Preterm

103
KELAHIRAN PRETERM Berat lahir rendah adalah terminologi yang digunakan untuk menyebut bayi-bayi yang dilahirkan terlalu kecil, dan kelahiran prematur atau preterm adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bayi yang dilahirkan terlalu dini. Sebelum abad terakhir ini, ketika ungkapan kelahiran prematur pertama kali digunakan, bayi yang dilahirkan sebelum aterm biasanya disebut sebagai “bayi lemah” atau bayi yang lemah bawaan” (Cone, 1985). Memang, sebelum tahun 1872, bayi tidak selalu ditimbang saat lahir baik cukup bulan atau kurang bulan. Pada 1900, Ransom menulis bahwa di Amerika Serikat “...di antara ri- buan bayi prematur yang lahir ...kebanyakan dilahirkan dengan tenang dengan .... sedikit, kalau ada, upaya yang dilakukan untuk menyelamatkannya.” Dalam edisi pertama buku ini, Williams (1903) menulis: “Pada umumnya, bayi prematur yang beratnya kurang dari 1500 g (3 lbs 3 oz) praktis tidak mempunyai kesempatan untuk hidup, meskipun kasus-kasus yang luar biasa pemah dilaporkan.” Ketika abad ke-20 berjalan terus, timbul kesadaran yang semakin besar bahwa bayi-bayi preterm memerlukan perawatan khusus, terbukti dengan dikembangkannya inkubator dan tempat perawatan bayi intensif. Prematuritas menjadi tampak jelas secara nasional sebagai penyebab kematian bayi tersering ketika sudah tersedia statistik seluruh

Transcript of Preterm

Page 1: Preterm

KELAHIRAN PRETERM

Berat lahir rendah adalah terminologi yang digunakan untuk menyebut bayi-

bayi yang dilahirkan terlalu kecil, dan kelahiran prematur atau preterm adalah istilah

yang digunakan untuk menyebut bayi yang dilahirkan terlalu dini. Sebelum abad

terakhir ini, ketika ungkapan kelahiran prematur pertama kali digunakan, bayi yang

dilahirkan sebelum aterm biasanya disebut sebagai “bayi lemah” atau bayi yang

lemah bawaan” (Cone, 1985). Memang, sebelum tahun 1872, bayi tidak selalu

ditimbang saat lahir baik cukup bulan atau kurang bulan. Pada 1900, Ransom

menulis bahwa di Amerika Serikat “...di antara ribuan bayi prematur yang

lahir ...kebanyakan dilahirkan dengan tenang dengan .... sedikit, kalau ada, upaya

yang dilakukan untuk menyelamatkannya.” Dalam edisi pertama buku ini, Williams

(1903) menulis: “Pada umumnya, bayi prematur yang beratnya kurang dari 1500 g (3

lbs 3 oz) praktis tidak mempunyai kesempatan untuk hidup, meskipun kasus-kasus

yang luar biasa pemah dilaporkan.” Ketika abad ke-20 berjalan terus, timbul

kesadaran yang semakin besar bahwa bayi-bayi preterm memerlukan perawatan

khusus, terbukti dengan dikembangkannya inkubator dan tempat perawatan bayi

intensif. Prematuritas menjadi tampak jelas secara nasional sebagai penyebab

kematian bayi tersering ketika sudah tersedia statistik seluruh negeri dengan revisi

akte kelahiran pada 1949, yang secara khusus menyebutkan usia gestasi dan berat

lahir.

Akhir-akhir ini, angka kematian bayi sudah menjadi tolok ukur perbandingan

sistem perawatan kesehatan internasional. Sebagai contoh, pada tahun 1995 Amerika

Serikat berada di peringkat 25 dunia di bawah Jepang, Singapura, Jerman, dan

sebagian besar negara-negara Skandinavia (National Center for Health Statistics,

1999). Negara-negara dengan angka kelahiran preterm yang lebih tinggi mempunyai

angka kematian bayi yang lebih tinggi. Selain itu, di Amerika Serikat, orang Amerika

Afrika amat rentan terhadap pelahiran preterm dan kematian bayi. Seperti yang

diperlihatkan pada Tabel 27-1, lebih dari 28.000 bayi meninggal pada tahun 1998 di

Amerika Serikat, dan 66 persen di antaranya meninggal dalam waktu 4 minggu

Page 2: Preterm

setelah lahir. Selain itu, kelahiran preterm sekurang-kurangnya menyebabkan dua

pertiga kematian bayi dini ini.

Sachs dkk. (1995) secara logis meragukan perbandingan angka kematian bayi

intemasional, karena mereka menemukan perbedaan regional dan internasional yang

amat besar dalam cara penggolongan kelahiran preterm.

TABEL 27-1. Angka Kematian Bayi di Amerika Serikat tahun 1998

Bayi Angka per 100.000 kelahiran hidup

Total kelahiran hidupKematian bayi0-27 hari28 hari-1 tahun

3.944.04628.486 (100%)18.832 (66%)9.654 (35%)

__722477245

Disadur dari Martin dkk (1999)

DEFINISI

Pada tahun 1935, American Academy of Pediatrics mendefinisikan

prematuritas sebagai bayi yang lahir hidup dengan berat badan 2500 g atau kurang

(Cone, 1985). Kriteria ini digunakan luas sampai didapatkan adanya ketidaksesuaian

antara usia gestasi dan berat lahir akibat pertumbuhan janin yang terhambat. Badan

Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1961 menambahkan usia gestasi sebagai satu

kriteria bayi prematur, yaitu bayi yang lahir pada usia gestasi 37 minggu atau kurang.

Dibuat pembedaan antara berat badan lahir rendah (2500 g atau kurang) dan

prematuritas (37 minggu atau kurang).

TABEL 27-2. Kelahiran Hidup di Amerika Serikat Tahun 1998 Berdasarkan Usia Gestasi saat Pelahiran

Usia genetasi Kelahiran hidup PersenTotal36 minggu atau kurang

< 28 minggu28-31 minggu2-35 minggu36 minggu

37-39 minggu 40 minggu41 minggu42 minggu

3.941.553452.27529.03747.486212.210163.542

1.859.198853,416443.502292.766

100110,71,2544722117

Disadur dari Ventura dkk (2000)

Page 3: Preterm

Lembaga lain telah mengusulkan bahwa kelahiran preterm didefinisikan

sebagai bayi yang dilahirkan sebelum lengkap 37 minggu (American College of

Obstetricians and Gynecologist, 1995).

Dengan semakin membaiknya perawatan bayi prematur, dikembangkan

definisi-definisi lain. Sebagai contoh, Collaborative Group on Antenatnl Steroid

Therapy (1981) melaporkan bahwa jumlah angka kematian dan morbiditas serius

yang amat besar akibat kelahiran preterm ditemukan sebelum 34 minggu. Lebih

lanjut, berat badan lahir rendah, yang didefinisikan sebagai kurang dari 2500 g,

sekarang telah dimodifikasi untuk menyatakan berat badan lahir sangat rendah, yaitu

bayi dengan berat badan 1500 g atau kurang; dan berat badan lahir rendah ekstrim,

yaitu bayi yang berberat 1000 g atau kurang. Seperti yang disajikan pada Tabel 27-2,

hampir 90 persen kelahiran hidup di Amerika Serikat terjadi pada usia gestasi 37

minggu atau lebih, dan semakin sedikit ditemukan kelahiran dengan usia kehamilan

yang kurang pada saat lahir. Kontribusi kehamilan multipel yang sangat besar

terhadap kelahiran preterm dibahas di Bab 30 (hal. 852).

Di banyak negara industri, termasuk Amerika Serikat (Gambar 27-1),

proporsi bayi yang dilahirkan sebelum aterm telah meningkat dalam 20 tahun

terakhir Qoseph dkk., 1998). Di Kanada, misalnya, kelahiran pada usia gestasi 36

minggu atau kurang meningkat dari 6,3 persen pada tahun 1981 menjadi 6,8 persen

pada 1992. Peningkatan kelahiran preterm ini dikaitkan dengan perubahan pada

frekuensi kelahiran multipel, peningkatan intervensi obstetris, meningkatnya

Page 4: Preterm

pemastian kelahiran preterm dini, dan semakin banyak digunakannya ultrasonografi

untuk memperkirakan usia gestasi (Joseph dkk., 1998). Faktor-faktor serupa pasti

berlaku terhadap peningkatan kelahiran preterm yang terjadi di Amerika Serikat.

Angka Berat Lahir Rendah (Bayi dengan berat lahir <2500 gram per 1000 kelahiran hidup)

Gambar 27-2. Angka kematian neonatal dikaitkan dengan berat lahir rendah di 50 negara bagian dan Washington, DC. (Dari Paneth, 1995, dengan izin).

Makna berat badan lahir rendah, yang hampir setara dengan kelahiran

sebelum 37 minggu, sebagai prediktor kematian bayi dalam 28 hari kelahiran

(kematian neonatal), diperlihatkan pada Gambar 27-2. Angka kematian neonatal per

negara bagian dinyatakan berbanding lurus terhadap pelahiran bayi dengan berat

badan lahir rendah. Negara bagian yang mempunyai populasi penduduk kota besar,

atau banyak terdapat kemiskinan, mempunyai insiden yang paling tinggi. Untuk

menjawabnya, Amerika Serikat mengembangkan program asuransisosial Medicaid

secara besar-besaran pada tahun 1986 dengan sasaran memperbanyak layanan

pranatal dan layanan kesehatan lain untuk wanita hamil (Dubay dkk., 1995).

Demikian pula, pemerintah federal juga memulai Healthy Start Program pada 1991

untuk 15 daerah perkotaan dengan angka kematian bayi paling buruk.

Berdasarkan usia gestasinya,janin atau bayi dapat disebut preterm (kurang

bulan), aterm (cukup bulan), atau posterm (lewat bulan). Berdasarkan besamya, janin

Page 5: Preterm

atau bayi tersebut mungkin tumbuh normal atau sesuai untuk masa kehamilannya

(SMK), berukuran kecil atau kecil untuk masa kehamilannya (KMK), atau tumbuh

lebih besar atau besar untuk masa kehamilannya (BMK). Pada tahun-tahun terakhir,

istilah kecil untuk masa kehamilannya sudah digunakan secara luas untuk

menggolongkan seorang bayi yang berat lahimya biasanya di bawah persentil ke-10

untuk usia gestasinya. Terminologi yang juga sering digunakan antara lain retardasi

pertumbuhan janin atau retardasi pertumbuhan intrauterin. Dalam 5 tahun

belakangan ini, istilah restriksi (hambatan) telah banyak menggantikan retardasi,

karena retardasi secara salah mengandung makna keterlambatan mental daripada

hanya sekedar pertumbuhan janin suboptimal yang dimaksudkan (Bab 29, hal. 828).

Bayi yang berat lahirnya di atas persentil ke-90 digolongkan sebagai besar untuk

masa kehamilannya, dan bayi yang berat badannya antara persentil 10 dan 90 disebut

sebagai sesuai untuk masa kehamilannya. Dengan demikian seorang bayi yang

dilahirkan sebelum aterm dapat kecil atau besar untuk masa kehamilannya dan masih

preterm (kurang bulan) menurut usia gestasi kronologis. Selain itu, beberapa bayi

preterm juga sudah mengalami hambatan pertumbuhan in utero. Perlu dikenali bahwa

bayi-bayi yang mengalami pertumbuhaq in utero subnormal juga sering dimasukkan

sebagai kelahiran preterm. Pertumbuhan janin terhambat dibahas di Bab 29 dan bab

ini akan berfokus pada kelahiran preterm yang masalah utamanya hanya berupa

pelahiran sebelum maturasi lengkap. Yang ditampilkan di dalam Tabe129-1 adalah

persentil berat lahir untuk setiap minggu gestasional antara usia 20 sampai 44

minggu, yang mungkin membantu untuk memperkirakan apakah berat lahir bayi

preterm subnormal atau berlebih.

DAMPAK KELAHIRAN PRETERM

Pendekatan obstetris terhadap persalinan dan pelahiran preterm sebagian

besar dipandu dengan harapan yang dimiliki ahli kebidanannya mengenai

kemungkinan harapan hidup neonatus prematur serta alternatif terapi yang tersedia

untuk penatalaksanaan persalinan preterm (Bottoms dkk., 1997). Fakta bahwa

beberapa bayi yang sangat kecil akan bertahan hidup bila tersedia perawatan intensif

yang sangat mahal dan lama telah menciptakan masalah yang serius dalam

pengambilan keputusan. Ahli kebidanan menghadapi tantangan untuk membuat

Page 6: Preterm

pelahiran sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan status janin bayi saat lahir

sekiranya akan diberikan perawatan intensif. Ahli neonatologi pada gilirannya harus

mengambil keputusan mengenai bagaimana sebaiknya menyalurkan sumber daya

perawatan medis yang terbatas yang diberikan oleh perusahaan asuransi, keluarga,

badan pemerintah, rumah sakit, dan tim perawatan kesehatan.

Selain ketahanan hidup, masalah penting lainnya adalah kualitas hidup yang

dicapai oleh bayi yang cukup imatur dan memiliki berat badan lahir rendah ekstrem.

Tampak jelas bahwa ancaman yang lumayan besar baik fisik maupun intelektual

menimpa anak-anak semacam ini. Dengan memperhatikan hal-hal ini, pada usia

gestasi berapa seharusnya dilakukan intervensi obstetris? Meskipun kita tidak

mungkin menetapkan dengan tepat batas ketahanan hidup paling awal untuk

neonatus, faktor-faktor tertentu tak pelak lagi berdampak pada proses pengambilan

keputusan klinis.

Persepsi obstetris mengenai viabilitas mungkin mempengaruhi ketahanan

hidup bayi-bayi dengan berat badan lahir rendah ekstrem. Amon dkk. (1992) serta

Bottoms dkk. (1997) menyurvei para ahli obstetri Amerika untuk menentukan opini

klinis mereka mengenai penatalaksanaan intrapartum pada janin preterm berat yang

perlu dilahirkan. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin intrapartum dimulai

pada minggu ke-23, 24, dan 25 oleh masing-masing 10,45, 65 persen responden.

Seksio sesarea tidak dilakukan pada kehamilan kurang dari 24 minggu atau berat

janin kurang dari 500 g. Hampir 90 persen responden bersedia melakukan seksio

sesarea atas indikasi gawat janin atau presentasi bokong pada usia gestasi 26 minggu

atau berat janin 750 g. Penatalaksanaan pelahiran sebelum minggu ke-26, atau untuk

janin yang beratnya kurang dari 750 g, berbeda-beda dan bersifat individual.

Haywood dkk. (1994) menemukan bahwa para dokter terlalu rendah menilai

ketahanan hidup dan angka harapan hidup bebas kecacatan, khususnya pada bayi

yang dilahirkan antara minggu ke-23 dan 29. Doron dkk. (1998) menganalisis

keputusan-keputusan di ruang pelahiran oleh para ahli neonatologi untuk

memberikan atau tidak memberikan resusitasi bagi 41 bayi yang dilahirkan antara 23

dan 26 minggu gestasi. Mereka menyimpulkan bahwa ruang pelahiran bukan tempat

Page 7: Preterm

yang paling baik untuk memutuskan menahan pemberian bantuan hidup dan bahwa

keputusan ini paling baik dibuat kemudian di bagian neonatus.

Perlu ditekankan bahwa keputusan obstetris untuk tidak melakukan seksio

sesarea atau melakukan pemantauan intrapartum tidak harus menyatakan bahwa

janinnya “tidak viabel” atau “dianggap “tidak ada lagi”. Sebagai contoh, Kitchen

dkk. (1992) menganalisis hasil akhir bayi-bayi lahir hidup yang berberat 500 sampai

999 g dan menemukan bahwa meskipun 50 persen bayi bertahan hidup dan hanya 7

persen yang cacat berat, hasil akhir ini tidak berkaitan dengan keputusan

menggunakan seksio sesarea atau pemantauan elektronik.

Persepsi mengenai potensi ketahanan hidup hampir selalu dikacaukan oleh

kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh usia gestasi yang tidak diketahui secara

tepal. Sebagian besar data ketahanan hidup didasarkan pada berat lahir, yang dapat

sangat bervariasi antara minggu ke-24 dan 26. Misalnya, berat badan bayi-bayi yang

dilahirkan antar 24 dan 26 minggu dapat bervariasi dari 435 g hingga 1640 g

(Alexander dkk., 1996). Kematian dan morbiditas perinatal berkurang secara nyata

dari minggu gestasi ke-24 sampai 26. Memang, angka ketahanan hidup meningkat

dari sekitar 20 persen pada minggu gestasi ke-24 menjadi 50 persen pada 25 minggu,

atau peningkatan hampir 4 persen setiap hari. Demikian pula, morbiditas perinatal

yang serius juga menurun nyata setiap hari dari minggu gestasi ke-24 sampai 26.

Secara klinis, hubungan dengan hasil kelahiran yang membaik secara nyata dari hari-

ke-hari ini sangat penting ketika memutuskan penatalaksanaan obstetrik pada batas

terbawah usia gestasi.

TABEL 27-3. Angka Ketahanan Hidup berdasarkan Berat Lahir untuk 14.733 Bayi yang

Lahir di Parkland Hospital pada 1999

Berat lahir(9)

Kelahiran hidup(Jumlah)

Kematian neonatal(Jumlah)

Ketahanan hidup(%)

500-750751-10001001-12501251-17501501-17501751-20002001-25002501-3000

3452545282138667

2.488

2066333113

41858994969898

99.9

Page 8: Preterm

3001-35003501-4000

>4000Total

5.6954.0711400

14.733

31261

99.910010099.6

Angka ketahanan hidup yang terkait dengan berat lahir untuk kelahiran hidup

selama 1999 di Parkland Hospital diperlihatkan di Tabel 27-3. Data ketahanan hidup

untuk bayi 500 sampai 1500 g amat mirip dengan angka-angka yang dilaporkan oleh

Fanaroff dkk. (1995) unhik Neonatal Research Network yang disponsori National

Institntes of Health (NIH). Kemungkinan harapan hidup meningkat jelas pada berat

lahir tepat atau di atas 1000 g. Data ini menunjukkan bahwa bayi-bayi dengan berat

500 sampai 750 g mungkin hidup. Banyak di antara bayi dengan berat lahir rendah

ekstrem ini mengalami hambatan pertumbuhan sehingga lebih matur. Sebagai

contoh, bayi 380 g yang bertahan hidup pernah dilaporkan, tetapi umur gestasinya

terkonfirmasi 25'“ minggu (Ginsberg dkk., 1990). Jelaslah, harapan untuk ketahanan

hidup neonatus terutama dipengaruhi oleh usia gestasi dan maturitas dan bukan

hanya oleh berat lahir saja.

768

BAGIAN VII KOMPLIKASI YANG UMUM PADA KEHAMILAN

Probabilitas Kematian

__.__ Ramalan ……l….. Sebenarnya

Gambar 27-3. Probabilitas kematian neonatal sebelum keluar dari rumah sakit pada 3386 kelahiran pada usia gestasi antara 20 sampai 37 minggu. Kurva ramalan angka kematian berfungsi untuk menghaluskan titik-titik data. (Dan Copper dkk., 1993, dengan izin.)

Page 9: Preterm

BATAS BAWAH KETAHANAN HIDUP. Garis batas ketahanan hidup bayi secara

progesif telah terus terdorong ke kehamilan yang lebih muda terutama karena inovasi

yang terus-menerus di bidang perawatan neonatal intensif. Copper dkk. (1993)

menghimpun angka kematian neonatal yang spesifik terhadap usia gestasi terhadap

3386 bayi lahir hidup yang didaftarkan secara prospektif ke dalam March of Dimes

Multicenter Preterm Birth Prevention Project antara tahun 1982 dan 1986.

Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 27-3, kematian neonatal menurun dari 100

persen pada minggu ke-23 menjadi sekitar 10 persen pada usia gestasi 29 minggu

dengan sedikit perbaikan tambahan sampai minggu ke-34. Angka kematian yang

hampir identik pada 2678 bayi lahir hidup yang dilahirkan di Inggris antara 1990

sampai 1993 dilaporkan olch Rutter (1995). Periode gestasi antara 23 sampai 25

minggu menimbulkan dilema yang paling besar bagi ahli kebidanan maupun dokler

anak. Seperti yang diperlihatkan di Gambar 27-3, kemungkinan kematian neonatal

sebelum minggu ke-26 lebih dari 75 persen. Stevenson dkk. (1998) melaporkan hasil

berat lahir rendah yang serupa berdasarkan kohort sejak lahir dari NICHD Neonatal

Research Network pada tahun 1993 dan 1994. Berdasarkan atas “penetapan usia

gestasi terbaik secara obstetrik”, angka kematian, morbiditas berat pada bayi, atau

keduanya, amat besar sebelum minggu gestasi ke-26 dan hampir universal sebelum

usia gestasi 24 minggu. Bottoms dkk. (1999), untuk NICHD Maternal-Fetal

Medicine Units Network, menyimpulkan bahwa pada bayi baru lahir dengan berat

badan kurang dari 1000 g, penilaian ultrasonografik terhadap panjang femur janin

atau usia gestasi merupakan alat paling prediktif untuk mortalitas neonatal.

HASIL AKHIR JANGKA PANJANG. Meskipun hanya sedikit bayi dengan berat

lahir di bawah 750 g yang diterapi secara aktif pada tahun 1970-an, sejak tahun 1980-

an, terapi seperti ini sering dipraktikkan untuk bayi-bayi yang mempunyai berat lahir

kurang dari 500 g dan yang lahir pada usia gestasi 24 minggu atau lebih (Hack dkk.,

1994). Angka morbiditas neonatal yang cukup linggi pada bayi-bayi yang sangat

kecil ini, dan kemungkinan hidup normalnya, harus dijadikan pertimbangan bagi

keberhasilan kelahanan hidupnya. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 27-4, di

antara bayi-bayi baru lahir dengan berat lahir 501 sampai 1500 g di National

Instititute Of Child Health and Human Development (NICHD) Neonatal Research

Page 10: Preterm

Network Centers, angka kematian dan morbiditas mayor pada yang bertahan hidup

menurun dari lahun 1988 sampai 1994, tetapi keduanya terjadi pada setengah

neonatus dengan berat lahir 501 sampai 750 g. Allen dkk. (1993) menjabarkan hasil

akhir hingga 6 bulan setelah lahir dari bayi-bayi yang dilahirkan pada usia gestasi 22

sampai 25 minggu serta dibantu dengan perawatan intensif secara agresif. Tidak ada

bayi yang dilahirkan pada minggu ke-22 mampu bertahan hidup, dan praktis semua

yang dilahirkan pada usia gestasi 23 sampai 24 minggu dan bertahan hidup

mempunyai kelainan otak yang signifikan (Tabel 27-4). Mereka menyimpulkan

bahwa apakah bayi yang dilahirkan pada usia gestasi 23 atau 24 minggu dan sehat

dapat membenarkan angka kematian dan morbiditas yang mayoritas amat besar

merupakan pertanyaan yang harus dibahas oleh orang tua, pemberi layanan

perawatan kesehatan, dan masyarakat. Yang lebih baru, Wood dkk. (2000)

mengkonfirmasi data ini dalam sebuah penelitian serupa dari lnggris.

Page 11: Preterm

TABEL 27-4. Hasil Akhir Bayi Lahir Hidup yang Dilahirkan pada Usia Gestasi antara 22 sampai 25 minggu dan diberi Perawatan Intensif

Minggu gestasi Kelahiran hidup Hidup 6 bulan (%)Bayi tanpa

abdnormalitas otak yang berat (%)

22232425

29403439

06 (15)19 (56)31 (79)

__1 (3)7 (21)28 (72)

*pendarahan intraventrikel atau leukomalasia perivenkular tingkat III atau IVDari Allen dkk (1993), dengan izin

Beberapa kelompok peneliti telah mencoba mengukur hasil akhir jangka

panjang dari bayi-bayi yang dilahirkan pada batas ketahanan hidup sepanjang tahun

1980-an. Whyte dkk. (1993) secara prospektif mengikuti 321 bayi yang dilahirkan di

rumah sakit mereka pada usia gestasi antara 23 dan 26 minggu selama minimum 2

tahun. Tidak ada bayi yang dilahirkan pada usia gestasi 23 minggu dan bertahan

hidup, serta hanya 6 persen di antara bayi yang dilahirkan pada minggu ke-24 dapat

hidup dan tidak mengalami morbiditas serius jangka panjang. Sekitar separuh di

antara bayi yang dilahirkan pada minggu ke-25 dan 26 selamat sampai berumur

minimal 2 tahun. Doyle dkk. (1994) mengikuti bayibayi yang dilahirkan pada usia

gestasi 24 sampai 26 minggu selama 5 tahun atau lebih. Lebih sedikit lagi bayi (kira-

kira 20 persen) yang bebas total dari gangguan dengan interval kehidupan yang lebih

lama. Hack dkk. (1994) rneneliti kesehatan dan hasil tumbuh kembang pada usia

sekolah dini 68 anak dengan bcrat badan lahir kurang dari 750 g dan dilahirkan pada

1982 sampai 1986. Mereka menyimpulkan dari penelitian mereka yang unik bahwa

anak-anak yang memiliki beral lahir di bawah 750 g dan bertahan hidup “mengalami

kekurangan yang serius pada setiap ketrampilan yang diperlukan untuk kinerja yang

adekuat.” Secara spesifik, 45 persen yang bertahan hidup tersebut memerlukan

fasilitas pendidikan khusus, 21 persen mempunyai angka inleligensia (IQ) subnormal

(kurang dari 70), dan banyak yang mengalami pertumbuhan serta kemampuan visual

subnormal. Rutter (1995) menyimpulkan dalam tinjauannya tentang hasil akhir pada

bayi yang sangat preterm bahwa resusitasi lengkap dan perawatan intensif harus

selalu diberikan pada bayi yang lahir dengan usia gestasi 26 minggu, boleh diberikan

Page 12: Preterm

pada bayi yang lahir di minggu ke-25, dan bisa diberikan pada bayi yang lahir

dengan usia gestasi 24 minggu, tetapi tidak perlu pada bayi yang lahir di minggu ke-

23 atau kurang.

Vohr dkk. (2000) menilai hasil akhir fungsional dan perkembangan saraf pada

usia terkoreksi 18 sampai 22 bulan di antara 1151 bayi (dengan berat lahir 401

sampai 1000 g) yang bertahan hidup dan dirawat di 12 pusat NICHD Neonatal

Research Net-work yang ikut serta dan dilahirkan pada tahun 1993 dan 1994. Hanya

separuh di antara 1151 bayi yang bertahan hidup mempunyai basil kajian

perkembangan saraf dan sensorik yang normal, dan mereka yang mempunyai berat

lahir lebih rendah mempunyai hasil akhir yang jelas lebih buruk seperti yang

diramalkan dengan penyakit paru kronis, perdarahan intraventrikel tingkat 3 dan 4,

serta leukomalasia periventrikular.

Wood dkk. (2000) melaporkan hasil-hasil dari EPI Cure Study Group di

Inggris. Mereka melakukan evahlasi mental dan psikomotor secara teliti dengan

median 30 bulan pada 283 bayi hidup yang dilahirkan pada usia gestasi 25 minggu

lengkap atau kurang. Ketahanan neurologis bayi tanpa kecacatan dilaporkan pada 1

di antara 138 bayi yang dilahirkan dalam minggu ke-22; 11 di antara 241 (5 persen)

dalam minggu ke-23; 45 di antara 382 (12 persen) dalam minggu ke-24; dan 98 di

antara 424 (23 persen) yang dilahirkan dalam minggu ke-25.

BATAS ATAS PREMATURITAS YANG SIGNIFIKAN. Bukan hanya batas bawah

untuk ketahanan hidup neonatus yang telah didorong pada kehamilan lebih dini,

tetapi ketahanan hidup bayi-bayi preterm yang lebih besar telah menjadi sama

baiknya dengan bayi-bayi aterm. Apakah ada ambang berat lahir dan usia kehamilan

yang menyebabkan lidak lagi ada alasan untuk menunda pelahiran pada nilai di atas-

nya? Dalam upaya menjawab pertanyaan ini, Robertson dkk. (1992) menganalisis

basil akhir neonatus antara tahun 1983 dan 1986 dari lima pusat perawalan tersier di

Amerika Serikat. Teridentitikasi total 20.680 kehamilan yang usia gestasinya

ditentukan dengan cermat tanpa penyulit seperti diabetes atau hipertensi. Sebagian

besar ambang yang didefinisikan sebagai minggu gestasi ketika angka kejadian

komplikasi akibat pelahiran preterm tidak dapat dibedakan dari bayi-bayi aterm

adalah antara 32 dan 34 minggu. Sindrom gawat napas, meskipun menurun tajam

Page 13: Preterm

pada usia gestasi antara 33 dan 34 minggu (31 menjadi 73 persen), masih timbul pada

sekitar 6 persen kelahiran antara minggu ke-35 sampai 38. DePalma dkk. (1992)

menemukan bahwa ambang berat lahir yang menyebabkan kematian neonatus di

Parkland Hospital adalah 1600 g, dan ambang untuk morbiditas neonatal akibat

penyulit pelahiran preterm adalah sekitar 1900 g. Mereka menyimpulkan bahwa

upaya obstetrik yang agresif untuk mencegah kelahiran preterm pada bayi yang

berberat lebih dari 1900 g menawarkan beberapa keuntungan yang jelas.

DAMPAK EKONOMI KELAHIRAN PRETERM. Biaya yang digunakan untuk

merawat bayi berat lahir rendah merupakan salah satu ukuran beban nasional pada

kelahiran preterm. Biaya ini disajikan pada Tabel 27-5. Jumlah kelahiran yang sedikit

di Amerika Serikat (kira-kira 7 persen) menghabiskan lebih dari sepertiga

pengeluaran perawatan kesehatan pada tahun pertama kehidupan. Secara individual,

tidak jarang bayi-bayi amat kecil yang bertahan hidup membutuhkan biaya

perawatan yang mencapai beberapa ribu dolar (Walker dkk., 1984). Biaya lebih dari

7 juta dolar mungkin diperlukan bagi mereka yang dirawat di rumah sakit selama 1

lahun atau lebih. Selain itu, karena hasil-hasil jangka panjang yang sudah diuraikan

di atas, biaya tambahan untuk cacat perkembangan diperlukan sepanjang sisa masa

kanak-kanak bagi banyak bayi.

Baru-baru ini, St. John dkk. (2000) menggunakan suatu model analisis biaya untuk

menentukan bahwa 12 persen biaya perawatan neonatal awal di Amerika Serikat

dihabiskan oleh bayi-bayi yang lahir pada usia gestasi antara 24 dan 26 minggu pada

tahun 1989 sampai 1992 dan bahwa-a 43% dihabiskan untuk bayi-bayi yang lahir

pada minggu gestasi ke-37 atau lebih.

TABEL 27-5. Biaya Perawatan Kesehatan pada Tahun Pertama Kehidupan berdasarkan Berat Lahir, Amerika Serikat, 1988

Kelompok Berat Lahir

Jumlah Kelahiran (%)

Biaya per kelahiran

Biaya total untuk

kelompok

Persentase biaya

perawatan kesehatan bayi

≥ 2500 g < 2500 g < 1500 g

3.600.000 (93)271.000(7) 57.000 (1,4)

$1.900$ 15.000 $32.000

$ 7,4 miliar$ 4 miliar$ 1,8 miliar

65516

Dari Lewit dkk (1995), dengan izin

Page 14: Preterm

KAUSA KELAHIRAN PRETERM

Suatu spektrum luas penyebab dan faktor demografik telah dikaitkan dengan

kelahiran bayi preterm (Tabel 27-6).

KOMPLIKASI MEDIS DAN OBSTETRIS. Meis dkk. (1995b,1998) menganalisis

kausa pelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu pada sebuah studi populasi

kehamilan tunggal yang dilakukan di NICHD Maternal-Fetal Medicine Units

Network. Sekitar 28 persen kelahiran preterm diindikasikan disebabkan oleh

preeklamsia (43 persen), gawat janin (27 persen), pertumbuhan janin terhambat (10

persen), ablasio plasenta (7 persen), dan kematian janin (7 persen). Tujuh puluh dua

persen sisanya disebabkan oleh persalinan preterm spontan dengan atau tanpa pecah

ketuban. Ibu dengan plasenta previa dan kehamilan multipel, yang keduanya sering

disertai dengan kelahiran preterm, disingkirkan dari analisis ini.

FAKTOR GAYA HIDUP. Perilaku seperti merokok, gizi buruk dan penambahan

berat badan yang kurang baik selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti

kokain atau alkohol telah dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian dan

hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah. Beberapa efek ini tidak diragukan lagi

disebabkan oleh pertumbuhan janin terhambat (Bab 29, hal. 828) serta kelahiran

preterm. Namun, Hickey dkk. (1995) telah memperlihatkan bahwa penambahan berat

badan pranatal ibu yang rendah secara spesifik berkaitan dengan peningkatan risiko

kelahiran preterm.

TABEL 27-6. Kausa Kelahiran Preterm pada Usia Gestasi 23 sampai 36 Minggu

pada 50 Kehamilan Berturutan

Penyebab PersenPlasenta previa aiau solusio plasenta Irifeksi cairan amnion Imunologis-cth., sindrom antibodi antotosdolipidInkompetensi serviksUterus-anomali, hidramnion, fibroiMatemal-preeklamsia, intoksikasi obatTrauma atau pembedahanAnomali janinTanpa kausa

503830161410864

Beberapa ibu memiliki lebih dari satu kausa yang teridentifikasi Dari Lettelri dkk (1993), dengan izin

Page 15: Preterm

Penyalahgunaan alkohol tidak hanya dikaitkan dengan kelahiran preterm

melainkan juga dengan peningkatan risiko cedera otak pada bayi-bayi prematur yang

amat tinggi (Holzman dkk., 1995). DiFronza dan Lew (1995) mengulas kebiasaan

merokok sepanjang kehamilan dan melaporkan bahwa konsumsi tembakau

bertanggung jawab atas 32.000 sampai 61.000 bayi berat lahir rendah setiap tahunnya

di Amerika Serikat.

Faktor ibu lainnya yang dikaitkan adalah umur ibu yang muda (Satin dkk.,

7994), kemiskinan (Meis dkk., 1995b), perawakan pendek (Kramer dkk., 1995), dan

faktor-faktor pekerjaan (Henriksen dkk., 1995; Luke dkk., 1995).

Faktor gaya hidup lain yang secara intuitif tampak penting namun belum

pernah diteliti secara formal adalah stres psikologis pada ibu. Hedegaard dkk. (1993)

melakukan sebuah penelitian tindak lanjut prospektif tentang ukuran stres psikologis

dengan menggunakan kuesioner pada 5872 wanita dengan kehamilan tunggal.

Ditemukan hubungan langsung antara stres psikologis pada minggu gestasi ke-30 dan

pelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu. Peacock dkk. (1995) juga menemukan hu-

bungan antara stres psikologis dan kelahiran preterm. Copper dkk. (1996), dari

NICHD Maternal-Fetal Medicine Units Network Pretrrnn Prediction Study,

melaporkan bahwa slres pada ibu disertai dengan kelahiran preterm spontan pada

usia gestasi kurang dari 35 minggu, setelah karakterislik demografik dan perilaku ibu

disesuaikan.

FAKTOR GENETIK. Telah diamati selama bertahun-tahun bahwa pelahiran

preterm merupakan suatu kondisi yang terjadi secara familial. Observasi ini ditambah

sifat kelahiran preterm yang berulang dan prevalensinya yang berbeda antar-ras telah

menimbul dugaan adanya penyebab genetik persalinan preterm. Hoffman dan Ward

(1999) tclah membuat tinjauan akan kemungkinan faktor-taktor genetik yang

dicurigai pada pelahiran preterm.

INFEKSI CAIRAN AMNION DAN KORIOAMNION. Infeksi korioamnion yang

disebabkan oleh berbagai mikroorganisme telah muncul sebagai kemungkinan

penjelasan berbagai kasus pecah ketuban dan/ atau persalinan preterm yang tak dapat

dijelaskan

Page 16: Preterm

Gambar 27-5. Kolonisasi korioamnion sebagai fungsi usia gestasi pada para wanita dengan persalinan spontan (garis tebal) dan pada mereka yang pelahirannya terindikasi atas komplikasi medik atau obstetrik pada ibu (garis putus-putus). (Dari Hauth dkk., 1998, dengan izin.)

hingga kini. Meskipun infeksi saluran reproduksi wanita sudah dikaitkan dengan

prematuritas lebih dari 45 tahun yang lalu (Knox dan Hoerner, 1995), timbul minat

baru ketika Bobbitt dan Ledger (1977) mencurigai infeksi cairan amnion subklinis

sebagai penyebab persalinan preterm. Sebagai contoh, bakteri patogenik secara

tipikal telah ditemukan pada amniosentesis transabdominal dari sekitar 20 persen

wanita yang sedang dalam persalinan preterm tanpa bukti infeksi klinis yang nyata

dan dengan selaput ketuban yang utuh (Cox dkk., 1996a; Watts dkk., 1992). Hillier

dkk. (1995) serta Hauth dkk. (1998) melaporkan bahwa cukup banyak ibu dengan

kelahiran preterm spontan mengandung organisme patogenik yang diperoleh dari

korioamnion. Memang, frekuensi penemuan organisme-organisme ini meningkat

pada wanita dengan awitan persalinan preterm spontan dengan atau tanpa pecah

ketuban, tetapi tidak meningkat pada wanita yang melahirkan preterm akibat penyulit

medik atau obstetrik seperti hipertensi matemal atau perdarahan (Hauth dkk., 1998).

Oleh karena itu, penemuan patogen saluran genital atas meningkat pada wanita

dengan persalinan dan pelahiran spontan serta herbanding terbalik dengan umur

kehamilan (Gambar 27-5) dan berat lahir (Gambar 27-6).

Page 17: Preterm

Gambar 27-6. Kolonisasi korioamnion sebagai fungsi berat lahir pada para wanita dengan persalinan spontan (garis tebal) dan pada mereka yang pelahirannya terindikasi atas komplikasi medik atau obstetrik pada ibu (garis putus-putus). (Dari Hauth dkk., 1998, dengan izin.)

PATOGENESIS. Schwarz dkk. (1976) menyatakan bahwa persalinan aterm diawali

dengan aktivasi fosfolipase Az, yang memecah asam arakidonat dari dalam selaput

ketuban, sehingga membuat asam arakidonat bebas tersedia untuk sintesis

prostaglandin. Selanjutnya, Bejar dkk. (1981) melaporkan bahwa banyak

mikroorganisme menghasilkan fosfolipase A, sehingga secara potensial dapat

mencetuskan persalinan preterm. Bennett dan Elder (1992) telah memperlihatkan

bahwa bakteri komensal dari traktus genitalia tidak menghasilkan prostaglandin

sendiri. Cox dkk: (1989) memberi data bahwa endotoksin bakteri (lipopolisakarida)

yang dimasukkan ke dalam cairan amnion merangsang sel desidua untuk

memproduksi sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi persalinan. Romero

dkk. (1987, 1988) serta Cox dkk. (1988a) melaporkan bahwa endotoksin terdapat di

dalam cairan amnion. Andrews dkk. (1995) menemukan rata-rata konsentrasi

interleukin-6 cairan amnion yang jauh lebih tinggi versus usia gestasi pada wanita

dengan awitan persalinan spontan dibanding wanita dengan pelahiran yang

terindikasi (Gambar 27-7).

