Presus Herpes Zoster Noni Frista Al Azhari g4a013079
-
Upload
noni-frista-al-azhari -
Category
Documents
-
view
233 -
download
0
description
Transcript of Presus Herpes Zoster Noni Frista Al Azhari g4a013079
PRESENTASI KASUS
HERPES ZOSTER
Disusun Oleh :
Noni Frista Al Azhari G4A013079
Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014
HALAMAN PENGESAHAN
HERPES ZOSTER
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Mengikuti
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disusun oleh :
Noni Frista Al Azhari G4A013079
Telah dipresentasikan
Pada Tanggal : Desember 2014
Menyetujui
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK
2
I. PENDAHULUAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 51 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMA
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Alamat : Mersi RT 05/ RW 03- Purwokerto Timur
Agama : Islam
No. CM : 88-41-80
II. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis pada tanggal 10 Desember 2014, pukul 10.00
WIB
Keluhan Utama : Terdapat lenting- lenting pada dagu kiri dan leher
kiri
Keluhan Tambahan : Terasa gatal, lenting- lenting semakin bertambah
banyak, terasa nyeri, dan demam.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan terdapat benjolan lenting- lenting pada daerah
dagu kiri dan leher kiri sejak 2 hari yang lalu. Benjolan lenting- lenting
disertai adanya rasa gatal dan semakin lama, semakin banyak. Awalnya
lenting- lenting hanya terdapat sedikit, namun semakin lama semakin
banyak.
Keluhan dirasakan terus menerus sepanjang waktu dan pasien
merasakan gatal dan nyeri bertambah berat baik pada saat beristirahat
maupun beraktivitas. Benjolan lenting- lenting seperti berisi air sehingga
3
pasien sering menahan untuk tidak menggaruk pada daerah dagu dan leher
khawatir apabila digaruk dapat menambah parah luka. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan demam sejak beberapa hari sebelumnya, sakit kepala,
badan terasa pegal- pegal, dan nyeri pada dagu kiri dan leher kiri.
Sebelum datang ke Poli Penyakit Kulit dan Kelamin RS Margono
Soekardjo, pasien mengaku sedang mengikuti kegiatan di pondok
pesantren dan menginap selama 7 hari. Setelah pulang dari pondok
pesantren pasien merasakan tidak enak badan, demam, nyeri kepala, dan
badan pegal- pegal. Kemudian muncul benjolan lenting- lenting pada dagu
kiri dan leher. Awalnya muncul pada dagu kiri kemudian bertambah pada
leher kiri. Pasien belum pernah mendapat pengobatan. Keluhan tidak
kunjung sembuh sehingga pasien datang untuk memeriksaan diri ke Poli
Kulit dan Kelamin RS. Margono Soekardjo.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak ada Riwayat Keluhan Serupa
Ada Riwayat Penyakit Varisela/ Cacar Air
Tidak ada.Riwayat Alergi
Tidak ada Riwayat Penyakit Diabetes Mellitus, Hipertensi
Tidak ada Riwayat Penyakit Asma
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama dengan
pasien pada keluarga maupun teman di pondok pesantren
Tidak ada yang menderita Alergi
Tidak ada yang menderita Penyakit Asma pada keluarga pasien
Tidak ada yang menderita Penyakit Diabetes Mellitus, Hipertensi
III. STATUS GENERALIS
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik, BB: 45 kg, TB: 158 cm
4
Vital Sign : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : Febris
Kepala : Mesochepal, rambut hitam beberapa tampak sudah
memutih, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening: Tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema ( ), sianosis ( )
IV. STATUS DERMATOLOGIKUS
Lokasi : Regio mandibularis sinistra dan cervicalis sinistra
Effloresensi : Tampak vesikel- vesikel berkelompok di atas daerah yang
eritematosa. Ukuran lentikular. Lesi bersifat unilateral pada
dermatom yang sesuai dengan letak saraf yang terinfeksi
virus.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
VI. RESUME
Pasien Ny. M, Perempuan, usia 51 tahun datang dengan keluhan
muncul benjolan lenting- lenting seperti berisi air di daerah dagu kiri dan
leher kiri sejak 2 hari yang lalu. Pasien merasakan gatal pada kulit tempat
5
lenting- lenting. Gatal dirasakan terus- menerus. Awalnya lenting- lenting
hanya terdapat sedikit, namun semakin lama semakin meluas.
Keluhan dirasakan terus menerus sepanjang waktu dan pasien
merasakan gatal bertambah berat baik pada saat beristirahat maupun
beraktivitas. Benjolan lenting- lenting seperti berisi air sehingga pasien
sering menahan untuk tidak menggaruk pada daerah dagu dan leher
khawatir apabila digaruk dapat menambah parah luka. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan demam sejak beberapa hari sebelumnya, sakit kepala,
badan terasa pegal- pegal, dan nyeri pada dagu kiri dan leher kiri.
Sebelum datang ke Poli Penyakit Kulit dan Kelamin RS Margono
Soekardjo, pasien mengaku sedang mengikuti kegiatan di pondok
pesantren dan menginap selama 7 hari. Setelah pulang dari pondok
pesantren pasien merasakan tidak enak badan, demam, nyeri kepala, dan
badan pegal- pegal. Kemudian muncul benjolan lenting- lenting pada dagu
kiri dan leher kiri. Awalnya muncul pada dagu kiri kemudian bertambah
pada leher. Pasien belum pernah mendapat pengobatan. Keluhan tidak
kunjung sembuh sehingga pasien datang untuk memeriksaan diri ke Poli
Kulit dan Kelamin RS. Margono Soekardjo.
Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada
pemeriksaan status dermatologikus Lokasi Regio Mandibularis Sinistra
dan Regio Cervicalis Sinistra tampak vesikel- vesikel berkelompok di atas
daerah yang eritematosa. Ukuran lentikular. Lesi bersifat unilateral.
