Air Abu Noni

48
1. PENDAHULUAN 1.1. Deskripsi Acara Praktikum penentuan kadar air dan abu dilaksanakan pada hari Senin, 28 November 2011 pada pukul 14.00 WIB. Dalam penentuan kadar air metode yang dilakukan adalah Thermo- gravimetri sedangkan pada penentuan kadar abu dilakukan pengabuan cara kering. Metode Thermo-gravimetri yang dilakukan berdasar pada prinsip menguapkan air yang ada dalam bahan dengan pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Alat yang digunakan dalam pengukuran kadar air ialah desikator, cawan porselin, oven, kertas saring, timbangan analitik, penjepit. Bahan yang digunakan adalah keripik singkong Kusuka untuk kelompok 1,2,3, dan keripik Qtela untuk kelompok 4,5,6. Pengukuran kadar air dengan metode Thermogravimetri yang dilakukan yaitu mula-mula sampel dihaluskan dan ditimbang lalu sampel dikeringkan dalam oven. Kemudian sampel dan cawan dimasukkan dalam desikator selama 15 menit. Lalu ditimbang hingga diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar air meliputi wet basis, dry basis, dan total padatan. Sedangkan alat yang digunakan pada penentuan kadar abu adalah cawan porselen, oven, desikator, timbangan analitik, tanur, penjepit. Langkah langkah dalam mengukur kadar abu adalah cawan ditimbang lalu sampel dihaluskan kemudian sampel dan cawan yang sudah ditimbang dimasukkan dalam tanur. Dilakukan pengabuan hingga 1

description

laporan air dan abu

Transcript of Air Abu Noni

Page 1: Air Abu Noni

1. PENDAHULUAN

1.1. Deskripsi Acara

Praktikum penentuan kadar air dan abu dilaksanakan pada hari Senin, 28 November

2011 pada pukul 14.00 WIB. Dalam penentuan kadar air metode yang dilakukan adalah

Thermo-gravimetri sedangkan pada penentuan kadar abu dilakukan pengabuan cara

kering. Metode Thermo-gravimetri yang dilakukan berdasar pada prinsip menguapkan

air yang ada dalam bahan dengan pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat

konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Alat yang digunakan dalam pengukuran

kadar air ialah desikator, cawan porselin, oven, kertas saring, timbangan analitik,

penjepit. Bahan yang digunakan adalah keripik singkong Kusuka untuk kelompok 1,2,3,

dan keripik Qtela untuk kelompok 4,5,6. Pengukuran kadar air dengan metode

Thermogravimetri yang dilakukan yaitu mula-mula sampel dihaluskan dan ditimbang

lalu sampel dikeringkan dalam oven. Kemudian sampel dan cawan dimasukkan dalam

desikator selama 15 menit. Lalu ditimbang hingga diperoleh berat konstan. Perhitungan

kadar air meliputi wet basis, dry basis, dan total padatan. Sedangkan alat yang

digunakan pada penentuan kadar abu adalah cawan porselen, oven, desikator,

timbangan analitik, tanur, penjepit. Langkah langkah dalam mengukur kadar abu adalah

cawan ditimbang lalu sampel dihaluskan kemudian sampel dan cawan yang sudah

ditimbang dimasukkan dalam tanur. Dilakukan pengabuan hingga diperoleh abu yang

beratnya tetap serta telah terjadi pembakaran yang sempurna. Cawan dan sampel

dibiarkan dingin dalam oven lalu disimpan 15 menit dalam desikator dan ditimbang

sehingga diperoleh berat abu. Pengabuan cara kering pada pengukuran kadar abu yang

dilakukan dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi yaitu sekitar

500 - 600°C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses

pembakaran.

1.2. Tujuan Praktikum

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip analisa kadar air,

menentukan kadar air pada beberapa jenis sampel makanan dengan cara

thermogravimetri, membandingkan kandungan air antar merk serta kandungan air dalam

bahan pangan dengan SNI dan label pada kemasan, mengetahui prinsip analisa kadar

1

Page 2: Air Abu Noni

2

abu, menentukan kadar abu dari beberapa sampel makanan, serta untuk membandingkan

kadar abu dari hasil analisa dengan standar nasional yang ada.

Page 3: Air Abu Noni

2. MATERI METODE

2.1. Materi

2.1.1. Alat

2.1.1.1. Pengukuran Kadar Air

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah desikator, cawan porselen, oven

dengan pengatur suhu, kertas saring, timbangan analitik, penjepit cawan, moisture

balance.

