Preterm
Transcript of Preterm
KELAHIRAN PRETERM
Berat lahir rendah adalah terminologi yang digunakan untuk menyebut bayi-
bayi yang dilahirkan terlalu kecil, dan kelahiran prematur atau preterm adalah istilah
yang digunakan untuk menyebut bayi yang dilahirkan terlalu dini. Sebelum abad
terakhir ini, ketika ungkapan kelahiran prematur pertama kali digunakan, bayi yang
dilahirkan sebelum aterm biasanya disebut sebagai “bayi lemah” atau bayi yang
lemah bawaan” (Cone, 1985). Memang, sebelum tahun 1872, bayi tidak selalu
ditimbang saat lahir baik cukup bulan atau kurang bulan. Pada 1900, Ransom
menulis bahwa di Amerika Serikat “...di antara ribuan bayi prematur yang
lahir ...kebanyakan dilahirkan dengan tenang dengan .... sedikit, kalau ada, upaya
yang dilakukan untuk menyelamatkannya.” Dalam edisi pertama buku ini, Williams
(1903) menulis: “Pada umumnya, bayi prematur yang beratnya kurang dari 1500 g (3
lbs 3 oz) praktis tidak mempunyai kesempatan untuk hidup, meskipun kasus-kasus
yang luar biasa pemah dilaporkan.” Ketika abad ke-20 berjalan terus, timbul
kesadaran yang semakin besar bahwa bayi-bayi preterm memerlukan perawatan
khusus, terbukti dengan dikembangkannya inkubator dan tempat perawatan bayi
intensif. Prematuritas menjadi tampak jelas secara nasional sebagai penyebab
kematian bayi tersering ketika sudah tersedia statistik seluruh negeri dengan revisi
akte kelahiran pada 1949, yang secara khusus menyebutkan usia gestasi dan berat
lahir.
Akhir-akhir ini, angka kematian bayi sudah menjadi tolok ukur perbandingan
sistem perawatan kesehatan internasional. Sebagai contoh, pada tahun 1995 Amerika
Serikat berada di peringkat 25 dunia di bawah Jepang, Singapura, Jerman, dan
sebagian besar negara-negara Skandinavia (National Center for Health Statistics,
1999). Negara-negara dengan angka kelahiran preterm yang lebih tinggi mempunyai
angka kematian bayi yang lebih tinggi. Selain itu, di Amerika Serikat, orang Amerika
Afrika amat rentan terhadap pelahiran preterm dan kematian bayi. Seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 27-1, lebih dari 28.000 bayi meninggal pada tahun 1998 di
Amerika Serikat, dan 66 persen di antaranya meninggal dalam waktu 4 minggu
setelah lahir. Selain itu, kelahiran preterm sekurang-kurangnya menyebabkan dua
pertiga kematian bayi dini ini.
Sachs dkk. (1995) secara logis meragukan perbandingan angka kematian bayi
intemasional, karena mereka menemukan perbedaan regional dan internasional yang
amat besar dalam cara penggolongan kelahiran preterm.
TABEL 27-1. Angka Kematian Bayi di Amerika Serikat tahun 1998
Bayi Angka per 100.000 kelahiran hidup
Total kelahiran hidupKematian bayi0-27 hari28 hari-1 tahun
3.944.04628.486 (100%)18.832 (66%)9.654 (35%)
__722477245
Disadur dari Martin dkk (1999)
DEFINISI
Pada tahun 1935, American Academy of Pediatrics mendefinisikan
prematuritas sebagai bayi yang lahir hidup dengan berat badan 2500 g atau kurang
(Cone, 1985). Kriteria ini digunakan luas sampai didapatkan adanya ketidaksesuaian
antara usia gestasi dan berat lahir akibat pertumbuhan janin yang terhambat. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1961 menambahkan usia gestasi sebagai satu
kriteria bayi prematur, yaitu bayi yang lahir pada usia gestasi 37 minggu atau kurang.
Dibuat pembedaan antara berat badan lahir rendah (2500 g atau kurang) dan
prematuritas (37 minggu atau kurang).
TABEL 27-2. Kelahiran Hidup di Amerika Serikat Tahun 1998 Berdasarkan Usia Gestasi saat Pelahiran
Usia genetasi Kelahiran hidup PersenTotal36 minggu atau kurang
< 28 minggu28-31 minggu2-35 minggu36 minggu
37-39 minggu 40 minggu41 minggu42 minggu
3.941.553452.27529.03747.486212.210163.542
1.859.198853,416443.502292.766
100110,71,2544722117
Disadur dari Ventura dkk (2000)
Lembaga lain telah mengusulkan bahwa kelahiran preterm didefinisikan
sebagai bayi yang dilahirkan sebelum lengkap 37 minggu (American College of
Obstetricians and Gynecologist, 1995).
Dengan semakin membaiknya perawatan bayi prematur, dikembangkan
definisi-definisi lain. Sebagai contoh, Collaborative Group on Antenatnl Steroid
Therapy (1981) melaporkan bahwa jumlah angka kematian dan morbiditas serius
yang amat besar akibat kelahiran preterm ditemukan sebelum 34 minggu. Lebih
lanjut, berat badan lahir rendah, yang didefinisikan sebagai kurang dari 2500 g,
sekarang telah dimodifikasi untuk menyatakan berat badan lahir sangat rendah, yaitu
bayi dengan berat badan 1500 g atau kurang; dan berat badan lahir rendah ekstrim,
yaitu bayi yang berberat 1000 g atau kurang. Seperti yang disajikan pada Tabel 27-2,
hampir 90 persen kelahiran hidup di Amerika Serikat terjadi pada usia gestasi 37
minggu atau lebih, dan semakin sedikit ditemukan kelahiran dengan usia kehamilan
yang kurang pada saat lahir. Kontribusi kehamilan multipel yang sangat besar
terhadap kelahiran preterm dibahas di Bab 30 (hal. 852).
Di banyak negara industri, termasuk Amerika Serikat (Gambar 27-1),
proporsi bayi yang dilahirkan sebelum aterm telah meningkat dalam 20 tahun
terakhir Qoseph dkk., 1998). Di Kanada, misalnya, kelahiran pada usia gestasi 36
minggu atau kurang meningkat dari 6,3 persen pada tahun 1981 menjadi 6,8 persen
pada 1992. Peningkatan kelahiran preterm ini dikaitkan dengan perubahan pada
frekuensi kelahiran multipel, peningkatan intervensi obstetris, meningkatnya
pemastian kelahiran preterm dini, dan semakin banyak digunakannya ultrasonografi
untuk memperkirakan usia gestasi (Joseph dkk., 1998). Faktor-faktor serupa pasti
berlaku terhadap peningkatan kelahiran preterm yang terjadi di Amerika Serikat.
Angka Berat Lahir Rendah (Bayi dengan berat lahir <2500 gram per 1000 kelahiran hidup)
Gambar 27-2. Angka kematian neonatal dikaitkan dengan berat lahir rendah di 50 negara bagian dan Washington, DC. (Dari Paneth, 1995, dengan izin).
Makna berat badan lahir rendah, yang hampir setara dengan kelahiran
sebelum 37 minggu, sebagai prediktor kematian bayi dalam 28 hari kelahiran
(kematian neonatal), diperlihatkan pada Gambar 27-2. Angka kematian neonatal per
negara bagian dinyatakan berbanding lurus terhadap pelahiran bayi dengan berat
badan lahir rendah. Negara bagian yang mempunyai populasi penduduk kota besar,
atau banyak terdapat kemiskinan, mempunyai insiden yang paling tinggi. Untuk
menjawabnya, Amerika Serikat mengembangkan program asuransisosial Medicaid
secara besar-besaran pada tahun 1986 dengan sasaran memperbanyak layanan
pranatal dan layanan kesehatan lain untuk wanita hamil (Dubay dkk., 1995).
Demikian pula, pemerintah federal juga memulai Healthy Start Program pada 1991
untuk 15 daerah perkotaan dengan angka kematian bayi paling buruk.
Berdasarkan usia gestasinya,janin atau bayi dapat disebut preterm (kurang
bulan), aterm (cukup bulan), atau posterm (lewat bulan). Berdasarkan besamya, janin
atau bayi tersebut mungkin tumbuh normal atau sesuai untuk masa kehamilannya
(SMK), berukuran kecil atau kecil untuk masa kehamilannya (KMK), atau tumbuh
lebih besar atau besar untuk masa kehamilannya (BMK). Pada tahun-tahun terakhir,
istilah kecil untuk masa kehamilannya sudah digunakan secara luas untuk
menggolongkan seorang bayi yang berat lahimya biasanya di bawah persentil ke-10
untuk usia gestasinya. Terminologi yang juga sering digunakan antara lain retardasi
pertumbuhan janin atau retardasi pertumbuhan intrauterin. Dalam 5 tahun
belakangan ini, istilah restriksi (hambatan) telah banyak menggantikan retardasi,
karena retardasi secara salah mengandung makna keterlambatan mental daripada
hanya sekedar pertumbuhan janin suboptimal yang dimaksudkan (Bab 29, hal. 828).
Bayi yang berat lahirnya di atas persentil ke-90 digolongkan sebagai besar untuk
masa kehamilannya, dan bayi yang berat badannya antara persentil 10 dan 90 disebut
sebagai sesuai untuk masa kehamilannya. Dengan demikian seorang bayi yang
dilahirkan sebelum aterm dapat kecil atau besar untuk masa kehamilannya dan masih
preterm (kurang bulan) menurut usia gestasi kronologis. Selain itu, beberapa bayi
preterm juga sudah mengalami hambatan pertumbuhan in utero. Perlu dikenali bahwa
bayi-bayi yang mengalami pertumbuhaq in utero subnormal juga sering dimasukkan
sebagai kelahiran preterm. Pertumbuhan janin terhambat dibahas di Bab 29 dan bab
ini akan berfokus pada kelahiran preterm yang masalah utamanya hanya berupa
pelahiran sebelum maturasi lengkap. Yang ditampilkan di dalam Tabe129-1 adalah
persentil berat lahir untuk setiap minggu gestasional antara usia 20 sampai 44
minggu, yang mungkin membantu untuk memperkirakan apakah berat lahir bayi
preterm subnormal atau berlebih.
DAMPAK KELAHIRAN PRETERM
Pendekatan obstetris terhadap persalinan dan pelahiran preterm sebagian
besar dipandu dengan harapan yang dimiliki ahli kebidanannya mengenai
kemungkinan harapan hidup neonatus prematur serta alternatif terapi yang tersedia
untuk penatalaksanaan persalinan preterm (Bottoms dkk., 1997). Fakta bahwa
beberapa bayi yang sangat kecil akan bertahan hidup bila tersedia perawatan intensif
yang sangat mahal dan lama telah menciptakan masalah yang serius dalam
pengambilan keputusan. Ahli kebidanan menghadapi tantangan untuk membuat
pelahiran sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan status janin bayi saat lahir
sekiranya akan diberikan perawatan intensif. Ahli neonatologi pada gilirannya harus
mengambil keputusan mengenai bagaimana sebaiknya menyalurkan sumber daya
perawatan medis yang terbatas yang diberikan oleh perusahaan asuransi, keluarga,
badan pemerintah, rumah sakit, dan tim perawatan kesehatan.
Selain ketahanan hidup, masalah penting lainnya adalah kualitas hidup yang
dicapai oleh bayi yang cukup imatur dan memiliki berat badan lahir rendah ekstrem.
Tampak jelas bahwa ancaman yang lumayan besar baik fisik maupun intelektual
menimpa anak-anak semacam ini. Dengan memperhatikan hal-hal ini, pada usia
gestasi berapa seharusnya dilakukan intervensi obstetris? Meskipun kita tidak
mungkin menetapkan dengan tepat batas ketahanan hidup paling awal untuk
neonatus, faktor-faktor tertentu tak pelak lagi berdampak pada proses pengambilan
keputusan klinis.
Persepsi obstetris mengenai viabilitas mungkin mempengaruhi ketahanan
hidup bayi-bayi dengan berat badan lahir rendah ekstrem. Amon dkk. (1992) serta
Bottoms dkk. (1997) menyurvei para ahli obstetri Amerika untuk menentukan opini
klinis mereka mengenai penatalaksanaan intrapartum pada janin preterm berat yang
perlu dilahirkan. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin intrapartum dimulai
pada minggu ke-23, 24, dan 25 oleh masing-masing 10,45, 65 persen responden.
Seksio sesarea tidak dilakukan pada kehamilan kurang dari 24 minggu atau berat
janin kurang dari 500 g. Hampir 90 persen responden bersedia melakukan seksio
sesarea atas indikasi gawat janin atau presentasi bokong pada usia gestasi 26 minggu
atau berat janin 750 g. Penatalaksanaan pelahiran sebelum minggu ke-26, atau untuk
janin yang beratnya kurang dari 750 g, berbeda-beda dan bersifat individual.
Haywood dkk. (1994) menemukan bahwa para dokter terlalu rendah menilai
ketahanan hidup dan angka harapan hidup bebas kecacatan, khususnya pada bayi
yang dilahirkan antara minggu ke-23 dan 29. Doron dkk. (1998) menganalisis
keputusan-keputusan di ruang pelahiran oleh para ahli neonatologi untuk
memberikan atau tidak memberikan resusitasi bagi 41 bayi yang dilahirkan antara 23
dan 26 minggu gestasi. Mereka menyimpulkan bahwa ruang pelahiran bukan tempat
yang paling baik untuk memutuskan menahan pemberian bantuan hidup dan bahwa
keputusan ini paling baik dibuat kemudian di bagian neonatus.
Perlu ditekankan bahwa keputusan obstetris untuk tidak melakukan seksio
sesarea atau melakukan pemantauan intrapartum tidak harus menyatakan bahwa
janinnya “tidak viabel” atau “dianggap “tidak ada lagi”. Sebagai contoh, Kitchen
dkk. (1992) menganalisis hasil akhir bayi-bayi lahir hidup yang berberat 500 sampai
999 g dan menemukan bahwa meskipun 50 persen bayi bertahan hidup dan hanya 7
persen yang cacat berat, hasil akhir ini tidak berkaitan dengan keputusan
menggunakan seksio sesarea atau pemantauan elektronik.
Persepsi mengenai potensi ketahanan hidup hampir selalu dikacaukan oleh
kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh usia gestasi yang tidak diketahui secara
tepal. Sebagian besar data ketahanan hidup didasarkan pada berat lahir, yang dapat
sangat bervariasi antara minggu ke-24 dan 26. Misalnya, berat badan bayi-bayi yang
dilahirkan antar 24 dan 26 minggu dapat bervariasi dari 435 g hingga 1640 g
(Alexander dkk., 1996). Kematian dan morbiditas perinatal berkurang secara nyata
dari minggu gestasi ke-24 sampai 26. Memang, angka ketahanan hidup meningkat
dari sekitar 20 persen pada minggu gestasi ke-24 menjadi 50 persen pada 25 minggu,
atau peningkatan hampir 4 persen setiap hari. Demikian pula, morbiditas perinatal
yang serius juga menurun nyata setiap hari dari minggu gestasi ke-24 sampai 26.
Secara klinis, hubungan dengan hasil kelahiran yang membaik secara nyata dari hari-
ke-hari ini sangat penting ketika memutuskan penatalaksanaan obstetrik pada batas
terbawah usia gestasi.
TABEL 27-3. Angka Ketahanan Hidup berdasarkan Berat Lahir untuk 14.733 Bayi yang
Lahir di Parkland Hospital pada 1999
Berat lahir(9)
Kelahiran hidup(Jumlah)
Kematian neonatal(Jumlah)
Ketahanan hidup(%)
500-750751-10001001-12501251-17501501-17501751-20002001-25002501-3000
3452545282138667
2.488
2066333113
41858994969898
99.9
3001-35003501-4000
>4000Total
5.6954.0711400
14.733
31261
99.910010099.6
Angka ketahanan hidup yang terkait dengan berat lahir untuk kelahiran hidup
selama 1999 di Parkland Hospital diperlihatkan di Tabel 27-3. Data ketahanan hidup
untuk bayi 500 sampai 1500 g amat mirip dengan angka-angka yang dilaporkan oleh
Fanaroff dkk. (1995) unhik Neonatal Research Network yang disponsori National
Institntes of Health (NIH). Kemungkinan harapan hidup meningkat jelas pada berat
lahir tepat atau di atas 1000 g. Data ini menunjukkan bahwa bayi-bayi dengan berat
500 sampai 750 g mungkin hidup. Banyak di antara bayi dengan berat lahir rendah
ekstrem ini mengalami hambatan pertumbuhan sehingga lebih matur. Sebagai
contoh, bayi 380 g yang bertahan hidup pernah dilaporkan, tetapi umur gestasinya
terkonfirmasi 25'“ minggu (Ginsberg dkk., 1990). Jelaslah, harapan untuk ketahanan
hidup neonatus terutama dipengaruhi oleh usia gestasi dan maturitas dan bukan
hanya oleh berat lahir saja.
768
BAGIAN VII KOMPLIKASI YANG UMUM PADA KEHAMILAN
Probabilitas Kematian
__.__ Ramalan ……l….. Sebenarnya
Gambar 27-3. Probabilitas kematian neonatal sebelum keluar dari rumah sakit pada 3386 kelahiran pada usia gestasi antara 20 sampai 37 minggu. Kurva ramalan angka kematian berfungsi untuk menghaluskan titik-titik data. (Dan Copper dkk., 1993, dengan izin.)
BATAS BAWAH KETAHANAN HIDUP. Garis batas ketahanan hidup bayi secara
progesif telah terus terdorong ke kehamilan yang lebih muda terutama karena inovasi
yang terus-menerus di bidang perawatan neonatal intensif. Copper dkk. (1993)
menghimpun angka kematian neonatal yang spesifik terhadap usia gestasi terhadap
3386 bayi lahir hidup yang didaftarkan secara prospektif ke dalam March of Dimes
Multicenter Preterm Birth Prevention Project antara tahun 1982 dan 1986.
Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 27-3, kematian neonatal menurun dari 100
persen pada minggu ke-23 menjadi sekitar 10 persen pada usia gestasi 29 minggu
dengan sedikit perbaikan tambahan sampai minggu ke-34. Angka kematian yang
hampir identik pada 2678 bayi lahir hidup yang dilahirkan di Inggris antara 1990
sampai 1993 dilaporkan olch Rutter (1995). Periode gestasi antara 23 sampai 25
minggu menimbulkan dilema yang paling besar bagi ahli kebidanan maupun dokler
anak. Seperti yang diperlihatkan di Gambar 27-3, kemungkinan kematian neonatal
sebelum minggu ke-26 lebih dari 75 persen. Stevenson dkk. (1998) melaporkan hasil
berat lahir rendah yang serupa berdasarkan kohort sejak lahir dari NICHD Neonatal
Research Network pada tahun 1993 dan 1994. Berdasarkan atas “penetapan usia
gestasi terbaik secara obstetrik”, angka kematian, morbiditas berat pada bayi, atau
keduanya, amat besar sebelum minggu gestasi ke-26 dan hampir universal sebelum
usia gestasi 24 minggu. Bottoms dkk. (1999), untuk NICHD Maternal-Fetal
Medicine Units Network, menyimpulkan bahwa pada bayi baru lahir dengan berat
badan kurang dari 1000 g, penilaian ultrasonografik terhadap panjang femur janin
atau usia gestasi merupakan alat paling prediktif untuk mortalitas neonatal.
