PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH...
Transcript of PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH...
i
Judicial Integrity Hakim Dalam Putusan Tindak Pidana Korupsi
(Analisis Putusan Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr dan
putusan Nomor: 51/Pid.sus TPK/2017/PN-pbr)
Skripsi
Di ajukan kepada Fakultas Syariah & Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun oleh :
SYIFA ULKHAIR
NIM: 11150450000083
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019
iii
ABSTRAK
Syifa Ulkhair NIM: 11150450000083 “Judicial Integrity Hakim Dalam
Putusan Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan No. 4/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Pbr dan Putusan No. 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN-Pbr).
Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1441H/2019M.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai Disparitas
Putusan Hakim Tentang Tindak Pidana Korupsi yang terdapat dalam
putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 4/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr
dan Putusan Nomor 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN-Pbr Adapun yang menjadi
tujuan penelitian ini untuk menjelaskan apa saja yang menjadi faktor
penyebab disparitas putusan hakim, pengaruh disparitas pemidanaan
terhadap pemberantasan korupsi, dan konsep ideal yang dapat mengurangi
disparitas pemidanaan dalam putusan perkara korupsi.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dengan pendekatan peraturan
perundang-undangan (statue approach). Setelah data diperoleh, penulis
menganalisa secara yuridis-normatif keseluruhan data terhadap objek kajian
(Putusan Nomor 4/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr dan Putusan Nomor
51/Pid.Sus-TPK/2016/PN-Pbr).
Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, pertimbangan hakim dalam
putusan perkara korupsi yang menimbulkan disparitas pemidanaan adalah
peraturan perundang-undangan, pribadi hakim, dan lingkungan (politik dan
ekonomi). Kedua, disparitas pemidanaan tidak berpengaruh terhadap
pemberantasan korupsi, meskipun berat dan ringan putusan itu berdampak
terhadap rasa keadilan masyarakat. Ketiga, konsep ideal disparitas
pemidanaan dalam putusan perkara korupsi adalah pembentukan pedoman
pemidanaan, rekonstruksi pola pemikiran dan perilaku etik hakim. Simpulan
penelitian ini: Pertama, pertimbangan hakim dalam putusan perkara korupsi
yang menimbulkan disparitas pemidanaan disebabkan oleh berbagai faktor,
yaitu faktor peraturan perundang-undangan, pribadi hakim, moralitas,
mentalitas. Kedua, pengaruh disparitas pemidanaan terhadap pemberantasan
korupsi tidak berdampak positif. Ketiga, konsep ideal mengurangi
disparitas pemidanaan dalam putusan perkara korupsi adalah pembentukan
pedoman pemidanaan yang dapat dijadikan acuan hakim untuk menjatuhkan
sanksi pidana.
Kata Kunci :Analisis Putusan, Disparitas, Korupsi.
Pembingbing :Muhammad Ishar Helmi
Daftar pustaka : 1966-2018
iv
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam semoga tetap
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa risalah
kebenaran untuk semua umat khususnya kepada umat Islam.
Skripsi ini berjudul “Judicial Integrity Hakim Dalam Putusan Tindak
Pidana Korupsi (Analisis Putusan Nomor: 4/Pid.sus-
TPK/2017/PN-pbr dan putusan Nomor: 51/Pid.sus TPK/2017/PN-
pbr).” disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program
strata satu di Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
keilmuan khususnya di Fakultas Syari‟ah dan Hukum Program Studi Hukum
Pidana Islam (Jinayah).
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya atas bimbingan, masukan, saran serta dukungannya baik moril
maupun materiil kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas Syari‟ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Qosim Arsadani, M.A. Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah).
3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A. Selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Pidana Islam (Jinayah)
4. Selaku Dosen Pembimbing Muhammad Ishar Helmi, S.Sy., SH. M.H dalam
penulisan skripsi yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta
meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.
5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
6. Kepada kedua orang tua penulis tersayang dan tercinta Ayah Syamsimir dan
Ibu yanti Herdianti yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi
serta doa yang tiada hentinya selama penulis menempuh perkuliahan di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan umur yang panjang, selalu diberikan kesehatan dan
dilampangkan rizkinya, Aamiin.
7. Kepada Adik Penulis Jihan Syafira Ulkhair, hilmi, abil, dan malik terimakasih
telah memberikan canda tawa dan motivasi kepada penulis, serta keluarga
besar ayah dan ibu yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih selalu
memberikan do‟a, dukungan dan semngat selalu.
8. Kepada Terkhusus untuk Fikri Fadillah,ST Yang telah membantu memberikan
support setiap harinya untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terimaksih selalu
meluangkan waktu kala sibuknya.
9. Kepada Geng Typo Lovers Nabila Bardja, Nanda Amalia, Rini, dan Ube Ulva
yang selalu memberikan support untuk segera menyelesaikan skripsi terima
kasih selalu memberikan wejangan motivasinya yaa hehe.
10. Kepada sahabat perjuanganku Ayu widiwati dan Jaguar yaitu, Khairan Abdul
Mahmud, Mardani, Halimah Nurmayanti, Sofia Azmi yang telah memberikan
support kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi serta dukungan nya
sampai skripsi ini terselasaikan.
11. Kepada sahabat Tercinta dari SMP hingga detik ini kartika sari terimakasih
selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi dan menjadi tempat
curhat penulis serta mengingatkan dalam segala hal kebaikan. Forever will be
my best �
12. Kepada Teman seorganisasi dan kpps Tara dan Mita terimakasih sudah
memberikan support kepada penulis untuk segera meneyelesaikan skripsi dan
selalu tidak menunda sholat hehe. Serta temen yang sudah mau direpotkan
13. Kepada seluruh teman-teman Jurusan Hukum Pidana Islam angkatan 2015,
terimakasih telah sama-sama saling memberi dukungan dan motivasi serta
saling membantu dan memberikan doa serta dukungan untuk penulis,
terimakasih atas kebersamaan dan waktu yang telah kita alami bersama selama
vi
di bangku perkuliahan, semoga di masa yang akan datang kita dapat meraih
apa yang kita harapkan semoga kita bertemu di puncak kesuksesan kita
masing-masing kelak, aamiin.
14. Kepada Seluruh Teman- teman Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2015 yang sama-sama berjuang
dari pertama hingga akhir, senang bisa kenal dengan kalian semua dan menjadi
bagian keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.
15. Kepada Kanda dan Yunda seluruh Anggota Organisasi Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum Terimakasih telah
menjadi wadah berproses penulis selama di bangku perkuliahan dan
mengajarkan penulis untuk menjadi Insan Yang Akademis.
16. Kepada seluruh pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran
penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan
Alhamdulillahirabbil „Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Aamiin.
Sekian dan terimakasih.
Jakarta, 18 November 2019
22 Rabiul Awal 1441
Syifa Ulkhair
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR11 ............................................................................................ vi BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................................. 8
D. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................................................... 9
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ........................................................................................ 23
F. Metode Penelitian ......................................................................................................... 24
G. Metode Penulisan dan Sistematika Penelitian........................................................... 27
BAB II .................................................................................................................................... 30
INTEGRITAS DAN INDEPEDENSI HAKIM TINDAK PIDANA KORUPSI .............. 30
A. Integritas Hakim ....................................................................................................... 30
B. Independensi Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi ........................................... 35
C. Integritas dan Independensi Hakim Dalam Pandangan Hukum Islam ............... 37
BAB III ................................................................................................................................... 49
DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ................ 49
A. Pengertian Disparitas Putusan ................................................................................ 49
B. Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan .............................................................. 50
C. Dampak Disparitas Putusan .................................................................................... 53
D. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim ............................................................. 55
E. Bentuk Putusan Pengadilan ..................................................................................... 58
F. Proses Pengambilan Putusan Oleh Hakim Tipikor ............................................... 59
1. Proses Pengambilan Putusan Oleh Hakim ................................................................. 59
G. Teori-Teori Penjatuhan Putusan ............................................................................. 60
BAB IV ................................................................................................................................... 70
JUDICIAL INTEGRITY HAKIM TINDAK PIDANA KORUPSI ................................... 70
viii
A. Pertimbangan Hakim Tindak Pidana Korupsi Nomor: 4/Pid.sus-
TPK/2017/PN-pbr dan Putusan Nomor: 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr ..................... 70
1. Putusan Tindak Pidana Korupsi Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr .............. 70
a. Kronologi Kasus Perkara nomor 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-Pbr .................................. 70
B. Judicial Integrity Hakim Dalam Pandangan Hukum Islam dan Positif ............... 96
BAB V PENUTUP ............................................................................................................... 105
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 105
B. Saran ........................................................................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 107
Buku-Buku ...................................................................................................................... 107
Perundang-undangan ..................................................................................................... 110
Jurnal ............................................................................................................................... 110
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan
di dalam pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang
direncanakan mencakup semua aspek kehidupan di masyarakat.
Keberhasilan dalam pelaksanan pembangunan sendiri sangat ditentukan oleh
sumber daya manusia dan sumber daya alam.Kualitas sumber daya manusia
tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan dan intelektual nya saja tetapi
juga menyangkut kualitas moral dan kepribadian dari masyarakat khususnya
aparatur penyelenggara negara.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparatur
penyelenggara negara merupakan sebab utama terjadinya korupsi.Korupsi di
Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi sosial yang sangat
berbahaya dan mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil
keuangan negara yang sangat besar. Perampasan dan pengurasan keuangan
negara yang demikian hampir terjadi di seluruh wilayah hingga menyebar ke
daerah-daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah.1
Dengan adanya hal tersebut merupakan cerminan rendahnya
moralitas, sehingga yang menonjol sikap rakus dan ingin menguasai semua
kekayaan untuk dirinya atau golongan. Akibat tindak pidana korupsi yang
terjadi selama ini selain merugikan keuanagan dan perekonomian negara
juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasioanal,
dapat meghambat stabilitas dan keamanan nasional.
Korupsi merupakan kejahatan kompleks dan berimplikasi sosial
kepada orang lain karena menyangkut hak orang lain untuk memperoleh
kesejahteraan yang sama. Bahkan, korupsi dapat disebut dosa sosial dimana
sebuah dosa atau kejahatan yang dilakukan dan berdampak bagi banyak
1Paulus Mujiran, Republik Para Maling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004), h. 2
2
orang, nilai kedosaan jauh lebih besar ketimbang dosa yang sifat nya
personal atau individu.2
Perkembangan masyarakat saat ini selalu diiringi dengan
peningkatan tindak kejahatan khusus nya tindak pidana korupsi. Masyarakat
pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem. Sub
sistem ini memiliki kepentingan yang berbeda-beda satu sama lain.
Perbedaan kepentingan antara subsistem ini dapat menimbulkan suatu
benturan kepentingan antara satu dengan yang lainnya. Apabila benturan-
benturan tersebut dibiarkan maka akan terakumulasi dalam sikap dan
menimbulkan perbuatan jahat yang dikenal dngan istilah kejahatan atau
kiminalitas.
Perkembangan tindak pidana korupsi sampai saat ini pun sudah
merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik, landasan hukum yang
dipergunakan juga mengandung kelemahan-kelemahan dalam
implementasinya, didukung oleh sistem check and balances yang lemah.
Dalam kerangka demikian, korupsi sudah melembaga dan mendekati suatu
budaya yang sulit dihapuskan.3
Saat ini hampir setiap orang tidak merasa malu menyandang
predikat sebagai tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi
sehingga hampir tidak salah kalau ada orang yang menyebutkan korupsi
sudah membudaya atau bisa disebut sesuatu hal yang lumrah atau biasa
untuk dilakukan dalam zaman abad modern ini.4
Sehingga Tindak pidana korupsi menjadi virus yang mematikan
yang merusak sistem hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya,
pendeknya tindak pidana korupsi telah menggerogoti semua sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara, karena telah masuk sampai ke kursi
Presiden dan lingkungannya, mejaHakim yang mulia bahkan telah menodai
altar-altar suci tempat peribadatan dan menyengsarakan ratusan juta anak
2Paulus Mujiran, Republik Para Maling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004), h.. 2.
3Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, (Bandung: Mandar Maju), h. 1.
4 Muslihin Rais, Al-Daulah, (Vol. 6, No. 1, Juni 2017), h. 122.
3
bangsa.5
Dalam konsepsi Islam, Korupsi dikenal dengan istilahJinayahadapun
kualifikasi korupsi dalam hukum islam terdiri darighulul, riswah, sariqah,
hirabah. Ada beberapa Jenis Jarimah di dalam Fiqh Jinayah dari unsur-
unsur dan definisi yang mendekati terminologi korupsi di masa yang
sekarang, ada beberapa Jarimah tersebut adalah:
Ghulul merupakan salah satu bentuk tindak pidana dalam Islam yang
dapat dikategorikan dalam tindak pidana korupsi. Hal tersebut dilihat dari
unsur menyembuyikan atau mengambil barang seseorang yang mberakibat
pada kerugian pada pihak korban. Dasar hukum tindak pidana Ghulul
diambil dari QS: Ali-Imran (3) Ayat 161, yang awalnya hanya terbatas pada
tindakan Pengambilan, penggelapan atau berlaku curang, dan Khianat
terhadap harta rampasan perang. Akan tetapi, didalam pemikiran berikutnya
berkembang menjadi tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain,
seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal, harta milik kaum
muslim, harta bersama dalam suatu kerja sama dan bisnis, harta negara,
harta zakat dan lain-lainnya.6
Tindak pidana korupsi dalam hukum pidana Islam juga masuk dalam
kategori riswah. Apabila dalam hukum pidana positif tindak pidana korupsi
dalam bentuk penyuapan diatur dalam Undang-Undang tipikor, dengan
konsep yang sama. Dimana pelaku melakukan tindak pidana
penyuapan/rishwah untuk mendapatkan imbalan sesuatu dari pihak yang
disuap. Peristiwa yang sering terjadi adalah penyuapan oknum masyarakat
yang mempunyai kepentingan terhadap suatu tindakan pejabat, dengan
pemberian penyuapan tersebut diharapkan pejabat tersebut akan
memberikan apa yang diharapkan oleh oknum masyarakat tersebut serta
melakukan sesuatu kepada seseorang untuk kepentingan tertentu dengan
5Laode M. Syarif dan Didik E. Purwoleksono (ed), Tanpa Tahun, Hukum Anti Korupsi,
USAID, Kemitraan dan Asia Foundation, Tanpa Penerbit, h. 2 6 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam hukum pidana Islam, (Jakarta: Amzah. 2012), h. 78
4
membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.7
Sariqah juga dapat digolongkan dalam tindak pidana korupsi. Hal
tersebut dilihat dari unsur yang sama, yaitu mengambil barang atau harta
milik orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dari tempat
penyimpanannya.yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta
kekayaan tersebut. Yang dimaksud dengan mengambil barang secara
sembunyi-sembunyi yaitu tanpa sepengetahuan pemiliknya tanpa kerelaan
dari pemiliknya. Sehingga sebagian ulama menyampaikan tindak pidana
korupsi termasuk dalam sariqah, walaupun pendapat ini mendapat
pertentangan karena unsur tempat benda yang diambil antara korupsi dan
pencurian adalah hal yang berbeda. Oleh kerenanya tidak bisa disamakan.8
Hirabah (perampokan) juga dikategorikan dalam tindak pidana
korupsi jika melihat unsur yang ada pada masing-masing tindakan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hirabah atau perampokan
merupakan suatu Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan didalam rumah maupun
di luar rumah secara terang-terangan, dengan tujuan untuk menguasai atau
merampas harta benda milik orang lain tersebut atau dengan maksud
membunuh korban disertai kekerasan atau sekedar bertujuan untuk
melakukan teror dan menakut-nakuti pihak korban. Sedangkan dalam tindak
pidana korupsi sebagaimana dalam hukum positif, unsur menakut-nakuti
tidak termasuk dalam kategorinya. Oleh karenanya penyamaan dalam kedua
tindak pidana ini berada pada unsur mengambil barang orang lain.9
Suatu Fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas
perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang serta
membahayakan masyarakat dan negara. Oleh karena itu perilaku tersebut
7 Yusuf al-Qarḍawị, al-Halalwa al-Haram fi al-Islam, (Beirut: al-Maktabah al-
Islamiyah, 1980), h .320 8 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari‟at dalam Wacana
dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 28 9 Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Al-
Manufi Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, (Mesir: Mushthafa Al-Bab Al-Halabi
wa Auladuh, 1938, jilid VIII), h. 2.
5
dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk oleh para
koruptor itu sendiri. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut
konsepsi yuridis ditafsirkankan dalam rumusan hukum sebagai suatu bentuk
tindak pidana. Dalam Politik Hukum Pidana Indonesia, korupsi itu bahkan
dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana yang perlu didekati secara
khusus, dan di ancam pidana yang cukup berat.10
Hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan
Tindak Pidana Korupsi membuktikan bahwa Korupsi bukan hanya sekedar
tindak pidana yang biasa Modus dan pembuktiannya adalah kompleks.
Pelakunya pun adalah orang-orang yang menjadi aktor kekuasaan serta para
pengusaha. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan secara ekplisit menjelaskan bahwa:
“Tindak Pidana Korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan
biasa melainkan sudah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam
upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa tetapi
dituntut cara-cara yang luar biasa”.11
Di samping kehadiran Komisi Pemberantasan Pidana Korupsi, yang
notabenenya sebagai antithesis dari penyakit korupsi, juga harus ditunjang
oleh aparat penegak hukum dalam menangani perkara korupsi. Hakim
sebagai penegak hukum haruslah menjunjung tinggi etika dan profesinya
agar penegakan hukum berkeadilan, berkepastian hukum dan bermanfaat
bagi bangsa dan Negara.12
Dengan begitu masyarakat dapat merasa bahwa
hukum merupakan perwajahan dari keadilan. Namun, terdapat faktor
tertentu yang kemudian menjadi isu sensitive bagi dunia peradilan. Putusan
hakim, dalam banyak perkara korupsi, mengalami perbedaan vonis,
sementara substansi kasusnya sejatinya sama. Hal ini biasa disebut dengan
10
Reko Dwi Salfutra, Analisa Disparitas dan Rendahnya Vonis Perkara Korupsi Di
Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Pangkal Pinang, (Jakarta: Direktorat Pembinaan
Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2018), h. 145. 11
Reko Dwi Salfutra, Analisa Disparitas dan Rendahnya Vonis Perkara Korupsi Di
Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Pangkal Pinang, h. 145. 12
Reko Dwi Salfutra, Analisa Disparitas dan Rendahnya Vonis Perkara Korupsi Di
Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Pangkal Pinang, h. 145.
6
disparitas.
Disparitas Pidana menurut Harkristuti Harkrisnowo dipersepsi publik
sebagai bukti Ketiadaan Keadilan (Societal Justice). Secara Yuridis formal,
kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun
demikian seringkali orang melupakan bahwa Elemen “keadilan” pada
dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh Hakim.13
Disparitas pidana membawa problematika tersendiri dalam
penegakkan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda atau
Disparitas Pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan
putusan, tetapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda atau disparitas pidana
ini pun membawa ketidakpuasan bagi Terpidana bahkan masyarakat pada
umumnya.14
Sebagaimana dalam putusan Nomor 4/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr
Majelis Hakim Memutuskan vonis pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6
bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- dan uang pengganti sebesar Rp.
15.000.000,- sementara didalam putusan yang berbeda yaitu putusan PN
Nomor 51/Pid.sus K/2016/PN.pbr majelis hakim memutuskan vonis pidana
penjara 1 (tahun) tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000.- dan
uang pengganti sejumlah Rp. 10.000.000.- Dari kedua putusan ini, memiliki
substansi yang sama, namun memiliki vonis yang sama juga. Seharunya
majelis hakim dalam memutus perkara melihat pada nilai-nilai sosial yang
ada pada masyarakat. Dimana dalam memutus perkara tersebut majelis
hakim memutus perkara dengan pidana terendah. Sedangkan dalam undang-
undang pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2001 tersebut memiliki batas maksimal
pemidanaan selama 15 tahun penjara. Sehingga menurut penulis,
memberikan pidana dengan pidana 1 tahun 6 bulan dengan nilai kerugian
negara yang berbeda akan menimbulkan persepsi sosial yang salah pada
masyarakat. Yaitu masyarakat akan menilai bahwa, seberapapun nilai
13 Harkristuti Harkrsnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003,
(Jakarta:KHN,2003) h.28. 14
Eva Achjani, Proporsionalitas Penjatuhan pidana, Jurnal Hukum dan Pembangunan
Tahun ke-41 No. 2 April-Juni 2011.
7
kerugian yang dialami negara akan dihukum sama, sehingga masyarakat
akan melakukan korupsi yang besar.
Hakim merupakan suatu pekerjaan yang sangat memiliki tanggung
jawab besar terhadap pelaksanaan hukum di suatu Negara. Dalam artian,
hakim merupakan benteng terakhir dari penegakkan hukum di suatu Negara.
Oleh karena itu, apabila hakim disuatu Negara memiliki moral yang sangat
rapuh, maka wibawa hukum di Negara tersebut akan lemah atau terperosok.
Di Indonesia haim memiliki kode kehormatan Hakim yang menjadi
pegangan Hakim dalam menjalankan tugasnya. Di dalam Pasal 29 UU 35
tahun 1999 dinyatakan bahwa, sebelum melakukan jabatannya, Hakim,
Panitera, Panitera Pengganti dan juru sita untuk masing-masing lingkungan
peradilan harus disumpah atau berjanji menurut agamanya.
Seorang Hakim harus memiliki sikap Toleransi kepada semua lapisan,
lingkungan bekerja, baik sewaktu dalam kedinasan maupun di luar
kedinasan. Dalam kode kehormatan Hakim diatur mengenai sikap hakim
yang dibagi kedalam 6 Sikap Hakim, yaitu: (1) Sikap Hakim dalam
Persidangan (2) Sikap Hakim terhadap sesama rekan (3) Sikap Hakim
terhadap bawahan/pegawai (4) Sikap Hakim Terhadap atasan (5) Sikap
Hakim bawahan/pegawai (6) Sikap Hakim keluar/terhadap instalansi lain.
Senada dengan sikap seorang Hakim di atas, Menurut Liliana Tedjosaputro,
sikap Hakim adalah tidak memihak, tegas, sopan dan sabar, serta memberi
landasan yang baik. Oleh sebab itu, hakim tidak boleh memihak, jujur dan
bebas dari pengaruh siapa pun juga dan adil, dan tidak berprasangka (to
bring out the truth, not to keep it out).15
Dari permasalahan di atas penulis akan melakukan penelitian terhadap
permasalah tersebut lebih lanjut dengan sebuah karya ilmiah yang berjudul:
“JUDICIAL INTEGRITY PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI: Analisis Putusan Nomor 4/Pidsus-TPK/2017/PN.Pbr
dan Nomor 51/Pid.sus TPK/2016/PN.pbr.”
15
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Sinar
grafika. 2006), h. 117
8
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan terhadap Integritas seorang hakim dalam memutus
putusan tindak pidana korupsi yang dapat di identifikasi
permasalahannya sebagai berikut:
a) Proses penyelesaian kode etik Hakim didalam mengadili suatu
kasus korupsi
b) Disparitas putusan perkara korupsi dalam mengadili Tindak Pidana
Korupsi
2. Pembatasan Masalah
a. Berangkat dari permasalahan diatas tentang Disparitas putusan
Hakim dalam tindak pidana korupsi, agar tidak melebar dan keluar
dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi ruang lingkup
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis membatasi penelitian
ini hanya pada pembahasan mengenai disparitas dengan objek
kajian Putusan Nomor 4/Pidsus-TPK/2017/PN.Pbr dan Putusn
Hakim Nomor 51/Pid.sus TPK/2016/PN.pbr.
3. Rumusan masalah
a. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam perkara Tipikor Putusan
Nomor 4/Pidsus-TPK/2017/PN.Pbr dan Putusan Nomor 51/Pid.sus
TPK/2016/PN.pbr
b. Bagaimana Judicial Integrity Hakim dalam putusan Tindak Pidana
Korupsi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
9
a. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yang menimbulkan
disparitas di dalam perkara Tipikor.
b. Untuk mengetahui Judicial Integrity Hakim pada perkara No.
