PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS...

107
MAKNA MAABBAH DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSR DAN TAFSR AL-JLĀNSkripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Muhammad Idris Alimuddin NIM. 1113034000095 PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M

Transcript of PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS...

  • MAKNA MAḤABBAH DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN

    TAFSῙR AL-JῙLĀNῙ

    Skripsi

    Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

    Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

    Oleh:

    Muhammad Idris Alimuddin

    NIM. 1113034000095

    PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

    FAKULTAS USHULUDDIN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1441 H/2020 M

  • dc

    PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

    Skripsi yang berjudul MAKNA MAHABBAH DALAM HAQĀ'IQ AL-TAFSĪR DAN TAFSIR AL-JILĀNĪ telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 Juni 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

    Jakarta, 04 Agustus 2020

    Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

    Dr. Eva Nugraha, M.Ag

    Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004

    Anggota,

    Penguji I, Penguji II,

    Prof. Dr. Sri Mulyati

    Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19560417 198603 2 001 NIP. 19600908 198903 1 005

    Pembimbing,

    Moh. Anwar Syarifuddin, MA NIP. 19720518 199803 1 003

  • MAKNA MAḤABBAH DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN

    TAFSῙR AL-JῙLĀNῙ

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

    Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

    Oleh:

    Muhammad Idris Alimuddin

    1113034000095

    Pembimbing

    Moh. Anwar Syarifuddin, MA.

    NIP: 197205 18199803 1 003

    PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

    FAKULTAS USHULUDDIN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1441 H/ 2020 M

  • i

    ABSTRAK

    Muhammad Idris Alimuddin

    Makna Maḥabbah dalam Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsῑr al-Jῑlānῑ

    Dari sekian banyak permasalahan yang dibicarakan dalam al-Qur’an

    salah satunya adalah tema tentang Maḥabbah dalam Haqā’iq al-Tafsῑr dan

    Tafsῑr al-Jῑlānῑ, yang mana di dalam al-Qur’an sendiri banyak sekali lafadz-

    lafadz yang menunjuk konsep Maḥabbah (cinta) seperti yang terdapat pada

    QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭā-ḥā[20]:39. Pokok penelitian skripsi ini

    adalah bagaimana dalam Tafsῑr Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsῑr al-Jῑlānῑ

    menafsirkan QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭā-hā[20]:39 dalam menjelaskan

    makna maḥabbah.

    Penelitian ini termasuk library research dengan menggunakan analisis

    deskriptif. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh konsep Maḥabbah

    dalam Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsir al-Jῑlānῑ dengan makna ketaatan,

    keriḍaan kepada Allah dan Rasulnya yang terdapat di dalam

    QS.’Ali’Imrān[3]:31 yang menggambarkan bahwa jika seseorang ingin

    memperoleh akan maḥabbah Allah, maka seseorang tersebut harus

    mengikuti apa yang diperintahkan oleh Nabi akan tetapi, bukan mencintai

    Nabi yang menjadi tujuan melainkan cinta Allah-lah tujuan manusia

    sebenarnya. Makna maḥabbah dalam kedua tafsir ini sangat jelas bahwa

    murni pemberian karunia dari Allah kepada hamba-Nya, karena mereka

    yang menjalankan syariat-Nya dalam sehari-hari dan menjalankan

    sunatullah, ketika ingin mencapai akan maḥabbah Allah. Kemudian

    maḥabbah dalam kedua tafsir ini digolongkan ke dalam maqamat karna

    berdasarkan pernyataan di atas murni datang dari Allah.

    Selanjutnya makna maḥabbah dalam QS.Ṭā-hā[20]:39 ialah di dalam

    Haqā’iq al-Tafsῑr dan al-Jῑlānῑ bahwa menjelaskan akan gambaran

    maḥabbah Allah yang diberikan kepada Nabi Musa dengan cara selalu

    menolong Nabi Musa dalam hal apapun, akan tetapi Tafsῑr al-Sulami

    menjelaskannya di dalam penafsiran QS.Al-Araf[7]:143, bahwa Nabi Musa

    bermunajat kepada Allah agar diperlihatkan Dzat-Nya, akan tetapi saat

    Allah bertajalli pada sebuah gunung, maka gunung itu hancur, kemudian

    Nabi Musa jatuh pingsan dan bertaubat kepada Allah. sedangkan menurut

    al-Sulami menjelaskan dalam kitabnya bahwa Nabi Musa ketika bermunajat

    kepada Allah Nabi Musa dihilangkan sifat kemanusiaannya dan nampaklah

    akan dzat-Nya kemudian Nabi Musa pingsan, setelah Nabi Musa terbangun

    dari pingsannya Nabi Musa langsung bertaubat kepada Allah bahwa tidak

    ada yang bisa melihat-Nya jika bukan karna kehendak-Nya.

    Kata Kunci: Tafsir Sufi al-Qur’an, maḥabbah.

  • ii

    KATA PENGANTAR

    بسم هللا الرحمن الرحيم

    Tiada kata yang pantas untuk dihaturkan selain rasa syukur atas rahmat

    dan hidayah-Nya yang senantiasa penulis rasakan setiap waktu. Hanya Dia

    Tuhan Maha Kasih yang telah memberikan nikmat sehat dan iman, serta

    petunjuk kepada penulis sehingga kata demi kata bisa penulis rangkum

    menjadi sebuah karya tulis ilmiah (skripsi) yang akan penulis serahkan

    sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan jenjang strata 1 di

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dialah Tuhan Maha Sayang yang

    senantiasa memberikan kekuatan kepada penulis disaat penulis merasa lelah

    bahkan frustasi untuk menyelesaikan penelitian ini.

    Shalawat serta salam seiring kerinduan akan senantiasa tercurahkan ke

    haribaan baginda Rasul Muhammad Saw. beserta keluarga dan para

    sahabatnya yang telah memperjuangkan Kalamullah yang sempurna

    sehingga dapat tersampaikan pula dengan begitu sempurna kepada kita

    sebagai ummatnya sampai akhir zaman.

    Dengan ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul

    MAKNA MAḤABBAH DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN TAFSῙR

    AL-JῙLĀNῙ tidak akan terselesaikan tanpa adanya banyak sosok yang

    senantiasa mendampingi baik secara langsung dan tidak langsung,

    memberikan semangat dengan penuh cinta dan kasih sayang, memberikan

    sumbangsih moral ataupun moril kepada penulis dengan penuh kesabaran.

    Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati, penulis rasa wajib kiranya

    untuk mengungkapkan rasa terimakasih itu kepada mereka:

  • iii

    1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA., selaku Rektor UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Dr. Yusuf Rahman, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuludin UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Quran dan

    Tafsir, dan Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH, selaku Sekertaris Jurusan

    Ilmu al-Quran dan Tafsir beserta segenap jajaran pengurus Fakultas

    Ushuluddin yang telah banyak membantu mempermudah proses

    administrasi dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.

    4. Moh. Anwar Syarifuddin, MA, selaku dosen pembimbing skripsi,

    yang telah membuka wawasan dan memberikan judul skripsi ini,

    ucapan terimakasih saja belum cukup untuk menggantikan jasa – jasa

    yang diberikan, akan tetapi hanya doa terbaik yang bisa saya

    panjatkan, terimakasih untuk semua yang telah bapak berikan kepada

    saya, dan terimakasih sudah menjadi pendidik sekaligus menjadi

    orang tua kedua, semua jasa – jasa bapak tidak akan saya lupakan.

    5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan kebaikan dan

    kemurahan hatinya baik secara sadar dan tidak sadar telah mendorong

    penulis untuk pantang menyerah sebelum menang dalam menggali

    kedalaman dan keindahan kitab suci al-Qurān serta ke-Uswah-an

    Nabi Muhammad saw.

    6. Kedua orang tua tercinta, sepertinya ucapan terimakasih tidaklah

    cukup atas semua yang telah diberikan, sejak lahir sampai beranjak

    dewasa, anakmu ini terlalu sering mengecewakan mu, anakmu selalu

    berdoa akan kesehatan mu dan segalanya yang terbaik untukmu,

    terimakasih Bapa dan Ibu sudah bersabar untuk mendidik dan

    membesarkan anakmu ini, skripsi ini saya persembahkan untuk Bapa

    dan Mimih, semoga bisa menjadi kebanggaan untuk Bapa.

  • iv

    7. Kakak dan adik, yang selalu memberikan motivasi dan semangatnya,

    berkat kakak dan adik, akhrinya yang di cita-citakan terselesaikan

    juga untuk menyegerakan Sarjana abangmu, terimakasih karena

    ocehan dan omelanmu abangmu dapat menyelesaikan skripsi ini.

    8. Skripsi ini saya berikan kepada perempuan hebat yang semoga

    menjadi calon pendamping hidup saya Nurcholifah, M.pd.

    terimakasih atas kesabaran dan support nya selama ini, skripsi ini saya

    persembahkan untuk wanita yang saya cintai setelah Umi, tetap sabar

    dan support lelakimu ini.

    9. Sahabat dan teman seperjuangan, keluarga besar IAT angkatan 2013

    terimakasih selalu mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan

    skripsi ini dan sudah membantu dalam penulisan skripsi ini, Haikal

    Fadhil, Muhammad Fauzan, S.Ag, Abdul Barry, S.Ag, Ibadurrahman

    Bayhaki, Muhammad Esa Fachresa, dkk, terimakasih telah menjadi

    sahabat terbaik, dan semoga kita bisa bertemu kembali bersama-sama

    di suatu saat nanti.

    10. Alumni Pondok Pesantren Yayasan MUMTAZ Ibadurrahman, saya

    ucapkan terimakasih yang mendalam terutama pada angkatan 07,

    sebab tanpa support dan dukungan kalian penulis tidak akan sampai

    menyelesaikan Skripsi ini, maka Skripsi ini penulis berikan kepada

    kalian teman.

    11. Organisasi, komunitas, dan lembaga, terutama untuk Lembaga KPS

    Komuniitas Peduli Sesama yang selalu memberikan motivasi dan

    arahannya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini, dan

    terimakasih kepada teman-teman penghuni Buntu Blok B.7 yang

    sudah mempersilahkan saya untuk mencari inspirasi sekaligus yang

    menjadi rumah kedua selama menjadi Mahasiswa sehingga bisa

    menyelesaikan Skripsi ini.