VII. DIAGNOSA KERJA
Herpes zoster regio mandibularis sinistra et regio cervicalis sinistra.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes Simpleks
Predileksi: Paling sering pada/ dekat sambungan mukokutan. VHS
tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan
hidung. VHS tipe II di daerah pinggang ke bawah terutama di daerah
genital.
6
UKK : Vesikel- vesikel miliar berkelompok, jika pecah membentuk
ulkus yang dangkal dengan kemerahan pada daerah di sekitarnya.
2. Varisela
Predileksi: Terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke muka dan ekstrimitas, serta dapat menyerang selaput
lendir mata, mulut, dan saluran napas bagian atas.
UKK: Dimulai timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang
dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel
khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah
menjadi pustule dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini
berlangsung, timbul lagi vesikel- vesikel yang baru sehingga
menimbulkan gambaran polimorfi (Siregar, 2005; Djuanda, 2007).
3. Impetigo Vesiko-Bulosa
Predileksi: Ketiak, dada, punggung, dan ekstrimitas atas dan bawah.
UKK: Eritema, bula, dan bula hipopion. Tampak bula dengan dinding
tebal dan tipis, miliar hingga lentikular, kulit sekitarnya tak
menunjukkan peradangan, kadang- kadang tampak hipopion. Jika
vesikel/ bula telah memecah yang tampak hanya koleret dan dasarnya
masih eritematosa (Siregar, 2005; Djuanda, 2007).
IX. PEMERIKSAAN ANJURAN
Histopatologi: pemeriksaan sel Tzanck ditemukan sel datia berinti banyak.
X. PENATALAKSANAAN
i. Non Medikamentosa
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya.
b. Istirahat yang cukup
c. Mengusahakan supaya vesikel tidak pecah untuk menghindari
infeksi sekunder
d. Hindari stress fisik dan psikologis
e. Menjaga kebersihan kulit dengan mandi
7
f. Hindari kontak dengan orang lain, terutama orang dengan
imunitas rendah.
2. Medikamentosa
Sistemik:
Antiviral Asiklovir 5 x 800 mg sehari selama 7 hari
Obat nyeri neuropatik Gabapentin 1x 300 mg selama 5 hari
B1, B6, B12 1 x 1 selama 10 hari
Curcuma 3 x 1 selama 30 hari
Topikal:
Fuson Tube No I 3 x 1/ hari
Bedak Salisil 2%
XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad kosmeticum : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Effloresensi Pada Pasien Ny. M
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
HERPES ZOSTER
II.1. Definisi
Herpes zoster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan
kulit dengan dermatom tunggal atau yang berdekatan (Habif, T.P., 2011).
Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster yang
memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox (Habif, T.P.,
2011). Shingles adalah nama lain dari herpes zoster (Habif, T.P., 2011;
Schalock C.P, 2011; James, W.D., 2011). Virus ini tidak hilang tuntas dari
tubuh setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman
pada sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat
tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai herpes zoster
(Daili SF, B Indriatmi W, 2002).
2.2. Sinonim
Nama lain dari herpes zoster adalah dampa, cacar ular (Djuanda Adhi,
2007).
2.3. EtioPatogenesis & Patofisiologi
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet
respiratori. VVZ bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang
lebih 2 minggu sebelum perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius
sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta (Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt,
K.A., 2011). Selama terjadi kulit yang erupsi, VVZ menyebar dan
menyerang saraf secara retrograde untuk melibatkan ganglion akar dorsalis
di mana ia menjadi laten (Habif, T.P., 2011; James, W.D., 2011). Virus
berjalan sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan
menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan cacar air (Mandal BK,
2008). Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar
dorsal saraf sensorik (James, W.D. , 2011; Mandal BK, 2008). Latensi
adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak diragukan lagi
peranannya dalam patogenitas. Sifat latensi ini menandakan virus dapat
bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase
reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan kepada seseorang
yang rentan (Daili SF, B Indriatmi W., 2002). Reaktivasi mungkin karena
stres, sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan. Virus
kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala prodormal dan
erupsi kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal (Schalock C.P, Hsu
T.S, Arndt, K.A., 2011). Infeksi primer VVZ memicu imunitas humoral dan
seluler, namun dalam mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih
penting pada herpes zoster. Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes
zoster meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun,
dibandingkan dengan orang normal (Daili SF, B Indriatmi W., 2002).
http://www.herpes.com/herpes-zoster.html
10
http://www.pyroenergen.com/articles08/herpes-zoster-shingles.htm
Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada
keadaan imunosupresi. Insidensi herpes zoster berhubungan dengan
menurunnya imunitas terhadap VZV spesifik (Daili SF, B Indriatmi W.,
2002).
Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi
peradangan ganglion sensoris. Virus menyebar ke sumsum tulang belakang
dan batang otak, dari saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi
kulit vesikuler yang khas. Pada daerah dengan lesi terbanyak mengalami
keadaan laten dan merupakan daerah terbesar kemungkinannya mengalami
herpes zoster (Daili SF, B Indriatmi W., 2002).
Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit
dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara
sentripetal, naik ke serabut sensoris ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus
membentuk infeksi laten yang menetap selama kehidupan. Herpes zoster
terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam dari varisela mencapai
densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf
trigeminal ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2 (Wolff
K et al, 2008).
Depresi imunitas selular akibat usia lanjut, penyakit, atau obat-obatan
mempermudah reaktivasi. Herpes zoster pada anak kecil sehat mungkin
berhubungan dengan perkembangan imunitas selular yang kurang efisien
11
pada saat terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun pascalahir
(Mandal BK et al, 2008).
http://en.wikipedia.org/wiki/Herpes_zoster#Pathophysiology
Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan:
( seperti terlihat pada gambar di atas )
1. Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.
2. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.
3. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.
4. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).
5. Lesi menghilang.
(sekelompok vesikel – vesikel dalam bentuk bervariasi)
http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles72.html
12
(vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta)
http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles91.html
(Sekelompok vesikel – vesikel berkonfluens pada kasus inflamasi berat)
http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles90.html
(Vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi “scar” jika
inflamasi berat) http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles95.html
13
2.4. Epidemiologi
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi
musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi
varisela, dan tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat
diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan varisela atau herpes.
Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan host-virus (Wolff K, et al, 2008).
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua (Wolff K, et al,
2008; Marks James G Jr, Miller Jeffrey, 2006; Habif P.Thomas, 2010).
Insiden terjadinya herpes zoster 1,5 sampai 3, 0 per 1.000 orang per tahun
dalam segala usia dan 7 sampai 11 per 1000 orang per tahun pada usia lebih
dari 60 tahun pada penelitian di Eropa dan Amerika Utara. Diperkirakan
bahwa ada lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster di Amerika setiap
tahun, lebih dari setengahnya terjadi pada orang dengan usia 60 tahun atau
lebih (Wolff K, et al, 2008). Ada peningkatan insidens dari zoster pada anak
– anak normal yang terkena chicken pox ketika berusia kurang dari 2 tahun
(Mandal BK, et al, 2008). Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular.
Pasien imunosupresif memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari
herpes zoster daripada individu imunokompeten pada usia yang sama.
Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes
zoster termasuk “human immunodeficiency virus” (HIV), transplantasi
sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada
kanker, dan penggunaan kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi
oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi dengan HIV,
dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun (Wolff K, et al,
2008). Zoster mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan
penyakit AIDS pada individual dengan resiko tinggi (Mandal BK, 2008).
Dengan demikian, infeksi HIV harus dipertimbangkan pada individu yang
terkena herpes zoster (Wolff K, et al, 2008).
Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster termasuk
jenis kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen
interleukin 10 polimorfisme, dan ras hitam, tapi konfirmasi diperlukan
14
(Habif, T.P., 2011). Paparan dari anak dan kontak dengan kasus varisela
telah dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes
zoster. Episode kedua dari herpes zoster jarang terjadi pada orang
imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang. Orang yang menderita
lebih dari satu episode mungkin immunocompromised. Pasien
imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster
yang mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV)
yang berulang (Habif, T.P., 2011).
Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien
dengan varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes
zoster tanpa komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk
waktu yang lebih lama pada individu immunocompromised. Pasien dengan
zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk menyebarkan infeksi
melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes zoster
dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol,
sehingga tindakan pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan
untuk pasien tersebut (Habif, T.P., 2011).
2.5. Gejala Klinis
Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot,
dan kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit. Inisial lesi
kutaneus sangat gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang dimulai
pada wajah dan menyebar ke bawah. Papula ini kemudian berkembang cepat
menjadi vesikel kecil yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal
sebagai “tetesan embun pada kelopak mawar” (“dew drop on rose petal”).
Setelah vesikel matang, pecah membentuk krusta. Lesi pada beberapa
tahapan evolusi merupakan karakteristik dari varisela (Schalock C.P, Hsu
T.S, Arndt, K.A, 2011).
Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan
karakteristik erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang
eritematosa (Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A, 2011).
15
Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan
intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir,
beberapa dermatom atau difus (Daili SF, B Indriatmi W, 2002). Nyeri
prodormal tidak lazim terjadi pada penderita imunokompeten kurang dari
usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita mayoritas diatas usia 60 tahun
(Wolff K, et al, 2008). Nyeri prodormal : lamanya kira - kira 2- 3 hari,
namun dapat lebih lama (Mandal BK et al, 2008).
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam, nyeri
kepala, dan limfadenopati, gatal, tingling (Daili SF, B Indriatmi W, 2002;
Habif P.Thomas, 2010). Lebih dari 80% pasien biasanya diawali dengan
prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3
minggu sebelum muncul lesi kulit (Daili SF, B Indriatmi W, 2002).
Nyeri preeruptif dari herpes zoster (preherpetic neuralgia) (Habif
P.Thomas, 2010) dapat menstimulasi migrain, nyeri pleura, infark
miokardial, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik renal dan bilier, apendisitis
(Wolff K et al, 2008; Marks James G Jr, Miller Jeffrey, 2006), prolaps
diskus intervertebral, atau glaucoma dini, dan mungkin mengacu pada
intervensi misdiagnosis yang serius (Wolff K et al, 2008).
Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema
di sekitarnya (Mandal BK et al, 2008) herpetiformis berkelompok dengan
distribusi segmental unilateral. Erupsi diawali dengan plak eritematosa
terlokalisir atau difus kemudian makulopapuler muncul secara dermatomal
(Daili SF, B Indriatmi W, 2002).
Lesi baru timbul selama 3-5 hari (Mandal BK et al, 2008). Bentuk
vesikel dalam waktu 12 sampai 24 jam dan berubah menjadi pustule pada
hari ketiga (Wolff K et al, 2008). Pecahnya vesikel serta pemisahan terjadi
dalam 2 – 4 minggu (Mandal BK et al, 2008). Krusta yang mengering pada
7 sampai 10 hari. Pada umumnya krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu.
Pada orang yang normal, lesi – lesi baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari
(biasanya sampai selama 7 hari). Rash lebih berat dan bertahan lama pada
orang yang lebih tua., dan lebih ringan dan berdurasi pendek pada anak –
anak (Wolff K et al, 2008).
16
Dermatom yang terlibat: biasanya tunggal dermatom dorsolumbal
merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal
oftalmika, kemudian servikal dan sakral. Ekstremitas merupakan lokasi yang
paling jarang terkena (Mandal BK et al, 2008).
Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan kornea. Pasien
seperti ini harus dievaluasi oleh optalmologi. Varian lain adalah herpes
zoster yang melibatkan telinga atau mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-
Hunt. Sindrom ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan
nervus fasialis, hilangnya rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai
tambahan lesi zosteriform di telinga. Secara klasik, erupsi terlokalisir ke
dermatom tunggal, namun keterlibatan dermatom yang berdekatan dapat
terjadi, seperti lesi meluas dalam kasus zoster-diseminata. Zoster bilateral
jarang terjadi, dan harus meningkatkan kecurigaan pada imunodefisiensi
seperti HIV / AIDS (Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A, 2011).