HASIL AKHIR JANGKA PANJANG. Meskipun hanya sedikit bayi dengan berat
lahir di bawah 750 g yang diterapi secara aktif pada tahun 1970-an, sejak tahun 1980-
an, terapi seperti ini sering dipraktikkan untuk bayi-bayi yang mempunyai berat lahir
kurang dari 500 g dan yang lahir pada usia gestasi 24 minggu atau lebih (Hack dkk.,
1994). Angka morbiditas neonatal yang cukup linggi pada bayi-bayi yang sangat
kecil ini, dan kemungkinan hidup normalnya, harus dijadikan pertimbangan bagi
keberhasilan kelahanan hidupnya. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 27-4, di
antara bayi-bayi baru lahir dengan berat lahir 501 sampai 1500 g di National
Instititute Of Child Health and Human Development (NICHD) Neonatal Research
Network Centers, angka kematian dan morbiditas mayor pada yang bertahan hidup
menurun dari lahun 1988 sampai 1994, tetapi keduanya terjadi pada setengah
neonatus dengan berat lahir 501 sampai 750 g. Allen dkk. (1993) menjabarkan hasil
akhir hingga 6 bulan setelah lahir dari bayi-bayi yang dilahirkan pada usia gestasi 22
sampai 25 minggu serta dibantu dengan perawatan intensif secara agresif. Tidak ada
bayi yang dilahirkan pada minggu ke-22 mampu bertahan hidup, dan praktis semua
yang dilahirkan pada usia gestasi 23 sampai 24 minggu dan bertahan hidup
mempunyai kelainan otak yang signifikan (Tabel 27-4). Mereka menyimpulkan
bahwa apakah bayi yang dilahirkan pada usia gestasi 23 atau 24 minggu dan sehat
dapat membenarkan angka kematian dan morbiditas yang mayoritas amat besar
merupakan pertanyaan yang harus dibahas oleh orang tua, pemberi layanan
perawatan kesehatan, dan masyarakat. Yang lebih baru, Wood dkk. (2000)
mengkonfirmasi data ini dalam sebuah penelitian serupa dari lnggris.
TABEL 27-4. Hasil Akhir Bayi Lahir Hidup yang Dilahirkan pada Usia Gestasi antara 22 sampai 25 minggu dan diberi Perawatan Intensif
Minggu gestasi Kelahiran hidup Hidup 6 bulan (%)Bayi tanpa
abdnormalitas otak yang berat (%)
22232425
29403439
06 (15)19 (56)31 (79)
__1 (3)7 (21)28 (72)
*pendarahan intraventrikel atau leukomalasia perivenkular tingkat III atau IVDari Allen dkk (1993), dengan izin
Beberapa kelompok peneliti telah mencoba mengukur hasil akhir jangka
panjang dari bayi-bayi yang dilahirkan pada batas ketahanan hidup sepanjang tahun
1980-an. Whyte dkk. (1993) secara prospektif mengikuti 321 bayi yang dilahirkan di
rumah sakit mereka pada usia gestasi antara 23 dan 26 minggu selama minimum 2
tahun. Tidak ada bayi yang dilahirkan pada usia gestasi 23 minggu dan bertahan
hidup, serta hanya 6 persen di antara bayi yang dilahirkan pada minggu ke-24 dapat
hidup dan tidak mengalami morbiditas serius jangka panjang. Sekitar separuh di
antara bayi yang dilahirkan pada minggu ke-25 dan 26 selamat sampai berumur
minimal 2 tahun. Doyle dkk. (1994) mengikuti bayibayi yang dilahirkan pada usia
gestasi 24 sampai 26 minggu selama 5 tahun atau lebih. Lebih sedikit lagi bayi (kira-
kira 20 persen) yang bebas total dari gangguan dengan interval kehidupan yang lebih
lama. Hack dkk. (1994) rneneliti kesehatan dan hasil tumbuh kembang pada usia
sekolah dini 68 anak dengan bcrat badan lahir kurang dari 750 g dan dilahirkan pada
1982 sampai 1986. Mereka menyimpulkan dari penelitian mereka yang unik bahwa
anak-anak yang memiliki beral lahir di bawah 750 g dan bertahan hidup “mengalami
kekurangan yang serius pada setiap ketrampilan yang diperlukan untuk kinerja yang
adekuat.” Secara spesifik, 45 persen yang bertahan hidup tersebut memerlukan
fasilitas pendidikan khusus, 21 persen mempunyai angka inleligensia (IQ) subnormal
(kurang dari 70), dan banyak yang mengalami pertumbuhan serta kemampuan visual
subnormal. Rutter (1995) menyimpulkan dalam tinjauannya tentang hasil akhir pada
bayi yang sangat preterm bahwa resusitasi lengkap dan perawatan intensif harus
selalu diberikan pada bayi yang lahir dengan usia gestasi 26 minggu, boleh diberikan
pada bayi yang lahir di minggu ke-25, dan bisa diberikan pada bayi yang lahir
dengan usia gestasi 24 minggu, tetapi tidak perlu pada bayi yang lahir di minggu ke-
23 atau kurang.
Vohr dkk. (2000) menilai hasil akhir fungsional dan perkembangan saraf pada
usia terkoreksi 18 sampai 22 bulan di antara 1151 bayi (dengan berat lahir 401
sampai 1000 g) yang bertahan hidup dan dirawat di 12 pusat NICHD Neonatal
Research Net-work yang ikut serta dan dilahirkan pada tahun 1993 dan 1994. Hanya
separuh di antara 1151 bayi yang bertahan hidup mempunyai basil kajian
perkembangan saraf dan sensorik yang normal, dan mereka yang mempunyai berat
lahir lebih rendah mempunyai hasil akhir yang jelas lebih buruk seperti yang
diramalkan dengan penyakit paru kronis, perdarahan intraventrikel tingkat 3 dan 4,
serta leukomalasia periventrikular.
Wood dkk. (2000) melaporkan hasil-hasil dari EPI Cure Study Group di
Inggris. Mereka melakukan evahlasi mental dan psikomotor secara teliti dengan
median 30 bulan pada 283 bayi hidup yang dilahirkan pada usia gestasi 25 minggu
lengkap atau kurang. Ketahanan neurologis bayi tanpa kecacatan dilaporkan pada 1
di antara 138 bayi yang dilahirkan dalam minggu ke-22; 11 di antara 241 (5 persen)
dalam minggu ke-23; 45 di antara 382 (12 persen) dalam minggu ke-24; dan 98 di
antara 424 (23 persen) yang dilahirkan dalam minggu ke-25.
BATAS ATAS PREMATURITAS YANG SIGNIFIKAN. Bukan hanya batas bawah
untuk ketahanan hidup neonatus yang telah didorong pada kehamilan lebih dini,
tetapi ketahanan hidup bayi-bayi preterm yang lebih besar telah menjadi sama
baiknya dengan bayi-bayi aterm. Apakah ada ambang berat lahir dan usia kehamilan
yang menyebabkan lidak lagi ada alasan untuk menunda pelahiran pada nilai di atas-
nya? Dalam upaya menjawab pertanyaan ini, Robertson dkk. (1992) menganalisis
basil akhir neonatus antara tahun 1983 dan 1986 dari lima pusat perawalan tersier di
Amerika Serikat. Teridentitikasi total 20.680 kehamilan yang usia gestasinya
ditentukan dengan cermat tanpa penyulit seperti diabetes atau hipertensi. Sebagian
besar ambang yang didefinisikan sebagai minggu gestasi ketika angka kejadian
komplikasi akibat pelahiran preterm tidak dapat dibedakan dari bayi-bayi aterm
adalah antara 32 dan 34 minggu. Sindrom gawat napas, meskipun menurun tajam
pada usia gestasi antara 33 dan 34 minggu (31 menjadi 73 persen), masih timbul pada
sekitar 6 persen kelahiran antara minggu ke-35 sampai 38. DePalma dkk. (1992)
menemukan bahwa ambang berat lahir yang menyebabkan kematian neonatus di
Parkland Hospital adalah 1600 g, dan ambang untuk morbiditas neonatal akibat
penyulit pelahiran preterm adalah sekitar 1900 g. Mereka menyimpulkan bahwa
upaya obstetrik yang agresif untuk mencegah kelahiran preterm pada bayi yang
berberat lebih dari 1900 g menawarkan beberapa keuntungan yang jelas.
DAMPAK EKONOMI KELAHIRAN PRETERM. Biaya yang digunakan untuk
merawat bayi berat lahir rendah merupakan salah satu ukuran beban nasional pada
kelahiran preterm. Biaya ini disajikan pada Tabel 27-5. Jumlah kelahiran yang sedikit
di Amerika Serikat (kira-kira 7 persen) menghabiskan lebih dari sepertiga
pengeluaran perawatan kesehatan pada tahun pertama kehidupan. Secara individual,
tidak jarang bayi-bayi amat kecil yang bertahan hidup membutuhkan biaya
perawatan yang mencapai beberapa ribu dolar (Walker dkk., 1984). Biaya lebih dari
7 juta dolar mungkin diperlukan bagi mereka yang dirawat di rumah sakit selama 1
lahun atau lebih. Selain itu, karena hasil-hasil jangka panjang yang sudah diuraikan
di atas, biaya tambahan untuk cacat perkembangan diperlukan sepanjang sisa masa
kanak-kanak bagi banyak bayi.
Baru-baru ini, St. John dkk. (2000) menggunakan suatu model analisis biaya untuk
menentukan bahwa 12 persen biaya perawatan neonatal awal di Amerika Serikat
dihabiskan oleh bayi-bayi yang lahir pada usia gestasi antara 24 dan 26 minggu pada
tahun 1989 sampai 1992 dan bahwa-a 43% dihabiskan untuk bayi-bayi yang lahir
pada minggu gestasi ke-37 atau lebih.
TABEL 27-5. Biaya Perawatan Kesehatan pada Tahun Pertama Kehidupan berdasarkan Berat Lahir, Amerika Serikat, 1988
Kelompok Berat Lahir
Jumlah Kelahiran (%)
Biaya per kelahiran
Biaya total untuk
kelompok
Persentase biaya
perawatan kesehatan bayi
≥ 2500 g < 2500 g < 1500 g
3.600.000 (93)271.000(7) 57.000 (1,4)
$1.900$ 15.000 $32.000
$ 7,4 miliar$ 4 miliar$ 1,8 miliar
65516
Dari Lewit dkk (1995), dengan izin
KAUSA KELAHIRAN PRETERM
Suatu spektrum luas penyebab dan faktor demografik telah dikaitkan dengan
kelahiran bayi preterm (Tabel 27-6).
KOMPLIKASI MEDIS DAN OBSTETRIS. Meis dkk. (1995b,1998) menganalisis
kausa pelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu pada sebuah studi populasi
kehamilan tunggal yang dilakukan di NICHD Maternal-Fetal Medicine Units
Network. Sekitar 28 persen kelahiran preterm diindikasikan disebabkan oleh
preeklamsia (43 persen), gawat janin (27 persen), pertumbuhan janin terhambat (10
persen), ablasio plasenta (7 persen), dan kematian janin (7 persen). Tujuh puluh dua
persen sisanya disebabkan oleh persalinan preterm spontan dengan atau tanpa pecah
ketuban. Ibu dengan plasenta previa dan kehamilan multipel, yang keduanya sering
disertai dengan kelahiran preterm, disingkirkan dari analisis ini.
FAKTOR GAYA HIDUP. Perilaku seperti merokok, gizi buruk dan penambahan
berat badan yang kurang baik selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti
kokain atau alkohol telah dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian dan
hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah. Beberapa efek ini tidak diragukan lagi
disebabkan oleh pertumbuhan janin terhambat (Bab 29, hal. 828) serta kelahiran
preterm. Namun, Hickey dkk. (1995) telah memperlihatkan bahwa penambahan berat
badan pranatal ibu yang rendah secara spesifik berkaitan dengan peningkatan risiko
kelahiran preterm.
TABEL 27-6. Kausa Kelahiran Preterm pada Usia Gestasi 23 sampai 36 Minggu
pada 50 Kehamilan Berturutan
Penyebab PersenPlasenta previa aiau solusio plasenta Irifeksi cairan amnion Imunologis-cth., sindrom antibodi antotosdolipidInkompetensi serviksUterus-anomali, hidramnion, fibroiMatemal-preeklamsia, intoksikasi obatTrauma atau pembedahanAnomali janinTanpa kausa
503830161410864
Beberapa ibu memiliki lebih dari satu kausa yang teridentifikasi Dari Lettelri dkk (1993), dengan izin
Penyalahgunaan alkohol tidak hanya dikaitkan dengan kelahiran preterm
melainkan juga dengan peningkatan risiko cedera otak pada bayi-bayi prematur yang
amat tinggi (Holzman dkk., 1995). DiFronza dan Lew (1995) mengulas kebiasaan
merokok sepanjang kehamilan dan melaporkan bahwa konsumsi tembakau
bertanggung jawab atas 32.000 sampai 61.000 bayi berat lahir rendah setiap tahunnya
di Amerika Serikat.
Faktor ibu lainnya yang dikaitkan adalah umur ibu yang muda (Satin dkk.,
7994), kemiskinan (Meis dkk., 1995b), perawakan pendek (Kramer dkk., 1995), dan
faktor-faktor pekerjaan (Henriksen dkk., 1995; Luke dkk., 1995).
Faktor gaya hidup lain yang secara intuitif tampak penting namun belum
pernah diteliti secara formal adalah stres psikologis pada ibu. Hedegaard dkk. (1993)
melakukan sebuah penelitian tindak lanjut prospektif tentang ukuran stres psikologis
dengan menggunakan kuesioner pada 5872 wanita dengan kehamilan tunggal.
Ditemukan hubungan langsung antara stres psikologis pada minggu gestasi ke-30 dan
pelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu. Peacock dkk. (1995) juga menemukan hu-
bungan antara stres psikologis dan kelahiran preterm. Copper dkk. (1996), dari
NICHD Maternal-Fetal Medicine Units Network Pretrrnn Prediction Study,
melaporkan bahwa slres pada ibu disertai dengan kelahiran preterm spontan pada
usia gestasi kurang dari 35 minggu, setelah karakterislik demografik dan perilaku ibu
disesuaikan.
FAKTOR GENETIK. Telah diamati selama bertahun-tahun bahwa pelahiran
preterm merupakan suatu kondisi yang terjadi secara familial. Observasi ini ditambah
sifat kelahiran preterm yang berulang dan prevalensinya yang berbeda antar-ras telah
menimbul dugaan adanya penyebab genetik persalinan preterm. Hoffman dan Ward
(1999) tclah membuat tinjauan akan kemungkinan faktor-taktor genetik yang
dicurigai pada pelahiran preterm.
INFEKSI CAIRAN AMNION DAN KORIOAMNION. Infeksi korioamnion yang
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme telah muncul sebagai kemungkinan
penjelasan berbagai kasus pecah ketuban dan/ atau persalinan preterm yang tak dapat
dijelaskan
Gambar 27-5. Kolonisasi korioamnion sebagai fungsi usia gestasi pada para wanita dengan persalinan spontan (garis tebal) dan pada mereka yang pelahirannya terindikasi atas komplikasi medik atau obstetrik pada ibu (garis putus-putus). (Dari Hauth dkk., 1998, dengan izin.)
hingga kini. Meskipun infeksi saluran reproduksi wanita sudah dikaitkan dengan
prematuritas lebih dari 45 tahun yang lalu (Knox dan Hoerner, 1995), timbul minat
baru ketika Bobbitt dan Ledger (1977) mencurigai infeksi cairan amnion subklinis
sebagai penyebab persalinan preterm. Sebagai contoh, bakteri patogenik secara
tipikal telah ditemukan pada amniosentesis transabdominal dari sekitar 20 persen
wanita yang sedang dalam persalinan preterm tanpa bukti infeksi klinis yang nyata
dan dengan selaput ketuban yang utuh (Cox dkk., 1996a; Watts dkk., 1992). Hillier
dkk. (1995) serta Hauth dkk. (1998) melaporkan bahwa cukup banyak ibu dengan
kelahiran preterm spontan mengandung organisme patogenik yang diperoleh dari
korioamnion. Memang, frekuensi penemuan organisme-organisme ini meningkat
pada wanita dengan awitan persalinan preterm spontan dengan atau tanpa pecah
ketuban, tetapi tidak meningkat pada wanita yang melahirkan preterm akibat penyulit
medik atau obstetrik seperti hipertensi matemal atau perdarahan (Hauth dkk., 1998).
Oleh karena itu, penemuan patogen saluran genital atas meningkat pada wanita
dengan persalinan dan pelahiran spontan serta herbanding terbalik dengan umur
kehamilan (Gambar 27-5) dan berat lahir (Gambar 27-6).
Gambar 27-6. Kolonisasi korioamnion sebagai fungsi berat lahir pada para wanita dengan persalinan spontan (garis tebal) dan pada mereka yang pelahirannya terindikasi atas komplikasi medik atau obstetrik pada ibu (garis putus-putus). (Dari Hauth dkk., 1998, dengan izin.)
PATOGENESIS. Schwarz dkk. (1976) menyatakan bahwa persalinan aterm diawali
dengan aktivasi fosfolipase Az, yang memecah asam arakidonat dari dalam selaput
ketuban, sehingga membuat asam arakidonat bebas tersedia untuk sintesis
prostaglandin. Selanjutnya, Bejar dkk. (1981) melaporkan bahwa banyak
mikroorganisme menghasilkan fosfolipase A, sehingga secara potensial dapat
mencetuskan persalinan preterm. Bennett dan Elder (1992) telah memperlihatkan
bahwa bakteri komensal dari traktus genitalia tidak menghasilkan prostaglandin
sendiri. Cox dkk: (1989) memberi data bahwa endotoksin bakteri (lipopolisakarida)
yang dimasukkan ke dalam cairan amnion merangsang sel desidua untuk
memproduksi sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi persalinan. Romero
dkk. (1987, 1988) serta Cox dkk. (1988a) melaporkan bahwa endotoksin terdapat di
dalam cairan amnion. Andrews dkk. (1995) menemukan rata-rata konsentrasi
interleukin-6 cairan amnion yang jauh lebih tinggi versus usia gestasi pada wanita
dengan awitan persalinan spontan dibanding wanita dengan pelahiran yang
terindikasi (Gambar 27-7).
Kini telah diketahui ballwa produk-produk pejamu endogen yang disekresi
sebagai respons terhadap infeksi bertanggung jawab atas berbagai efek infeksi.
Sebagai contoh, pada syok endotoksin, endotoksin bakteri melepaskan efek buruknya
melalui pelepasan mediator-mediator sel endogen (sitokin) untuk respons radang.
Demikian pula, persalinan preterm yang disebabkan oleh infeksi dianggap dimulai
oleh produk-produk sekretorik yang dihasilkan oleh aktivasi monosit (makrofag)
(Gambar 27-8). Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1, faktor nekrosis tumor, dan
interleukin-6, adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan preterm.