  • v

    Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terimakasih yang begitu

    mendalam dan seuntai doa senantiasa penulis haturkan kepada mereka agar

    senantiasa segala kebaikannya dibalas oleh Allah swt dengan balasan yang

    setimpal. Akhirnya, penulis berharap semoga karya tulis ini senantiasa

    dapat memberikan wawasan mengenai Quran dan bermanfaat bagi

    semuanya, khususnya bagi penulis sendiri. Āmīn yā rabb

    Ciputat, 2 Juni 2020

    Penulis

  • vi

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ................................................................................................. i

    KATA PENGANTAR ............................................................................. ii

    DAFTAR ISI ........................................................................................... vi

    PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... viii

    BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

    B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................... 10

    a. Identifikasi Masalah ............................................................. 10

    b. Pembatasan Masalah ............................................................ 11

    c. Perumusan Masalah .............................................................. 11

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 11

    D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 12

    E. Metodologi Penelitian ................................................................. 14

    F. Sistematika Penulisan .................................................................. 16

    BAB II MAḤABBAH DALAM AL-QUR’AN.................................... 19

    A. Pengertian Maḥabbah .................................................................. 19

    B. Maqam-maqam Mencapai Tingkatan Maḥabbah ........................ 23

    C. Pandangan Maḥabbah Menurut Para Ulama Sufi ....................... 29

    1. Shaikh Abdurahmān al-Sulami ............................................ 29

    2. Shaikh ‘Abdul al-Qādir al-Jailāni ......................................... 31

    3. Imam al-Ghazāli ................................................................... 34

    4. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy ........................................ 37

    5. Imam al-Ṭustari .................................................................... 38

    BAB III METODOLOGI HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN TAFSῙR AL-

    JῙLĀNῙ ................................................................................................... 43

    A. Mengenal Haqā’iq al-Tafsῑr ........................................................ 43

  • vii

    1. Biografi pengarang Haqā’iq al-Tafsῑr ................................... 43

    2. Karya-karyanya..................................................................... 47

    3. Metode dan Corak Penafsiran ............................................... 47

    B. Mengenal Tafsῑr al-Jῑlānῑ ............................................................. 48

    1. Biografi pengarang Tafsῑr al-Jῑlānῑ ....................................... 48

    2. Karya-karyanya..................................................................... 51

    3. Metode dan Corak Penafsiran ............................................... 52

    BAB IV PENAFSIRAN HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN AL-JῙLĀNῙ

    TENTANG MAKNA MAḤABBAH .................................................... 55

    A. Apa Itu Maḥabbah ....................................................................... 55

    B. Limpahan Maḥabbah Kepada Nabi Musa As .............................. 59

    C. Mencintai Nabi Muhammad Saw Sebagai Wasilah Mencintai Allah

    Swt ............................................................................................... 67

    D. Ma’rifat Sebagai Pencapaian Tertinggi ....................................... 72

    BAB V PENUTUP ................................................................................. 83

    A. Kesimpulan .................................................................................. 83

    B. Saran ............................................................................................ 84

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 85

  • viii

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

    Kebudayaan Republik Indonesia

    Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987

    1. Padanan Aksara

    Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

    Tidak dilambangkan ا b Be ب t Te ت

    ṡ es dengan titik atas ث

    J Je ج ḥ ha dengan titik bawah ح

    kh ka dan ha خ

    d De د Ż zet dengan titik atas ذ r Er ر

    z Zet ز s Es س sy es dan ye ش

    ṣ es dengan titik bawah ص

  • ix

    ḍ de dengan titik bawah ض ṭ te dengan titik bawah ط ẓ zet dengan titik bawah ظ Koma terbalik di atas hadap „ ع

    kanan

    gh ge dan ha غ

    f Ef ؼ

    q Qi ؽ

    k Ka ؾ

    l El ؿ m Em ـ

    n En ف w We ك h Ha ق Apostrof ‟ ء y Ye ي

    2. Vokal

    Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal

    rangkap. Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    a Fatḥah َـ

    i Kasrah ِـ

  • x

    u Ḍammah ُـ

    Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    ai a dan i ي َـ

    au a dan u ك َـ

    3. Vokal Panjang

    Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab dilambangakan

    dengan harkat dan huruf, yaitu:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    Ā a dengan topi di atas ىَ

    Ī i dengan topi di atas ِىي

    Ū u dengan topi di atas ىـُو

    4. Kata Sandang

    Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan

    huruf ؿا dialih aksarakan menjadi huruf „l‟ baik diikuti huruf

    syamsiyah maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.

    5. Syaddah (Tasydīd)

    Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

    dengan sebuah tanda (ّـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan

    huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

    Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah

    itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

  • xi

    Misalnya, kata ةركرضلا tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.

    6. Tā’ Marbūṭah

    Kata Arab Alih Aksara Keterangan

    Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة

    -Al-jāmi„ah al اجالمعة اإلسامليةislāmiyyah

    Diikuti oleh kata

    sifat

    waḥdat al-wujūd Diikuti oleh kata كحدة الوجودbenda

    7. Huruf Kapital

    Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih

    aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

    berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

    permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama

    seseorang, dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang,

    maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut.

    Misalnya: Abū ‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū

    ‘Abdullāh Muhammad Al-Qurṭubī

    Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian

    halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama,

    untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,

    disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari

    bahasa Arab. Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn

    al-Rānīrī.

    8. Cara Penulisan Kata

    Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara

  • xii

    terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-

    ketentuan diatas:

    Kata Arab Alih Aksara

    َوۡزنَ Wa jâwaznâ َوجََٰ

    Alâ Aṣnâmi‘ مِ َعَلىَٰٰٓ َأۡصَنا

    َهُلونَ م ِإنَُّكۡم قـَوۡ Innakum qawmun tajhalûna ََتۡ

    Hum fīhi wa bâṭilun ل َوبََٰطِ ُهۡم ِفيهِ

    9. Singkatan

    Huruf Latin Keterangan

    Swt, Subḥāh wa ta‘ālā

    Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam

    QS. Quran Surah

    M Masehi

    H Hijriyah

    w. Wafat

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang telah diberi rasa cinta,

    sehingga manusia mampu menjadikan dirinya makhluk yang mampu

    mengasihi kepada sesamanya. Dengan perasaan cinta itu manusia dapat

    mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan, namun apa yang terjadi

    pada zaman saat ini sebagian manusia dengan mengatas namakan cinta

    mereka rela berbuat suatu kedhaliman (kedurjanaan), hal tersebut-lah yang

    tidak diharapkan oleh ajaran Islam itu sendiri.1

    Melihat perkembangan modern saat ini, semua hal dapat diukur dengan

    nilai materi, serta rasa ihklas pun menjadi hal langka untuk diperoleh, dan

    rasa tanggung jawab tersebut menjadi terbelakang seakan-akan terkesan

    menjadi hal yang tidak ada pertanggung jawaban untuk melakukan

    kegiatan di dunia kemudian hal yang menyebabkan terjadinya berbagai

    ketimpangan sosial, yang akan mengarahkan hidup manusia bagaikan

    tidak mempunyai tujuan ajaran. Maḥabbah dalam konteks saat ini harus di

    perlukan karena demi kembalinya tatanan hidup manusia agar hanya

    mencintai Allah Swt, dan serta selalu mengharap riḍa Allah Swt.2

    Dari sekian banyak mahkluk di dunia ini pasti memiliki rasa maḥabbah,

    dengan tidak melihat kondisi mahkluk serta keadaan mahkluk tersebut,

    dari yang tua hingga yang muda. Dengan demikian, rasa maḥabbah

    tersebut mempunyai perbedaan yang satu dengan yang lainnya, sebab rasa

    1 Anwar Mustofa,”Konsep Maḥabbah dalam al-Qur’an Telaah Tafsῑr Maudhu’I”.

    (Skripsi S1, Institut Agama Islam Negeri TulungAgung, 2013). 2 Hasan Galunggung, Pendidikan Islam Abad 21, Cet.III (Jakarta: Pustaka al-Husna

    Baru, 2003), 2.

  • 2

    maḥabbah itu merupakan fitrah yang di miliki oleh setiap mahkluk yang

    ada di dunia.3

    Rasa mencintai merupakan hal yang tidak dapat di pisahkan pada diri

    seseorang dan akan selalu ada pada diri manusia sampai kapanpun juga,

    dengan rasa cinta tersebut manusia akan merasakan hidup yang lebih

    sempurna. Kemudian mencintai ialah kegiatan progresif yang mengenal

    batas sehingga membutuhkan energi yang banyak, karena rasa mencintai

    adalah anugerah yang Allah berikan kepada setiap mahkluk, sehingga rasa

    cinta tersebut itu selalu bergantung pada lawan objeknya yang di jadikan

    tempat bergantung padanya. Mempunyai rasa mencintai merupakan hal

    terindah yang akan selalu di perjuangkan oleh setiap makhluk sebab rasa

    mencintai dengan yang di cintai itu, ketika di satukan secara bersamaan

    maka akan bersinergi di dalam kehidupan manusia, karena secara fitrah

    rasa maḥabbah itu suci berasal dari Allah Swt.4

    Sesungguhnya getaran rasa cinta merupakan energi yang menggerakan

    alam semesta. Gerakan tersebut telah menjadikan hidup menjadi indah dan

    penuh pesona, sebab energi cinta itu telah menggerakan kehidupan.5 Tidak

    ada seorangpun yang tidak menginginkan cinta, sebab rasa cinta itu bisa

    mengubah kehidupan manusia di dunia kemudian menurut Sirsabae

    Alafsana, bahwa cinta itu akan membuat hidup serasa lebih indah dan

    mengasyikkan, hal-hal yang terasa pahit menjadi manis.6

    3 Muhammad Tsaqif, “Konsep Cinta (maḥabbah) dalam Kitab Tafsῑr al-Jῑlānῑ”

    (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017). 4 Ibnu Ibrahim, Memadamkan Api Neraka dengan Cinta: Rahasia agar Anda Di

    cintai Allah dan Terhindar dari Siksa Api Neraka, (Bandung: Grafindo, 2011), 25-27. 5 Abd. Halim Rofi’ie, Cinta Illahi Menurut al-Ghazali dan Rabi’ah al-Adawiyah, cet.

    1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997), 4. 6 Sirsabae Alafsana, Kado Ulangtahun Kekasihku: Menggapai Kebahagiaan CInta,

    Kesuksesan, dan Kesejahteraan dalam Samudra Kehidupan, ( Yogyakarta: Penerbit al-

    Rai,2002), 128.

  • 3

    Seiring dengan perkembangan zaman yang selalu berubah ini, serta

    manusia yang selalu cenderung mengabaikan nilai agama, salah satu nilai

    agama yang di abaikan adalah bagaimana mencintai Allah yang telah

    memberikan anugerah dalam kehidupan ini, serta bagaimana mencapai

    cinta sesama manusia dengan saling tolong menolong. Kesenjangan inilah

    yang nampak dalam kehidupan manusia baik antar perorangan atau

    lembaga, bahkan negara sekali pun akan berdampak pada timbulnya

    kesenjangan sosial, dengan kesenjangan sosial ini merupakan awal dari

    munculnya berbagai masalah atau konflik, serta ketidakstabilan dalam

    bersosial.7

    Cinta hamba kepada Allah merupakan hal yang bisa mengangkatnya ke

    derajat yang tinggi, sempurna, dan suci. Kedudukan yang tinggi ini

    menuntut manusia untuk berkorban demi kekasihnya, sebagaimana yang

    berlaku pada setiap orang yang mencintai, manusia yang mencinta harus

    rela mecintai objek cintanya dengan hati dan pikiran. Ia harus sanggup

    berkorban demi yang di cintai dengan suka cita. Ia juga harus mampu

    berlapang dada atau ihklas atas segala apa yang kurang berkenan di dalam

    diri, dan juga harus bersabar atas segala ujian yang menimpanya karena

    rasa cinta itu.8

    Sebagaimana yang telah tercatat di dalam al-Qur’an, tentang bagaimana

    seseorang dapat mencintai Allah, QS.’Ali‘Imrān[3]:31.

    ِبۡبُكُم ُ َغُفور رهِحيمُقۡل ِإن ُكنُتۡم ُتُِبُّوَن ٱَّللهَ فَٱتهِبُعوِن ُُيۡ َوٱَّللهُ َويَ ۡغِفۡر َلُكۡم ُذنُوَبُكۡمۚۡ ٱَّلله

    7 Anwar Mustofa, “Konsep Maḥabbah dalam al-Qur’an Telaah Tafsῑr Maudhu’I”

    (Skripsi S1, Institut Agama Islam Negeri TulungAgung, 2013). 8 Al-Faisal, “Konsep Cinta Menurut al-Qur’an (Studi Anlisis Arti Ayat-ayat Cinta

    dalam Tafsir al-Maraghi,” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta, 2004).