Kini telah diketahui ballwa produk-produk pejamu endogen yang disekresi

sebagai respons terhadap infeksi bertanggung jawab atas berbagai efek infeksi.

Page 18: Preterm

Sebagai contoh, pada syok endotoksin, endotoksin bakteri melepaskan efek buruknya

melalui pelepasan mediator-mediator sel endogen (sitokin) untuk respons radang.

Demikian pula, persalinan preterm yang disebabkan oleh infeksi dianggap dimulai

oleh produk-produk sekretorik yang dihasilkan oleh aktivasi monosit (makrofag)

(Gambar 27-8). Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1, faktor nekrosis tumor, dan

interleukin-6, adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan preterm.

Narahara dan Johnston (1993) telah menyatakan bahwa faktor pengaklif trombosit,

yang ditemukan di dalam cairan amnion, terlibat secara sinergis pada aktivasi

jaringan sitokin tadi (Gambar 27-8). Faktor pengaktif trombosit diperkirakan

diprodttksi di dalam paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin tampaknya

memainkan suatu peran sinergistik untuk inisiasi kelahiran preterm yang disebabkan

oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini kemungkinan menguntungkan bagi

janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang terinfeksi.

Gravett dkk. (1994), dalam sebuah eksperimen yang terkenal dengan

kerarhesus, telah memberikan bukti langsung pertama bahwa infeksi mendorong

persalinan preterm. Streptokokus grup B disuntikkan ke dalam cairan amnion pada

kera rhesus preterm, dan konsentrasi sitokin dan prostaglandin yang diperlihatkan

pada Gambar 27-8 diukur secara serial. Konsentrasi sitokin cairan amnion meningkat

sekitar 9 jam setelah pemasukan bakteri, yang berturut-turut diikuti dengan produksi

prostaglandin E, dan F,a dan akhirnya, kontraksi uterus. Seperti yang diamati pada

manusia dengan persalinan preterm yang disebabkan oleh infeksi cairan amnion,

tidak ada bukti klinis korioamnionitis pada kera rhesus ini sampai setelah persalinan

preterm berlangsung.

Page 19: Preterm

Gambar 27-7. Rata-rata konsentrasi interleukin-6 (IL-6) cairan amnion dan usia gestasi saat lahir pada wanita dengan awitan persalinan spontan (Spont) dibandingkan dengan wanita dengan pelahiran terindikasi (Ind). (Dari Andrews dkk., 1995, dengan izin.)

Gambar 27-8. Usulan mekanisme skematik kerja bakteri unluk mendorong persalinan preterm. Contoh-contoh produk bakteii antara lain lipopolisakarida dinding sel (endotoksin). (Dikompilasi dari Berry, 1995; Gravett, 1994; Molnar, 1993; Narahara dan Johnston, 1993;beserta rekan-rekan mereka).

Meskipun jalur masuknya bakteri ke dalam cairan amnion jelas setelah pecah

ketuban, jalur masuk pada selaput ketuban yang utuh tidak jelas. Gyr dkk. (1994)

menemukan bahwa Escherichia coli dapat menembus selaput korioamnion hidup.

Jadi, selaput ketuban yang utuh pada serviks tidak dapat menjadi sawar terhadap

naiknya invasi bakteri ke cairan amnion. Sebagai alternatif, cara inisiasi persalinan

preterm karena bakteri yang dideskripsikan di dalam Gambar 27-8 tidak memerlukan

kolonisasi di cairan amnion. Sebagai contoh, Cox dkk. (1993) menemukan bahwa

jaringan sitokin pada imunitas selular dapat diaktifkan secara lokal di jaringan

desidua yang melapisi selaput ketuban bagian depan.

DIAGNOSIS. Minat terhadap kemungkinan patogenesis mikroba pada persalinan

preterm telah mendorong banyak peneliti untuk mengevaluasi amniosentesis untuk

penatalaksanaan. Garite dkk. (1979) berhasil melakukan amniosentesis yang dipandu

sonar pada 30 di antara 59 wanita dengan pecah ketuban pada usia gestasi antara 28

sampai 35 minggu. Karena tidak ada yang menderita infeksi klinis, tujuan mereka

Page 20: Preterm

adalah untuk menegakkan maturitas paru janin sambil mengevaluasi pewarnaan

Gram dan biakan cairan amnion. Yang mengherankan, cairan dari sembilan wanita

(30 persen) mengandung bakteri: enam wanita mengalami korioamnionitis dan dua

neonatus menderita infeksi. Meskipun ada laporan-laporan ini, belum jelas bahwa

amniosentesis yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi ini disertai dengan

perbaikan hasil kehamilan. Feinstein dkk. (1986) membandingkan 73 kasus ketuban

pecah dini yang ditangani dengan bantuan amniosentesis dengan 73 kontrol historik

yang cocok. Tidak ada perbedaan kondisi janin pada saat pelahiran, insiden infeksi

neonatus, atau kematian perinatal.

Di sentra-sentra yang menggunakan amniosentesis untuk penatalaksanaan

persalinan preterm, telah dilaporkan beberapa metode laboratorium yang dapat

membantu mendeteksi infeksi intraamnion dengan cepat.-Romero dkk. (1993)

mengevaluasi nilai diagnostik hitung sel darah putih cairan amnion, konsentrasi

glukosa yang rendah dan interleukin-6 yang tinggi, serta bakteri Gram positif pada

120 wanita dengan persalinan preterm dan selaput ketuban utuh. Wanita dengan

kultur cairan amnion yang positif dianggap terinfeksi. Pewamaan Gram yang

hasilnya negatif merupakan uji yang paling andal untuk menyingkirkan kemungkinan

bakteri di cairan amnion (spesifisitas 99 persen), dan interleukin-6 tinggi adalah uji

yang paling sensitif (sensitivitas 82 persen) untuk mendeteksi cairan amnion yang

mengandung bakteri. Andrews dkk. (1995) juga menemukan korelasi yang baik

antara interleukin-6 cairan amnion dan kolonisasi mikroba di korioamnion. Yoon

dkk. (1996) membandingkan keakuratan kadar protein C-reaktif atau hitung sel darah

putih di dalam darah ibu dengan hitung sel darah putih dalam cairan amnion dan

menemukan bahwa hitung set dalam cairan amnion lebih baik untuk konfirmasi

infeksi cairan amnion.

Gonik dkk. (1985) melaporkan bahwa oligohidramnion yang teridentifikasi

dengan ultrasonografi berkaitan dengan korioamnionitis klinis antepartum. Vintzileos

dkk. (1986) mengamati hubungan yang serupa antara oligohidramnion dan kolonisasi

bakteri di cairan amnion yang diambil dengan amniosentesis. Vintzileos dkk. ((1985)

mengamati bahwa infeksi janin dapat diramalkan secara andal dengan menggunakan

Page 21: Preterm

profil biofisik harian. Namun, hal ini tidak dikonfirmasi oleh yang lain (Carroll dkk.,

1995b; DeVoe dkk., 1994; Gauthier dkk., 1992; Miller dkk.,1990).

KETUBAN PECAH PRETERM Reaksi radang yang hebat di tempat pecahnya

selaput ketuban secara dini ditemukan sejak 1950, dan hal ini menyatakan infeksi.

McGregor dkk. (1987) mendemonstrasikan bahwa pajanan in vitro terhadap protease

bakteri menurunkan beban selaput ketuban untuk pecah. Jadi, mikroorganisme yang

memperoleh akses ke selaput janin mungkin dapat menyebabkan pecah ketuban,

persalinan preterm, atau keduanya.

VAGINOSIS BAKTERIALIS. Vaginosis bakterialis adalah sebuah kondisi ketika

flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida

digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerelln vnginalis, spesies Mobiluncus, dan

Mycoplasma hominis (Hillier dkk., 1995; Nugent dkk., 1991). Gambaran diagnostik

klinis yang dideskripsikan oleh Amsel dkk. (1983) antara lain:

1. pH vagina lebih dari 4,5

2. Bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.

3. Sel epitel vagina terlapis tebal oleh basil__”clue cells.”

4. Duh vagina homogen.

Vaginosis bakterialis dapat juga didiagnosis dengan pewarnaan Gram pada

sekret vagina sebagaimana dilaporkan oleh Nugent dkk. (1991). Secara tipikal,

pewarnaan Gram sekret vagina pada wanita dengan vaginosis bakterialis

memperlihatkan sedikit set darah putih bersama dengan flora campuran bila

dibanding dengan predominasi laktobasilus normal.

Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan kelahiran preterm spontan,

ketuban pecah preterm, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion

(Hillier dkk., 1995; Kurki dkk., 1992). Platz-Christensen dkk. (1993) telah

memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis dapat mencetuskan

persalinan preterm dengan suatu mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan

sitokin yang diusulkan untuk bakteri cairan amnion (Gambar 27-8). Sebaliknya,

Thorsen dkk. (1996), dalam sebuah studi prospektif terhadap 3600 wanita Denmark,

menemukan bahwa vaginosis bakterialis yang terdiagnosis sebelum minggu ke-24

tidak berkaitan dengan pecah ketuban sebelum usia gestasi 37 minggu atau dengan

Page 22: Preterm

berat lahir rendah. Laporan-laporan yang berlawanan mungkin berhtibungan dengan

diagnosis sindrom klinis vaginosis bakterialis. Karena diagnosisnya yang Hdak tepat,

sulit untuk menghubungkan setiap tingkatan skor pewamaan Gram dengan hasil

akhir kehamilan yang buruk, dan secara spesifik dengan kelahiran preterm spontan

atau pecah ketuban. Hauth dkk. (2000) menyajikan data dari percobaan observasi

prospektif yang besar oleh NICHD Maternal-Fetal Medicine Units yang

mengkonfirmasi peningkatan kelahiran preterm spontan yang signffikan jika pH va-

gina lebih dari 5,0 dibanding dengan 4,7 atau kurang, dan bila skor pewarnaan Gram

adalah 9 atau 10 dibanding dengan 7 atau 8 atau kurang.

VAGINITIS TRIKOMONAS DAN KANDIDA. Cotch dkk. (1997), setelah

melakukan penyesuaian terhadap berbagai faktor pengganggu, termasuk vaginosis

bakterialis, menemukan bahwa wanita dengan Trichomonns vaginalis mengalami

peningkatan risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah sebesar 30 persen,

peningkatan 30 persen risiko kelahiran preterm, dan hampir dua kali lipat risiko ke-

matian perinatal. Meis dkk. (1995a) memeriksa 2929 wanita pada usia gestasi 24 dan

28 minggu menggunakan preparat basah dengan kalium hidroksida 10 persen dan

menemukan bahwa deteksi Trichomonas atau Candidn tidak mempunyai hubungan

yang signifikan dengan kelahiran preterm. Yang terbaru, Carey dkk. (2000a) untuk

NiCHD Maternal-Fetal Medicine Units Network melaporkan bahwa dari 617 wanita

dengan tcikomonas vagina asimptomatik, 19 persen yang diberi terapi metronidazol

mengalami persalinan preterm, dibanding dengan 11 persen yang diberi terapi

plascbo (P= 0,004). Para pengarang ini menyimpulkan bahcva penapisan dan terapi

rutin untuk kondisi ini tidak dianjurkan.

INFEKSI CHLAMYDlA. Meskipun Chlamydin trachomntis adalah patogen bakteri

paling umum yang ditularkan lewat hubungan seksual di Amerika Serikat (Webster

dkk., 1993), kemungkinan pengaruh infeksi serviks oleh organisme ini pada

kelahiran preterm tidak jelas (McGregor dan French, 1991). Ryan dkk. (1990)

menggunakan eritromisin untuk mengobati 1323 wanita hamil dengan biakan serviks

positif untuk Chlnmydin pada pelaksanaan perawatan pranalal. Hasil kehamilan pada

wanita-wanita ini dibandingkan dengan 1110 wanita serupa namun tidak mendapat

pengobatan. Berat lahir rendah dan pecah ketuban lebih dari 1 jam sebelum

Page 23: Preterm

persalinan menurun secara signifikan dengan terapi eritromisin. Namun, efek pada

kelahiran preterm tidak dipastikan. Andrews dkk. (2000) dari NICHD Maternal-

Fetal Medicine Units Network Preterm Prediction Study melaporkan bahwa infeksi

klamidia genitourinaria pada usia gestasi 24 minggu tetapi tidak pada 28 minggu

yang dideteksi dengan pengujian reaksi ligase rantai berkaitan dengan pcningkatan

kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat setelahnya. Pedoman dari Centers

for Disease Control and Prevention untuk penapisan (1993) dan terapi (1998) untuk

infeksi klamidia selama kehamilan didasarkan pada prevalensi infeksi di berbagai po-

pulasi, sebagai contoh, remaja, dan pada kemungkinan keuntungan penapisan serta

terapi pada trimester ketiga untuk menurunkan ottalmia neonatorum atau

pneumonitis neonatus, daripada untuk menurunkan insiden kelahiran preterm (Bab

57, hal. 1671).

IDENTIFIKASI WANITA YANG BERISIKO MENGALAMI KELAHIRAN

PRETERM

Pendekatan obstetrik untuk kelahiran preterm secara tradisional terutama

dipusatkan pada intervensi terapi daripada pencegahan persalinan preterm. Langkah

pertama untuk pencegahan adalah identifikasi dini wanita berisiko kelahiran preterm.

SISTEM SKORING RISIKO. Sistem skoring risiko yang dirancang oleh Papiernik

dan dimodifikasi oleh Creasy dkk. (1980) telah diuji di beberapa wilayah Amerika

Serikat. Dalam sistem ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor

kehamilan, antara lain status sosioekonomi, riwayat reproduksi, kebiasaan harian,

dan penyulit kehamilan sekarang. Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap

berisiko tinggi untuk pelahiran preterm.

Meski Creasy dkk. (1980) serta Covington dkk. (1988) melaporkan hasil yang

menggembirakan dengan skoring risiko ini ditambah dengan program pencegahan

dengan penyuluhan, pengalaman Main dkk. (1989) di Philadelphia menggunakan

sistem skoring ini pada para wanita miskin kurang memuaskan. Hasil mengecewakan

yang serupa pada wanita miskin didapatkan oleh Mueller-Heubach dan Guzick

(1989) serta Owen dkk. (1990b). Program Creasy juga tidak berhasil menurunkan

kelahiran preterm pada uji coba klnis acak multisentra 2395 kehamilan yang

ditangani di 5 sentra oleh Collaborative Group on Preterm Birth Prevention (1993).

Page 24: Preterm

Hueston dkk. (1995)) meninjau ulang semua studi yang dipublikasi dan ternyata

tidak menguntungkan. Selanjutnya, penelitian Maternal-Fetal Medicine Network

Units yang disponsori NIH memperlihatkan bahwa pengkajian risiko tidak berhasil

mengindentifikasi sebagian besar wanita yang mengalami pelahiran preterm (Mercer

dkk., 1996).

Meskipun sistem skoring ini tidak berhasil mengidentifikasi kehamilan yang

berisiko mengalami persalinan preterm, filur-fitur tertentu mungkin lebih bermanfaat

daripada fitur lain untuk meramalkan risiko pelahiran preterm. Kombinasi sistem

skoring risiko dan uji penapisan lain yang kompleks telah dilaporkan untuk

meningkatkan ramalan akan kelahiran preterm spontan (Crane dkk., 1999;

Goldenberg dkk., 1998).

KELAHIRAN PRETERM SEBELUMNYA. Riwayat pelahiran preterm amal

berkorelasi dengan persalinan preterm berikutnya. Tabel 27-7 menampilkan insiden

kelahiran preterm spontan berulang pada lebih dari 6000 wanita Skotlandia. Risiko

pelahiran preterm berulang bagi mereka yang pelahiran pertamanya preterm

meningkat tiga kali lipat dibanding dengan wanita yang bayi pertamanya mencapai

aterm. Yang mencolok, hampir sepertiga wanita yang dua bayi pertamanya preterm

selanjutnya melahirkan bayi preterm pada kehamilan ketiganya. Hasil yang hampir

identik diperoleh dari sebuah analisis 13.967 kehamilan wanita Denmark (Kristensen

dkk., 1995). Lams dkk. (7998a) menggunakan Preterm Prediction Study dari NICHD

Mntcrnnl-Fetnl Medicine Units Network unluk merinci peningkalan risiko kelahiran

preterm spontan sebelum minggu gestasi ke-36 pada wanita yang pernah mengalami

pelahiran preterm sebelumnya. Peningkatan risiko ini meningkat Lebih tinggi lagi

bila uji vagina terhadap fibronektin janin pada midtrimester positif (> 50 µg/dl) dan

bila ada pemendekan serviks pada pengukuran dengan ultrasonografi, khususnya

pada wanita dengan ukuran serviks pada atau di bawah persentil ke 10 (≤25 mm)

pada usia gestasi 24 minggu.

Page 25: Preterm

TABEL 27-7. Kelahiran Preterm Spontan Rekuren Berdasarkan Hasil Kehamilan Sebelumnya pada 6072 Wanita Skotlandia.

Kelahiran Pertama Kelahiran keduaKelahiran preterm

berikutnya (%)AtomPretermAterm Preterm

______

PretermPreterm

5152432

Dari Carr-Hill dan Hail (1985), dengan izin

Tidak hanya wanita yang melahirkan preterm itu sendiri yang berisiko

mengalami rekurensi, bukli baru menyatakan bahwa risiko ini juga diturunkan pada

anak-anak mereka. Wang dkk. (1995) serta Porter dkk. (1996) menemukan agregasi

familial pada kelahiran preterm.

DILATASI SERVIKS. Dilatasi serviks asimptomatik setelah pertengahan

kehamilan mendapatkan perhatian sebagai sebuah faktor risiko untuk pelahiran

preterm. Beberapa ahli telah menganggap dilatasi seperti ini sebagai varian anatomis

yang normal, khususnya pada wanita para. Studi-studi terbaru menyatakan bahwa

paritas saja tidak cukup untuk menjelaskan dilatasi serviks yang ditemukan pada

awal trimester ketiga. Cook dan Ellwood (1996) secara longitudinal meneliti serviks

pada usia gestasi antara 18 dan 30 minggu dengan menggunakan ultrasonografi

transvagina baik pada wanita nulipara maupun multipara. Panjang dan diameter

serviks identik pada kedua kelompok wanita tersebut sepanjang minggu-minggu

kritis ini.

Tabel 27-8 menyajikan hasil-hasil pemeriksaan serviks rutin yang dilakukan

pada usia gestasi antara 26 sampai 30 minggu terhadap 185 wanita yang dirawat di

Parkland Hospital. Kira-kira seperempat wanita yang serviksnya mengalami dilatasi

2 atau 3 cm melahirkan sebelum usia gestasi 34 minggu. Banyak wanita mengalami

komplikasi yang sama pada kehamilan lebih dini. Serupa dengan hal tersebut,

Papiernik dkk. (1986), dalam sebuah penelitian status serviks sebelum minggu ke-37

pada 4430 wanita, menemukan bahwa dilatasi serviks prekok meningkatkan risiko

kelahiran preterm. Stubbs dkk. (1986) melakukan pemeriksaan serviks pada 191

wanita dengan usia gestasi antara 28 sampai 34 minggu dan menemukan hahwa

Page 26: Preterm

mereka yang mengalami dilatasi 1 cm atau lebih, atau pendataran lebih dari 30

persen, mempunyai risiko linggi untuk mengalami pelahiran preterm. Copper dkk.

