6 John M. Echols dan Hasan Shadify, Kamus Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT Gramedia,
1993), 366. 7 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Raudhatul Muhibbin: Taman Orang-orang yang Jatuh
Cinta dan memendam Rindu, terj. Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: Qisthi Press, 2011), 25. 8 Abdul Fatah Muhammd Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta: Khalifa, 2005), 141. 9 Dikutip Harun Nasution dari al-Sarraj al-Thusi. Lihat Harun Nasution, 1989. Filsafat
dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: BulanBintang), 76.
-
21
Sedangkan menurut pandangan Ulama-ulama ma’ani menjelaskan
bahwa maḥabbah adalah kencendrungan hati kepada sesuatu karena
indahnya dan lezatnya bagi orang yang mencintai. Jika kecendrungan itu
kuat, di namakan dengan shababah (curahan), karena tercurahnya hati
kepada sesuatu yang ia cintai secara keseluruhan, jika melebihi cinta dengan
tingkatan shababah maka di namakan gharum, tambatan hati, seperti
tertambatnya hati orang yang berhutang untuk membayar hutangnya.10
Dalam pandangan al-Junaid, maḥhabbah di definisikan sebagai
“kecenderungan hati pada Allah Swt, kecenderungan hati pada sesuatu
karena mengharap riḍa Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati
semua yang di perintahkan atau menjauhi yang dilarang oleh Allah, dan rela
menerima apa yang telah di tetapkan dan di takdirkan Allah”.11 Dalam ilmu
tasawuf akan maḥabbah menurut al-Qushayri ialah bahwa keadaan jiwa
yang suci dengan coraknya ialah di saksikannya kemutlakan Allah Swt,
oleh hambanya, kemudian seorang hamba yang dicintainya juga
mengungkapkan cinta kepada yang dikasihani-Nya.12
Sedangkan menurut para sufi cinta adalah salah satu konsep yang tidak
mampu di fahami dan di masukan dalam premis-premis dan dalam figura-
figura deduksi. Cinta hanya dapat di hayati, namun tidak dapat di sifati. Ibnu
Arabi berkata, “jika seseorang mengaku bisa mendenifikasikan cinta,
jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika ada yang berkata aku sudah
kenyang dengan cinta, ketahuilah ia masih buta tentang cinta, karena tidak
10 Mahmud Syarif, Nilai Cinta dalam Alqur’an, cet I, terj. As’ad Yasin, al-hubb fi
Alquran, Jakarta: Qitshi Press: 2005, 31 (Raudhatul Jannah Ilyas: 2017). 11 Abdul fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta Selatan: khalifa, 2005),141. Sebagai bahan
perbandingan, dapat juga dilihat tulisan Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Cet. IV, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002),208. 12 Al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al-Kahir), 318.
-
22
seorang pun yang di keyangkan cinta”.13 Kemudian Jalaludin Rumi
mendefinisikan, cinta tidak memiliki definisi yang melalui esensi cinta
dapat di kenal. Sebaliknya, yang dimiliki oleh cinta hanyalah definisi-
definisi dengan sifat yang deskriptif dan verbal.14
Menurut Shaikh Abu’l-Barakat al-baghdadi, maḥabbah ialah gambaran
tentang kenikmatan yang sulit dijelaskan oleh perkataan. Maḥabbah selalu
diartikan seperti kerinduan yang tak bisa dipisahkan oleh asinnya garam,
rindu tersebut yakni kerinduan untuk menyaksikan dan bertemu dengan
yang dicintainya.15 Kemudian menurut Ibnu Arabi menjelaskan al-hubb
ialah keaslian dan kejernihan hati dari hawa yang kotor dan maḥabbah
adalah cinta yang diperuntukkan kepada yang baik dan menyingkirkan dari
selainya yang tidak baik.16 Menurut Ṣalāḥ ad-din al-Tijany mengatakan
bahwa cinta merupakan maqam Allah, sebab Allah sendiri telah mensifati
diri-Nya dengan al-wadud dan al-muhibb yang artinya Maha Penyayang.17
Kemudian menurut Harun Nasution, Pengertian maḥabbah adalah:
1. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu
Tuhan.18
13 Mushin Labib, Jatuh Cinta: Puncak Pengalaman Mistis, Cet I, Jakarta: Lentera, 2004,
(Raudhatul Jannah Ilyas: 2017). 14 William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi, (Surabaya: Serambi, 2003), 147 15 Abdullah bin As’ad al-Yafi’I al-Syafi’I, “al-Mafakhir fi Manasib Syekh Abdul Qadir
wa Jama’ah mi al-Suyukh al-Akabir”, Terj: Ahmad Dzulfikar, (Depok: Keira Publishing,
2016), 321 16 Mahmud al-Ghurab, al-Hub wa al-Maḥabbah al-Illahiyah min Kalam as-Syeikh al-
Akbar, terj: Aguk Irawan MN dan Kaserun, (Yogyakarta: Indes, 2015), 140. (Muh Syafiq:
2017). 17 Ṣalāḥ ad-din al-Tijany, “al-Kanz fi al-Masail as-Sufiyyah”, (terj: Maman
Abdurrahman, 2010), (Muh Syafiq: 2017). 18 Harun Nasution, “Falsafah dan Mistisisme dalam Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), 70.