2.1.1.2. Pengukuran Kadar Abu

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cawan porselen, oven, desikator,

timbangan analitik, tanur, penjepit.

2.1.2. Bahan

2.1.2.1. Pengukuran Kadar Air

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah keripik singkong Kusuka

Original untuk kelompok 1,2,3, dan keripik Qtela untuk kelompok 4,5,6.

2.1.2.2. Pengukuran Kadar Abu

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah keripik singkong Kusuka

Original untuk kelompok 1,2,3, dan keripik Qtela untuk kelompok 4,5,6.

2.2. Metode

2.2.1. Pengukuran Kadar Air

Mula-mula cawan dikeringkan selama ±18jam dalam oven bersuhu 100-105°C. Cawan

yang sudah dikeringkan ditimbang menggunakan timbangan analitik dan beratnya

dicatat. Sampel dihaluskan dan ditimbang sebanyak 6 gram setelah itu diletakkan pada

cawan porselen, ditimbang dan dicatat berat cawan berisi sampel. Sampel beserta cawan

dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105°C selama 1 malam. Kemudian sampel dan

cawan dimasukkan dalam desikator selama 15 menit. Lalu ditimbang hingga diperoleh

berat konstan. Kemudian kadar air pada sampel juga diukur dengan alat moisture

3

Page 4: Air Abu Noni

4

balance. Perhitungan kadar air meliputi wet basis, dry basis, dan total padatan yang

dihitung menggunakan rumus :

2.2.2. Pengukuran Kadar Mineral Total

Mula-mula cawan porselen yang akan digunakan dipanaskan di dalam tanur yang

bersuhu 550°C. Setelah itu cawan dimasukkan dalam oven selama 1 jam dilanjutkan

dengan desikator selama 15 menit. Setelah proses pengeringan selesai, cawan ditimbang

dan diperoleh berat cawan kosong. Sampel dihaluskan lalu ditimbang sebanyak 5 gram,

berat cawan + sampel ditimbang. Sampel dan cawan yang sudah ditimbang dimasukkan

dalam tanur bersuhu 550°C dan dilakukan pemanasan secara bertahap selama 3-5 jam.

Dilakukan pengabuan hingga diperoleh abu yang beratnya tetap serta telah terjadi

pembakaran yang sempurna. Abu yang sempurna adalah abu yang berwarna putih

keabu-abuan. Cawan dan sampel dibiarkan dingin terlebih dahulu kemudian

dimasukkan dalam oven 100°C selama 1 jam. Disimpan 15 menit dalam desikator dan

ditimbang sehingga diperoleh berat abu. Jika dalam abu yang dihasilkan masih terdapat

noda hitam di tengah, hal itu menandakan pengabuan belum sempurna sehingga perlu

dilakukan pengovenan lagi. Kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus :

Page 5: Air Abu Noni

3. HASIL PENGAMATAN

3.1. Penentuan Kadar Air

Hasil penamatan dari penentuan kadar air dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Penentuan Kadar Air

Kel Sampel BeratCawan

Kosong(g)

Berat cawan+sampel

setelah dikeringkan

(g)

W1

(g)W2

(g)W3

(g)Wet Basis (%)

Dry Basis (%)

TotalPadatan

(%)

Moisture Balance

(%)

D1 Kusuka 21,16 27,135 6 5,975 0,025 0,417 0,418 99,583 2,16D2 Kusuka 20,16 26,145 6 5,985 0,015 0,250 0,251 99,750 2,37D3 Kusuka 21,91 27,867 6 5,957 0,043 0,717 0,722 99,283 2,55D4 Qtela 18,22 24,131 6 5,911 0,089 1,483 1,506 98,517 2,80D5 Qtela 24,49 30,398 6 5,908 0,092 1,533 1,557 98,467 2,92D6 Qtela 22,38 28,269 6 5,889 0,111 1,850 1,885 98,150 3,54

Keterangan: W1 = berat sampelW2 = berat sampel setelah dikeringkan ((berat cawan+sampel setelah dikeringkan) – berat

cawan))W3 = berat air dalam sampel (W1-W2)