  • 4

    Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,

    niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha

    Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Diriwayatkan bahwa ayat ini turun menanggapi ucapan delegasi

    Kristen Najran yang menyatakan bahwa pengagungan mereka terhadap Isa

    as adalah pengejantewahan dari cinta kepada Allah. Riwayat lain

    menyatakan bahwa ayat ini turun menanggapi ucapan sementara kaum

    muslim yang mengaku cinta kepada Allah Swt, sampaikanlah wahai Nabi

    Muhammad Saw kepada manusia yang benar mencintai Allah:

    “jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, yakni laksanakan apa yang

    diperintahkan Allah melalui aku, yaitu beriman kepada Allah dan

    bertaqwa kepada-Nya. Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah masuk

    ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memlihara

    kesinambungan ketaatan kepada-Nya serta meningkatkan pengamalan

    kewajiban dengan melaksanakan Sunnah-sunnah Nabi”

    Niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu,

    karena Allah mempunyai sifat yang Maha Pengampun lagi Maha

    Penyayang jika kalian benar mengikuti Nabi Muhammad Saw.9 Jika

    seseorang telah sampai pada tingkat tersebut, maka cinta hamba kepada

    Allah itulah keimanan yang hakiki. Keimanan yang hakiki bukanlah

    sekedar pengetahuan dan ketundukan jiwa, dengan kata lain Iman yang

    benar adalah Imannya sang pencipta yang bergairah kepada Allah, yang

    bahkan bisa membukakan dan melupakan diri sendiri dan akan

    berpengaruh pada seluruh ucapan, tindakan dan sikap.10

    Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa cinta Ilahi tumbuh karena di dalam

    diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Sifat ketuhanan yang di

    9 M.Quraish Shihab, Tafsῑr al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keseraian al-Qur’an),

    (Jakarta: Penerbit Lentera Hati), 65. 10 Al-Faisal, “Konsep Cinta Menurut al-Qur’an (Studi Analisis Arti Ayat-ayat Cinta

    dalam Tafsῑr al-Maraghi” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta, 2004).

  • 5

    maksud adalah sifat yang tidak bercampur dengan unsur-unsur fisika,

    sehingga ia mampu merasakan kenikmatan rohani yang tidak ada pada

    kenikmatan jasadi yang sederhana.11 Dengan kata lain berikut ulasan ayat

    mengenai cinta Allah kepada umatnya, QS.Ṭā-hā[20]:39.

    ُخۡذُه َعُدّو ّلِّ َوَعُدّو ۡۚۥۡ أَِن ٱۡقِذِفيِه ِف ٱلتهابُوِت فَٱۡقِذِفيِه ِف ٱۡلَيمِّ فَ ۡليُ ۡلِقِه ٱۡلَيمُّ بِٱلسهاِحِل ََي لهُه

    َعۡيِنٓ َنَع َعَلى َولُِتصۡ َوأَۡلَقۡيُت َعَلۡيَك ََمَبهة مِّنِّ “Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke

    sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil

    oleh (Fir´aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan

    kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di

    bawah pengawasan-Ku.

    Maḥabbah mempunyai arti kecintaan yang asli sehingga selalu

    tertanam di dalam hati manusia, dan inilah penjelasan yang di sampaikan

    oleh al-Maraghi di dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan QS.Ṭā-

    hā[20]:39. 12Sedangkan menurut Ali al-Ṣhabuni di dalam shafwatu al-

    Tafsῑr maḥabbah menjelaskan bahwa sifat maḥabbah yang di miliki

    manusia mempunyai kesetiaan, sehingga manusia rela melakukan apapun

    demi mencapai cinta-Nya.13Kemudian makna maḥabbah itu merupakan

    yang akan selalu berada di dalam lubuk hati manusia, sampai akan muncul

    rasa kepatuhan dan kehormatan kepada yang dicintai-Nya, dan inilah yang

    dijelaskan di dalam Tafsῑr Jalalain.14 Kemudian ‘Ibn Taimiyah

    11 Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Ahklak, terj. Helmi Hidayat, (Bandung:

    Mizan, 1994), 135. 12 Ahmad mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 16, (Mesir: Maktabah wa

    Mathba’ah Mustfa al-Bani wa awladihi, 1946), 110. 13 Muhammad Ali al-Ṣhabuni, Shafwatu al-Tafsir, (Kairo: Darrul al-Ṣhabuni wa

    Nasyr wa tawzi, 1997) Maktabah Syamilah dalam penafsiran Surat Ibrahim[14]:3 14 Jalaludin al-Mahali dan Jalaludin al-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Kairo: Darrul Hadits)

    Maktabah Syamilah dalam penafsiran Surat Yusuf[12]:30.

  • 6

    menjelaskan akan makna maḥabbah ialah kecendrungan hati shingga tidak

    ada kata terpaksa pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya15.

    Cinta adalah suatu derajat yang untuknya kebanyakan menusia

    berlomba-lomba, kepadanya orang kembali, kepada alamnya mereka

    bergegas dan karenanya orang yang mencintai saling memusnahkan serta

    semilir anginnya mereka merasakan kebahagiaan.16 Orang yang mencintai

    secara tulus selalu memberi dan berkorban ia selalu senang, tenang dan

    berbahagia.17 Bahkan terkadang tidak peduli antara halal dan haram, boleh

    dan tidak, menguntungkan atau merugikan. Bahayanya apabila cinta telah

    membutakan seseorang maka ia akan di butakan oleh segala sesuatu, cinta

    membuat seseorang tidak objektif. Cinta juga membuat orang tak mampu

    lagi membedakan dua sisi yang sangat kontras. Bahayanya, cinta membuat

    seseorang tak lagi bisa melihat yang benar (haq) dan yang salah (batil).18

    Kemudian berdasarkan penelitian penulis terhadap kitab Mu’jam

    Mufahras li al-Fādhi al-Qur’an karya Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqi

    akan macam-macam bentuk lafaz maḥabbah al-Qur’an terdapat 83 lafaz

    al-ḥubb yang mengandung arti cinta dengan berbagai bentuk lafaz yang

    tersebar dalam beberapa surat dan ayat di dalam al-Qur’an. Ada yang

    lafaznya berbentuk fi’il muḍāri’, fi’il māḍi, masdar dan fa’il, sedangkan

    yang paling banyak adalah lafaz dengan bentuk fi’il muḍāri’ yakni

    sebanyak 38 ayat dan yang paling sedikit adalah bentuk fa’il yakni dalam

    satu ayat QS.Al-Māidah[5]:18, sedang bentuk lainnya yakni fi’il māḍi

    15 Duriana, “Pandangan Tasawuf Ibnu Tamiyah dalam Kitab al-Tuhfah al-Iraqiyyah fi

    al-A’amal al-Qalbiyah”, Jurnal Fakultas Ushuluddin dan Dakwan IAIN Ambon. 28. 16 Abdul Hadi, Di Bawah Naungan Cinta, terj. AH. Ba’dillah, (Jakarta: Pustaka

    Azzam, 2002), 1. 17 Muhammad Majni Marjan, Muhammad Nabi Cinta, terj. Subhan Nur, (Depok:

    Pustaka Iman, 2006), 10. 18 Kusmarwanti M Idham, Smart Love Jurus jitu Mengurus Cinta, (Jakarta: Gema

    Insani Press, 2007), 9.

  • 7

    terdapat dalam tujuh ayat dan bentuk masdar terdapat dalam 37 ayat.

    Untuk lebih detailnya dapat di lihat pada tabel seperti yang dicantumkan

    penulis di bawah ini:19

    Tabel 1

    Macam-Macam Bentuk Lafaz Maḥabbah dalam Ayat-ayat Al-Qur’an

    Nomor Bentuk lafaz Surat Surat (Nomor) Ayat

    Al-Hujurāt (49) 7 َحبهبَ 1

    (Al-Qaṣaṣ (28 َأۡحبَ ۡبتَ 2Ṣad (38)

    56

    32

    Al-An’ām (6) 76 أُِحبُّ 3

    Al-Baqarah (2) 216 ُتُِبُّوا 4

    (Ali’Imrān (3 ُتُِبُّونَ 5Al-‘Arāf (7)

    Al-Nur (24)

    Al-Qiyāmah (75)

    Al-Fajr (89)

    31,92,152

    79

    22

    20

    20

    Al-Ṣāffaāt (61) 13 ُتُِبُّوََنَا 6

    Ali’Imrān (3) 119 ُتُِبُّوََنُمۡ 7

    (Al-Baqarah (2 ُيُِبُّ 8

    Ali’Imrān (3)

    190,195,205,222,

    dan 276

    32,57,76,134,

    19 Muhammad Fuad ‘Abdul Bāqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fādhil Qur’an (Kairo:

    Darul Kutub Misriyyah, t.t.), 191-193.

  • 8

    An-Nisa (4)

    Al-Māidah (5)

    Al-An’ām (6)

    Al-A’raf (7)

    Al-Anfāl (8)

    Al-Taubah (9)

    An-Nahl (16)

    Al-Hājj (22)

    Al-Qaṣaṣ (28)

    Al-Rum (30)

    Luqmān (31)

    Al-Syu’arā (26)

    Al-Hujarāt (49)

    Al-Hadid (57)

    Al-Muntaḥanah (60)

    Al-Sāffāt (61)

    140,146, 148

    159

    36,107,146

    13,42,64,87,93

    141

    31 dan 51

    4,7, dan 108

    23

    38

    76 dan 77

    45

    18

    40

    9 dan 12

    23

    8

    4

    ِبۡبُكمُ 9 Ali’Imrān (3) 31 ُُيۡ

    Al-Māidah (5) 53 ُيُِب ُُّهمۡ 10

    (Ali’Imrān (3 ُيُِبُّونَ 11Al-Taubah (9)

    Al-Nur (24)

    Al-Ḥasyr (59)

    Al-Insān (76)

    188

    108

    19

    9

    27

    Ali’Imrān (3) 117 ُيُِبُّوَنُكمۡ 12

  • 9

    Al-Māidah (5) 54 ُيُِبُّونَهُ 13

    Al-Baqarah (2) 165 ُيُِبُّوََنُمۡ 14

    (Al-Taubah (9 ٱۡسَتَحبُّوا 15Al-Naḥl (16)

    Fuṣṣilat (41)

    23

    107

    17

    Ibrāhim (14) 3 َيۡسَتِحبُّونَ 16

    (Al-Baqarah (2 ُحبُّ 17Ali’Imrān (3)

    Ṣad (38)

    Al-Ādiyāt (100)

    165

    14

    32

    8

    (Al-Baqarah (2 ُحّبا 18Yusuf (12)

    Al-Fajr (89)

    165

    30

    20

    (Al-Baqarah (2 ُحبِّهِ 19Al-Insān (76)

    177

    8

    (Al-Taubah (9 َأَحبه 20Yusuf (12)

    24

    8 dan 33

    ُؤهُ 21 Al-Māidah (5) 18 َأِحبهٓ

    Tāḥā (20) 39 ََمَبهة 22

    (Al-An’ām (6 ٱۡۡلَبِّ 23Qāf (50)

    Al-Rahmān (55)

    39

    9

    12

    (Al-An’ām (6 َحّبا 24Yāsin (36)