-
23
Dari semua pendapat yang sudah penulis paparkan mengenai pengertian
dan definisi maḥabbah, kemudian bisa dijelaskan arti makna maḥabbah
ialah dengan selalu taat dengan segala perintah Allah dan menjauhi segala
yang dilarang-Nya serta selalu mengikuti yang sudah Nabi ajarkan dan
contohkan, akan tetapi tujuan sebenarnya ialah mencapai maḥabbah Allah,
sebagaimana Allah telah berfiman dalam QS’Ali‘Imrān[31]:3.
ُ َويَ ۡغِفۡر َلُكۡم ُذنُوَبُكۡمۚۡ َوٱَّللهُ ِبۡبُكُم ٱَّلله ممَ ُقۡل ِإن ُكنُتۡم ُتُِبُّوَن ٱَّللهَ فَٱتهِبُعوِن ُُيۡ ِِ ََُفوََ َه Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
B. Maqam-maqam Mencapai Tingkatan Maḥabbah
Sesuai dengan yang telah di jelaskan bahwa maḥabbah dalam pandangan
kaum sufi adalah anugerah Tuhan kepada hamba-Nya yang suci, sehingga
memerlukan latihan mensucikan diri, meghilangkan sifat hasut yang di
miliki, kemudian mengisinya dengan sifat lahut. Karena itu, dalam ajaran
tasawuf ada jenjang pensucian diri yang disebut dengan maqam.19
Kemudian para ahli berbeda dalam menetapkan maqam yang harus di
lalui, seperti Abu Naṣr al-Sarrāj al-Tusi membagi maqam kepada tujuh
tingkatan: taubat, zuhud, wara’, faqr, sabar, tawakkal, dan riḍa. Sementara
Abu Bakar al-Kalabadhi membagi sepuluh tingakatan: taubat, zuhud, sabar,
faqr, tawaddu, taqwa, tawakkal, Riḍa, al-maḥabbah dan al-ma’rifah.
Selanjutnya menurut Rabi’ah al-Adawiyah membagi tingkatan kepada
tujuh tingkatan: taubat, wara, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan rida. Dari
sekian banyak perbedaan yang telah di jelaskan penulis, di sini penulis
mencoba menjelaskan akan maqam-maqam untuk mencapai maḥabbah
19 Rahmi Damis, “Maḥabbah Dalam Pandangan Sufi”. Wawasan Keislaman. Vol. 6, no
1 2011.
-
24
dengan melalui pendapatnya Rabi’ah al-Adawiyah saja, di antaranya
adalah:
1. Taubat
Tingkatan pertama untuk mencapai maḥabbah adalah Taubat, sedangkan
taubat ialah pembersihan dosa manusia, sebab dosa itu adalah hal yang tidak
baik atau kegelapan yang tidak akan bisa menyatu dengan cahaya.20 Taubat
di sini adalah dengan tidak pernah mengulangi kesalahan-kesalahan yang
pernah di perbuat selama di dunia serta dengan melaksanakan shalat taubat
agar semua dosa yang ada pada dirinya bisa di hilangkan oleh Allah. Sebab
menurut Rabi’ah dosa adalah sebuah penghalang untuk mencapai
maḥabbah. Rasa sedih ketika melihat dosa yang dialami Rabi’ah
membuatnya terus menangis, tetapi bukan karena takut akan api neraka,
melainkan Rabi’ah takut berpisah dengan kekasihnya yaitu Allah Swt.
Berpisahnya dengan Tuhan adalah salah satu hal yang terberat dalam
hidupnya.21 Kemudian, jika tidak ingin berpisah dan jauh dengan Tuhan
seorang hamba itu harus benar-benar tulus bertaubat, karena taubat
sebenarnya adalah merupakan anugerah Tuhan sebagai ketetapan baik.22
2. Wara
Selanjutnya maqam kedua adalah wara, wara adalah berhati-hati dalam
sikap kepada segala yang syubhat (tidak jelas hukum halal atau haramnya)
dalam tingkatan ini ketika seseorang sudah bertaubat seseorang tersebut
20 Lihat al-Ghazali, “Ihya ‘Ulum al-Din” Juz IV, (Surabaya: Hidayat, 1986), 12. Seperti
dikatakan Rabi’ah saat mendengar keluhan Sufyan alTsauri:”Alangkah sedihnya hatiku,”
Bagi Tabi’ah, kata-kata itu gombal, karena Sufyan masih bisa terlihat bahagia. Lihat
alTaftazani, 100. 21 Lihat Farid al-Din al-’Aththar, “Tadzkirat al-Auliya”, Vol. I (London: Luzac) 22 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al Adawiyah, Apresiasi atas
Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”. Spiritualitas Islam, vol.3, no.2 (Januari 2004) Lihat
Al-Taftazani, 101.