(1995) memeriksa 570 wanita yang berisiko mengalami pelahiran preterm pada

sekitar minggu ke-28 dan menemukan bahwa kondisi serviks meramalkan pelahiran

sebelum usia gestasi mencapai 37 minggu.

TABEL 27-8. Dilatasi serviks antara minggu ke-26 dan 30 serta risiko pelahiran sebelum usia gestasi

34 minggu

Status serviks pada minggu ke-26-30Total(n=185)Jmlh (%)

< 1 cm(n=170)Jmlh (%)

2-3 cm(n=15)Jmlh (%)

Perbandingan

Berat lahir rendah sebelumnyaBerat lahir rendah pada kehamilan sekarang

9 (5)7 (4)

6 (4)3 (2)

3 (20)4 (27)

P < 0,001P < 0,002

*Kuranq dari 2200 g (personil ke-50 untuk usia gestasi 34 minggu) Dari Leveno.dkk.(1986a),dengan izin

PENGUKURAN PANJANG SERVIKS DENGAN ULTRASONOGRAFI. lams

dkk. (1996) menggunakan sonografi transvaginal untuk mengukur panjang serviks

2915 wanita pada usia gestasi sekitar 24 minggu dan sekali lagi pada 28 minggu.

Seperti yang disajikan dalam Gambar 27-9, rerata panjang serviks pada minggu ke-

24 adalah sekitar 35 mm, dan wanita yang mempunyai serviks yang memendek

progresif mengalami peningkatan angka kelahiran preterm. Temuan-temuan ini

didukung oleh penelitian Hartmann dkk. (1999). Dalam penelitian lain yang

dilakukan di NICHD Maternal-Fetal Medicine Units Network, Owen dkk. (2000)

menghubungkan panjang serviks pada usia gestasi 16 sampai 24 minggu dengan

kelahiran preterm selanjutnya sebelum minggu ke-35. Guzman dkk. (2001) secara

longitudinal mengevaluasi 237 wanita berisiko dengan kehamilan tunggal antara usia

gestasi 15 sampai 24 minggu. Pada semua masa uji, sensitivitas dan nilai prediktif

negatif panjang serviks untuk kelahiran preterm spontan sebelum usia gestasi 30

minggu sangat bagus.

Page 27: Preterm

Gambar 27-9. Distribusi persentil kehamilan berdasarkan panjang serviks yang diukur dengan sonografi transvaginal pada usia gestasi 24 minggu (garis tebal) dan risiko relatif pelahiran preterm spontan sebelum minggu ke-35. (Dari lams dkk., 1996, dengan izin.)

Penilaian serviks melalui ultrasonografi transvaginal memerlukan keahlian

khusus. Yost dkk. (1999) memperingatkan agar mereka yang melakukan pe-

meriksaan ini waspada terhadap temuan-temuan palsu namun meyakinkan yang

disebabkan oleh jebakan-jebakan anatomis dan teknis. Dalam percobaan acak kecil

baru-baru ini, cerelage (pengikatan) serviks belum terbukti bermanfaat untuk

mencegah pelahiran sebelum minggu ke-35 (Althuisius dkk., 2000; Rust dkk., 2000).

Rust dkk. (2001) menggunakan kriteria pengukuran ultrasonografi serviks untuk

dilatasi serviks pada usia gestasi antara 16 sampai 24 minggu guna mengidentifikasi

dan mengacak 55 wanita untuk mendapatkan cerclage serta 58 wanita tidak

mendapatkan intervensi cerclage. Kurva ketahanan hidup, yang dihasilkan dengan

memperhatikan usia gestasi saat pelahiran, tidak memperlihatkan perbedaan

antarkelompok yang signifikan. Namun, Althuisius dkk. (2001) mengacak 35 wanila

berisiko tinggi terhadap inkompetensi serviks untuk mendapatkan cerclage terapeutik

atau unluk tirah baring. Wanita yang secara acak mendapatkan cerclage jauh lebih

sedikit mengalami kelahiran sebelum minggu ke-34 dan morbiditas neonatal yang

lebih kecil.

Meskipun tampak jelas bahwa wanita hamil dengan dilatasi dan pendataran

serviks yang terdiagnosis pada awal trimester ketiga dengan pemeriksaan serviks

Page 28: Preterm

digital secara langsung berisiko mengalami kelahiran preterm, belum dipastikan

bahwa deteksinya amat memperbaiki hasil kehamilannya. Buekens dkk. (1994)

mengacak 2719 wanita Eropa untuk menjalani pemeriksaan serviks rutin pada setiap

kunjungan pranatal dibanding dengan 2721 wanita yang tidak menjalani pemeriksaan

serviks. Diketahuinya dilatasiserviks antenatal tidak mempengaruhi apapun hasil

kehamilan yang berkait dengan kelahiran preterm atau frekuensi intervensi yang

dilakukan dalam penatalaksanaan persalinan preterm. Yang penting, pemeriksaan

serviks tidak berkaitan dengan ketuban pecah dini preterm. Dengan demikian,

pemeriksaan serviks prenatal tidak menguntungkan atau berbahaya.

TANDA DAN GEJALA. Selain kontraksi uterus yang nyeri atau tidak terasa nyeri,

gejala-gejala seperti tekanan pada panggul, kram seperti saat menstruasi, duh vagina

cair atau berdarah, dan nyeri punggung bawah secara empiris berkaitan dengan

kelahiran preterm yang membakat. Gejala-gejala seperti itu dianggap oleh beberapa

orang sebagai kejadian yang biasa terjadi pada kehamilan normal, sehingga sering

tidak diperhatikan oleh pasien, dokter, dan perawat. Pentingnya tanda dan gejala-

gejala ini sudah ditekankan oleh beberapa peneliti (Iams dkk., 1990; Kragt dan

Keirse, 1990). Sebaliknya, Copper dkk. (1990) tidak menemukan gejala ini bermakna

untuk prediksi kelahiran preterm. lams dkk. (1994), dalam sebuah penelitian tindak

lanjut terhadap penelitian mereka tahun 1990, menemukan bahwa tanda dan gejala

yang menjadi sinyal persalinan preterm, termasuk kontraksi uterus, hanya ditemukan

dalam waktu 24 jam sebelum persalinan pretem. Oleh karena itu, tandatanda ini

merupakan tanda peringatan kelahiran preterm yang terlambat.

FIBRONEKTIN JANIN. Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi

dalam 20 bentuk molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit,

sel ganas, fibroblas, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam

konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan

peran pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam

mempertahankan adhesi plasenta ke desidua (Leeson dkk., 1996). Fibronektin janin

dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan normal dengan selaput

ketuban utuh aterm, dan tampaknya memperlihatkan remodeling stroma serviks

sebelum persalinan. Lockwood dkk. (1991) melaporkan bahwa penemuan

Page 29: Preterm

Eibronektin janin pada sekret servikovagina sebelum selaput ketuban pecah dapat

menjadi suatu petanda adanya ancaman persalinan preterm. Laporan ini telah

merangsang minat yang cukup besar terhadap penggunaan pemeriksaan fibronektin

untuk meramalkan kelahiran preterm. Fibronektin janin diukur dengan menggunakan

enzyme linked immimosorbent assay dan nilai di atas 50 ng/mL dianggap sebagai

hasil positif. Kontaminasi sampel dengan cairan amnion dan darah ibu harus

dihindari.

Leeson dkk. (1996) serta Peaceman dkk. (1996) menemukan bahwa meski uji

fibronektin positif berkaitan dengan kelahiran preterm, hasil negatif lebih konsisten

bermakna dalam meramalkan bahwa persalinan preterm tidak akan terjadi. Cox dkk.

(1996b) menemukan bahwa dilatasi serviks lebih bermakna untuk mendeteksi

fibronektin daripada untuk meramalkan kelahiran preterm. Goldenberg dkk. (1996a)

dengan menggunakan NICHD Network Preterrn Prediction Study melaporkan bahwa

fibronektin janin positif di serviks atau vagina pada usia gestasi 24 minggu

merupakan prediktor yang kuat akan terjadinya kelahiran preterm spontan. Barubaru

ini, Goldenberg dkk. (2000) melaporkan bahwa deteksi fibronektin janin di dalam

sekret serviks/vagina pada usia gestasi 18 sampai 22 minggu bersifat prediktif untuk

pelahiran preterm. Dalam sebuah meta-analisis terhadap 27 penelitian, Leitich dkk.

(1999) juga menemukan glikoprotein ini sebagai prediktor yang efektif untuk

pelahiran preterm.

Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi

peripartum dapat merangsang pelepasan fibronektin janin (Goldenberg dkk., 1996b;

Thorp dan Lukes, 1996). Serupa dengan hal tersebut, Jackson dkk. (1996)

memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro menghasilkan fibronektin janin

bila dirangsang oleh produk-produk radang yang dicurigai mengawali persalinan

preterm akibat infeksi (Gambar 27-8).

UJI KONTRAKSI UTERUS AMBULATORIK. Diagnosis persalinan preterm

yang sebelum ini ditetapkan secara ireversibel-merupakan tujuan penatalaksanaan.

Hingga saat ini, pemantauan aktivitas uterus dengan menggunakan tokodinamometri,

telah mendapatkan perhatian yang besar sekali. Pada 1957, Smyth menerangkan

sebuah tokodinamometer ekstemal dengan sebuah sensor inovatif menggunakan

Page 30: Preterm

prinsip yang disebut “guard-ring”. Dinding abdomen diratakan dengan cincin luar,

sehingga memungkinkan pemasangan transduser yang mengindera kontraksi di

sebelah dalam lebih dekat dengan dinding uterus yang ada di bawahnya. Sejumlah

program pencegahan kelahiran preterm yang menggunakan alat seperti itu untuk

memantau uterus secara ambulatorik telah tersedia di pasaran sejak tahun 1985.

Sensor kontraksi diikatkan di sekitar abdomen dan dihubungkan dengan sebuah

perekam elektronik kecil yang dipasang di pinggang. Perekam ini digunakan untuk

menghantarkan aktivitas uterus melalui telepon setiap hari. Pasien diberi penyuluhan

mengenai tanda-tanda dan gejala persalinan preterm, dan dokter yang menangani

terus menilai perkembangannya. Program ini mahal, sebagai contoh, di Dallas pada

7996 harganya adalah US$ 55 sampai US$ 154 per hari, tergantung pada status risiko

pasien.

MINGGU GESTASI

Gambar 27.10. rerata frekuensi kontraksi (±SD) selama kehamilan pada wanita yang mengalami persalinan pretem () dibanding dengan yang mengalami persalinan aterm (). (dari Katz dkk, 1986, dengan izin)

Seperti pang diperlihatkan pada Gambar 27-10, Katz dkk. (1986) menemukan

bahwa wanita yang selanjutnya melahirkan preterm mengalami peningkatan aktivitas

uterus mulai pada usia gestasi sekitar 30 minggu. Aplikasi klinis pemantauan

konlraksi uterus di rumah untuk mencegah kelahiran preterm secara luas selanjutnya

mencetuskan kontroversi yang amat besar di Amerika Serikat. Baru-baru ini,

American College of Obstetricians and Gynecologists (1995) telap mengambil posisi

Page 31: Preterm

bcrikut: “Tidak jelas terlihat bahwa sistem yang mahal dan memberatkan ini dapat

digunakan untuk benar-benar mempengaruhi angka pelahiran preterm.”

Penelitian-penelilian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan

aktivitas uterus di rumah tidak efektif untuk ntencegah kelahiran preterm. Dalam

Collaborative Honre Lltering Monitoring Study (1995), transduser palsu digunakan

pada 655 wanita dan hasilnya diband-ingkan dengan 637 wanita dengan monitor

yang berfungsi. Pemantauan di rumah tidak efektif dalam mencegah kelahiran

preterm. lams dkk. (19986) secara longitudinal menilai aktivitas uterus dengan

pemantauan di rumah setiap hari dan melaperkan data kontraksi uterus selama 34,908

jam dari 306 wanita. Frekuensi kontraksi meningkat ketika umur kehamilan

bertambah tetapi tidak efisien menormalkan kelahiran preterm.

Dyson dkk. (1998), dalam sebuah uji coba multisentra yang dilaksanakan di

Kaiser Permnnente Hospital di California, juga tidak menemukan keuntungan dari

pemantauan aktivitas uterus di rumah. Mereka mengacak 2422 wanita berisiko

kelahiran preterm (meliputi 844 wanita dengan kehamilan kembar) untuk

menghubungi seorang perawat setiap minggu atau untuk monitoring kontraksi di

rumah. Tidak ada perbedaan dalam pelahiran sebelum usia gestasi 35 minggu dan

berat lahir kurang dari 1500 g atau di bawah 2500 g. Hasil akhir yang tidak

diharapkan meliputi peningkatan signifikan kunjungan tanpa jadwal dengan ahli

obstetri dan peningkatan signifikan terapi obat tokolitik profilaktik pada wanita

dengan kehamilan kembar.

ESTRIOL SALIVA. Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara

peningkatan konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm (Goodwin,1996;

Heine,1999; McGregor,1995; beserta rekan-rekan mereka). Goodwin (1999)

meninjau nilai potensial estriol saliva pada ibu dan menyimpulkan bahwa uji ini

memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Kami juga berpandangan bahwa pengganaan

eslriol saliva untuk meramalkan pelahiran preterm masih perlu diselidiki.

PENATALAKSANAAN PERSALINAN PRETERM

Terdapat sejumlah faktor yang penting dalam penatalaksanaan wanita dengan

kemungkinan persalinan preterm. Yang utama adalah identifikasi kondisi ini dengan

benar, serta apakah disertai dengan pecah ketuban.

Page 32: Preterm

DIAGNOSIS. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu

sulil dilakukan sebelum ada pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri

dapat menyesatkan karena ada kontrnksi Brnxton Hicks (Bab 14, hal. 388). Kontraksi

ini, yang digambarkan sebagai lidak teratur, tidak riCmik, dan tidak begitu sakit atau

tidak sakit sama sekali, dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam

penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan

sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxton

Hicks yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.

Karena kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan, American Academy of

Pediatrics dan the American College of Obstetricians and Gynecologists (1997)

mengusulkan kriteria berikut untuk mencatat persalinan preterm pada usia gestasi

antara 20 dan 37 minggu:

1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan

kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks.

2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.

3. Pendataran serviks sebesar 80 persen atau lebih.

PENATALAKSANAAN ANTEPARTUM. Tidak jelas apakah menyediakan

perawatan pranatal pada lebih banyak wanita afau melakukan lebih banyak

kunjungan dapat menttrunkan kelahiran preterm. (Buescher dkk., 1988; Donaldson

dkk., 1984; Fink dkk., 1992; Fiscella, 1995). Meskiptm demikian, wanita yang

kehamilannya diidentifikasi berisiko mengalami kelahiran pretertn, dan juga mereka

yang menunjukkan tanda dan gejala ancaman pelahiran preterm, telah dijadikan

kandidat untuk berbagai intervensi yang ditujukan guna memperbaiki hasil akhir

bayinya. Bila tidak ada indikasi ibu atau bayi yang mengharuskan pelahiran dengan

sengaja, sebagian besar intervensi diharapkan mencegah kelahiran preterm atau

meningkatkan kemampuan bayi untuk mengatasi lingkungan ekstrauteri. Dalam

banyak hal, intervensi yang diuraikan di bagian berikut harus dipertimbangkan dan

belum direkomendasikan untuk praktik klinis.

KETUBAN PECAH DINI PRETERM. Upaya menghindari pelahiran ketika terjadi

pecah ketuban preterm mempunyai dua pilihan utama:

Page 33: Preterm

1. Penatalaksanaan nonintervensi atau menunggu, yakni hanya menunggu terjadinya

persalinan spontan.

2. Intervensi yang mungkin meliputi kortikosteroid yang diberikan dengan atau

tanpa agen tokolilik untuk menghentikan persalinan preterm supaya

kortikosteroid mempunyai cukup waktu untuk menginduksi pematangan janin.

American College of Obstetricians and Gynecologists (1998a) baru-baru ini

membuat tinjauan tentang pecah ketuban preterm.

Faktor risiko yang diketahui untuk pecah ketuban preterm adalah riwayat

kelahiran preterm sebelumnya (Guinn dkk., 1995), infeksi cairan amnion

tersembunyi (lihat hal. 771), janin ganda (Bab 30, hal. 866), dan solusio plasenta

(Major dkk., 1995).

RIWAYAT PECAH KETUBAN PRETERM. Cox dkk. (1988b) melaporkan hasil

kehamilan pada 298 wanita berturut-turut yang melahirkan setelah pecah ketuban

spontan pada usia gestasi antara 24 sampai 34 minggu. Meskipun komplikasi ini

hanya ditemukan pada 1,7 persen kehamilan, kondisi ini merupakan penyebab 20

persen kematian perinatal selama periode waktu mi. Pecah ketuban preterm temyata

berkaitan dengan komplikasi obstetri lain yang mempengaruhi basil perinatal, antara

lain kehamilan multijanan, presentasi bokong, korioamnionitis, dan gawat janin

intrapartum. Sebagai konsekuensi komplikasi-komplikasi ini, seksio sesarea

dilakukan pada hampir 40 persen wanita. Pada saat masuk, 75 persen wanita sudah in

partu, 5 persen melahirkan karena penyulit lain, dan 10 persen lainnya melahirkan

setelah persalinan spontan dalam 48 Jam. Hanya terdapat 7 persen wanita yang

pelahirannya tertunda 48 jam atau lebih setelah pecahnya ketuban. Namun, kelompok

wanita yang mengalami penundaan pelahiran ini tampaknya diuntungkan akibat

lambatnya pelahiran karena tidak terjadi kematian neonatal. Hal ini berlawanan

dengan angka kematian neonatal 80 per 1000 pada bayi yang dilahirkan dalam 48

jam setelah pecah ketuban. Nelson dkk. (1994) melaporkan hasil serupa. Pada wanita

yang sudah in partu saat masuk, sekitar separuh tidak melahirkan sampai 48 jam

setelah pecah ketuban namun hanya 13 persen yang tetap tidak lahir sampai 7 hari.

Kedua penelitian lersebut membuktikan ketidak mungkinan dihindarinya persaluian

dan kelahiran preterm setelah ketuban pecah preterm.

Page 34: Preterm

Periode waktu dari ketuban pecah preterm sampai pelahiran berbanding

terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah (Carroll dkk.,1995a). Seperti

diperlihatkan pada Gambar 27-11, jika ketuban pecah pada trimester ketiga, hanya

diperlukan beberapa hari saja hingga pelahiran terjadi dibanding dengan trimester

kedua.

PENATALAKSANAAN MENUNGGU. Meskipun ada banyak sekali literatur

mengenai penatalaksanaan menunggu pada ketuban pecah pretenn, baru sedikit

penelitian acak yang telah dilakukan. Satu pengecualian adalah laporan oleh Garite

dkk. (1981) yang meneliti 160 kehamilan dengan ketuban pecah preterm pada usia

gestasi antara 28 sampai 34 minggu. Para ibu tersebut dibagi menjadi dua kelompok

yaitu penatalaksanaan menunggu saja atau kortikosteroid plus tokolisis dengan etanol

atau magnesium sulfat intravena. Para penulis tersebut menyimpulkan bahwa

intervensi aktif tidak memperbaiki basil perinatal dan mungkin memperparah

penyulit yang berkaitan dengan infeksi. Penelitian acak berikutnya oleh Garite dkk.