Narahara dan Johnston (1993) telah menyatakan bahwa faktor pengaklif trombosit,
yang ditemukan di dalam cairan amnion, terlibat secara sinergis pada aktivasi
jaringan sitokin tadi (Gambar 27-8). Faktor pengaktif trombosit diperkirakan
diprodttksi di dalam paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin tampaknya
memainkan suatu peran sinergistik untuk inisiasi kelahiran preterm yang disebabkan
oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini kemungkinan menguntungkan bagi
janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang terinfeksi.
Gravett dkk. (1994), dalam sebuah eksperimen yang terkenal dengan
kerarhesus, telah memberikan bukti langsung pertama bahwa infeksi mendorong
persalinan preterm. Streptokokus grup B disuntikkan ke dalam cairan amnion pada
kera rhesus preterm, dan konsentrasi sitokin dan prostaglandin yang diperlihatkan
pada Gambar 27-8 diukur secara serial. Konsentrasi sitokin cairan amnion meningkat
sekitar 9 jam setelah pemasukan bakteri, yang berturut-turut diikuti dengan produksi
prostaglandin E, dan F,a dan akhirnya, kontraksi uterus. Seperti yang diamati pada
manusia dengan persalinan preterm yang disebabkan oleh infeksi cairan amnion,
tidak ada bukti klinis korioamnionitis pada kera rhesus ini sampai setelah persalinan
preterm berlangsung.
Gambar 27-7. Rata-rata konsentrasi interleukin-6 (IL-6) cairan amnion dan usia gestasi saat lahir pada wanita dengan awitan persalinan spontan (Spont) dibandingkan dengan wanita dengan pelahiran terindikasi (Ind). (Dari Andrews dkk., 1995, dengan izin.)
Gambar 27-8. Usulan mekanisme skematik kerja bakteri unluk mendorong persalinan preterm. Contoh-contoh produk bakteii antara lain lipopolisakarida dinding sel (endotoksin). (Dikompilasi dari Berry, 1995; Gravett, 1994; Molnar, 1993; Narahara dan Johnston, 1993;beserta rekan-rekan mereka).
Meskipun jalur masuknya bakteri ke dalam cairan amnion jelas setelah pecah
ketuban, jalur masuk pada selaput ketuban yang utuh tidak jelas. Gyr dkk. (1994)
menemukan bahwa Escherichia coli dapat menembus selaput korioamnion hidup.
Jadi, selaput ketuban yang utuh pada serviks tidak dapat menjadi sawar terhadap
naiknya invasi bakteri ke cairan amnion. Sebagai alternatif, cara inisiasi persalinan
preterm karena bakteri yang dideskripsikan di dalam Gambar 27-8 tidak memerlukan
kolonisasi di cairan amnion. Sebagai contoh, Cox dkk. (1993) menemukan bahwa
jaringan sitokin pada imunitas selular dapat diaktifkan secara lokal di jaringan
desidua yang melapisi selaput ketuban bagian depan.
DIAGNOSIS. Minat terhadap kemungkinan patogenesis mikroba pada persalinan
preterm telah mendorong banyak peneliti untuk mengevaluasi amniosentesis untuk
penatalaksanaan. Garite dkk. (1979) berhasil melakukan amniosentesis yang dipandu
sonar pada 30 di antara 59 wanita dengan pecah ketuban pada usia gestasi antara 28
sampai 35 minggu. Karena tidak ada yang menderita infeksi klinis, tujuan mereka
adalah untuk menegakkan maturitas paru janin sambil mengevaluasi pewarnaan
Gram dan biakan cairan amnion. Yang mengherankan, cairan dari sembilan wanita
(30 persen) mengandung bakteri: enam wanita mengalami korioamnionitis dan dua
neonatus menderita infeksi. Meskipun ada laporan-laporan ini, belum jelas bahwa
amniosentesis yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi ini disertai dengan
perbaikan hasil kehamilan. Feinstein dkk. (1986) membandingkan 73 kasus ketuban
pecah dini yang ditangani dengan bantuan amniosentesis dengan 73 kontrol historik
yang cocok. Tidak ada perbedaan kondisi janin pada saat pelahiran, insiden infeksi
neonatus, atau kematian perinatal.
Di sentra-sentra yang menggunakan amniosentesis untuk penatalaksanaan
persalinan preterm, telah dilaporkan beberapa metode laboratorium yang dapat
membantu mendeteksi infeksi intraamnion dengan cepat.-Romero dkk. (1993)
mengevaluasi nilai diagnostik hitung sel darah putih cairan amnion, konsentrasi
glukosa yang rendah dan interleukin-6 yang tinggi, serta bakteri Gram positif pada
120 wanita dengan persalinan preterm dan selaput ketuban utuh. Wanita dengan
kultur cairan amnion yang positif dianggap terinfeksi. Pewamaan Gram yang
hasilnya negatif merupakan uji yang paling andal untuk menyingkirkan kemungkinan
bakteri di cairan amnion (spesifisitas 99 persen), dan interleukin-6 tinggi adalah uji
yang paling sensitif (sensitivitas 82 persen) untuk mendeteksi cairan amnion yang
mengandung bakteri. Andrews dkk. (1995) juga menemukan korelasi yang baik
antara interleukin-6 cairan amnion dan kolonisasi mikroba di korioamnion. Yoon
dkk. (1996) membandingkan keakuratan kadar protein C-reaktif atau hitung sel darah
putih di dalam darah ibu dengan hitung sel darah putih dalam cairan amnion dan
menemukan bahwa hitung set dalam cairan amnion lebih baik untuk konfirmasi
infeksi cairan amnion.
Gonik dkk. (1985) melaporkan bahwa oligohidramnion yang teridentifikasi
dengan ultrasonografi berkaitan dengan korioamnionitis klinis antepartum. Vintzileos
dkk. (1986) mengamati hubungan yang serupa antara oligohidramnion dan kolonisasi
bakteri di cairan amnion yang diambil dengan amniosentesis. Vintzileos dkk. ((1985)
mengamati bahwa infeksi janin dapat diramalkan secara andal dengan menggunakan
profil biofisik harian. Namun, hal ini tidak dikonfirmasi oleh yang lain (Carroll dkk.,
1995b; DeVoe dkk., 1994; Gauthier dkk., 1992; Miller dkk.,1990).
KETUBAN PECAH PRETERM Reaksi radang yang hebat di tempat pecahnya
selaput ketuban secara dini ditemukan sejak 1950, dan hal ini menyatakan infeksi.
McGregor dkk. (1987) mendemonstrasikan bahwa pajanan in vitro terhadap protease
bakteri menurunkan beban selaput ketuban untuk pecah. Jadi, mikroorganisme yang
memperoleh akses ke selaput janin mungkin dapat menyebabkan pecah ketuban,
persalinan preterm, atau keduanya.
VAGINOSIS BAKTERIALIS. Vaginosis bakterialis adalah sebuah kondisi ketika
flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida
digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerelln vnginalis, spesies Mobiluncus, dan
Mycoplasma hominis (Hillier dkk., 1995; Nugent dkk., 1991). Gambaran diagnostik
klinis yang dideskripsikan oleh Amsel dkk. (1983) antara lain:
1. pH vagina lebih dari 4,5
2. Bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.
3. Sel epitel vagina terlapis tebal oleh basil__”clue cells.”
4. Duh vagina homogen.
Vaginosis bakterialis dapat juga didiagnosis dengan pewarnaan Gram pada
sekret vagina sebagaimana dilaporkan oleh Nugent dkk. (1991). Secara tipikal,
pewarnaan Gram sekret vagina pada wanita dengan vaginosis bakterialis
memperlihatkan sedikit set darah putih bersama dengan flora campuran bila
dibanding dengan predominasi laktobasilus normal.
Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan kelahiran preterm spontan,
ketuban pecah preterm, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion
(Hillier dkk., 1995; Kurki dkk., 1992). Platz-Christensen dkk. (1993) telah
memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis dapat mencetuskan
persalinan preterm dengan suatu mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan
sitokin yang diusulkan untuk bakteri cairan amnion (Gambar 27-8). Sebaliknya,
Thorsen dkk. (1996), dalam sebuah studi prospektif terhadap 3600 wanita Denmark,
menemukan bahwa vaginosis bakterialis yang terdiagnosis sebelum minggu ke-24
tidak berkaitan dengan pecah ketuban sebelum usia gestasi 37 minggu atau dengan
berat lahir rendah. Laporan-laporan yang berlawanan mungkin berhtibungan dengan
diagnosis sindrom klinis vaginosis bakterialis. Karena diagnosisnya yang Hdak tepat,
sulit untuk menghubungkan setiap tingkatan skor pewamaan Gram dengan hasil
akhir kehamilan yang buruk, dan secara spesifik dengan kelahiran preterm spontan
atau pecah ketuban. Hauth dkk. (2000) menyajikan data dari percobaan observasi
prospektif yang besar oleh NICHD Maternal-Fetal Medicine Units yang
mengkonfirmasi peningkatan kelahiran preterm spontan yang signffikan jika pH va-
gina lebih dari 5,0 dibanding dengan 4,7 atau kurang, dan bila skor pewarnaan Gram
adalah 9 atau 10 dibanding dengan 7 atau 8 atau kurang.
VAGINITIS TRIKOMONAS DAN KANDIDA. Cotch dkk. (1997), setelah
melakukan penyesuaian terhadap berbagai faktor pengganggu, termasuk vaginosis
bakterialis, menemukan bahwa wanita dengan Trichomonns vaginalis mengalami
peningkatan risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah sebesar 30 persen,
peningkatan 30 persen risiko kelahiran preterm, dan hampir dua kali lipat risiko ke-
matian perinatal. Meis dkk. (1995a) memeriksa 2929 wanita pada usia gestasi 24 dan
28 minggu menggunakan preparat basah dengan kalium hidroksida 10 persen dan
menemukan bahwa deteksi Trichomonas atau Candidn tidak mempunyai hubungan
yang signifikan dengan kelahiran preterm. Yang terbaru, Carey dkk. (2000a) untuk
NiCHD Maternal-Fetal Medicine Units Network melaporkan bahwa dari 617 wanita
dengan tcikomonas vagina asimptomatik, 19 persen yang diberi terapi metronidazol
mengalami persalinan preterm, dibanding dengan 11 persen yang diberi terapi
plascbo (P= 0,004). Para pengarang ini menyimpulkan bahcva penapisan dan terapi
rutin untuk kondisi ini tidak dianjurkan.
INFEKSI CHLAMYDlA. Meskipun Chlamydin trachomntis adalah patogen bakteri
paling umum yang ditularkan lewat hubungan seksual di Amerika Serikat (Webster
dkk., 1993), kemungkinan pengaruh infeksi serviks oleh organisme ini pada
kelahiran preterm tidak jelas (McGregor dan French, 1991). Ryan dkk. (1990)
menggunakan eritromisin untuk mengobati 1323 wanita hamil dengan biakan serviks
positif untuk Chlnmydin pada pelaksanaan perawatan pranalal. Hasil kehamilan pada
wanita-wanita ini dibandingkan dengan 1110 wanita serupa namun tidak mendapat
pengobatan. Berat lahir rendah dan pecah ketuban lebih dari 1 jam sebelum
persalinan menurun secara signifikan dengan terapi eritromisin. Namun, efek pada
kelahiran preterm tidak dipastikan. Andrews dkk. (2000) dari NICHD Maternal-
Fetal Medicine Units Network Preterm Prediction Study melaporkan bahwa infeksi
klamidia genitourinaria pada usia gestasi 24 minggu tetapi tidak pada 28 minggu
yang dideteksi dengan pengujian reaksi ligase rantai berkaitan dengan pcningkatan
kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat setelahnya. Pedoman dari Centers
for Disease Control and Prevention untuk penapisan (1993) dan terapi (1998) untuk
infeksi klamidia selama kehamilan didasarkan pada prevalensi infeksi di berbagai po-
pulasi, sebagai contoh, remaja, dan pada kemungkinan keuntungan penapisan serta
terapi pada trimester ketiga untuk menurunkan ottalmia neonatorum atau
pneumonitis neonatus, daripada untuk menurunkan insiden kelahiran preterm (Bab
57, hal. 1671).
IDENTIFIKASI WANITA YANG BERISIKO MENGALAMI KELAHIRAN
PRETERM
Pendekatan obstetrik untuk kelahiran preterm secara tradisional terutama
dipusatkan pada intervensi terapi daripada pencegahan persalinan preterm. Langkah
pertama untuk pencegahan adalah identifikasi dini wanita berisiko kelahiran preterm.
SISTEM SKORING RISIKO. Sistem skoring risiko yang dirancang oleh Papiernik
dan dimodifikasi oleh Creasy dkk. (1980) telah diuji di beberapa wilayah Amerika
Serikat. Dalam sistem ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor
kehamilan, antara lain status sosioekonomi, riwayat reproduksi, kebiasaan harian,
dan penyulit kehamilan sekarang. Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap
berisiko tinggi untuk pelahiran preterm.
Meski Creasy dkk. (1980) serta Covington dkk. (1988) melaporkan hasil yang
menggembirakan dengan skoring risiko ini ditambah dengan program pencegahan
dengan penyuluhan, pengalaman Main dkk. (1989) di Philadelphia menggunakan
sistem skoring ini pada para wanita miskin kurang memuaskan. Hasil mengecewakan
yang serupa pada wanita miskin didapatkan oleh Mueller-Heubach dan Guzick
(1989) serta Owen dkk. (1990b). Program Creasy juga tidak berhasil menurunkan
kelahiran preterm pada uji coba klnis acak multisentra 2395 kehamilan yang
ditangani di 5 sentra oleh Collaborative Group on Preterm Birth Prevention (1993).
Hueston dkk. (1995)) meninjau ulang semua studi yang dipublikasi dan ternyata
tidak menguntungkan. Selanjutnya, penelitian Maternal-Fetal Medicine Network
Units yang disponsori NIH memperlihatkan bahwa pengkajian risiko tidak berhasil
mengindentifikasi sebagian besar wanita yang mengalami pelahiran preterm (Mercer
dkk., 1996).
Meskipun sistem skoring ini tidak berhasil mengidentifikasi kehamilan yang
berisiko mengalami persalinan preterm, filur-fitur tertentu mungkin lebih bermanfaat
daripada fitur lain untuk meramalkan risiko pelahiran preterm. Kombinasi sistem
skoring risiko dan uji penapisan lain yang kompleks telah dilaporkan untuk
meningkatkan ramalan akan kelahiran preterm spontan (Crane dkk., 1999;
Goldenberg dkk., 1998).
KELAHIRAN PRETERM SEBELUMNYA. Riwayat pelahiran preterm amal
berkorelasi dengan persalinan preterm berikutnya. Tabel 27-7 menampilkan insiden
kelahiran preterm spontan berulang pada lebih dari 6000 wanita Skotlandia. Risiko
pelahiran preterm berulang bagi mereka yang pelahiran pertamanya preterm
meningkat tiga kali lipat dibanding dengan wanita yang bayi pertamanya mencapai
aterm. Yang mencolok, hampir sepertiga wanita yang dua bayi pertamanya preterm
selanjutnya melahirkan bayi preterm pada kehamilan ketiganya. Hasil yang hampir
identik diperoleh dari sebuah analisis 13.967 kehamilan wanita Denmark (Kristensen
dkk., 1995). Lams dkk. (7998a) menggunakan Preterm Prediction Study dari NICHD
Mntcrnnl-Fetnl Medicine Units Network unluk merinci peningkalan risiko kelahiran
preterm spontan sebelum minggu gestasi ke-36 pada wanita yang pernah mengalami
pelahiran preterm sebelumnya. Peningkatan risiko ini meningkat Lebih tinggi lagi
bila uji vagina terhadap fibronektin janin pada midtrimester positif (> 50 µg/dl) dan
bila ada pemendekan serviks pada pengukuran dengan ultrasonografi, khususnya
pada wanita dengan ukuran serviks pada atau di bawah persentil ke 10 (≤25 mm)
pada usia gestasi 24 minggu.
TABEL 27-7. Kelahiran Preterm Spontan Rekuren Berdasarkan Hasil Kehamilan Sebelumnya pada 6072 Wanita Skotlandia.
Kelahiran Pertama Kelahiran keduaKelahiran preterm
berikutnya (%)AtomPretermAterm Preterm
______
PretermPreterm
5152432
Dari Carr-Hill dan Hail (1985), dengan izin
Tidak hanya wanita yang melahirkan preterm itu sendiri yang berisiko
mengalami rekurensi, bukli baru menyatakan bahwa risiko ini juga diturunkan pada
anak-anak mereka. Wang dkk. (1995) serta Porter dkk. (1996) menemukan agregasi
familial pada kelahiran preterm.
DILATASI SERVIKS. Dilatasi serviks asimptomatik setelah pertengahan
kehamilan mendapatkan perhatian sebagai sebuah faktor risiko untuk pelahiran
preterm. Beberapa ahli telah menganggap dilatasi seperti ini sebagai varian anatomis
yang normal, khususnya pada wanita para. Studi-studi terbaru menyatakan bahwa
paritas saja tidak cukup untuk menjelaskan dilatasi serviks yang ditemukan pada
awal trimester ketiga. Cook dan Ellwood (1996) secara longitudinal meneliti serviks
pada usia gestasi antara 18 dan 30 minggu dengan menggunakan ultrasonografi
transvagina baik pada wanita nulipara maupun multipara. Panjang dan diameter
serviks identik pada kedua kelompok wanita tersebut sepanjang minggu-minggu
kritis ini.
Tabel 27-8 menyajikan hasil-hasil pemeriksaan serviks rutin yang dilakukan
pada usia gestasi antara 26 sampai 30 minggu terhadap 185 wanita yang dirawat di
Parkland Hospital. Kira-kira seperempat wanita yang serviksnya mengalami dilatasi
2 atau 3 cm melahirkan sebelum usia gestasi 34 minggu. Banyak wanita mengalami
komplikasi yang sama pada kehamilan lebih dini. Serupa dengan hal tersebut,
Papiernik dkk. (1986), dalam sebuah penelitian status serviks sebelum minggu ke-37
pada 4430 wanita, menemukan bahwa dilatasi serviks prekok meningkatkan risiko
kelahiran preterm. Stubbs dkk. (1986) melakukan pemeriksaan serviks pada 191
wanita dengan usia gestasi antara 28 sampai 34 minggu dan menemukan hahwa
mereka yang mengalami dilatasi 1 cm atau lebih, atau pendataran lebih dari 30
persen, mempunyai risiko linggi untuk mengalami pelahiran preterm. Copper dkk.
(1995) memeriksa 570 wanita yang berisiko mengalami pelahiran preterm pada
sekitar minggu ke-28 dan menemukan bahwa kondisi serviks meramalkan pelahiran
sebelum usia gestasi mencapai 37 minggu.
TABEL 27-8. Dilatasi serviks antara minggu ke-26 dan 30 serta risiko pelahiran sebelum usia gestasi
34 minggu
Status serviks pada minggu ke-26-30Total(n=185)Jmlh (%)
< 1 cm(n=170)Jmlh (%)
2-3 cm(n=15)Jmlh (%)
Perbandingan
Berat lahir rendah sebelumnyaBerat lahir rendah pada kehamilan sekarang
9 (5)7 (4)
6 (4)3 (2)
3 (20)4 (27)
P < 0,001P < 0,002
*Kuranq dari 2200 g (personil ke-50 untuk usia gestasi 34 minggu) Dari Leveno.dkk.(1986a),dengan izin
PENGUKURAN PANJANG SERVIKS DENGAN ULTRASONOGRAFI. lams
dkk. (1996) menggunakan sonografi transvaginal untuk mengukur panjang serviks
2915 wanita pada usia gestasi sekitar 24 minggu dan sekali lagi pada 28 minggu.