Dari tabel 1 dapat diketahui kadar air wet basis, dry basis, total padatan dan moisture

balance dari sampel Kusuka dan Qtela. Kelompok 1 yang menggunakan sampel

Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,16 gram dengan sampel

sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 27,135 gram,

yang berarti berat sampel menjadi 5,975 gram sehingga diperoleh berat air dalam

sampel 0,025 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar

0,417%, dry basis 0,418% dan total padatan 99,583%, sedangkan nilai moisture balance

yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,16%. Kelompok 2 yang

menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,16 gram

dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi

26,145 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,985 gram sehingga diperoleh berat air

dalam sampel 0,015 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis

sebesar 0,250%, dry basis 0,251% dan total padatan 99,750%, sedangkan nilai moisture

balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,37%. Kelompok 3 yang

menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,91 gram

dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi

5

Page 6: Air Abu Noni

6

27,867 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,957 gram sehingga diperoleh berat air

dalam sampel 0,043 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis

sebesar 0,717%, dry basis 0,722% dan total padatan 99,283%, sedangkan nilai moisture

balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,55%. Kelompok 4 yang

menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 18,22 gram

dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi

24,131 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,911 gram sehingga diperoleh berat air

dalam sampel 0,089 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis

sebesar 1,483%, dry basis 1,506% dan total padatan 99,517%, sedangkan nilai moisture

balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,80%. Kelompok 5 yang

menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 24,49 gram

dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi

30,398 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,908 gram sehingga diperoleh berat air

dalam sampel 0,092 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis

sebesar 1,533%, dry basis 1,557% dan total padatan 98,467%, sedangkan nilai moisture

balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,92%. Kelompok 6 yang

menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 22,38 gram

dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi

28,269 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,889 gram sehingga diperoleh berat air

dalam sampel 0,111 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis

sebesar 1,850%, dry basis 1,885% dan total padatan 98,150%, sedangkan nilai moisture

balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 3,54%.

Page 7: Air Abu Noni

7

3.2. Analisa Kadar Mineral Total

Hasil pengamatan dari analisa kadar mineral total dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tabel Analisa Kadar Mineral Total

Kelompok Sampel Berat Cawan Kosong

(g)

Berat Sampel

(g)

Berat cawan+sampel

setelah diabukan (g)

Berat Abu (g)

Kadar Abu (%)

D1 Kusuka 19,00 5 19,094 0,094 1,88D2 Kusuka 20,45 5 20,544 0,094 1,88D3 Kusuka 25,30 5 25,393 0,093 1,86D4 Qtela 26,71 5 26,788 0,078 1,56D5 Qtela 21,31 5 21,412 0,102 2,04D6 Qtela 20,22 5 20,291 0,071 1,42

Dari tabel 2 dapat diketahui berat cawan kosong, berat sampel yang digunakan, berat

cawan+sampel setelah diabukan, berat abu, serta kadar abu. Kelompok 1 yang

menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 19,00 gram

dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel

sebesar 19,094 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,094 gram dan kadar abu

1,88 %. Kelompok 2 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang

digunakan adalah 20,45 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan,

diperoleh berat cawan + sampel sebesar 20,544 gram sehingga diperoleh berat abu

sebesar 0,094 gram dan kadar abu 1,88 %. Kelompok 3 yang menggunakan sampel

Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 25,30 gram dengan berat sampel

5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 25,393 gram

sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,093 gram dan kadar abu 1,86 %. Kelompok 4

yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 26,71

gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan +

sampel sebesar 26,788 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,078 gram dan kadar

abu 1,56 %. Kelompok 5 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang

digunakan adalah 21,31 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan,

diperoleh berat cawan + sampel sebesar 21,412 gram sehingga diperoleh berat abu

sebesar 0,102 gram dan kadar abu 2,04 %. Kelompok 6 yang menggunakan sampel

Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,22 gram dengan berat sampel

Page 8: Air Abu Noni

8

5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 20,291 gram

sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,071 gram dan kadar abu 1,42 %.

Page 9: Air Abu Noni

4. PEMBAHASAN

4.1. Pengukuran Kadar Air

Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan fungsinya

tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen

penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur,

serta cita rasa makanan. Air berperan sebagai pembawa zat – zat makanan dan sisa

metabolisme, media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolimer, dan

sebagainya. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan penerimaan,

kesegaran, dan daya tahan bahan. Sebagian besar dari perubahan – perubahan bahan

makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau berasal dari bahan itu sendiri.

Air dapat melarutkan berbagai bahan seperti garam, vitamin, mineral, dan lain

sebagainya (Winarno, 1997).

Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Pada umumnya keawetan

bahan pangan mempunyai hubungan erat dengan kadar air yang dikandungnya. Di

dalam bahan pangan air terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat. Air bebas

mudah dihilangkan dengan cara penguapan atau pengeringan sedangkan air terikat

sangat sukar dihilangkan dari bahan pangan tersebut meskipun dengan cara pengeringan

(Winarno et al., 1984). Di bidang mutu, kadar air erat hubungannya dengan daya

simpan bahan. Sebagaimana komoditi pertanian, semakin rendah kadar air maka

semakin tinggi daya simpannya. (Arpah, 1993).

Setiap bahan bila diletakkan dalam udara terbuka kadar airnya akan mencapai

keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitarnya. Kadar air bahan ini disebut

kadar air seimbang. Setiap kelembaban relatif tertentu dapat menghasilkan kadar air

seimbang tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat hubungan antara kadar air

seimbang dengan kelembaban relatif. Aktivitas air dihitung dengan menggunakan

rumus :

Aw = ERH/100

Aw = aktivitas air

ERH = kelembaban relatif seimbang (Soedarmadji, 1989).

9

Page 10: Air Abu Noni

10

Penentuan kadar air cara pengeringan prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan

dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang

berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah. Kelemahan cara ini

adalah :

- bahan lain di samping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air

misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri, dan lain – lain

- dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah

menguap lain. Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak

mengalami oksidasi, dan sebagainya

- bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit

melepaskan airnya meski sudah dipanaskan

Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang

menyebabkan terbentuknya air atau reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat

dilakukan pemanasan dengan suhu tinggi dan tekanan vakum (Sudarmadji, 1989).

Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven

pada suhu 105-110 0C selama 3 jam atau sampai didapat berat konstan. Selisih berat

sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan (Winarno,

1997). Dengan demikian akan diperoleh hasil yang lebih mencerminkan kadar air yang

sebenarnya. Untuk bahan – bahan yang mempunyai kadar gula tinggi, pemanasan

dengan suhu + 100 0C dapat mengakibatkan terjadinya pergerakan pada permukaan

bahan. Suatu bahan yang telah mengalami pengeringan ternyata lebih bersifat

higroskopis daripada bahan asalnya. Oleh karena itu selama pendinginan sebelum

penimbangan, bahan selalu ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering misalnya

dalam eksikator atau desikator yang telah diberi zat penyerap air. Penyerap air/uap air

dapat menggunakan kapur aktif, asam sulfat, silika gel, aluminium oksida, kalium

klorida, kalium hidroksida, kalsium sulfat, atau barium oksida (Sudarmadji, 1989).

Page 11: Air Abu Noni

11

Sudarmaji et al (1989) juga mengatakan bahwa pengukuran kadar air dapat dilakukan

dengan 5 cara yaitu pengeringan (thermogravimetri), destilasi (thermovolumetri),

khemis, fisis, khusus. Metode yang dilakukan saat praktikum analisa pangan yaitu

metode pengeringan (thermogravimetri) menggunakan oven. Metode ini merupakan

metode yang paling mudah digunakan. Hal ini sesuai dengan teori Syarief dan Halid

(1991) yang mengatakan bahwa kadar air bahan pangan dapat diukur dengan berbagai

cara. Metode pengukuran yang paling umum dilakukan di laboratorium adalah dengan

pemanasan dalam oven sampai diperoleh berat kering yang konstan. Prinsip dari metode

pengeringan tersebut yaitu menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan

pemanasan. Pengeringan juga memiliki tujuan tertentu. Menurut Winarno (1997),

proses pengeringan dapat memperpanjang daya tahan bahan atau dengan kata lain

mengawetkan bahan dan mengurangi massa bahan agar memudahkan dalam

pengangkutan atau transportasinya. Selain itu, Sudarmadji et. al. (1989) juga

mengatakan bahwa air dalam bahan merupakan nutrisi/ medium yang baik bagi

pertumbuhan mikrobia yang dapat merusakkan bahan makanan tersebut, oleh karena itu,

air dalam bahan makanan perlu dihilangkan.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk analisa kadar air yaitu mula-mula cawan

dikeringkan selama ±18jam dalam oven bersuhu 100-105°C. Tujuan pengeringan cawan

dalam oven adalah agar pada cawan tidak terdapat uap air yang akan mempengaruhi

hasil penimbangan. Cawan yang sudah dikeringkan ditimbang menggunakan timbangan

analitik dan beratnya dicatat. Sampel dihaluskan dan ditimbang sebanyak 6 gram setelah

itu diletakkan pada cawan porselen, ditimbang dan dicatat berat cawan berisi sampel.