(1987) serta Nelson dkk. (1985) tidak berhasil memt erlihatkan manfaat tokolisis,

dengan atau tanpa terapi steroid. Morales dkk. (1989) meneliti 165 kehamilan dengan

pecah ketuban preterm dan rasio lesitinafingomielin kurang dari dua. Penelitian ini

dibagi secara acak untuk empat kelompok terapi yang meliputi (1) penatalaksanaan

menunggu saja, (2) kortikosteroid untuk pematangan paru janin, (3) ampisilin saja,

dan (4) ampisilin plus kortikosteroid. Mereka menyimpulkan bahwa ampisilin plus

kortikosteroid lebih menguntungkan karena lebih sedikit menimbulkan penyakit

pernapasan. Sayangnya, angka harapan hidup neonatal akhirnya tidak dipengaruhi

oleh intervensi apa pun, demikian juga lamanya masa gestasi.

Page 35: Preterm

Gambar 27.11. Hubungan interval waktu antara ketuban pecah dini dan pelahiran pada 172 kehamilan lunggal. (Kotak=yang bertahan; lingkaran = kematian karena prematuritas; segitiga = kematian akibat hipoplasia paru.) (Dan Carroll dkk., 1995a, dengan izin.)

Alexander dkk. (2000), dalam sebuah studi yang dilakukan di NICHD

Maternal-Fetal Medicine Units Network, menemukan bahwa satu atau dua peme-

riksaan serviks digital yang dilakukan saat penatalaksanaan menunggu pada ketuban

pecah antara minggu gestasi ke-24 sampai 32 berkaitan dengan interval sejak pecah

ketuban sampai pelahiran yang lebih pendek secara signifikan (3 hari) dibanding

dengan menghindari pemeriksaan seperti itu (5 hari). Namun yang penting,

perbedaan masa laten interval pecah ketuban sampai pelahiran ini tidak

memperburuk hasil pada ibu atau neonatus.

PECAH KETUBAN PADA TRIMESTER KEDUA. Ada risiko untuk ibu dan bayi

yang harus dipertimbangkan ketika memikirkan penatalaksanaan menunggu pada

pecah ketuban sebelum usia gestasi 25 sampai 26 minggu. Risiko pada ibu meliputi

konsekuensi infeksi uterus dan sepsis. Risiko pada janin berupa hipoplasia paru dan

deformitas kompresi tungkai, yang telah dikaitkan dengan periode oligohidramnion

yang memanjang akibat pecah ketuban (Bab 31, hal. 917). Morales dan Talley (1993)

melakukan penatalaksanaan menunggu pada 94 wanita dengan kehamilan tunggal

dan pecah ketuban sebelum usia gestasi 25 minggu serta menemukan bahwa 41

persen akhirnya bertahan hidup sampai umur 1 tahun dan 27 persen normal secara

neurologis. Rata-rata waktu yang dicapai pada penatalaksanaan menunggu adalah 11

hari. Hasil serupa dilaporkan oleh Farooqi dkk. (1998) serta Winn dkk. (2000).

Sebaliknya, Hibbard dkk. (1993) menganalisis angka kematian dan kesakitan

neonatal, serta biaya perawatan kesehatan pada 44 kehamilan dengan

penatalaksanaan menunggu setelah pecah ketuban pada usia gestasi 25 minggu atau

kurang. Mereka menyimpulkan bahwa pelahiran segera janin yang usia gestasinya

kttrang dari 24 minggu mungkin merupakan rencana yang paling efektif dari sisi

biaya. Dalam laporan ini, 77 persen wanita yang ditangani dengan penatalaksanaan

menunggu mengalami korioamnionitis.

Page 36: Preterm

Volume cairan amnion dan umur janin pada saat pecah ketuban tampaknya

mempunyai kepentingan prognostik pada kehamilan sebelum 26 minggu. Hadi dkk.

(1994) menganalisis 178 kehamilan dengan pecah ketuban pada usia gestasi antara

20 dan 25 minggu kehamilan serta 40 persen mengalami oligohidramnion yang

ditetapkan sebagai tidak adanya kantung sonografik berukuran 2 cm atau lebih.

Hampir semua yang mengalami oligohidramnion melahirkan sebelum minggu ke-25,

sedangkan 85 persen di antara mereka yang volume cairan amnionnya adekuat

melahirkan pada trimester ketiga. Carroll dkk. (1995a) tidak menemukan kasus

hipoplasia paru pada janin yang dilahirkan setelah pecah ketuban pada usia gestasi 24

minggu atau sesudahnya, yang mengesankan 23 minggu atau kurang adalah ambang

untuk hipoplasia paru.

RAWAT INAP. Sebagian besar ahli kebidanan merawat map wanita dengan

kehamilan yang mengalami penyulit pecah ketuban preterm. Keprihatinan tentang

biaya perawatan rumah sakit yang lama biasanya masih dapat diperdebatkan karena

kebanyakan wanita memasuki persalinan dalam 1 minggu atau kurang setelah

ketuban pecah. Carlan dkk. (1993) mengacak 67 kehamilan dengan pecah ketuban

yang dipilih secara cermat untuk menjalani penatalaksanaan di rumah versus di

rumah sakit. Semua wanita dirawat inap sampai 72 jam setelah pecah ketuban; 20

wanita akhirnya dipulangkan ke rumah dan 25 lainnya diacak untuk dirawat inap.

Tidak ada keuntungan yang ditemukan pada perawatan map dan masa tinggal ibu di

rumah sakit berkurang 50 persen pada ibu yang dikirim pulang (14 menjadi 7 hari).

Tiga wanita yang dipulangkan melahirkan di rumah sakit luar karena persalinan

mereka terlalu maju untuk kembali ke rumah sakit penelitian tersebut. Yang penting,

para peneliti ini menekankan bahwa penelitian ini terlalu kecil untuk menyimpulkan

bahwa penatalaksanaan di rumah aman-aman saja.

Sayangnya, hasil akhir perinatal pada bayi yang bertahan hidup dari

persalinan yang tertunda tidak selalu memuaskan. Dalam sebuall penelitian terdahulu

dari Parkland Hospital, Hankins dkk. (1984) melaporkan bahwa 30 persen di antara

176 bayi seperti ini memerlukan terapi ventilator. Secara keseluruhan, 13 persen

meninggal pada masa neonatal dan 3 persen lainnya meninggal sebelum berumur 1

tahun. Perawatan bayi-bayi yang dilahirkan preterm ini memerlukan 5100 hari

Page 37: Preterm

(hampir 14 tahun) rawat map neonatus dan biaya $2,3 juta dolar (pada tahun 1984)

hanya untuk ruang rawatnya saja. Yang penting, tindak lanjut sampai 4 tahun

dilakukan terhadap 105 bayi, dan berbagai derajat kelainan neurologis ditemukan

pada 16 persen. Demikian pula, Spinillo dkk. (1995) menemukan bahwa bayi

preterm yang lahir pada 48 jam atau lebih setelah pecah ketuban mempunyai risiko

tinggi untuk mengalami gangguan perkembangan saraf sedang sampai berat

selanjutnya dibanding dengan bayi-bayi yang dilahirkan dari persalinan preterm

spontan dengan selaput ketuban utuh.

PELAHIRAN DISENGAJA. Prospek melahirkan kehamilan preterm secara sengaja

tampaknya tidak bijaksana, meski pelahiran secara sengaja banyak dipraktikkan

sebelum tahun 1970-an karena ketakutan akan infeksi (Reid dan Christian, 1974).

Alasan lain yang lebih baru untuk pelahiran disengaja adalah untuk menghindari

kematian janin luar biasa yang terjadi pada kehamilan yang ditangani dengan

menunggu setelah pecah ketuban preterm. Selang waktu sejak ketuban pecah sampai

awitan persalinan spontan yang biasanya sangat singkat juga mendukung dasar

pemikiran dilakukannya pelahiran yang disengaja, karena hanya ada sedikit waktu

dari penatalaksanaan menunggu, khususnya pada akhir trimester ketiga (Gambar 27-

11).

Telah dilakukan dua percobaan acak tentang pelahiran disengaja pada

kehamilan dengan penyulit pecah ketuban preterm. Mercer dkk. (1993) mengacak 93

kehamilan dengan pecah ketuban pada usia gestasi antara 32 dan 36 minggu untuk

melahirkan dibandingkan dengan penatalaksanaan menunggu. Semua mencatat

adanya pematangan paru janin. Pelahiran secara sengaja mengurangi lama perawatan

ibu di rumah sakit dan juga menurunkan angka infeksi baik pada ibu maupun

neonatus. Cox dan Leveno (1995) juga mengacak 129 wanita dengan pecah ketuban

pada usia gestasi anlara 30 dan 34 minggu. Terdapat satu kematian janin (akibat

sepsis) pada kehamilan yang ditangani secara menunggu dan tiga kematian neonatal

(dua diantaranya karena sepsis dan satu karena hipoplasia paru) pada bayi yang

dilahirkan dengan sengaja. Kedua pendekatan penatalaksanaan tersebut dirasa tidak

memuaskan.

Page 38: Preterm

KORIOAMNIONITIS NYATA. Dengan anggapan bahwa tidak ada hasil akhir

perinatal tak diinginkan yang disebabkan oleh lilitan tali pusat atau prolaps tali pusat

atau karena solusio plasenta, perhatian utama pada ketuban pecah lama adalah risiko

infeksi ibu atau janin. Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya

untuk melahirkan janin-sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator

yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38”C

(100,4°F) atau lebih yang menyertai pecah ketuban menandakan infeksi.

Leukositosis ibu saja dinyatakan tidak dapat diandatkan oleh kebanyakan peneliti,

dan hal ini juga sesuai dengan pengalaman kami.

Pada korioamnionitis, morbiditas janin dan neonatus meningkat secara nyata.

Dalam sebuah studi prospektif pada hampir 700 wanita dengan usia gestasi antara 26

dan 34 minggu dengan ketuban pecah preterm, Morales (1987) melaporkan bahwa 13

persen mengalami korioamnionitis yang didiagnosis dengan suhu oral 38oC dan tidak

terdapat penyebab demam lainnya. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan

korioamnionitis mengalami peningkatan angka kematian neonatal sebesar empat kali

lipat dan insiden gawat napas, sepsis neonatorum, dan perdarahan intraventrikular

sebesar tiga kali lipat. Alexander dkk. (1998) meneliti pengaruh korioamnionitis

klinis pada 1367 bayi dengan berat lahir sangat rendah yang dilahirkan di Parkland

Hospital. Sekitar 7 persen bayi terpajan lerhadap korioamnionitis dan hasil akhir

pada bayi-bayi ini dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami infeksi nyata.

Sepsis neonatorum, sindrom gawat napas, kejang pada 24 jam pertama setelah lahir,

perdaralzan intraventrikular, dan leukomalasia periventrikular, semuanya meningkat

pada korioamnionitis. Disimpulkan bahwa bayi dengan berat lahir sangat rendah

rentan terhadap cedera neurologis yang menyerlai korioamnionitis. Senada dengan

hal ini, Yoon dkk. (2000) menemukan bahwa infeksi intraamnion pada bayi-bayi

preterm berkaitan dengan cerebral palsy pada usia 3 tahun.

PERCEPATAN PEMATANGAN FUNGSI PARU. Telah diajukan berbagai

peristiwa klinis beberapa diketahui pasti dan yang lain tidak yang dapat mempercepat

produksi surfaktan yang cukup untuk mencegah terjadinya gawat napas. Glack

(1979) menekankan bahwa produksi surfaktan kemungkinan dipercepat jauh sebelum

aterm pada kehamilan yang dipersulit oleh sejumlah kondisi dan stres pada ibu atau

Page 39: Preterm

janin. Contohnya antara lain penyakit ginjal atau kardiovaskular kronis, gangguan

hipertensi lama yang disebabkan oleh kehamilan, kecanduan heroin, pertumbuhan

janin terhambat, infark plasenta, korioamnionitis, atau ketuban pecah preterm.

Pandangan ini dianut secara luas meskipun data yang lebih baru menyangkal

hubungan ini. Sebagai contoh, Owen dkk. (1990a) menyimpulkan bahwa suatu

kehamilan yang mengalami “stres” (terutama hipertensi pada kehamilan) tak banyak

memberi keuntungan terhadap ketahanan hidup janin. Demikian pula, Hallak dan

Bottoms (1993) mengkaji 1395 kehamilan yang dilahirkan pada usia gestasi antara

24 dan 35 minggu serta menemukan bahwa ketuban pecah dini tidak berkaitan

dengan pematangan paru yang lebih cepat.

TERAPI ANTIMIKROBA. Patogenesis mikrobiologis ketuban pecah preterm

(Gambar 27-8) telah memacu penelitian-penelitian mengenai berbagai macam

antimikroba untuk mencegah pelahiran. Mercer dan Arheart (1995) mengulas 13

penelitian acak tentang efektivitas terapi antimikroba dibandingkan dengan plasebo

untuk pecah ketuban pada usia gestasi di bawah 35 minggu. Total seluruhnya ada

1594 kehamilan yang dilaporkan antara tahun 1974 dan 1993. Total 10 hasil akhir

kehamilan menjalani metaanalisis dan hanya tiga yang menunjukkan kemungkinan

efek menguntungkan dari obat antimikroba; lebih sedikit yang mengalami

korioamnionitis, lebih sedikit bayi yang mengalami sepsis, dan kehamilan lebih

sering memanjang 7 hari pada ibu yang diberi antimikroba. Angka harapan hidup

tidak dipengaruhi, demikian pula insiden enterokolitis nekrotikans, gawat napas, atau

perdarahan intrakranial.

Untuk meninjau masalah ini lebih jauh, the NICHD Maternal-Fetal Medicine

Units Network melaksanakan sebuah uji coba prospektif acak terhadap ampisilin atau

amoksisilin plus eritromisin pada wanita dengan ketuban pecah preterm pada usia

gestasi antara 24 dan 32 minggu (Mercer dkk.,1997). Tokolisis, terapi kortikosteroid,

atau kedtianya tidak diberikan pada uji coba ini. Lebih sedikit neonatus yang

mengalami sindrom gawat napas, enterokolitis nekrotikans, atau gabungan hasil

simpang pada kehamilan yang mendapatkan obat antimikroba. Masa laten sejak

pecah ketuban sampai pelahiran jauh lebih panjang 7, 14, sampai 21 hari pada wanita

yang diberi antibiotika daripada yang diberi plasebo. Pada hari ke-7, 50 persen

Page 40: Preterm

wanita ini masih belum melahirkan dibanding dengan hanya 25 persen pada mereka

yang diberi plasebo. Manfaat ini tampak jelas, baik pasien menunjukkan hasil positif

atau tidak terhadap uji streptokokus grup B diservikovaginasaatketuban pecah.

Terapi antimikroba lama pada kehamilan seperti ini menimbulkan

konsekuensi yang tak diinginkan. Kyle dan Turner (1996) melaporkan superinfeksi

dengan Pseudomonas aeruginosn sebagai akibat terapi antibiotika lama untuk

ketuban pecah preterm. Carroll dkk. (1996) serta Mercer dkk. (1999) juga telah

menyatakan keprihatinan bahwa terapi seperti ini potensial meningkatkan risiko

seleksi patogen yang resisten.

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH PRETERM DI

PARKLAND HOSPITAL. Kehamilan dengan penyulit ketuban pecah preterm

ditangani sebagai berikut:

1. Pada wanita dengan kemungkinan pecah ketuban dilakukan sekali pemeriksaan

dengan spekulum steril untuk menemukan cairan yang berasal dari serviks atau

yang menggenang di vagina. Ditemukannya cairan menunjukkan pecah ketuban

dan biasanya diikuti dengan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengkonfirmasi

oligohidramnion, untuk mengindentifikasi bagian terbawah janin, dan

memperkirakan usia gestasi. Uji pH vagina dengan kertas nitrazin mempunyai

angka positif palsu cukup besar yang dikaitkan dengan kontaminasi darah,

semen, atau vaginosis bakterialis. Inspeksi mikroskopik pada sekret

servikovagina kering yang mengalami kristalisasi NaCl (bentuk pakis) juga

mempunyai angka positif palsu yang cukup besar. Yang jarang terjadi, riwayat

pecah ketuban pada ibu yang meyakinkan tidak didukung oleh visualisasi atau

akumulasi cairan amnion di vagina yang nyata atau konfirmasi ultrasonografik

adanya penurunan cairan amnion. Pada kasus-kasus ini, pemberian satu ampul

tinta indigo carmine ke dalam cairan amnion dan menilai kebocoran cairan biru

tersebut ke dalam vagina dapat membantu memastikan integritas selaput ketuban.

Dilakukan upaya-upaya untuk melakukan visualisasi kemajuan pendataran dan

dilatasi serviks, tetapi pemeriksaan digital tidak dilakukan.

2. Jika usia gestasi kurang dari 34 minggu dan tidak ada indikasi ibu atau janin

untuk melakukan pelaltiran, ibu tersebut diamati ketat di unit Persalinan dan

Page 41: Preterm

Pelahiran. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin kontinu dipasang untuk

mencari bukti kompresi tali pusat, khususnya bila persalinan sedang berlangsung

juga.

3. Bila denyut jantung janin janin baik-baik saja, dan kalau persalinan tidak sedang

berlangsung, ibu tersebut dipindahkan ke unit Kehamilan Berisiko Tinggi untuk

observasi ketat tanda-tanda persalinan, infeksi, atau bahaya pada janin.

4. Jika usia gestasi di alas 34 minggu lengkap dan bila persalinan belum mulai

setelah pemeriksaan secukupnya, persalinan diinduksi dengan oksitosin intravena

bila tidak ada kontraindikasi. Kalau induksi gagal, dilakukan seksio sesarea.

5. Deksametason, 5 mg intramuskular setiap 12 jam untuk 4 dosis, diberikan untuk

meningkatkan pematangan janin.

6. Bila didiagnosis persalinan telah berlangsung, diberikan ampisilin 2 g intravena

setiap 6 jam sebelum pelahiran untuk mencegah infeksi streptokokus grup B pada

neonatus.

PERSALINAN PRETERM DENGAN SELAPUT JAN1N UTUH. Penatalaksanaan

antepartum pada wanita dengan tanda-tanda dan gejala persalinan preterm serta

selaput ketuban intak kurang lebih sama dengan yang telah diuraikan untuk

kehamilan dengan pecah ketuban preterm. Yaitu, patokan terapi adalah menghindari

pelahiran sebelum usia gestasi 34 minggu bila mungkin. Obat-obat yang ditujukan

untuk menghentikan atau menekan kontraksi uterus sering diberikan, dan hat ini akan

dibahas kemudian. Seperti pada kehamilan dengan ketuban pecah preterm, obat-obat

antimikroba, yang ditujukan untuk menunda pelahiran pada wanita dengan

persalinan preterm, telah diteliti secara spesifik pada wanita-wanita dengan seiaput

ketuban utuh. Hasilnya untuk berbagai agen antimikroba benarbenar mengecewakan

(Cox, 1996a; Gordon, 1995; Klebanoff, 1995; Romero, 1993; beserta rekan-rekan

mereka). Dua uji coba yang lebih kecil terhadap metronidazol dan ampisilin pada

wanita yang dicurigai mengalami persatinan preterm spontan telah memperlihatkan

manfaat sedang (Norman dkk., 1994; Svare dkk., 1997). Tampaknya pemberian anti-

mikroba setelah dimulainya persalinan preterm terlalu terlambat untuk

mempengaruhi perjalanan kaskade biokimiawi yang mengatur aktivitas uterus

(Gambar 27-8).