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-5 Hari ke-6
Perkembangan rash pada herpes zoster
2.6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis klinis dibuat dalam kebanyakan kasus. Konfirmasi
laboratorium biasanya tidak perlu (Marks James G Jr, Miller Jeffrey, 2006;
Habif P.Thomas, 2010). Metode laboratorium untuk identifikasi adalah sama
seperti orang-orang untuk herpes simpleks. Tzanck smear, biopsi kulit, titer
antibodi, cairan vesikuler antibodi immunofluorescent (direct fluorescent
antibody), mikroskop elektron, dan kultur dari cairan vesikel dari beberapa
studi patut dipertimbangkan (Habif P.Thomas, 2010).
Tes awal pilihan adalah apusan sitologi (Tzanck smear) (Habif
P.Thomas, 2010). Tes tersebut tidak membedakan herpes simpleks dan
varicella (Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A, 2011; Habif P.Thomas,
2010).
17
Dasar dari lesi pertama kali dikerok dan diwarnai dengan hematoxylin-
eosin, Giemsa, Wright’s, toluidine biru, atau tinta papanicolaou. Sel raksasa
multinuklear dan sel epitel yang mengandung inklusi intranuklear asidofilik
dapat terlihat (Habif P.Thomas, 2010).
Gambaran histopatologi: Tampak vesikula bersifat unilokular,
biasanya pada stratum granulosum, kadang- kadang subepidermal. Yang
penting adalah temuan ‘sel balon’ yaitu sel stratum spinosum yang
mengalami degenerasi dan membesar, juga badan inklusi (‘lipschutz’) yang
tersebar dalam inti sel epidermis, dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh
darah. Dermis: Dilatasi pembuluh darah dan sebukan limfosit. Jika
menyerang wajah, daerah yang dipersarafi N.V cabang atas disebut herpes
zoster frontalis. Jika menyerang cabang oftalmikus N.V disebut herpes
zoster oftalmik. Jika menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster
torakalis. Jika menyerang daerah lumbal disebut herpes zoster abdominalis/
lumbalis (Siregar, 2005).
Direct fluorescent antibody : dilakukan untuk HSV-1. DFA adalah tes
cepat (rapid test) untuk membedakan VHS-1, VHS-2, dan VVZ (Schalock
C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A, 2011).
Kultur virus : tes yang sangat spesifik, tetapi tidak sensitif. VVZ sulit
untuk dikultur dan tumbuh dengan lambat, minimal 1 minggu (Schalock
C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A, 2011).
Herpes zoster terlihat kira- kira 7 kali lebih sering pada pasien HIV.
Tes HIV dilakukan jika ada indikasi yang jelas (Habif P.Thomas, 2010).
2.7. Diagnosis
a. Diagnosis untuk herpes zoster dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa herpes zoster
berdasarkan klinis. Ditambahkan dengan berbagai prosedur diagnostik.
Pasien dengan herpes zoster biasanya sebelum timbul gejala kulit
terdapat gejala prodormal baik sistemik (demam, pusing, malaise)
maupun gejala prodormal local (nyeri otot- tulang, gatal, pegal, dan
sebagainya) (Djuanda, 2007). Pemeriksaan fisik menunjukkan kelainan
18
kulit mula- mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula
dan vesikula yang dengan cepat membesar dan menyatu sehingga
terbentuk bula. Isi vesikel mula- mula jernih, setelah beberapa hari
menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbs terjadi,
vesikula dan bula akan menjadi krusta. Lesi biasanya berupa kelompok-
kelompok vesikel sampai bula di atas daera yang eritematosa. Lesi yang
khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak saraf
yang terinfeksi virus (Siregar, 2005).
b. Gambaran histopatologi: Tampak vesikula bersifat unilokular, biasanya
pada stratum granulosum, kadang- kadang subepidermal. Yang penting
adalah temuan ‘sel balon’ yaitu sel stratum spinosum yang mengalami
degenerasi dan membesar, juga badan inklusi (‘lipschutz’) yang tersebar
dalam inti sel epidermis, dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh
darah. Dermis: Dilatasi pembuluh darah dan sebukan limfosit. Jika
menyerang wajah, daerah yang dipersarafi N.V cabang atas disebut
herpes zoster frontalis. Jika menyerang cabang oftalmikus N.V disebut
herpes zoster oftalmik. Jika menyerang saraf interkostal disebut herpes
zoster torakalis. Jika menyerang daerah lumbal disebut herpes zoster
abdominalis/ lumbalis (Siregar, 2005). Apusan sitologik dari vesikel
berupa sel raksasa multinuklear dan degenerasi balon dan / degenerasi
retikular. Sel raksasa terdiri dari 8 -10 nukleus, dengan bentuk dan
ukuran yang bervariasi. Biopsi kulit berupa lesi intraepidermal pada
pertengahan sampai epidermis bagian atas, degenerasi balon dan /
degenerasi reticular dari sel, sel akantolisis, sel virus raksasa
multinuklear, intranuklear inklusi mungkin diidentifikasikan sebagai sel
raksasa (Sehgal, V.N., 2006).
c. Virus dapat dikultur dari cairan vesikel (Sehgal, V.N., 2006).
d. Direct immunofluorescence menggunakan antibodi monoklonal (Sehgal,
V.N., 2006).
e. Identifikasi virus dengan mikroskop elektron (Sehgal, V.N., 2006).