-
25
harus berhati-hati dalam bersikap seperti menjaga makan dan minumnya
apakah berasal dari yang haram atau halal, karena bagi seorang sufi segala
sesuatu yang hukumnya tidak jelas maka akan di tinggalkan, bahkan segala
yang halal pun akan tetapi dapat menganggu ikatannya dengan Tuhan maka
akan di tinggalkan.23 Sebagaimana yang sudah Rabi’ah jalani selama
hidupnya seperti ketika Rabi’ah menolak pemberian emas dari Hasan al-
Bashri, sebab takut memalingkan perassanya dari Tuhan kepada harta.24
Kemudian seperti halnya ketika Rabi’ah akan memasak sup akan tetapi
Rabi’ah tidak mempunyai sebuah bawang untuk di jadikan bumbu, tiba-tiba
datang seekor burung yang mengantarkan bawang tersebut, akan tetapi
Rabi’ah tidak mau untuk memakan sop tersebut yang sudah di sajikan
pelayannya, sebab takut bahwa bawang itu hanya sebuah muslihat.25
Kemudian ketika waktu Rabi’ah menjahit pakaiannya yang sobek dengan
menumpang cahaya lampu kepada rumah penguasa, dan akhirnya Rabi’ah
menyobek pakaiannya yang sudah ia jahit.26
3. Zuhud
Ketika seorang sudah sampai dengan wara langkah selanjutnya adalah
zuhud, zuhud ialah meninggalkan segala yang bersifat keduniaan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan.27 Dalam tingkatan ini semua hal yang
23 Al-Qushayri mengutip pernyataan al-Syibli. Lihat al-Qushayri, 110. 24 Abd al-Mu’in Qandil, “Figur Wanita Sufi”, terj. M.Sofyan Amrullah,(Pustaka
Progressif, 1993), 111. 25 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al Adawiyah, Apresiasi atas
Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”. Spiritualitas Islam, vol.3, no.2 (Januari 2004) Lihat
A.J. Arberry, 54. 26 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al Adawiyah, Apresiasi atas
Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”. Spiritualitas Islam, vol.3, no.2 (Januari 2004) Lihat
Al-Qusyairi, 114. 27 Hal ini tampak ketika Rabi’ah menolak tinggal di rumah mewah hasil renovasi
seorang saudagar kaya, “Aku takut hetiku tertambat padanya, sehingga aku disebutkan oleh
dunia,”jawaban tegas Rabi’ah. Farid al-Din Aththar, 66. Karena tujuan hidupnya hanya
Allah semata, sehingga segala hal yang mungkin menggangu harus ditiinggalkan.
AlGhazali, 291.
-
26
bersifat keduniaan harus di lupakan seperti harta, jabatan, dan lainnya,
sebab di dalam pikirannya hanya ada Allah dan takut menjadi penghalang
untuk sampai kepada-Nya. Kemudian bagi seorang yang hendak memasuki
dunia tasawuf, kehidupan dunia harus di tinggalkan, setidaknya karena dua
alasan di antaranya: pertama karena dapat mengalihkan perhatian dari
Allah.28 Menggangu ibadah,29 beban dan jerat pengembaraan spiritual,30
kedua karena tidak membuat kaya hakiki, sekalipun memiliki seluruh dunia,
sebab karena ia fana (hilang).31 Rabi’ah berkata bahwa zuhud itu sendiri
bukan semata untuk membersihkan hati dari keduniawian, melainkan lebih
karena takut berpisah dengan Allah Swt karena sibuk dengan dunia. Karena
itu, ia tidak pernah membicarakan urusan dunia dari sisi baik dan
buruknya.32 Bahkan ia sampai tidak peduli dengan perlengkapan rumah
tangganya sendiri.33
4. Faqr
Setelah mencapai zuhud selanjutnya ialah tingkatan faqr menurut al-
Syibli memberikan pengertian faqr dengan “tidak adanya rasa butuh kecuali
28 Karena itu ia juga menolak lamaran gubernur Bashrah dan menjanjikan mas kawin
100.000 dinar plus gaji 10.000 dinar perbulan. Tapi Rabi’ah menolaknya, bahkan sekalipun
sang gubernur akan menjadi budaknya. Lihat M. Smith, 14. 29 Lihat selengkapnya dalam Abu Thalib al-Makki, “Qut al-Qutub fi Mu’amalat
alMahbub”, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 103. 30 Suatu hari Rabi’ah membuang uangnya ke sungai Tigris setelah orang yang
disuruhnya membeli baju, kembali lagi dan mananyakan warnanya. Dia tidak mau lagi
terikat dengan keduniawian sekecil apapun. Persoalan warna saja dapat membuat manusia
tidak merdeka. Al-‘Aththar, 68. 31 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah Apresiasi atas
Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”. Vol 3, no. 2 (Januari 2004). 32 Rabi’ah menyatakan rasa tidak suka memperbincangkan baik buruk dunia kepada
para penjenguknya saat dia sakit. Ketika itu para penjenguk berbicara tentang keburukan
dunia untuk menghibur Rabi’ah. Al-‘Aththar, 72. 33 Pembantunya mengeluh karena tidak mendapatkan pisau di dapur dan Rabi’ah tidak
peduli lagi dengan hal itu, 68.