4/Pidsus-TPK/2017/PN.Pbr dan Putusan Nomor 51/Pid.sus
TPK/2016/PN.pbr.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan
dalam memberikan pengalaman dan pengetahuan terhadap
pengembangan ilmu hukum pidana khususnya yang berhubungan
dengan Hal-hal disparitas putusan hakim dalam Tipikor.
b. Manfaat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
kalangan pelajar, mahasiswa, dan civitas akademisi lainnya serta
untuk menambah pengetahuan bagi orang-oranng yang
membacanya.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Teori Negara Hukum
Untuk memahami Negara hukum secara baik, terlebih dahulu perlu
diketahui tentang sejarah timbulnya pemikiran atau cita ngara hukum
itu sendiri. Pemikiran tentang negara hukum itu sebenarnya sudah tua,
jauh lebih tua dari usia ilmu kenegaraan. Cita negara hukum pertama
kali dikemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut
dipertegas oleh Aristoteles.16
Ide lahirnya konsep negara hukum oleh Plato, berawal dari ia
melihat keadaan negranya yang dipimpin oleh yang haus akan harta,
kekuasaan dan gila kehormatan. Pemerintah sewenang-wenang yang
tidak memperhatikan penderitaan rakyatnya telah mengugat Plato untuk
menulis karya yang berjudul Politeia, berupa suatu negara yang ideal
16
Tahir Azhary, Negara hukum Indonesia, (Jakarta: UI press, 1995), h. 19
10
sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dai
pemimpin negara yang rakus dan jahat tempat keadlian dijunjung
tinggi.
Dari konsep yang diidelisasikan oleh Plato, dapat dicerna bahwa
arti konsep negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum
dan keadilan bagi warganya. Dalam artian bahwa segala kewenangan
dan tindakan alat pelengkap negara atau penguasa, semata-mata
berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hak yang
demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup
warganya.17
Pengertian negara hukum secara umum ialah bahwasannya
kekuasaan negara ini dibatasi oleh hukum dalam arti bawa segala sikap,
tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan oleh penguasa atau aparatur
negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan
atas hukum.
Menurut Prof Muhamad Yamin memberikan penjelasan negara
hukum nahwa kata kembar negara hukum yang kini jadi istilah dalam
ilmu hukum konstitusional. Indonesia meliputi dua patah kata yng
sangat berlainan asal usulnya. Kata negara yang menjadi negara negara
dalam bahas Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta dan mulai
terpakai sejak abad ke - 5 dalam kedatangan nya Indonesia .18
Dalam kepustakaan Eropa dipergunakan istilah Inggris yaitu,
rule of law atau goverment of justice untuk menyatakan negara hukum.
Kedua istilah ini tidak terselipperkataan negara (state) melainkan syarat
peraturan hukum itu dihubungkan kepada pengertian kekuasaan (rule)
atau pemerintahan (government). 19
Menurut Prof. Dr. Wirjono
Projodikoro, SH. Bahwa penggabungkan kata-kata “Negara Hukum”,
17
Didi Azmi Yunas, Konsespsi Negara Hukum, (Padang: Angkasa Raya Padang, 1990),
h. 20. 18
Didi Azmi Yunas, Koonsespsi Negara Hukum, h.18.
19
Tahir Azhary, Negara hukum Indonesia, h. 18
11
yang berarti suatu negara yang didalam nya wilayah nya:
1) Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khuususnya alat-alat
perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik
terhadap warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-
masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
2) Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Selanjutnya yang harus di perhatikan adalah unsur-unsur, elemen
atau ciri-ciri yang dimiliki suatu negara yang disebut dengan negara
hukum. Prof. Dr. Sudargo Gautama, SH. Mengemukakan tiga ciri-ciri
atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:
1) Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan,
maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang,
tindakan negara dibatasi oleh hukum, individu mempunyai hak
terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
2) Azaz Legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah
diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemertintah
atau aparatnya
3) Pemisahan Kekuasaan
Agar hak asasi terlindungi adlah dengan pemisahan kekuasaan
yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan
melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada
dalam satu tangan.20
Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang
diperintah dengan berkonstitusi dan berkedaulatan hukum. Terdapat tiga
unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu suatu pemerintahan yang
dilaksanakan:
20
Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), h. 117-118.
12
1) Untuk kepentingan umum
2) Menurut hukum berdasarkan ketentuan- ketentuan umum, bukan
hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang
mengesampingkan konvensi dan konstitusi.
3) Atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang
dilaksanakan oleh pemerintah despotic.21
Dalam perkembangannya, Immanuel kant memberikan gambaran
tentang negara hukum liberal, yaitu negara hukum dalam arti sempit yang
menempatkan fungsi recht pada staat, sehingga negara berfungsi sebagai
penjaga malam. Artinya tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat,
jangan diganggu atau dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat negara
tidak boleh ada campur tangan dan negara sebagai nachtwakerstaat22
.
Dalam konsep negara hukum selanjutnya, muncul istilah rechtstaat
yang banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu
pada sistem Civil Law. Konsep rechsstaat ini dikemukakan oleh Fredrick
Julius Stahahl dan philosophi des recht yang menyatakan bahwa dalam
negara hukum terdapat beberapa unsur utama secara formal,23
yaitu
sebagai berikut :
1) Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
2) Guna melindungi hak asasi manusia maka penyelenggara negara harus
berdasarkan pada teori Trias Politika.
3) Pemerintah menjalankan tugaanya berdasarkan Undang-Undang
4) Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya yang berdasarkan
Undang-Undang masih melanggar hak asasi manusia, maka ada
pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya. Berbeda
dengan negara Kontinental, negara-negara anglo-saxon menyebutnya
21
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2006),
h.143. 22
Moh. Kusnardi dan harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat
Studi HTN FH UI dan CV Sinar Bakti, Cet. Ke- 7, 1987), h. 152. 23
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama
Media, 1999), h. 127
13
sebagai the rule of law yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris).
Menurut Dicey, konsep the rule of law ini menekankan pada tiga tolak
ukur meliputi supermasi hukum (supremacy of law). Persamaan di
hadapan hukum (equality before the law), dan konstitusi yang
didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on
individual rights).24
Perbedaan kedua konsep tersebut bahwa pada system civil law
lebih, menitikberatkan pada administrasi, sedangkan pada system
common law menitikberatkan pada yudisial. Konsep rechtstaat
mengutamakan konsep mengutamakan prinsip wetmatighed yang
kemudian menjadi rechtsmatigheid, sedangkan the rule of law
mengutamakan equality before the law.25
Istilah negara hukum dalam berbagi literatur tidak bermakna
tunggal, tetapi dimaknai berbeda dalam waktu dan tempat yang
berbeda, sangat tergantungnya pada ideologi dan sistem politik suatu
negara.Setiap tindakan penguasa ataupun rakyatnya harus berdasarkan
pada hukum dan sekaligus dicantumkan tujuan negara hukum, yaitu
hak-hak asasi rakyatnya.26
Menurut Tahir Azhary, di dalam penelitian
nya sampai pada kesimpulan bahwa istilah negara hukum adalah suatu
genus begrip yang terdiri atas lima konsep, yaitu sebagai berikut:
a) Konsep negara hukum menurut Alquran dan Al-sunnah yang
diistilahkannya dengan nomokrasi Islam.
b) Konsep negara hukum eropa continental yang disebut rechtsstaat
c) Konsep rule of law
d) Konsep Socialist legality
24
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial sebagai
Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007),h. 30. 25
Hardjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h.
82 26
Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayu Media Publishing, cet. Ke-2,
2005), h. 10
14
e) Konsep negara hukum pancasila27
Pada sisi lain, adapaun konsep nomokrasi islam dan konsep
negara hukum pancasila menempatkan nilai-nilai yang sudah
terumuskan sebagai nilai standar atau ukuran nilai. Konsep nomokrasi
Islam mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada Alquran dan
Alsunnah, sedangkan konsep negara hukum pancasila menjadikan
nilai-nilai yang terkandung dalam pancansila menjadikan nilai-nilai
yang terkandung dalam pancasila sebagai standar atau ukuran ukuran
nilai, sehingga kedua konsep ini memiliki persamaan yang berpadu
pada pengakuan adanya nilai standar yang sudah terumuskan dalam
naskah tertulis. Selain itu, kedua konsep ini menempatkan manusia,
Tuhan, agama dan negara dalam hubungan yang tidak dapat
dipisahkan.
Dari segi waktu, ternayata konsep hukum berkembang
dinamis.Menurut Tanamaha bahwa ada dua versi negara hukum yang
berkembang, yaitu versi formal dan versi substantive yang masing-
masing memiliki dalam tiga bentuk.Yang pertama konsep negara
hukum versi formal dimulai dengan konsep rule by law ini dimana
hukum dimaknai sebagai instrument tindakan pemerintah. Selanjutnya
yaitu berkembang dalam bentuk formal legality, konsep ini diartikan
sebagai norma yang umum, jelas prospektif dan pasti. Sementara itu
terakhir dari konsep negara hukum versi adalah democracy and
legality, kesepakatanlah yang menentukan isi atau substansi hukum.28
Versi substansif konsep negara hukum berkembang dari
Individual rights, yakni privasi dan otonomi individu, serta kontrak
sebagai landasan yang paling pokok. Lalu berkembang pada prinsip
hak-hak atas kebebasan pribadi atau keadilan (dignit of man), serta
berkembang menjadi konsep social welfare yang mengandug prinsip-
27
Tahir Azhary, Negara Hukum Indonesia, h. 83 28
Muslimah Hanim, Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, (Pekanbaru: UIR Press 2007), h. 145-146.
15
prinsip substansi, persamaan kesejahteraan dan kelangsungan
komunitas.
b. Teori Pemidanaan
Pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu tahapan dalam
menetapkan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum
pidana.Tujuan dalam pemberian sanksi pidana harus memperhatikan
kesejahteraan serta pengayoman masyarakat.29
Mengenai teori
pemidanaan pada umumnya dapat dikategorikan dalam tiga kelompok
besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan, teori relative atau
teori tujuan dan teori penggabungan.
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut Teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana.Pidana merupakan
akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan.Jadi dasar pembenaran dari tindak pidana
ini terletak pada adanya atau telah terjadinya kejahatan itu sendiri.
Immanuel kant memandang pidana sebagai “kategorische
Imperatief” yang maksudnya: seseorang harus dipidana karena ia telah
melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan alat untuk mencapai
tujuan, melainkan mencerminkan keadilan.30
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori tujuan membenarkan bahwa pemidanaan berdasarkan
pada tujuan pemidanaan, yaitu: untuk perlindungan masyarakat atau
pencegahan terjadinya kejahatan. Berbeda dengan teori
pembalasan.Maka dari itu teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat
dari pemidanaan kepada penjahat atau kepada kepentingan
masyarakat.dipertimbangkan juga untuk masa yang akan datang.
Selain itu, teori ini juga menyadarkan hukuman oada maksud atau
29
Putri Hikmawati,”Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju
Keadilan Restoratif”, Negara Hukum, VII, 1 (Juni,2016), h. 74. 30
Mulyadi, dan Barda Nawawi Arie, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (bandung: PT.
Alumni, 2010),h. 12.
16
tujuan hukuman, yang artinya teori ini lebih mengedepankan kepada
manfaat dari pada hukuman itu sendiri.31
Teori ini sering disebut juga dengan teori utilitarian,
merupakan teori yang lahir dari teori absolut.Tujuan dipidana nya
seseorang menurut teori ini bukanlah sekadar pembalasan melainkan
mewujudkan ketertiban didalam masyarakat.jadi tujuan nya adalah
untuk mencegah agar ketertiban masyarakat tidak terganggu. Jeremy
Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya dapat
dijadikan landasan di dalam teori ini. Menurutnya manusia merupakan
makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan
dan menghindari kesusahan. Berkenaan dengan pandangan ini
persoalan muncul bahwasannya kejahata dilakukan dengan motif yang
beragam.Tidak semua kejahatan dapat dilakukan dapat dilakukan
dengan rasional melainkan lebih pada dorongan emosional yang kuat
sehingga rasional pun dapat terkalahkan.Artinya, sisi motif kejahatan
dpat diklasifikasikan atas kejahatan dengan motif rasional dan
kejahatan dengan motif emosional.32
3. Teori Gabungan
Pada hakikat nya teori ini lahir dari ketidakpuasan terhadap
gagasan teori pembalasan maupununsur-unsur yang positif dari kedua
teori tersebut yang kemudian dijadikan titik tolak ukur dari teori
gabungan.Teori berusan mencipatakan keseimbangan anatara unsur
pembalasan dengan tujuan memprbaiki pelaku kejahatan.33
Teori ini merupakan dasar gabungan dari teori absolut dan
teori relative yang digabungkan menjadi satu.Menurut teori ini
hukumnya itu terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau
siksaan.Selain itu menjadi dasar tujuan daripada hukuman.Artinya
dasar pemidanaan terletak pada kejahatan dan tujuan dari pidana itu
31 Puteri Hikmawati, “Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju
Keadilan Restoratif”, Negara Hukum, VII,1 (Juni 2016), h. 76. 32
Usman, Analisis Perkembangan Hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, h. 67.
33
Mulyadi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 18.
17
sendiri. Maka dari itu, teori gabungan tidak saja hanya
mempertimbangkan masa lalu (seperti dalam teori pembalasan) tetapi
juga harus mempertimbangkan masa yang akan datang (seperti maksud
dari teori tujuan). Dengan demikian konsep penjatuhan suatu sanksi
pidana harsulah memberikan kepuasan baik bagi pelaku kejahatan
maupum korban serta masyarakat.34
c. Teori Integritas
Menurut Miller beberapa penjelasan ahli mengenaimakna
integritas, diantaranya adalah:
a. Integritas sebagai koherensi. Integritas adalah koherensi atau
menghubungkan beragamkomponen yang ada dalam diri seseorang,
sehingga orang yang memiliki integritas dapatdikatakan harmonis,
tidak terpecah, sepenuh hati dan dapat bertindak dengan
berbagaicara (memiliki banyak alternatif tindakan yang tidak
melanggar norma di setiap saat(Frankufr dan Dworkin).
b. Integritas sebagai identitas praktis. Identitas merupakan komitmen
mendasar yang berguna untuk mencari makna dan tujuan hidup,
berkompromi dengan prinsip orang lain, keluarga dan lembaga
masyarakat atau agama. Orang yang memiliki identitas/integritas
akan senantiasa memertahankan komitmen dalam dirinya, meskipun
banyak pertentangan atau situasi yang memaksa mereka untuk
melanggar komitmennya sendiri (Calhoun).
c. Integritas sebagai kebijakan sosial. Calhoun berpendapat bahwa
meskipun integritas melibatkan hubungan dengan orang lain (sosial),
namun diri sendiri tetap menjadi sentralnya.Seseorang yang
memiliki integritas harus berdiri di atas komitmennya sendiri dan
melakukan tindakan yang layak atau sesuai dengan prinsip pribadi
dan kebijakan sosial. Ketika apa yang seseorang lakukan dianggap
34
Putri Hikmawati,”Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju
Keadilan Restoratif”, Negara Hukum, VII, 1 (Juni,2016), h. 76.
18
tidak layak oleh masyarakat, maka orang tersebut tidak memiliki
integritas.
d. Integritas sebagai rasionalitas. Integritas menerima konsep
rasionalitas atau sesuatu yang dianggap wajar dan masuk akal.
Seseorang yang memiliki integritas tidak harus selalu memiliki
pandangan dan sikap yang sangat objektif mengenai suatu komitmen
atau tingkah laku tertentu. Misalnya, algojo membunuh orang yang
melakukan kriminal. Dalam ajaran moral, membunuh tidak
diperbolehkan, namun karena hukuman bagi kriminalis ini memiliki
alasan yang masuk akal dan dapat diterima, maka algojo tidak dapat
dikatakan sebagai orang yang tidak memiliki integritas (Cox et.al).
e. Integritas sebagai tujuan yang objektif. Integritas secara objektif
ditujukan untuk meraih keadilan masyarakat (nilai-nilai masyarakat)
dan terpeliharanya komitmen yang telah dibentuk (Nozick).35
Berdasarkan teori-teori yang terurai maka dapat disintesiskan
beberapa indikator untuk mengukur Judicial Integrity pada diri
seorang hakim saat memutus perkara yaitu :
1) Fokus
2) Memiliki banyak Alternatif
3) Rasionalitas
4) Tujuan putusan yang obkjektif
Integritas memiliki makna sikap kepribadian yang Utuh, Jujur,
beribawa, berani menolak godaanatau segala bentuk Intervensi
apapun. Seoraang Hakim pun dilarang tawar menawar putusan,.
2. Kerangka Konseptual
Sesuai dengan judul penelitian, pokok bahasannya adalah judicial
integrity hakim untuk tindak pidana korupsi.Untuk lebih memberikan
batasan dan gambaran yang jelas dari penelitian yang dilakukan, maka
perlu peneliti jelaskan ada beberapa penegertian dari judicial integrity,
hakim dan tindak pidana korupsi nya.
35
http://digilib.uinsgd.ac.id/9984/5/ Bab2.pdf,14-oktober2019
19
1) Judicial Integrity
Integritas dalam diri seorang Hakim, merupakan salah satu
kode etik dan perilaku hakim sedunia yang disepakati dalam The
Bangalore Principles of Judicial Conduct (Konferensi Peradilan
Internasional di Bangalore, India pada Tahun 2011).Hal tersebut
sangat mutlak dimiliki seorang Hakim sebagai kunci utama untuk
membuka pintu-pintu keadilan bagi masyarakat sebagaimana yang
dijanjikan UUD 1945.Namun saat ini Hakim Indonesia sedang
krisis integritas, dapat terlihat dari banyaknya pelanggaran
pedoman Perilaku Hakim.36
2) Hakim
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, susunan Mahkamah Agung adalah
terdiri atas pimpinan, hakim anggota, dan seorang
sekretaris.37
Hakim ad hoc adalah hakim yang memiliki keahlian
dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang untuk jangka waktu tertentu dan
pengangkatanya diatur dalam Undang-Undang.38
Hakim menurut syara‟ Hakim yaitu orang-yang diangkat
oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan
gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum oleh karena
itu penguasa sendiri tidak dapat meneylesaikan tugas
peradilan.39
Hakim sendiri adalah pejabar peradilan negara yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.
Di dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan
bahwa“Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
36
Halimah, siti, 2017. Integritas Hakim Indonesia, Adalah Buletin Hukum & Keadilan,
Vol. 1, No. 8, Februari, h. 1. 37
Pasal 1 dan pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 38
Pasal 1 ayat 1 Perpres Nomor 5 Tahun 2013 39
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993),
h. 29.
20
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.”40
Sebagaimana dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang
dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk
menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.41
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang
dimaksud dengan Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan
Hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan tersebut.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,
seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25
Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945:
“Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk
diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-Undang”.
Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin
oleh Undang-Undang. Salah satu ciri Negara hukum terdapat suatu
kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak
dipengaruhi oleh kekuasaan Legislatif dan Eksekutif .Kebebasan
hakim tersebut tidak sewenang-wenang terhadap suatu perkara
yang sedang ditanganinya.
Hakim berbeda dengan pejabat- pejabat yang lain, ia harus
benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan
40
Andi HAmzah, KUHP dan KUHAP , (Bandung: Rineka Cipta, 2016), h. 230 41
Pasal 1 ayat (9) KUHAP
21
kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro
berpendapat bahwa:
“Perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain
ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari
selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan
macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in
concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan
melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus
dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah
dilanggar.”42
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang
memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi
kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat
hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada
penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil
akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala
yang diputuskannya.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan
masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan
keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim
dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum.
Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada
yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut
dengan doktrin.
3) Tindak Pidana Korupsi
Sebelum mmbahas tindak pidana korupsi, terlebih dahulu
perlu diketahui pengertian dari tindak pidana.Tindak pidana
merupakan tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab
42
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum pidana di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2003), h. 26-27.
22
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai kejahatan atau
tindak pidana.43
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana
apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Subyek
2. Kesalahan
3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh
undangundang/perundangan dan terhadap pelanggarnya
diancam dengan pidana
5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur obyektif lainnya)44
Dari kelima unsur tersebut dikategrikan menjadi dua unsur
yaitu subyektif dan obyektif.Yang termasuk unsur subyektif
ialah subyek dan kesalahan sedangkan yang termasuk unsur
obyekti adalah sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang
serta serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan
faktor-faktor obyektif lainnya.Kelima unsur terbeut harus ada
dalam suatu tindak pidana.
Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang
dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan
melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan
kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang
merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi
dibidang materil, sedangkan korupsi dibidang politik dapat
terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara
penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang
mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan
43
S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Storia Grafika 2002, cet. 3), h. 204 44
Adam chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 2002), h. 211
23
suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang
bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah.45
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu
corruption atau corruptus, dan istilah bahasa Latin yang lebih
tua dipakai istilah corumpere. Dari bahasa Latin itulah turun
keberbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa seperti Inggris:
corruption, Prancis: corruption, dan Belanda corruptive dan
korruptie, yang kemudian turun kedalam bahasa Indonesia
menjadi Korupsi. Arti harafiah dari kata itu ialah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian.46
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Penulis telah menemukan beberapa Judul penelitian sebelumnya
pernah ditulis dan berkaitan dengan judul skripsi yang akan diteliti saat ini.
Dari beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya penelitian memeliki
berbagai perbedaan antara judul, pokok permasalahan seta sudut pandang
dengan skripsi yang akan di teliti. Sehingga, tidak ada unsur-unsur
kesamaan dalam penulisan skripsi ini.
Adapun penelitian terdahulu yang telah ada sebagai berikut :
No Identitas/Judul Substansi Pembeda
45
http://sitimaryamnia.blogspot.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html
diunggah oleh Siti maryam SH., MH. Diakses pada tanggal 12 oktober 2013 pukul 18.00 WIB 46
Andy Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama 1991), h. 7
24
1. Skripsi,Atika
Wirastami
Judul: Disparitas
Putusan Hakim
Dalam Tindak
pidana Korupsi
(Studi Kasus
Dalam Putusan
Nomor:
01/PID.TIPIKOR/
2013/PN.KDI,
Nomor:
03/PID.TIPIKOR/
2013/PN.KDI,
Dan Nomor:
21/PID.TIPIKOR/
2012/PN.KDI)
Menjelaskan
Disparitas tentang
putusan Hakim dalam
korupsi
Skripsi penulis mengenai
tentang Judicial Integritas
Hakim nya mengenai analisis
putusan
2 Skripsi, Akhmad
Judul: Tinjauan
Yuridis Terhadap
Disparitas Pidana
Dalam Perkara
Tindak Pidana
Korupsi
Penelitian ini
bertujuan untuk
mengetahui indikasi
disparitas pidana
dalam perkara tindak
pidana korupsi dan
penyebab disparitas
pidana dalam perkara
tindak pidana
korupsi.
Skripsi penulis mengenai
tentang Judicial Integritas
Hakim nya mengenai analisis
putusan
F. Metode Penelitian
1. Teknik Penelitian
Metode yang akan di pergunakan dalam penelitian ini, termasuk
dalam penelitian putusan dan kepustakaan (Library Research), yakni
mendefinisikan secara sistematis dan melakukan analisis terhadap
dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan
tema, objek, dan masalah dalam suatu penelitian.
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan jenis penelitian yang memfokuskan untuk mengkaji
25
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma di dalam hukum positif.47
Penelitian ini normatif karena dalam hal ini penelitian tentang Judicial
Integrity Hakim dalam tindak pidana korupsi dengan penelitian hukum
kepustakaan yang merupakan data dasar yang dalam penelitian
digolongkan sebagai data sekunder. Penelitian ini dilakukan melalui
pendekatan normatif, yuridis yang mempunyai pengertian bahwa
penelitian ini didasarkan pada Undang-undang.literatur yang ada baik
melalui putusan hakim, buku, catatan, artikel-artikel di internet,
majalah atau jurnal ilmiah maupun hasil penelitian terdahulu.
Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya yang berjudul
penelitian hukum berpendapat bahwa tidak diperlukannya istilah
penelitianhukum normatif. Alasannya karena istilah legal research
selalu Normatif, sama halnya dengan istilah yuridis – normatif yang
sebenarnya juga tidak dikenal dalam penelitian hukum. Dengan
pernyataan demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat
normatif, hanya saja pendekatan dan bahan-bahan yang digunakan
harus dikemukakan.48
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Statue Approach yang
mana akan melakukan pendekatan terhadap Undang-Undang yang
terkait. Pendekatan studi kasus bertujuan untuk mempelajari norma-
norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik
hukum.Terutama mengenai kasus-kasusyang telah diputus
sebagaimana yang dapat kita lihat dalm yurisprudensi terhadap suatu
perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian, yaitu perkara pidana.49
Pendekatan doktrinal merupakan penelitian yang memandang hukum
sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang bersifat normatif atau
bisa juga dikatakan sebagai penelitian kepustakaan (library research).
47
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing,2006), h., 295. 48
Peter Mahmud marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: kencana, 2011), h.47 49
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h., 321
26
Pendekatan ini dilakukan melalui upaya pengkajian atau penelitian
hukum kepustakaan.Penelitian Ini dilakukan dengan pendekatan
Kualitatif dimana peneliti membahas masalah ini melalui Undang-
Undang.50
4. Data Penelitian
a. Sumber Bahan Hukum
Adapun dua sumber data yang digunakan di dalam penelitian,
antara lain:
1) Bahan Hukum Primer antara lain: Al quran, Undang-Undang
Tipikor, KUHP, KUHAP, Undang-Undang Nomor 48
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2019 tentang KPK, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Amar Putusan.
2) Bahan Hukum Sekunder
Data sekunder ini akan diperoleh dari penelitian kepustakaan
yang berupa bahan-bahan hukum digunakan dalam skripsi
ini yaitu jurnal, artikel-artikel serta dari dokumen-dokumen
yang berupa catatan formal dan dengan menelaah beberapa
literature baik berupa buku-buku, dokumen-dokumen atau
diktat yang ada pada redaksi. Hasil penelitian yang berwujud
laporan, buku harian, dan seterusnya.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, pengolahan data yang digunakan adalah
metode kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan data sebanyak-
banyaknya kemudian diolah menjadi satu kesatuan data untuk
mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil
materi-materi yang relevan dengan permasalahan, lalu dikomparasikan
50
Khuzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: Fakultas
HUkum UMS), h. 7.
27
yaitu dari data primer dan sumber data sekunder. Sumber-sumber data
tersebut diklarifikasikan untuk memudahkan dalam menganalisa.
6. Analisa Bahan Hukum
Metode analisa data dalam penelitian ini adalah metode Yuridis-
Normatif.Penelitian yang menggunakan yuridis-normatif yang
merupakan penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum
yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan.
G. Metode Penulisan dan Sistematika Penelitian
Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.
Sistematika penulisan disajikan untuk memudahkan pembaca dalam
memahami materi yang akan dibawa selanjutnya di dalam proposal ini.
Dengan adanya sistematika ini diharapkan pembaca dapat mengetahui
secara garis besar isi proposal ini.
Didalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-
masing bab terdiri dari sub-sub bahasan dilakukan guna untuk
memudahkan penulisan dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai materi pokok penulisan serta memudahkan para pembaca dalam
memahami dn urutan penulisan skripsi ini.
Adapun Pembahasannya sebagai berikut:
Pertama, Pada bagian ini, merupakan pendahuluan mengenai
Gambaran secara kesuluruhan skripsi seperti yang terdapat didalam latar
belakang masalah yang menjadi pokok masalah, identifikasi
masalah,pembatasan masalah, dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini, kemudian yaitu
merumuskan metode yang digunakan dan sistematika Penelitian agar
penulisan skripsi ini lebih terarah.
Kedua, pada bagia ini merupakan Tinjauan Umum tentang disparitas
28
tindak pidana korupsi dan Integritas Hakim dalam Memutuskan suatu
putusan.penulis menguraikan tentang teori dasar pertimbangan hakim,
yang terdiri dari: tentang teori dasar mengenai integritas dan independensi
hakim menurut hukum islam dan positif
Ketiga,Pada bagian BAB III ini, penulis merumuskan Disparitas
Putusan Hakim Dalam Tindak pidana Korupsi, yang terdiri dari:
Pengertian disparitas, penyebab terjadinya disparitas, Dampak Disparitas,
Tinjauan Umum tentang putusan hakim, Bentuk putusan pengadilan,
proses pengambilan putusan oleh hakim tipikor dan teori-teori penjatuhan
tipikor
Keempat, Pada ini penulis akan memuat analisisDisparitas Putusan
Hakim Tindak Pidana Korupsi Nomor: 4/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr dan
analisis putusan Hakim Tindak Pidana Korupsi Nomor: 51/Pid.sus-
TPK/2016/PN.pbr yang terdiri dari: Kedudukan Hukum, Pertimbangan
Hakim dan Analisa Putusan 4/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr dan analisis
Nomor: 51/Pid.sus-TPK/2016/PN.pbr serta analisis Judicial
integrityHakim dalam tindak Pidana Hukum Positif dan Islam.
Kelima, Pada terakhir ini memuat kesimpulan yang diperoleh dari
teori-teori yang menggambarkan secara keseluruhan pokok permasalahan
yang telah dibahas untuk ditarik kesimpulannya, dalam bab ini juga
mencakup saran-saran dari penulis atas permasalahan yang ditelitisehingga
tercapai upaya untuk mencapai tujuana dari yang dilakukan.
30
BAB II
INTEGRITAS DAN INDEPEDENSI HAKIM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Integritas Hakim
Hakim merupakan sebuah profesi yang terhormat dan mulia.Seorang
Hakim itu memeiliki kewenangan untuk memberi kata putus untuk
mengakhiri suatu permasalahan hukum atau sebuah sengketa yang sedang
dihadapi oleh seorang Hakim, serta menilai sebuah Informasi yang
disampaikan oleh berbagai pihak dan memeriksa bukti-bukti yang sudah ada.51
Didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa peradilan dialkukan: “Demi
Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Ini menunjukkan betapa
sebuah putusan pengadilan tidak saja harus dapat dipertanggungjawabkan
secara rasio, melainkan dengan harmonis dengan keadilan dari sang pencipta.
Integritas dalam diri seorang Hakim, merupakan salah satu kode etik dan
perilaku hakim sedunia yang disepakati dalam The Bangalore Principles of
Judicial Conduct (Konferensi Peradilan Internasional di Bangalore, India pada
Tahun 2011).Hal tersebut sangat mutlak dimiliki seorang Hakim sebagai kunci
utama untuk membuka pintu-pintu keadilan bagi masyarakat sebagaimana
yang dijanjikan UUD 1945.Namun saat ini Hakim Indonesia sedang krisis
integritas, dapat terlihat dari banyaknya pelanggaran pedoman Perilaku
Hakim.52
Integritas hakim yang kian merosot, dibuktikan oleh laporan akhir tahun
2016 Komisi Yudisial. Dalam laporan Komisi Yudisial diungkapkan bahwa
terdapat 1.682 laporan dan 1.899 surat tembusan laporan masyarakat terkait
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim-hakim Indonesia sepanjang
tahun 2016. Jumlah data tersebut tidak jauh berbeda dengan data tahun-tahun
sebelumnya. Dengan demikian, sejauh ini belum ada perbaikan secara
signifikan atas perilaku sang penegak hukum negeri ini. Karenanya, krisis
51
J.E. Sahetapy, Runtuhnya Etika Hukum,(Jakarta:Kompas, 2009), h.136 52
Halimah, siti, 2017. Integritas Hakim Indonesia, Adalah Buletin Hukum & Keadilan,
Vol. 1, No. 8, Februari, h. 1.
31
integritas hakim Indonesia tidak dapat lagi dianggap sepele, melainkan telah
memasuki tahap yang memprihatinkan. Tanpa integritas yang tinggi, seorang
hakim akan memutus perkara tidak berdasarkan keadilan, sehingga
masyarakat tidak tahu lagi kemana mereka akan mencari keadilan, sebagai
cita-cita bersama yang termuat dalam konstitusi untuk membangun negara
yang ideal.53
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur,
dan tidak tergoyahkan. Integritas pun hakikatnya terwujud pada sikap setia
dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam
melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi
yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan
mengendapkan tuntutan hati untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta
selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai
tujuan yang terbaik.54
Adapun secara bahasa, integritas berarti kejujuran, ketulusan Hati,
Keutuhan, Konsistensi, keterpercayaan/akuntabilitas, dan sikap bersih.55
Secara terminologi integritas menunjuk pada satunya kata, dan perbuatan
untuk bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat atau kode etik profesi.Integritas menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pengertian Integritas adalah mutu, sifat dan keadaan yang
menggambarkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potesi dan
kemampuan kewibawaan dan kejujuran.
Dengan adanya fenomena penegakkan hukum yang semakin
memprihatinkan di era reformasi ini tak sepenuhnaya
mengeherankan.Sebagaimana yang dikatakan Denny Indrayan, apabila
benteng peradilan bebas dari korupsi. Maka penyimpangan kuasa yang
dilakukan oleh pejabat eksekutif dan legislatif akan dapat dijatuhi secara
maksimal. Akan tetapi, manakala korupsi itu sendiri menggerogoti lembaga
53Halimah, siti, 2017. Integritas Hakim Indonesia, Adalah Buletin Hukum & Keadilan,
Vol. 1, No. 8, Februari , h. 2. 54
Jurnal kode etik hakim 55
John M. Echols dan hasan Shadily, kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:Gramedia, 2000),
h. 326.
32
peradilan pemberantasan korupsi sudah pasti akan mandul.56
Integritas yang kokoh yang dimiliki seorang Hakim ialah sesuatu yang
tidak akan bisa ditawar lagi. Suatu Conditio sine qua non bagi terciptanya
tujuan dan kelangsungan hidup negara Indonesia sebagai negara hukum.
Sebagaimana dikatakan Eugen Ehrlic, keadilan dalam jangka panjang hanya
akan terjamin, jika kita memiliki hakim yang berintegritas. Hakim yang
berintegritas merupakan Hakim yang tidak menerima suap yang tidak
menggunakan kekuasaannya untuk mencari keuntungan pribadi. Saat ini
memang dibutuhkan hakim yang tidak saja harus memiliki kecakapan hukum
yang mengampuni, namun juga bersedia untuk tetap netral, objektif dan adil,
sehingga kehakiman ini benar-benar berfungsi sebagi pilar demokrasi.57
Kode perilaku hakim merupakan panduan moral seorang hakim haruslah
benar-benar dipahami oleh para hakim sebagai landasan sikap dan tindakan
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.Sanksi tegas yang mengawal kinerja
hakim harus benar-benar diimplementasikan saat terjadi pelanggaran kode etik
yang serius.
Terkait dengan kode etik seorang hakim yang terdapat dalam putusan
bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor:
047/KMA/SK/IV/2009 Dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode etik
Hakim yaitu:
a) Berperilaku Adil
Adil bermakna yaitu menempatkan sesuatu pada Tempatnya dan
memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa
semua orang sama kedudukan nya di depan hukum. Dengan demikian,
tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan
dan memberikan kesempatan yang sama (Equality and Fairness) terhadap
setiap orang.
b) Berperilaku jujur
56
Denny Indrayana, Negeri Para Mafioso: Hukum Di sarang Korupto, (Jakrta: Penerbit
Kompas, 2008), h. 149. 57
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasiona,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 133.
33
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar
adalah benar dan yang salah adalah salah.Kejujuran mendorong terbentuknya
pribadi yang ikut dan mengakibatkan kesadaran dan hakikat yang hak dan
yang batil.
c) Berperilaku Arif dan Bijaksana
memiliki makna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup
didalam masyarakat, baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan,
kebiasaan dan kesusilaan.
d) Bersikap Mandiri
Mandiri memiliki makna bertindak sendiri tanpa bantuan pihal lain, bebas
dari campur tangan siapapunatau dari pengaruh apapun. hakim harus
menjalankan fungsi dari peradilan itu bebas dari tekanan orang lain dan
bujukan orang lain dari pihak manapun
e) Berintegritas Tinggi
Integritas memiliki makna sikap dan kepribadian yang utuh, jujur dan
berwibawa. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
berani menolak godaan atau bentuk segala intervensi manapun. Harus
mengedepankan hati nurani untuk menegakkan kebenran.
hakim dilarang melakukan tawar-menawar putusan, menunda eksekusi,
atau menunjuk advokat tertentu didalam menangani suatu perkara
dipengadilan, kecuali ditentukan oleh Undang-undang.Hakim pun dilarang
mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluaraga, hubungan
pertemanan yang akrab, hubungan kelompok masyarakat, hubungan organisasi
dan hubungan partai politik.
f) Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab memiliki makna kesdiaan dan keberanian untuk
melaksanakan sebaik-baiknaya segala sesuatu yang sudah menjadi wewenang
dan tugasnya.Hakim dilarang mengungkapkan informasi yang sudah bersifat
34
rahasia, serta dilarang menyalahgunakan jabatan atau kepentingan nya untuk
pribadi ataupun keluarga.58
g) Menjunjung Tinggi Harga Diri
Harga diri mempunyai makna bahwa didalam diri manusia sudat melekat
martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan serta dijunjung tinggi oleh
setiap orang.Didalam prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim,
akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat sehingga terbentuk pribadi
yang senantiasa menjaga kehormatan serta martabat sebagai aparatur
pengadilan.
h) Berdisiplin tinggi
Disiplin memiliki makna yaitu ketaatan pada norma atau kaidah ang
diyakini sebagai panggilan luhur.untuk dapat mengemban Amanah.Disiplin
Tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib didalam menjalankan
Tugas, ikhlas di dalam pengabdian serta tidak menyalahgunakan amanah yang
sudah dipercayakan atau yag sudah diberikan kepadanya.59
i) Berperilaku Rendah Hati
Rendah hati memiliki makna kesadaran dan keterbatasan kemampuan diri,
jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan atau
kesombongan.Rendah hati juga menumbuhkan sikap realistis, mau membuka
diri untuk terus belajar, serta megahargai pendapat orang lainmewujudkan
kesedehanaan penuh rasa syukur dan ikhlas dalam mengemban tugas. Sebagai
hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang
tulus.Hakim tidak boleh bersikap atau bertingkah laku atau melakukan
tindakan mencari popularitas, penghargaan serta sanjungan dari siapapun.
j) Bersikap professional
Professional memiliki makna Suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad
untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan
yang didukung atas dasar pengetahuan, wawasan dan keterampilan. Sikap
58
Sutrisno dan yulianingsih wiwin, Etika Profesi Hukum, (Surabaya: Andi Offset, 2016),
h. 293-294. 59
Agus Santoso, Hukum Moral dan Keadilan sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta:
Prenademia Group, 2012), h. 103.
35
profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantisa menjaga dan
mempertahankan mutu suatu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan
pengetahuan sehingga tercapai mutu hasil dari pekerjaan.60
B. Independensi Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi
Independensi dapat diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif
maupun dari segala kekuasaan negara lainnya (Legislatif ataupun Yudikatif)
serta kebebasan dari paksaan, directif atau rekomendasi yang datang dari
pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan Undang-
Undang. Kebebasan hakim juga diartikan sebagai kemandirian atau
kemerdekaan, namun dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya
intervensi didalam kekuasaan kehakiman.Kebebasan kehakiman juga
didasarkan oleh kemandirian dan kekuasaan kehakiman diindonesia.61
Independensi Hakim sebagai salah satu karakteristik negara
hukum.Namun independensi menyebabkan sebagian hakim memiliki proteksi
untuk menyalahgunakan kekuasaan. Penegakkan supermasi hukum yang
menjadi salah satu amanat terformasi hingga saat ini dalam proses
sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak. Hal ini terjadi dalam
mengingat dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir akibat sistem
kekuasaan yang represif telah mengakibatkan wajah hukum dan praktik
pengadilan di Indonesia menjadi tidak sehat.
Tentu ini menjadi tugas berat bagi jajaran kekuasaan kehakiman untuk
membangun kembali citra peradilan menjadi bermartabat dan lebih dihormati
oleh masyarakat.Terlepas dari kekurangan yang ada, terjadinya kekurang
percayaan publik terhadap lembaga peradilan tercermin dari banyaknya kritik
dan berbagai bentuk ketidakpuasan masyarakat. Tentu pasti yang akan
menjadi sorotan terkaitan dengan masalah penegakkan hukum ini salah
satunya yaitu aparat di peradilan (Hakim).
Hakim merupakan salah satu anggota dari catur wangsa penegak hukum di
60
Wildan Suyuthi musthafa, Kode Etik Hakim, (Jakarta:Prenademia Group, 2013), h.
161-162. 61
Hertoni Marscellino, Independensi Hakim dalam Mencari Kebenaran Materiil, Lex
crimen, vol.V, Januari 2016, no 1.
36
Indonesia.Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang
Judicial, Yaitu menerima, memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan setiap
perkara yang sudah diajukan kepadanya.Dengan memiliki tugas seperti itu,
maka dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara
fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman.Oleh Karena itu,
keberadaannya sangat penting dan determinan dalam menegakkan hukum
serta keadilan melalui putusan-putusannya.
Meskipun demikian, didalam praktik sering kali dijumpai oleh para
pencari keadilan merasa tidak puas dan kecewa terhadap kinerja hakim yang
dianggap tidak bersikap mandiri dan kurang professional.Memang tidak
mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena idealnya putusan harus
memuat ide-iderecht yang meliputi tiga unsur yaitu Keadilan (Gerechtigheid),
Kepastian Hukum (Rechtszekerheid), dan Kemanfaatan
(Zwechrmassigheid).Ketiga unsur tersebut seharusnya oleh Hakim
dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya
dapat dan memenuh hasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan
para pencari keadilan.62
Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif
maupun legislatif. Dengan kebebasan yang sedemikian itu, diharapkan hakim
dapat mengambil keputusan yang berdasarkan hukum yang berlaku dan juga
berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi
masyarakat.63
Dengan sedemikian itu, maka hukum dan badan pengadilan akan dapat
berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan
pembinaan yang tertib hukum. Di dalam implementasinya terkadang tidak
mudah untuk bersinergikan ketiga unsur tersebut, terutama antara unsur
keadilan dan kepastian bisa saja saling bertentangan.
62
Danang widoyoko,Menyingakp Tabir Mafia Keadilan, (Jakarta: ICW 2008), h. 24. 63
Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasiona, Lembaga Penelitian hukum fakultas Hukum Universitas Padjajaran, (Bandung: Penerbit
Bina Cipta, 1986), h. 319-320.
37
Didalam berbagai doktrin ajaran hukum dari para ahli hukum dan ajaran
Islam sendiri, tampaknya lebih ditekankan pada aspek keadilan dalam
menjatuhkan putusan. Adapun beberapa pendapat ahli hukum dikemukakan
yaitu:
a. Thomas Aquinas menyatakan bahwa esensi hukum adalah keadilan, oleh
karena itu hukum harus mengandung keadilan, hukum yang tidak adil
bukanlah hukum itu sendiri.
b. Bismar Siregar menyatakan bahwa hakim wajib menafsirkan undang-
undang berfungsi sebagai hukum yang hidup (living law), karena hakim
tidak semata-mata menegakkan aturan formal, tetapi harus menemukan
keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
C. Integritas dan Independensi Hakim Dalam Pandangan Hukum Islam
Didalam pengertian integritas secara bahasa yaitu berarti kejujuran,
ketulusan hati dan keutuhan.64
Namun didalam bahasa Arab, integritas
memiliki arti istiqamah (Konsisten), amanah (Kepercayaan), keselamatan dan
kesempurnaan.65
Nilai-nilai Integritas merupakan bagian utama dari Islam. Hal ini sebagaimana
yang terdapat dari Hadis Nabi: “Sungguh aku diutus hanya untuk
menyempurnakan Akhlak”. Dalam Hadis lain Nabi pernah ditanya “apa itu
agama?” jawab Nabi: “Agama adalah interaksi sosial yang baik.”
Bahkan di dalam QS.Surat Al-Anbiyaa Ayat 107 Allah SWT Berfirman:
وما أرسلناك إلا رحة للعالمي
Artinya: Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam.
Yang disebutkan bahwa Islam adalah Agama yang rahmat bagi semesta
alam (Rahmatan lil-alamin). Seseorang baru bisa dikatakan Muslim yang
64
John M echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2000), h. 326. 65
Al-ba‟albaki, Munir, al-Maurid al- Muyassar, (Qamuz Inklizi-„Arab, kairo: Dar al-
„Ilmi li al-Malayin, 1979), h. 250
38
sesungguhnya, berdasarkan ayat tersebut rahmat bagi manusia sikapnya
berintegritas, sehingga bukan saja ia menjadi rahmat bagi masyarakat muslim,
melainkan juga non muslim. Bukan saja ia menjadi rahamat bagi manusia,
melainkan juga sebagai lingkungan hidup termasuk hewan, tumbuhandan
bumi. Karena itu, Nilai-nilai integritas pun telah menjadi bagian dari yang
diajarkan di semua lembaga pendidikan Islam, bahan di lembaga pendidikan
yang sekuler di dunia Islam, dari sejak kelahiran pada Abad ke-7 hingga saat
ini. Salah satu khalifah Islam adalah Umar bin Khattab. Pada masanya,
kekuasaan yudikatif mulai dipisahkan dari kekuasaan eksekutif. Bahkan telah
diatur tata laksana Peradilan, antara lain dengan mengadakan penjara dan
pengangkatan sejumlah hakim untuk menyelesaikan sengketa antara anggota
masyarakat.
Umar Bin Khaṭṭab adalah salah seorang Khalifah yang sangat berjasa
dalam menancapkan sistem pemerintahan dan penyelenggraan peradilan
Islam.Pada masa pemerintahannya ditunjuk seseorang sebagai pejabat hakim
untuk melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.Di tangan hakim inilah
segala sengketa dan permasalahan atau perselisihan yang terjadi dalam
masyarakat.Umar Bin Khaṭṭab tidak hanya memberi pondasi dalam sistem
pemerintahan yang teorganisasi, tetapi juga sangat memperhatikan
pengawasan pelayanan publik dalam pemerintahannya.
Sebagaimana dalam Teks risalah Umar yang dikutip berikut ini merupakan
teks yang dijumpai dalam kitab al-Sunan karya al-Da>ruqut}niy pada bagian
Kitabual-„Aqd}iyah waal-Ahka>m, Bab Kita>bu„Umarbinal Khat}t}a>b
Rad}iyalla>hu„AnhuIla> Abi>Mu>sa>al-Asy‟ariy.66
Redaksinya adalah:
Artinya: Selanjutnya, bahwa peradilan merupakan kewajiban yang harus
diterapkan dan jalan baik yang perlu diikuti. Bila dihadapkan padamu suatu
persoalan maka fahamilah dengan baik, sebab bicara kebenaran yang tidak
ditindak lanjuti itu sia-sia. Perlakukanlah semua orang secara sama dimatamu,
66 Teks risalah ini dikutip dari riwayat yang terdapat pada kitab Sunan al-
Dar>uqutn}i>y(BabKitabuUmarRadhiyallahu„AnhuIlaAbiMusaal-Asy‟ariy,Nomor
4471).Lihat,Abu>al-HasanAliybinUmarbinAhmadbinMahdi>ybinMas‟u>dbinal-
Nu‟man>bin Dina>r> al-Bagda>di>y al-Daruqut}> niy, Sunanal-Daruqut}> niy>, Juz. 5 (Cet.I;
Beirut>: Mu‟assasatal-Risal>ah, 2004), h.367.