Seperti yang disajikan dalam Gambar 27-9, rerata panjang serviks pada minggu ke-
24 adalah sekitar 35 mm, dan wanita yang mempunyai serviks yang memendek
progresif mengalami peningkatan angka kelahiran preterm. Temuan-temuan ini
didukung oleh penelitian Hartmann dkk. (1999). Dalam penelitian lain yang
dilakukan di NICHD Maternal-Fetal Medicine Units Network, Owen dkk. (2000)
menghubungkan panjang serviks pada usia gestasi 16 sampai 24 minggu dengan
kelahiran preterm selanjutnya sebelum minggu ke-35. Guzman dkk. (2001) secara
longitudinal mengevaluasi 237 wanita berisiko dengan kehamilan tunggal antara usia
gestasi 15 sampai 24 minggu. Pada semua masa uji, sensitivitas dan nilai prediktif
negatif panjang serviks untuk kelahiran preterm spontan sebelum usia gestasi 30
minggu sangat bagus.
Gambar 27-9. Distribusi persentil kehamilan berdasarkan panjang serviks yang diukur dengan sonografi transvaginal pada usia gestasi 24 minggu (garis tebal) dan risiko relatif pelahiran preterm spontan sebelum minggu ke-35. (Dari lams dkk., 1996, dengan izin.)
Penilaian serviks melalui ultrasonografi transvaginal memerlukan keahlian
khusus. Yost dkk. (1999) memperingatkan agar mereka yang melakukan pe-
meriksaan ini waspada terhadap temuan-temuan palsu namun meyakinkan yang
disebabkan oleh jebakan-jebakan anatomis dan teknis. Dalam percobaan acak kecil
baru-baru ini, cerelage (pengikatan) serviks belum terbukti bermanfaat untuk
mencegah pelahiran sebelum minggu ke-35 (Althuisius dkk., 2000; Rust dkk., 2000).
Rust dkk. (2001) menggunakan kriteria pengukuran ultrasonografi serviks untuk
dilatasi serviks pada usia gestasi antara 16 sampai 24 minggu guna mengidentifikasi
dan mengacak 55 wanita untuk mendapatkan cerclage serta 58 wanita tidak
mendapatkan intervensi cerclage. Kurva ketahanan hidup, yang dihasilkan dengan
memperhatikan usia gestasi saat pelahiran, tidak memperlihatkan perbedaan
antarkelompok yang signifikan. Namun, Althuisius dkk. (2001) mengacak 35 wanila
berisiko tinggi terhadap inkompetensi serviks untuk mendapatkan cerclage terapeutik
atau unluk tirah baring. Wanita yang secara acak mendapatkan cerclage jauh lebih
sedikit mengalami kelahiran sebelum minggu ke-34 dan morbiditas neonatal yang
lebih kecil.
Meskipun tampak jelas bahwa wanita hamil dengan dilatasi dan pendataran
serviks yang terdiagnosis pada awal trimester ketiga dengan pemeriksaan serviks
digital secara langsung berisiko mengalami kelahiran preterm, belum dipastikan
bahwa deteksinya amat memperbaiki hasil kehamilannya. Buekens dkk. (1994)
mengacak 2719 wanita Eropa untuk menjalani pemeriksaan serviks rutin pada setiap
kunjungan pranatal dibanding dengan 2721 wanita yang tidak menjalani pemeriksaan
serviks. Diketahuinya dilatasiserviks antenatal tidak mempengaruhi apapun hasil
kehamilan yang berkait dengan kelahiran preterm atau frekuensi intervensi yang
dilakukan dalam penatalaksanaan persalinan preterm. Yang penting, pemeriksaan
serviks tidak berkaitan dengan ketuban pecah dini preterm. Dengan demikian,
pemeriksaan serviks prenatal tidak menguntungkan atau berbahaya.
TANDA DAN GEJALA. Selain kontraksi uterus yang nyeri atau tidak terasa nyeri,
gejala-gejala seperti tekanan pada panggul, kram seperti saat menstruasi, duh vagina
cair atau berdarah, dan nyeri punggung bawah secara empiris berkaitan dengan
kelahiran preterm yang membakat. Gejala-gejala seperti itu dianggap oleh beberapa
orang sebagai kejadian yang biasa terjadi pada kehamilan normal, sehingga sering
tidak diperhatikan oleh pasien, dokter, dan perawat. Pentingnya tanda dan gejala-
gejala ini sudah ditekankan oleh beberapa peneliti (Iams dkk., 1990; Kragt dan
Keirse, 1990). Sebaliknya, Copper dkk. (1990) tidak menemukan gejala ini bermakna
untuk prediksi kelahiran preterm. lams dkk. (1994), dalam sebuah penelitian tindak
lanjut terhadap penelitian mereka tahun 1990, menemukan bahwa tanda dan gejala
yang menjadi sinyal persalinan preterm, termasuk kontraksi uterus, hanya ditemukan
dalam waktu 24 jam sebelum persalinan pretem. Oleh karena itu, tandatanda ini
merupakan tanda peringatan kelahiran preterm yang terlambat.
FIBRONEKTIN JANIN. Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi
dalam 20 bentuk molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit,
sel ganas, fibroblas, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam
konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan
peran pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam
mempertahankan adhesi plasenta ke desidua (Leeson dkk., 1996). Fibronektin janin
dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan normal dengan selaput
ketuban utuh aterm, dan tampaknya memperlihatkan remodeling stroma serviks
sebelum persalinan. Lockwood dkk. (1991) melaporkan bahwa penemuan
Eibronektin janin pada sekret servikovagina sebelum selaput ketuban pecah dapat
menjadi suatu petanda adanya ancaman persalinan preterm. Laporan ini telah
merangsang minat yang cukup besar terhadap penggunaan pemeriksaan fibronektin
untuk meramalkan kelahiran preterm. Fibronektin janin diukur dengan menggunakan
enzyme linked immimosorbent assay dan nilai di atas 50 ng/mL dianggap sebagai
hasil positif. Kontaminasi sampel dengan cairan amnion dan darah ibu harus
dihindari.
Leeson dkk. (1996) serta Peaceman dkk. (1996) menemukan bahwa meski uji
fibronektin positif berkaitan dengan kelahiran preterm, hasil negatif lebih konsisten
bermakna dalam meramalkan bahwa persalinan preterm tidak akan terjadi. Cox dkk.
(1996b) menemukan bahwa dilatasi serviks lebih bermakna untuk mendeteksi
fibronektin daripada untuk meramalkan kelahiran preterm. Goldenberg dkk. (1996a)
dengan menggunakan NICHD Network Preterrn Prediction Study melaporkan bahwa
fibronektin janin positif di serviks atau vagina pada usia gestasi 24 minggu
merupakan prediktor yang kuat akan terjadinya kelahiran preterm spontan. Barubaru
ini, Goldenberg dkk. (2000) melaporkan bahwa deteksi fibronektin janin di dalam
sekret serviks/vagina pada usia gestasi 18 sampai 22 minggu bersifat prediktif untuk
pelahiran preterm. Dalam sebuah meta-analisis terhadap 27 penelitian, Leitich dkk.
(1999) juga menemukan glikoprotein ini sebagai prediktor yang efektif untuk
pelahiran preterm.
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi
peripartum dapat merangsang pelepasan fibronektin janin (Goldenberg dkk., 1996b;
Thorp dan Lukes, 1996). Serupa dengan hal tersebut, Jackson dkk. (1996)
memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro menghasilkan fibronektin janin
bila dirangsang oleh produk-produk radang yang dicurigai mengawali persalinan
preterm akibat infeksi (Gambar 27-8).
UJI KONTRAKSI UTERUS AMBULATORIK. Diagnosis persalinan preterm
yang sebelum ini ditetapkan secara ireversibel-merupakan tujuan penatalaksanaan.
Hingga saat ini, pemantauan aktivitas uterus dengan menggunakan tokodinamometri,
telah mendapatkan perhatian yang besar sekali. Pada 1957, Smyth menerangkan
sebuah tokodinamometer ekstemal dengan sebuah sensor inovatif menggunakan
prinsip yang disebut “guard-ring”. Dinding abdomen diratakan dengan cincin luar,
sehingga memungkinkan pemasangan transduser yang mengindera kontraksi di
sebelah dalam lebih dekat dengan dinding uterus yang ada di bawahnya. Sejumlah
program pencegahan kelahiran preterm yang menggunakan alat seperti itu untuk
memantau uterus secara ambulatorik telah tersedia di pasaran sejak tahun 1985.
Sensor kontraksi diikatkan di sekitar abdomen dan dihubungkan dengan sebuah
perekam elektronik kecil yang dipasang di pinggang. Perekam ini digunakan untuk
menghantarkan aktivitas uterus melalui telepon setiap hari. Pasien diberi penyuluhan
mengenai tanda-tanda dan gejala persalinan preterm, dan dokter yang menangani
terus menilai perkembangannya. Program ini mahal, sebagai contoh, di Dallas pada
7996 harganya adalah US$ 55 sampai US$ 154 per hari, tergantung pada status risiko
pasien.
MINGGU GESTASI
Gambar 27.10. rerata frekuensi kontraksi (±SD) selama kehamilan pada wanita yang mengalami persalinan pretem () dibanding dengan yang mengalami persalinan aterm (). (dari Katz dkk, 1986, dengan izin)
Seperti pang diperlihatkan pada Gambar 27-10, Katz dkk. (1986) menemukan
bahwa wanita yang selanjutnya melahirkan preterm mengalami peningkatan aktivitas
uterus mulai pada usia gestasi sekitar 30 minggu. Aplikasi klinis pemantauan
konlraksi uterus di rumah untuk mencegah kelahiran preterm secara luas selanjutnya
mencetuskan kontroversi yang amat besar di Amerika Serikat. Baru-baru ini,
American College of Obstetricians and Gynecologists (1995) telap mengambil posisi
bcrikut: “Tidak jelas terlihat bahwa sistem yang mahal dan memberatkan ini dapat
digunakan untuk benar-benar mempengaruhi angka pelahiran preterm.”
Penelitian-penelilian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan
aktivitas uterus di rumah tidak efektif untuk ntencegah kelahiran preterm. Dalam
Collaborative Honre Lltering Monitoring Study (1995), transduser palsu digunakan
pada 655 wanita dan hasilnya diband-ingkan dengan 637 wanita dengan monitor
yang berfungsi. Pemantauan di rumah tidak efektif dalam mencegah kelahiran
preterm. lams dkk. (19986) secara longitudinal menilai aktivitas uterus dengan
pemantauan di rumah setiap hari dan melaperkan data kontraksi uterus selama 34,908
jam dari 306 wanita. Frekuensi kontraksi meningkat ketika umur kehamilan
bertambah tetapi tidak efisien menormalkan kelahiran preterm.
Dyson dkk. (1998), dalam sebuah uji coba multisentra yang dilaksanakan di
Kaiser Permnnente Hospital di California, juga tidak menemukan keuntungan dari
pemantauan aktivitas uterus di rumah. Mereka mengacak 2422 wanita berisiko
kelahiran preterm (meliputi 844 wanita dengan kehamilan kembar) untuk
menghubungi seorang perawat setiap minggu atau untuk monitoring kontraksi di
rumah. Tidak ada perbedaan dalam pelahiran sebelum usia gestasi 35 minggu dan
berat lahir kurang dari 1500 g atau di bawah 2500 g. Hasil akhir yang tidak
diharapkan meliputi peningkatan signifikan kunjungan tanpa jadwal dengan ahli
obstetri dan peningkatan signifikan terapi obat tokolitik profilaktik pada wanita
dengan kehamilan kembar.
ESTRIOL SALIVA. Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara
peningkatan konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm (Goodwin,1996;
Heine,1999; McGregor,1995; beserta rekan-rekan mereka). Goodwin (1999)
meninjau nilai potensial estriol saliva pada ibu dan menyimpulkan bahwa uji ini
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Kami juga berpandangan bahwa pengganaan
eslriol saliva untuk meramalkan pelahiran preterm masih perlu diselidiki.
PENATALAKSANAAN PERSALINAN PRETERM
Terdapat sejumlah faktor yang penting dalam penatalaksanaan wanita dengan
kemungkinan persalinan preterm. Yang utama adalah identifikasi kondisi ini dengan
benar, serta apakah disertai dengan pecah ketuban.
DIAGNOSIS. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu
sulil dilakukan sebelum ada pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri
dapat menyesatkan karena ada kontrnksi Brnxton Hicks (Bab 14, hal. 388). Kontraksi
ini, yang digambarkan sebagai lidak teratur, tidak riCmik, dan tidak begitu sakit atau
tidak sakit sama sekali, dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam
penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan
sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxton
Hicks yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Karena kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan, American Academy of
Pediatrics dan the American College of Obstetricians and Gynecologists (1997)
mengusulkan kriteria berikut untuk mencatat persalinan preterm pada usia gestasi
antara 20 dan 37 minggu:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan
kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks.
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.
3. Pendataran serviks sebesar 80 persen atau lebih.
PENATALAKSANAAN ANTEPARTUM. Tidak jelas apakah menyediakan
perawatan pranatal pada lebih banyak wanita afau melakukan lebih banyak
kunjungan dapat menttrunkan kelahiran preterm. (Buescher dkk., 1988; Donaldson
dkk., 1984; Fink dkk., 1992; Fiscella, 1995). Meskiptm demikian, wanita yang
kehamilannya diidentifikasi berisiko mengalami kelahiran pretertn, dan juga mereka
yang menunjukkan tanda dan gejala ancaman pelahiran preterm, telah dijadikan
kandidat untuk berbagai intervensi yang ditujukan guna memperbaiki hasil akhir
bayinya. Bila tidak ada indikasi ibu atau bayi yang mengharuskan pelahiran dengan
sengaja, sebagian besar intervensi diharapkan mencegah kelahiran preterm atau
meningkatkan kemampuan bayi untuk mengatasi lingkungan ekstrauteri. Dalam
banyak hal, intervensi yang diuraikan di bagian berikut harus dipertimbangkan dan
belum direkomendasikan untuk praktik klinis.
KETUBAN PECAH DINI PRETERM. Upaya menghindari pelahiran ketika terjadi
pecah ketuban preterm mempunyai dua pilihan utama:
1. Penatalaksanaan nonintervensi atau menunggu, yakni hanya menunggu terjadinya
persalinan spontan.
2. Intervensi yang mungkin meliputi kortikosteroid yang diberikan dengan atau
tanpa agen tokolilik untuk menghentikan persalinan preterm supaya
kortikosteroid mempunyai cukup waktu untuk menginduksi pematangan janin.
American College of Obstetricians and Gynecologists (1998a) baru-baru ini
membuat tinjauan tentang pecah ketuban preterm.
Faktor risiko yang diketahui untuk pecah ketuban preterm adalah riwayat
kelahiran preterm sebelumnya (Guinn dkk., 1995), infeksi cairan amnion
tersembunyi (lihat hal. 771), janin ganda (Bab 30, hal. 866), dan solusio plasenta
(Major dkk., 1995).
RIWAYAT PECAH KETUBAN PRETERM. Cox dkk. (1988b) melaporkan hasil
kehamilan pada 298 wanita berturut-turut yang melahirkan setelah pecah ketuban
spontan pada usia gestasi antara 24 sampai 34 minggu. Meskipun komplikasi ini
hanya ditemukan pada 1,7 persen kehamilan, kondisi ini merupakan penyebab 20
persen kematian perinatal selama periode waktu mi. Pecah ketuban preterm temyata
berkaitan dengan komplikasi obstetri lain yang mempengaruhi basil perinatal, antara
lain kehamilan multijanan, presentasi bokong, korioamnionitis, dan gawat janin
intrapartum. Sebagai konsekuensi komplikasi-komplikasi ini, seksio sesarea
dilakukan pada hampir 40 persen wanita. Pada saat masuk, 75 persen wanita sudah in
partu, 5 persen melahirkan karena penyulit lain, dan 10 persen lainnya melahirkan
setelah persalinan spontan dalam 48 Jam. Hanya terdapat 7 persen wanita yang
pelahirannya tertunda 48 jam atau lebih setelah pecahnya ketuban. Namun, kelompok
wanita yang mengalami penundaan pelahiran ini tampaknya diuntungkan akibat
lambatnya pelahiran karena tidak terjadi kematian neonatal. Hal ini berlawanan
dengan angka kematian neonatal 80 per 1000 pada bayi yang dilahirkan dalam 48
jam setelah pecah ketuban. Nelson dkk. (1994) melaporkan hasil serupa. Pada wanita
yang sudah in partu saat masuk, sekitar separuh tidak melahirkan sampai 48 jam
setelah pecah ketuban namun hanya 13 persen yang tetap tidak lahir sampai 7 hari.
Kedua penelitian lersebut membuktikan ketidak mungkinan dihindarinya persaluian
dan kelahiran preterm setelah ketuban pecah preterm.
Periode waktu dari ketuban pecah preterm sampai pelahiran berbanding
terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah (Carroll dkk.,1995a). Seperti
diperlihatkan pada Gambar 27-11, jika ketuban pecah pada trimester ketiga, hanya
diperlukan beberapa hari saja hingga pelahiran terjadi dibanding dengan trimester
kedua.
PENATALAKSANAAN MENUNGGU. Meskipun ada banyak sekali literatur
mengenai penatalaksanaan menunggu pada ketuban pecah pretenn, baru sedikit
penelitian acak yang telah dilakukan. Satu pengecualian adalah laporan oleh Garite
dkk. (1981) yang meneliti 160 kehamilan dengan ketuban pecah preterm pada usia
gestasi antara 28 sampai 34 minggu. Para ibu tersebut dibagi menjadi dua kelompok
yaitu penatalaksanaan menunggu saja atau kortikosteroid plus tokolisis dengan etanol
atau magnesium sulfat intravena. Para penulis tersebut menyimpulkan bahwa
intervensi aktif tidak memperbaiki basil perinatal dan mungkin memperparah
penyulit yang berkaitan dengan infeksi. Penelitian acak berikutnya oleh Garite dkk.
(1987) serta Nelson dkk. (1985) tidak berhasil memt erlihatkan manfaat tokolisis,
dengan atau tanpa terapi steroid. Morales dkk. (1989) meneliti 165 kehamilan dengan
pecah ketuban preterm dan rasio lesitinafingomielin kurang dari dua. Penelitian ini
dibagi secara acak untuk empat kelompok terapi yang meliputi (1) penatalaksanaan
menunggu saja, (2) kortikosteroid untuk pematangan paru janin, (3) ampisilin saja,
dan (4) ampisilin plus kortikosteroid. Mereka menyimpulkan bahwa ampisilin plus
kortikosteroid lebih menguntungkan karena lebih sedikit menimbulkan penyakit
pernapasan. Sayangnya, angka harapan hidup neonatal akhirnya tidak dipengaruhi
oleh intervensi apa pun, demikian juga lamanya masa gestasi.