-
27
kepada Allah.34 Mengenai faqr di sini ialah seseorang tersebut tidak akan
pernah ada rasa butuh dari orang lain sebab seseorang tersebut hanya butuh
kepada Allah, akan tetapi ini menurut para sufi faktanya hidup seseorang di
dunia ini pasti sangat membutuhkan uluran tangan saudaranya. Sedangkan
menurut Rabi’ah, meminta sesuatu kepada orang lain adalah pantangan.35
Sehingga Rabi’ah pun merasa malu ketika meminta pertolongan kepada
yang bersifat dunia kepada Allah, apalagi kepada sesamanya.36 Sampai
Rabi’ah pernah mengungkapkan bahwa dirinya telah empat puluh tahun
berjanji kapada Allah agar tidak akan meminta apapun kecuali kepada
Allah.37 Karena baginya tidak perlu meminta pertolongan kepada sesame,
sebab Allah Swt sudah menjamin hidupnya.
5. Sabar
Setelah mencapai maqam faqr selanjutnya adalah maqam sabar, sebab
maqam faqr lah yang akan mengantarkan kepada maqam sabar. Sabar di
sini ialah selalu ihklas dengan apa yang sudah di terima atau di takdirkan
oleh Allah, serta selalu pasrah dan hanya mengingat Allah saja. Sedangkan
maqam sabar menurut al-Qushayri terbagi menjadi dua bagian: pertama.
Sabar dalam menjalankan perintah dan larangan Allah, kedua. Sabar dalam
menghadapi segala kehendak Allah.38 Sebagaimana yang telah dicontohkan
dalam semasa beribadahnya Rabi’ah seperti Shalat dan Dzikir sepanjang
malam dan ketika di siang hari berpuasa, karena menurut Rabi’ah, segala
34 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah, Apresiasi atas
Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”, Vol, 3, 276. 35 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah, Apresiasi atas
Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”, 26. 36 Jawaban Rabi’ah ketika ada seseorang yang menawarkan bantuan apa saja yang
dibutuhkan olehnya. Lihat al-Taftazani, 99 37 Jawaban Rabi’ah ketika pembantunya minta izin untuk minta bawang kepada
tetangga ketika akan membuat sop, A.J. Arberry, 54. 38 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah, Apresiasi atas
Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”, Vol, 3, 145.
-
28
kehidupannya ialah suatu ketentuan Allah, sebab itu kita harus menerima
tanpa ada usaha untuk melawan ketentuannya.39
6. Tawakkal
Selanjutnya setelah mencapai maqam Sabar, kemudian adalah maqam
Tawakkal akan tetapi ketika seorang benar-benar dan sungguh-sungguh
dalam bersabar maka akan melahirkan Tawakkal yang artinya berserah diri
kepada Allah, berserah diri di sini ialah selalu menerima apapun yang di
hadapi dari penyakit, kesedihan, kesenangan, dengan ihklas nerima apa
adanya. Sebab Rabi’ah pernah menunjukan bahwa di dalam kehidupannya
itu Rabi’ah hanya mengikuti segala kehendak yang di terimanya dari Allah,
sekalipun berupa sebuah cobaan atau musibah.40 Segala sesuatu yang terjadi
adalah ketentuan Allah sebab Allah yang mempunyai kehendak, dan tugas
bagi seorang hamba ialah hanya menerimanya dengan penuh ketulusan dan
keihklasan.41
7. Riḍa
Maqam yang terakhir untuk mencapai maḥabbah yaitu adalah tingkatan
Riḍa, sebab puncak tawakkal adalah riḍa atau rela atas segala yang di
tentukan dan kehendaki oleh Allah Swt. Artinya tawakkal akan melahirkan
sifat rida di mana seseorang tersebut sepenuh hidup dan matinya hanya
39 Jawaban terhadap anjuran Malik bin Dinar agar mohon diringankan penderitaannya
kepada Allah swt. Al-‘Aththar, 71. 40 Rabi’ah pernah menegur seorang pemuda yang mengikat kepalanya dan mengeluh.