Page 42: Preterm

TERAPI GLUKOKORTIKOID, Berdasarkan observasi-observasi sebelumnya

bahwa kortikosteroid yang diberikan kepada domba betina dapat mempercepat

pematangan paru pada janin preterm, Liggins dan Howie (1972) melakukan sebuah

studi acak untuk mengevaluasi efek betametason yang diberikan pada ibu (12 mg

secara intramuskular dalam dua dosis, selang 24 jam) untuk mencegah gawat napas

pada bayi preterm yang kemudian dilahirkan. Bayibayi yang ditahirkan sebelum

minggu ke-34 mengalami penurunan signifikan insiden gawat napas dan kematian

neonatal akibat penyakit membran hialin bila kelahirannya ditunda sekurang-kurang-

nya 24 jam setelah selesai pemberian betametason 24 jam kepada ibu sampai 7 hari

setelah selesai terapi steroid. Penelitian ini terus mendorong riset terhadap maturasi

janin selama lebih dari 20 tahun, yang berpuncak tahun 1995 dengan pernyataan

posisi tentang penggunaan kortikosteroid untuk terapi pada janin oleh the National

Institutes of Health (NIH Concensus Development Panel, 1995).

Mekanisme yang kini diperkirakan digunakan oleh betametason atau

kortikosteroid lainnya untuk menurunkan frekuensi gawat napas adalah induksi

protein-protein yang mengatur sistem biokimiawi pada sel tipe II yang menghasilkan

sufaktan di dalam paru janin (Ballard dan Ballard, 1995). Efek fisiologis

glukokortikoid yang dilaporkan pada paru yang sedang berkembang antara lain

peningkatan surfaktan alveolus, keteregangan (compliance) paru, dan volume paru

maksimal.

STUDI KOLABORATIF TENTANG TERAPI STEROID ANTENATAL. Uji

coba Collaborative Group on Antenatal Steroid Therapy yang disponsori oleh NIH

(1981) bertujuan meneliti efek terapi kortikosteroid pada janin preterm. Percobaan

kolaboratif tersamar ganda ini dilakukan di lima sentra, dan dari hampir 8000 wanita

yang diidentifikasi sedang dalam persalinan preterm, terdapat 696 wanita yang

berisiko untuk kelahiran preterm. Para ibu tersebut diacak untuk mendapatkan terapi

deksametason intramuskular, 5 mg setiap 12 jam dengan total mencapai 4 dosis.

Dengan mengikutsertakan kehamilan kembar, terdapat total 720 bayi yang siap

dianalisis. Hanya sejumlah kecil bayi yang ibunya diberi deksametason mengalami

gawat napas (13 versus 18 persen). Yang penting lebih dari 80 persen kelompok studi

tidak mengalami gawat napas. Kematian neonatal tidak menurun dengan terapi. Hasil

Page 43: Preterm

serupa diperoleh dari sebuah percobaan acak betametason multisentra yang dilakukan

di Inggris antara tahun 1975 dan 1978 (Gamsu dkk.,.1989).

Pada tahun 1985, sebuah lokakarya meninjau basil studi kolaboratif tersebut

(Avery dkk., 1986). Kelompok tersebut sepakat bahwa tidak terdapat perbedaan

dalam fungsi kognitif, motorik, atau neurologis ketika 406 bayi dalam penelitian

tersebut ditindak lanjuti sampai umur 36 bulan sehingga mengesankan bahwa terapi

steroid tidak berpengaruh buruk pada perkembangan neurologis jangka pendek

setelah itu (Collaborative Group, 1984). Lebih lanjut mereka menyimpulkan bahwa

deksametason tampaknya hanya menguntungkan bagi janin perempuan yang berusia

di atas 30 minggu dan ketika interval terapi-ke-pelahiran lebih dari 24 jam. Terapi

seperti itu tidak membantu pada kehamilan ganda. Banyaknya keberatan tentang

manfaat (atau tidak adanya manfaat) kortikosteroid ini tentu saja membatasi

penggunaan terapi janin ini secara luas (Jobe dkk., 1993).

KONFERENSI NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH CONSENSUS

DEVELOPMENT TENTANG KORTIKOSTEROID UNNK PEMATANGAN

JANIN. Laporan-laporan konferensi ini disajikan secara rinci di dalam American

Journal of Obstetrics and Gynecology (NIH Consensus Development Conference

Statement, 1995). Konsensus yang dihasilkan tentang peresepan kortikosteroid untuk

melakukan pematangan janin disambut oleh beberapa pihak sebagai perkembangan

yang paling penting dalam perawatan perinatal tahun 1995 (Hayward dan Diaz-

Rossello, 1995). Grimes (1995) mengambil posisi sebagai pihak yang mendukung

dengan mengatakan bahwa akibat penundaan penggunaan kortikosteroid untuk

pematangan janin antara 1972 dan 1995, “puluhan di antara ribuan neonatus

meninggal sia-sia ... dan bangsa kita menghamburkan jutaan dolar anggaran

kesehatan secara sia-sia untuk mengatasi penyulit prematuritas yang dapat dicegah.”

Inti yang digunakan oleh panel tentang kortikosteroid dari the National

Institute of Health untuk menegakkan kemanjuran terapi ini adalah sebuah

menganalisis percobaan-percobaan acak berkontrol (Crowley, 1995). Analisis seperti

ini menyatukan berbagai percobaan acak berkontrol untuk mencapai suatu perkiraan

total tentang efek suatu intervensi-dalam hal ini, kortikosteroid. Pendekatan analitis

ini mengasumsikan bahwa studi-studi yang dikumpulkan tersebut identik atau hampir

Page 44: Preterm

identik dalam hal desain percobaan, definisi-definisi mengenai titik akhir penyakit,

populasi pasien, dan regimen terapi. Kemungkinan sebagian besar metaanalisis

terkini mempunyai beberapa sumber heterogenitas antarpercobaan yang dapat

menyelewengkan interpretasi hasil-hasil yang telah disatukan sebelumnya (Moher

dan Olkin, 1995). Contohnya, beberapa percobaan yang diikutsertakan mungkin

menggunakan alokasi terapi tersembunyi secara benar untuk mengacak subjek

sementara yang lain mungkin menggunakan desain yang tidak begitu ketat seperti

ini. Hal ini penting karena percobaan-percobaan yang tidak disamarkan dengan baik

umumnya memberikan hasil yang mengindikasikan bahwa terapi atau intervensi

tertentu menguntungkan (Martyn, 1996). Contoh jenis heterogenitas ini dapat

ditemukan pada meta-analisis kortikosteroid. Morales dkk. (1986), dalam uji coba

acak mereka tentang kortikosteroid untuk pematangan janin pada 245 kehamilan

dengan ketuban pecah preterm, menggunakan nomor rekam medis rumah sakit

dengan rancangan pengacakan pasien yang tidak ditetapkan. Metode alokasi untuk

memberi atau tidak memberi terapi kortikosteroid ini dengan demikian tidak tersamar

dari sisi klinisi. Meski demikian, studi oleh Morales dkk. (1986) disatukan dalam

suatu meta-analisis bersama dengan percobaan-percobaan lain yang mempunyai

desain percobaan yang lebih ketat.

Tiga gambar berikut adalah contoh meta-analisis tentang efek penggunaan

kortikosteroid pada janin dengan sindrom gawat napas (Gambar 27-12), kematian

neonatal (Gambar 27-13), serta ringkasan berbagai efek terhadap hasil akhir pada

bayi (Gambai 27-14). Total 15 percobaan acak dipilih oleh Crowley (1995) untuk

dimasukkan ke dalam metaanalisis. Setiap garis horizontal merupakan hasil satu

percobaan dan semakin pendek garis tersebut, hasilnya semakin pasti. Jika sebuah

garis horizontal (percobaan studi) menyentuh garis vertikal yang hitam, artinya

percobaan tersebut tidak mempunyai manfaat yang signifikan. Jumlah total di bagian

bawah masing-masing gambar adalah hasilnya ketika kelima belas percobaan

tersebut disatukan.

Pada kasus sindrom gawat napas, sembilan uji coba tidak menemukan

manfaat kortikosteroid dan tiga uji coba lain hanya menemukan sedikit manfaat

(Gambar 27-12). Namun, efek total jika semua uji coba tersebut disahikan

Page 45: Preterm

menunjukkan bahwa kortikosteroid menurunkan gawat napas sebesar 50 persen. Efek

menguntungkan ini amat tergantung pada uji coba awal dan terbesar oleh Liggins

serta Howie (1972). Interpretasi lain serta yang dapat juga dibuat yaitu bahwa tidak

ada kelompok investigator yang mampu mereproduksi percobaan awat tersebut.

Untuk kematian neonatal, 10 di antara 15 percobaan yang dianalisis tidak

memperlihatkan adanya manfaat (Gambar 27-13). Namun, pengumpulan data

tersebut mengindikasikan bahwa kortikosteroid menurunkan angka kematian sebesar

50 persen. Meta-analisis terhadap hasil akhir pada bayi kembar berkenaan dengan

terapi kortikosteroid diperlihatkan pada Gambar 27-14.

Tabel 27-9 merupakan ringkasan rekomendasi penggunaan kortikosteroid

untuk pematanganjanin oleh NIH Consensus Development Panel (1995). Data

dianggap tidak cukup untuk menilai efektivitas kortikosteroid pada kehamilan

dengan penyulit hipertensi; diabetes, kehamilan ganda, pertumbuhan janin terhambat,

dan hidrops fetalis. Namun, Consensus Panel menyimpulkan bahwa bila tidak

terdapat bukti efek simpang, penggunaan kortiko steroid pada penyulit-penyulit ini

cukup masuk akal. Namun, disimpulkan pula bahwa tidak ada cukup data untuk

memberi komentar tentang manfaal atau risiko terapi kortikosteroid mingguan

berulang pada ibu guna meningkatkan pematangan janin. Respons nasional (AS, ed.)

terhadap penyebaran rekomendasi NIH Consensus Panel tersebut sungguh dramalis

dan penggunaan kortikosteroid untuk mempercepat pematangan janin berlipat ganda

dalam 12 bulan (Leviton dkk., 1999).

Page 46: Preterm

Gambar 27-12. Meta-analisis efek-efek terapi kortikosteroid pada ibu untuk mencegah sindrom gawat napas neonatus. (Dari Crowley, 1995, dengan izin.)

TABEL 27-9. Kualitas Bukti-bukti yang Mendukung Penggunaan Kortikosteroid untuk Meningkatkan Pematangan Janin

Page 47: Preterm

BuktiKematian neonatusSindrom gawat napasPendarahan intraventrikularPecah ketuban pretermPelahiran pada minggu ke-24-28Pelahiran pada minggu ke-29-34Pelahiran pada usia gestasi >34 mingguInterval terapi sampai pelahiran<24 jam24 jam-7 hari> 7 hari

BaikBaikBaikCukupBaikBaikTidak adekuat untuk mendukung atau membantahCukupBaikTidak adekuat untuk mendukung atau membantah

Dari NIH Consensus Depelopment Panel on the Effect of Corticosteroids for fetal maturation on perinatal outcome (1995) dengan izin

American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on

Obstetric Practice (1994) mendukung kesimpulan-kesimpulan NIH Consensus Panel

kecuali rekomendasi terapi pada wanita dengan keluban pecah preterm. Mereka

merekomendasikan dilakukannya riset lebih lanjut. Bahkan, Chapman dkk. (1996)

menyimpulkan bahwa terapi kortikosteroid untuk wanita dengan ketuban pecah

preterm yang melahirkan bayi kurang dari 1000 g tidak menguntungkan. Yang lebih

baru, American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on Obstetric

Practice (1998) menyatakan keprihatinan tentang efek simpang pada janin dan

kemungkinan efek terhadap status imun ibu akibat pemberian steroid berulang setiap

minggu. Kolese ini merekomendasikan bahwa setelah pemberian kortikosteroid awal,

dosis ulangan hanya boleh diberikan bila diperlukan saja (yakni, dosis

“penyelamatan” diberikan jika ancaman pelahiran preterm berulang lagi).

Dalam edisi terdahulu buku ini, kami memperkirakan bahwa “Ada

kemungkinan bahwa beberapa di antara banyak inanfaat yang berkaitan dengan

terapi kortikosteroid oleh Consensus Panel akan dinilai ulang pada masa yang akan

datang. “Memang, Consensus Panel dikumpulkan kembali pada 17-18 Agustus 2000

untuk mempertimbangkan kembali keamanan dan kemanjuran kortikosteroid

berulang yang diberikan untuk pematangan janin. Kesimpulan Panel tersebut

disajikan di Tabe127-10. Untuk ringkasnya, kini direkomendasikan bahwa

pemberian kortikosteroid antenatal berulang hanya dilakukan pada uji coba klinis.

Page 48: Preterm

EFEK MERUGIKAN KORTIKOSTEROID. Penelitian-penelitian yang dimulai

tahun 1970-an, yang menindak lanjuti perkembangan anak-anak yang diberi terapi

antenatal dengan kortikosteroid sampai umur 12 tahun, tidak memperlihatkan hasil

buruk di bidang perkembangan saraf jangka panjang. Hal ini diukur berdasarkan

adanya gangguan belajar, perilaku, dan motorik atau sensorik (NIH Consensus De-

Trelopment Panel, 7995). Namun lerdapat efek jangka pendek pada ibu, antara lain

edema paru, infeksi, dan pengendalian glukosa yang lebih sulit pada ibu diabetik.

Tidak dilaporkan adanya efek merugikan jangka panjang pada ibu.

TABEL 27-10. Kesimpulan NIH Consensus Panel Tahun 2000 Tentang Pemberian Kortikosteroid Berulang untuk Pematangan Janin.

1. Data internasional kolektif selalu mendukung kuat penggunaan dan kemanjuran pemberian kortikosteroid tunggal antenatal dongan monggunakan dosis dan interval pemberian yang ditetapkan dalam laporan Consensus Development Converence tahun 1994

2. Data manfaat dan risiko terbaru tidak cukup mendukung penggunaan rutin kortikostoroid antonatal berulang atau dosis penyelamatan dalam praktik klinis

3. Percobaan klinik sedang dilaksanakan untuk menilai kemungkinan manfaat dan risiko berbagai regimen pemberian berulang. Sampai data menetapkan rasio manfaat-risiko yang lebih baik, pemberian kortikostoroid antenatal berulang, termasuk terapi penyelamatan, harus dibatasi hanya untuk pasien-pasien yang ikut serta dalam percobaan klinis.

Dari, NIH Consensus Development Conference Sratemont on Repest Courses ol Antenatat Corticosternids, 77-18 Agustus 2000.

Liggins dan Howie (1972) mendasarkan penggunaan kortikosteroid tmtu:.

mempercepat pematangan paru janin pada eksperimen terhadap domba yang

mengindikasikaaa bahwa terapi tersebut tidak hanya memengarultii pemaW ngan

paru saja melainkan juga merangsang persalinan. Kortikosteroid dilaporkan dapat

menginduksi persalinan pada manusia lebih dari 20 tahun lalu (Jenssen dan Wright,

1977; Mati dkk., 1973). Eliott dan Radin (1995) mengkonfirmasi bahwa

kortikosteroid menginduksi kontraksi uterus dan persalinan preterm pada manusia.

Efek merugikan pada janin neonatus dan jangka panjang telah dilaporkan

berkenaan dengan pemberian terapi kortikosteroid pada ibu untuk mempertinggi

maturasi paru berulang versus tunggal, Esplin dkk. (2000) membandingkan

Page 49: Preterm

perkembangan mental dan psikomotor pada 429 bayi dengan berat lahir rendah yang

terpajan dua kali atau lebih pemberian kortikosteroid antenatal dengan bayi yang

terpajan dengan satu kali pemberian atau tidak mendapatkan pajanan sama sekali.

Para penulis itu tidak menemukan adanya manfaat pada dosis berulang, dan pajanan

terhadap pemberian kortikosteroid berulang secara independen dan signifikan diikuti

dengan perkembangan psikomotor yang abnormal. Vermillion dkk. (2000), dalam

sebuah analisis terhadap 453 bayi, menetapkan bahwa sepsis neonatorum awitan dini,

korioamnionitis, dan kematian neonatal secara signifikan berhubungan dengan

pemberian betametason dosis multipel pada ibu. Thorp (2000) dan Guinn (2001)

beserta rekan-rekan mereka melakukan percobaan-percobaan prospektif besar dan

tidak menemukan adanya manfaal pada pemberian steroid berulang. Yang penting,

pada sebuah analisis sekunder, Thorp dkk. (2001) melaporkan penurunan lingkar

kepala yang signifikan pada bayi-bayi yang lerpajan steroid. Demikian pula, Mercer

dkk. (2001) melaporkan penurunan berat dan panjang lahir yang bergantung dosis

pada neonatus yang terpajan terapi steroid antenatal. Sebagian hasil ini telah

didapatkan dan data ini memainkan peran yang menonjol dalam kesimpulan-

kesimpulan yang diambil oleh pertemuan ulang Concensus Panel (Tabel 27-10).

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID DI PARKLAND HOSPITAL. Akibat

rekomendasi Consensus Panel yang pertama, deksametason 5 mg intramuskular

setiap 12 jam untuk 4 dosis setiap 7 hari, diperkenalkan di Parkland Hospital pada

Mei 1994 untuk wanita-wanita tertentu yang berisiko mengalami kelahiran preterm

pada usia antara 24 dan 34 minggu. Kortikosteroid tidak digunakan untuk

pematangan janin sebehim masa ini. Hasi1370 kehamilan tunggal yang berakhir pada

usia gestasi antara 24 dan 34 minggu selama 12 bulan sebelum terapi deksametason

dimulai dibandingkan dengan hasil pada 370 kehamilan serupa yang diberi terapi

deksametason setelah itu. Kami tidak dapat menunjukkan banyak manfaat, bila ada,

pada penelitian sebelum-setelah berbasis populasi ini. Publikasi untuk pengalaman

ini belum mungkin dilakukan.

THYROTROPIN-RELEASING HORMONE UNTUK PEMATANGAN JANIN.

Knight dkk. (1994) dari New Zealand melaporkan bahwa pemberian thyrotropin-

releasing hormone (400 mg secara intravena) selain betametason meningkatkan

Page 50: Preterm

pematangan paru janin dibanding dengan betametason saja. Efek ini didasarkan pada

pengamatan eksperimental bahwa tri-iodotironin Inempertinggi sintesis surfaktan.

Crowther dkk. (1995) dan Australian Collaborative Study Group mengacak 1234

wanita untuk memperoleh thyrotropin-releasing hormone sebagai tambahan terapi

kortikosteroid atau mendapatkan kortikosteroid saja dan tidak mampu menunjukkan

hasil-hasil yang menguntungkan ini. Bahkan, insiden penyakit pernapasan meningkat

pada kelompok yang diterapi dengan tirotropin! Dalam penelitian ACTOBAT ini,

para peneliti juga mengamati bahwa 7 persen ibu mengalami hipertensi nyata sebagai

akibat terapi tirotropin. Mereka menyimpulkan bahwa thyrotropin-relensing hormone

yang diberikan untuk mempercepat pematangan janin “menimbulkan risiko maternal

dan perinatal serta tidak dapat direkomendasikan.” Ballard dkk. (1998) mengikut

sertakan 996 wanita dengan usia gestasi di bawah 30 minggu dalam sebuah

percobaan multisentra berkontrol plasebo tersamar acak tentang terapi thyrotropin-

releasing hormone pada ibu untuk menurunkan morbiditas paru neonatus. Semua

wanita juga memperoleh terapi betametason. Hasil akhir primer adalah penyakit paru

kronis atau kematian bayi sebelum 28 hari. Hasil akhir primer dan sekunder hampir

identik pada kedua kelompok. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian thyrotropin-

neleasing hormone antenatal tidak menguntungkan.