Gambar 27.11. Hubungan interval waktu antara ketuban pecah dini dan pelahiran pada 172 kehamilan lunggal. (Kotak=yang bertahan; lingkaran = kematian karena prematuritas; segitiga = kematian akibat hipoplasia paru.) (Dan Carroll dkk., 1995a, dengan izin.)
Alexander dkk. (2000), dalam sebuah studi yang dilakukan di NICHD
Maternal-Fetal Medicine Units Network, menemukan bahwa satu atau dua peme-
riksaan serviks digital yang dilakukan saat penatalaksanaan menunggu pada ketuban
pecah antara minggu gestasi ke-24 sampai 32 berkaitan dengan interval sejak pecah
ketuban sampai pelahiran yang lebih pendek secara signifikan (3 hari) dibanding
dengan menghindari pemeriksaan seperti itu (5 hari). Namun yang penting,
perbedaan masa laten interval pecah ketuban sampai pelahiran ini tidak
memperburuk hasil pada ibu atau neonatus.
PECAH KETUBAN PADA TRIMESTER KEDUA. Ada risiko untuk ibu dan bayi
yang harus dipertimbangkan ketika memikirkan penatalaksanaan menunggu pada
pecah ketuban sebelum usia gestasi 25 sampai 26 minggu. Risiko pada ibu meliputi
konsekuensi infeksi uterus dan sepsis. Risiko pada janin berupa hipoplasia paru dan
deformitas kompresi tungkai, yang telah dikaitkan dengan periode oligohidramnion
yang memanjang akibat pecah ketuban (Bab 31, hal. 917). Morales dan Talley (1993)
melakukan penatalaksanaan menunggu pada 94 wanita dengan kehamilan tunggal
dan pecah ketuban sebelum usia gestasi 25 minggu serta menemukan bahwa 41
persen akhirnya bertahan hidup sampai umur 1 tahun dan 27 persen normal secara
neurologis. Rata-rata waktu yang dicapai pada penatalaksanaan menunggu adalah 11
hari. Hasil serupa dilaporkan oleh Farooqi dkk. (1998) serta Winn dkk. (2000).
Sebaliknya, Hibbard dkk. (1993) menganalisis angka kematian dan kesakitan
neonatal, serta biaya perawatan kesehatan pada 44 kehamilan dengan
penatalaksanaan menunggu setelah pecah ketuban pada usia gestasi 25 minggu atau
kurang. Mereka menyimpulkan bahwa pelahiran segera janin yang usia gestasinya
kttrang dari 24 minggu mungkin merupakan rencana yang paling efektif dari sisi
biaya. Dalam laporan ini, 77 persen wanita yang ditangani dengan penatalaksanaan
menunggu mengalami korioamnionitis.
Volume cairan amnion dan umur janin pada saat pecah ketuban tampaknya
mempunyai kepentingan prognostik pada kehamilan sebelum 26 minggu. Hadi dkk.
(1994) menganalisis 178 kehamilan dengan pecah ketuban pada usia gestasi antara
20 dan 25 minggu kehamilan serta 40 persen mengalami oligohidramnion yang
ditetapkan sebagai tidak adanya kantung sonografik berukuran 2 cm atau lebih.
Hampir semua yang mengalami oligohidramnion melahirkan sebelum minggu ke-25,
sedangkan 85 persen di antara mereka yang volume cairan amnionnya adekuat
melahirkan pada trimester ketiga. Carroll dkk. (1995a) tidak menemukan kasus
hipoplasia paru pada janin yang dilahirkan setelah pecah ketuban pada usia gestasi 24
minggu atau sesudahnya, yang mengesankan 23 minggu atau kurang adalah ambang
untuk hipoplasia paru.
RAWAT INAP. Sebagian besar ahli kebidanan merawat map wanita dengan
kehamilan yang mengalami penyulit pecah ketuban preterm. Keprihatinan tentang
biaya perawatan rumah sakit yang lama biasanya masih dapat diperdebatkan karena
kebanyakan wanita memasuki persalinan dalam 1 minggu atau kurang setelah
ketuban pecah. Carlan dkk. (1993) mengacak 67 kehamilan dengan pecah ketuban
yang dipilih secara cermat untuk menjalani penatalaksanaan di rumah versus di
rumah sakit. Semua wanita dirawat inap sampai 72 jam setelah pecah ketuban; 20
wanita akhirnya dipulangkan ke rumah dan 25 lainnya diacak untuk dirawat inap.
Tidak ada keuntungan yang ditemukan pada perawatan map dan masa tinggal ibu di
rumah sakit berkurang 50 persen pada ibu yang dikirim pulang (14 menjadi 7 hari).
Tiga wanita yang dipulangkan melahirkan di rumah sakit luar karena persalinan
mereka terlalu maju untuk kembali ke rumah sakit penelitian tersebut. Yang penting,
para peneliti ini menekankan bahwa penelitian ini terlalu kecil untuk menyimpulkan
bahwa penatalaksanaan di rumah aman-aman saja.
Sayangnya, hasil akhir perinatal pada bayi yang bertahan hidup dari
persalinan yang tertunda tidak selalu memuaskan. Dalam sebuall penelitian terdahulu
dari Parkland Hospital, Hankins dkk. (1984) melaporkan bahwa 30 persen di antara
176 bayi seperti ini memerlukan terapi ventilator. Secara keseluruhan, 13 persen
meninggal pada masa neonatal dan 3 persen lainnya meninggal sebelum berumur 1
tahun. Perawatan bayi-bayi yang dilahirkan preterm ini memerlukan 5100 hari
(hampir 14 tahun) rawat map neonatus dan biaya $2,3 juta dolar (pada tahun 1984)
hanya untuk ruang rawatnya saja. Yang penting, tindak lanjut sampai 4 tahun
dilakukan terhadap 105 bayi, dan berbagai derajat kelainan neurologis ditemukan
pada 16 persen. Demikian pula, Spinillo dkk. (1995) menemukan bahwa bayi
preterm yang lahir pada 48 jam atau lebih setelah pecah ketuban mempunyai risiko
tinggi untuk mengalami gangguan perkembangan saraf sedang sampai berat
selanjutnya dibanding dengan bayi-bayi yang dilahirkan dari persalinan preterm
spontan dengan selaput ketuban utuh.
PELAHIRAN DISENGAJA. Prospek melahirkan kehamilan preterm secara sengaja
tampaknya tidak bijaksana, meski pelahiran secara sengaja banyak dipraktikkan
sebelum tahun 1970-an karena ketakutan akan infeksi (Reid dan Christian, 1974).
Alasan lain yang lebih baru untuk pelahiran disengaja adalah untuk menghindari
kematian janin luar biasa yang terjadi pada kehamilan yang ditangani dengan
menunggu setelah pecah ketuban preterm. Selang waktu sejak ketuban pecah sampai
awitan persalinan spontan yang biasanya sangat singkat juga mendukung dasar
pemikiran dilakukannya pelahiran yang disengaja, karena hanya ada sedikit waktu
dari penatalaksanaan menunggu, khususnya pada akhir trimester ketiga (Gambar 27-
11).
Telah dilakukan dua percobaan acak tentang pelahiran disengaja pada
kehamilan dengan penyulit pecah ketuban preterm. Mercer dkk. (1993) mengacak 93
kehamilan dengan pecah ketuban pada usia gestasi antara 32 dan 36 minggu untuk
melahirkan dibandingkan dengan penatalaksanaan menunggu. Semua mencatat
adanya pematangan paru janin. Pelahiran secara sengaja mengurangi lama perawatan
ibu di rumah sakit dan juga menurunkan angka infeksi baik pada ibu maupun
neonatus. Cox dan Leveno (1995) juga mengacak 129 wanita dengan pecah ketuban
pada usia gestasi anlara 30 dan 34 minggu. Terdapat satu kematian janin (akibat
sepsis) pada kehamilan yang ditangani secara menunggu dan tiga kematian neonatal
(dua diantaranya karena sepsis dan satu karena hipoplasia paru) pada bayi yang
dilahirkan dengan sengaja. Kedua pendekatan penatalaksanaan tersebut dirasa tidak
memuaskan.
KORIOAMNIONITIS NYATA. Dengan anggapan bahwa tidak ada hasil akhir
perinatal tak diinginkan yang disebabkan oleh lilitan tali pusat atau prolaps tali pusat
atau karena solusio plasenta, perhatian utama pada ketuban pecah lama adalah risiko
infeksi ibu atau janin. Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya
untuk melahirkan janin-sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator
yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38”C
(100,4°F) atau lebih yang menyertai pecah ketuban menandakan infeksi.
Leukositosis ibu saja dinyatakan tidak dapat diandatkan oleh kebanyakan peneliti,
dan hal ini juga sesuai dengan pengalaman kami.
Pada korioamnionitis, morbiditas janin dan neonatus meningkat secara nyata.
Dalam sebuah studi prospektif pada hampir 700 wanita dengan usia gestasi antara 26
dan 34 minggu dengan ketuban pecah preterm, Morales (1987) melaporkan bahwa 13
persen mengalami korioamnionitis yang didiagnosis dengan suhu oral 38oC dan tidak
terdapat penyebab demam lainnya. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan
korioamnionitis mengalami peningkatan angka kematian neonatal sebesar empat kali
lipat dan insiden gawat napas, sepsis neonatorum, dan perdarahan intraventrikular
sebesar tiga kali lipat. Alexander dkk. (1998) meneliti pengaruh korioamnionitis
klinis pada 1367 bayi dengan berat lahir sangat rendah yang dilahirkan di Parkland
Hospital. Sekitar 7 persen bayi terpajan lerhadap korioamnionitis dan hasil akhir
pada bayi-bayi ini dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami infeksi nyata.
Sepsis neonatorum, sindrom gawat napas, kejang pada 24 jam pertama setelah lahir,
perdaralzan intraventrikular, dan leukomalasia periventrikular, semuanya meningkat
pada korioamnionitis. Disimpulkan bahwa bayi dengan berat lahir sangat rendah
rentan terhadap cedera neurologis yang menyerlai korioamnionitis. Senada dengan
hal ini, Yoon dkk. (2000) menemukan bahwa infeksi intraamnion pada bayi-bayi
preterm berkaitan dengan cerebral palsy pada usia 3 tahun.
PERCEPATAN PEMATANGAN FUNGSI PARU. Telah diajukan berbagai
peristiwa klinis beberapa diketahui pasti dan yang lain tidak yang dapat mempercepat
produksi surfaktan yang cukup untuk mencegah terjadinya gawat napas. Glack
(1979) menekankan bahwa produksi surfaktan kemungkinan dipercepat jauh sebelum
aterm pada kehamilan yang dipersulit oleh sejumlah kondisi dan stres pada ibu atau
janin. Contohnya antara lain penyakit ginjal atau kardiovaskular kronis, gangguan
hipertensi lama yang disebabkan oleh kehamilan, kecanduan heroin, pertumbuhan
janin terhambat, infark plasenta, korioamnionitis, atau ketuban pecah preterm.
Pandangan ini dianut secara luas meskipun data yang lebih baru menyangkal
hubungan ini. Sebagai contoh, Owen dkk. (1990a) menyimpulkan bahwa suatu
kehamilan yang mengalami “stres” (terutama hipertensi pada kehamilan) tak banyak
memberi keuntungan terhadap ketahanan hidup janin. Demikian pula, Hallak dan
Bottoms (1993) mengkaji 1395 kehamilan yang dilahirkan pada usia gestasi antara
24 dan 35 minggu serta menemukan bahwa ketuban pecah dini tidak berkaitan
dengan pematangan paru yang lebih cepat.
TERAPI ANTIMIKROBA. Patogenesis mikrobiologis ketuban pecah preterm
(Gambar 27-8) telah memacu penelitian-penelitian mengenai berbagai macam
antimikroba untuk mencegah pelahiran. Mercer dan Arheart (1995) mengulas 13
penelitian acak tentang efektivitas terapi antimikroba dibandingkan dengan plasebo
untuk pecah ketuban pada usia gestasi di bawah 35 minggu. Total seluruhnya ada
1594 kehamilan yang dilaporkan antara tahun 1974 dan 1993. Total 10 hasil akhir
kehamilan menjalani metaanalisis dan hanya tiga yang menunjukkan kemungkinan
efek menguntungkan dari obat antimikroba; lebih sedikit yang mengalami
korioamnionitis, lebih sedikit bayi yang mengalami sepsis, dan kehamilan lebih
sering memanjang 7 hari pada ibu yang diberi antimikroba. Angka harapan hidup
tidak dipengaruhi, demikian pula insiden enterokolitis nekrotikans, gawat napas, atau
perdarahan intrakranial.
Untuk meninjau masalah ini lebih jauh, the NICHD Maternal-Fetal Medicine
Units Network melaksanakan sebuah uji coba prospektif acak terhadap ampisilin atau
amoksisilin plus eritromisin pada wanita dengan ketuban pecah preterm pada usia
gestasi antara 24 dan 32 minggu (Mercer dkk.,1997). Tokolisis, terapi kortikosteroid,
atau kedtianya tidak diberikan pada uji coba ini. Lebih sedikit neonatus yang
mengalami sindrom gawat napas, enterokolitis nekrotikans, atau gabungan hasil
simpang pada kehamilan yang mendapatkan obat antimikroba. Masa laten sejak
pecah ketuban sampai pelahiran jauh lebih panjang 7, 14, sampai 21 hari pada wanita
yang diberi antibiotika daripada yang diberi plasebo. Pada hari ke-7, 50 persen
wanita ini masih belum melahirkan dibanding dengan hanya 25 persen pada mereka
yang diberi plasebo. Manfaat ini tampak jelas, baik pasien menunjukkan hasil positif
atau tidak terhadap uji streptokokus grup B diservikovaginasaatketuban pecah.
Terapi antimikroba lama pada kehamilan seperti ini menimbulkan
konsekuensi yang tak diinginkan. Kyle dan Turner (1996) melaporkan superinfeksi
dengan Pseudomonas aeruginosn sebagai akibat terapi antibiotika lama untuk
ketuban pecah preterm. Carroll dkk. (1996) serta Mercer dkk. (1999) juga telah
menyatakan keprihatinan bahwa terapi seperti ini potensial meningkatkan risiko
seleksi patogen yang resisten.
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH PRETERM DI
PARKLAND HOSPITAL. Kehamilan dengan penyulit ketuban pecah preterm
ditangani sebagai berikut:
1. Pada wanita dengan kemungkinan pecah ketuban dilakukan sekali pemeriksaan
dengan spekulum steril untuk menemukan cairan yang berasal dari serviks atau
yang menggenang di vagina. Ditemukannya cairan menunjukkan pecah ketuban
dan biasanya diikuti dengan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengkonfirmasi
oligohidramnion, untuk mengindentifikasi bagian terbawah janin, dan
memperkirakan usia gestasi. Uji pH vagina dengan kertas nitrazin mempunyai
angka positif palsu cukup besar yang dikaitkan dengan kontaminasi darah,
semen, atau vaginosis bakterialis. Inspeksi mikroskopik pada sekret
servikovagina kering yang mengalami kristalisasi NaCl (bentuk pakis) juga
mempunyai angka positif palsu yang cukup besar. Yang jarang terjadi, riwayat
pecah ketuban pada ibu yang meyakinkan tidak didukung oleh visualisasi atau
akumulasi cairan amnion di vagina yang nyata atau konfirmasi ultrasonografik
adanya penurunan cairan amnion. Pada kasus-kasus ini, pemberian satu ampul
tinta indigo carmine ke dalam cairan amnion dan menilai kebocoran cairan biru
tersebut ke dalam vagina dapat membantu memastikan integritas selaput ketuban.
Dilakukan upaya-upaya untuk melakukan visualisasi kemajuan pendataran dan
dilatasi serviks, tetapi pemeriksaan digital tidak dilakukan.
2. Jika usia gestasi kurang dari 34 minggu dan tidak ada indikasi ibu atau janin
untuk melakukan pelaltiran, ibu tersebut diamati ketat di unit Persalinan dan
Pelahiran. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin kontinu dipasang untuk
mencari bukti kompresi tali pusat, khususnya bila persalinan sedang berlangsung
juga.
3. Bila denyut jantung janin janin baik-baik saja, dan kalau persalinan tidak sedang
berlangsung, ibu tersebut dipindahkan ke unit Kehamilan Berisiko Tinggi untuk
observasi ketat tanda-tanda persalinan, infeksi, atau bahaya pada janin.
4. Jika usia gestasi di alas 34 minggu lengkap dan bila persalinan belum mulai
setelah pemeriksaan secukupnya, persalinan diinduksi dengan oksitosin intravena
bila tidak ada kontraindikasi. Kalau induksi gagal, dilakukan seksio sesarea.
5. Deksametason, 5 mg intramuskular setiap 12 jam untuk 4 dosis, diberikan untuk
meningkatkan pematangan janin.
6. Bila didiagnosis persalinan telah berlangsung, diberikan ampisilin 2 g intravena
setiap 6 jam sebelum pelahiran untuk mencegah infeksi streptokokus grup B pada
neonatus.
PERSALINAN PRETERM DENGAN SELAPUT JAN1N UTUH. Penatalaksanaan
antepartum pada wanita dengan tanda-tanda dan gejala persalinan preterm serta
selaput ketuban intak kurang lebih sama dengan yang telah diuraikan untuk
kehamilan dengan pecah ketuban preterm. Yaitu, patokan terapi adalah menghindari
pelahiran sebelum usia gestasi 34 minggu bila mungkin. Obat-obat yang ditujukan
untuk menghentikan atau menekan kontraksi uterus sering diberikan, dan hat ini akan
dibahas kemudian. Seperti pada kehamilan dengan ketuban pecah preterm, obat-obat
antimikroba, yang ditujukan untuk menunda pelahiran pada wanita dengan
persalinan preterm, telah diteliti secara spesifik pada wanita-wanita dengan seiaput
ketuban utuh. Hasilnya untuk berbagai agen antimikroba benarbenar mengecewakan
(Cox, 1996a; Gordon, 1995; Klebanoff, 1995; Romero, 1993; beserta rekan-rekan
mereka). Dua uji coba yang lebih kecil terhadap metronidazol dan ampisilin pada
wanita yang dicurigai mengalami persatinan preterm spontan telah memperlihatkan
manfaat sedang (Norman dkk., 1994; Svare dkk., 1997). Tampaknya pemberian anti-
mikroba setelah dimulainya persalinan preterm terlalu terlambat untuk
mempengaruhi perjalanan kaskade biokimiawi yang mengatur aktivitas uterus
(Gambar 27-8).
TERAPI GLUKOKORTIKOID, Berdasarkan observasi-observasi sebelumnya
bahwa kortikosteroid yang diberikan kepada domba betina dapat mempercepat
pematangan paru pada janin preterm, Liggins dan Howie (1972) melakukan sebuah
studi acak untuk mengevaluasi efek betametason yang diberikan pada ibu (12 mg
secara intramuskular dalam dua dosis, selang 24 jam) untuk mencegah gawat napas
pada bayi preterm yang kemudian dilahirkan. Bayibayi yang ditahirkan sebelum
minggu ke-34 mengalami penurunan signifikan insiden gawat napas dan kematian
neonatal akibat penyakit membran hialin bila kelahirannya ditunda sekurang-kurang-
nya 24 jam setelah selesai pemberian betametason 24 jam kepada ibu sampai 7 hari
setelah selesai terapi steroid. Penelitian ini terus mendorong riset terhadap maturasi
janin selama lebih dari 20 tahun, yang berpuncak tahun 1995 dengan pernyataan
posisi tentang penggunaan kortikosteroid untuk terapi pada janin oleh the National
Institutes of Health (NIH Concensus Development Panel, 1995).