Lihat al-‘Aththar, 68. 41 Hal itu tampak dari penolakannya terhadap tawaran Malik bin Dinar yang
menawarkan bantuan untuk meringankan penderitaanya. “Karena dia mengetahui
keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus
menerimanya.” Kata Rabi’ah hal. 71. Dalam kisah lain, ‘Abd al-Wahid bin Amir bersama
Sufyan al-Tsauri datang ke Rabi’ah menjenguk Rabi’ah dan menganjurkannya agar
memohon kepada Allah untuk meringankan penderitaanya. Tapi Rabiah menolak karena
Allah tahu betul kondisinya dan dia memang menghendaki itu, Lihat Michael A. Sells,
1996, Early Islamic Mysticism, New York: Paulist Press, 167
-
29
mencintai Allah semata. Bahwa Rabi’ah mengatakan kesusahan kehidupan
memang sudah di tentukan oleh Allah serta dia sepenuhnya mengetahui,
karena segala bentuk ujian itu tidak boleh menghilangkan rasa cintanya
kepada-Nya.42 Baginya seorang hamba yang sudah mencapai akan maqam
riḍa maka musibah atau penderitaan yang diterima dunia sekalipun
kenikmatan maka akan merasakan sama, semuanya sama-sama diterima
dengan ihklas sebagai ketentuan Allah.43 Dengan maqam riḍa dalam
hatinya, Rabi’ah berharap Allah Swt, riḍa kepadanya.44 Jadi ketika
seseorang sudah mencapai dengan tingkatan riḍa bisa di katakan ia menjadi
seorang sufi. Maka dengan itu kedudukan seorang ketika ingin mencapai
atau mandapatkan maḥabbah harus mencapai tingkatan maqam riḍa, oleh
sebab itu bisa di jelaskan maqam riḍa adalah tingkatan terakhir untuk
mencapai Maḥabbah.
C. Pandangan Maḥabbah Menurut Para Ulama Sufi
Setelah menjelaskan maqam-maqam maḥabbah dalam sub bab
sebelumnya, selanjutnya penulis ingin menjelaskan pandangan maḥabbah
menurut para ulama sufi di antaranya ialah:
1. Shaikh Abu Abdurrahmān al-Sulami
Menurut al-Sulami telah mengutip perkataan ulama yaitu Shaikh Amr
bin Ustmān berkata cinta kepada Allah yang maha tinggi adalah tujuan
mengenal-Nya, selalu takut kepada-Nya, senantiasa sibuk hatinya untuk
42 Suatu ketika Rabi’ah berkata:”seandainya Engkau akan memisahkanku dengan-Mu
melalui penderitaan, aku tidak akan berhenti sebagai kekasih-Mu.” Lihat M. Smith, 72 43 Ketika musibah sama dengan nikmat, maka orang itu telah mencapai ridla. Demikian
jawaban Rabi’ah ketika ditanya Sufyan Tsauri. Lihat al-Qusyairi, 163. 44 Rabi’ah menegur Sufyan al-Tsauri yang berdoa: “Ya Allah riḍailah hamba.” Rabi’ah
berkata: “Apakah engkau tidak malu minta riḍa kepada dzat yang engkau tidak riḍa
kepadaNya.” Lihat Al-Kalabadzi, “Al-Ta’aruf li Madzhab Ahl al-Tashawuwuf”, (Kairo:
Dar al-Ma’rifah, 1960), 107. Artinya, ridla harus timbal balik antara Allah dan hamba.
AlTaftazani, 101.
-
30
mengingatknya, senantiasa hati menyebutnya, dan senantiasa ramah
kepada-Nya.45 Artinya bahwa tujuan untuk mendapatkan maḥabbah ialah
dengan selalu mengenal Allah serta takut kepada Allah kemudian
senantiasa sibuk hatinya hanya mengingat Allah, sedangkan cara untuk
mengenal, takut, dan sibuk hatinya yaitu dengan selalu menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, selalu menyebutkan asmanya
dalam dzikir pada setiap saat. Sedangkan menurut al-Sulami untuk meraih
maḥabbah ialah dengan selalu mengikuti Nabi, mengikuti adalah salah satu
anjuran Allah jika seorang hamba ingin menggapai maḥabbah Allah.