TERAPI FENOBARBITAL DAN VITAMIN K ANTENATAI. Sebagaimana diulas

oleh Thorp dkk. (1995), beberapa penelitian telah mengusulkan bahwa fenobarbital

dan vitamin K antenatal yang diberikan kepada ibu dapat menurunkan insiden

perdarahan intrakranial. Mereka mengacak 272 wanita berisiko kelahiran preterm

untuk mendapatkan plasebo atau terapi dengan fenobarbital dan vitamin K serta

menemukan bahwa terapi seperti ini tidak menurunkan frekuensi dan keparahan

perdarahan intrakranial pada neonatus.

LIGASI SERVIKS (CERCLAGE). Ligasi serviks profilaktik, yang biasa

direkomendasikan di Amerika Serikat untuk wanita dengan riwayat yang mendukung

dan keguguran trimester kedua berulang, juga telah digunakan di Eropa untuk

mencegah kelahiran preterm. Dua percobaan ligasi serviks acak melibatkan lebih dari

700 wanita berisiko mengalami pelahiran preterm dan kedua studi tersebut tidak

menunjukkan adanya manfaat (Lazar dkk., 1984; Rush dkk., 1984). Ligasi serviks

Page 51: Preterm

profilaktik pada kehamilan kembar juga telah terbukti tidak menguntungkan pada

sebuah percobaan acak (Dor dkk., 1982). Medical Research Council of the Royal

College of Obstetricians and Gynecologists (1993) meneliti ligasi serviks pada 1292

wanita dari 12 negara dengan indikasi yang beraneka ragam dan seringkali tidak jelas

untuk menilai apakah prosedur ini dapat memperpanjang kehamilan. Sekitar 75

persen wanita yang didaftar di dalam penelitian acak ini sebelumnya pernah

melahirkan bayi preterm. Pada 647 waanita, jahitan serviks dipasang pada sekitar

minggu ke-16 dan hasilnya dibandingkan dengan 645 wanita yang diacak untuk tidak

mendapatkan ligasi serviks. Ditemukan penurunan angka kelahiran sebelum usia

gestasi 33 minggu yang kecil tapi signifikan-17 menjadi 13 persen-pada wanita yang

menjalani ligasi. Yang penting, tidak ada perbedaan kematian neonatal antar kedua

kelompok. Namun, pcnggunaan ligasi serviks dikaitkan dengan peningkatan

intervensi seperti tokolisis dan perawatan di rumah sakil. Para poneliti

menyimpulkan bahwa penjahitan serviks harus ditawarkan kepada wanita yang

mempunyai riwayat tiga atau lebih kehamilan yang berakhir sebelum minggu ke-37.

Althuisius dkk. (2000) mengacak 73 wanita yang sebelumnya pernah

mengalami kelahiran pretenn di bawah usia gestasi 34 n,inggu untuk menjalani ligasi

serviks atau observasi. Para wanita yang diobservasi diikuti dengan pengukuran

panjang serviks secara transvaginal sampai minggu ke-27, dan ligasi dipasang jika

panjang serviks memendek sampai kurang dari 25 mm. Kelahiran pada usia gestasi di

bawah 34 minggu dan angka ketahanan hidup neonatal setara pada kedua kelompok

studi. Namun, dalam sebuah analisis subgrup, kelahiran preterm menurun secara

signifikan pada wanita yang menjalani ligasi setelah terdapat bukti pemendekan

serviks secara ultrasonografik. Rust dkk. (2000) mengacak 61 wanita untuk

menjalani ligasi atau untuk mendapatkan penatalaksanaan menunggu berdasarkan

bukti pembentukan corong serviks secara ultrasonografik antara usia gestasi 16

sampai 24 minggu. Tidak terdapal keuntungan nyata pada wanita yang diacak untuk

menjalani ligasi serviks.

VAGINOSIS BAKTERIALIS. Hillier dkk. (1995) mendeteksi vaginosis bakterialis

pada 16 persen di antara 10.397 wanita hamil tanpa faktor risiko kelahiran preferm

yang ditapis pada usia gestasi antara 23 sampai 26 minggu. Vaginosis bakterialis

Page 52: Preterm

dikaitkan dengan kemiskinan dan peningkatan kelahiran preterm yang signifikan

pada usia gestasi 32 minggu atau kurang, tetapi tidak berkaitan dengan ketuban pecah

dim. Mikroba yang paling mungkin menyebabkan vaginosis bakterialis antara lain

Gardnerello voginalis, Bacteroides sp, dan Mycoplasma hominis.

Hauth dkk. (1995) meneliti 624 wanita berisiko kelahiran preterm baik karena

mereka sebelumnya telah melahirkan bayi preterm atau karena mereka berberat

badan kurang dari 50 kg sebelum kehamilan. Dalam penelitian tersamar ganda ini

para ibu diacak unluk mendapalkan terapi dengan metronidazol, 250 mg tiga kali

sehari sclama 7 hari; critromisin, 333 mg tiga kali sehari selama 14 hari; Man

plasebo. Sekilar 40 pcrsen wanita pada tiap kelompok menderita vaginosis pada usia

gestasi 22 sampai 24 minggu. Pelahiran sebelum minggu ke-37 pada wanita dengan

vaginosis bakterialis secara signifikan menurun dari 40 menjadi 25 persen bila diberi

metronidazol atau eritromisin. Morales dkk. (1994) melaporkan keuntungan serupa

pada 8l wanita yang mempunyai risiko tinggi untuk pelahiran preterm disertai

vaginosis bakterialis dan yang diterapi dengan metronidazol.

Carey dkk. (2000), dalam sebuah percobaan multisentra dari NICHD

Maternal-Fetal Medicine Units Network, menemukan bahwa terapi metronidazol

pada para wanita hamil dengan vaginosis baklerialis asimptomatik tidak

memperbaiki hasil akhir kehan,ilan sekalipun vaginosis bakterialis tersebut sembuh

pada 78 persen wanila yang mendapatkan terapi melronidazol dibanding dengan 37

persen yang mendapatkan plasebo. Secara spesifik, insiden kelahiran preterm sama

besar pada 953 wanita yang diberi terapi dengan metronidazol dibanding dengan 966

dalam kelompok plasebo. Akhirnya, terapi dengan metronidazol tidak menurunkan

infeksi klinis intraanution atau postpartum, sepsis neonatorum, atau perawatan di unit

perawatan intensif neonatus:

Terapi topikal intravagina untuk vaginosis bakterialis menggunakan krim

klindamisin belum terbukti efektif untuk mencegah kelahiran preterm (Joesoef

dkk.,1995 MC Gregor- dkk., 1994).

METODE-METODE YANG DIGUNAKAN UNTUK MENGHAMBAT

PERSALINAN PRETERM. Banyak sekali obat dan intervensi lain yang telah

digunakan unluk menghambat persalinan preterm, tetapi sayangnya, tidak ada yang

Page 53: Preterm

benar-benar efektif (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1995).

Kemungkinan penyulit pada ibu akibat obat tokoliyik diperlihatkan pada tabel 27-11.

Pentingnya penyulit-penyulit tersebut tidak dapat diremehkan. Sebagai contoh,

tokolisis merupakan penyebab sindrom gawat napas akut dan kematian pada wanita

hamil nomor tiga paling sering dalam periode 14 tahun di Jackson, Mississippi (Perry

dkk., 1996). American College of Obstetricians and Gynecologists (1998) telah

merekomendasikan bahwa sebaiknya tokolisis hanya digunakan bila ada kontraksi

uterus regular plus perubahan serviks yang terdokumentasi atau dilatasi dan

pendataran serviks yang cukup jelas.

TIRAH BARING. Regimen terapi yang paling sering digunakan adalah tirah baring,

baik di rumah sakit atau di rumah. Goldenberg dkk. (1994) telah mengulas tirah

baring yang digunakan untuk merawat berbagai macam komplikasi kehamilan dan

tidak menemukan bukti konklusif bahwa tirah baring dapat membantu mencegah

kelahiran preterm. Kovacevich dkk. (2000) melaporkan bahwa tirah baring paksa

(kecuali untuk keperluan pribadi dan mandi) selama 3 hari atau lebih dapat

meningkatkan risiko komplikasi tromboemboli dari 1 per 1000 wanita tanpa tirah

baring menjadi 16 per 1000 pada mereka yang melakukan tirah baring karena

ancaman pelahiran preterm.

HIDRASI DAN SEDASI. Heltgott dkk. (1994) melakukan percobaan hidrasi dan

sedasi perlama secara acak yang dibandingkan dengan tirah baring saja dalam

perawatan 119 wanita yang sedang dalam persalinan preterm. Wanita yang diacak

untuk mendapatkan terapi menerima 500 ml- larutan Ringer Laktat secara inttavena

dalam 30 menit dan 8 sampai 12 mg morfin sulfal intramuskular. Terapi seperti ini

ternyata tidak lebih menguntungkan daripada tirah baring saja.

AGONIS RESEPTOR BETA-ADRENERGIK. Pada awal abad ini, epinefrin dalam

dosis rendah terbukti memiliki efek depresan pada miometrium gravid. Namun, efek

tokolitiknya terbukti agak lemah dan hanya berlangsung sebentar saja, serta mungkin

diikuti dengan efek kardfovaskular yang menyusahkan. Beberapa senyawa yang

mampu beraksiterutama dengan reseptor p-adrenergik telah diselidiki setelahnya.

Beberapa senyawa ini kini digunakan dalam obstetri, namun hanya ritodrin

Page 54: Preterm

hidroklorida yang telah diakui (tahun 1980) oleh Food and Drug Administration

untuk mengobati persalinan preterm.

TABEL 27-11. Potensial Penyulit akibat Agen-agen Tokolitik

Agen beta-adrenergik Hiperglikemia Hipokalemia HipotensiEdema paru Irisutisiensi jantungAritmiaIskemia mioka Kematian ibu Magnesfum sulfatEdema paru Depresi pernapasana

Henti jantunga

Tetani pada ibua

Parallsis otot barer a

Hipotensi berat a

IndometasinHepatitis b

Gagal ginjal b

Perdarahan gastrointestinal b

Nitedipin Hipotonsi sesaata Efek Jarang: ditemukan pada kadar toksik.b Efek jarang: dikaitkan dengan penggunaan kronis. Dari American College of Obstetricians and Gynecologists (1995), dengan izin.

Reseptor adrenergik terletak.pada permukaan luar membran set otot polos,

tempat agonis spesifik dapat berpasangan dengannya. Adenil siklasc di dalam

membran sel diaktifkan oleh perangsangan reseptor ini. Adenil siklase meningkatkan

konversi ATP menjadi AMP siklik, yang selanjuhlya akan mengawali sejumlah

reaksi yang menurunkan konsentrasi kalsium terionisasi intraselular dan dengan

demikian mencegah akrivasi protein-protein kontraktil (lihat juga Bab 11, hal. 296).

Flier dan Underhill (1996) telah mengulas reseptor-reseptor adrenergik secara

komprehensif.

Ada dua kelas reseptor β-adrenergik: reseptor- β1, yang dominan di jantung

dan usus; dan reseptor-β2, yang dominan di miometrium, pembuluh darah, dan

Page 55: Preterm

bronkiolus. Sejumlah senyawa yang umumnya berstruktur sama dengan epinefrin

telah dievaluasi untuk mencari senyawa yang idealnya dapat memberikan

perangsangan yang optimal pada reseptor-β2 miometrium sehingga menghambat

kontraksi uterus sementara pada waktu yang sama menyebabkan sedikit efek

simpang karena perangsangan reseptor di tempat lain. Sejauh ini, tidak ada senyawa

yang menampilkan khasiat utopis ini. Di Amerika Serikat, senyawa agonis-β yang

dipakai untuk menghentikan persalinan preterm antara lain adalah ritodrin dan

terbutalin.

RITODRIN. Dalam sebuah studi multisentra di Amerika Serikat, bayi-bayi

yang ibunya diterapi dengan ritodrin atas dugaan persalinan preterm mempunyai

angka kcmatian yang lebih rendah, lebih jarang mengalami gawat napas, dan lebih

sering mencapai usia gestasi 36 minggu atau berat lahir 2500 g daripada bayi-bayi

yang ibunya tidak diberi terapi (Merkatz dkk., 1980). Namun, Hesseldahl (1979)

dalam sebuah penelitian multisentra terkontrol di Denmark, tidak mendapati bahwa

beberapa regimen ritodrin yang diuji lebih efektif daripada terapi dengan tirah baring,

infus glukosa, dan tablet plasebo.

Karena keprihatinan yang rnerebak akan kemanjuran dan keamanan ritodrin,

kami mengevaluasi obat tersebut pada layanan obstetri di Parkland Hospital (heveno

dkk.,1986b). Persalinan preterm secara hati-hati didefinisikan mencakup dilatasi

serviks plus kontraksi uterus teratur, dan 106 wanita dengan usia gestasi antara 24

sampai 33 minggu secara acak diberikan ritrodrin intravena atau tidak diberikan

tokolisis. Meskipun terapi ritodrin secara signifikan menunda pelahiran selama 24

jam atau kurang, obat ini tidak secara signifikan mengubah hasil perinatal secara

keseluruhan. Penundaan pelahiran yang signifikan selama 48 jam ditemukan pada

sebuah studi acak terhadap 708 kehamilan yang dilaporkan oleh Canadian Preterm

Labor Inucstigators Group (1992). Kemungkinan penjelasan untuk efek tokolitik

uterus sekilas dari ritodrin dan akhirnya kegagalan terapi semacam itu adalah

fenomena desensitisasi reseptor beta-adrenergik (Hausdorff dkk., 1990).

Infus ritodrin, juga agonis β-adrenergik lainnya, sering kali mengakibatkan

efek samping dan kadangkadang efek samping tersebut serius (Tabel 27-11).

Takikardia, hipotensi, ketakutan, sesak atau nyeri di dada, depresi segmen S-T pada

Page 56: Preterm

elektrokardiografi, edema paru, dan kematian ibu, sudah pemah ditemui. Efek

metabolik ibu antara lain hiperglikemia, hiperinsulinemia (jika tidak diabetik),

hipokalemia, serta ketoasidosis dan asidosis laktat. Efek samping yang kurang serius

namun menyusahkan antara lain emesis, nyeri kepala, rasa gemetar, demam, dan

halusinasi.

Belum ditemukan satupun mekanisme yang dapat menjelaskan timbulnya

edema paru, tetapi infeksi pada ibu tampaknya meningkatkan risiko ini (Hatjis dan

Swain, 1988). Penyebab edema paru tampaknya multifaktorial. Agonis beta-

adrenergik mcnyebabkan retensi natrium dan air sehingga dengan bcrjalannya waktu

biasanya 24 sampai 48 jamdapat menyebabkan overload volume (Hankins dkk.,

1988). Obat ini juga telah dianggap sebagai penyebab peningkatan permeabilitas

kapiler, gangguan irama janhng, dan iskemia miokardium. Pemberian glukokortikoid

secara bersamaan untuk mencoba mempercepat pematangan janin juga berperan

meski edema paru sudah timbul tanpa pemberian obat ini.

Kini hanya ritodrin parenteral yang tersedia di Amerika Serikat sejak

pabriknya menghentikan distribusi tablet pada tahun 1995. Efektivitas ritodrin oral

secara farmakokinetik diragukan (Schiff dkk., 1993).

TERBUTALIN. Agonis-β ini umumnya digunakan untuk mencegah

persalinan preterm, namun, seperti ritodrin, toksisitasnya-khususnya edema paru dan

intoleransi glukosa pada ibu-sudah jelas terjadi pada penggunaannya (Angel dkk.,

1988).

Lam dkk. (1988) melaporkan pemberian terbutalin dosis rendah secara

subkutan jangka panjang dengan menggunakan pompa portabel pada sembilan

kehamilan. Mereka mengklaim bahwa semakin rendah dosis terbutalin yang

digunakan mungkin dapat mcncegah desensitisasi β-adrenergik, yang menghasilkan

“breakthrough tokolisis” yang lebih kecil. Tokos Corporation segera memasarkan

pendekatan ini, dan antara tahun 1987 sampai 1993 telah menggunakan pompa ini

pada hampir 25.000 wanita dengan persalinan preterm (Pe:rry dkk., 1)95). Harga

terapi pompa terbutalin di Dallas pada tahun 1996 adalah $484 per hari. Laporan lain

yang ada mengenai pompa terbutalin antara lain kematian ibu mendadak (Hudgens

Page 57: Preterm

dan Conradi, 1993) dan laporan nekrosis miokardium neonatus setelah ibu

menggunakan pompa tersebut selama 12 minggu (Fletcher dkk., 1991).

Dua percobaan acak prospektif belum menemukan manfaat apapun dari terapi

pompa terbutalin. Wenstrom dkk. (1997) mengacak 42 wanita untuk mendapatkan

terapi dengan pompa terbutalin, pompa salin, atau terbutalin oral. Ketiga kelompok

ini mempunyai usia gestasi yang setara pada saat masuk dan pada saat pelahiran.

Guiin dkk. (1998), dalam sebuah percobaan tersamar ganda, mengacak 52 wanita

untuk mendapatkan terapi pompa terbutalin atau pompa salin. Diperlukan sampel

sejumlah 48 wanita untuk mendeteksi perbedaan antarkelompok dengan rerata 2

minggu sampai pelahiran. Terapi pompa terbutalin tidak secara signifikan

memperpanjang kehamilan, mencegah pelahiran preterm, atau memperbaiki hasil

akhir neonatus.

Terapi terbutalin oral pernah dilaporkan tidak efektif oleh beberapa kelompok

(How dkk., 1995; Parilla dkk., 1993). Pada sebuah percobaan tersamar ganda, Lewis

dkk. (1996) mengacak 203 wanita yang mengalami persalinan prelerm setelah

tokolisis intravena yang berhasil pada usia gestasi 24 sampai 34 minggu, untuk

mendapatkan 5 mg terbutalin oral setiap 4 jam atau plasebo. Pelahiran dalam waktu

satu minggu setara pada kedua kelompok demikian juga median masa laten, rerata

usia geslasi saat pelahiran, dan insiden persalinan preterm berulang. Namun, analisis

setelahnya pada 96 wanita yang diikut sertakan sebelurh usia gestasinya mencapai 32

minggu memberi kesan pemanjangan kehamilan yang signifikan dengan terbutalin

rumatan oral.

IKHTISAR TENTANG OBAT-OBAT BETA-ADRENERGIK UNTUK

MENGHAMBAT PERSALINAN PRETERM. Sejumlah meta-analisis mengenai

agonis-β parenteral yang diberikan untuk mencegah kelahiran preterm secara

konsisten mengkonfirmasi bahwa agen-agen ini menunda pelahiran selama tidak

lebih dari 48 jam (Canadian Prterm Labor Group, 1992). Lebih lanjut, penundaan

ini belum terbukti menguntungkan meski telah dilakukan upaya berulang-ulang

untuk menguji ulang data (Lamont, 1993). Akhirnya, Macones dkk. (7995)

menggunakan meta-analisis untuk menilai data tentang kemanjuran terapi beta-

agonig oral yang tersedia dan tidak menemukan adanya manfaat.