Mekanisme yang kini diperkirakan digunakan oleh betametason atau
kortikosteroid lainnya untuk menurunkan frekuensi gawat napas adalah induksi
protein-protein yang mengatur sistem biokimiawi pada sel tipe II yang menghasilkan
sufaktan di dalam paru janin (Ballard dan Ballard, 1995). Efek fisiologis
glukokortikoid yang dilaporkan pada paru yang sedang berkembang antara lain
peningkatan surfaktan alveolus, keteregangan (compliance) paru, dan volume paru
maksimal.
STUDI KOLABORATIF TENTANG TERAPI STEROID ANTENATAL. Uji
coba Collaborative Group on Antenatal Steroid Therapy yang disponsori oleh NIH
(1981) bertujuan meneliti efek terapi kortikosteroid pada janin preterm. Percobaan
kolaboratif tersamar ganda ini dilakukan di lima sentra, dan dari hampir 8000 wanita
yang diidentifikasi sedang dalam persalinan preterm, terdapat 696 wanita yang
berisiko untuk kelahiran preterm. Para ibu tersebut diacak untuk mendapatkan terapi
deksametason intramuskular, 5 mg setiap 12 jam dengan total mencapai 4 dosis.
Dengan mengikutsertakan kehamilan kembar, terdapat total 720 bayi yang siap
dianalisis. Hanya sejumlah kecil bayi yang ibunya diberi deksametason mengalami
gawat napas (13 versus 18 persen). Yang penting lebih dari 80 persen kelompok studi
tidak mengalami gawat napas. Kematian neonatal tidak menurun dengan terapi. Hasil
serupa diperoleh dari sebuah percobaan acak betametason multisentra yang dilakukan
di Inggris antara tahun 1975 dan 1978 (Gamsu dkk.,.1989).
Pada tahun 1985, sebuah lokakarya meninjau basil studi kolaboratif tersebut
(Avery dkk., 1986). Kelompok tersebut sepakat bahwa tidak terdapat perbedaan
dalam fungsi kognitif, motorik, atau neurologis ketika 406 bayi dalam penelitian
tersebut ditindak lanjuti sampai umur 36 bulan sehingga mengesankan bahwa terapi
steroid tidak berpengaruh buruk pada perkembangan neurologis jangka pendek
setelah itu (Collaborative Group, 1984). Lebih lanjut mereka menyimpulkan bahwa
deksametason tampaknya hanya menguntungkan bagi janin perempuan yang berusia
di atas 30 minggu dan ketika interval terapi-ke-pelahiran lebih dari 24 jam. Terapi
seperti itu tidak membantu pada kehamilan ganda. Banyaknya keberatan tentang
manfaat (atau tidak adanya manfaat) kortikosteroid ini tentu saja membatasi
penggunaan terapi janin ini secara luas (Jobe dkk., 1993).
KONFERENSI NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH CONSENSUS
DEVELOPMENT TENTANG KORTIKOSTEROID UNNK PEMATANGAN
JANIN. Laporan-laporan konferensi ini disajikan secara rinci di dalam American
Journal of Obstetrics and Gynecology (NIH Consensus Development Conference
Statement, 1995). Konsensus yang dihasilkan tentang peresepan kortikosteroid untuk
melakukan pematangan janin disambut oleh beberapa pihak sebagai perkembangan
yang paling penting dalam perawatan perinatal tahun 1995 (Hayward dan Diaz-
Rossello, 1995). Grimes (1995) mengambil posisi sebagai pihak yang mendukung
dengan mengatakan bahwa akibat penundaan penggunaan kortikosteroid untuk
pematangan janin antara 1972 dan 1995, “puluhan di antara ribuan neonatus
meninggal sia-sia ... dan bangsa kita menghamburkan jutaan dolar anggaran
kesehatan secara sia-sia untuk mengatasi penyulit prematuritas yang dapat dicegah.”
Inti yang digunakan oleh panel tentang kortikosteroid dari the National
Institute of Health untuk menegakkan kemanjuran terapi ini adalah sebuah
menganalisis percobaan-percobaan acak berkontrol (Crowley, 1995). Analisis seperti
ini menyatukan berbagai percobaan acak berkontrol untuk mencapai suatu perkiraan
total tentang efek suatu intervensi-dalam hal ini, kortikosteroid. Pendekatan analitis
ini mengasumsikan bahwa studi-studi yang dikumpulkan tersebut identik atau hampir
identik dalam hal desain percobaan, definisi-definisi mengenai titik akhir penyakit,
populasi pasien, dan regimen terapi. Kemungkinan sebagian besar metaanalisis
terkini mempunyai beberapa sumber heterogenitas antarpercobaan yang dapat
menyelewengkan interpretasi hasil-hasil yang telah disatukan sebelumnya (Moher
dan Olkin, 1995). Contohnya, beberapa percobaan yang diikutsertakan mungkin
menggunakan alokasi terapi tersembunyi secara benar untuk mengacak subjek
sementara yang lain mungkin menggunakan desain yang tidak begitu ketat seperti
ini. Hal ini penting karena percobaan-percobaan yang tidak disamarkan dengan baik
umumnya memberikan hasil yang mengindikasikan bahwa terapi atau intervensi
tertentu menguntungkan (Martyn, 1996). Contoh jenis heterogenitas ini dapat
ditemukan pada meta-analisis kortikosteroid. Morales dkk. (1986), dalam uji coba
acak mereka tentang kortikosteroid untuk pematangan janin pada 245 kehamilan
dengan ketuban pecah preterm, menggunakan nomor rekam medis rumah sakit
dengan rancangan pengacakan pasien yang tidak ditetapkan. Metode alokasi untuk
memberi atau tidak memberi terapi kortikosteroid ini dengan demikian tidak tersamar
dari sisi klinisi. Meski demikian, studi oleh Morales dkk. (1986) disatukan dalam
suatu meta-analisis bersama dengan percobaan-percobaan lain yang mempunyai
desain percobaan yang lebih ketat.
Tiga gambar berikut adalah contoh meta-analisis tentang efek penggunaan
kortikosteroid pada janin dengan sindrom gawat napas (Gambar 27-12), kematian
neonatal (Gambar 27-13), serta ringkasan berbagai efek terhadap hasil akhir pada
bayi (Gambai 27-14). Total 15 percobaan acak dipilih oleh Crowley (1995) untuk
dimasukkan ke dalam metaanalisis. Setiap garis horizontal merupakan hasil satu
percobaan dan semakin pendek garis tersebut, hasilnya semakin pasti. Jika sebuah
garis horizontal (percobaan studi) menyentuh garis vertikal yang hitam, artinya
percobaan tersebut tidak mempunyai manfaat yang signifikan. Jumlah total di bagian
bawah masing-masing gambar adalah hasilnya ketika kelima belas percobaan
tersebut disatukan.
Pada kasus sindrom gawat napas, sembilan uji coba tidak menemukan
manfaat kortikosteroid dan tiga uji coba lain hanya menemukan sedikit manfaat
(Gambar 27-12). Namun, efek total jika semua uji coba tersebut disahikan
menunjukkan bahwa kortikosteroid menurunkan gawat napas sebesar 50 persen. Efek
menguntungkan ini amat tergantung pada uji coba awal dan terbesar oleh Liggins
serta Howie (1972). Interpretasi lain serta yang dapat juga dibuat yaitu bahwa tidak
ada kelompok investigator yang mampu mereproduksi percobaan awat tersebut.
Untuk kematian neonatal, 10 di antara 15 percobaan yang dianalisis tidak
memperlihatkan adanya manfaat (Gambar 27-13). Namun, pengumpulan data
tersebut mengindikasikan bahwa kortikosteroid menurunkan angka kematian sebesar
50 persen. Meta-analisis terhadap hasil akhir pada bayi kembar berkenaan dengan
terapi kortikosteroid diperlihatkan pada Gambar 27-14.
Tabel 27-9 merupakan ringkasan rekomendasi penggunaan kortikosteroid
untuk pematanganjanin oleh NIH Consensus Development Panel (1995). Data
dianggap tidak cukup untuk menilai efektivitas kortikosteroid pada kehamilan
dengan penyulit hipertensi; diabetes, kehamilan ganda, pertumbuhan janin terhambat,
dan hidrops fetalis. Namun, Consensus Panel menyimpulkan bahwa bila tidak
terdapat bukti efek simpang, penggunaan kortiko steroid pada penyulit-penyulit ini
cukup masuk akal. Namun, disimpulkan pula bahwa tidak ada cukup data untuk
memberi komentar tentang manfaal atau risiko terapi kortikosteroid mingguan
berulang pada ibu guna meningkatkan pematangan janin. Respons nasional (AS, ed.)
terhadap penyebaran rekomendasi NIH Consensus Panel tersebut sungguh dramalis
dan penggunaan kortikosteroid untuk mempercepat pematangan janin berlipat ganda
dalam 12 bulan (Leviton dkk., 1999).
Gambar 27-12. Meta-analisis efek-efek terapi kortikosteroid pada ibu untuk mencegah sindrom gawat napas neonatus. (Dari Crowley, 1995, dengan izin.)
TABEL 27-9. Kualitas Bukti-bukti yang Mendukung Penggunaan Kortikosteroid untuk Meningkatkan Pematangan Janin
BuktiKematian neonatusSindrom gawat napasPendarahan intraventrikularPecah ketuban pretermPelahiran pada minggu ke-24-28Pelahiran pada minggu ke-29-34Pelahiran pada usia gestasi >34 mingguInterval terapi sampai pelahiran<24 jam24 jam-7 hari> 7 hari
BaikBaikBaikCukupBaikBaikTidak adekuat untuk mendukung atau membantahCukupBaikTidak adekuat untuk mendukung atau membantah
Dari NIH Consensus Depelopment Panel on the Effect of Corticosteroids for fetal maturation on perinatal outcome (1995) dengan izin
American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on
Obstetric Practice (1994) mendukung kesimpulan-kesimpulan NIH Consensus Panel
kecuali rekomendasi terapi pada wanita dengan keluban pecah preterm. Mereka
merekomendasikan dilakukannya riset lebih lanjut. Bahkan, Chapman dkk. (1996)
menyimpulkan bahwa terapi kortikosteroid untuk wanita dengan ketuban pecah
preterm yang melahirkan bayi kurang dari 1000 g tidak menguntungkan. Yang lebih
baru, American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on Obstetric
Practice (1998) menyatakan keprihatinan tentang efek simpang pada janin dan
kemungkinan efek terhadap status imun ibu akibat pemberian steroid berulang setiap
minggu. Kolese ini merekomendasikan bahwa setelah pemberian kortikosteroid awal,
dosis ulangan hanya boleh diberikan bila diperlukan saja (yakni, dosis
“penyelamatan” diberikan jika ancaman pelahiran preterm berulang lagi).
Dalam edisi terdahulu buku ini, kami memperkirakan bahwa “Ada
kemungkinan bahwa beberapa di antara banyak inanfaat yang berkaitan dengan
terapi kortikosteroid oleh Consensus Panel akan dinilai ulang pada masa yang akan
datang. “Memang, Consensus Panel dikumpulkan kembali pada 17-18 Agustus 2000
untuk mempertimbangkan kembali keamanan dan kemanjuran kortikosteroid
berulang yang diberikan untuk pematangan janin. Kesimpulan Panel tersebut
disajikan di Tabe127-10. Untuk ringkasnya, kini direkomendasikan bahwa
pemberian kortikosteroid antenatal berulang hanya dilakukan pada uji coba klinis.
EFEK MERUGIKAN KORTIKOSTEROID. Penelitian-penelitian yang dimulai
tahun 1970-an, yang menindak lanjuti perkembangan anak-anak yang diberi terapi
antenatal dengan kortikosteroid sampai umur 12 tahun, tidak memperlihatkan hasil
buruk di bidang perkembangan saraf jangka panjang. Hal ini diukur berdasarkan
adanya gangguan belajar, perilaku, dan motorik atau sensorik (NIH Consensus De-
Trelopment Panel, 7995). Namun lerdapat efek jangka pendek pada ibu, antara lain
edema paru, infeksi, dan pengendalian glukosa yang lebih sulit pada ibu diabetik.
Tidak dilaporkan adanya efek merugikan jangka panjang pada ibu.
TABEL 27-10. Kesimpulan NIH Consensus Panel Tahun 2000 Tentang Pemberian Kortikosteroid Berulang untuk Pematangan Janin.
1. Data internasional kolektif selalu mendukung kuat penggunaan dan kemanjuran pemberian kortikosteroid tunggal antenatal dongan monggunakan dosis dan interval pemberian yang ditetapkan dalam laporan Consensus Development Converence tahun 1994
2. Data manfaat dan risiko terbaru tidak cukup mendukung penggunaan rutin kortikostoroid antonatal berulang atau dosis penyelamatan dalam praktik klinis
3. Percobaan klinik sedang dilaksanakan untuk menilai kemungkinan manfaat dan risiko berbagai regimen pemberian berulang. Sampai data menetapkan rasio manfaat-risiko yang lebih baik, pemberian kortikostoroid antenatal berulang, termasuk terapi penyelamatan, harus dibatasi hanya untuk pasien-pasien yang ikut serta dalam percobaan klinis.
Dari, NIH Consensus Development Conference Sratemont on Repest Courses ol Antenatat Corticosternids, 77-18 Agustus 2000.
Liggins dan Howie (1972) mendasarkan penggunaan kortikosteroid tmtu:.
mempercepat pematangan paru janin pada eksperimen terhadap domba yang
mengindikasikaaa bahwa terapi tersebut tidak hanya memengarultii pemaW ngan
paru saja melainkan juga merangsang persalinan. Kortikosteroid dilaporkan dapat
menginduksi persalinan pada manusia lebih dari 20 tahun lalu (Jenssen dan Wright,
1977; Mati dkk., 1973). Eliott dan Radin (1995) mengkonfirmasi bahwa
kortikosteroid menginduksi kontraksi uterus dan persalinan preterm pada manusia.
Efek merugikan pada janin neonatus dan jangka panjang telah dilaporkan
berkenaan dengan pemberian terapi kortikosteroid pada ibu untuk mempertinggi
maturasi paru berulang versus tunggal, Esplin dkk. (2000) membandingkan
perkembangan mental dan psikomotor pada 429 bayi dengan berat lahir rendah yang
terpajan dua kali atau lebih pemberian kortikosteroid antenatal dengan bayi yang
terpajan dengan satu kali pemberian atau tidak mendapatkan pajanan sama sekali.
Para penulis itu tidak menemukan adanya manfaat pada dosis berulang, dan pajanan
terhadap pemberian kortikosteroid berulang secara independen dan signifikan diikuti
dengan perkembangan psikomotor yang abnormal. Vermillion dkk. (2000), dalam
sebuah analisis terhadap 453 bayi, menetapkan bahwa sepsis neonatorum awitan dini,
korioamnionitis, dan kematian neonatal secara signifikan berhubungan dengan
pemberian betametason dosis multipel pada ibu. Thorp (2000) dan Guinn (2001)
beserta rekan-rekan mereka melakukan percobaan-percobaan prospektif besar dan
tidak menemukan adanya manfaal pada pemberian steroid berulang. Yang penting,
pada sebuah analisis sekunder, Thorp dkk. (2001) melaporkan penurunan lingkar
kepala yang signifikan pada bayi-bayi yang lerpajan steroid. Demikian pula, Mercer
dkk. (2001) melaporkan penurunan berat dan panjang lahir yang bergantung dosis
pada neonatus yang terpajan terapi steroid antenatal. Sebagian hasil ini telah
didapatkan dan data ini memainkan peran yang menonjol dalam kesimpulan-
kesimpulan yang diambil oleh pertemuan ulang Concensus Panel (Tabel 27-10).
PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID DI PARKLAND HOSPITAL. Akibat
rekomendasi Consensus Panel yang pertama, deksametason 5 mg intramuskular
setiap 12 jam untuk 4 dosis setiap 7 hari, diperkenalkan di Parkland Hospital pada
Mei 1994 untuk wanita-wanita tertentu yang berisiko mengalami kelahiran preterm
pada usia antara 24 dan 34 minggu. Kortikosteroid tidak digunakan untuk
pematangan janin sebehim masa ini. Hasi1370 kehamilan tunggal yang berakhir pada
usia gestasi antara 24 dan 34 minggu selama 12 bulan sebelum terapi deksametason
dimulai dibandingkan dengan hasil pada 370 kehamilan serupa yang diberi terapi
deksametason setelah itu. Kami tidak dapat menunjukkan banyak manfaat, bila ada,
pada penelitian sebelum-setelah berbasis populasi ini. Publikasi untuk pengalaman
ini belum mungkin dilakukan.
THYROTROPIN-RELEASING HORMONE UNTUK PEMATANGAN JANIN.
Knight dkk. (1994) dari New Zealand melaporkan bahwa pemberian thyrotropin-
releasing hormone (400 mg secara intravena) selain betametason meningkatkan
pematangan paru janin dibanding dengan betametason saja. Efek ini didasarkan pada
pengamatan eksperimental bahwa tri-iodotironin Inempertinggi sintesis surfaktan.
Crowther dkk. (1995) dan Australian Collaborative Study Group mengacak 1234
wanita untuk memperoleh thyrotropin-releasing hormone sebagai tambahan terapi
kortikosteroid atau mendapatkan kortikosteroid saja dan tidak mampu menunjukkan
hasil-hasil yang menguntungkan ini. Bahkan, insiden penyakit pernapasan meningkat
pada kelompok yang diterapi dengan tirotropin! Dalam penelitian ACTOBAT ini,
para peneliti juga mengamati bahwa 7 persen ibu mengalami hipertensi nyata sebagai
akibat terapi tirotropin. Mereka menyimpulkan bahwa thyrotropin-relensing hormone
yang diberikan untuk mempercepat pematangan janin “menimbulkan risiko maternal
dan perinatal serta tidak dapat direkomendasikan.” Ballard dkk. (1998) mengikut
sertakan 996 wanita dengan usia gestasi di bawah 30 minggu dalam sebuah
percobaan multisentra berkontrol plasebo tersamar acak tentang terapi thyrotropin-
releasing hormone pada ibu untuk menurunkan morbiditas paru neonatus. Semua
wanita juga memperoleh terapi betametason. Hasil akhir primer adalah penyakit paru
kronis atau kematian bayi sebelum 28 hari. Hasil akhir primer dan sekunder hampir
identik pada kedua kelompok. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian thyrotropin-
neleasing hormone antenatal tidak menguntungkan.