    99

    33

  • 10

    Al-Naba’ (78)

    ‘Abasa (80)

    15

    27

    (Al-Baqarah (2 َحبهة 25Al-An’am (6)

    Al-Anbiyā (21)

    Luqmān (31)

    261

    59

    47

    16

    Dalam hal ini permasalahan cinta cukup menjadi misteri di dalam

    kehidupan manusia, tidak sedikit orang yang mencari makna dari cinta itu

    sendiri, dalam al-Qur’an pun termaktub kata maḥabbah yang di dalamnya

    memiliki makna yang berbeda dengan penyebutan yang berbeda, namun

    ayat yang akan penulis pilah dalam penelitian ini adalah

    QS.’Ali‘Imrān[3]:31 mengungkapkan cintanya Allah, serta memberikan

    gambaran kecintaannya yang Allah berikan kepada umatnya, kemudian

    pada ayat selanjutnya terdapat pada QS.Ṭā-hā[20]:39 yang

    mengungkapkan bagaimana gambaran kecintaan Allah terhadap umatnya

    seperti yang tertera dalam ayat ini bahwa Nabi Musa telah di limpahkan

    sebuah anugerah maḥabbah (kasih sayang) Allah yang di berikan kepada

    Nabi Musa, kemudian penulis berusaha untuk melihat kesamaan

    penafsiran kedua ayat tersebut melalui kitab Haqā’iq al-Tafsir dan Tafsir

    al-Jailāni maka skripsi ini penulis beri judul “MAKNA MAḤABBAH

    DALAM HAQĀ’IQ AL-TAFSῙR DAN TAFSῙR AL-JῙLᾹNῙ”

    B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat

    diidentfikasian masalah sebagai berikut:

    a. Gambaran maḥabbah dalam al-Qur’an

  • 11

    b. Pemahaman ulama’ dalam membicarakan maḥabbah

    c. Pandangan ulama’ terhadap makna maḥabbah dalam al-Qur’an

    d. Pemahaman masyarakat akan maḥabbah.

    e. Pandangan penafsiran makna Maḥabbah dalam kitab Haqā’iq al-Tafsῑr

    dan Tafsῑr al-Jῑlānῑ dalam QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭa-ḥā[20]:39.

    2. Pembatasan Masalah

    Dari kelima poin di atas, penulis tidak akan mengambil semuanya

    untuk di bahas. Penulis hanya memfokuskan pada poin ‘E’ saja yaitu

    pandangan penafsiran makna maḥabbah dalam kitab Haqā’iq al-Tafsῑr dan

    Tafsῑr al-Jῑlānῑ dalam QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭā-hā[20]:39.

    3. Perumusan Masalah

    Berdasarkan batasan masalah, maka pertanyaan besar dari penelitian ini

    adalah bagaimana pandangan penafsiran makna Maḥabbah dalam kitab

    Haqā’iq al-Tafsῑr dengan Tafsῑr al-Jῑlānῑ dalam QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan

    QS.Ṭa-hā[20]:39?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

    pandangan penafsiran makna Maḥabbah dalam kitab Haqā’iq al-Tafsῑr

    dan kitab Tafsῑr al-Jῑlānῑ dalam QS.’Ali‘Imrān[3]:31 dan QS.Ṭa-

    ḥa[20]:39.

    Sedangkan manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan

    sumbangsih terhadap kajian Tafsῑr Ishāri. Sedangkan manfaat praktis

    penelitian ini ialah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Strata 1 S1

    Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Selain itu ia juga

    bermanfaat untuk menambah wawasan kajian al-Qur’an khususnya dalam

    mengkaji akan makna maḥabbah yang terkandung dalam

  • 12

    QS.’Ali’Imrān[3]:31 dan QS.Ṭa-ḥā[20]:39 agar memotivasi bagi umat

    Islam agar berlomba-lomba mencapai maḥabbah Allah.

    D. Tinjauan Pustaka

    Pembahasan tentang maḥabbah yang terdapat pada suatu ayat al-Qur’an

    bukanlah sesuatu yang baru. Baik dari segi teorinya maupun dari segi

    penerapannya. Ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan, di

    antaranya:

    Adapun kitab yang membahas akan maḥabbah, banyak karya yang

    telah membahas tentang makna maḥabbah di antaranya karangan Abu

    Abdurrahāman al-Sulami20 dengan judul Tafsῑr Haqā’iq al-Tafsῑr, Shaikh

    Abdul al-Qādir al-Jailāni21 dengan judul Tafsῑr al-Jῑlānῑ, Shaikh Abdul al-

    Qādir al-Jailāni22 dengan judul Futuh al-Ghaib, M Quraish Shihab23

    dengan judul Tafsῑr al-Mishbah.

    Penelitian terkait maḥabbah dan cinta, selama ini lebih banyak di bahas

    dari sudut pandang pemikiran suatu tokoh di antaranya penelitian Al-

    Faisal (2004),24 Buya Riadi (2008),25 Raudhatul Jannah Ilyas (2017),26 Ali

    Saputra (2019).27 Penelitian-penelitian di atas membahas beberapa

    20 Abu ‘abd al-Rahman al-Sulami, Tafsir Haqā’iq al-Tafsῑr, (Beirut: Dar al-Kutum al-

    ‘Ilmiyya, 2002). 21 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Tafsῑr al-Jῑlānῑ”, Juz 1 (Beirut: Markaz al-Jilani, 2009). 22 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Futuh al-Ghaib”, Terj: Abdullah Zakiy al-Kaaf,

    (Bandung: Pustaka Setia, 2004). 23 M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati 2009). 24 Al-Faisal, “Konsep Cinta Menurut al-Qur’an (Studi Analisis Arti Ayat-ayat Cinta

    dalam Tafsῑr al-Maraghi” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta, 2004). 25 Buya Riadi, “Bentuk-bentuk Cinta dalam Tafsῑr al-Mishbāh dan urgensinya

    terhadap pendidikan anak studi terhadap pemikiran M. Quraish Shihab” (Skripsi S1,

    Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). 26 Raudhatul Jannah Ilyas, “Maḥabbah Sesama Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an”

    (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 2017). 27 Ali Saputra, “Konsep Maḥabbah dalam Pemikiran Syekh Zulfiqar Ahmad” (Skripsi

    S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).

  • 13

    pemikiran tokoh seperti al-Maraghi, Shaikh Zulfiqar Ahmad, M.Quraish

    Shihab, Buya Hamka, Hasbi ash-Shiddieqy, Imam al-Syirāzi, bahkan al-

    Sulami. Akan tetapi pembacaan wacana maḥabbah dari sudut pandang al-

    Sulami di batasi pada pembahasan mengenai batasan maḥabbah sesama

    manusia.

    Selain pembahasan pemikiran tokoh ada juga pembahasan mengenai

    konten, yakni ayat-ayat yang berkaitan dengan maḥabbah dan cinta,

    seperti yang di lakukan oleh Anwar Mustofa(2013),28 yang membaca

    QS.’Ali’Imrān[3]:31-32 dan QS.At-Taubah[9]:24. Sedangkan penelitian

    terkait Haqā’iq al-Tafsῑr dan al-Sulami, penelitian terdahulu yang relevan

    seperti penelitian Arsyad Abrar(2015)29, yang membahas tentang

    pandangan al-Sulami terhadap Tafsir Sufi. Ada juga penelitian terkait

    biografi dan kerangka berpikir al-Sulami seperti yang di lakukan oleh Muh

    Sofiudin(2018),30 juga ada yang membahas tentang karyanya, khususnya

    kitab Haqā’iq al-Tafsῑr seperti yang telah di lakukan oleh Hilman

    Mulyana(2018).31Akan tetapi penelitian hilman hanya terfokus kepada

    wacana kematian saja.

    Dan yang terakhir untuk penelitian al-jailani dan tafsirnya, peneltiian-

    penelitian yang telah di lakukan berkisar wacana pemikiran al-Jailani

    seperti wacana kehidupan yang di lakukan oleh Badriyatul

    Azizah(2018),32wacana taubat yang di tulis oleh Sisa Rahayu(2014),33

    28 Anwar Mustofa, “Konsep Maḥabbah dalam al-Qur’an Telaah Tafsir Maudhu’I”

    (Skripsi S1, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulungagung, 2013). 29 Arsyad Abrar, “Epistemologi Tafsir Sufi Studi terhadap Tafsir al-Sulami dan al-

    Qushayri” (Disertasi S3, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). 30 Muh Sofiudin, “Studi Tasawuf Abd Al-Rahmān al-Sulami Persektif Historis”

    (Tesis S2, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018). 31 Hilman Mulyana, “Kematian Perspektif Kitab Haqa’iq al-Tafsir” (Skripsi S1,

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 32 Badriyatul Azizah, “Al-Hayah Perspektif Tafsir al-Jilāni” (Skripsi S1, Universitas

    Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018).

  • 14

    wacana tentang surge seperti yang telah ditulis oleh Riswan

    Sulaeman(2017),34wacana tentang sufi yang di lakukan Irwan

    Muhibudin(2018),35 bahkan wacana tentang maḥabbah juga yang telah di

    tulis oleh M Syafiq (2017),36 hanya saja m syafiq tidak memfokuskan

    ayat-ayat tertentu saja sebagaimana yang di lakukan oleh penulis.

    Dari literature review penulis belum menemukan penelitian yang bahas

    tentang wacana mahabbah melalui suatu tokoh apalagi di analisi dengan

    cara komparasi.

    E. Metodologi Penelitian

    Dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah tentunya memerlukan

    sebuah metode penelitian untuk menghasilkan penelitian yang baik,

    sistematis, terstruktur, dan dapat di pertanggung jawabkan.37

    Adapun metodologi yang penulis pakai dalam menyusun penelitian ini

    adalah sebagai berikut:

    1. Jenis Penelitian

    Penelitian yang sedang penulis kaji menggunakan jenis penilitian

    kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan datanya merujuk

    kepada buku-buku perpustakaan dan kitab-kitab lainnya yang sekiranya

    33 Sisa Rahayu, “Konsep Taubat Menurut Shaikh Abdul al-Qādir al-Jailāni” (Skripsi

    S1, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2014). 34 Riswan Sulaeman, “Tafsir Isyāri Tentang Surga Menurut Shaikh ‘Abd al-Qādir al-

    Jailāni” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017). 35 Irwan Muhibudin, “Tafsir Ayat-ayat Sufistik Studi Komparatif Tafsir al-Qusyairi

    dan Tafsir al-Jailāni” (Tesis S2, Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta,

    2018). 36 Muhammad Tsaqif, “Konsep Cinta (maḥabbah) dalam KItab Tafsir al-Jilāni”

    (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017). 37 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Askara,

    2013), 12.

  • 15

    sejala dengan topik yang di kaji.38 Maka penulis akan menggunakan buku-

    buku yang membahasa tentang makna maḥabbah, kitab-kitab tafsir, buku,

    jurnal, artikel, skripsi, data dari internet dan segala sesuatu yang

    berhubungan dengan penelitian ini.

    2. Sumber Data

    Data yang dipakai dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan

    data sekunder. Data primer yang digunakan adalah kitab Haqā’iq al-Tafsῑr

    karya Shaikh Abu Abdurahmān al-Sulami dan kitab Tafsῑr al-Jῑlānῑ karya

    Shaikh Abdul al-Qādir al-Jailāni. Sedangkan data sekunder yang dipakai

    adalah kitab, buku-buku, artikel, jurnal yang relevan dengan penelitian

    terkait.