Penghalusan bahan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang

representatif, memperluas kontak dengan pereaksi serta efisiensi pereaksi dan waktu

pereaksi (Winarno, 1997). Sampel beserta cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-

105°C selama 1 malam. Hal ini sudah sesuai dengan pendapat Winarno (1997), yang

mengatakan bahwa pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan

mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110 0C selama 3 jam atau sampai

didapat berat konstan. Kemudian sampel dan cawan dimasukkan dalam desikator

selama 15 menit. Tujuan dari dimasukkannya cawan ke dalam desikator adalah untuk

mencegah cawan menyerap uap air dari lingkungan sekitar, karena menurut Sudarmadji

Page 12: Air Abu Noni

12

(1989), suatu bahan yang telah mengalami pengeringan ternyata lebih bersifat

higroskopis daripada bahan asalnya. Oleh karena itu selama pendinginan sebelum

penimbangan, bahan selalu ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering misalnya

dalam eksikator atau desikator yang telah diberi zat penyerap air. Penyerap uap atau air

ini dapat menggunakan kapur aktif, asam sulfat, barium oksida, silika gel, aluminium

oksida, kalium khlorida, kalium hidroksida, kalium sulfat. Lalu ditimbang hingga

diperoleh berat konstan. Berat konstan artinya semua air sudah diuapkan dan tidak ada

perubahan berat lagi jika sampel dioven lagi. Perhitungan kadar air meliputi wet basis,

dry basis, dan total padatan yang dihitung menggunakan rumus :

Setelah diperoleh hasil dari masing-masing penimbangan, maka kadar air berat basah

(wet basis), kadar air berat kering (dry basis), dan total padatan dapat dihitung dengan

menggunakan rumus berikut:

W3 = W1-W2

Dry Basis = x 100%

Wet Basis =

Total Padatan =

Di mana W1 adalah berat sampel, W2 adalah berat sampel setelah dikeringkan ((berat

cawan+sampel setelah dikeringkan) – berat cawan)), dan W3 adalah berat air dalam

sampel (W1-W2).

Page 13: Air Abu Noni

13

Rumus tersebut sesuai dengan teori dari Syarief & Halid (1991) yang menyatakan

bahwa kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan

berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air

berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen sedangkan kadar

air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen. Kadar air berat basah dapat

ditetapkan dengan persamaan sebagai berikut:

Ba BaKa = x 100 % = x 100 %

Ba + Bk BtDi mana : Ka = kadar air berat basah (%)

Ba = berat air dalam bahan (g)

Bk = berat bahan kering mutlak (g)

Bt = berat total = Ba + Bk (g)

Kadar air berat kering adalah air yang diuapkan dibagi berat bahan setelah pengeringan.

Jumlah air yang diuapkan adalah berat bahan sebelum pengeringan dikurangi berat

bahan setelah pengeringan, sebagaimana persamaan berikut :

Ba 100 kaKa = x 100 % =

Bk 100 – kaDi mana : Ka = kadar air berat kering (%)

Ba = berat air dalam bahan (g)

Bk = berat bahan kering mutlak (g)

ka = kadar air berat basah

Yang dimaksud dengan berat bahan kering yaitu berat bahan setelah mengalami

pemanasan dalam waktu tertentu sampai tercapai berat konstan. Pada keadaan berat

konstan tersebut tidak seluruh zat yang terkandung dalam bahan teruapkan akan tetapi

hasil yang didapat disebut berat kering (Syarief & Halid, 1991).

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, kadar air yang terukur ada 3 macam. Menurut

Winarno (1997), dry basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut

dengan berat bahan keringnya. Berat bahan kering adalah berat bahan asal setelah

dikurangi dengan berat airnya. Sementara kadar air secara wet basis adalah

perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan bahan mentah. Sementara

total padatan adalah perbandingan antara berat kering dengan berat sampel awal.