Ketika menjelaskan maḥabbah al-Sulami berpendapat di dalam kitabnya
Haqa’iq al-Tafsῑr bahwa tidak akan sampai kepada cahaya yang paling
tinggi, bagi orang yang tidak meminta petunjuk dengan cahaya yang rendah,
dan siapa yang tidak menjadikan jalan kepada cahaya yang tinggi itu
berpegangan dengan adab-adab yang mempunyai cahaya rendah dan
mengikutinya maka sesungguhnya dia buta dari dua cahaya tersebut, maka
di pakailah baju tipuan.46 Maka dari itu cahaya yang tinggi hanya di miliki
oleh Nabi, dan seorang makhluk hanya memiliki sebuah cahaya yang
rendah, sehingga butuh perjuangan dan ketulusan untuk meraih cahaya yang
tinggi akan tetapi bukan melewati cahaya yang tinggi melainkan hanya
berusaha untuk menjadi seorang hamba yang baik serta mendapatkan
maḥabbah Allah.
Al-Sulami telah berkata dalam QS.’Ali’Imrān[3]:31 bahwa kalimat
maḥabbah itu dari bibit hati, dan bibit itu penglihatan hati, yakni seperti biji-
bijian yang jatuh di dalam tanah, yang tertanam di dalam tanah, dan tumbuh
45 Abu‘Abd al-Rahman al-Sulami, Tafsῑr Haqā’iq al-Tafsῑr, (Beirut: Dar al-Kutum al-
‘Ilmiyya, 2002), 96 46 Abu‘Abd al-Rahman al-Sulami, Tafsir Haqā’iq al-Tafsῑr, (Beirut: Dar al-Kutum al-
‘Ilmiyya, 2002), 96
-
31
biji-bijian tersebut.47 Maka jika seseorang sudah tertanam dalam hatinya hal
yang baik seperti selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya, maka seseorang tersebut akan menggapai maḥabbah Allah yang
menjadi tujuan manusia seutuhnya.
2. Shaikh ‘Abdul al-Qādir al-Jailāni.
Menurut Shaikh ’Abdul al-Qādir al-Jailāni telah mengutip perkataan
seorang pecinta bahwa tidak punya kedua mata yang sebabnya dia melihat
selain kepada yang dicintai-Nya, karena seorang yang bohong itu ialah
ketika ia mencintai Allah akan tetapi membuka hatinya kepada selain Allah,
sebab hendaknya hati ini hanya di isi dengan selalu mengingat Allah, karena
Allah tidak mau di dua.48 Yakni hati yang cinta pada Allah dan Cinta kepada
sesama, sebab tidak akan mungkin ada satu hati pun yang di dalamnya
terikat antara dunia dan akhirat.49 Sebagaimana dalam QS.al-Ahzab[33]:4
yang menjelaskan tentang hal ini.
ُهنه أُ ِي ُتظََِٰهُروَن ِمن ِۡتكُ مها َجَعَل ٱَّللهُ ِلَرُجل مِ ن قَ ۡلَبۡۡيِ ِف َجۡوِفِهۦۚۡ َوَما َجَعَل أَۡزوَََٰجُكُم ٱلهََّٰٰٓ َوَما مههََٰ
ۡمُۚۡ يَ ُقوُل ٱۡۡلَقه َوُهَو يَ ۡهِدي ٱلسه َوٱَّلله
ِهُكۡمۖۡ وََٰ ِلُكۡم قَ ۡوُلُكم ِِبَف ۡ َنآَّٰءَُكۡمۚۡ ذََٰ ِبملَ َجَعَل أَۡدِعَمآَّٰءَُكۡم أَب ۡ“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya, dan tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai
ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang
benar)”
Menurut al-Jailāni ketika hati seorang hamba masih bersangkutan
dengan hal-hal yang bersifat duniawi serta masih melekat dalam hatinya,
47Abu‘Abd al-Rahman al-Sulami, Tafsir Haqā’iq al-Tafsῑr, (Beirut: Dar al-Kutum al-
‘Ilmiyya, 2002), 96 48 Mohamed Fadil al-Jilani al-Hasani, “Nahr al-Qadiriyah Manaqib Syekh Abdul Qadir
al-Jailāni”, terj: Ahmad Dzulfikar, (Depok: Keira Publishing, 2016), 230. 49 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Jila’ al-Khatir”, terj: Lukman Hakim, (Bandung: Marja,
2009), 36
-
32
maka di situlah Allah tidak akan bersamanya, karena Allah itu tidak mau di
sama ratakan atau di duakan pada selainnya mahkluk.50 Sedangkan jika jiwa
seorang hamba masih dihinggapi oleh rasa cinta terhadap dunia maka akan
menjadi hijab (penghalang) semua rasa cintanya akan tertutup sampai pintu
maḥabbah kapada Allah akan terhalang. Kemudian ketika seorang
meninggalkan hal yang fana sehingga ia akan mendapatkan hal yang tidak
fana.51 Maka ketika seorang hamba tidak mau melepas dari keinginan dunia