2.8. Diagnosis Banding
19
a. Herpes simpleks zosteriform (Wolff K et al, 2008; Mayeaux EJ,
2009) : karena herpes zoster dapat muncul di daerah genital.
b. Selulitis (Daili SF, B Indriatmi W, 2002).
c. Erisipelas (Daili SF, B Indriatmi W, 2002).
d. Eritema gangrenosum (Daili SF, B Indriatmi W, 2002) : bentuk atipikal.
e. Infeksi jamur diseminata (Daili SF, B Indriatmi W, 2002).
f. Infeksi mikobakterium diseminata (Daili SF, B Indriatmi W,
2002).
g. Dermatitis kontak (Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A, 2011).
h. Drug eruptions (Wolff K et al, 2008).
i. Pemphigus dan bulosa lainnya yang melepuh tapi tidak ada
distribusi dermatomal klasik (Mayeaux EJ, 2009).
j. Molluscum contagiosum dengan papul putih atau kuning dengan
umbilikasi sentral yang disebabkan oleh pox virus. Lesinya lebih lunak
dan tidak ada dasar eritem seperti zoster (Mayeaux EJ, 2009).
k. Scabies dapat muncul dengan rash pustul yang tidak tebatas pada
dermatom dan mengikuti jaringan laba – laba (Wolff K et al, 2008;
Mayeaux EJ, 2009)
l. Gigitan serangga (Insect bite) (Wolff K et al, 2008; Mayeaux EJ,
2009)
m. Folikulitis (Mayeaux EJ, 2009)
2.9. Komplikasi
a. Sepsis kulit sekunder, biasanya akibat Streptococcus pyogenes atau
Staphylococcus aureus (Mandal BK et al, 2008).
b. Okular: pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi komplikasi
diantaranya ptosis paralitik, skleritis, korioretinitis, neuritis optik,
konjungtivitis, keratitis, uveitis, nekrosis retina, parut kelopak mata.
Herpes zoster oftalmikus (HZO) dapat muncul di kemudian hari dan
menyebabkan komplikasi okular dan nyeri neuralgik (Mandal BK et al,
2008).
20
c. Diseminasi kutan pada pasien immunocompromised (Mandal BK et
al, 2008).
d. Pasien transplantasi dan limfoma memiliki resiko tertinggi (hingga 40%)
(Mandal BK et al, 2008).
e. Diseminasi visceral terjadi pada 5-10% pasien (Mandal BK et al,
2008).
f. Zoster paralitik :
g. Akibat keterlibatan saraf motorik seperti sindrom Ramsay Hunt (erupsi
nyeri pada dan sekitar telinga, palsi saraf ipsilateral VII dengan atau
tanpa gangguan vestibular), oftalmoplegia eksternal, gangguan kandung
kemih, dan kelemahan otot ekstremitas (Mandal BK et al, 2008).
h. Komplikasi SSP :
i. Pleiositosis limfositik CSS asimtomatik dengan protein meningkat
ringan serta kadar glukosa normal sering terjadi. Meningoensefalitis,
mielitis, dan hemiplegia kontralateral akibat angitis granulomatosa
jarang terjadi (Mandal BK et al, 2008).
j. Neuralgia pascaherpes :
k. Komplikasi paling sering, keadaan yang dirasakan paling menganggu
pada herpes zoster dirasakan sebagai nyeri dermatomal yang menetap
setelah penyembuhan walau lesi sudah hilang. Insidensi keseluruhan
adalah 9-15%, 10 – 15 % >40 tahun (Handoko RP, 2010), mencapai 50%
pada usia > 60 tahun. nyeri biasanya menghilang dalam 3 -6 bulan
namun pada beberapa pasien nyeri hebat ini bisa menetap selama 6
bulan. Neuralgia ini bervariasi dalam hal keparahan, tipe, dan
kualitasnya (Mandal BK et al, 2008).
l. Zoster sakralis :
Keterlibatan segmen – segmen sakral bisa menyebabkan retensi urin
akut di mana hal ini bisa dihubungkan dengan adanya ruam kulit
(Brown, R.G., 2005).
m. Zoster trigeminalis :
Herpes zoster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi
paling sering terkena adalah bagian oftalmika (Brown, R.G, 2005; Ali
21
Asra, 2007). Gangguan mata seperti konjungtivitis, keratitis, dan/atau
iridosiklitis bisa terjadi bila cabang nasosiliaris dari bagian oftalmika
terkena (ditunjukkan oleh adanya vesikel –vesikel di sisi hidung), dan
pasien dengan zoster oftalmika hendaknya diperiksa oleh oftalmolog
(Brown, R.G, 2005).
n. Herpes keratokonjungtivitis : termasuk HZO, dalam waktu 3 minggu
selama rash, terdapat ulkus kornea, keratitis punctata (Ali Asra, 2007).
o. Infeksi pada bagian maksila dari saraf trigeminus menimbulkan vesikel
– vesikel unilateral pada pipi dan pada palatum (Brown, R.G, 2005).
p. Zoster motoris :
Kadang-kadang selain lesi kulit pada dermatom sensoris, serabut saraf
motoris bisa juga terserang, yang menyebabkan terjadinya kelemahan
otot (Brown, R.G, 2005).
q. Infeksi juga dapat menjalar ke alat dalam, misalnya paru, hepar dan otak
(Handoko RP, 2010).
r. Banyak reaksi kutaneus yang berkembang selama masa
penyembuhan lesi Herpes zoster. Granuloma annulare (GA) dilaporkan
pada beberapa kasus bekas luka (“scars”) Herpes zoster (Chang Sung
Eun, 2004).
s. Telah dilaporkan bahwa pruritus paska herpes (PPH) dapat muncul
di bagian yang telah sembuh dari herpes zoster dengan sakit atau tanpa
rasa sakit, dan dihubungkan dengan kehilangan saraf sensorik (The
International Society of Dermatology, 2004).
2.10. Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan adalah menekan inflamasi, nyeri dan infeksi.
Pengobatan zoster akut mempercepat penyembuhan, mengkontrol sakit, dan
mengurangi resiko komplikasi (Habif P.Thomas, 2010).
a. Obat Sistemik
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,
misalnya valasiklovir. Obat yang lebih baru ialah famsiklovir dan
pensiklovir yang mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih lama
22
sehingga cukup diberikan 3x250 mg sehari. Obat – obat tersebut
diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul (Handoko RP, 2010).