Page 14: Air Abu Noni

14

Setelah dikeringkan, akan terlihat perubahan fisik pada sampel (deMan, 1997). Day &

Underwood (1986) juga mengatakan bahwa air dapat melarutkan banyak zat dan

berperan sebagai medium untuk berlangsungnya berbagai reaksi kimia. Karena

berkurangnya zat pelarut maka konsentrasi senyawa – senyawa dalam bahan menjadi

lebih besar dari konsentrasi semula sebelum dikeringkan. Selain terjadi perubahan

warna, juga terjadi perubahan ukuran partikel yaitu menjadi semakin kecil. Pengurangan

ukuran partikel ini disebabkan oleh pengkerutan bahan karena kehilangan kandungan air

bebasnya (Winarno et al., 1980).

Setelah dikeringkan, kadar air yang ada dalam sampel akan menguap tetapi tidak

seluruhnya. Air yang menguap merupakan air bebas dan air terikat lemah sementara air

yang tetap ada pada sampel adalah air terikat kuat. Air terikat kuat tidak akan ikut

menguap walaupun telah dikeringkan. Hal ini sesuai dengan teori Sudarmaji et al

(1989) yang mengatakan bahwa air dalam berbagai bahan pangan terdapat dalam

berbagai bentuk :

1. Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan inter-granular dan pori-pori

yang terdapat pada bahan.

2. Air yang terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan kolloid

makromolekuler seperti protein, pektin pati, sellulosa. Selain itu air juga terdispersi

diantara kolloid tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam sel. Air yang

ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan

pada proses pembekuan. Ikatan antara air dengan kolloid tersebut merupakan ikatan

hidrogen.

3. Air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya bersifat ionik

sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air ini tidak membeku meskipun

pada 0°F.

Page 15: Air Abu Noni

15

Tabel di atas merupakan tabel syarat mutu Standar Nasional Indonesia (SNI) dari

keripik singkong. Dalam tabel tersebut dapat dilihat batas-batas yang seharusnya, baik

dari kadar air, kadar FFA, kerenyahan, dan juga aroma dari keripik singkong. Hal-hal

tersebutlah yang mempengaruhi mutu dan kualitas dari keripik singkong yang

dihasilkan (Badan Standarisasi Nasional,__).

Berdasarkan hasil perhitungan kadar air yang didapat pada tabel 1, dapat diketahui

bahwa hasil yang didapat pada masing-masing kelompok berbeda-beda, bahkan pada

bahan yang sama. Kelompok 1 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong

yang digunakan adalah 21,16 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah

dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 27,135 gram, yang berarti berat sampel

menjadi 5,975 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,025 gram. Dari hasil

penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 0,417%, dry basis 0,418% dan

Page 16: Air Abu Noni

16

total padatan 99,583%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan

menggunakan alat sebesar 2,16%. Kelompok 2 yang menggunakan sampel Kusuka,

berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,16 gram dengan sampel sebanyak 6,000

gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 26,145 gram, yang berarti

berat sampel menjadi 5,985 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,015

gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 0,250%, dry

basis 0,251% dan total padatan 99,750%, sedangkan nilai moisture balance yang

diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,37%. Kelompok 3 yang menggunakan

sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,91 gram dengan sampel

sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 27,867 gram,

yang berarti berat sampel menjadi 5,957 gram sehingga diperoleh berat air dalam

sampel 0,043 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar

0,717%, dry basis 0,722% dan total padatan 99,283%, sedangkan nilai moisture balance

yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,55%. Kelompok 4 yang

menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 18,22 gram

dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi

24,131 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,911 gram sehingga diperoleh berat air

dalam sampel 0,089 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis

sebesar 1,483%, dry basis 1,506% dan total padatan 99,517%, sedangkan nilai moisture

balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,80%. Kelompok 5 yang

menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 24,49 gram

dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi

30,398 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,908 gram sehingga diperoleh berat air

dalam sampel 0,092 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis

sebesar 1,533%, dry basis 1,557% dan total padatan 98,467%, sedangkan nilai moisture

balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,92%. Kelompok 6 yang

menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 22,38 gram

dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi

28,269 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,889 gram sehingga diperoleh berat air

dalam sampel 0,111 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis

sebesar 1,850%, dry basis 1,885% dan total padatan 98,150%, sedangkan nilai moisture

balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 3,54%.

Page 17: Air Abu Noni

17

Dari data di atas dapat dilihat bahwa ada perbedaan nilai kadar air walaupun sampel

yang digunakan sama. Hal ini terjadi mungkin karena adanya kesalahan saat

pengeringan, ataupun perlakuan yang diberikan saat sampel keluar atau masuk oven.