dan akhirat serta nafsunya maka hijab tersebut tidak akan pernah hilang
dalam hatinya, namun ketika seorang hamba mau melepas hal yang
demikian secara mutlak, maka hatinya akan di jaga oleh Allah, karena ia
akan berbuat sebaik-baik mungkin untuk taat dan pasrah serta ihklas akan
takdir-Nya.52
Allah akan mencintai kepada yang mau mendapatkan cinta-Nya, ketika
seorang hamba sudah mencapai dengan hal ini maka seorang tersebut akan
di anugerahkan derajatnya oleh Allah, di dalam hatinya hanya taat dan
selalu mengingat-Nya dan tidak ada kehendak terhadap yang lain-Nya.53
Kemudian ketika di dalam hati seorang hamba telah terisi oleh Allah, maka
hanya Allah yang akan menjadi tujuan hidupnya dan menjadi wasilah di
dunia dan menggapai akhirat.54
50 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Futuh al-Ghaib”, Terj: Abdullah Zakiy al-Kaaf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), 22. 51 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Halaqah Shuffiyah fi Madrasah an-Namurah”, terj:
Abdullah Zakiy al-Kaaf,(Bandung: Pustaka Setia, 2008), 157. 52 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Jalan Cinta al-Jailāni”, terj: Kamran Asad I dan Mata
Nasrullah, (Jakarta: Diabit Media, 2007), 88. 53 Abdullah Zakiy al-Kaaf, “Manaqib Shaikh ’Abdul al-Qādir al-Jailāni”, (Bandung:
Pustaka Setia, 2016), 39. Lihat juga ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Futuh al-Ghaib”, trek:
Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 122. 54 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Futuh al-Ghaib”, terj: Abdullah Zakiy al-Kaaf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), 76.
-
33
Ketika seorang mencintai Allah, maka di situlah seorang tersebut tidak
akan pernah untuk lelah dalam hal beribadah sampai benar-benar
mendapatkannya, seperti shalat malam sepanjang malam akan bersujud dan
akan terus berusaha mencapai maḥabbah, dan akan selalu ingin berjumpa
dengan yang di cintai-Nya, bahkan tidak akan pernah mau untuk berpisah
walau dalam kenikmatan berjumpa dengan-Nya, akan selalu bersabar
menahan diri dari segala sesuatu yang di larang, serta senang sekali
menyendiri, dan mensucikan hatinya agar di jauhkan dari segala sesuatu
selain Allah. Tahapnya yaitu mulai dari memberikan pembuktian dengan
bersyahadat, sehingga memandang emas sama harganya dengan lempung,
jalan terbaik menepuh maḥabbah Allah dengan bersikap zuhud.55 Karena
ketika sudah bersikap zuhud terhadap kehidupan dunia maka akan membuat
hijab terjauhkan sehingga pintu untuk mencapai maḥabbah akan terbuka,
sebab dunia merupakan hijab yang menghalangi antara manusia dengan
Allah.56
Kemudian menurut al-Jailāni ketika sudah bersikap taat atas perintah-
Nya dan menjauhi segala yang dilarang-Nya, dan bertawakal kepada-Nya,
selalu sabar atas kehendak-Nya dan inilah merupakan akhlak mulia seorang
hamba terhadap Allah yang kemudian layak di miliki orang setiap mukmin
yang beriman.57 Seorang pecinta ialah seorang hamba yang selalu
bertawakal kepada Allah serta perilakunya selalu baik dan sopan, kemudian
pengetahuannya bertambah dalam hal ajaran-Nya serta menjadikan
dunianya sebagai jalan untuk mencapai cinta-Nya.58 Kemudian cara untuk
55 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jῑlānῑ,”34. 56 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jῑlānῑ,”34. 57 Abdul al-Qādir al-Jailāni, “al-Gunyah li Thalibi Thariqi Haq fi Akhlaq wa
Tashawwuf wa al-Adab al-Islamiyyah”, Juz II, terj: Amirullah Kandu, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), 569. 58 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Jila’ al-KhatirI”, terj: Lukman Hakim, (Bandung: Marja,
2009), 42-43.