39
atau dalam majelismu, atau dalam kacamata keadilanmu agar orang yang
lemah tidak putus asa mengharap keadlilan darimu, dan orang terhormat tidak
melecehkan hukumanmu. Pembuktian merupakan hak penggugat, dan sumpah
adalah hak orang yang ingkar (tergugat). Perdamaian adalah hal yang
dibolehkan antara sesama muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal. Keputusan yang engkau ambil
kemarin lalu engkau renungkan kembali pada dirimu, dan engkau diberi
petunjuk untuk meninjau ulang kebenaran tersebut, maka lakukanlah sebab
kebenaran adalah suatu yang qadim, dan sesungguhnya kebenaran itu tidak
dapat dibatalkan oleh sesuatupun.Meralat suatu kebenaran lebih baik dari pada
menuruti kebatilan. Fahami dan fahami apa yang terbetik dalam sanubarimu
dari apa saja yang belum sampai kepadamu tentang Al-Qur‟an dan as-Sunnah.
Kenalilah persoalan yang sama dan yang serupa, kemudian qiyaskanlah pada
persoalan-persoalan lain. Bersandarlah pada yang paling dicintai Allah dan
yang paling dekat dengan kebenaran dalam pandanganmu. Berilah tempo bagi
penggugathingga ia bisa menghadirkan bukti sesuai haknya. Jika ia tidak
bisa, engkau dapat mengarahkan tuntutan kepadanya karena yang demikian
itu lebih nampak bagi yang tidak dapat melihat dan lebih mengena bagi orang
yang udzur. Orang muslim pada dasarnya saling berlaku adil satu sama lain,
kecuali yang pernah dijatuhi hukuman had atau terbukti memberi kesaksian
palsu, atau orang yang diduga punya hubungan kekerabatan dan semenda.
Sesungguhnya Allah mengambil alih kerahasiaan di antara kalian dan
membebaskan hukum atas kalian dengan adanya bukti dan
keterangan.67
Jangan gelisah (terburu-buru), membentak, atau menampakkan
ekspresi permusuhan di dalam ruang sidang sebagai tempat Allah
menempatkan pahala di dalamnya, dan memperbaiki orang yang dipilihnya.68
Sebab siapa saja yang berniat baik walau bagi dirinya sendiri Allah akan
mencukupkannya antara dirinya dan manusia, dan siapa saja yang berbuat
terhadap apapun yang diketahui Allah hanya untuk popularitas atau
67
Dulkasmi kasim, Relevansi Risalatul Al-Qada‟ umar terhadap etika Profesi hakim di
Indonesia. (Al-Mizan, vol. 12, No. 1, Juni 2016), h. 204.
40
kepentingan manusia, niscaya Allah akan melaknatnya/memurkainya. Anda
tidak perlu khawatir terhadap pahala dari sisi Allah yang berada dalam
rezkinya yang tak terduga dan gudang rahmatNya yang luas?Semoga
keselamatan menyertaimu.
Risalah di atas merupakan surat khalifah Umar bin Khattab kepada
Abdullah bin Qais atau biasa dikenal dengan Abu Musa al- Asy‟ariy ketika
menjadi qadi di Kufah.69
Surat tersebut merupakan bentuk arahan dan
penjelasan Umar kepada Abu Musa terkait etikamenjadi seorang hakim
dalam menjalankan tugas dan fungsinya di tengah masyarakat sebagai
pengadil dan penegak hukum.
Di antara poin-poin penting yang dapat dirumuskan dari isi teks surat
tersebut adalah:
1. Peradilan merupakan kewajiban dan tuntunan yang baik untuk dituruti
2. Hakim harus siap menjadi pendengar yang baik dan memahami persoalan
yang diajukan kepadanya.
3. Hakim harus menempatkan kedua pihak yang berperkara secara setara.
4. Hakim harus memberi kesempatan kepada masing-masing yang berperkara
untuk menjalankan haknya. Penggugat berhak membuktikan gugatannya
dengan menghadirkan saksi atau barang bukti, dan tergugat berhak membela
diri dengan menghadirkan saksi dan mengambil sumpah.
5. Hakim harus menawarkan langkah perdamaian kepada kedua pihak yang
berperkara sebelum kasusnya diberi ketetapan hukum.
69
Terdapat perbedaan mengenai daerah tempat penobatannya sebagai qadhi saat itu,
Ibnu Khaldun mengatakan peristiwa itu ketika ia diangkat menjadi qadhi di Kufah. Sementara
Hasan Ibrahim Hasan mengatakan kejadian itu ketika ia diangkat sebagai qadhi di Basrah. Setelah
dilakukan penelitian, memang Abu Musa pernah ditugaskan sebagai qadhi di kedua wilayah
tersebut oleh Umar bin Khattab. Hal itu sesuai informasi yang terdapat dalam kitab Tarikh al-
Thabariy bahwa penduduk Kufah pernah meminta kepada Umar agar mengganti Ammar bin Yasir
dengan Abu Musa al- Asy‟ariy sebagai Gubernur Kufah, maka Umar pun melantiknya. Setelah
Abu Musa menjabat, penduduk Kufah kembali meminta agar Abu Musa dipecat karena anaknya
berdagang di tempat pencaharian mereka tanpa izin, maka ia pun dipecat dan dikirim
ke Basrah. Ahmad Sahnun, Risalatu al-Qada‟ Li Amir Khattab, (Maroko: Wizarat al-Auqf wa
al-Syu‟un al-Islam al-Mu‟minin Umar bin al-iyyah, 1992), h. 75. Sebagai tambahan, Muhammad
al-Zuhailiy mengatakan bahwa Abdullah bin Qais Abu Musa al-Asy‟ariy juga pernah bertugas di
Yaman. Urutannya adalah menjadi Qadhi dan Wali di Kufah, kemudian Basrah, kemudian Yaman.
Lihat, Muhammad al-Zuhailiy, Tarikh al-Qada‟ fi al-Islam, h. 140.
41
6. Hakim dibolehkan mengubah hasil putusannya yang terdahulu bila memang
merasa terdapat kekurangan atau kekeliruan di dalamnya.
7. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim hendaknya melakukan kajian
mendalam atas kasus yang dihadapinya dengan menelusuri petunjuk yang
ada dalam sumber hukum Islam atau ijtihad para hakim dalam kasus yang
serupa.
8. Hakim harus mendasarkan pertimbangan putusannya pada hasil daya
berfikirnya sendiri tanpa terpengaruh atau larut dalam opini publik
(independen dan mandiri dalam putusan).
9. Hakim dibolehkan menunda jalannya sidang bila penggugat belum
merampungkan alat bukti dan saksi sampai batas waktu yang disepakati.
10. Hakim harus menganut prinsip asas praduga tak bersalah dan keadilan yang
merata bagi kedua pihak yang berperkara, kecuali bila ada dalil lain.
11. Pertimbangan hakim didasarkan pada bukti-bukti fisik dan keterangan yang
ada di persidangan saja.
12. Hakim harus memastikan dirinya berada dalam kondisi psikologis yang
kondusif, tenang, tidak emosional, atau menampakkan ekpresi permusuhan
pada terdakwa dalam ruang sidang.
13. Niat hakim harus tulus dan ikhlas demi meraih kebenaran dan keadilan di
bawah ridha Allah, bukan untuk meraih popularitas atau mendapat simpati.
14. Kesejahteraan seorang hakim harus dijamin oleh Negara sehingga ia tidak
dihantui dengan persoalan kebutuhan hidup, atau bahkan mudah dirayu oleh
pihak yang berperkara dengan iming-iming kemudahan dan kemewahan
hidup.
Keempat belas poin di atas meliputi seluruh tugas seorang hakim, serta
petunjuk-petunjuk yang berguna bagi sang hakim dalam menjalankan
profesinya, termasuk penghormatannya kepada sikap hakim dan
penghargaannya pada prosedur kehakiman. Menurut Abdul Manan, rangkuman
pesan Umar dalam semua risalahnya kepada para hakim adalah:
1. Urgensi dan kebutuhan umat akan lembaga hukum.
42
2. Pentingnya hakim memahami pokok-pokok perselisihan.
3. Ketegasan seorang hakim menjalankan dan menyampaikan putusannya.
4. Kesamaan posisi antara pihak yang berselisih di mata hukum dan hakim.
5. Adanya beban pembuktian dalam penyidikan perkara.
6. Mengadakan usaha perdamaian.
7. Memperbaiki putusan yang salah.
8. Pengetahuan akan hukum dan kemampuan hakim menerapkan hukum
lewat jalan ijtihad dan qiyas.
9. Penangguhan proses pengadilan.
10. Kejujuran saksi.
11. Pembebasan dari dakwaan bagi tertuduh.
12. Kesabaran hakim dan pentingnya berfikiran dingin.
13. Kesetiaan dan kesucian niat sebagai hakim.
14. Motivasi dan pahala yang besar bagi hakim yang jujur.70
Memang, secara historis surat Umar kepada Abu Musa di atas bukanlah satu-
satunya yang pernah ditulis dan dikirim Umar kepada para hakim di masanya.
Tercatat beberapa surat lainnya juga beliau kirimkan kepada qadi yang lain dan
para pegawai dan Gubernurnya saat itu.71
Beliau pernah juga mengirim surat
kepada Abu Musa al-Asy‟ari tentang prinsip hukum acara peradilan; juga surat
Umar kepada Abu „Ubaidah bin Jarrah yang berisi saran dan dukungan agar ia
berkualitas dalam menjalankan tugas sebagai hakim; surat Umar kepada
Mu‟awiyah bin Abi Sufyan yang berisi instruksi-instruksi yang berkaitan dengan
hukum dan masalah administrasi pemerintahan; surat Umar kepada Qadi Syuraih
bin al-Haris al-Kindi yang berisi tentang etika hakim dalam menjatuhkan putusan;
serta surat edaran yang ditujukan kepada para Hakim dan Gubernur sebagai
bentuk quality control atas kinerja mereka.72
70
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian Dalam
Sistem Peradilan Islam, h. 95-10. 71
Lebih lengkap mengenai koleksi surat dan tulisan Umar kepada para pejabat dan qadi
yang dilantik di masanya, lihat: Muhammad al-Zuhailiy, Tarikh al-Qada ‟, h. 109-117. 72
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian Dalam
Sistem Peradilan Islam, h. 110-116.
43
Menurut Muhammad al-Zuhailiy, dilihat dari segi tujuan, surat ini hadir untuk
mengarahkan mereka mencapai misi ideal dari jabatan yang diembannya secara
khusus, sekaligus jalan lurus untuk meraih tujuan pemerintahannya secara umum,
yaitu tercapainya masyarakat sipil yang berkeadilan dan sejahtera di bawah panji
hukum Islam.73
isi surat dan tulisan Umar tersebut secara subtantif berfungsi sebagai:
a. Manajemen operasional lembaga peradilan (at-Tanzim al-Idariy).
b. Pemberian pedoman kerja yang mencakup seluruh standar operasional
prosedur untuk menjadi hakim atau wali (al-Ijra‟at al-
Qada‟iyyah).
c. Penjelasan mengenai prinsip-prinsip hukum Islam (Bayan al-Ahkam
al-Syar‟iyyah)
d. Pemberian motivasi dan nasehat untuk mencari kebenaran dan meraih
keadilan (Taqdim al-Nasaih li Taharra al-„Adl).
e. Menjelaskan cara tepat meraih kebenaran (Bayan al-Manhaj al-
Qawim li al-Wusul ila al-Haqq).74
Dalam menjaga lembaga pemerintahan yang baik, antara Khalifah dan
jajarannya dalam daerah kekuasaannya, beliau selalu menulis surat untuk
dikirim kepada gubernur, hakim, dan korps militer, surat-surat tersebut berisi
instruksi yang berkaitan dengan masalah hukum, administrasi, dan politik.
Selama masa pemerintahannya beliau menulis ratusan surat.75
Dalam
teks/naska risalah ini paling tidak terdapat beberapa prinsip/asas-asas hukum
dan peradilan. Prinsip-prinsip/asas-asas itu antara lain:
1) Eksistensi dan kedudukan lembaga peradilan;
2) Eksekusi keputusan;
3) Asas objektivitas;
4) Pembuktian;
5) Perdamaian;
6) Peninjauan kembali putusan;
73
Muhammad al-Zuhailiy, Tarikh al-Qada‟, h. 108. 74
Muhammad al-Zuhaily, Tarikh al-Qada‟, h. 108-109. 75
Abdul Halim Talli, Asas-Asas Peradilan Dalam Risalah Al-Qada, h.48.
44
7) Sumber hukum dan interpretasi;
8) Kredibilitas saksi; dan
9) Sikap dan sifat seorang hakim.
Hanya saja baru diakui nilai-nilai integritas Islam tidak semuanya menjadi
bagian dari sebuah realitas sosial, budaya, dan politik di dunia Islam
kontemorer saja, karena alasannyapun jika kita merujuk pada laporan
transparansi internasional yang berdasarkan persepsi korupsi para pembisnis
terhadap beberapa Negara pada tahun 2005, dan ada banyak negara-negara
muslim sebagai negara yang paling korupsi di dunia, dimana integritas
antikorupsi tidak menjadi bagian dari realitas di negara-negara muslim, dan
pada saat itu negara muslim terkorupsi pertama didunia pada saat itu yaitu
Bangladesh.76
Adapun problem nilai-nilai integritas Islam lainnya adalah problem
kontekstualisasi dan reinterpretasi, sehingga beberapa nilai integritas saat ini
tidak tampak sebagai bagian dari Islam atau tidak.Untuk menjawab soal-soal
ini tidak mudah, perlu melakukan upaya berfikir dengan baik yang
berdasarkan teks Alquran dan Hadis. Bahkan, didalam Masyarakat Muslim
saat ini, tampaknya ada banyak nilai-nilai integritas Islam yang disalahpahami
atau disalahgunakan. Contohnya, Konsep Ulil Qurba‟ (kerabat) yang
cenderung dipahami bolehnya nepotisme, Hormat kepada Guru yang dipahami
identik feodalisme, menutupi Korupsi demi loyalitas kelompok, ikhlas dalam
memberi yang dipahami tidak adanya keharusan akuntabilitas, sedekah
tersembunyi yang tidak mengharuskan transparansi, suap yang dianggap
identik dengan hadiah, serta hidup harmoni sebagai hidup yanh tidak
mementingkan kritisisme.77
Namun, ada beberapa problema nilai-nilai integritas Islam yaitu adalah
problema internalisasi dan institusionalisasi.Problematikan nilai-nilai Islam
yang tidak menjadi bagian dari realitas sosial diatas memang dipengaruhi oleh
76
Sukron kamil, Korupsi dan Integritas dalam ragam perspektif, (Jakarta: Pusat Studi
Indonesia Arab, 2013), h. 143.
77
Sukron kamil, Korupsi dan Integritas dalam ragam perspektif, h. 145
45
banyak faktor seperti, ekonomi, pendidikan, leadership, sosial-budaya, sosial
politik seperti civil society, dan juga sebagi rule of law.Nilai-nilai integritas,
bahkan merupakan bagian utama dari Islam.Integritas atau akhlak yang baik
merupakan misi utama nabi atau agama Islam, bahkan bagi agama
sebelumnya.Nabi pun menjadi sosok dimana akhlak atau karakter yang baik
termenifestasi.Di dalam bahasa Aisyah, istrinya akhlak atau integritas Nabi
Muhammad SAW adalah Alquran.Ia adalah Alquran yang hidup karena itu
adalah bukan agama Islam jika suatu dakwah meski diklaim peakunya Islam,
bila bertentangan dengan nilai-nilai integritas atau akhlak yang baik. 78
Adapun beberapa nilai-nilai integritas Islam atau akhlak yang berkaitan
dengan antikorupsi:
1. Nilai Ketauhidan dan konsistensi
Laa ilaha illaha (tidak ada tuhan selain Allah) kalimat ini disebut dengan
kalimat Tauhid, ajaran yang paling pokok didalam Islam yang dibawahnya
adalah Akhlak. Makna kalimat Tauhid itu adalah tidak ada yang disembah
kecuali Allah, ini berarti sebagai seorang muslim tidak boleh menjadi hamba
atau budak, kecuali hanya sebagai hamba dan budak Allah.
Di dalam persepektif Islam, problem utama manusia bukanlah Ateisme
(Tidak memiliki kepercayaan atau ketidakbertuhanan).Problem manusia
adalah mencari Tuhan-tuhan yang real, bentuknya bisa saja seperti Harta,
tahta, cinta bahkan nafsunya sendiri.Karena itu sebagian manusia rela menjadi
budak dari empat hal tersebut meski kadang tidak disadarinya.Itulah manusia
yang tidak berintegritas, karena telah mengorbankan kebenaran dan bisikan
hati nuraninya demi mendapatkan hal tersebut.
Namun, didalam persepektif tauhid, semua orang harus tunduk kepada
Allah, bukan kepada manusia apalagi empat hal tersebut.Manusia atau empat
hal tersebut bukanlah sumber kebenaran melainkan tidak lebih hanya hamba
atau makhluknya semata. Dalam perspekif tauhid tidak akan ada tindakan
kriminal atau tindakan tidak berintegritas, kecuali karena pelakunya telah
78
Sukron kamil, Korupsi dan Integritas dalam ragam perspektif, h. 147.
46
menjadikan selain Tuhan sebagai motivasi.79
2. Nilai Larangan Memakan harta Haram dan Hidup sederhana
Keberpihakan orang yang berintegritas pada kebenaran, bukan kepada
nafsu, maka nilai yang sesuai dengan sikap itu adalah sikap yang tidak
sembarang memakan harta.Orang yang berintegritas adalah sesorang yang
tidak memakan harta haram.
Di dalam Q.S 5:88 yang berbunyi:
اللاه الاذي أن تم به مؤمنون وات اقوا وكلوا ماا رزقكم اللاه حلل طيبا Artinya: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah
telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.
dan QS 2: 168 yang berbunyi:
يطان يا أي ها النااس إناه لكم عدو مبي كلوا ماا ف الرض حلل طيبا ول ت تابعوا خطوات الشا
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan,
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Sebaliknya Alquran pun yang mengajarkan untuk memakan makanan dari
rezeki yang halal dan baik.Menurut Hadis Nabi riwayat Turmudzi
menjelaskan bahwa tidaklah suatu daging yang tumbuh didalam diri seseorang
berasal dari harta yang haram. Seperti korupsi, kecuali berhak dilahap api
neraka. Bahkan dengan dilarangnya memakan harta atau barang yang
diharamkan tampaknya adalah karena Islam melihat ada hubungan nya antara
perilaku sesorang dengan apa yang dimakan nya. Sebab itulah etika Islam pun
mengatur barang atau makanan yang halal dan haram dimakan.Salah satunya
adalah larangan memakan hasil korupsi atau ghulul.
3. Nilai Kejujuran dan Akuntabilitas
Nilai-nilai integritas di dalam islam bisa juga dilihat dari nilai kejujuran
79
Nurcholish Madjid, Nilai Identitas Kader dalam pedolam LK 1, (Ciputat: HMI Ciputat,
1993), h. 53.
47
(shidq) dan akuntabilitas/ tanggung jawab (amanah)sebagai basis utama
integritas. Didalam islam, kata amanah menunjuk pada kualitas ilmu,
keterampilan dan etis. Artinya seseorang yang amanah ialah seseorang
professional yang mampu menjalankan tugasnya dengan efektif dan efesien
serta berintegrasi (mempunyai Komitmen untuk tidak menyelewengkan
jabatannya untuk kepentingan yang merugikan orang lain atau publik)80
.
Didalam Al-Quran QS 4:58 yang berbunyi:
وا المانات إل أهلها وإذا حكمتم ب ي النااس أن تكموا بالع إنا ا يعظكم به دل اللاه يأمركم أن ت ؤد إنا اللاه نعما ه إن انه الل كه
ميعا صيرا سه به
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum
diantara manusia supaya kamu menetapkan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
ada beberapa ayat yang sagat menekankan sikap atau tindakan untuk tidak
Korupsi (berintegritas) dengan Perintah menegakkan amanah (akuntabilitas)
demi melahirkan rahmat sosial. Adapun didalam hadis riwayat Ahmad bahkan
dijelaskan bahwa ketiadaan akuntabilitas (melakukan tindakan korupsi sikap
tidak berintegritas) adalah ketiadaan komitmen pada janji termasuk didalam
nya kontra/ janji sosial (janji akan memelihara kepentingan sosial) adalah
ketiadaan agama. Didalam hadis ini orang yag korupsi (tidak berintegritas)
berarti orang yang tidak memiliki iman dan agama yang benar.
Namun didalam sejarah Islam, perilaku BerIntegritas dalam arti amanah
yang ditunjukkan anatara lainoleh Umar Bin „Abd al- Aziz, salah seorang
khalifah dinasti Umayyah. Ia tidak mampu memakai harta negara untuk
urusan pribadi.
4. Nilai Transparansi dan Kontrol Kebijakan
Nilai-nilai integritas didalam Islam juga bisa kita lihat dari keharusan
transparansi. Didalam Islam transparansi dapat dilihat dari Hadis Nabi
80
Badra Yatim, sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), h. 18
48
Riwayat Musli, Turmudzi, Ahmad dan ad-darimi yang menjelaskan
bahwasannya dosa adalah sesuatu yang membuat hati gundah dan takut dilihat
orang. Berdasarkan hadis tersebut bahwa bisa dikatakan ciri perbutan dosa
adalah dilakukannya sesuatu dengan tidak transparansi atau secara terbuka,
agar kita dapat terhindar dari dosa dan ketakutan untuk diketahui orang, maka
kegiatan yang dapat dilakukan dengan benar harus bersifat Transparan.
Dengan begitu kita tidak melahirkan prasangka buruk dari orang lain atau
publik. Sikap transparan juga berarti sikap sehat dan jiwa yang bahagia.
49
BAB III
DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Disparitas Putusan
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam putusan perkara pidana dikenal
adanya suatu kesenjangan dalam penjatuhan pidana yang lebih dikenal dengan
disparitas. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo
disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu: 81
1. Disparitas antara tindak pidana yang sama.
2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang
samaDisparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim.
3. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda
untuk tindak pidana yang sama.82
Disparitas Putusan Pidana (disparity of sentencing) yaitu penerapan pidana
yang sama terhadap tindak pidana yang sama (sane offence) atau terhadap tindak-
tindak pidana yang sfat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of
comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.
Menurut Muladi, sumber pertama dari disparitas Putusan adalah dari hukum
sendiri. Di dalam sistem hukum positif di Indonesia, hakim mempunyai kebebasan
memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki.Terkait dengan perumusan
ancaman pidana secara alternative, misalnya, adanya ancaman pidana penjara atau
pidana denda.Artinya, hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan salah satu
pidana yang dirasa paling tepat. Selain itu hakim juga memiliki kebebasan untuk
menentukan berat ringanya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang
ditentukan dalam Undang-Undang adalah maksimum dan minimumnya.
Disamping minimum dan maksimum umum tersebut,dalam setiap pasal tidak
pidananya diancam pidana maksimum yang besaranya berbeda-beda antara satu
81
Harkristuti Harkrsnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, (Jakarta: Majalah KHN Newsletter, Edisi April),
h. 28. 82
Yusti Probowati Rahayu, Di Balik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum Dalam
Perkara Pidana. (Sidoarjo: Citra Media, 2005), h. 38-39.
50
pasal dengan pasal yanglainya.83
Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul
karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang
sejenis.Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh
hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur
hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan.
B. Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan
Disparitas pidana akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan “correction
administration”. Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian
merasa menjadi korban “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak
menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan
salah satu target di dalam tujuan pemidanaan.
Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak
adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Sudarto
mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkanhakim dalam
menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya.84
1) Faktor Hukum
Dalam hukum pidana di Indonesia Hakim mempunyai kebebasan yang
sangat luas untuk memilih jenis pidana (straafsoort) yang dikehendaki,
sehubungan dengan pengunaan sistem altenatif di dalam pengancaman pidana
di dalam undang-undang, dari beberapa pasal di KUHP tampak beberapa pidana
pokok sering kali diancamkan kepada pelaku tindak pidana yang sama secara
alternatif, artinya hanya satu diantara pidana pokok yang diancamkan tersebut
dapat dijatuhkan hakim dan hal ini diserahkan kepadanya untuk memilih beratnya
pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh perundang-
undangan hanyalah maksimum dan minimum nya.
b. Faktor Hakim
83
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1998), h.56-57. 84
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h. 9.