Untuk zoster yang menyebar luas yang timbul pada orang – orang yang
mengalami imunosupresi, asiklovir intravena mungkin dapat
menyelamatkan jiwa (Sehgal, V.N., 2006).
Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan
biasanya diberikan 7 hari (Handoko RP, 2010), paling lambat dimulai 72
jam setelah lesi muncul berupa rejimen yang dianjurkan (Habif
P.Thomas, 2010).
http://www.herpestreatmentcure.org/herpes-treatment-acyclovir/
Indikasi pemberian asiklovir pada herpes zoster :
1. Pasien berumur ≥ 60 tahun dengan lesi muncul dalam 72 jam.
2. Pasien berumur ≤ 60 tahun dengan lesi luas, akut dan dalam 72 jam.
3. Pasien dengan lesi oftalmikus, segala umur, lesi aktif menyerang
leher, alat gerak, dan perineum (lumbal – sakral) (Schalock C.P, Hsu
T.S, Arndt, K.A, 2011).
Valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam
plasma lebih tinggi. Jika lesi baru masih tetap timbul obat – obat tersebut
masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru
tidak timbul lagi (Handoko RP, 2010). Valasiklovir terbukti lebih efektif
dibandingkan asiklovir sedangkan famsiklovir sama dengan asiklovir
(Daili SF, B Indriatmi W, 2002).
Pengobatan lain yang juga dipakai antara lain kortikosteroid jangka
pendek dan diberikan pada masa akut, pemberian steroid ini harus
dengan pertimbangan ketat (Daili SF, B Indriatmi W, 2002). Indikasi
23
pemberian kortikosteroid ialah sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus
sedini - dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Diberikan
prednison dengan dosis 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis
diturunkan bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan
tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat anti viral. Dikatakan
kegunaanya mencegah fibrosis ganglion (Handoko RP, 2010).
Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif
untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder.
Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalo terjadi ulserasi dapat
diberikan salep antibiotik (Handoko RP, 2010)
Anestesi lokal misalnya krim lidokain 5% memberikan perbaikan
dibandingkan kontrol. Antiinflamasi non steroid juga dikatakan
menolong, namun hasilnya tidak dapat disimpulkan (Daili SF, B
Indriatmi W, 2002).
Untuk neuralgia pasca herpes, pemberian awal terapi anti virus
telah diberikan untuk mengurangi insidens (Schalock C.P, Hsu T.S,
Arndt, K.A., 2011). Menurut FDA, obat pertama yang dapat diterima
untuk nyeri neuropatik pada neuropati perifer diabetik dan neuralgia
paska herpetik ialah pregabalin. Obat tersebut lebih baik daripada obat
gaba yang analog yaitu gabapentin, karena efek sampingnya lebih
sedikit, lebih poten (2 – 4 kali), kerjanya lebih cepat, serta pengaturan
dosisnya lebih sederhana. Dosis awal 2 x 75 mg sehari, setelah 3 – 7 hari
bila responnya kurang dapat dinaikkan menjadi 2 x 150 mg sehari. Dosis
maksimum 600 g sehari. Efek sampingnya berupa dizziness, dan
somnolen yang akan menghilang sendiri, jadi obat tidak perlu dihentikan
(Handoko RP, 2010).
Pada kasus berat dapat diberikan Gabapentin oral (300 – 600 mg
per oral TID selama 7 hari). Tidak lebih dari 150 mg/d (Schalock C.P,
Hsu T.S, Arndt, K.A., 2011). Penderita AIDS dengan CD4+ <100
sel/mm dan transplantasi resipien, khususnya sumsung tulang mungkin
mengalami infeksi VVZ dengan resistan acyclovir. Perlu diawali
pengobatan dengan foscarnet 40 mg/kg IV setiap 8 jam selama 7 – 10
24
hari pada pasien dengan suspek infeksi VVZ dengan resisten acyclovir.
Pengobatan foscarnet diperlukan setidaknya sampai 10 hari atau sampai
lesi sembuh (Habif P.Thomas, 2010).
Anti depresi antisiklik (misalnya nortriptilin dan aminotriptilin)
(Handoko RP, 2010): amitriptilin 30 – 100 mg per oral QHS (Schalock
C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A., 2011). Pengobatan dengan amiptriptilin dan
obat sejenisnya, blok saraf, dan / opioid nantinya setelah perkembangan
nyeri akut dapat mencegah sensitisasi SSP yang menyebabkan nyeri
persisten (Habif P.Thomas, 2010). Efek sampingnya ialah gangguan
jantung, sedasi, dan hipotensi. Dosis nortriptilin 50 – 150 mg/hari
(Mayeaux EJ, 2009).
b. Terapi topikal
Terapi topical seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim capsaicin
dapat digunakan untuk neuralgia paska herpes. Solutio Burrow dapat
digunakan untuk kompres basah. Kompres diletakkan selama 20 menit
beberapa kali sehari, untuk maserasi dari vesikel, membersihkan serum
dan krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri. Solutio Povidone- iodine
sangat membantu membersihkan krusta dan serum yang muncul pada
erupsi berat dari orang tua. Acyclovir topikal ointment diberikan 4 kali
sehari selama 10 hari untuk pasien imunokompromised yang
memerlukan waktu penyembuhan jangka pendek (Habif P.Thomas,
2010).
2.11. Pencegahan
Vaksin Zostavax℗: strain hidup yang dilemahkan dari VVZ.
Berhubungan dengan Varivax℗, tetapi diperkirakan 14 kali lebih
terkonsentrasi. Telah disetujui oleh FDA untuk pasien > 60 tahun tanpa
riwayat penyakit herpes zoster sebelumnya. Zostavax telah diketahui untuk
mengurangi penyakit herpes zoster dan neuralgia paska herpes (Schalock
C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A., 2011).
2.12. Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung
pada tindakan perawatan secara dini (Handoko RP, 2010).