-
34
menjadi seorang yang dicintai Allah adalah dengan mencapai ma’rifah
kepada-Nya sebab ketika ia sudah mencapai ma’rifah maka terbukalah
penghalang antara ia dengan Allah, lalu salah satu untuk mengenal Allah
dengan mentafakuri segala yang ada dan nikmat-Nya.59
Ketika ia meninggalkan hal yang dilarang Allah maka hal tersebut bisa
mendekatkan seorang hamba akan menjadi dekat dengan Allah, seseorang
yang cinta kepada Allah maka telah menghilangkan dirinya sehingga
terarah dengan kehadiran adanya Allah di hatinya.60 Kemudian untuk
meraih maḥabbah Allah, maka seorang tersebut harus melalui tahap yang
sudah di tentukan dengan menjalankan semua yang sudah di kehendaki
Allah, menggapai ma’rifah maka ia akan menjadi seorang hamba yang
dicintai.61 Sehingga seorang akan memandang bahwa dunia itu rendah,
karena dunia itu sumber kekotoran yang membuatnya jauh dari Allah.62
Seorang yang berdusta adalah ketika semasa hidupnya sudah mengenal
Allah tetapi seorang itu melanggarnya dengan bermaksiat kepada-Nya,
seharusnya ketika seorang tersebut sudah ingkar segeralah untuk bertaubat,
sebab jangan menjadi sebuah penyesalan dalam dirinya ketika berpisah
dengan-Nya.63 Hamba yang mendapatkan maḥabbah Allah pasti dia selalu
taat kepada yang dicintai-Nya dengan tulus, dan jika dia akan merasakan
ketenangan serta kedekatan bersama-Nya sekaligus atas riḍa-Nya.64
3. Imam al-Ghazāli
ُ َويَ ۡغِفۡر َلُكۡم ُذنُوَبُكۡمۚۡ َوٱَّللهُ ِبۡبُكُم ٱَّلله ممَ ُقۡل ِإن ُكنُتۡم ُتُِبُّوَن ٱَّللهَ فَٱتهِبُعوِن ُُيۡ ِِ ََُفوََ َه
59 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, 38. 60 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, 39. 61 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, 40. 62Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017), 40. 63 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, Al-Fatur Ar-Rabbani, 42 64 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, 40.
-
35
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Pada ayat di atas menjelaskan bahwa tanda seorang hamba jika ingin
mendapatkan maḥabbah Allah ialah dengan menjalankan segala perintah-
Nya dan menjauhi larangan-Nya serta selalu mengikuti kekasih-Nya, sebab
salah satu cara untuk mendapatkan tanda cinta ialah menuruti segala yang
dicintainya menurut Imam al-Ghazali. Sedangkan rasa cinta Allah terhadap
hambanya ialah di berikan pahala, rahmat, ampunan, serta menjaga mereka,
dan kenikmatan.65 Kemudian penjelasan yang kedua dengan ayat ini ialah
seorang hamba jika benar ingin mendapatkan maḥabbah Allah, maka dia
harus mengikuti Nabi selalu melaksanakan Sunnah Nabi, sebab cinta
kepada Nabi merupakan jalan menuju maḥabbah Allah, sebagaimana yang
pernah di katakan oleh Imam Junaid bahwa, seorang hamba tidak akan
sampai kepada Allah, kecuali dengan kehendak Allah, dan jalan untuk
mencapai Allah atau mendapatkan maḥabbah Allah dengan mengikuti
segala Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan membaca Shalawat setiap
hari itu juga akan mendapatkan cinta-Nya Nabi.66 Sebab dengan mencintai
Nabi maka akan mencintai para ulama dan orang-orang yang bertakwa.67
Sedangkan Ibrahim al-Khawwash pernah di tanya tentang cinta,
kemudian menurutnya cinta adalah mempersatukan jiwa dalam lautan tanda
dan isyarat serta ketiadaan hasrat dan keinginan sebab terbakarnya segala
sifat dan kebutuhan.68 Orang yang menduakan atau menyekutukan ialah
orang yang akan terperosok ke dalam kebodohan ilmu serta kesempitan
65 Abu Hamid al-Ghazāli, “Tahzib Mukasyafah al-Qulub”, terj: Akhmad Siddiq dan A.
Rofi’I Dimyati, (Jakarta: Keira Publishing), 18. 66 Abu Hamid al-Ghaāli, “Mukasyaftul Qulub”, terj: Mahfudh Sahli, (Jakarta: Pustaka
Amani), 55. 67 Abu Hamid al-Ghazāli, “Ihya ‘Ulum al-Din”, (Jakarta: Republik, 2013), 204. 68 Abu Hamid al-Ghazāli, “Tahdzib Mukasyafah al-Qulub”, Terj: Akhmad Siddiq dan
A. Rofi’I Dimyati, Jakarta: Keira Publishing, 20.
-
36
untuk mengenal-Nya.69 Kemudian bagaima