    3. Metode Analisa Data

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif39-

    analisis.40 Dengan teknik analisa menggunakan data, serta melihat

    penafsirkan dan mengklasifikasikan dengan membandingkan penafsiran-

    penafsiran pada sumber data yang penulis kaji dan melalui langkah-

    langkah mengumpulkan data kemudian mengintrepretasi data. Adapun

    data yang akan dianalisa yaitu (QS.’Ali‘Imrān[3]:31) dan (QS.Ṭā-

    hā[20]39) melalui kitab Tafsῑr Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsir al-Jῑlānῑ dan

    38 Muhammad Nazir, Metode Penulisan (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), 24. 39 Metode deksriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang bertujuan untuk

    menggambarkan suatu fenomena yang ada, baik dari masa lampau atau pada saat ini.

    Lihat: Asep Saipul Hamdi dan Burhanuddin, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi

    dalam Pendidikan (Yogyakarta: Deepublish, 2014), 5. 40 Metode analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan

    ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap objek yang diteliti, atau cara penanganan

    terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan cara memilah-milah antara pengertian yang

    satu dengan pengertian yang lain, untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai hal

    yang diteliti. Lihat: Anton Bakker dan Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat

    (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 27.

  • 16

    menjelaskan pandangan penafsiran kedua mufassir mengenai makna

    maḥabbah.

    4. Teknik Penulisan

    Penulisan dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku

    Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta Tahun 2013.41

    F. Sistematika Penulisan

    Supaya fokus dan tidak keluar dari arah penelitian, maka penulis

    menetapkan sistemarika penulisan sebagai berikut:

    Bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang

    masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

    penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diakhiri dengan

    sistematika penulisan.

    Bab kedua, penulis akan mendeskripsikan tentang Maḥabbah dan

    maqam-maqam mencapai maḥabbah serta melihat pandangan ulama’ akan

    maḥabbah. Dalam hal ini, penulis akan menyajikan pembahasan tentang

    pengertian Maḥabbah, tingkatan-tingkatan untuk mencapai maḥabbah, dan

    melihat padangan ulama mengenai akan maḥabbah.

    Bab ketiga, penulis akan menerangkan tentang biografi Abu

    Abdurrahman al-Sulami dan Abdul al-Qādir al-Jailāni. Di mulai dengan

    penjelasan mengenai latar belakang kehidupan Abu Abdurrahman al-

    Sulami dan Abdul al-Qādir al-Jailāni, aktivitas akademik dan karya-karya

    ilmiahnya. Selain itu, penulis juga akan menerangkan tentang tafsirnya

    41 Hamdi Nasuhi, dkk, Pedoman Akademik Progran Strata 1 2013/2014, dalam Tim

    Penyusun Pedoman Akademik Program Strata 1 2013/2014 (Ciputat: Biro Administrasi

    Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013),

    361-394.

  • 17

    yang berjudul Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsir al-Jῑlānῑ, mulai dari

    sistematika penulisan serta karakteristik kitab tafsirnya.

    Bab keempat, berisi tentang analisi penulis terhadap persamaan

    penafsiran al-Sulami dengan al-Jailāni tentang konsep maḥabbah, meliputi

    apa itu maḥabbah dalam kitab Haqā’iq al-Tafsῑr dan Tafsir al-Jῑlānῑ, serta

    kemudian ialah limpahan maḥabbah yang diberikan kepada Nabi Musa

    As, dan mencintai Nabi Muhammad Saw sebagai wasilah mencintai Allah,

    serta makrifat yang menjadi tingkatan pencapaian tertinggi.

    Bab kelima, merupakan penutup dari penelitian. Bab ini berisikan

    kesimpulan dan saran-saran dari penulis sebagai bahan pertimbangan

    untuk penelitian selanjutnya.

  • 18

  • 19

    BAB II

    MAḤABBAH DALAM AL-QUR’AN

    A. Pengertian Maḥabbah

    Meninjau arti maḥabbah dalam kamus Bahasa Arab bahwa kata

    maḥabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan, yang secara

    harfiah mempunya arti mencintai secara mendalam.1 Dalam al-Mujam al-

    Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan bahwa maḥabbah adalah lawan dari kata

    al-Baghd (benci).2 Sedangkan maḥabbah juga berarti al-Wudud, yaitu yang

    sangat pengasih atau penyayang.3 Maḥabbah dapat pula berarti suatu usaha

    sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhani tertinggi

    dengan tercapainnya gambaran mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Selain

    itu, maḥabbah dapat pula berarti kecendrungan terhadap sesuatu yang

    sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat

    material maupun spiritual. Seperti cintanya seseorang yang sedang

    kasmaran pada sesuatu yang di cintainya, orang tua pada anaknya,

    seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya.4

    Kemudian dalam kamus Bahasa Indonesia kata cinta mempunyai banyak

    arti seperti: suka sekali, sayang sekali, kasih sekali, ingin sekali, berharap

    sekali, rindu, makin ditindas makin terasa rindunya, dan susah hati

    (khawatir) tiada terperikan lagi.5 Sementara dalam kamus Bahasa Inggris

    1 Kamus yunus, Kamus arab Indonesia, (Jakarta: Hidayakarya agung, 1990), 96 2 Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafati jilid 2, (Dar al-kairo: Mesir, 1978), 439 3 Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafati jilid 2, 349. 4 Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafati jilid 2, 208. 5 KBBI, pencarian “cinta” Diakses, 20 Desember, 2019, https://kbbi.web.id/cinta pukul

    20:29

    https://kbbi.web.id/cinta

  • 20

    arti cinta (love) mempunyai beragam makna, seperti: cinta, asmara, asmara

    pada pandangan pertama, ia jatuh cinta, kecintaan, kasih, kasih sayang.6

    Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa kata cinta berasal dari al-

    habab (air meluap ketika hujan deras turun) artinya kata cinta itu adalah

    gejolak hatinya ketika seseorang yang cinta sedang merindukan kekasih-

    Nya.7

    Sedangkan secara terminologi maḥabbah adalah kecendrungan hati

    secara keseluruhan kepada sesuatu, kepada sesuatu yang menyenangkan,

    perhatian terhadap sesuatu itu melebihi perhatiannya kepada diri sendiri,

    jiwa, dan harta, sikap diri dalam menerima baik secara lahiriah maupun

    batiniah, perintah dan larangannya dan pengakuan diri akan kurangnya cinta

    yang di berikan kepadanya.8

    Sedangkan Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan bahwa maḥabbah dalam

    dialog tasawuf ialah tingkat (maqam) tertinggi, dalam pemahaman Rabi’ah

    al-Adawiyah kemudian untuk mencapainnya tingkat tersebut harus

    melewati tingkatan yang lebih rendah dahulu. Selanjutnya secara global,

    maḥabbah terbagi menjadi beberapa tingkat sebagaimana yang sudah di

    jelaskan Ra’biah di antaranya: pertama. Maḥabbah orang biasa, kedua.

    Maḥabbah orang jujur, ketiga. Maḥabbah orang yang arif dan inilah ciri-ciri

    seorang manusia yang mendapatkan maḥabbah.9

    6 John M. Echols dan Hasan Shadify, Kamus Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT Gramedia,

    1993), 366. 7 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Raudhatul Muhibbin: Taman Orang-orang yang Jatuh

    Cinta dan memendam Rindu, terj. Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: Qisthi Press, 2011), 25. 8 Abdul Fatah Muhammd Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu

    Taimiyyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta: Khalifa, 2005), 141. 9 Dikutip Harun Nasution dari al-Sarraj al-Thusi. Lihat Harun Nasution, 1989. Filsafat

    dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: BulanBintang), 76.

  • 21

    Sedangkan menurut pandangan Ulama-ulama ma’ani menjelaskan

    bahwa maḥabbah adalah kencendrungan hati kepada sesuatu karena

    indahnya dan lezatnya bagi orang yang mencintai. Jika kecendrungan itu

    kuat, di namakan dengan shababah (curahan), karena tercurahnya hati

    kepada sesuatu yang ia cintai secara keseluruhan, jika melebihi cinta dengan

    tingkatan shababah maka di namakan gharum, tambatan hati, seperti

    tertambatnya hati orang yang berhutang untuk membayar hutangnya.10

    Dalam pandangan al-Junaid, maḥhabbah di definisikan sebagai

    “kecenderungan hati pada Allah Swt, kecenderungan hati pada sesuatu

    karena mengharap riḍa Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati

    semua yang di perintahkan atau menjauhi yang dilarang oleh Allah, dan rela

    menerima apa yang telah di tetapkan dan di takdirkan Allah”.11 Dalam ilmu

    tasawuf akan maḥabbah menurut al-Qushayri ialah bahwa keadaan jiwa

    yang suci dengan coraknya ialah di saksikannya kemutlakan Allah Swt,

    oleh hambanya, kemudian seorang hamba yang dicintainya juga

    mengungkapkan cinta kepada yang dikasihani-Nya.12

    Sedangkan menurut para sufi cinta adalah salah satu konsep yang tidak

    mampu di fahami dan di masukan dalam premis-premis dan dalam figura-

    figura deduksi. Cinta hanya dapat di hayati, namun tidak dapat di sifati. Ibnu

    Arabi berkata, “jika seseorang mengaku bisa mendenifikasikan cinta,

    jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika ada yang berkata aku sudah

    kenyang dengan cinta, ketahuilah ia masih buta tentang cinta, karena tidak

    10 Mahmud Syarif, Nilai Cinta dalam Alqur’an, cet I, terj. As’ad Yasin, al-hubb fi

    Alquran, Jakarta: Qitshi Press: 2005, 31 (Raudhatul Jannah Ilyas: 2017). 11 Abdul fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu

    Taimiyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta Selatan: khalifa, 2005),141. Sebagai bahan

    perbandingan, dapat juga dilihat tulisan Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Cet. IV, (Jakarta:

    Raja Grafindo Persada, 2002),208. 12 Al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al-Kahir), 318.

  • 22

    seorang pun yang di keyangkan cinta”.13 Kemudian Jalaludin Rumi

    mendefinisikan, cinta tidak memiliki definisi yang melalui esensi cinta

    dapat di kenal. Sebaliknya, yang dimiliki oleh cinta hanyalah definisi-

    definisi dengan sifat yang deskriptif dan verbal.14

    Menurut Shaikh Abu’l-Barakat al-baghdadi, maḥabbah ialah gambaran

    tentang kenikmatan yang sulit dijelaskan oleh perkataan. Maḥabbah selalu

    diartikan seperti kerinduan yang tak bisa dipisahkan oleh asinnya garam,

    rindu tersebut yakni kerinduan untuk menyaksikan dan bertemu dengan

    yang dicintainya.15 Kemudian menurut Ibnu Arabi menjelaskan al-hubb

    ialah keaslian dan kejernihan hati dari hawa yang kotor dan maḥabbah

    adalah cinta yang diperuntukkan kepada yang baik dan menyingkirkan dari

    selainya yang tidak baik.16 Menurut Ṣalāḥ ad-din al-Tijany mengatakan

    bahwa cinta merupakan maqam Allah, sebab Allah sendiri telah mensifati

    diri-Nya dengan al-wadud dan al-muhibb yang artinya Maha Penyayang.17

    Kemudian menurut Harun Nasution, Pengertian maḥabbah adalah:

    1. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.