TERAPI FENOBARBITAL DAN VITAMIN K ANTENATAI. Sebagaimana diulas
oleh Thorp dkk. (1995), beberapa penelitian telah mengusulkan bahwa fenobarbital
dan vitamin K antenatal yang diberikan kepada ibu dapat menurunkan insiden
perdarahan intrakranial. Mereka mengacak 272 wanita berisiko kelahiran preterm
untuk mendapatkan plasebo atau terapi dengan fenobarbital dan vitamin K serta
menemukan bahwa terapi seperti ini tidak menurunkan frekuensi dan keparahan
perdarahan intrakranial pada neonatus.
LIGASI SERVIKS (CERCLAGE). Ligasi serviks profilaktik, yang biasa
direkomendasikan di Amerika Serikat untuk wanita dengan riwayat yang mendukung
dan keguguran trimester kedua berulang, juga telah digunakan di Eropa untuk
mencegah kelahiran preterm. Dua percobaan ligasi serviks acak melibatkan lebih dari
700 wanita berisiko mengalami pelahiran preterm dan kedua studi tersebut tidak
menunjukkan adanya manfaat (Lazar dkk., 1984; Rush dkk., 1984). Ligasi serviks
profilaktik pada kehamilan kembar juga telah terbukti tidak menguntungkan pada
sebuah percobaan acak (Dor dkk., 1982). Medical Research Council of the Royal
College of Obstetricians and Gynecologists (1993) meneliti ligasi serviks pada 1292
wanita dari 12 negara dengan indikasi yang beraneka ragam dan seringkali tidak jelas
untuk menilai apakah prosedur ini dapat memperpanjang kehamilan. Sekitar 75
persen wanita yang didaftar di dalam penelitian acak ini sebelumnya pernah
melahirkan bayi preterm. Pada 647 waanita, jahitan serviks dipasang pada sekitar
minggu ke-16 dan hasilnya dibandingkan dengan 645 wanita yang diacak untuk tidak
mendapatkan ligasi serviks. Ditemukan penurunan angka kelahiran sebelum usia
gestasi 33 minggu yang kecil tapi signifikan-17 menjadi 13 persen-pada wanita yang
menjalani ligasi. Yang penting, tidak ada perbedaan kematian neonatal antar kedua
kelompok. Namun, pcnggunaan ligasi serviks dikaitkan dengan peningkatan
intervensi seperti tokolisis dan perawatan di rumah sakil. Para poneliti
menyimpulkan bahwa penjahitan serviks harus ditawarkan kepada wanita yang
mempunyai riwayat tiga atau lebih kehamilan yang berakhir sebelum minggu ke-37.
Althuisius dkk. (2000) mengacak 73 wanita yang sebelumnya pernah
mengalami kelahiran pretenn di bawah usia gestasi 34 n,inggu untuk menjalani ligasi
serviks atau observasi. Para wanita yang diobservasi diikuti dengan pengukuran
panjang serviks secara transvaginal sampai minggu ke-27, dan ligasi dipasang jika
panjang serviks memendek sampai kurang dari 25 mm. Kelahiran pada usia gestasi di
bawah 34 minggu dan angka ketahanan hidup neonatal setara pada kedua kelompok
studi. Namun, dalam sebuah analisis subgrup, kelahiran preterm menurun secara
signifikan pada wanita yang menjalani ligasi setelah terdapat bukti pemendekan
serviks secara ultrasonografik. Rust dkk. (2000) mengacak 61 wanita untuk
menjalani ligasi atau untuk mendapatkan penatalaksanaan menunggu berdasarkan
bukti pembentukan corong serviks secara ultrasonografik antara usia gestasi 16
sampai 24 minggu. Tidak terdapal keuntungan nyata pada wanita yang diacak untuk
menjalani ligasi serviks.
VAGINOSIS BAKTERIALIS. Hillier dkk. (1995) mendeteksi vaginosis bakterialis
pada 16 persen di antara 10.397 wanita hamil tanpa faktor risiko kelahiran preferm
yang ditapis pada usia gestasi antara 23 sampai 26 minggu. Vaginosis bakterialis
dikaitkan dengan kemiskinan dan peningkatan kelahiran preterm yang signifikan
pada usia gestasi 32 minggu atau kurang, tetapi tidak berkaitan dengan ketuban pecah
dim. Mikroba yang paling mungkin menyebabkan vaginosis bakterialis antara lain
Gardnerello voginalis, Bacteroides sp, dan Mycoplasma hominis.
Hauth dkk. (1995) meneliti 624 wanita berisiko kelahiran preterm baik karena
mereka sebelumnya telah melahirkan bayi preterm atau karena mereka berberat
badan kurang dari 50 kg sebelum kehamilan. Dalam penelitian tersamar ganda ini
para ibu diacak unluk mendapalkan terapi dengan metronidazol, 250 mg tiga kali
sehari sclama 7 hari; critromisin, 333 mg tiga kali sehari selama 14 hari; Man
plasebo. Sekilar 40 pcrsen wanita pada tiap kelompok menderita vaginosis pada usia
gestasi 22 sampai 24 minggu. Pelahiran sebelum minggu ke-37 pada wanita dengan
vaginosis bakterialis secara signifikan menurun dari 40 menjadi 25 persen bila diberi
metronidazol atau eritromisin. Morales dkk. (1994) melaporkan keuntungan serupa
pada 8l wanita yang mempunyai risiko tinggi untuk pelahiran preterm disertai
vaginosis bakterialis dan yang diterapi dengan metronidazol.
Carey dkk. (2000), dalam sebuah percobaan multisentra dari NICHD
Maternal-Fetal Medicine Units Network, menemukan bahwa terapi metronidazol
pada para wanita hamil dengan vaginosis baklerialis asimptomatik tidak
memperbaiki hasil akhir kehan,ilan sekalipun vaginosis bakterialis tersebut sembuh
pada 78 persen wanila yang mendapatkan terapi melronidazol dibanding dengan 37
persen yang mendapatkan plasebo. Secara spesifik, insiden kelahiran preterm sama
besar pada 953 wanita yang diberi terapi dengan metronidazol dibanding dengan 966
dalam kelompok plasebo. Akhirnya, terapi dengan metronidazol tidak menurunkan
infeksi klinis intraanution atau postpartum, sepsis neonatorum, atau perawatan di unit
perawatan intensif neonatus:
Terapi topikal intravagina untuk vaginosis bakterialis menggunakan krim
klindamisin belum terbukti efektif untuk mencegah kelahiran preterm (Joesoef
dkk.,1995 MC Gregor- dkk., 1994).
METODE-METODE YANG DIGUNAKAN UNTUK MENGHAMBAT
PERSALINAN PRETERM. Banyak sekali obat dan intervensi lain yang telah
digunakan unluk menghambat persalinan preterm, tetapi sayangnya, tidak ada yang
benar-benar efektif (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1995).
Kemungkinan penyulit pada ibu akibat obat tokoliyik diperlihatkan pada tabel 27-11.
Pentingnya penyulit-penyulit tersebut tidak dapat diremehkan. Sebagai contoh,
tokolisis merupakan penyebab sindrom gawat napas akut dan kematian pada wanita
hamil nomor tiga paling sering dalam periode 14 tahun di Jackson, Mississippi (Perry
dkk., 1996). American College of Obstetricians and Gynecologists (1998) telah
merekomendasikan bahwa sebaiknya tokolisis hanya digunakan bila ada kontraksi
uterus regular plus perubahan serviks yang terdokumentasi atau dilatasi dan
pendataran serviks yang cukup jelas.
TIRAH BARING. Regimen terapi yang paling sering digunakan adalah tirah baring,
baik di rumah sakit atau di rumah. Goldenberg dkk. (1994) telah mengulas tirah
baring yang digunakan untuk merawat berbagai macam komplikasi kehamilan dan
tidak menemukan bukti konklusif bahwa tirah baring dapat membantu mencegah
kelahiran preterm. Kovacevich dkk. (2000) melaporkan bahwa tirah baring paksa
(kecuali untuk keperluan pribadi dan mandi) selama 3 hari atau lebih dapat
meningkatkan risiko komplikasi tromboemboli dari 1 per 1000 wanita tanpa tirah
baring menjadi 16 per 1000 pada mereka yang melakukan tirah baring karena
ancaman pelahiran preterm.
HIDRASI DAN SEDASI. Heltgott dkk. (1994) melakukan percobaan hidrasi dan
sedasi perlama secara acak yang dibandingkan dengan tirah baring saja dalam
perawatan 119 wanita yang sedang dalam persalinan preterm. Wanita yang diacak
untuk mendapatkan terapi menerima 500 ml- larutan Ringer Laktat secara inttavena
dalam 30 menit dan 8 sampai 12 mg morfin sulfal intramuskular. Terapi seperti ini
ternyata tidak lebih menguntungkan daripada tirah baring saja.
AGONIS RESEPTOR BETA-ADRENERGIK. Pada awal abad ini, epinefrin dalam
dosis rendah terbukti memiliki efek depresan pada miometrium gravid. Namun, efek
tokolitiknya terbukti agak lemah dan hanya berlangsung sebentar saja, serta mungkin
diikuti dengan efek kardfovaskular yang menyusahkan. Beberapa senyawa yang
mampu beraksiterutama dengan reseptor p-adrenergik telah diselidiki setelahnya.
Beberapa senyawa ini kini digunakan dalam obstetri, namun hanya ritodrin
hidroklorida yang telah diakui (tahun 1980) oleh Food and Drug Administration
untuk mengobati persalinan preterm.
TABEL 27-11. Potensial Penyulit akibat Agen-agen Tokolitik
Agen beta-adrenergik Hiperglikemia Hipokalemia HipotensiEdema paru Irisutisiensi jantungAritmiaIskemia mioka Kematian ibu Magnesfum sulfatEdema paru Depresi pernapasana
Henti jantunga
Tetani pada ibua
Parallsis otot barer a
Hipotensi berat a
IndometasinHepatitis b
Gagal ginjal b
Perdarahan gastrointestinal b
Nitedipin Hipotonsi sesaata Efek Jarang: ditemukan pada kadar toksik.b Efek jarang: dikaitkan dengan penggunaan kronis. Dari American College of Obstetricians and Gynecologists (1995), dengan izin.
Reseptor adrenergik terletak.pada permukaan luar membran set otot polos,
tempat agonis spesifik dapat berpasangan dengannya. Adenil siklasc di dalam
membran sel diaktifkan oleh perangsangan reseptor ini. Adenil siklase meningkatkan
konversi ATP menjadi AMP siklik, yang selanjuhlya akan mengawali sejumlah
reaksi yang menurunkan konsentrasi kalsium terionisasi intraselular dan dengan
demikian mencegah akrivasi protein-protein kontraktil (lihat juga Bab 11, hal. 296).
Flier dan Underhill (1996) telah mengulas reseptor-reseptor adrenergik secara
komprehensif.
Ada dua kelas reseptor β-adrenergik: reseptor- β1, yang dominan di jantung
dan usus; dan reseptor-β2, yang dominan di miometrium, pembuluh darah, dan
bronkiolus. Sejumlah senyawa yang umumnya berstruktur sama dengan epinefrin
telah dievaluasi untuk mencari senyawa yang idealnya dapat memberikan
perangsangan yang optimal pada reseptor-β2 miometrium sehingga menghambat
kontraksi uterus sementara pada waktu yang sama menyebabkan sedikit efek
simpang karena perangsangan reseptor di tempat lain. Sejauh ini, tidak ada senyawa
yang menampilkan khasiat utopis ini. Di Amerika Serikat, senyawa agonis-β yang
dipakai untuk menghentikan persalinan preterm antara lain adalah ritodrin dan
terbutalin.
RITODRIN. Dalam sebuah studi multisentra di Amerika Serikat, bayi-bayi
yang ibunya diterapi dengan ritodrin atas dugaan persalinan preterm mempunyai
angka kcmatian yang lebih rendah, lebih jarang mengalami gawat napas, dan lebih
sering mencapai usia gestasi 36 minggu atau berat lahir 2500 g daripada bayi-bayi
yang ibunya tidak diberi terapi (Merkatz dkk., 1980). Namun, Hesseldahl (1979)
dalam sebuah penelitian multisentra terkontrol di Denmark, tidak mendapati bahwa
beberapa regimen ritodrin yang diuji lebih efektif daripada terapi dengan tirah baring,
infus glukosa, dan tablet plasebo.
Karena keprihatinan yang rnerebak akan kemanjuran dan keamanan ritodrin,
kami mengevaluasi obat tersebut pada layanan obstetri di Parkland Hospital (heveno
dkk.,1986b). Persalinan preterm secara hati-hati didefinisikan mencakup dilatasi
serviks plus kontraksi uterus teratur, dan 106 wanita dengan usia gestasi antara 24
sampai 33 minggu secara acak diberikan ritrodrin intravena atau tidak diberikan
tokolisis. Meskipun terapi ritodrin secara signifikan menunda pelahiran selama 24
jam atau kurang, obat ini tidak secara signifikan mengubah hasil perinatal secara
keseluruhan. Penundaan pelahiran yang signifikan selama 48 jam ditemukan pada
sebuah studi acak terhadap 708 kehamilan yang dilaporkan oleh Canadian Preterm
Labor Inucstigators Group (1992). Kemungkinan penjelasan untuk efek tokolitik
uterus sekilas dari ritodrin dan akhirnya kegagalan terapi semacam itu adalah
fenomena desensitisasi reseptor beta-adrenergik (Hausdorff dkk., 1990).
Infus ritodrin, juga agonis β-adrenergik lainnya, sering kali mengakibatkan
efek samping dan kadangkadang efek samping tersebut serius (Tabel 27-11).
Takikardia, hipotensi, ketakutan, sesak atau nyeri di dada, depresi segmen S-T pada
elektrokardiografi, edema paru, dan kematian ibu, sudah pemah ditemui. Efek
metabolik ibu antara lain hiperglikemia, hiperinsulinemia (jika tidak diabetik),
hipokalemia, serta ketoasidosis dan asidosis laktat. Efek samping yang kurang serius
namun menyusahkan antara lain emesis, nyeri kepala, rasa gemetar, demam, dan
halusinasi.
Belum ditemukan satupun mekanisme yang dapat menjelaskan timbulnya
edema paru, tetapi infeksi pada ibu tampaknya meningkatkan risiko ini (Hatjis dan
Swain, 1988). Penyebab edema paru tampaknya multifaktorial. Agonis beta-
adrenergik mcnyebabkan retensi natrium dan air sehingga dengan bcrjalannya waktu
biasanya 24 sampai 48 jamdapat menyebabkan overload volume (Hankins dkk.,
1988). Obat ini juga telah dianggap sebagai penyebab peningkatan permeabilitas
kapiler, gangguan irama janhng, dan iskemia miokardium. Pemberian glukokortikoid
secara bersamaan untuk mencoba mempercepat pematangan janin juga berperan
meski edema paru sudah timbul tanpa pemberian obat ini.
Kini hanya ritodrin parenteral yang tersedia di Amerika Serikat sejak
pabriknya menghentikan distribusi tablet pada tahun 1995. Efektivitas ritodrin oral
secara farmakokinetik diragukan (Schiff dkk., 1993).
TERBUTALIN. Agonis-β ini umumnya digunakan untuk mencegah
persalinan preterm, namun, seperti ritodrin, toksisitasnya-khususnya edema paru dan
intoleransi glukosa pada ibu-sudah jelas terjadi pada penggunaannya (Angel dkk.,
1988).
Lam dkk. (1988) melaporkan pemberian terbutalin dosis rendah secara
subkutan jangka panjang dengan menggunakan pompa portabel pada sembilan
kehamilan. Mereka mengklaim bahwa semakin rendah dosis terbutalin yang
digunakan mungkin dapat mcncegah desensitisasi β-adrenergik, yang menghasilkan
“breakthrough tokolisis” yang lebih kecil. Tokos Corporation segera memasarkan
pendekatan ini, dan antara tahun 1987 sampai 1993 telah menggunakan pompa ini
pada hampir 25.000 wanita dengan persalinan preterm (Pe:rry dkk., 1)95). Harga
terapi pompa terbutalin di Dallas pada tahun 1996 adalah $484 per hari. Laporan lain
yang ada mengenai pompa terbutalin antara lain kematian ibu mendadak (Hudgens
dan Conradi, 1993) dan laporan nekrosis miokardium neonatus setelah ibu
menggunakan pompa tersebut selama 12 minggu (Fletcher dkk., 1991).
Dua percobaan acak prospektif belum menemukan manfaat apapun dari terapi
pompa terbutalin. Wenstrom dkk. (1997) mengacak 42 wanita untuk mendapatkan
terapi dengan pompa terbutalin, pompa salin, atau terbutalin oral. Ketiga kelompok
ini mempunyai usia gestasi yang setara pada saat masuk dan pada saat pelahiran.
Guiin dkk. (1998), dalam sebuah percobaan tersamar ganda, mengacak 52 wanita
untuk mendapatkan terapi pompa terbutalin atau pompa salin. Diperlukan sampel
sejumlah 48 wanita untuk mendeteksi perbedaan antarkelompok dengan rerata 2
minggu sampai pelahiran. Terapi pompa terbutalin tidak secara signifikan
memperpanjang kehamilan, mencegah pelahiran preterm, atau memperbaiki hasil
akhir neonatus.
Terapi terbutalin oral pernah dilaporkan tidak efektif oleh beberapa kelompok
(How dkk., 1995; Parilla dkk., 1993). Pada sebuah percobaan tersamar ganda, Lewis
dkk. (1996) mengacak 203 wanita yang mengalami persalinan prelerm setelah
tokolisis intravena yang berhasil pada usia gestasi 24 sampai 34 minggu, untuk
mendapatkan 5 mg terbutalin oral setiap 4 jam atau plasebo. Pelahiran dalam waktu
satu minggu setara pada kedua kelompok demikian juga median masa laten, rerata
usia geslasi saat pelahiran, dan insiden persalinan preterm berulang. Namun, analisis
setelahnya pada 96 wanita yang diikut sertakan sebelurh usia gestasinya mencapai 32
minggu memberi kesan pemanjangan kehamilan yang signifikan dengan terbutalin
rumatan oral.
IKHTISAR TENTANG OBAT-OBAT BETA-ADRENERGIK UNTUK
MENGHAMBAT PERSALINAN PRETERM. Sejumlah meta-analisis mengenai
agonis-β parenteral yang diberikan untuk mencegah kelahiran preterm secara
konsisten mengkonfirmasi bahwa agen-agen ini menunda pelahiran selama tidak
lebih dari 48 jam (Canadian Prterm Labor Group, 1992). Lebih lanjut, penundaan
ini belum terbukti menguntungkan meski telah dilakukan upaya berulang-ulang
untuk menguji ulang data (Lamont, 1993). Akhirnya, Macones dkk. (7995)
menggunakan meta-analisis untuk menilai data tentang kemanjuran terapi beta-
agonig oral yang tersedia dan tidak menemukan adanya manfaat.
Dengan demikian, terapi agonis-β oral secara meyakinkan telah terbukti tidak
efektif dan terapi parenteral hanya dapai menunda pelahiran dalam waktu singkat
yang belum terbukti menguntungkan. Keirse (1995b) menyalakan bahwa penundaan
pelahiran singkat yang dihasilkannya mungkin bermanfaat untuk mempermudah
transportasi ibu ke pusat perawatan tersier, dan juga cukup menunda pelahiran
hingga menghasilkan pematangan janin dengan glukokortikoid. Sayangnya, tidak ada
data yang menyokong dari sudut pandang ini.