51
Faktor penyebab disparitas pidana yang bersumber dari hakim meliputi sifat
internal dan sifat eksternal. Sifat internal dan eksternal sulit dipisahkan, karena
sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai human equation
atau personality of judge dalam arti luas menyangkut pengaruh-pengaruh latar
belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, dan perilaku sosial.85
Menurut penulis berdasarkan kutipan tersebut disparitas pidana merupakan
bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan hakim kepada para pencari keadilan.
Masyarakat tentunya akan membandingkan Putusan hakim secara general dan
menemukan bahwa disparitas telah terjadi dalam penegakkan hukum di
Indonesia.Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan
independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perUndang-Undangan
(perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil.Dalam menjatuhkan
Putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. Undang-Undang No. 48
Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat biak dan jahat pada diri
terdakwa.Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas
Putusan.Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya
disparitas. Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan
cara yang sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama
menggunakan pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda.
Masalah disparitas pidana masih terus terjadi karena adanya jarak antara
sanksi pidana minimal dengan sanksi pidana maksimal dalam takaran yang terlalu
besar Proses pembentukan Peraturan perUndang-Undangan juga berpengaruh
karena tidakadanya standard untuk merumuskan sanksi pidana. Upaya untuk
meminimalisir disparitas pidana adalah dengan cara membuat pedoman
pemidanaan. Meskipun berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim
tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa Putusan Hakim Agung
mengoreksi vonis dengan alasan pemidanaan yangproposional.
Menurut penulis sesuai kutipan tersebut Pancasila sebagai norma dasar
85
Muladi dan Badra Nawawi Arif, Teori-teori dan kebijakan pidana. h. 5.
52
(gurndnorm) di Indonesia. Maka tujuan pemidanaan harus berlandaskan nilai-
nilai yang terkandung di pancasila untuk melindungi kepentingan orang
perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat.Tujuan hukum pidana di
Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa
kepentingan yang adil bagi seluruh warga Negara.
Dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Namun banyak Putusan hakim yang belum
mencapai keadilan di dalam masyarakat karena masihbanyak dijumpai orang yang tidak
bersalah dijatuhi pidana ataupun pidana yang dijatuhkan tidak sesuai dengan
kesalahannya.
Dalam Pasal 18 KUHP dijelaskan yang dimaksud pidana kurungan adalah:
1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan palinglama satu tahun.
2) Jika pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau
karena ketentuan pasal 52, pidana kurungan dapat ditamabah menjadi satu
tahun empatbulan.
3) Pidana Kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empatbulan.
Menurut pendapat penulis sesuai dengan kutipan diatas tersebutpenjatuhan
pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku
tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal
timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan.
Sehubungan dengan kebebasan hakim ini dikatakan oleh sudarto bahwa:
kebebasan hakim dalam menetapkan pidana tidak boleh sedemikian rupa,
sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksamaan yang menyolok, hal mana
akan mendatangkan perasaan tidak sreg (onbehagelijk) bagi masyarakat, maka
pedoman memberikan pidana dalam KUHP sangat diperlukan, sebab ini akan
mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun tidak dapat menghapuskannya
sama sekali.86
Menurut penulis sesuai dengan kutipan diatas batasan minimum dan
86
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1977), h. 61.
53
maksimum dalam memberikan kebebasan kepada hakim dalam memberikan
Putusan. Dengan demikian banyak Putusan yang tidak sama nilai keadilan,
kepastian dan kemanfaatan dari sudut pandang masyarakat. Sehingga memberikan
dampak tidak percayanya masyarakat terhadap penegak hukum dan proses
peradilan. Maka dari itu menurut hemat penulis berdasarkan kutipan tersebut
pedoman hakim sangat di perlukan untuk menentukan Putusan agar tidak ada
perbedaan yang mencolok dari beberapa Putusan yang sama dan sejenis.
Disamping hal-hal yang bersumber pada hukum, ada hal-hal lain yang
menyebabkan disparitas pidana, yaitu faktor-faktor yang bersumber dari diri
hakim sendiri, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang tidak bisa
dipisahkan karena sudah terpbaku sebagi atribut seseorang yang disebut sebagai
human equation (insan peradilan) atau personality of judge dalam arti luas yang
menyangkut pengaruh pengaruh latar belakang sosial, pendidikan agama,
pengalaman dan perilaku social. Hal-hal itu yang seringkali memegang peranan
penting di dalam menentukan jenis dan beratnya hukuman daripada sifat
perbuatannya sendiri dan kepribadian dari pelaku tindak pidana
yangbersangkutan.
C. Dampak Disparitas Putusan
Disparitas pidana yang masih sering terjadi dapat berakibat fatal, akibat dari
disparitas pidana dapat berdampak bagi terpidana dan masyarakat secara luas.
Dampak disparitas pidana bagi terpidana yaitu apabila terpidana setelah
dijatuhi hukuman menbandingkan pidana yang diterimanya. Terdakwa yang
merasa diperlakukan tidak adil oleh hakim dapat dipahami, karena pada umumnya
keadilan merupakan perlakuan ”yustisiable”.87
Problematika mengenai disparitas pidana dalam penegakkan hukum di
Indonesia memang tidak dapat dihapuskan begitu saja.Upaya yang dapat
ditempuh hanyalah upaya-upaya dalam rangka meminimalisasi disparitas pidana
yang terjadi dalam masyarakat.Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan
87
H. Eddy Djunaidi Karnasudirdja, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan
Narapidana, h. 78.
54
dengan falsafah pemidanaan dan tujuan hukum itu sendiri maka solusinya
dapatlah kita gunakan pandangan dari menyatakan bahwa upaya terpenting yang
harus ditempuh dalam menghadapi problematika disparitas pidana adalah
perlunya penghayatan hakimterhadap asas proporsionalitas antara kepentingan
masyarakat, kepentingan Negara, kepentingan si pelaku tindak pidana dan
kepentingan korban tindak pidana.
Disparitas pemidanaan ini tidak dapat dilepaskan dari sistem perumusan dan
pengancaman pidana dalam perundang-undangan yang ada. Dengan perkataan
lain dapat merupakan sumber tidak langsung terjadinya sumber disparitas pidana.
Dan apabila ini dibiarkan akan berakibat timbulnya sikap apatis, sinis dan
ketidakpuasan warga masyarakat dengan melakukan main hakim sendiri atau
mengadakan reaksi langsung terhadap si pelaku tindak pidana dan aparat penegak
hukum, maka Undang Undanglah yang menjadi sumber tidak langsung terjadinya
disparitaspidana.
Disparitas dalam pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan penggunaan
kebebasan hakim, yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh Undang-Undang
dan memang nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringkali
penggunannya melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan hukum di
Indonesia.
Problematika mengenai disparitas pidana yang telah tumbuh dalam penegakan
hukum ini tentu menimbulkan akibat yang tidak bisa dielakkan. Akibat dari
disparitas pidana yang menyolok ini, menurut Edward M. Kennedy, sebagaimana
juga dikutip Barda Nawawi ialah:88
1) Dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat
terhadap sistem pidana yangada
2) Gagal mencegah terjadinya tindak pidana
3) Mendorong terjadinya tindakpidana
4) Merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap pelanggar
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda NawawiArief bahwa
terpidana akan membandingkan dengan terpidana yang lainnya, yang kemudian
88
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, h. 8.
55
setelah membandingkannya merasa menjadi korban (victim) “the judicial
caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal
penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam
tujuan pemidanaan.89
Dari sini akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan
suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai
persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan
kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana
(Criminal Justice System).
Problematika mengenai disparitas pidana dalam penegakkan hukum di
Indonesia memang tidak dapat dihapuskan begitu saja.Yang dapat ditempuh
hanyalah upaya upaya dalam rangka meminimalisasi dispatitas pidana yang terjadi
dalam masyarakat. Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan dengan
falsafah pemidanaan dan tujuan hukum itu sendiri maka solusinya dapatlah kita
gunakan pandangan dari Muladi yang menyatakan bahwa upaya terpenting yang
harus ditempuh dalam menghadapi problematika disparitas pidana adalah
perlunya penghayatan hakim terhadap asas proporsionalitas antara kepentingan
masyarakat, kepentingan Negara, kepentingan si pelaku tindak pidana dan
kepentingan korban tindak pidana.
Disparitas Putusan hakim atas perkara tindak pidana pencurian dengan
pemberatan dalam Putusannya di atas mendeskripsikan adanya sebab- sebab atau
pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim dalam setiap
menjatuhkan Putusan pidana terhadapterdakwa.
Dalam penelitian ini penulis meneliti dua Putusan yang dapat di kategorikan
sebagai Putusan yang bersifat disparitas. Putusan tersebut dari pengadilan negeri
Kepanjen oleh Hakim yang sama, nilai kerugian yang hampir sama, Putusan yang
berbeda dan hal-hal lain yng mempengaruhi Putusan hakim tersebut.
D. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
1. Pengertian Hakim
89
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, h. 54.
56
Hakim adalah orang yang memiliki tugas mengadili, memutus perkara dengan
memberikan vonis atau kePutusan pengadilan, seseorang yang memiliki tugas dan
fungsi untuk mengadili serta mengatur administrasi pengadilan.90
Menurut Pasal 1
butir 8 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan
bahwa Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang untuk mengadili. Adapun yang dimaksud dengan mengadili
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 9 KUHAP adalah serangkaian tindakakn
Hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan
asas bebas, jujur, dan tidak memihak di siding pengadilan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Undang- Undang ini.
Sehingga wewenang Hakim utamanya adalah mengadili yang meliputi
kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana.Dalam hal
ini, pedoman pokoknya adalah KUHAP yang dilandasi asas kebebasan, kejujuran,
dan tidak memihak. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No.48/2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Menyebutkan: “Pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biayaringan.”
Dari penjelasan pasal-pasal tersebut menurut penulis, bahwa tugas dari hakim
adalah sebagai berikut:
a. Menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang
diajukan dipengadilan.
b. Membantu para pencari keadilan dalam menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepengadilan.
c. Menyelenggarakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
d. Mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk terselenggarakannya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dalam Pasal 5 UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan:
90
M. Marwan & Jimmy P. Kamus Hukum. (Surabaya: Reality Publisher, 2009), h. 244.
57
a. Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
b. Hakim dan Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di
bidanghukum.
c. Hakim dan Hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman
PerilakuHakim.
Berdasarkan ketentuan pasal 5 diatas, penulis berpandangan bahwa seorang
hakim harus memiliki tingkat kejujuran yang tinggi, adil, cakap dalam ilmu
pengetahuan hukum serta berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku
hakim. Jadi, dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, dan kemudian
menjatuhkan Putusan, seorang hakim harus melakukan 3 (tiga) tahap tindakan di
persidangan, yaitu sebagai berikut:
1) TahapMengkonstatir
Dalam tahap ini, hakim akan mengkonstatir atau melihat untuk membenarkan
ada tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Untuk memastikan hal
tersebut, maka diperlukan pembuktian, dan oleh karena itu hakim harus
bersandarkan pada alat- alat bukti yang sah menurut hukum, dimana di dalam
perkara pidana dapat diketemukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keteranganterdakwa. Jadi, akan dapat
dihindarkan dari dugaan atau kesimpulan yang dangkal dan gegabah. Penguasaan
hukum pembuktian bagi hakim sangat dibutuhkan oleh hakim pada tahapini.91
2) Tahap Mengkualifikasi
Pada tahap ini Hakim mengkualifisir dengan menilai peristiwa kongkret yang
telah dianggap benar-benar terjadi itu, termasuk hubungan hukum apa atau yang
bagaimana atau menemukan peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan kata lain
mengkualifisir berarti mengelompokkan atau menggolongkan peristiwa kongkret
tersebut masuk dalam kelompok atau golongan peristiwa hukum (apakah itu
pencurian, penganiayaan, perzinahan, perjudian dan sebagainya).
91
Ahmad Rifa‟I, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 54-56.
58
3) Tahap Mengkonstituir
Dalam tahap ini hakim menentukan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dan
memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Keadilan dari yang
diputuskan oleh Hakim bukanlah produk dari intelektualitas dari Hakim, tetapi
merupakan semangat dari Hakim itu sendiri, demikian sebagaimana dikemukakan
oleh Sir Alfred Denning, seorang Hakim Inggris yang terkenal, “Dalam mengadili
suatu perkara, Hakim harus menentukan hukumnya in konkreto terhadap peristiwa
tertentu, sehingga Putusan Hakim tersebut bisa menjadi hukum (judge made
law).92
Disinihakimmenggunakan silogisme,yaitu menarikkesimpulandari
premismayorberupaaturanhukumnya(Pasal363KUHP)danpremisminorberupa
perbuatan/tindakan si A yang mencuri barang milik si B, sehingga si B menderita
kerugian. Sebagai konklusinya adalah: A melanggar Pasal 363 KUHP karena
mencuri barang milik si B hingga menderita kerugian.
E. Bentuk Putusan Pengadilan
1. Putusan Bebas (vrijspraak/Acquittal)
Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi Putusan bebas atau dinyatakan bebas
dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan.Tegasnya terdakwa
tidak dipidana.Dasar hukum Putusan berbentuk Putusan bebas ini dapat diketahui
pada ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan “jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas”.93
2. Putusan Lepas dari Tuntutan Hukum (onslag van alle rechtvervolging)
Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Alle
Rechtvervolging) ini diatur dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP. Putusan lepas dari
segala tuntutan hukum ini didasarkan pada kriteria apa yang didakwakan oleh
jaksa penuntut umum kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan
92
Ahmad Rifa‟I, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresi, h.
55. 93
H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press
2004), h. 379.
59
meyakinkan, tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan tindak pidana.94
Disini kita lihat hal yang melandasi Putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
terletak pada kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut
bukan merupakan tindak pidana tetapi merupakan ruang lingkup hukum perdata
atau hukum adat.
3. Putusan Pemidanaan (veroordeling)
Putusan pemidanaan (veroordeling) adalah Putusan yang menjatuhkan
hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada Putusan yang
berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang
disebut dalam pasal pidana yang didakwakan.95
Penjatuhan Putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian
pengadilan. Ketentuan Putusan pemidanaan ini sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana”. Selain itu, dari pendapat dan penilaian
pengadilan terhadap terdakwa tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem
pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal
183 KUHAP yaitu kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim bahwa
terdakwalah pelaku tindakpidanya.
F. Proses Pengambilan Putusan Oleh Hakim Tipikor
1. Proses Pengambilan Putusan Oleh Hakim
Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya Hakim akan
menjatuhkan Putusan, yang dinamakan dengan Putusan hakim, yang merupakan
pernyataan Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang
94
H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, h. 379. 95
Lilik Mulyadi (IV), Hukum Acara Pidana – Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Pengadilan, (Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 1966), h.
127.
60
di ucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum, yang bertujuan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara pidana.96
Menurut Penulis proses penjatuhan Putusan yang dilakukan hakim merupakan
suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan,
pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan Putusan tersebut,
seorang hakim harus meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana
atau tidak, dengan tetap berpedoman dengan pembuktian untuk menentukan
kesalahan dari perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku pidana. Proses atau
tahapan penjatuhan Putusan oleh hakim, dalam perkara pidana, menurut
Moelyatno, dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.Sehingga pada saat hakim
menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak.
b. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana
Jika seseorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana
melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat
dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.
Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana untuk
membuktikan adanya kesalahan pidana dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi
hal-hal sebagai berikut:
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
2. Diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
G. Teori-Teori Penjatuhan Putusan
Menurut Mackenzie,97
ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat
96
Ahmad Rifa‟I, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresi, 94-
95. 97
Ahmad Rifa‟I, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresi, h.
113.
61
dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan Putusan dalam
suatu perkara yaitu sebagai berikut:
a. Teori Kesimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak
yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan
terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan
tergugat.
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan Putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan Putusan, hakim akan menyesuaikan
dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau
dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu
penggugat dan tergugat dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau penuntut
umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam
penjatuhan suatu Putusan, lebih ditentukan oleh instink atau instuisi daripada
pengetahuan dari hakim.
c. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, kaitannya dengan
Putusan-Putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari Putusan
hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam
memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar instuisi atau
instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga
wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan
pengalaman yang dihadapinya, seorang hakim dapat mengetahuinya bagaimana
62
dampak dari Putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, ataupun
dampak yang ditimbulkan dalam Putusan perkara perdata yang berkaitan dengan
pelaku, korban dan masyarakat.
e. Teori Ratio Decicendi
Teori didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari Peraturan perUndang- Undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan
Putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas
untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang
berperkara.
f. Teori Kebijaksanaan
Teori kebijaksanaan ini sebenarnya merupakan teori yang berkenaan dengan
Putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak.Landasan dari teori
kebijaksanaan ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa, dan bangsa
Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya,
aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang
tua, ikut bertanggung jawab membimbing, membina, mendidik, dan melindungi
anak agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan
bagi bangsanya.
Menurut penulis. Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak
pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu
sebagai berikut:
1) Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatukejahatan
yang dilakukan oleh pelakunya.
2) Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan
tidak akan melakukan tindak pidana di kemudian hari.
3) Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana
sebagaimana dilakukan oleh pelakunya.
63
4) Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan
pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana
dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
Dalam menjatuhkan Putusan, seorang hakim melalui berbagai proses,
termasuk proses penalaran hukum yang mana tujuan dari penalaran adalah
mencapai kebenaran, begitu pula dalam penalaran hukum muaranya adalah
tujuanhukum itu sendiri yaitu keadilan. Ada enam langkah utama penalaran
hukum yaitu:98
a. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus
yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
b. Menghubungkan (mengsubsumsi) struktur kasus tersebut dengan
sumbersumber hukum yang relevan, sehingga ia menetapkan perbuatan
hukumdalam peristilahan yuridis (legal term);
c. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian
mencari tahu kebijaksanaan yang terkandungdi dalam aturan hukum itu
(thepolicies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur
(peta)aturan yang koheren;
d. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
e. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
f. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan
sebagai Putusan akhir.
Menurut Penulis dengan langkah-langkah seperti di atas, seorang hakim
diharapkan akanmenghasilkan Putusan yang adil atau setidaknya mendekati
keadilan danmempunyai alasan yang logis, sehingga Putusan yang dibuat seorang
hakim dapatdipertanggungjawabkan. Langkah-langkah tersebut tentunya bukanlah
langkah-langkahyang harus berjalan sesuai dengan urutan, di lapangan bisa
jadiseorang hakim mempunyai langkah-langkah yang berbeda dalam
melakukanpenalaran hukum, atau bisa jadi langkah-langkah tersebut dilakukan
secara simultan.
98
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, (Yogyakarta: Genta, 2013),
h.157.
64
H. Teori-Teori Penemuan Hukum
Dalam teori penemuan hukum, seorang hakim yang notabene bukanlah
seoseorang yang memutus perkara dengan hanya melihat pada aturan undang-
undang (labonce delaloy). Yakni dalam memutus sebuah perkara seorang
hakim diperbolehkan untuk memutus perkara sebagai mana pemikiran yang ia
miliki dalam menganalisa peristiwa hukum. Adapun dalam teori-penemuan
hukum (rechtvinding) ada beberapa metode. Pembahasan mengenai hal
tersebut sebagai berikut:
a. Interpretasi Gramatikal ( penafsiran menurut bahasa )
Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-
undang sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tata
bahasa.Menurut A.Pitlo bahwa interpretasi gramatikal berarti, mencoba
menangkap arti sebuah teks dari peraturan perundang-undangan menurut
bunyi kata katanya. Sebuah kata dapat mempunyai berbagai arti misalnya
dalam bahasa hukum dapat berarti lain jika dibandingkan dengan bahasa
pergaulan.
Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam
perundang-undangan sesuai dengan kaedah bahasa hukum yang
berlaku.Interpretasi gramatikal ini mencoba untuk memahami suatu teks
peraturan perundangundangan yang berlaku, pada umumnya interpretasi
gramatikal ini digunakan oleh hakim bersamaan dengan interpretasi logis,
yakni memberikan makna terhadap suatu aturan hukum melalui penalaran
hukum untuk diterapkan terhadap teks yang kabur atau kurang
jelas.99
Korupsi dalam pengertian bahasa sehari-hari, masyarakat lebih
mengenal korupsi sebagai perbuatan tercela, menggelapkan uang Negara,
dan melakukan suap menyuap dengan pejabat pemerintah.
b. Interpretasi Teleologis atau sosiologis (penafsiran menurut tujuan
kemasyarakatan)
Interprestasi teleologis yaitu memberikan makna kepada undang-undang
berdasarkan tujuankemasyarakatan.Dengan interpretasi ini undang-undang
99
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 13.
65
yang masih berlaku tetapi sudah tidaksesuai lagi diterapkan terhadap
peristiwa konkret sehubungan dengan kebutuhan dan kepentinganmasa kini
meskipun sesungguhnya peristiwa-peristiwa itu belum dikenal sewaktu
undang undang tersebut diundangkan.Melalui interpretasi ini hakim dapat
menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari
hukum (Rechtspositivitteit) dengan kenyataan hukum (Rechtswerkelijkheid),
sehingga jenis interpretasi ini menjadi penting.Penafsiran terhadap undang-
undang sesuai dengan tujuan pembentukannya. Hakim dalam menggunakan
penafsiran teleologis ini harus melihat suatu peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan situasi sosial yang baru sehingga ketentuan
perundangundangan tidak hanya dilihat secara tekstual, akan tetapi dilihat
secara kontekstual. Dengan demikian, penafsiran teleologis merupakan
metode penafsiran terhadap suatu ketentuan perundang-undangan dengan
melihat kondisi atau situasi sosial yang ada.
c. Interpretasi sistematis
Satu undang-undang tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling
berkaitan dengan undnag-undang lainnya dalam satu system perundang-
undangan. Interpretasi sistematis yaitu menafsirkan peraturan-peraturan
perundang-undangan dengan menghubungkan dengan peraturan hukum atau
undang-undang lain atau keseluruhan system hukum.Penafsiran ini disebut
juga penafsiran logis.
Interpretasi sistematis adalah metode penafsiran yang menafsirkan
undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan system perundang-
undangan. Artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan dapat
ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi ia harus selalu dipahami dalam
kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkan peraturan
perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari system perundang-
undangan suatu Negara.100
Penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak
semata-mata hanya melihat peraturan pidana tentang Korupsi, akan tetapi
100
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 67.
66
terkait dengan peraturan perundang-undangan perdata, administrasi Negara
dan tata Negara.
d. Interpretasi Historis (penafsiran menurut sejarah)
Interpretasi historis adalah interpretasi menurut sejaran undang-
undang.Setiap ketentuan perundang-undang mempunyai sendiri. Karena
itu, untuk mengetahui makna atau kalimat dalam suatu undang-undang,
dapat menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran undang-undang
atau Pasal tertentu dari undang-undang tersebut.interpretasi historis
meliputi interpretasi terhadap sejarah Undang-Undang (Wet Historich),
dan sejarah hukumnya (Recht Historich), yakni mencari maksud dari
peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat
undang-undang ketika undang-undang itu dibentuk. Interpretasi sejarah
hukum (recths historisch) merupakan metode interpretasi yang memahami
undang-undang dalam konteks sejarah hukumnya.101
Ada dua jenis interpretasi historis yaitu :
1. Penafsiran menurut sejarah undang-undang. Yaitu yang hendak dicari
adalah maksud ditetapkannya undang-undang seperti yang hendak
dimaksud oleh pembentuk undang-undang. Interpretasi ini disebut juga
interpretasi subjektif karena menempatkan penafsiran pada pandangan
subjektif pembentuk undang-undang.
2. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechtshistory).
Yaitu metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam
konteks seluruh sejarah hukum dengan menelusuri sejarah awal
munculnya hukum tersebut.
e. Interpretasi Komparatif (penafsiran dengan membandingkan)
Interpretasi komparatif yaitu penafsiran dengan jalan memperbandingkan
atau perbandingan hukum.Hal ini penting untuk perjanjian-perjanjian
101
Ahmad Rifa’I, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 66.