    2. Menyerahkan diri kepada yang dikasihi.

    3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu

    Tuhan.18

    13 Mushin Labib, Jatuh Cinta: Puncak Pengalaman Mistis, Cet I, Jakarta: Lentera, 2004,

    (Raudhatul Jannah Ilyas: 2017). 14 William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi, (Surabaya: Serambi, 2003), 147 15 Abdullah bin As’ad al-Yafi’I al-Syafi’I, “al-Mafakhir fi Manasib Syekh Abdul Qadir

    wa Jama’ah mi al-Suyukh al-Akabir”, Terj: Ahmad Dzulfikar, (Depok: Keira Publishing,

    2016), 321 16 Mahmud al-Ghurab, al-Hub wa al-Maḥabbah al-Illahiyah min Kalam as-Syeikh al-

    Akbar, terj: Aguk Irawan MN dan Kaserun, (Yogyakarta: Indes, 2015), 140. (Muh Syafiq:

    2017). 17 Ṣalāḥ ad-din al-Tijany, “al-Kanz fi al-Masail as-Sufiyyah”, (terj: Maman

    Abdurrahman, 2010), (Muh Syafiq: 2017). 18 Harun Nasution, “Falsafah dan Mistisisme dalam Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang,

    1983), 70.

  • 23

    Dari semua pendapat yang sudah penulis paparkan mengenai pengertian

    dan definisi maḥabbah, kemudian bisa dijelaskan arti makna maḥabbah

    ialah dengan selalu taat dengan segala perintah Allah dan menjauhi segala

    yang dilarang-Nya serta selalu mengikuti yang sudah Nabi ajarkan dan

    contohkan, akan tetapi tujuan sebenarnya ialah mencapai maḥabbah Allah,

    sebagaimana Allah telah berfiman dalam QS’Ali‘Imrān[31]:3.

    ُ َويَ ۡغِفۡر َلُكۡم ُذنُوَبُكۡمۚۡ َوٱَّللهُ ِبۡبُكُم ٱَّلله ممَ ُقۡل ِإن ُكنُتۡم ُتُِبُّوَن ٱَّللهَ فَٱتهِبُعوِن ُُيۡ ِِ ََُفوََ َه Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,

    niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha

    Pengampun lagi Maha Penyayang.

    B. Maqam-maqam Mencapai Tingkatan Maḥabbah

    Sesuai dengan yang telah di jelaskan bahwa maḥabbah dalam pandangan

    kaum sufi adalah anugerah Tuhan kepada hamba-Nya yang suci, sehingga

    memerlukan latihan mensucikan diri, meghilangkan sifat hasut yang di

    miliki, kemudian mengisinya dengan sifat lahut. Karena itu, dalam ajaran

    tasawuf ada jenjang pensucian diri yang disebut dengan maqam.19

    Kemudian para ahli berbeda dalam menetapkan maqam yang harus di

    lalui, seperti Abu Naṣr al-Sarrāj al-Tusi membagi maqam kepada tujuh

    tingkatan: taubat, zuhud, wara’, faqr, sabar, tawakkal, dan riḍa. Sementara

    Abu Bakar al-Kalabadhi membagi sepuluh tingakatan: taubat, zuhud, sabar,

    faqr, tawaddu, taqwa, tawakkal, Riḍa, al-maḥabbah dan al-ma’rifah.

    Selanjutnya menurut Rabi’ah al-Adawiyah membagi tingkatan kepada

    tujuh tingkatan: taubat, wara, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan rida. Dari

    sekian banyak perbedaan yang telah di jelaskan penulis, di sini penulis

    mencoba menjelaskan akan maqam-maqam untuk mencapai maḥabbah

    19 Rahmi Damis, “Maḥabbah Dalam Pandangan Sufi”. Wawasan Keislaman. Vol. 6, no

    1 2011.

  • 24

    dengan melalui pendapatnya Rabi’ah al-Adawiyah saja, di antaranya

    adalah:

    1. Taubat

    Tingkatan pertama untuk mencapai maḥabbah adalah Taubat, sedangkan

    taubat ialah pembersihan dosa manusia, sebab dosa itu adalah hal yang tidak

    baik atau kegelapan yang tidak akan bisa menyatu dengan cahaya.20 Taubat

    di sini adalah dengan tidak pernah mengulangi kesalahan-kesalahan yang

    pernah di perbuat selama di dunia serta dengan melaksanakan shalat taubat

    agar semua dosa yang ada pada dirinya bisa di hilangkan oleh Allah. Sebab

    menurut Rabi’ah dosa adalah sebuah penghalang untuk mencapai

    maḥabbah. Rasa sedih ketika melihat dosa yang dialami Rabi’ah

    membuatnya terus menangis, tetapi bukan karena takut akan api neraka,

    melainkan Rabi’ah takut berpisah dengan kekasihnya yaitu Allah Swt.

    Berpisahnya dengan Tuhan adalah salah satu hal yang terberat dalam

    hidupnya.21 Kemudian, jika tidak ingin berpisah dan jauh dengan Tuhan

    seorang hamba itu harus benar-benar tulus bertaubat, karena taubat

    sebenarnya adalah merupakan anugerah Tuhan sebagai ketetapan baik.22

    2. Wara

    Selanjutnya maqam kedua adalah wara, wara adalah berhati-hati dalam

    sikap kepada segala yang syubhat (tidak jelas hukum halal atau haramnya)

    dalam tingkatan ini ketika seseorang sudah bertaubat seseorang tersebut

    20 Lihat al-Ghazali, “Ihya ‘Ulum al-Din” Juz IV, (Surabaya: Hidayat, 1986), 12. Seperti

    dikatakan Rabi’ah saat mendengar keluhan Sufyan alTsauri:”Alangkah sedihnya hatiku,”

    Bagi Tabi’ah, kata-kata itu gombal, karena Sufyan masih bisa terlihat bahagia. Lihat

    alTaftazani, 100. 21 Lihat Farid al-Din al-’Aththar, “Tadzkirat al-Auliya”, Vol. I (London: Luzac) 22 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al Adawiyah, Apresiasi atas

    Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”. Spiritualitas Islam, vol.3, no.2 (Januari 2004) Lihat

    Al-Taftazani, 101.

  • 25

    harus berhati-hati dalam bersikap seperti menjaga makan dan minumnya

    apakah berasal dari yang haram atau halal, karena bagi seorang sufi segala

    sesuatu yang hukumnya tidak jelas maka akan di tinggalkan, bahkan segala

    yang halal pun akan tetapi dapat menganggu ikatannya dengan Tuhan maka

    akan di tinggalkan.23 Sebagaimana yang sudah Rabi’ah jalani selama

    hidupnya seperti ketika Rabi’ah menolak pemberian emas dari Hasan al-

    Bashri, sebab takut memalingkan perassanya dari Tuhan kepada harta.24

    Kemudian seperti halnya ketika Rabi’ah akan memasak sup akan tetapi

    Rabi’ah tidak mempunyai sebuah bawang untuk di jadikan bumbu, tiba-tiba

    datang seekor burung yang mengantarkan bawang tersebut, akan tetapi

    Rabi’ah tidak mau untuk memakan sop tersebut yang sudah di sajikan

    pelayannya, sebab takut bahwa bawang itu hanya sebuah muslihat.25

    Kemudian ketika waktu Rabi’ah menjahit pakaiannya yang sobek dengan

    menumpang cahaya lampu kepada rumah penguasa, dan akhirnya Rabi’ah

    menyobek pakaiannya yang sudah ia jahit.26

    3. Zuhud

    Ketika seorang sudah sampai dengan wara langkah selanjutnya adalah

    zuhud, zuhud ialah meninggalkan segala yang bersifat keduniaan untuk

    mendekatkan diri kepada Tuhan.27 Dalam tingkatan ini semua hal yang

    23 Al-Qushayri mengutip pernyataan al-Syibli. Lihat al-Qushayri, 110. 24 Abd al-Mu’in Qandil, “Figur Wanita Sufi”, terj. M.Sofyan Amrullah,(Pustaka

    Progressif, 1993), 111. 25 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al Adawiyah, Apresiasi atas

    Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”. Spiritualitas Islam, vol.3, no.2 (Januari 2004) Lihat

    A.J. Arberry, 54. 26 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al Adawiyah, Apresiasi atas

    Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”. Spiritualitas Islam, vol.3, no.2 (Januari 2004) Lihat

    Al-Qusyairi, 114. 27 Hal ini tampak ketika Rabi’ah menolak tinggal di rumah mewah hasil renovasi

    seorang saudagar kaya, “Aku takut hetiku tertambat padanya, sehingga aku disebutkan oleh

    dunia,”jawaban tegas Rabi’ah. Farid al-Din Aththar, 66. Karena tujuan hidupnya hanya

    Allah semata, sehingga segala hal yang mungkin menggangu harus ditiinggalkan.

    AlGhazali, 291.

  • 26

    bersifat keduniaan harus di lupakan seperti harta, jabatan, dan lainnya,

    sebab di dalam pikirannya hanya ada Allah dan takut menjadi penghalang

    untuk sampai kepada-Nya. Kemudian bagi seorang yang hendak memasuki

    dunia tasawuf, kehidupan dunia harus di tinggalkan, setidaknya karena dua

    alasan di antaranya: pertama karena dapat mengalihkan perhatian dari

    Allah.28 Menggangu ibadah,29 beban dan jerat pengembaraan spiritual,30

    kedua karena tidak membuat kaya hakiki, sekalipun memiliki seluruh dunia,

    sebab karena ia fana (hilang).31 Rabi’ah berkata bahwa zuhud itu sendiri

    bukan semata untuk membersihkan hati dari keduniawian, melainkan lebih

    karena takut berpisah dengan Allah Swt karena sibuk dengan dunia. Karena

    itu, ia tidak pernah membicarakan urusan dunia dari sisi baik dan

    buruknya.32 Bahkan ia sampai tidak peduli dengan perlengkapan rumah

    tangganya sendiri.33

    4. Faqr

    Setelah mencapai zuhud selanjutnya ialah tingkatan faqr menurut al-

    Syibli memberikan pengertian faqr dengan “tidak adanya rasa butuh kecuali

    28 Karena itu ia juga menolak lamaran gubernur Bashrah dan menjanjikan mas kawin

    100.000 dinar plus gaji 10.000 dinar perbulan. Tapi Rabi’ah menolaknya, bahkan sekalipun

    sang gubernur akan menjadi budaknya. Lihat M. Smith, 14. 29 Lihat selengkapnya dalam Abu Thalib al-Makki, “Qut al-Qutub fi Mu’amalat

    alMahbub”, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 103. 30 Suatu hari Rabi’ah membuang uangnya ke sungai Tigris setelah orang yang

    disuruhnya membeli baju, kembali lagi dan mananyakan warnanya. Dia tidak mau lagi

    terikat dengan keduniawian sekecil apapun. Persoalan warna saja dapat membuat manusia

    tidak merdeka. Al-‘Aththar, 68. 31 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah Apresiasi atas

    Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”. Vol 3, no. 2 (Januari 2004). 32 Rabi’ah menyatakan rasa tidak suka memperbincangkan baik buruk dunia kepada

    para penjenguknya saat dia sakit. Ketika itu para penjenguk berbicara tentang keburukan

    dunia untuk menghibur Rabi’ah. Al-‘Aththar, 72. 33 Pembantunya mengeluh karena tidak mendapatkan pisau di dapur dan Rabi’ah tidak

    peduli lagi dengan hal itu, 68.