MAGNESIUM SULFAT. Telah diketahui selama beberapa waktu bahwa
magnesium ionik dalam konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengubah kontraktilitas
miometrium in vivo dan in vitro. Perannya diperkirakan sebagai antagonis kalsium.
Steer dan Petrie (1977) menyimpulkan bahwa magnesium sulfat yang
diberikan secara intravena, 4 g diberikan sebagai dosis awal diikuti dengan infus
kontinu 2 g/jam, biasanya akan menghentikan persalinan. Elliott (1983), dalam
sebuah studi retrospektif, menemukan bahwa tokolisis dengan magnesium sulfat
berhasil, murah, dan relatif tidak toksik. la melaporkan 87 persen keberhasilan bila
serviks berdilatasi 2 cm atau kurang, tetapi periode penghambatan persalinan hanya
48 jam. Spisso dkk. (1982) juga sangat terkesan dengan kemanjuran magnesium
sulfat bila diberikan intravena dalam dosis yang relatif besar kepada wanita dalam
fase laten dini persalinan.
Watt-Morse dkk. (1995) meneliti efek inhibisi magnesium dengan
konsentrasi sampai 8,3 mEq/L pada domba preterm dengan kontraksi yang diinduksi
oksitosin. Mereka menyimpulkan bahwa magnesium sulfat dalam dosis yang dapat
ditoleransi dan nontoksik tidak mempunyai efek langsung pada kontraktilitas uterus.
Hanya ada dua studi berkontrol acak tentang khasiat tokolitik magnesium
sulfat pada manusia. Cotton dkk. (1984) membandingkan magnesium sulfat dengan
ritodrin serta dengan plasebo, dan mereka hanya menemukan perbedaan kecil pada
hasil akhirnya. Cox dkk. (1990) mengacak 156 wanita dalam persalinan preterm
dengan selaput ketuban utuh untuk mendapatkan infus magnesium sulfat atau saline
normal. Magnesium sulfat (larutan 20 persen) mulai diberikan dengan menggunakan
dosis awal 4-g diikuti dengan 2 g/jam secara intravena. Bila kontraksi menetap
setelah 1 jam, infus dilingkatkan menjadi 3 g/jam. Wanita yang diterapi mempunyai
rata-rata konsentrasi magnesium plasma 5,5 mEq/L. Tidak ditemukan keuntungan
dari terapi seperti ini dan metode tokolisis ini ditolak di Parkland Hospital. Hasil
serupa berikutnya dilaporkan dalam sebuah pemeriksaan terhadap wanita dalam
persalinan preterm tanpa diacak dan melahirkan bayi dengan berat kurang dari 1000
g (Kimberlin dkk.,1996a).
Hollander dkk. (1987) menggunakan dosis infus magnesium sulfat yang
belum pernah digunakan sebelumnya, yakni rata-rata 4,5 g/jam. Mereka melaporkan
terapi seperti itu setara dengan ritodrin. Sebaliknya, Semchyshyn dkk. (1983) tidak
berhasil menghentikan persalinan pada seorang wanita yang secara tidak sengaja
diberi 17,3 g magnesium sulfat dalam waktu 45 menit. Para wanita yang diberi
magnesium sulfat dosis tinggi harus dipantau sangat ketat untuk mencari tanda
hipennagnesemia yang mungkin terbukti toksik bagi mereka dan janin bayi mereka.
Parmakologi dan toksikologi magnesium yang diberikan secara parenleral dibahas
lebih rinci di Bab 24 (hal. 661).
INHIBITOR PROSTAGLANDIN. Senyawa-senyawa yang menghambat
prostaglandin telah menjadi subjek perhatian yang cukup besar karena prostaglandin
dianggap terlibat erat dalam kontraksi mipmctrium pada persalinan normal (Bab 11,
hal. 299). Obat antiprostaglandin mungkin bekerja dengan menghambal sinlesis
prostaglandin atau menghalangi kerja prostaglandin pada organ target. Sekelompok
enzim yang disebut prostaglandin sintase bertanggungjawab atas konversi asam
arakhidonal bebas menjadi prostaglandin. Beberapa obat diketahui menyekat sistem
ini, antara lain aspirin dan salisilat lain, indometasin, naproksen, dan sulindak.
Sayangnya, inhibitor prostaglandin sintase mungkin memiliki efek simpang
pada janin, sehingga menghambat penggunaan obat-obat ini sebagai tokolisis secara
luas. Penyulitnya antara lain penutupan duktus arleriosus, enterokolitis nekrotikans,
dan perdarahan intrakranial (Norton dkk., 1993). I'arilla dkk. (2000) meragukan
hubungan antara indomelasin dengan entcrokolitis nekrolikans. Van der Heijden dkk.
(1994) menghubungkan terapi indometasin perinatal jangka panjang dengan anemia,
kematian neonatal, dan kerusakan kistik ginjal. Ibu dapat mengalami efek simpang
akibat terapi indomelasin, dan Lunt dkk. (1994) melaporkan bahwa tokolisis
indometasin menyebabkan waktu perdarahan pada ibu menjadi amat memanjang.
Sulindak, yang strukturnya berkaitan erat dengan indometasin, telah
dilaporkan mempunyai efek samping yang lebih sedikit bila digunakan sebagai
lokolais (Rasanen dan Jouppila, 1995). Namun, percobaan-percobaan pendahuluan
mengindikasikan bahwa terapi sulindak oral mungkin tidak terlalu bermanfaat untuk
mencegah kelahiran preterm (Carlan dkk., 1995). Kramer dkk. (1996) mengukur
efek-efek sulindak pada produksi urin janin dan volume cairan amnion serla
membandingkannya dengan terbutalin dalam sebuah studi acak tersamar ganda.
Pemberian sulindak menurunkan aliran urin janun dan volume cairan amnion. Dua
janin juga mengalami konstriksi duktus berat. Dengan demikian, sulindak
mempunyai banyak efek samping pada janin yang berkaitan dengan indometasin.
Panter dkk. (1996) meninjau semua percobaan acak yang membandingkan
indometasin dengan agonis-β sebagai tokolisis. Indometasin terbukti lebih efektif
untuk menunda pelahiran selama 48 jam, dan menimbulkan efek samping ibu yang
lebih sedikit daripada ritodrin. Namun, indometasin dikaitkan dengan peningkatan
morbiditas neonatal. Para pencliti ini menyimpulkan bahwa indometasin perlu
dievaluasi lebih lanjut sebelum digunakan sebagai tokolisis secara rutin.
OBAT-OBAT PENYEKAT SALURAN KALSIUM Aktivitas otot polos, termasuk
miometriam, secara langsung berhubungan dengan kalsium bebas di dalam
sitoplasma, dan penurunan konsentrasi kalsium akan menghambat kontraksi. Ion
kalsium mencapai sitoplasma melalui portal atau saluran membran spesifik, dan
penyekat saluran kalsium bekerja menghambat pemasukan kalsium melalui saluran
membran set dengan berbagai mekanisme. Penyekat pemasukan kalsium berkat efek
relaksasi otol polos arteriolarnya-kini digunakan sebagai terapi penyakit arteri
koroner dan hipertensi.
Kemungkinan bahwa obat penyekat saluran kalsium dapat diaplikasikan
dalam terapi persalinan preterm telah menjadi subjek riset baik pada binatang
maupun manusia sejak akhir tahun 1970-an. Saade dkk. (1994), dengan
menggunakan potongan-potongan miometrium manusia in vitro, memperlihatkan
bahwa ritrodin menyebabkan relaksasi serupa dengan ritodrin dan lebih efektif
daripada magnesium. Uji coba Minis pertama yang memberikan nifedipin untuk
persalinan preterm dilakukan di Denmark oleh Ulmsten dkk. (1980). Terapi nifedipin
menunda pelahiran sekurang-kurangnya 3 hari pada 10 wanita dengan persalinan
prelerm pada usia gestasi 33 minggu atau kurang. Tidak ditemukan efek samping
yang serius pada ibu atau janin. Telah dilakukan beberapa studi berikutnya tentang
tokolisis nifedipin, yang telah ditinjau ulang secara komprehensif oleh Childress dan
Katz (1994). Pada semua studi tersebut nifedipin lebih berhasil atau lebih baik
daripada ritodrin dalam menghentikan kontraksi preterm tanpa efek simpang pada
janin. Efek samping ritodrin pada ibu jauh lebih buruk.
Sekalipun penyekat saluran kalsium mungkin tampak menjanjikan sebagai
terapi persalinan preterm, beberapa peneliti mengingatkan bahwa perlu dilakukan
lebih banyak riset untuk mengklarifikasi bahaya potensial pada ibu atau janin sebab
relaksasi otot polos oleh nifedipin tidak terbatas pada otot uterus saja, melainkan juga
mengenai pembuluh darah sistemik dan uterus. Resistensi vaskular yang menurun
karena nifedipin dapat menyebabkan hipotensi pada ibu sehingga menurunkan
perfusi uteroplasenta. Parisi dkk. (1986) melaporkan bahwa hiperkapnia, asidosis,
dan kemungkinan hipoksemia terjadi pada janin-janin dari domba hipertensif yang
diberi nikardipin. Demikian pula, Lirettc dkk. (1986) mengamati penurunan aliran
darah uteroplasenta pada kelinci hamil. Namun, para penelili lain belum menemukan
efek buruk ini pada janin (Childress dan Katz, 1994).
Efektivitas penyekat saluran kalsium, seperti nifedipin, dalam menekan
kontraksi atau persalinan preterm belum diteliti secara adekuat. Percobaan-percobaan
kecil memberikan hasil yang tidak konklusif (Kupferminc dkk., 1993; Papatsonis
dkk., 1997; Read dkk., 1986; Smith dan Woodland, 1993). Dalam sebuah tinjauan
ulang dari Gochrnne Database yang membandingkan nifedipin dengan simpa-
tomimetik-β, Keirse (1995a) menyimpulkan bahwa terapi nifedipin menurunkan
kelahiran bayi yang beratnya kurang dari 2500 g, tetapi lebih banyak bayi yang
dimasukkan ke perawatan intensif neonatal. Hasil-hasil seperti ini mengharuskan
dilakukannya studi lebih lanjut mengenai keamanan dan kemanjuran obat tersebut.
Kombinasi nifedipin dan magnesium sebagai lokolisis kemungkinan
berbahaya. Ben-Ami dkk. (1994) serta Kurtzman dkk. (1993) melaporkan bahwa
nifedipin meningkatkan toksisitas magnesium untuk menimbulkan blokade
neuromuskular yang dapat mengganggu fungsi paru maupun jantung. Carr dkk.
(1999) menemukan bahwa terapi rumalan dengan nifedipin oral tidak
memperpanjang kehamilan secara signifikan pada para wanita yang dari semula
diobati dengan magnesium sulfat intravena untuk persalinan preterm.
ATOSIBAN. Sebuah analog oksitosin nonapcptida, atosiban, terbukti
merupakan antagonis kompetitif unluk oksitosin-vasopresin yang dapat menghambat
kontraksi uterus yang diinduksi oleh oksitosin. Goodwin dkk. (1995) mengulas
atosiban serta mendeskripsikan farmakokinetikanya pada wanita hamil. Hasil sebuah
percobaan nuiltisentra, tersamar ganda dan berkontrol plasebo pada 501 wanita yang
ditetapkan menerima atosiban intravena atau plasebo baru-baru ini dipublikasikan
(Romcro dkk., 2000). Terapi atosiban tidak secara signifikan memperbaiki hasil akhir
pada bayi yang relevan secara klinis. Pertimbangan keamanan menjadi keprihatinan
utama karena kematian janin-bayi lebih besar pada kelompok atosiban. Persetujuan
dari Food and Drug Administration mengenai penggunaan atosiban untuk
menghentikan persalinan preterm telah dihapuskan alas pertimbangan tentang
kemanjuran dan keamanannya pada janin-bayi barn lahir (FDA, komunikasi
personal).
OBAT-OBAT DONOR NITRAT OKSIDA. Nitrat oksida adalah suatu relaksan otot
poles endogen yang poten di dalam pembuluh darah, usus, dan uterus. Nilrogliserin
adalah contoh obat donor nitrat oksida. Clavin dkk. (1996) mengacak 34 wanita
dalam persalinan preterm untuk mendapatkan tokolisis dengan nitrogliserin atau
magnesium sulfat intravena. Tidak ada perbedaan kemanjuran tokolitik dari kedua
obat ini, tetapi 3 di antara 15 wanita yang diberi nitrogliserin menderita hipotensi
beral. Lees dkk. (1999) mengacak 245 wanita dalam persalinan preterm untuk
mendapatkan gliseril trinitrat transdennal atau ritodrin inlravena. Gliseril trinitrat
secara keseluruhan tidak memiliki kelebihan dalam penghambatan persalinan
preterm.
TERAPI KOMBINASI. Penggunaan banyak obat untuk menghambat persalinan
pretenn mengesankan bahwa tidak ada satu obat yang secara tunggal benar-benar
memuaskan. Sayangnya, belum ada penelitian yang mcmbandingkan kombinasi
tokolilik dengan plasebo. Kosasa dkk. (1994) menggunakan tokolisis jangka panjang
dengan kombulasi terbulalin dan magnesium sulfat inlravena pada 1000 kehamilan.
Rerata durasi terapi intravena adalah 61 hari pada wanita dengan selaput ketuban
utuh dan satu wanila menerima terapi ini selama 123 hari. Pendekatan ini diklaim
efektif dan aman karena hanya 2 sampai 4 persen wanila mengalami edema paru.
PENATALAKSANAAN INTRAPARTUM. Secara umum, semakin imatur
janinnya, semakin besar risiko akibat persalinan dan pelahiran.
PERSALINAN. Apakah persalinan diinduksi atau spontan, kelainan frekuensi
denyut jantung janin dan kontraksi uterus harus dicari, lebih baik dengan pemantau
elektronik kontinu. Takikardia janin, terutama bila terjadi pecah ketuban,
menandakan adanya sepsis. Terdapat beberapa bukti terbaru bahwa asidemia
intrapartum dapat memperberal beberapa komplikasi neonatal yang biasanya hanya
ditimbulkan oleh prematuritas. Misalnya, Low dkk. (1995) mengamati bahwa
asidosis intrapartum-pH darah arteri umbilikalis kurang dari 7,0- memainkan peran
penting pada komplikasi neonatal. Demikian pula, Kimberlin dkk. (1996b)
menemukan bahwa peningkatan asidemia darah arteri umbilikalis berhubungan
dengan penyakit pernapasan yang lebih berat pada neonatus preterm meski tidak
ditemukan efek pada hasil neurologis jangka pendek yang meliputi perdarahan
intrakranial.
Yang penting, seperti halnya bayi preterm berat harus diberi perawatan
khusus di unit perawatan intensif neonatal, ibu dan janin harus diamati sangat ketat di
unit persalinan dan pelahiran. Dokter dengan keahlian khusus harus memantau
persalinan dan pelahiran janin prelerm berat.
PENCEGAHAN INFEKSI STREPTOKOKUS GRUP B PADA NEONATUS.
Seperti yang dibahas dalam Bab 56 (hal. 1647), infeksi streptokokus grup B sering
terjadi dan berbahaya pada neonatus preterm. Sejak 1996 Centers for Disease
Control and prevention, bersama dengan American College of Obstrtricinnsnrul
Gynecologists, merekomendasikan penisilin G alau ampisilin secara intravena seliap
6 jam sampai pelahiran bagi para wanita yang bersalin sebelum usia gestasi 37
minggu dan yang status biakannya tidak diketahui atau positif untuk streptokokus
grup B.
PELAHIRAN. Bila mulut vagina lidak relaks, episiotomi untuk pelahiran mungkin
dapat bermanfaat begitu kepala janin mencapai perineum. Masih ada tantangan
mengenai manfaat pelahiran spontan versus pelahiran forseps untuk melindungi
kepala janin preterm yang rentan (Bab 21, hal. 537). Masih diragukan apakah
penggunaan forsep pada kebanyakan kasus menimbulkan trauma yang lebih ringan.
Memang, menekan dan menarik kepala bayi yang amat preterm mungkin lebih
traumalik daripada dorongan alami. Penggunaan forseps outlet dengan ukuran yang
pas mungkin dapat membantu bila digunakan anestesi regional dan usaha untuk
mengejan volunlar dilahan.
Seorang dokter dan staf yang terampil dalam teknik resusitasi serta
berorientasi penuh pada masalah spesifik kasus ini harus hadir pada saal pelahiran.
Prinsip-prinsip resusitasi yang diuraikan di Bab 16 dapat dipakai, termasuk inhrbasi
trakea dan ventilasi yang tepat. Pentingnya ketersediaan personel dan fasilitas khusus
pada kasus bayi preterm ditekankan oleh membaiknya angka ketahanan hidup bayi-
bayi ini jika mereka dilahirkan di pusat perawatan tersier (Powell dkk., 1995).
PENCEGAHAN PERDARAHAN INTRAKRANIAL NEONATAL. Bayi-bayi
preterm sering mengalami perdarahan matriks germinal yang dapat meluas menjadi
perdarahan intraventrikel yang lebih serius (Bejar dkk., 1980). Dihipotesiskan bahwa
seksio sesarea untuk meniadakan trauma persalinan dan pelahiran pervaginam
mungkin dapat mencegah komplikasi ini. Observasi-observasi awal ini belum
disahkan oleh sebagian besar studi yang dilakukan setelahnya. Dalam studi terbesar,
Malloy dkk. (1991) menganalisis 1765 bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 g
dan menemukan bahwa seksio sesarea tidak menurunkan risiko kematian serta
perdarahan intrakranial. Namun, Anderson dkk. (1988) membuat suatu pengamatan
yang menarik tentang peran seksio sesarea untuk mencegah perdarahan intrakranial
pada neonatus. Perdarahan ini berhubungan dengan apakah janinnya telah mengalami
fase aktif persalinan alau belum, yang ditetapkan sebagai interval sebelum dilalasi
serviks mencapai 5 cm. Seperti ditekankan oleh Anderson dkk. (1988), menghindari
fase aktif persalinan sudah tidak mungkin pada kebanyakan kelahiran prelenn karena
jalur pelahiran tidak ditetapkan sampai persalinan benar-benar telah pasti
berlangsung.
Nelson dan Grether (1995) melaporkan bahwa magnesium sulfat yang
diberikan kepada para wanita yang melahirkan preterm untuk tokolisis atau
preeklamsia disertai dengan pcnurunan signifikan insiden cerebral palsy ketika bayi
yang hidup dengan berat lahir kurang dari 1500 g ditindak lanjuti sampai umur 3
tahun. Dikatakan bahwa magnesium yang diberikan kepada janin melalui ibu
mungkin memainkan peran pada pengaturan pembuluh darah untuk mensuplai
matriks germinal pada otak janin preterm yang amat rentan terhadap perdarahan.
Namun, Murphy dkk. (1995) menemukan bahwa preeklampsia berat dan pelahiran
lanpa persalinan bersifat proteklif terhadap cerebral palsy. Mereka menyimpulkan
bahwa magnesium mungkin bukan agen protektifnya karena obat ini tidak digunakan
untuk menangani preeklampsia di Inggris.