67
internasional.Interpretasi komparatif ini dimaksudkan sebagai metode
penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai system
hukum.Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional itu
penting, karena dengan pelaksanaan yang berimbang atau seragam direalisir
kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional itu sebagai
hukum objektif atau sebagai kaidah hukum umum untuk beberapa
Negara.102
f. Interpretasi Futuristik (interpretasi menurut aturan yang belum
mempunyai kekuatanhukum)
Interpretasi futuristik yaitu penafsiran dengan jalan menjelaskan undang-
undang dengan berpedoman pada kekuatan rancangan atau rencana undang-
undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.103
Interpretasi futuristic
merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu
penjelasan ketentuan undang-undang dapat berpedoman pada undang-
undang yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.Seperti Rancangan
Undang-Undang (RUU) yang masih dalam tahap pembahasan di DPR.
g. Interpretasi Restriktif (membatasi)
Interpretasi Restriktif merupakan metode interpretasi yang bersifat
membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan.104
Interpretasi
retriktif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang,
dimana ruang lingkup ketentuan itu dibatasi dengan bertitik tolak pada
artinya menurut bahasa.105
h. Interpretasi Ekstensif (memperluas)
Metode ini merupakan metode penafsiran yang lebih luas dari pengertian
102
Ahmad Rifa’I, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h.
69. 103
Ahmad Rifa’I, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h.
60-61 104
Ahmad Rifa‟I, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, h.
70
105
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 90.
68
yang diberikanberdasarkam interpretasi gramatikal.Interpretasi Ekstensif
merupakan metode penafsiran yang membuat sebuah penafsiran melebihi
batas-batas biasa yang dilakukan melalui interpretasi gramatikal.Interpretasi
ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang
dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.106
Misalnya menurut interpretasi gramatikal tentang pegawai negeri dalam
korupsi dapat diartikansebagai orang yang bekerja pada kantor-kantor
pemerintahan dan mendapatkan gaji dari Negara,tetapi dalam pengertian
pegawai negeri dalam konteks undang-undang korupsi, maka
pembuatundang-undang memberikan batasan tentang pengertian pegawai
negeri dalam konteks undang-undang korupsi, maka pembuat undang-
undang memberikan batasan tentang pengertian pegawainegeri dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 adalah: 1) Pegawai Negeri
sebagaimana dimaksud dalamundang-undang tentang kepegawaian; 2)
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam kitabUU hukum pidana; 3)
orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
4)orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuanganNegara atau daerah, atau; 5) orang yang menerima
gaji atau upah dari korporasi lain yangmempergunakan modal dan fasilitas
dari Negara atau masyarakat.
106
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h. 91.
69
70
BAB IV
JUDICIAL INTEGRITY HAKIM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pertimbangan Hakim Tindak Pidana Korupsi Nomor: 4/Pid.sus-
TPK/2017/PN-pbr dan Putusan Nomor: 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr
1. Putusan Tindak Pidana Korupsi Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr
a. Kronologi Kasus Perkara nomor 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-Pbr
Terdakwa yang bernama lengkap HERU WAHYUDI, SH. adalah
anggota DPRD Kabupaten Bengkalis Periode Tahun 2009-2014
berdasarkan SK Gubernur Riau No.KPTS.918/IX/2009 tanggal 11
September 2009 tentang Peresmian Pemberhentian Dan Pengangkatan
Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis dan juga anggota Badan Anggaran
berdasarkan Keputusan Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis No. 21 Tahun
2009 tanggal 18 Nopember 2009 tentang Penetapan Susunan Keanggotaan
Badan Anggaran DPRD Kabupaten Bengkalis sebagaimana telah dirubah
beberapa kali menjadi Keputusan DPRD Kabupaten Bengkalis No. 08
Tahun 2011 tanggal 25 Oktober 2011 tentang Perubahan Susunan
Keanggotaan Banggar DPRD Kabupaten Bengkalis.107
Pada tanggal 22 Desember 2011 dilakukan Nota Kesepakatan
(MoU) antara Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis dengan Pimpinan
DPRD Kabupaten Bengkalis Nomor : 19/MoU-HK/XII/2011 dan Nomor :
08/DPRD-SKB/2011 tentang Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan
Plafon Penggunaan Anggaran Sementara (PPAS) Kabupaten Bengkalis
Tahun Anggaran 2012, yang memuat belanja hibah termasuk kedalam
belanja tidak langsung sebesar Rp.96.399.100.000,- (sembilan puluh enam
milyar tiga ratus sembilan puluh sembilan juta seratus ribu rupiah).
Didalam KUA dan PPAS Kabupaten Bengkalis tersebut, pada
kenyataannya beberapa permintaan dana hibah untuk penyerapan aspirasi
107
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 12.
71
Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis banyak yang tidak masuk dan pada
tanggal 16 Januari 2012 Terdakwa HERU WAHYUDI, SH, beserta
Anggota Banggar lainnya saat Rapat Finalisasi Rancangan APBD TA
2012 dengan Tim TAPD Kabupaten Bengkalis, menyampaikan
permintaan tambahan alokasi dana hibah melalui saksi Jamal Abdillah
setidak - tidaknya Rp.80.000.000.000,- (delapan puluh milyar rupiah)
dengan perhitungan setiap anggota Dewan mendapatkan masing-masing
Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), tetapi Asmaran Hasan (Alm)
selaku Sekretaris Daerah Bengkalis dan juga selaku Ketua Tim TAPD
pada awalnya tidak menyetujui keinginan dari para Anggota Banggar
tersebut untuk menambah daftar nama-nama penerima Hibah diluar Dana
Hibah.108
Tim TAPD Kabupaten Bengkalis bersedia mengikuti permintaan
JAMAL ABDILLAH dan Banggar DPRD Kabupaten Bengkalis
memasukkan tambahan daftar rekapan permintaan dana Hibah yang
disampaikan Terdakwa HERU WAHYUDI, SH, saksi RISMAYENI,
S.Pd, HIDAYAT TAGOR NASUTION, SH, dan para anggota Banggar
DPRD Kabupaten Bengkalis, bersama MUHAMMAD TARMIZI dan
saksi PURBOYO serta Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis lainnya
melalui Jamal Abdillah sebanyak 1.389 (seribu tiga ratus delapan puluh
sembilan) kelompok dengan dana sebesar Rp.115.190.000.000,- (seratus
lima belas milyar seratus sembilan puluh juta rupiah).
Terdakwa HERU WAHYUDI, SH. mengetahui setiap anggota
DPRD dapat mengajukan usulan tambahan kelompok – kelompok calon
penerima hibah maka terdakwa langsung berinisatif memberikan nama –
nama kelompok yang berjumlah 89 (delapan puluh sembilan) kelompok
kepada saksi JAMAL ABDILLAH antara lain:
a) Yang dimasukkan melalui dana aspirasi sebanyak 25 (dua puluh lima)
kelompok dengan dana sebesar Rp. 1.600.000.000,- (satu milyar enam
ratus juta rupiah)
108
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 13.
72
b) Yang dimasukkan melalui dan diarahkan ke Bagian Umum / Bagian Kesra
Setda Bengkalis sebanyak 64 (enam puluh empat) kelompok dengan dana
sebesar Rp.3.850.000.000,- (tiga milyar delapan ratus lima puluh juta
rupiah).
Dan selanjutnya daftar nama calon penerima hibah yang diusulkan
dari semua anggota DPRD melalui oleh saksi JAMAL ABDILLAH
disampaikan kepada Drs.ASMARAN HASAN (Alm) selaku Ketua TAPD
dengan maksud untuk dilakukan perubahan dan perbaikan dan pada tanggal
01 November 2012 telah ditetapkan Perda No. 17 Tahun 2012 tentang
Perubahan APBD Kabupaten Bengkalis TA 2012 dengan anggaran hibah
sebesar Rp.272.277.491.580,- (Dua ratus tujuh puluh dua milyar dua ratus
tujuh puluh tujuh juta empat ratus sembilan puluh satu ribu lima ratus delapan
puluh rupiah),mengetahui hal tersebut Terdakwa HERU WAHYUDI, SH.
langsung menginformasikan kepada para kelompok yang telah tercantum dan
terdaftar sebagai lembaga/ kelompok penerima dana hibah TA 2012 dengan
harapan segera untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan untuk
pencairan dana hibah serta menyatakan bila dana telah cair maka kelompok
penerima wajib menyerahkan sejumlahuang kepada terdakwa langsung dan
melalui pihak perantara (calo).109
Setelah dana hibah tersebut dicairkan oleh para penerima dana hibah
yang usulannya melalui terdakwa HERU WAHYUDI, SH. maka terdakwa
menerima uang sebagaimana yang dipersyaratkan sebelumnya dari para calo
dan penerima hibah dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp.385.000.000,-
(tiga ratus delapan puluh lima juta rupiah) dengan rincianBobi Sugara,
Rozali, Dedi Zulfikar, dan Faisal Bachri.110
Kemudian, pada tanggal 16 Januari 2012 Terdakwa HERU
WAHYUDI, SH, beserta Anggota Banggar lainnya telah menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan Terdakwa selaku Anggota DPRD maupun selaku Anggota
109
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 17. 110
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 14.
73
Banggar DPRD Kabupaten Bengkalis, saat RapaT Finalisasi Rancangan
APBD TA 2012 dengan Tim TAPD Kabupaten Bengkalis, menyampaikan
permintaan tambahan alokasi dana hibah, atas nama:
1) Jamal Abdillah: Rp.80.000.000.000,-
2) Masing-masing anggota dewan: Rp.2.000.000.000,-111
Setelah dana hibah tersebut dicairkan oleh para penerima dana hibah
yang usulannya melalui terdakwa HERU WAHYUDI, SH. maka terdakwa
menerima uang sebagaimana yang dipersyaratkan sebelumnya dari para calo
dan penerima hibah dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp.385.000.000,-
(tiga ratus delapan puluh lima juta rupiah).
b. Tuntutan
Dalam perkara Nomor 4/pid.sus/ppk/2017/pn.pbr Jaksa Penuntut
Umum melakukan penuntutan yang pada intinya menyatakan, agar terdakwa
Heru Wahyudi dinyatakan bersalah dan meyakinkan telah melakukan tindak
pidana “korupsi dana hibah yang dilakukan secara bersama-sama” sesuai
dengan dakwaan Penuntut Umum bahwaPerbuatan Terdakwa HERU
WAHYUDI, SH. bin CHAIRUM NOSA diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1)
Kemudian Jaksa Penuntut Umum juga menuntut untuk
Menjatuhkannya pidana terhadap Terdakwa HERU WAHYUDI, S.H. Bin
CHAIRUM NOSA dengan pidana penjara masing-masing selama 8(delapan)
tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan.
Sehingga kemudian dari tuntutan tersebut jaksa juga menuntut agar
Membebankan Terdakwa HERU WAHYUDI, S.H. Bin CHAIRUM
NOSAuntuk membayar denda sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan.
111
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 24.
74
Selanjutnya untuk mengembalikan kerugian yang dialami oleh negara
Jaksa Penuntut Umum menuntut untuk Membebani Terdakwa HERU
WAHYUDI, S.H. Bin CHAIRUM NOSA untuk membayar uang pengganti
sebesar Rp385.000.000,00 (tiga ratus delapan puluh lima juta rupiah), jika
terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu)
bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta
bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda mencukupi
untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan penjara selama 4
(empat) tahun dan 6 (enam) bulan, dan apabila terpidana membayar uang
pengganti yang jumlahnya kurang dari seluruh kewajiban membayar uang
pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan
diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara
sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti. Kemudian jaksa
juga menuntut untuk membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebasar 10.000 dan menuntuk majelis hakim untuk mengesahkan semua
barang bukti.
c. Pertimbangan Hakim
Majelis hakim dalam memutus perkara sebagaiman dalam putusan
Putusan Perkara Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr mempertimbangkan
beberapa fakta fakta dan kesaksian yang dihadirkan dalam persidangan. Dari
fakta berupa bukti dan kesaksian dari saksi saksi yang dihadirkan dalam
persidangan, majelis hakim mendapat keterangan sebagai pertimbangan
sebagai berikut.112
Berdasarkan fakta-fakta hukum dalam persidangan selanjutnya
mempertimbangkan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan
tindakpidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepadanya,
maka untuk itu terlebih dahulu akan dipertimbangkan unsur-unsur dari
dakwaan Penuntut Umum berupa dakwaan subsidaritas, yaitu: pertama,
dakwaan Primair:Melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang
112
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 129
75
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Kedua, dakwaan Subsidair:Melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Kemudian, karena dakwaan Penuntut Umum disusun dalam bentuk
subsidaritas, sesuai dengan tertib hukum acara pidana maka Majelis akan
mempertimbangkan dakwaan primair terlebih dahulu dan apabila dakwaan
primair telah terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan
lagi, akan tetapi apabila dakwaan primair tidak terbukti majelis akan
mempertimbangkan dakwaan berikutnya.
Majelis hakim dalam memutus perkara juga mempertimbangkan, dalam
dakwaan primair yaitu melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana,
yang menyatakan “Setiap orang secara melawan hokum memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara sebagai orang yang melakukan, menyuruh
melakukan,atau turut serta melakukanperbuatan”113
Selanjutnya Majelis hakimmempertimbangkan unsur-unsur materil
sebagaimana pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, dengan fakta-
fakta yang telah didapatkan dalam proses persidangan. Pertama, mengenai
unsur “setiap orang”.Orang, adalah siapa saja.Pengertian orang dalam hal ini
adalahsebagai orang sebagai objek hukum yaitu tiap warga negara
113
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 129-130.
76
yangdilindungi oleh hukum pidana, jadi tidak dipandang apakah orangtersebut
cakap atau tidak melakukan perbuatan hukum.Artinya lagi,perbuatan melawan
hukum terhadap setap orang warga negara yangmenjadi objek perlindungan
hukum pidana suatu negara termasukseandainya orang tersebut mengalami
gangguan jiwa tidak dikecualikan dari pengertian orang dalam pasal
ini.114
keuda, adalah unsur “secara melawan hukum”,Melawan hak, sama
dengan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan
seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku
baginya.sebagai melawan hukumbukan hanya berdasarkan suatu ketentuan
dalam perundang-undangan,melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan
atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.115
Ketiga, Unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu
korporasi”. Pemaknaan dari unsur "dengan tujuan" adalah suatu kehendak
yang ada dalam pikiran dan bathin pelaku yang mempunyai maksud dan
tujuan guna memperoleh suatu yang diinginkan dalam hal ini keuntungan baik
dalam bentuk materil maupun immaterial bagi dirinya sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi. Kemudian, "menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi", adalah bersifat alternatif sehingga dengan perbuatan itu
telah mendatangkan keuntungan apakah pada dirinya sendiri, orang lain atau
suatu korporasi, oleh karenanya tidak perlu dari perbuatannya mendatangkan
keuntungan secara kumulatif. Maka tidak perlu semua elemen dalam unsur
tersebut harus dibuktikan. Dari unsur dalam pasal tersebut kemudian majelis
hakim melihat fakta hukum yang tidak terbantahkan dalam kaitannya dengan
penganggaran dan pencairan dana hibah Kabupaten Bengkalis tahun 2012
pada saat terdakwa menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bengkalis
dan sebagai Anggota Banggar DPRD Kabupaten Bengkalis dimana terdakwa
bersama dengan anggota Banggar Kabupaten lainnya antara lain saksi Jamal
Abdillah, saksi Purboyo serta Hidayat Tagor Nasution, SH, Rismayeni, S.Pd,
114
R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politea, 1996), h.
250. 115
R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), h. 250.
77
dan Tarmizi mengajukan penambahan anggaran bantuan hibah dan bantuan
sosial kedalam APBD Kabupaten Bengkalis Tahun Anggaran 2012. Dimana
terdakwa ada memasukkan rekapan daftar nama-nama kelompok masyarakat
calon penerima dana hibah dan bantuan sosial tersebut sejumlah 89 (delapan
puluh sembilan) kelompok yakni dimasukkan melalui dana
aspirasisebanyak25 (dua puluh lima) kelompok dengan dana sebesar
Rp1.600000.000,00(satu milyar enam ratus juta rupiah) dan yang dimasukkan
melalui dan diarahkan ke Bagian Umum/Bagian Kesra Setda Bengkalis
sebanyak 64 (enam puluh empat) kelompok dengan dana sejumlah
Rp3.850000.000,00(tiga milyar delapan ratus lima puluh juta rupiah)
Keempat, Unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara”Menimbang. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara Pasal 1 angka 22 menyebutkan „yang
dimaksuddenganKerugianNegara/Daerahadalahkekuranganuang,suratberharg
a,dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatanmelawan hukum baik sengaja maupun lalai. Menimbang, bahwa
dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala
hak dan kewajiban yang timbul karena.
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Negara,
baik ditingkat pusat maupun daerah.
b. Berada dalam pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan
Perusahaan yang penyertaan modal Negara atau perusahaan yang
penyertaan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian Negara
Dalam persidangan majelis hakim mendapatkan fakta hukum yang
diperoleh bahwa dana hibah yang dicairkan tahun 2012 tersebut adalah
78
bersumber dari dana APBD Kabupaten Bengkalis tahun anggaran 2012 dalam
penguasaan, pengurusan dadn pertanggungjawaban penggunaan anggaran
Kabupaten Bengkalis. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum
diatasterungkapbahwadalamkegiatan
PemberianBantuanDanaHibahdanBantuanSosialkepada
Kelompok/Lembaga/Grup/Organisasi Masyarakat Yang Menggunakan Dana
Bersumber dari APBD Bengkalis/DPA Sekretariat Daerah Kabupaten
Bengkalis Tahun Anggaran 2012, sesuai keterangan ahli Deddy Yudistira,
Ak, CfrA dan Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Riau Nomor SR-
250/PW04/5/2015 tanggal 3 Juli 2015 terdapat kerugian keuangan negara
sejumlah Rp31.357.740.000,00 (tiga puluh satu milyar tiga ratus lima puluh
tujuh juta tujuh ratus empat puluh ribu rupiah). Sehingga unsur dalam pasal
ini telah terpenuhi.
Kelima, unsur “orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau
turut serta melakukan perbuatan”Ketentuan dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1
KUHPidana menyatakan: dihukum seperti pelaku dari perbuatan yang dapat
dihukum barang siapa yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doen
pleger) atau turut melakukan (mede pleger). Dimana yang melakukan atau
pelaku adalah barang siapa yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam
perumusan-perumusan delik. Yang menyuruh melakukan (doen pleger)
adalah seseorang yang berkehendak untuk melakukan sesuatu delik tapi tidak
melakukannya sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Turut melakukan adalah orang yang ikut serta melakukan peristiwa pidana,
dan tidak memenuhi semua unsur peristiwa pidana tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka unsur “mereka yang melakukan
dan yang turut melakukan perbuatan telah terpenuhi.Menimbang, bahwa tiap
orang yang dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan tindak pidana,
tidak harus memenuhi seluruh unsur rumusan tindak pidana. Ada semacam
pembagian kerja dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada kelompok
79
secara bersama-sama dengan orang lain, tidak melakukan tindak pidana
secara sendiri-sendiri, melainkan secara bersama-sama dalam mewujudkan
tindak pidana itu. Jika dilihat dari sudut perbuatan seorang pelaku hanyalah
memenuhi sebagian dari mata rantai tindak pidana. Semua syarat tindak
pidana terpenuhi tidak oleh satu peserta, akan tetapi oleh rangkaian semua
peserta. Peran salah seorang pelaku tindak pidana adalah merupakan bagian
dari mata rantai yang terhubung sehingga tindak pidana terwujud. Seorang
yang turut serta tidak diisyaratkan untuk secara tuntas memenuhi semua unsur
rumusan tindak pidana, terlebih lagi sifat delik dalam pasal ini adalah delik
formal, dengan demikian pertanggungjawaban pidananya sama dengan orang
yang melakukan. Hal ini terjadi karena sistem pertanggungjawaban dalam
hukum pidana dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menganut paham setiap
orang yang terlibat bersama- sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang
dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian
melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang
dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya.
Sesuai dengan fakta hokum, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
bahwa terdakwa selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis yang pada
waktu itu juga duduk sebagai anggota Badan Anggaran DPRD Kabupaten
Bengkalis, bersama-sama dengan anggota DPRD lainnya mengusulkan
kepada Pemerintahan Kabupaten Bengkalis melalui TAPD APBD supaya
didalam APBD Kabupaten Bengkalis Tahun Anggaran 2012 dimasukkan atau
diakomodir penambahan dana hibanh dan bantuan sosial atas usulan atau
inisiatif angota dewan dengan alasan yang dikemukakandalam rangka
memperjuangkan kepentingan masyarakat konstituen anggotadewan.
Selanjutnya anggota dewan memperjuangkan aspirasitersebutdalam
forum-forum pembahasan Rancangan Perda APBD Kabupaten Bengkalis
tahun anggaran 2012 dimana kemudian keinginan tersebut diakomodir dan
dimasukkan dalam APBD Murni menjadi sejumlah Rp212.580.760.933,-
(dua ratus dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta tujuh ratus enam
puluh ribu sembilan ratus tiga puluh tiga rupiah) dan pada APBD Perubahan
80
menjadi sejumlah Rp272.277.491.850,- (dua ratus tujuh puluh dua milyar dua
ratus tujuh puluh tujuh juta empat ratus sembilan puluh satu ribu delapan
ratus lima puluh rupiah).
Kemudian dalam memutus perkara majelis hakim memperhatikan hal-
lah dalam proses persidangan sebagai bahan pertimbangan daalam memutus
perkara. Adapun hal-hal subjektif dalam persidangan yang perhatikan adalah
pertimbangan sebagai peringan dan pembert. Hal-hal yang memberatkan,
yaitu Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.Kemudian, Perbuatan Terdakwa selaku
anggota DPRD dan penyelenggara negara tidak memberikan teladan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang jujur dan bebas dari korupsi dan
Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan kerugian keuangan
Negara.Kemudian hakim juga memperhatikan hal-hal yang
meringankan.Yaitu, Terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap sopan
dipersidangan.Kemudian, Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga.116
c. Amar Putusan
Hakim dalam mempertimbangkan semua fakta dan kesaksian dalam
persidangan, kemudian memutus perkara dengan amar putusan sebagai berikut:
a) Menyatakan terdakwa HERU WAHYUDI, SH tersebut diatas, tidakterbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan primair.
b) Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair tersebut.
c) Menyatakan terdakwa HERU WAHYUDI, SH telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA
BERSAMA-SAMA sebagaimana dalam dakwaan subsidair.
116
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 157-158.
81
d) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
e) Menghukum terdakwa HERU WAHYUDI, SH untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), dengan
ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling
lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah perkaranya memperoleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita
oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal
terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti tersebut, maka dipidana dengan pidana penjara selama 6
(enam) bulan.
f) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
g) Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan
1. Perkara Putusan Nomor: 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr
a. Kronologi kasus
Terdakwa yang bernama lengkap RUSLAN AUHASBA, SE,
merupakan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) kegiatan Pemeliharaan
Rutin/berkala Kendaraan Dinas/Opersional Tahun Anggaran 2015 pada Dinas
Kebersihan,Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan
Hilir Nomor: 238 Tahun 2015 tanggal 9 April 2015 bersama-sama dengan
saksi IWAN KURNIA, SE selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), saksi
AFRIZAL selaku Bendahara Pengeluaran dan saksi ASNAWATI, SE selaku
Kasubbag Keuangan (dilakukan penuntutan dalam berkas perkara terpisah)
pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan lagi dalam bulan Januari
2015 sampai dengan bulan Desember 2015 atau pada suatu waktu dalam tahun
2015, bertempat di Kantor Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten
82
Rokan Hilir Jalan Kecamatan, Purna MTQ Kecamatan Bangko Kabupaten
Rokan Hilir atau pada suatu tempat yang masih termasuk dalam Daerah
Hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru
yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili, baik “sebagai yang
melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut.117
Selanjutnya Tahun Anggaran 2015 pada Dinas Kebersihan, Pertamanan
dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir terdapat Kegiatan Pemeliharaan Rutin /
Berkala Kendaraaan Dinas / Operasional sebagaimana yang tercantum dalam
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA-SKPD/DPPA-SKPD/DPAL- SKPD)
Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir Tahun
Anggaran 2015 dengan Nomor Kegiatan: 1.08.1.08.02.02.24000.Adapun nilai
kegiatan tersebut adalah sebesar Rp.3.915.000.000,- (tiga milyar sembilan ratus
lima belas juta rupiah).