25
III. PEMBAHASAN
Pasien Ny. M datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSMS pada tanggal
10 Desember 2014 dengan keluhan utama timbul lenting – lenting di dagu kiri dan
dan leher kiri yang disertai rasa gatal dan nyeri. Pasien kemudian didiagnosis
sebagai herpes zoster berdasarkan anamnesis, dan juga pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis, di dapatkan keluhan terdapat lenting – lenting kemerahan yang
semakin banyak, dengan disertai rasa gatal dan nyeri. Gatal dan nyeri terutama
timbul terus- menerus. Hal ini sesuai dengan gambaran herpes zoster yang
dikarakteristikkan oleh vesikel- vesikel berkelompok di atas dasar yang eritema
(Siregar, 2005).
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan pasien mengaku sejak lebih
dari seminggu yang lalu mengikuti kegiatan di pondok pesantren dan menginap.
Setelah pulang dari pondok pesantren, pasien mengeluhkan tidak enak badan,
demam, nyeri kepala dan badan terasa pegal- pegal. Data ini juga menguatkan
dugaan herpes zoster oleh karena pasien ini mengalami kelelahan yang
menyebabkan daya tahan tubuhnya menurun. Selain itu, pada pasien juga
menunjukkan gejala- gejala prodomal baik sistemik maupun lokal. Faktor - faktor
predisposisi untuk terjadinya herpes zoster, yaitu penurunan status imunitas tubuh
yang dapat disebabkan karena stress fisik maupun psikologis. Adanya keluhan
gatal, terasa nyeri dan lokasi lesi yang hanya terdapat pada dagu kiri dan leher kiri
mengurangi kemungkinan diagnosis varisela zoster. Pasien juga mengaku pernah
mengalami penyakit cacar air/ varisela zoster pada waktu kecil (Handoko RP,
2007).
Lesi terletak di dagu kiri wajah dan leher kiri. Lesi merupakan gambaran
vesikel- vesikel berkelompok di atas dasar yang eritema, ukuran lentikular, dan
bersifat unilateral (Siregar, 2005).
Gambaran lesi pada pasien ini hanya terletak pada dagu kiri dan leher kiri
menurunkan kemungkinan diagnosis herpes simplek yang biasanya terletak pada
daerah mukokutan dan varisela yang biasanya terletak di sentral tubuh dan dapat
menyebar ke bagian tubuh yang lain secara sentrifugal. Sedangkan impetigo
26
vesikulo bulosa lokasi predileksi pada ketiak, dada, punggung, dan ekstrimitas
atas dan bawah (Siregar, 2005).
Herpes simpleks biasanya lesinya berupa vesikel- vesikel miliar
berkelompok, jika pecah membentuk ulkus yang dangkal dengan kemerahan pada
daerah di sekitarnya. Pada varisela lesinya dimulai timbulnya erupsi kulit berupa
papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel.
Bentuk vesikel khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah
menjadi pustule dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung,
timbul lagi vesikel- vesikel yang baru sehingga menimbulkan gambaran
polimorfi. Sedangkan pada impetigo bulosa lesinya berupa eritema, bula, dan bula
hipopion. Tampak bula dengan dinding tebal dan tipis, miliar hingga lentikular,
kulit sekitarnya tak menunjukkan peradangan, kadang- kadang tampak hipopion.
Jika vesikel/ bula telah memecah yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih
eritematosa (Handoko RP, 2007; Siregar 2005).
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis herpes zoster
ditegakkan dari pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan dengan histopatologi.
Pemeriksaan histopatologi akan menunjukkan gambaran tampak vesikula bersifat
unilokular, biasanya pada stratum granulosum, kadang- kadang subepidermal.
Yang penting adalah temuan ‘sel balon’ yaitu sel stratum spinosum yang
mengalami degenerasi dan membesar, juga badan inklusi (‘lipschutz’) yang
tersebar dalam inti sel epidermis, dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah.
Dermis: Dilatasi pembuluh darah dan sebukan limfosit. Jika menyerang wajah,
daerah yang dipersarafi N.V cabang atas disebut herpes zoster frontalis. Jika
menyerang cabang oftalmikus N.V disebut herpes zoster oftalmik. Jika
menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster torakalis. Jika menyerang
daerah lumbal disebut herpes zoster abdominalis/ lumbalis (Siregar, 2005).
Sebagian besar kasus herpes zoster terjadi pada individu yang menderita
defisiensi imunologis atau penurunan daya tahan tubuh dan mempunyai riwayat
pernah mengalami infeksi virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa.
Herpes zoster merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.
Virus varisela zoster berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepid an
ganglion kranialis. Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat
27
dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang- kadang virus ini juga
menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan
gejala- gejala gangguan motorik (Handoko RP, 2007).
Masa tunas penyakit herpes zoster adalah 7- 12 hari. Masa aktif penyakit
ini berupa lesi- lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira- kira seminggu,
sedangkan masa resolusi berlangsung kira- kira 1- 2 minggu. Di samping gejala
kulit dapat pula dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi
penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat
persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada
susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis
memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena member gejala
yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada
nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri atau nervus fasialis dan otikus (dari
ganglion genikulatum) (Handoko RP, 2007).
Pasien ini mendapatkan terapi Asiklovir 5 x 800 mg sehari selama 7 hari,
Gabapentin 1x 300 mg selama 5 hari, B1, B6, B12 1 x 1 selama 10 hari, Curcuma
3 x 1 selama 30 hari, serta obat topikal fuson Tube No I 3 x 1/ hari dan bedak
Salisil 2%.
Pasien juga diberikan edukasi untuk menghindari faktor-faktor
predisposisi timbulnya herpes zoster, dengan menghindari kelelahan berlebihan.
Pasien harus diberikan terapi suportif dengan menghindari gesekan kulit yang
mengakibatkan pecahnya vesikel, pemberian nutrisi TKTP, dan istirahat, dan
mencegah kontak dengan orang lain. Aspyrin dihindari karena dapat
menyebabkan Reye’s syndrome. Pasien harus diberi informasi tentang perjalanan
penyakit herpes zoster, edukasi bahwa lesi biasanya membaik dalam 2-3 minggu
pada individu imunokompeten, dan edukasi mengenai seringnya komplikasi
neuralgia pasca herpetik.