  • 27

    kepada Allah.34 Mengenai faqr di sini ialah seseorang tersebut tidak akan

    pernah ada rasa butuh dari orang lain sebab seseorang tersebut hanya butuh

    kepada Allah, akan tetapi ini menurut para sufi faktanya hidup seseorang di

    dunia ini pasti sangat membutuhkan uluran tangan saudaranya. Sedangkan

    menurut Rabi’ah, meminta sesuatu kepada orang lain adalah pantangan.35

    Sehingga Rabi’ah pun merasa malu ketika meminta pertolongan kepada

    yang bersifat dunia kepada Allah, apalagi kepada sesamanya.36 Sampai

    Rabi’ah pernah mengungkapkan bahwa dirinya telah empat puluh tahun

    berjanji kapada Allah agar tidak akan meminta apapun kecuali kepada

    Allah.37 Karena baginya tidak perlu meminta pertolongan kepada sesame,

    sebab Allah Swt sudah menjamin hidupnya.

    5. Sabar

    Setelah mencapai maqam faqr selanjutnya adalah maqam sabar, sebab

    maqam faqr lah yang akan mengantarkan kepada maqam sabar. Sabar di

    sini ialah selalu ihklas dengan apa yang sudah di terima atau di takdirkan

    oleh Allah, serta selalu pasrah dan hanya mengingat Allah saja. Sedangkan

    maqam sabar menurut al-Qushayri terbagi menjadi dua bagian: pertama.

    Sabar dalam menjalankan perintah dan larangan Allah, kedua. Sabar dalam

    menghadapi segala kehendak Allah.38 Sebagaimana yang telah dicontohkan

    dalam semasa beribadahnya Rabi’ah seperti Shalat dan Dzikir sepanjang

    malam dan ketika di siang hari berpuasa, karena menurut Rabi’ah, segala

    34 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah, Apresiasi atas

    Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”, Vol, 3, 276. 35 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah, Apresiasi atas

    Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”, 26. 36 Jawaban Rabi’ah ketika ada seseorang yang menawarkan bantuan apa saja yang

    dibutuhkan olehnya. Lihat al-Taftazani, 99 37 Jawaban Rabi’ah ketika pembantunya minta izin untuk minta bawang kepada

    tetangga ketika akan membuat sop, A.J. Arberry, 54. 38 Ach. Maimun, “Maḥabbah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah, Apresiasi atas

    Rintisan Mistik Sejati dalam Islam”, Vol, 3, 145.

  • 28

    kehidupannya ialah suatu ketentuan Allah, sebab itu kita harus menerima

    tanpa ada usaha untuk melawan ketentuannya.39

    6. Tawakkal

    Selanjutnya setelah mencapai maqam Sabar, kemudian adalah maqam

    Tawakkal akan tetapi ketika seorang benar-benar dan sungguh-sungguh

    dalam bersabar maka akan melahirkan Tawakkal yang artinya berserah diri

    kepada Allah, berserah diri di sini ialah selalu menerima apapun yang di

    hadapi dari penyakit, kesedihan, kesenangan, dengan ihklas nerima apa

    adanya. Sebab Rabi’ah pernah menunjukan bahwa di dalam kehidupannya

    itu Rabi’ah hanya mengikuti segala kehendak yang di terimanya dari Allah,

    sekalipun berupa sebuah cobaan atau musibah.40 Segala sesuatu yang terjadi

    adalah ketentuan Allah sebab Allah yang mempunyai kehendak, dan tugas

    bagi seorang hamba ialah hanya menerimanya dengan penuh ketulusan dan

    keihklasan.41

    7. Riḍa

    Maqam yang terakhir untuk mencapai maḥabbah yaitu adalah tingkatan

    Riḍa, sebab puncak tawakkal adalah riḍa atau rela atas segala yang di

    tentukan dan kehendaki oleh Allah Swt. Artinya tawakkal akan melahirkan

    sifat rida di mana seseorang tersebut sepenuh hidup dan matinya hanya

    39 Jawaban terhadap anjuran Malik bin Dinar agar mohon diringankan penderitaannya

    kepada Allah swt. Al-‘Aththar, 71. 40 Rabi’ah pernah menegur seorang pemuda yang mengikat kepalanya dan mengeluh.

    Lihat al-‘Aththar, 68. 41 Hal itu tampak dari penolakannya terhadap tawaran Malik bin Dinar yang

    menawarkan bantuan untuk meringankan penderitaanya. “Karena dia mengetahui

    keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus

    menerimanya.” Kata Rabi’ah hal. 71. Dalam kisah lain, ‘Abd al-Wahid bin Amir bersama

    Sufyan al-Tsauri datang ke Rabi’ah menjenguk Rabi’ah dan menganjurkannya agar

    memohon kepada Allah untuk meringankan penderitaanya. Tapi Rabiah menolak karena

    Allah tahu betul kondisinya dan dia memang menghendaki itu, Lihat Michael A. Sells,

    1996, Early Islamic Mysticism, New York: Paulist Press, 167

  • 29

    mencintai Allah semata. Bahwa Rabi’ah mengatakan kesusahan kehidupan

    memang sudah di tentukan oleh Allah serta dia sepenuhnya mengetahui,

    karena segala bentuk ujian itu tidak boleh menghilangkan rasa cintanya

    kepada-Nya.42 Baginya seorang hamba yang sudah mencapai akan maqam

    riḍa maka musibah atau penderitaan yang diterima dunia sekalipun

    kenikmatan maka akan merasakan sama, semuanya sama-sama diterima

    dengan ihklas sebagai ketentuan Allah.43 Dengan maqam riḍa dalam

    hatinya, Rabi’ah berharap Allah Swt, riḍa kepadanya.44 Jadi ketika

    seseorang sudah mencapai dengan tingkatan riḍa bisa di katakan ia menjadi

    seorang sufi. Maka dengan itu kedudukan seorang ketika ingin mencapai

    atau mandapatkan maḥabbah harus mencapai tingkatan maqam riḍa, oleh

    sebab itu bisa di jelaskan maqam riḍa adalah tingkatan terakhir untuk

    mencapai Maḥabbah.

    C. Pandangan Maḥabbah Menurut Para Ulama Sufi

    Setelah menjelaskan maqam-maqam maḥabbah dalam sub bab

    sebelumnya, selanjutnya penulis ingin menjelaskan pandangan maḥabbah

    menurut para ulama sufi di antaranya ialah:

    1. Shaikh Abu Abdurrahmān al-Sulami

    Menurut al-Sulami telah mengutip perkataan ulama yaitu Shaikh Amr

    bin Ustmān berkata cinta kepada Allah yang maha tinggi adalah tujuan

    mengenal-Nya, selalu takut kepada-Nya, senantiasa sibuk hatinya untuk

    42 Suatu ketika Rabi’ah berkata:”seandainya Engkau akan memisahkanku dengan-Mu

    melalui penderitaan, aku tidak akan berhenti sebagai kekasih-Mu.” Lihat M. Smith, 72 43 Ketika musibah sama dengan nikmat, maka orang itu telah mencapai ridla. Demikian

    jawaban Rabi’ah ketika ditanya Sufyan Tsauri. Lihat al-Qusyairi, 163. 44 Rabi’ah menegur Sufyan al-Tsauri yang berdoa: “Ya Allah riḍailah hamba.” Rabi’ah

    berkata: “Apakah engkau tidak malu minta riḍa kepada dzat yang engkau tidak riḍa

    kepadaNya.” Lihat Al-Kalabadzi, “Al-Ta’aruf li Madzhab Ahl al-Tashawuwuf”, (Kairo:

    Dar al-Ma’rifah, 1960), 107. Artinya, ridla harus timbal balik antara Allah dan hamba.

    AlTaftazani, 101.

  • 30

    mengingatknya, senantiasa hati menyebutnya, dan senantiasa ramah

    kepada-Nya.45 Artinya bahwa tujuan untuk mendapatkan maḥabbah ialah

    dengan selalu mengenal Allah serta takut kepada Allah kemudian

    senantiasa sibuk hatinya hanya mengingat Allah, sedangkan cara untuk

    mengenal, takut, dan sibuk hatinya yaitu dengan selalu menjalankan

    perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, selalu menyebutkan asmanya

    dalam dzikir pada setiap saat. Sedangkan menurut al-Sulami untuk meraih

    maḥabbah ialah dengan selalu mengikuti Nabi, mengikuti adalah salah satu

    anjuran Allah jika seorang hamba ingin menggapai maḥabbah Allah.

    Ketika menjelaskan maḥabbah al-Sulami berpendapat di dalam kitabnya

    Haqa’iq al-Tafsῑr bahwa tidak akan sampai kepada cahaya yang paling

    tinggi, bagi orang yang tidak meminta petunjuk dengan cahaya yang rendah,

    dan siapa yang tidak menjadikan jalan kepada cahaya yang tinggi itu

    berpegangan dengan adab-adab yang mempunyai cahaya rendah dan

    mengikutinya maka sesungguhnya dia buta dari dua cahaya tersebut, maka

    di pakailah baju tipuan.46 Maka dari itu cahaya yang tinggi hanya di miliki

    oleh Nabi, dan seorang makhluk hanya memiliki sebuah cahaya yang

    rendah, sehingga butuh perjuangan dan ketulusan untuk meraih cahaya yang

    tinggi akan tetapi bukan melewati cahaya yang tinggi melainkan hanya

    berusaha untuk menjadi seorang hamba yang baik serta mendapatkan

    maḥabbah Allah.

    Al-Sulami telah berkata dalam QS.’Ali’Imrān[3]:31 bahwa kalimat

    maḥabbah itu dari bibit hati, dan bibit itu penglihatan hati, yakni seperti biji-

    bijian yang jatuh di dalam tanah, yang tertanam di dalam tanah, dan tumbuh

    45 Abu‘Abd al-Rahman al-Sulami, Tafsῑr Haqā’iq al-Tafsῑr, (Beirut: Dar al-Kutum al-

    ‘Ilmiyya, 2002), 96 46 Abu‘Abd al-Rahman al-Sulami, Tafsir Haqā’iq al-Tafsῑr, (Beirut: Dar al-Kutum al-

    ‘Ilmiyya, 2002), 96

  • 31

    biji-bijian tersebut.47 Maka jika seseorang sudah tertanam dalam hatinya hal

    yang baik seperti selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-

    Nya, maka seseorang tersebut akan menggapai maḥabbah Allah yang

    menjadi tujuan manusia seutuhnya.

    2. Shaikh ‘Abdul al-Qādir al-Jailāni.

    Menurut Shaikh ’Abdul al-Qādir al-Jailāni telah mengutip perkataan

    seorang pecinta bahwa tidak punya kedua mata yang sebabnya dia melihat

    selain kepada yang dicintai-Nya, karena seorang yang bohong itu ialah

    ketika ia mencintai Allah akan tetapi membuka hatinya kepada selain Allah,

    sebab hendaknya hati ini hanya di isi dengan selalu mengingat Allah, karena

    Allah tidak mau di dua.48 Yakni hati yang cinta pada Allah dan Cinta kepada

    sesama, sebab tidak akan mungkin ada satu hati pun yang di dalamnya

    terikat antara dunia dan akhirat.49 Sebagaimana dalam QS.al-Ahzab[33]:4

    yang menjelaskan tentang hal ini.