Kemudian, pada tanggal 29 Desember 2014 terbit DPA - SKPD dengan
Nomor :1.08.1.08.02.02.24000.5.2 untuk kegiatan Pemeliharaan Rutin /
BerkalaKendaraan Dinas / Operasional Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp.
3.915.000.000,- (tiga miliar sembilan ratus lima belas juta rupiah) dengan
rincian sebagai berikut118
:Bahwa pada tanggal 22 April 2015 Bendahara
Umum Daerah Kabupaten Rokan Hilir menerbitkan SP2D - UP Nomor : 267 /
SP2D / GU / LS / 1.08.02/ 2015 senilai Rp. 2.182.594.000,- (dua miliar seratus
delapan puluh dua juta lima ratus sembilan puluh empat ribu rupiah) untuk
seluruh kegiatan pada Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten
Rokan Hilir Tahun Anggaran 2015, kemudian dana tersebut dipindahbukukan
dari rekening Kas Daerah Rokan Hilir ke rekening Bendahara Pengeluaran
117
Putusan Pengadilan Negeri No. 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr, h. 195. 118
Putusan Pengadilan Negeri No. 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr, h. 196.
83
Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir pada PT.
Bank Riau Cabang Bagansiapiapi dengan nomor rekening 113.02.00110. Atas
penerbitan SP2D tersebut yang sebelumnya telah dilengkapi dengan SPP - UP
Nomor : 05 / DKPP / 2015 tanggal 10 April 2015 yang ditandatangani oleh
saksi AFRIZAL selaku Bendahara Pengeluaran dan SPM-UP Nomor:
05/1.08.02/UP/BE-LANG/2015 tanggal 11 April 2015 yang ditandatangani
oleh saksi IBUS KASRI, ST selaku Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan dan
Pasar Kabupaten Rokan Hilir.
Selanjutnya, pada tanggal 9 Juli 2015 Bendahara Umum Daerah
Kabupaten Rokan Hilir telah menerbitkan SP2D - GU Nomor : 1393 / SP2D /
GU / LS /1.08.02 / 2015 senilai Rp. 989.953.250,- (sembilan ratus delapan
puluh sembilan juta sembilan ratus lima puluh tiga ribu dua ratus lima puluh
rupiah) dan dananya dipindahbukukan ke Bendahara Pengeluaran Dinas
Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir pada PT. Bank Riau
Cabang Bagansiapi-api dengan nomor rekening 113.02.00110. Atas penerbitan
SP2D tersebut sebelumnya telah dilengkapi dengan SPP-GU Nomor : 23 /
DKPP / 2015 tanggal 29 Juni 2015 yang ditandatangani oleh saksi AFRIZAL
selaku Bendahara Pengeluaran dan SPM-GU Nomor : 23 / 1.08.02 / GU / 2015
tanggal 30 Juni 2015 yang ditandatangani oleh saksi.
Selanjutnya, pada tanggal 06 Oktober 2015, Bendahara Umum Daerah
Kabupaten Rokan Hilir menerbitkan SP2D-GU Nomor: 4655 / SP2D / GU / LS
/ 1.08.02 / 2015 senilai Rp. 583.410.300,- (lima ratus delapan puluh tiga juta
empat ratus sepuluh ribu tiga ratus rupiah) dan kemudian dananya
dipindahbukukan ke Bendahara Pengeluaran Dinas Kebersihan, Pertamanan
dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir pada PT. Bank Riau Cabang Bagansiapi-api
dengan nomor rekening 113.02.00110. Atas penerbitan SP2D tersebut
sebelumnya telah dilengkapi dengan SPP-GU Nomor: 121/DKPP/2015 tanggal
28 September 2015 yang ditandatangani oleh saksi AFRIZAL selaku
Bendahara Pengeluaran dan SPM-GU Nomor: 121/1.08.02/GU/2015 tanggal
29 September 2015 yang ditandatangani oleh saksi IBUS KASRI, ST selaku
Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir
84
dengan bukti-bukti pertanggungjawaban / SPJ SP2D berupa, 119
Belanja Jasa
Servis: 166.400.000, Belanja: Penggantian Suku 95.685.000. Belanja: Bahan
Bakar 321.325.300, sehinga dari itu total Keseluruhan: Jumlah 583.410.300.
Kemudian, pada tanggal 12 November 2015, Bendahara Umum Daerah
Kabupaten Rokan Hilir menerbitkan SP2D-GU Nomor: 6508 / SP2D / GU / LS
/ 1.08.02 / 2015 senilai Rp. 184.141.300,- (seratus delapan puluh empat juta
seratus empat puluh satu ribu tiga ratus rupiah) dan dananya dipindahbukukan
ke Bendahara Pengeluaran Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar
Kabupaten Rokan Hilir pada PT Bank Riau Cabang Bagansiapi-api dengan
nomor rekening 113.02.00110. Atas penerbitan SP2D-GU tersebut sebelumnya
telah dilengkapi dengan SPP-GU Nomor : 152 / DKPP / 2015 tanggal 05
November 2015 yang ditandatangani oleh saksi AFRIZAL selaku Bendahara
Pengeluaran dan SPM-GU Nomor : 152 /1.08.02 / GU / 2015 tanggal 06
November 2015 yang ditandatangani oleh saksi IBUS KASRI, ST selaku
Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir
dengan bukti-bukti pertanggungjawaban / SPJ SP2D yaitu, Belanja Jasa Servis:
47.450.000,00, Belanja Penggantian Suku: 30.000.000,00, Belanja Bahan
Bakar: 106.691.300,00. Total Keseluruhan Jumlah: 184.141.300,00.
Kemudian, pada tanggal 03 Desember 2015 Bendahara Umum Daerah
Kabupaten Rokan Hilir menerbitkan SP2D-TUP Nomor:
8175/SP2D/GU/LS/1.08.02/2015 senilai Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan dananya dipindahbukukan ke Bendahara Pengeluaran Dinas
Kebersihan, Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir pada PT. Bank Riau
Cabang Bagansiapi-api dengan nomor rekening 113.02.00110. Atas penerbitan
SP2D tersebut sebelumnya telah dilengkapi dengan SPP-TUP Nomor:
159/DKPP/2015 tanggal 24 November 2015 yang ditandatangani oleh saksi
AFRIZAL selaku Bendahara Pengeluaran dan SPM - TUP Nomor: 159 /
1.08.02 / TU / BE-LANG / 2015 tanggal 06 November 2015 yang
ditandatangani oleh saksi IBUS KASRI, ST selaku Kepala Dinas Kebersihan,
Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir dengan bukti - bukti
119
Putusan Pengadilan Negeri No. 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr h. 197
85
pertanggungjawaban / SPJ, SP2D-TUP tersebut keseluruhannya merupakan
belanja bahan bakar minyak / gas dan pelumas senilai Rp. 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah).
Selanjutnya, selama Tahun Anggaran 2015, saksi AFRIZAL selaku
Bendahara Pengeluaran atas perintah saksi IWAN KURNIA, SE selaku Kuasa
Pengguna Anggaran melakukan pencairan uang Pemeliharaan Rutin / Berkala
Kendaraan Dinas / Operasional dengan cara yaitu setiap uang dicairkan oleh
saksi AFRIZAL dari rekening Bendahara Pengeluaran Dinas Kebersihan,
Pertamanan dan Pasar Kabupaten Rokan Hilir, kemudian saksi AFRIZAL
bersama dengan saksi RIKI SYAHPUTRA dan saksi YOSRIZAL
menyerahkan uang tersebut kepada saksi IWAN KURNIA, SE di rumah saksi
IWAN KURNIA, SE yang beralamat di Jalan pulau Baru Nomor 99
Kepenghuluan Bagan Jawa Pesisir Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan
Hilir120
.
Selanjutnya, Setiap saksi AFRIZAL menyerahkan uang pencairan
UangPersediaan (UP) dan Ganti Uang (GU) kepada saksi IWAN KURNIA,
SEselaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kegiatan Pemeliharaan
Rutin / Berkala Kendaraan Dinas / Operasional Tahun Anggaran 2015, saksi
AFRIZAL diberi uang oleh saksi IWAN KURNIA, SE sebanyak 3 kali
masing-masing pada penyerahan pertama sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas
juta rupiah) penyerahan kedua sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)
dan penyerahan ketiga sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sehingga
total saksi AFRIZAL mendapat uang dari saksi IWAN KURNIA, SE lebih
kurang sebesar Rp.45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) sedangkan
saksi RIKI SYAHPUTRA dan saksi YOSRIZAL diberi uang oleh saksi IWAN
KURNIA yang jumlahnya sekitar Rp.300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) sampai
dengan Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) setiap kali menemani saksi
AFRIZAL mengantarkan uang kepada saksi IWAN KURNIA, SE.
Dari semua kronologi tersebut maka nilai keseluruhan bukti-bukti
pertanggungjawaban/SPJ Kegiatan Pemeliharaan Rutin/Berkala Kendaraan
120
Putusan Pengadilan Negeri No. 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr h. 197
86
Dinas / Operasional Tahun Anggaran 2015 adalah sebesar Rp.2.988.442.850,-
(dua miliar sembilan ratus delapan puluh delapan juta empat ratus empat puluh
dua ribu delapan ratus lima puluh rupiah)121
b. Tuntutan Penuntut Umum
Menyatakan agar terdakwa Ruslan Auhabsa dinyatakan bersalah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang “dilakukan secara
bersama-sama sebagai orang yang melakukan tindak pidana” telah terpenuhi
dan terbukti menurut hukum bahwa dalam tuntutan Penuntut Umum telah
menyatakan Terdakwa telah terbukti bersalah melanggar pasal 2 ayat (1) jo.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah
dengan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dan mohon
kepada Majelis Hakim untuk memberikan putusan kepada Terdakwa dengan
pidana penjara selama 4(empat) tahun dan 6(enam) bulan serta denda sebesar
Rp.200.000.000,--subsidair 1(satu) bulan kurungan dan Uang Pengganti
Rp.10.000.000,-(Sepuluh juta rupiah) diambil yang telah dititip di Kejaksaan
Negeri Rokan Hilir.
c. Pertimbangan Hakim
Majelis hakim dalam memutus perkara melihat keterangan saki-saksi
dan barang bukti dalam persidangan.Sehingga dalam memutus perkara
Nomor 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr manjelis hakim mempertimbangkan
barbagai aspek. Adapun pertimbngan tersebut sebagai berikut:122
Dalam pemeriksaan terhadap dakwaan primer, majelis hakim tidak
menemukan barang bukti yang cukup.Sehingga dakwaan tersebut
dikesmpingkan dan majelis hakim hanya membuktikan dakwaan Subsidiair
yaitu Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31
121
Putusan Pengadilan Negeri No. 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr h. 198 122
Putusan Pengadilan Negeri No. 51/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Pbr
87
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 Kitap Undang-Undang Hukum Pidana dengan unsure-unsur pada
ketentuan pasal yang menyebutkan “Setiap orang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara dilakukan secara bersama-sama”.
Untuk membuktikan dari dakwaan jakasa mengenai pelanggaran pada
pasal tersebut maka majelis hakim menyesuiakan dakwaan tersebut dengan
fakta-fakta. Pertama, Unsur Setiap Orang. Jika diperhatikan rumusan pasal ini
maka seolah-olah Setiap Orang dapat menjadi subjek / pelaku dari Tindak
Pidana Korupsi, tetapi sesungguhnya tidak demikian. Dalam pasal 3 ini
ditentukan bahwa pelakuTindak Pidana korupsi haruslah orang-orang
yang memangku suatu “jabatan atau kedudukan” dan Tindak Pidana
Korupsi tersebut haruslah dilakukan dalam menjalankan jabatan atau
kedudukannya itu. Yang dapat memangku suatu jabatan atau kedudukan
hanyalah orang-perorangan, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa
yang dapat melakukan Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 3 ini adalah
orang-perorangan.
Terdakwa Ruslan Auhasba dengan identitas dalam dakwaan sesuai
dengan yang disebutkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maupun
surat dakwaan dengan jabatan atau kedudukan selaku Pejabat Pelaksana
Tekhnis Kegiatan (PPTK) dalam Kegiatan Pemeliharaan Rutin/ Berkala
Kendaraan Dinas/Operasional pada Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pasar
Kabupaaten Rokan Hilir Tahun Anggaran 2015 sehat fisik dan mentalnya
terbukti dari sikap dan pernyataan-pernyataannya yang disampaikan dalam
persidangan, sehingga Terdakwa adalah orang yang mampu
bertanggungjawab menurut hukum, dan didakwa telah melakukan tindak
pidana sebagaimana diuraikan diatas, maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan “Setiap Orang” tidak lain adalah Terdakwa
Ruslan Auhasba oleh karenanya unsur/elemen ini telah terpenuhi.
88
Kedua, Unsur Dengan Tujuan Menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau Korporasi.yang dimaksud “dengan tujuan” adalah suatu kehendak
yang ada dalam alam pikiran sipelaku atau alam bathin sipelaku yang
ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Memang sulit untuk membuktikan suatu keadaan yang ada dalam alam
pikiran orang lain (sipelaku), karena hukum hanya mengatur bagaimana
untuk melihat suatu tujuan dalam suasana bathin seseorang adalah dari
perbuatan perbuatannya yang nampak dengan kasat mata, sehingga dari
perbuatan itulah kemudian disimpulkan oleh Hakim tentang ada tidaknya
tujuan dalam bathin si pelaku. Penggunaan dengan tujuan dalam pasal ini
sama dengan kata sengaja atau kesengajaan yang terdapat dalam Teori
Hukum Pidana.
Dapat diartikan dalam bentuk kesalahan (schuld), dengan tujuan
adalah sebagai suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (Opzet), sedangkan
kesengajaan menurut Wvs 1809 adalah “kehendak untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-
Undang” bahwa dari bunyi redaksi Unsur pasal ini ada terdapat kata Atau
yang diartikan sebagai Relatip yang maksudnya salah satu point dari Unsure
pasal tersebut telah dapat dibuktikan, maka Unsure redaksi kata yang lain
tidak perlu dibuktikan lagi, karena pengertian yang dimaksud oleh Unsur yang
terbukti tersebut sudah terpenuhi.
Ketiga, Unsur Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan, atau
Sarana yang ada padanya karena Jabatan atau Kedudukan. Unsur ini sengaja
dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan unsur kedua
yaitu: dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, karena unsure ini adalah merupakan “sarana untuk mencapai suatu
TUJUAN yaitu Menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat
merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara. bahwa yang
dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
89
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” adalah menggunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan atau
kedudukan yang dijabat / diduduki untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut. Kewenangan
adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan seseorang
untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat
dilaksanakan dengan baik.
Kewenangan tersebut tercantum dalam ketentuan-ketentuan tata kerja
yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukannya itu.Kesempatan adalah
peluang yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang (pelaku tindak pidana
korupsi), peluang mana tercantum dalam tata kerja yang berkaitan dengan
jabatan atau kedudukan yang dijabatnya itu. Sarana adalah syarat, cara, atau
media, yang dalam kaitannya dengan pasal ini adalah cara atau methoda kerja
yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukannya, Yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan”, tiada lain adalah kewenangan, kesempatan, dan
sarana karena jabatan atau kedudukan yang dipangku seseorang oleh karena
memangku jabatan atau kedudukan, akibatnya dia mempunyai kewenangan,
kesempatan dan sarana yang timbul dari jabatan atau kedudukan tersebut, jika
jabatan atau kedudukan itu lepas, maka kewenangan, kesempatan dan sarana
juga hilang.
Keempat, Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian
Negara. Bahwa mengenai apa yang dimaksud dengan Keuangan Negara‖
telah diatur dengan tegas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara yang dalam Pasal 1 angka 1 ditentukan bahwa
“Keuangan Negara “adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
Kelima, Unsur Dilakukan Secara Berasama-sama.Selanjutnya Majelis
Hakim akan mempertimbangkan unsure yang berkaitan dengan ketentuan
yang diatur dalam 55 ayat (1) ke 1 KUHP yang berbunyi “Dipidana sebagai
90
pelaku tindak pidana: Mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan,dan yang turut serta melakukan perbuatan; Menimbang, bahwa
pasal 55 KUHP ini merupakan implementasi ajaran penyertaan yang lebih
dikenal dengan sebutan Deelneming, yang maksudnya Subjek tindak pidana
yang dapat dijatuhi pidana sebagai pelaku tindak pidana yaitu : Orang yang
Melakukan yang disebut dengan Pleger ; Orang yangmenyuruh Melakukan
disebut Doen Plegerdan Orang yang turut serta Melakukan disebut
Medepleger.
Kemudian majelis hakim mempertimbangkan hal-hal subejektif
terhadap terdakwa dalam memutus perkara.Pertimbangan tersebut bersifat
pertimbangan pemberat dan peringan dalam memuturs perkara.Adapun hal-
hal yang memberatkan terdakwa adalah, perbuatan Terdakwa tidak
menghiraukan anjuran Pemerintah Republik Indonesia yang sedang giat-
giatnya untuk memberantas Tindak PidanaKorupsi. Kemudian, hal-hal yang
meringankan, Terdakwa cukup sopan didepanpersidangan, Terdakwa
mempunyai tanggungan keluarga, Terdakwa belum pernahdihukum, Bahwa
Terdakwa telah mengganti Kerugian Negara sebanyak yang diperolehnya
sebesar Rp. 10.000.000,(sepuluh jutarupiah)123
d.Amar Putusan
Setelah memeriksa fakta-fakta dan bukti-bukti dalam persidangan. Serta
mempertimbangkan semua hal, maka majelis hakim memberikan putusan
sebabgai berikut:
1) Menyatakan Terdakwa RUSLAN AUHASBA,SE tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dalam dakwaan Primer;
2) Membebaskan Terdakwa RUSLAN AUHASBA,SE dari dakwaan Primer
tersebut;
3) Menyatakan Terdakwa RUSLAN AUHASBA,SE telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-
123
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 51/Pid.sus-TPK/2017/PN-pbr, h. 467.
91
sama sebagaimana dakwaanSubsidair;
4) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa RUSLAN AUHASBA,SE dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda
sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu)bulan;
5) Menghukum Terdakwa RUSLAN AUHASBA,SE untuk membayar Uang
Pengganti sejumlah Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) dalam hal ini
telah dibayar Terdakwa yang dititipkan kepada Penuntut Umum sesuai
Tanda Terima Uang tanggal 20 September2016;
6) Memerintahkan Penuntut Umum menyetorkan Uang TitipanTerdakwa
7) RUSLAN AUHASBA, tersebut sebagai Uang Pengganti sebesar
Rp.10.000.000,- (Sepuluh jutarupiah)ke KasNegara.
8) Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yangdijatuhkan.
2. Disparitas perbandingan dalam perkaran No. 4/Pid.Sus
TPK/2017/PN.Pbr dengan perkara No. 51/Pid.sus-TPK/2016/PN-Pbr.
Dalam perbandingan ini kedua perkara dianggap telah memenuhi unsur-
unsur pasal 3 undang-undang 31 tahun 1996 tentang tindak pidana korupsi
sebagaiaman telah dirubah dengan undang-undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atauorang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan ataukedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atauperekonomian negara dipidana dengan pidana penjara
seumurhidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan palinglama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikitRp.50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar
92
rupiah).”
Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
inididalamnya terkandung unsur-unsur sebagaimana rumusan dalam ketentuan
dalam pasal tersebut yaitu, “Setiap orangdengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Unsur yang pertama adalah setiap orang dalam hal ini yang dimaksud
terdakwa Heru Wahyudi dan terdakwa Ruslan Auhasaba.
Unsur yang kedua yakni dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi sudah dijelaskan di atas dimana pengertian
berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang atau suatu
korporasi dimana pengertiannya berkaitan dengan unsur memperkaya diri
sendiri atau korporasi yang mendatangkan keuntungan.
Unsur yang ketiga adalah menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan ataukedudukan.Pengertian pejabat
diatur dalam Pasat 92 KUHPIDANAyang menentukan:
1) Orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakanberdasarkan
aturan-aturan umum;
2) Orang-orang yang bukan karena pilhan menjadi anggota badan pembuat
UU, badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh
pemerintah atau atas nama pemerintah;
3) Semua anggota waterschtap.
4) Sernua kepala rakyat Bumiputera dan kepala golongan Timur Asing yang
menjalankan kekuasaan yang syah;
5) Hakim, termasuk pula Hakim wasit, serta orang-orang yang menjalankan
peradilan administratif atau ketua-ketua dan anggota peradilan agama;
6) Semua anggota angkatan perang. Unsur yang keempat yakni dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
93
Mengenai perekonomian negara diatur dalam Pasal33 ayat (1) UU Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945sebagai berikut:
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasiekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, sertadengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonominasional.
Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentukapapun,
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasukdidalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dankewajiban yang timbul karena:
1) Berada dalam penguasaan, pengurusan, danpertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkatpusat maupun di daerah;
2) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau, perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat.
Disparitas pidana tampak apabila diperbandingkan kuantitas pidana yang
dijatuhkannya. Dalam perkara Nomor 4/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbrdengan
Terdakwa Heru Wahyudi jumlahpidana yang dijatuhkan majelis hakim adalah:
a) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan
b) Menghukum terdakwa HERU WAHYUDI, SH untuk membayar uang
94
pengganti sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), dengan
ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling
lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah perkaranya memperoleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita
oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal
terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti tersebut, maka dipidana dengan pidana penjara selama 6
(enam) bulan.
Sedangkan dalam putusan perkara Nomor 51/Pid.sus-TPK/2016/PN-
Pbr.dengan terdakwa Ruslan Auhasaba yang dijatuhkan oleh majelis hakim
adalah:
a) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa RUSLAN AUHASBA,SE dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda
sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu)bulan.
b) Menghukum Terdakwa RUSLAN AUHASBA,SE untuk membayar Uang
Pengganti sejumlah Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) dalam hal ini
telah dibayar Terdakwa yang dititipkan kepada Penuntut Umum sesuai
Tanda Terima Uang tanggal 20 September2016.
Dari perbandingan putusan tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam
kedua perkara tersebut memiliki dimensi yang sama. Yaitu mengenai tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara besama-sama.Dalam kasus tersebut
memiliki nilai kerugain yang berbeda yakni pada kasus dengan terdakwa Heru
Wahyudi memiliki nilai kerugian negera sebesar 31 miliar. Sedangkan dalam
kasus dengan terdakwa Ruslan Auhasba memiliki nilai kerugian 1,8 miliar.
Dengan perbedaan ini seharunya majelis hakim memutus perkera tersebut
dengan pidana yang berbeda karena memang dalam nilai kerugian tersebut
sangat jauh berbeda. Namun dalam memutus perkara tersebut, keduanya
dihukum dengan pidana sama. Yaitu pidan penjara selam 1 (satu) tahun
95
6(enam) bulan.
Pada proses peradilan, seorang hakim sebagaimana ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang kekuasaan kehakiman,
menerangkan bahwa dalam menjalankan fungsinya seorang hakim dapat
melakukan penemuan hukum (Rechtvinding) sebagaimana fungsional seorang
hakim pada mestinya bukanlah hanya mengikuti ketentuan pada hokum
(Labonce delaloy). Sepserti di dalam Putusan Nomor 4/Pid.Sus
TPK/2017/PN.Pbr dengan perkara No. 51/Pid.sus-TPK/2016/PN-Pbr. Di dalam
putusan tersebut seharusnya Hakim menggunakan Teori Penemuan Hukum.