Pasien diberi informasi bahwa herpes zoster disebabkan oleh virus varisela
zoster yang menetap di ganglion posterior susunan saraf tepid an ganglion
kranialis, sehingga sewaktu- waktu virus dapat berkembang menyebabkan
penyakit herpes zoster pada saat status imunologi individu menurun. Herpes
zoster dapat menular. Prognosis herpes zoster secara umum baik, pada herpes
28
zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan perawatan secara dini.
Kondisi ini dapat meninggalkan bercak pada kulit setelah infeksi herpes zoster.
Perubahan warna kulit membaik dalam waktu beberapa bulan. Rekurensi virus
dapat terjadi dan terapi profilaksis atau vaksin dapat membantu menurunkan
tingkat rekurensi yang tinggi. Herpes zoster dapat diterapi dengan efektif dengan
obat antivirus pada 72 jam pertama setelah lesi muncul.
29
KESIMPULAN
Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster yang
memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles, dampa,
cacar ular adalah nama lain dari herpes zoster. Virus ini tidak hilang tuntas dari
tubuh setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel
ganglion dorsalis sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat tertentu
mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai herpes zoster.
Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.
Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan
intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir,
beberapa dermatom atau difus. Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita
imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita
mayoritas diatas usia 60 tahun. Nyeri prodormal : lamanya kira - kira 2 - 3 hari,
namun dapat lebih lama.
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Lesi kulit yang
paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di sekitarnya herpetiformis
berkelompok dengan distribusi segmental unilateral. Dermatom yang terlibat:
biasanya tunggal dermatom dorsolumbal merupakan lokasi yang paling sering
terlibat, diikuti oleh trigeminal oftalmika, kemudian servikal dan sakral.
Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena.
Pemeriksaan laboratorium antara lain: tzanck smear, direct fluorescent
antibody dilakukan untuk HSV-1, kultur virus: tes yang sangat spesifik, tetapi
tidak sensitif. Diagnosa banding dari herpes zoster antara lain herpes simpleks
karena herpes zoster dapat muncul di daerah genital, selulitis, erisipelas, eritema
gangrenosum terutama bentuk atipikal, infeksi jamur diseminata, infeksi
mikobakterium diseminata.
Komplikasi yang paling sering adalah neuralgia paska herpetik. Neuralgia
pascaherpes merupakan keadaan yang dirasakan paling menganggu pada herpes
zoster dirasakan sebagai nyeri dermatomal yang menetap setelah penyembuhan
walau lesi sudah hilang.
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir. Obat yang lebih baru ialah famsiklovir dan pensiklovir yang
mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih lama sehingga cukup diberikan
3x250 mg sehari.
Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya
diberikan 7 hari, paling lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul berupa rejimen
yang dianjurkan. Valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam
plasma lebih tinggi. Valasiklovir terbukti lebih efektif dibandingkan asiklovir
sedangkan famsiklovir sama dengan asiklovir. Pengobatan lain yang juga dipakai
antara lain kortikosteroid jangka pendek dan diberikan pada masa akut. Indikasi
pemberian kortikosteroid ialah sindrom Ramsay Hunt. Diberikan prednison dosis
3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan bertahap. Jika masih stadium
vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel
agar tidak terjadi infeksi sekunder.
Menurut FDA, obat pertama yang dapat diterima untuk nyeri neuropatik
pada neuropati perifer diabetik dan neuralgia paska herpetic ialah pregabalin. Obat
tersebut lebih baik daripada obat gaba yang analog yaitu gabapentin, karena efek
sampingnya lebih sedikit, lebih poten (2 – 4 kali), kerjanya lebih cepat, serta
pengaturan dosisnya lebih sederhana.Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain
patches, dan krim capsaicin dapat digunakan untuk neuralgia paska herpes.
Vaksin Zostavax℗ merupakan strain hidup yang dilemahkan dari VVZ.
Telah disetujui oleh FDA untuk pasien > 60 tahun tanpa riwayat penyakit herpes
zoster sebelumnya. Zostavax telah diketahui untuk mengurangi penyakit herpes
zoster dan neuralgia paska herpetik.
Prognosis umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis
bergantung pada tindakan perawatan secara dini.
31
DAFTAR PUSTAKA
Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In : Dermatology a Pictorial Review. New
York : Mc Graw Hill Companies. 2007.p. 22 -23.
Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8th ed. Jakarta :
Erlangga Medical Series. 2005 : 29 – 31.
Brown, R.G.Dermatology Fundamentals of Practice. Philadelphia : Mosby
Elseiver. 2008.p. 212-214.
Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim Young
Jin. Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In :
International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 298 –
299.
Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2002.
Djuanda A. Pioderma. 2007. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, h 57-63.
Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd ed.
Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239.
Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In : Clinical
Dermatology. 5 thed. United States of America : Elseiver Saunders. 2010.p.
479 – 490.
Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta : Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 : 110-112.
Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta : Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007 : 110-112.
James, W.D. Viral Diseases. In : Andrew’s Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 11th ed. USA : Elseiver Saunder. 2011 .p. 372 – 376.
Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and Marks’
Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2006
.p.145-148.
32
Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga
Medical Series. 2008 : 115 – 119.
Mayeaux EJ. Viral Infection. In : The Color Atlas of Family Medicine. United
State of America : Mc Graw-Hill Companies, 2009 : 493 – 502.
Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In : Lippincott’s
Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer Health.
2011 .p. 148 -151.
Sehgal, V.N. Herpes Zoster. In : Textbook of Clinical Dermatology. 4th ed. New
Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers. 2006.p. 83 – 84.
Siregar, R.S, 2005. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 45-49.
The International Society of Dermatology. Herpes zoster and pruritus. In :
International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 779 -
780.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Varicella
and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.
33