    ُهنه أُ ِي ُتظََِٰهُروَن ِمن ِۡتكُ مها َجَعَل ٱَّللهُ ِلَرُجل مِ ن قَ ۡلَبۡۡيِ ِف َجۡوِفِهۦۚۡ َوَما َجَعَل أَۡزوَََٰجُكُم ٱلهََّٰٰٓ َوَما مههََٰ

    ۡمُۚۡ يَ ُقوُل ٱۡۡلَقه َوُهَو يَ ۡهِدي ٱلسه َوٱَّلله

    ِهُكۡمۖۡ وََٰ ِلُكۡم قَ ۡوُلُكم ِِبَف ۡ َنآَّٰءَُكۡمۚۡ ذََٰ ِبملَ َجَعَل أَۡدِعَمآَّٰءَُكۡم أَب ۡ“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam

    rongganya, dan tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai

    ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu

    (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, dan

    Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang

    benar)”

    Menurut al-Jailāni ketika hati seorang hamba masih bersangkutan

    dengan hal-hal yang bersifat duniawi serta masih melekat dalam hatinya,

    47Abu‘Abd al-Rahman al-Sulami, Tafsir Haqā’iq al-Tafsῑr, (Beirut: Dar al-Kutum al-

    ‘Ilmiyya, 2002), 96 48 Mohamed Fadil al-Jilani al-Hasani, “Nahr al-Qadiriyah Manaqib Syekh Abdul Qadir

    al-Jailāni”, terj: Ahmad Dzulfikar, (Depok: Keira Publishing, 2016), 230. 49 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Jila’ al-Khatir”, terj: Lukman Hakim, (Bandung: Marja,

    2009), 36

  • 32

    maka di situlah Allah tidak akan bersamanya, karena Allah itu tidak mau di

    sama ratakan atau di duakan pada selainnya mahkluk.50 Sedangkan jika jiwa

    seorang hamba masih dihinggapi oleh rasa cinta terhadap dunia maka akan

    menjadi hijab (penghalang) semua rasa cintanya akan tertutup sampai pintu

    maḥabbah kapada Allah akan terhalang. Kemudian ketika seorang

    meninggalkan hal yang fana sehingga ia akan mendapatkan hal yang tidak

    fana.51 Maka ketika seorang hamba tidak mau melepas dari keinginan dunia

    dan akhirat serta nafsunya maka hijab tersebut tidak akan pernah hilang

    dalam hatinya, namun ketika seorang hamba mau melepas hal yang

    demikian secara mutlak, maka hatinya akan di jaga oleh Allah, karena ia

    akan berbuat sebaik-baik mungkin untuk taat dan pasrah serta ihklas akan

    takdir-Nya.52

    Allah akan mencintai kepada yang mau mendapatkan cinta-Nya, ketika

    seorang hamba sudah mencapai dengan hal ini maka seorang tersebut akan

    di anugerahkan derajatnya oleh Allah, di dalam hatinya hanya taat dan

    selalu mengingat-Nya dan tidak ada kehendak terhadap yang lain-Nya.53

    Kemudian ketika di dalam hati seorang hamba telah terisi oleh Allah, maka

    hanya Allah yang akan menjadi tujuan hidupnya dan menjadi wasilah di

    dunia dan menggapai akhirat.54

    50 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Futuh al-Ghaib”, Terj: Abdullah Zakiy al-Kaaf,

    (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 22. 51 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Halaqah Shuffiyah fi Madrasah an-Namurah”, terj:

    Abdullah Zakiy al-Kaaf,(Bandung: Pustaka Setia, 2008), 157. 52 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Jalan Cinta al-Jailāni”, terj: Kamran Asad I dan Mata

    Nasrullah, (Jakarta: Diabit Media, 2007), 88. 53 Abdullah Zakiy al-Kaaf, “Manaqib Shaikh ’Abdul al-Qādir al-Jailāni”, (Bandung:

    Pustaka Setia, 2016), 39. Lihat juga ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Futuh al-Ghaib”, trek:

    Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 122. 54 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Futuh al-Ghaib”, terj: Abdullah Zakiy al-Kaaf,

    (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 76.

  • 33

    Ketika seorang mencintai Allah, maka di situlah seorang tersebut tidak

    akan pernah untuk lelah dalam hal beribadah sampai benar-benar

    mendapatkannya, seperti shalat malam sepanjang malam akan bersujud dan

    akan terus berusaha mencapai maḥabbah, dan akan selalu ingin berjumpa

    dengan yang di cintai-Nya, bahkan tidak akan pernah mau untuk berpisah

    walau dalam kenikmatan berjumpa dengan-Nya, akan selalu bersabar

    menahan diri dari segala sesuatu yang di larang, serta senang sekali

    menyendiri, dan mensucikan hatinya agar di jauhkan dari segala sesuatu

    selain Allah. Tahapnya yaitu mulai dari memberikan pembuktian dengan

    bersyahadat, sehingga memandang emas sama harganya dengan lempung,

    jalan terbaik menepuh maḥabbah Allah dengan bersikap zuhud.55 Karena

    ketika sudah bersikap zuhud terhadap kehidupan dunia maka akan membuat

    hijab terjauhkan sehingga pintu untuk mencapai maḥabbah akan terbuka,

    sebab dunia merupakan hijab yang menghalangi antara manusia dengan

    Allah.56

    Kemudian menurut al-Jailāni ketika sudah bersikap taat atas perintah-

    Nya dan menjauhi segala yang dilarang-Nya, dan bertawakal kepada-Nya,

    selalu sabar atas kehendak-Nya dan inilah merupakan akhlak mulia seorang

    hamba terhadap Allah yang kemudian layak di miliki orang setiap mukmin

    yang beriman.57 Seorang pecinta ialah seorang hamba yang selalu

    bertawakal kepada Allah serta perilakunya selalu baik dan sopan, kemudian

    pengetahuannya bertambah dalam hal ajaran-Nya serta menjadikan

    dunianya sebagai jalan untuk mencapai cinta-Nya.58 Kemudian cara untuk

    55 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jῑlānῑ,”34. 56 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jῑlānῑ,”34. 57 Abdul al-Qādir al-Jailāni, “al-Gunyah li Thalibi Thariqi Haq fi Akhlaq wa

    Tashawwuf wa al-Adab al-Islamiyyah”, Juz II, terj: Amirullah Kandu, (Bandung: Pustaka

    Setia, 2008), 569. 58 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, “Jila’ al-KhatirI”, terj: Lukman Hakim, (Bandung: Marja,

    2009), 42-43.

  • 34

    menjadi seorang yang dicintai Allah adalah dengan mencapai ma’rifah

    kepada-Nya sebab ketika ia sudah mencapai ma’rifah maka terbukalah

    penghalang antara ia dengan Allah, lalu salah satu untuk mengenal Allah

    dengan mentafakuri segala yang ada dan nikmat-Nya.59

    Ketika ia meninggalkan hal yang dilarang Allah maka hal tersebut bisa

    mendekatkan seorang hamba akan menjadi dekat dengan Allah, seseorang

    yang cinta kepada Allah maka telah menghilangkan dirinya sehingga

    terarah dengan kehadiran adanya Allah di hatinya.60 Kemudian untuk

    meraih maḥabbah Allah, maka seorang tersebut harus melalui tahap yang

    sudah di tentukan dengan menjalankan semua yang sudah di kehendaki

    Allah, menggapai ma’rifah maka ia akan menjadi seorang hamba yang

    dicintai.61 Sehingga seorang akan memandang bahwa dunia itu rendah,

    karena dunia itu sumber kekotoran yang membuatnya jauh dari Allah.62

    Seorang yang berdusta adalah ketika semasa hidupnya sudah mengenal

    Allah tetapi seorang itu melanggarnya dengan bermaksiat kepada-Nya,

    seharusnya ketika seorang tersebut sudah ingkar segeralah untuk bertaubat,

    sebab jangan menjadi sebuah penyesalan dalam dirinya ketika berpisah

    dengan-Nya.63 Hamba yang mendapatkan maḥabbah Allah pasti dia selalu

    taat kepada yang dicintai-Nya dengan tulus, dan jika dia akan merasakan

    ketenangan serta kedekatan bersama-Nya sekaligus atas riḍa-Nya.64

    3. Imam al-Ghazāli

    ُ َويَ ۡغِفۡر َلُكۡم ُذنُوَبُكۡمۚۡ َوٱَّللهُ ِبۡبُكُم ٱَّلله ممَ ُقۡل ِإن ُكنُتۡم ُتُِبُّوَن ٱَّللهَ فَٱتهِبُعوِن ُُيۡ ِِ ََُفوََ َه

    59 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, 38. 60 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, 39. 61 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, 40. 62Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, (Skripsi S1.,

    Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017), 40. 63 ’Abdul al-Qādir al-Jailāni, Al-Fatur Ar-Rabbani, 42 64 Muhammad Syafiq, “konsep Maḥabbah dalam Tafsῑr al-Jailāni”, 40.

  • 35

    Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya

    Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun

    lagi Maha Penyayang.

    Pada ayat di atas menjelaskan bahwa tanda seorang hamba jika ingin

    mendapatkan maḥabbah Allah ialah dengan menjalankan segala perintah-

    Nya dan menjauhi larangan-Nya serta selalu mengikuti kekasih-Nya, sebab

    salah satu cara untuk mendapatkan tanda cinta ialah menuruti segala yang

    dicintainya menurut Imam al-Ghazali. Sedangkan rasa cinta Allah terhadap

    hambanya ialah di berikan pahala, rahmat, ampunan, serta menjaga mereka,

    dan kenikmatan.65 Kemudian penjelasan yang kedua dengan ayat ini ialah

    seorang hamba jika benar ingin mendapatkan maḥabbah Allah, maka dia

    harus mengikuti Nabi selalu melaksanakan Sunnah Nabi, sebab cinta

    kepada Nabi merupakan jalan menuju maḥabbah Allah, sebagaimana yang

    pernah di katakan oleh Imam Junaid bahwa, seorang hamba tidak akan

    sampai kepada Allah, kecuali dengan kehendak Allah, dan jalan untuk

    mencapai Allah atau mendapatkan maḥabbah Allah dengan mengikuti

    segala Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan membaca Shalawat setiap

    hari itu juga akan mendapatkan cinta-Nya Nabi.66 Sebab dengan mencintai

    Nabi maka akan mencintai para ulama dan orang-orang yang bertakwa.67

    Sedangkan Ibrahim al-Khawwash pernah di tanya tentang cinta,

    kemudian menurutnya cinta adalah mempersatukan jiwa dalam lautan tanda

    dan isyarat serta ketiadaan hasrat dan keinginan sebab terbakarnya segala

    sifat dan kebutuhan.68 Orang yang menduakan atau menyekutukan ialah

    orang yang akan terperosok ke dalam kebodohan ilmu serta kesempitan

    65 Abu Hamid al-Ghazāli, “Tahzib Mukasyafah al-Qulub”, terj: Akhmad Siddiq dan A.

    Rofi’I Dimyati, (Jakarta: Keira Publishing), 18. 66 Abu Hamid al-Ghaāli, “Mukasyaftul Qulub”, terj: Mahfudh Sahli, (Jakarta: Pustaka

    Amani), 55. 67 Abu Hamid al-Ghazāli, “Ihya ‘Ulum al-Din”, (Jakarta: Republik, 2013), 204. 68 Abu Hamid al-Ghazāli, “Tahdzib Mukasyafah al-Qulub”, Terj: Akhmad Siddiq dan

    A. Rofi’I Dimyati, Jakarta: Keira Publishing, 20.

  • 36

    untuk mengenal-Nya.69 Kemudian bagaima