Karena dalam memutus perkara Hakim menggunakan penafsiran Teleologis,
yang mana hakim harus melihat suatu peraturan perundang-undangan yang
disesuaikan dengan keadaan sosial sehingga ketentuan perundangundangan
tidak hanya dilihat secara tekstual, akan tetapi dilihat secara kontekstual.
Penafsiran teleologis merupakan metode penafsiran terhadap suatu ketentuan
perundang-undangan dengan melihat kondisi atau situasi sosial yang
berdasarkan tujuankemasyarakatan.
Menurut teori absolut/retributif tentang tujuan pemidanaan, pidana
adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu
kejahatan.Muladi dan Barda Nawawi Arief (1984:10) berpendapat bahwa
“pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana
terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri”.Hal ini senada
dengan yang disampaikan oleh Andi Hamzah bahwa “pidana adalah hal yang
mutlak diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan”.Teori ini
menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada sipelaku tindak pidana
menjadi suatupembalasanyang adil terhadap kerugian yang diakibatkannya.124
Berdasarkan teori tersebut diatas, jumlah pemidanaan haruslahbergantung
pada jumlah kerusakan/kerugian yang ditimbulkannya.Dalam hal ini jumlah
pidana yang dijatuhkan dalam perkara korupsi Nomor 4/Pid.Sus-
124
Diringkas dari uraian Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan
Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), h.11-17.
96
TPK/2017/PN.Pbrdengan Terdakwa Heru Wahyudiharuslah lebih besar dari
jumlah pidana yang dijatuhkan Nomor 51/Pid.sus-TPK/2016/PN-Pbr. dengan
terdakwa Ruslan Auhasaba karena jumlah kerugian negara yang
ditimbulkannya lebih kecil.Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Walaupun dalam segi penerimaan uang yang didapat dari total kerugian
yang dialami oleh nagara tidak sama. Misal dalam sakus terdakwa Heru, ia
mendapatkan uang 15 juta dari perbuatannya. Dari hasil kerugian Negara
sebesar 15 juta tersebut kemudian, terdakwa diharuskan mengembalikan
kerugian yang telah dialami oleh Negara. Sedangkan dalam kasus ruslan, nilai
uang yang ia terima adalah 10 juta, dari total kerugian Negara. Akan tetapi
rupanya hal inilah yang menjadi pertimbangan hal peringan dalam memutus
perkara.Seharusnya hakim tidak melihat nilai uang yang diterima sebagai
pertimbangan peringan dalam putusan. Akan tetapi hakim harus melihat
bahwa kasus tersebut telah merugikan keuangan Negara sejumlah 31 miliar
dan 1,8 miliar. Karena dalam kasus tersebut pelaku melakuka kejahatan secara
bersama-sama.Artinya semua pihak mempunyai peranan tersendiri dalam
melancarkan tindakan tersebut. Tampa ada peranan dari salah satu pihak maka
tindak pidana tersebut dimungkinkan tidak akanterjadi.
B. Judicial Integrity Hakim Dalam Pandangan Hukum Islam dan Positif
Pada bidang hukum dan peradilan sebagaimana yang dikaji dalam
skripsin ini, pembicaraan kita dapat mulai dari diri Umar sendiri.Beliau
disebut sebagai qadi pertama yang diutus oleh khalifah Abu Bakar setelah
wafatnya nabi Muhammad saw. Beliau juga tercatat sebagai khalifah pertama
yang mengangkat dan menyebarkan qadi di semua wilayah kekuasaan
Islam. Selain dipengaruhi oleh bertambahnya wilayah kekuasaan Islam lewat
gerakan ekspansi besar-besaran, juga akibat banyaknya orang yang masuk
Islam, sehingga Umar berinisiatif untuk menjadikan profesi qadi sebagai
jabatan yang independen dan terpisah dari jabatan Gubernur (wali),
mengingat semakin beratnya tugas seorang qadi dan tugas seorang
97
Gubernur di saat yang sama, sehingga mustahil dirangkapkan pada satu
orang.
Salah satu bentuk kemudahan sekaligus keistimewaan para qadidan
lembaga peradilan di masa Umar adalah hadirnya tambahan referensi atau
metode istinbat lain sebagai sumber rujukan hukum baru selain Alquran, as-
sunah, dan ijtihad bagi para hakim. Di masa ini, muncul Ijmak, Musyawarah
Syuraal-Ra‟yu,125
dan al-Qiyas. Selain itu,muncul pula sumber baru lainnya
yang belum pernah ada pada masa Nabi dan Abu Bakar, yaitu: yurisprudensi
atau hasil-hasil putusan/ijtihad dari para qadiatau peradilan.126
Dari fakta tersebut difahami bahwa salah satu faktor utama yang
menjadikan seorang hakim bisa menghadirkan sebuah kepastian hukum dan
keadilan bagi yang berperkara adalah perlunya keberanian dan kemandirian
hakim dalam mengambil putusan jika perkara yang dihadapkan kepadanya
belum pernah ditemukan ketentuan hukumnya.Dampaknya, produktifitas
putusan hukum di masa Umar sangat signifikan hingga melahirkan koleksi
putusan-putusan hakim di berbagai tempat. Dikenallah koleksi putusan
bernama Aqdiyyah Syuraih (Kumpulan hasil-hasil putusan qadi
Syuraih);Aqdiyyah Ka‟ab bin Sur (Kumpulan hasil-hasil putusan qadiKa‟ab
bin Sur); Aqdiyyah Ali bin AbiThalib (Kumpulan hasil-hasil putusan qadi
Ali bin Abi Thalib). Aqdiyyah Abdullah bin Mas‟ud (Kumpulan hasil-
hasil putusan qadi Abdullah bin Mas‟ud), dan sebagainya.127
Dengan demikian, pada masa Umar dan era khulafa al-Rasyidin secara
umum dikenal adanya enam sumber perundang-undangan dan rujukan hakim
dalam memutus suatu perkara, yaitu: Alquran, al- Sunnah, Ijmak,
Ijtihad/Ra‟yu, al-Qiyas, al-Sawabiq al-Qada‟iyyah.
Dalam Hukum positif Judicial integrityhakim Secara prinsip, etika
profesi seorang hakim adalah sesuatu yang universal, artinya dianut, diakui,
dan dijumpai dalam sistem hukum Negara, kapan dan di manapun. Hal itu
125Menurut Ibnu Qayyim sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim Zaidan dalam buku al-
Madkhal li Dirasati al-syari‟ah al-Islamiyyah, yang dimaksud dengan al-Ra‟yu
126
Muhammad al-Zuhaily, Tarikh al-Qada‟, h. 117. 127
Muhammad al-Zuhaily, Tarikh al-Qada‟, h.142
98
karena persoalan tersebut terkait masalah nilai-nilai moral, kebaikan, dan
kepatutan yang idealnya memang perilaku dan moral yang baik itu seharusnya
selalu dipegang teguh oleh seorang yang berprofesi sebagai Hakim dalam
menjalankan tugasnya.Bahkan, tidak cukup hanya dijaga, nilai moral tersebut
juga harus selalu dibugarkan (fitnesed) dan dikembangkan dalam mengemban
tugasnya.
Menurut Socrates, ada empat macam etika profesi bagi seorang Hakim.
Pertama, mendengar dengan sopan (to hear courteously).Kedua, menjawab
dengan bijaksana dan arif (to answer wisly).Ketiga, mempertimbangkan, tak
terpengaruh (to consider soberly).Keempat, memutus tak berat sebelah (to
discideimpartially). Jika melihat isi risalah Umar bin Khattab kepada Musa al-
„Asy‟ary di atas, etika profesi hakim yang ideal antara lain: Pertama,
Mempersamakan kedudukan pihak yang berperkara secara setara dalam
majelis, baik pandangan, sikap dan putusannya sehingga semua orang
mendapat „rasa keadilan‟ dari seorang hakim. Kedua, upaya mendamaikan
harus selalu diusahakan terhadap mereka yang bersengketa, kecuali
(kompromi) perdamaian yang dilakukan untuk menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.
Apabila mencermati hal-hal di atas, menjadi seorang yang berpredikat
hakim bukanlah pekerjaan yang mudah. Profesi hakim menuntut adanya
beberapa persyaratan yang harus ada dan dipenuhi sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun l989, jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, pasal 13 ayat 1 huruf (c), (f) dan (g), yaitu; (1) Bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sehat jasmani dan rohani; (3) Berwibawa; (4)
Jujur; (5) Adil; (6) Berkelakuan tidak tercela.
Menjadi hakim memang harus tersaring dan terjaring dengan obyektif dan
selektif.Dari sinilah pentingnya membangun manajemen rekruetmen hakim
secara sistimatis, cermat dan transparan.Hal ini dapat kita jumpai dalam
proses selektifitas rekruetmen seorang calom hakim seperti dicontohkan
Rasulullah SAW saat akan mengangkat Muadz bin Jabal untuk menjadi
Hakim/ Gubernur di Yaman.”Dengan apa engkau akan memutus suatu
99
perkara yang dihadapkan kepadamu ya Muadz? Kata Nabi. Jawab Muadz,
saya akan memutus suatu perkara dengan ketentuan yang ada dalam alquran.
Jika didalam alquran tidak engkau temukan ? tanya Nabi, Muadz menjawab,
saya akan memutus perkara itu dengan apa yang ada dalam al-Hadits. Jika
dalam al-Haditspun tidak engkau temukan ?tanya Nabi lagi, Jawab Muadz,
saya akan mengambil putusan dengan akal/nalar saya (Ijtihad). Mendengar
jawaban Muadz tersebut Rasulullah SAW memberikan apresiasi dan bangga
atas sikap dan pemahaman terhadap tahapan- tahapan proses pengambilan
putusan sekaligus struktur hukum yang tersedia.
Perjalanan sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia seiring dengan
perkembangan politik nasional pada umumnya, dari sejak masa orde lama,
orde baru dan orde reformasi telah diundangkan beberapa undang-undang
tentang kekuasaan kehakiman, yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun
1964,Undang-Undang Nomor 14 Tahun1970 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 4Tahun 2004, terakhir Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2009, mencabut
dan membatalkan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun2004.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman telah sesuai dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, namun substansinya belum mengatur secara
komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merupakan kekuasaan yang merdeka yangdilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dankeadilan.
Selain pengaturan secara komprehensif, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, juga untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
005/PUU/2006 yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut juga telah membatalkan ketentuan yang terkait
100
dengan pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang KomisiYudisial.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai upaya memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkansistem peradilan
terpadu (integrated justice system), hal-hal penting yang dikandung oleh
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 ini antara lain:
1. Mereformasi sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara komprehensif
dalam Undang-undang ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas
penyelenggaraan kekuasaankehakiman.
2. Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman
PerilakuHakim.
3. Memformulasi ulang sistem pengaturan umum mengenai pengangkatan
dan pemberhentian hakim dan hakimkonstitusi.
4. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada
di bawah MahkamahAgung.
5. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki
keahlian serta pengaturan di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatuperkara.
6. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
di luarpengadilan.
7. Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang
tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap
pengadilan.
8. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim
dan hakimkonstitusi.
Sebagai bentuk tindak lanjut dari diundangkannya Undang- Undang
Nomor 48 Tahun 2009, telah diundangkan pula Undang-Undang Nomor 49
101
Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
UsahaNegara.
Oleh sebab itu, peran hakim pasca diundangkannya UU Nomor 48 Tahun 2009
menjadi semakin signifikan dan memperlihatkan adanya
upayadalammewujudkankemandiriandanprofesionalismenya.Halitu tercermin
lewat Pasal 2 ayat (2 dan 4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1),
Pasal 5 ayat (1 dan 2) dan Pasal 10 yang menyebutkan bahwa:
- Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
- Peradilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkanPancasila.
- Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biayaringan.
- Dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga
kemandirian peradilan.
- Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan
orang.
- Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalammasyarakat.
- Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela, jujur,
adil, profesional dan pengalaman di bidanghukum.
- Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya dan
tidak menutup usaha penyelesaian perkara secara perdamaian.128
128
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), h. 4.
102
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sendiri telah ditetapkan oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial di Jakarta pada tanggal 8 April 2009
dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi
Yudisial No: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan No: 02/SKB/PKY/IV/2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Adapun prinsip-prinsip dasar dari Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan yaitu Berperilaku Adil,
Berperilaku Jujur, Berperilaku Arif dan Bijaksana, Bersikap Mandiri,
Berintegritas Tinggi, BertanggungJawab, Menjunjung Tinggi HargaDiri,
Berdisiplin Tinggi, Berperilaku Rendah Hati dan Bersikap Profesional.129
Sebagai dasar untuk menganalisis Judicial Integrity peneliti menggunakan
sintesis dari teori kode etik Hakim yaitu utuh, tidak pecah, fokus.
Sebagai dasar untuk menganalisa Judicial Integrity peneliti
menggunakan Sintesis dari teori-teori kode etik Hakim yaitu: fokus, utuh,
memiliki banyak alternatif.
Dalam memutus perkara Nomor 4/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr dan dalam
putusan Nomor 51/Pid.sus-TPK/2016/PN-Pbr. Sebagaimana pembahasan
diatas.Menurut penulis nilai keadilan yang ada dalam putusan tersebut belum
terpenuhi.Sebagaimana kita kehatui bahwa dalam putusan tersebut bahwa nilai
kerugian yang alami oleh Negara berbeda anatra kedua kasus tersebut.Sehingga
jika melihat nilai kerugian tersebut majelis hakim harus adil mengenai
peristiwa tersebut. Dalam peristiwa yang mengakibatkan nilai kerugian 32
miliar seharunsnya majelis hakim memutus perkara dengan hukuman yang
lebih tingggi ketimbang peristiwa yang mengakibatkan kerugian Negara 1,8
miliar. Sehingga nilai keadilan dalam putusan tersebut dapat tersealisasikan.
Selanjutnya, menilai dari kebijaksanaan majelis hakim dalam memutus
perkara tersebut belum bijaksana.Apalagi melihat dengan pertimbangan hakim
129
Nurcholis Syamsuddin, Prospektif Peran Hakim Dalam Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman Pasca Diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman,( Semarang: September 2012), h. 10-11.
103
dengan melihat nilai keuangan yang diterima oleh terdakwa, sebagai hal-hal
yang meringankan terdakwa.Hal ini tidak bijak, jika melihat dengan semangat
untuk memmberantas tindak pidana korupsi di nergara Indonesia.
105
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara pada putusan Nomor
4/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Pbr dan putusan Nomor 51/Pid.sus-
TPK/2016/PN-Pbr dengan melihat pada Judex facti yang diperoleh dalam
proses peradilan. dalam pertimbangan tersebut majelis hakim melihat
bahwa tindak pidana yang dilakukan telah secara sah dan meyakinkan
melanggar pasal 3 Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Kemudian
majelis Hakim mempertimbangkan hal-hal yang menjadi alasan peringan
dan pemberat dalam memutus perkara. Dalam putusan Nomor 4/Pid.Sus-
TPK/2017/PN.Pbr hakim melihat bahwa terdakwa dalam melakukan
tindak pidana tersebut bukanlah sebagai pelaku utama dimana pelaku
melakukan tindak pidana tersebut secara bersama-sama. Kemudian majelis
hakim mempertimbangkan nilai uang yang diterima hanya 15.000.000,-
dari nilai kerugian yang diperoleh negara sebesar 31M. Kemudian dalam
putusan Nomor 51/Pid.sus-TPK/2016/PN-Pbr majelis hakim juga
mempertimbangkan hal yang sama akan tetapi nilai uang yang diterima
10.000.000.- kerugian yang diperoleh negara sebeesar 1,8M. dari kedua
putusan tersebut majelis hakim memutus perkara dengan sanksi pidana 1
tahun 6 bulan dan dengan sejumlah denda.
2. Judicial integrity hakim Dalam Hukum positif Judicial integritas hakim
Secara prinsip, etika profesi seorang hakim adalah sesuatu yang universal,
artinya dianut, diakui, dan dijumpai dalam sistem hukum Negara, kapan dan
di manapun. Hal itu karena persoalan tersebut terkait masalah nilai-nilai
moral, kebaikan, dan kepatutan yang idealnya memang perilaku dan moral
yang baik itu seharusnya selalu dipegang teguh oleh seorang yang
berprofesi sebagai Hakim dalam menjalankan tugasnya. Bahkan, tidak
106
cukup hanya dijaga, nilai moral tersebut juga harus selalu dibugarkan
(fitnesed) dan dikembangkan dalam mengemban tugasnya. Sedangkan
dalam hukum islam, integritas hakim dilihat dari tokoh umar bin khatab
dimana dalam memutus perkara ia memiliki sikap yang ber intergritas dalam
memutus semua perkara yang ia hadapi.Jika melihat judicial integritas
hakim dalam memutus perkara harus bersikap Adil dan bijaksana. Namun
ketika melihat dari putusan hakim adil bukan berarti sama namun adil harus
menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya.
B. Saran
Disparitas pidana dalam perkara tindak pidana korupsi sebisa mungkin
diminimalisir untuk mencegah tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis
masyarakat terhadap sistem pidana yang ada, kecemburuan sosialdab juga
pandangan negatif oleh masyarkat pada institusi peradilan, yang kemudian
diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegak hukum didalam
masyarakat.Karena hal tersebut, kepercayaan masyarakat semakin lama
menurun pada peradilan, sehingga terjadi kondisi dimana peradilan tidak lagi
dipercaya sebagai rumah keadilan bagi mereka.
107
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Al-ba‟albaki, Munir, al-Maurid al- Muyassar, Qamuz Inklizi-„Arab, kairo: Dar al-„Ilmi li al-
Malayin, 1979.
Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi. Bandung: Mandar Maju.
Azhary, Tahir. 1995.Negara hukum Indonesia. Jakarta: UI press.
Chazawi, Adam. 2002.Pelajaran Hukum Pidana bagian 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Dimyati, Khuzaifah dan Kelik Wardiono.Metode Penelitian Hukum. Surakarta: Fakultas
HUkum UMS.
Echols, John M dan Hasan Shadily.2000.Kamus Inggris Indonesia.Jakarta: Gramedia.
Fadjar, Mukhtie.2005.Tipe Negara Hukum. Malang: Bayu Media Publishing, cet. Ke-2
H. Eddy Djunaidi Karnasudirdja, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan
Narapidana,
H.M.A. Kuffal. 2004. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press.
Hakim, Abdul Aziz.2011. Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hamzah, Andi. 2016. KUHP dan KUHAP. Bandung: Rineka Cipta.
Hamzah, Andy. 1991.Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya.Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Hanim, Muslimah. 2007. Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia.Pekanbaru: UIR Press.
Hardjon.1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia.Surabaya: Bina Ilmu
Harksnowo, Harkristuti. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”. Jakarta: Majalah KHN Newsletter, Edisi
April.
Ibrahim, Johny. 2006.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
Publishing.
Indrayana, Denny. 2008. Negeri Para Mafioso: Hukum Di sarang Korupto.Jakrta: Penerbit
Kompas.
Irfan, M. Nurul.2012. Korupsi dalam hukum pidana Islam.Jakarta: Amzah.
108
Kamil, Sukron. 2013. Korupsi dan Integritas dalam ragam perspektif. Jakarta: Pusat Studi
Indonesia Arab.
Kusnardi, Moh. dan harmaily Ibrahim. 1987. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta: Pusat
Studi HTN FH UI dan CV Sinar Bakti, Cet. Ke- 7.
Kusumaatmadja, Muchtar.1986, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Lembaga Penelitian hukum fakultas Hukum Universitas Padjajaran,
diedarkan oleh penerbit Bina Cipta, Bandung.
Madjid, Nurcholish. 1993. Nilai Identitas Kader dalam pedolam LK 1.Ciputat: HMI
Ciputat.
Madkur ,Muhammad Salam.1993, Peradilan Dalam Islam,Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Manan, Abdul..Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian Dalam Sistem
Peradilan Islam.
Marwan, M dan Jimmy P. 2009.Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher.
Marzuki, Peter Mahmud marzuki. 2011. Penelitian Hukum.Jakarta: kencana.
MD, Moh. Mahfud.1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama
Media.
Mertokusumo, Sudikno. 1993.Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Muhammad al-Zuhaily, Tarikh al-Qada‟,
Mujiran, Paulus. 2004. Republik Para Maling.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni.
Mulyadi, Lilik. 1966.Hukum Acara Pidana – Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Pengadilan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Musthafa, Wildan Suyuthi. 2013.Kode Etik Hakim. Jakarta:Prenademia Group.
Pope, Jeremy. 2003.Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasiona.
Jakrta: Yayasan Obor Indonesia.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum pidana di Indonesia. Bandung: Refika
Aditama.
Rahayu, Yusti Probowati. 2005. Di Balik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum Dalam
Perkara Pidana.Sidoarjo: Citra Media.
Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Gafindo Persada.
Rifa‟I, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif.Jakarta: Sinar Grafika.
109
Sahetapy, J.E. 2009.Runtuhnya Etika Hukum. Jakarta:Kompas.
Sahnun, Ahmad. 1992. Risalatu al-Qada‟ Li Amir Khattab. Maroko: Wizarat al-Auqf wa
al-Syu‟un al-Islam al-Mu‟minin Umar bin al-iyyah.
Salfutra, Reko Dwi. 2018. Analisa Disparitas dan Rendahnya Vonis Perkara Korupsi
Di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Pangkal Pinang.Jakarta: Direktorat
Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Santoso, Agus. 2012. Hukum Moral dan Keadilan sebuah Kajian Filsafat Hukum.Jakarta:
Prenademia Group.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari‟at dalam
Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press.
Shidarta, 2013Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum.Yogyakarta: Genta.
Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia
Grafika. cet.3.
Soesilo, R. 1996.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politea.
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni
Supriadi 2006.Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia.Jakarta: Sinar grafika.
Sutiyoso, Bambang.2006Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Sutrisno dan yulianingsih wiwin. 2016. Etika Profesi Hukum. Surabaya: Andi Offset.
Syamsuddin, Nurcholis. 2012. Prospektif Peran Hakim Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman Pasca Diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Semarang: September.
Syarif, Laode M dan Didik E. Purwoleksono.Hukum Anti Korupsi.USAID, Kemitraan dan
Asia Foundation.
Talli, Abdul Halim. Asas-Asas Peradilan Dalam Risalah Al-Qada.
Tarikh al-Qada‟ fi al-Islam,
Tutik, Titik Triwulan. 2007.Eksistensi Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial sebagai
Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945.Jakarta: Prestasi Pustaka.
Widoyoko, Danang. 2008. Menyingakp Tabir Mafia Keadilan. Jakarta: ICW.
Yatim, Badra. 1997.Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Yunas, Didi Azmi. 1990. Konsespsi Negara Hukum. Padang: Angkasa Raya Padang.
110
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Jurnal
Achjani, Eva. Proporsionalitas Penjatuhan pidana, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun
ke-41 No. 2 April-Juni 2011.
Halimah, siti, 2017. Integritas Hakim Indonesia, Adalah Buletin Hukum & Keadilan, Vol. 1,
No. 8, Februari
Jurnal kode etik hakim
Muslihin Rais, Al-Daulah, (Vol. 6, No. 1, Juni 2017)
Putri Hikmawati,”Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju
Keadilan Restoratif”, Negara Hukum, VII, 1 (Juni,2016)
Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Al-Manufi
Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Mesir: Mushthafa Al-Bab Al-Halabi wa
Auladuh, 1938, jilid VIII,
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sinar
Grafika. 2004
x.mHertoni Marscellino, Independensi Hakim dalam Mencari Kebenaran Materiil, Lex
crimen, vol.V, Januari 2016, no 1.
Yusuf al-Qarḍawị. 1980. al-Halalwa al-Haram fi al-Islam. Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah.
Website
http://digilib.uinsgd.ac.id/9984/5/ Bab2.pdf,14-oktober2019
Jurnal kode etik hakim.
http://sitimaryamnia.blogspot.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html diunggah
oleh Siti maryam SH., MH. Diakses pada tanggal 12 oktober 2013 pukul 18.00 WIB