Page 58: Preterm

Dengan demikian, terapi agonis-β oral secara meyakinkan telah terbukti tidak

efektif dan terapi parenteral hanya dapai menunda pelahiran dalam waktu singkat

yang belum terbukti menguntungkan. Keirse (1995b) menyalakan bahwa penundaan

pelahiran singkat yang dihasilkannya mungkin bermanfaat untuk mempermudah

transportasi ibu ke pusat perawatan tersier, dan juga cukup menunda pelahiran

hingga menghasilkan pematangan janin dengan glukokortikoid. Sayangnya, tidak ada

data yang menyokong dari sudut pandang ini.

MAGNESIUM SULFAT. Telah diketahui selama beberapa waktu bahwa

magnesium ionik dalam konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengubah kontraktilitas

miometrium in vivo dan in vitro. Perannya diperkirakan sebagai antagonis kalsium.

Steer dan Petrie (1977) menyimpulkan bahwa magnesium sulfat yang

diberikan secara intravena, 4 g diberikan sebagai dosis awal diikuti dengan infus

kontinu 2 g/jam, biasanya akan menghentikan persalinan. Elliott (1983), dalam

sebuah studi retrospektif, menemukan bahwa tokolisis dengan magnesium sulfat

berhasil, murah, dan relatif tidak toksik. la melaporkan 87 persen keberhasilan bila

serviks berdilatasi 2 cm atau kurang, tetapi periode penghambatan persalinan hanya

48 jam. Spisso dkk. (1982) juga sangat terkesan dengan kemanjuran magnesium

sulfat bila diberikan intravena dalam dosis yang relatif besar kepada wanita dalam

fase laten dini persalinan.

Watt-Morse dkk. (1995) meneliti efek inhibisi magnesium dengan

konsentrasi sampai 8,3 mEq/L pada domba preterm dengan kontraksi yang diinduksi

oksitosin. Mereka menyimpulkan bahwa magnesium sulfat dalam dosis yang dapat

ditoleransi dan nontoksik tidak mempunyai efek langsung pada kontraktilitas uterus.

Hanya ada dua studi berkontrol acak tentang khasiat tokolitik magnesium

sulfat pada manusia. Cotton dkk. (1984) membandingkan magnesium sulfat dengan

ritodrin serta dengan plasebo, dan mereka hanya menemukan perbedaan kecil pada

hasil akhirnya. Cox dkk. (1990) mengacak 156 wanita dalam persalinan preterm

dengan selaput ketuban utuh untuk mendapatkan infus magnesium sulfat atau saline

normal. Magnesium sulfat (larutan 20 persen) mulai diberikan dengan menggunakan

dosis awal 4-g diikuti dengan 2 g/jam secara intravena. Bila kontraksi menetap

setelah 1 jam, infus dilingkatkan menjadi 3 g/jam. Wanita yang diterapi mempunyai

Page 59: Preterm

rata-rata konsentrasi magnesium plasma 5,5 mEq/L. Tidak ditemukan keuntungan

dari terapi seperti ini dan metode tokolisis ini ditolak di Parkland Hospital. Hasil

serupa berikutnya dilaporkan dalam sebuah pemeriksaan terhadap wanita dalam

persalinan preterm tanpa diacak dan melahirkan bayi dengan berat kurang dari 1000

g (Kimberlin dkk.,1996a).

Hollander dkk. (1987) menggunakan dosis infus magnesium sulfat yang

belum pernah digunakan sebelumnya, yakni rata-rata 4,5 g/jam. Mereka melaporkan

terapi seperti itu setara dengan ritodrin. Sebaliknya, Semchyshyn dkk. (1983) tidak

berhasil menghentikan persalinan pada seorang wanita yang secara tidak sengaja

diberi 17,3 g magnesium sulfat dalam waktu 45 menit. Para wanita yang diberi

magnesium sulfat dosis tinggi harus dipantau sangat ketat untuk mencari tanda

hipennagnesemia yang mungkin terbukti toksik bagi mereka dan janin bayi mereka.

Parmakologi dan toksikologi magnesium yang diberikan secara parenleral dibahas

lebih rinci di Bab 24 (hal. 661).

INHIBITOR PROSTAGLANDIN. Senyawa-senyawa yang menghambat

prostaglandin telah menjadi subjek perhatian yang cukup besar karena prostaglandin

dianggap terlibat erat dalam kontraksi mipmctrium pada persalinan normal (Bab 11,

hal. 299). Obat antiprostaglandin mungkin bekerja dengan menghambal sinlesis

prostaglandin atau menghalangi kerja prostaglandin pada organ target. Sekelompok

enzim yang disebut prostaglandin sintase bertanggungjawab atas konversi asam

arakhidonal bebas menjadi prostaglandin. Beberapa obat diketahui menyekat sistem

ini, antara lain aspirin dan salisilat lain, indometasin, naproksen, dan sulindak.

Sayangnya, inhibitor prostaglandin sintase mungkin memiliki efek simpang

pada janin, sehingga menghambat penggunaan obat-obat ini sebagai tokolisis secara

luas. Penyulitnya antara lain penutupan duktus arleriosus, enterokolitis nekrotikans,

dan perdarahan intrakranial (Norton dkk., 1993). I'arilla dkk. (2000) meragukan

hubungan antara indomelasin dengan entcrokolitis nekrolikans. Van der Heijden dkk.

(1994) menghubungkan terapi indometasin perinatal jangka panjang dengan anemia,

kematian neonatal, dan kerusakan kistik ginjal. Ibu dapat mengalami efek simpang

akibat terapi indomelasin, dan Lunt dkk. (1994) melaporkan bahwa tokolisis

indometasin menyebabkan waktu perdarahan pada ibu menjadi amat memanjang.

Page 60: Preterm

Sulindak, yang strukturnya berkaitan erat dengan indometasin, telah

dilaporkan mempunyai efek samping yang lebih sedikit bila digunakan sebagai

lokolais (Rasanen dan Jouppila, 1995). Namun, percobaan-percobaan pendahuluan

mengindikasikan bahwa terapi sulindak oral mungkin tidak terlalu bermanfaat untuk

mencegah kelahiran preterm (Carlan dkk., 1995). Kramer dkk. (1996) mengukur

efek-efek sulindak pada produksi urin janin dan volume cairan amnion serla

membandingkannya dengan terbutalin dalam sebuah studi acak tersamar ganda.

Pemberian sulindak menurunkan aliran urin janun dan volume cairan amnion. Dua

janin juga mengalami konstriksi duktus berat. Dengan demikian, sulindak

mempunyai banyak efek samping pada janin yang berkaitan dengan indometasin.

Panter dkk. (1996) meninjau semua percobaan acak yang membandingkan

indometasin dengan agonis-β sebagai tokolisis. Indometasin terbukti lebih efektif

untuk menunda pelahiran selama 48 jam, dan menimbulkan efek samping ibu yang

lebih sedikit daripada ritodrin. Namun, indometasin dikaitkan dengan peningkatan

morbiditas neonatal. Para pencliti ini menyimpulkan bahwa indometasin perlu

dievaluasi lebih lanjut sebelum digunakan sebagai tokolisis secara rutin.

OBAT-OBAT PENYEKAT SALURAN KALSIUM Aktivitas otot polos, termasuk

miometriam, secara langsung berhubungan dengan kalsium bebas di dalam

sitoplasma, dan penurunan konsentrasi kalsium akan menghambat kontraksi. Ion

kalsium mencapai sitoplasma melalui portal atau saluran membran spesifik, dan

penyekat saluran kalsium bekerja menghambat pemasukan kalsium melalui saluran

membran set dengan berbagai mekanisme. Penyekat pemasukan kalsium berkat efek

relaksasi otol polos arteriolarnya-kini digunakan sebagai terapi penyakit arteri

koroner dan hipertensi.

Kemungkinan bahwa obat penyekat saluran kalsium dapat diaplikasikan

dalam terapi persalinan preterm telah menjadi subjek riset baik pada binatang

maupun manusia sejak akhir tahun 1970-an. Saade dkk. (1994), dengan

menggunakan potongan-potongan miometrium manusia in vitro, memperlihatkan

bahwa ritrodin menyebabkan relaksasi serupa dengan ritodrin dan lebih efektif

daripada magnesium. Uji coba Minis pertama yang memberikan nifedipin untuk

persalinan preterm dilakukan di Denmark oleh Ulmsten dkk. (1980). Terapi nifedipin

Page 61: Preterm

menunda pelahiran sekurang-kurangnya 3 hari pada 10 wanita dengan persalinan

prelerm pada usia gestasi 33 minggu atau kurang. Tidak ditemukan efek samping

yang serius pada ibu atau janin. Telah dilakukan beberapa studi berikutnya tentang

tokolisis nifedipin, yang telah ditinjau ulang secara komprehensif oleh Childress dan

Katz (1994). Pada semua studi tersebut nifedipin lebih berhasil atau lebih baik

daripada ritodrin dalam menghentikan kontraksi preterm tanpa efek simpang pada

janin. Efek samping ritodrin pada ibu jauh lebih buruk.

Sekalipun penyekat saluran kalsium mungkin tampak menjanjikan sebagai

terapi persalinan preterm, beberapa peneliti mengingatkan bahwa perlu dilakukan

lebih banyak riset untuk mengklarifikasi bahaya potensial pada ibu atau janin sebab

relaksasi otot polos oleh nifedipin tidak terbatas pada otot uterus saja, melainkan juga

mengenai pembuluh darah sistemik dan uterus. Resistensi vaskular yang menurun

karena nifedipin dapat menyebabkan hipotensi pada ibu sehingga menurunkan

perfusi uteroplasenta. Parisi dkk. (1986) melaporkan bahwa hiperkapnia, asidosis,

dan kemungkinan hipoksemia terjadi pada janin-janin dari domba hipertensif yang

diberi nikardipin. Demikian pula, Lirettc dkk. (1986) mengamati penurunan aliran

darah uteroplasenta pada kelinci hamil. Namun, para penelili lain belum menemukan

efek buruk ini pada janin (Childress dan Katz, 1994).

Efektivitas penyekat saluran kalsium, seperti nifedipin, dalam menekan

kontraksi atau persalinan preterm belum diteliti secara adekuat. Percobaan-percobaan

kecil memberikan hasil yang tidak konklusif (Kupferminc dkk., 1993; Papatsonis

dkk., 1997; Read dkk., 1986; Smith dan Woodland, 1993). Dalam sebuah tinjauan

ulang dari Gochrnne Database yang membandingkan nifedipin dengan simpa-

tomimetik-β, Keirse (1995a) menyimpulkan bahwa terapi nifedipin menurunkan

kelahiran bayi yang beratnya kurang dari 2500 g, tetapi lebih banyak bayi yang

dimasukkan ke perawatan intensif neonatal. Hasil-hasil seperti ini mengharuskan

dilakukannya studi lebih lanjut mengenai keamanan dan kemanjuran obat tersebut.

Kombinasi nifedipin dan magnesium sebagai lokolisis kemungkinan

berbahaya. Ben-Ami dkk. (1994) serta Kurtzman dkk. (1993) melaporkan bahwa

nifedipin meningkatkan toksisitas magnesium untuk menimbulkan blokade

neuromuskular yang dapat mengganggu fungsi paru maupun jantung. Carr dkk.

Page 62: Preterm

(1999) menemukan bahwa terapi rumalan dengan nifedipin oral tidak

memperpanjang kehamilan secara signifikan pada para wanita yang dari semula

diobati dengan magnesium sulfat intravena untuk persalinan preterm.

ATOSIBAN. Sebuah analog oksitosin nonapcptida, atosiban, terbukti

merupakan antagonis kompetitif unluk oksitosin-vasopresin yang dapat menghambat

kontraksi uterus yang diinduksi oleh oksitosin. Goodwin dkk. (1995) mengulas

atosiban serta mendeskripsikan farmakokinetikanya pada wanita hamil. Hasil sebuah

percobaan nuiltisentra, tersamar ganda dan berkontrol plasebo pada 501 wanita yang

ditetapkan menerima atosiban intravena atau plasebo baru-baru ini dipublikasikan

(Romcro dkk., 2000). Terapi atosiban tidak secara signifikan memperbaiki hasil akhir

pada bayi yang relevan secara klinis. Pertimbangan keamanan menjadi keprihatinan

utama karena kematian janin-bayi lebih besar pada kelompok atosiban. Persetujuan

dari Food and Drug Administration mengenai penggunaan atosiban untuk

menghentikan persalinan preterm telah dihapuskan alas pertimbangan tentang

kemanjuran dan keamanannya pada janin-bayi barn lahir (FDA, komunikasi

personal).

OBAT-OBAT DONOR NITRAT OKSIDA. Nitrat oksida adalah suatu relaksan otot

poles endogen yang poten di dalam pembuluh darah, usus, dan uterus. Nilrogliserin

adalah contoh obat donor nitrat oksida. Clavin dkk. (1996) mengacak 34 wanita

dalam persalinan preterm untuk mendapatkan tokolisis dengan nitrogliserin atau

magnesium sulfat intravena. Tidak ada perbedaan kemanjuran tokolitik dari kedua

obat ini, tetapi 3 di antara 15 wanita yang diberi nitrogliserin menderita hipotensi

beral. Lees dkk. (1999) mengacak 245 wanita dalam persalinan preterm untuk

mendapatkan gliseril trinitrat transdennal atau ritodrin inlravena. Gliseril trinitrat

secara keseluruhan tidak memiliki kelebihan dalam penghambatan persalinan

preterm.

TERAPI KOMBINASI. Penggunaan banyak obat untuk menghambat persalinan

pretenn mengesankan bahwa tidak ada satu obat yang secara tunggal benar-benar

memuaskan. Sayangnya, belum ada penelitian yang mcmbandingkan kombinasi

tokolilik dengan plasebo. Kosasa dkk. (1994) menggunakan tokolisis jangka panjang

dengan kombulasi terbulalin dan magnesium sulfat inlravena pada 1000 kehamilan.

Page 63: Preterm

Rerata durasi terapi intravena adalah 61 hari pada wanita dengan selaput ketuban

utuh dan satu wanila menerima terapi ini selama 123 hari. Pendekatan ini diklaim

efektif dan aman karena hanya 2 sampai 4 persen wanila mengalami edema paru.

PENATALAKSANAAN INTRAPARTUM. Secara umum, semakin imatur

janinnya, semakin besar risiko akibat persalinan dan pelahiran.

PERSALINAN. Apakah persalinan diinduksi atau spontan, kelainan frekuensi

denyut jantung janin dan kontraksi uterus harus dicari, lebih baik dengan pemantau

elektronik kontinu. Takikardia janin, terutama bila terjadi pecah ketuban,

menandakan adanya sepsis. Terdapat beberapa bukti terbaru bahwa asidemia

intrapartum dapat memperberal beberapa komplikasi neonatal yang biasanya hanya

ditimbulkan oleh prematuritas. Misalnya, Low dkk. (1995) mengamati bahwa

asidosis intrapartum-pH darah arteri umbilikalis kurang dari 7,0- memainkan peran

penting pada komplikasi neonatal. Demikian pula, Kimberlin dkk. (1996b)

menemukan bahwa peningkatan asidemia darah arteri umbilikalis berhubungan

dengan penyakit pernapasan yang lebih berat pada neonatus preterm meski tidak

ditemukan efek pada hasil neurologis jangka pendek yang meliputi perdarahan

intrakranial.

Yang penting, seperti halnya bayi preterm berat harus diberi perawatan

khusus di unit perawatan intensif neonatal, ibu dan janin harus diamati sangat ketat di

unit persalinan dan pelahiran. Dokter dengan keahlian khusus harus memantau

persalinan dan pelahiran janin prelerm berat.

PENCEGAHAN INFEKSI STREPTOKOKUS GRUP B PADA NEONATUS.

Seperti yang dibahas dalam Bab 56 (hal. 1647), infeksi streptokokus grup B sering

terjadi dan berbahaya pada neonatus preterm. Sejak 1996 Centers for Disease

Control and prevention, bersama dengan American College of Obstrtricinnsnrul

Gynecologists, merekomendasikan penisilin G alau ampisilin secara intravena seliap

6 jam sampai pelahiran bagi para wanita yang bersalin sebelum usia gestasi 37

minggu dan yang status biakannya tidak diketahui atau positif untuk streptokokus

grup B.

PELAHIRAN. Bila mulut vagina lidak relaks, episiotomi untuk pelahiran mungkin

dapat bermanfaat begitu kepala janin mencapai perineum. Masih ada tantangan

Page 64: Preterm

mengenai manfaat pelahiran spontan versus pelahiran forseps untuk melindungi

kepala janin preterm yang rentan (Bab 21, hal. 537). Masih diragukan apakah

penggunaan forsep pada kebanyakan kasus menimbulkan trauma yang lebih ringan.

Memang, menekan dan menarik kepala bayi yang amat preterm mungkin lebih

traumalik daripada dorongan alami. Penggunaan forseps outlet dengan ukuran yang

pas mungkin dapat membantu bila digunakan anestesi regional dan usaha untuk

mengejan volunlar dilahan.

Seorang dokter dan staf yang terampil dalam teknik resusitasi serta

berorientasi penuh pada masalah spesifik kasus ini harus hadir pada saal pelahiran.

Prinsip-prinsip resusitasi yang diuraikan di Bab 16 dapat dipakai, termasuk inhrbasi

trakea dan ventilasi yang tepat. Pentingnya ketersediaan personel dan fasilitas khusus

pada kasus bayi preterm ditekankan oleh membaiknya angka ketahanan hidup bayi-

bayi ini jika mereka dilahirkan di pusat perawatan tersier (Powell dkk., 1995).

PENCEGAHAN PERDARAHAN INTRAKRANIAL NEONATAL. Bayi-bayi

preterm sering mengalami perdarahan matriks germinal yang dapat meluas menjadi

perdarahan intraventrikel yang lebih serius (Bejar dkk., 1980). Dihipotesiskan bahwa

seksio sesarea untuk meniadakan trauma persalinan dan pelahiran pervaginam

mungkin dapat mencegah komplikasi ini. Observasi-observasi awal ini belum

disahkan oleh sebagian besar studi yang dilakukan setelahnya. Dalam studi terbesar,

Malloy dkk. (1991) menganalisis 1765 bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 g

dan menemukan bahwa seksio sesarea tidak menurunkan risiko kematian serta

perdarahan intrakranial. Namun, Anderson dkk. (1988) membuat suatu pengamatan

yang menarik tentang peran seksio sesarea untuk mencegah perdarahan intrakranial

pada neonatus. Perdarahan ini berhubungan dengan apakah janinnya telah mengalami

fase aktif persalinan alau belum, yang ditetapkan sebagai interval sebelum dilalasi

serviks mencapai 5 cm. Seperti ditekankan oleh Anderson dkk. (1988), menghindari

fase aktif persalinan sudah tidak mungkin pada kebanyakan kelahiran prelenn karena

jalur pelahiran tidak ditetapkan sampai persalinan benar-benar telah pasti

berlangsung.

Nelson dan Grether (1995) melaporkan bahwa magnesium sulfat yang

diberikan kepada para wanita yang melahirkan preterm untuk tokolisis atau

Page 65: Preterm

preeklamsia disertai dengan pcnurunan signifikan insiden cerebral palsy ketika bayi

yang hidup dengan berat lahir kurang dari 1500 g ditindak lanjuti sampai umur 3

tahun. Dikatakan bahwa magnesium yang diberikan kepada janin melalui ibu

mungkin memainkan peran pada pengaturan pembuluh darah untuk mensuplai

matriks germinal pada otak janin preterm yang amat rentan terhadap perdarahan.

Namun, Murphy dkk. (1995) menemukan bahwa preeklampsia berat dan pelahiran

lanpa persalinan bersifat proteklif terhadap cerebral palsy. Mereka menyimpulkan

bahwa magnesium mungkin bukan agen protektifnya karena obat ini tidak digunakan

untuk menangani preeklampsia di Inggris.