Bisa juga karena sesaat setelah keluar dari oven, sampel tidak langsung dimasukkan

dalam desikator sehingga menyerap uap air di sekitarnya, atau sampel terpegang oleh

tangan sehingga uap air yang ada di tangan menempel di cawan sehingga

mempengaruhi hasil penimbangan akhir, dan juga dapat disebabkan oleh pemanasan

yang dilakukan oleh oven tidaklah merata sehingga penguapan tidaklah sempurna.

Menurut Winarno (1997), pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan

terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang diambil berasal dari

semua permukaan bahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan

terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di

udara, dan waktu pengeringan. Bila kadar air bahan rendah sedangkan kadar RH

disekitarnya tinggi, maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga

bahanmenjadi lembab / kadar airnya bertambah tinggi. Namun jika suhu bahan lebih

rendah dari pada sekitarnya maka akan terjadi kondensasi uap air udara pada permukaan

bahan dan dapat merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang / bakteri.

Meskipun hasil perhitungan kadar air wet basis maupun dry basis dan juga kadar air

yang diukur dengan metode Moisture balance dari keripik singkong merk Kusuka dan

merk Qtela pada praktikum ini berbeda-beda tetapi semuanya sudah sesuai dengan SNI

01-4305-1996, yaitu SNI dari keripik singkong Di mana di dalam SNI tersebut

dinyatakan bahwa kandungan air maksimal yang diperbolehkan pada keripik singkong

adalah 6%. Dan juga sesuai dengan SNI.01-2891-1992 yang menyatakan bahwa secara

umum untuk keripik kadar air maksimumnya sebesar 5%. Sedangkan dari hasil

praktikum nilai kadar air wet basis yang paling tinggi adalah sebesar 1,850%, kadar air

dry basis yang paling tinggi adalah sebesar 1,885%, dan kadar air dengan metode

Moisture balance yang paling tinggi adalah 3,54%. Maka dapat disimpukan bahwa

keripik singkong Kusuka dan Qtela jika dilihat dari kadar airnya maka kedua merk ini

sudah memenuhi standar mutu dari SNI.

Page 18: Air Abu Noni

18

Analisa kadar air yang dilakukan pada praktikum ini selain dengan metode

Thermogravimetri, juga dengan metode Moisture Balance. Moisture Balance adalah

alat untuk mengetahui kadar air dari sampel dengan berat dan suhu yang sudah

ditentukan. Keuntungan alat ini yaitu dapat mempersingkat proses pengukuran kadar air

dimana metode yang lama yaitu menimbang sampel, lalu dipanaskan dengan oven pada

suhu dan waktu tertentu lalu ditimbang lagi,selisih antara berat awal dan akhir adalah

nilai kadar airnya. Yang diukur oleh alat ini adalah kandungan air yang terkandung

dalam zat uji yang kemudian menguap akibat panas yang dikeluarkan oleh alat ini.

Temperatur moisture balance bisa diatur sesuai dengan yang diinginkan. Untuk

mengukur kadar air granul, moisture balance cukup diatur pada temperatur 700 celsius

untuk mencegah ikut menguapnya air kristal yang terkandung dalam bahan yang

digunakan dalam pembuatan granul. Air kristal bisa menguap pada temperatur lebih dari

100o celsius. Dibandingkan dengan metode thermogravimetri, metode moisture balance

lebih cepat dan mudah dilakukan, karena tidak memerlukan tekhnik khusus, hanya

tinggal mengoperasikan alat, dan kadar air dapat langsung dapat diketahui

(Arpah,1993).

Kelebihan metode Thermogravimetri adalah cara ini relatif murah. Sedangkan

kelemahan metode Thermogravimetri dibandingkan metode Moisture Balance adalah :

- bahan lain di samping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air

misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri, dan lain – lain

- dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah

menguap lain. Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak

mengalami oksidasi, dan sebagainya

- bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit

melepaskan airnya meski sudah dipanaskan

Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang

menyebabkan terbentuknya air atau reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat

dilakukan pemanasan dengan suhu tinggi dan tekanan vakum (Sudarmadji, 1989).

Page 19: Air Abu Noni

19

4.2. Pengukuran Kadar Mineral Total

Abu adalah kandungan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Kandungan abu atau komposisinya tergantung pada macam bahan atau cara

pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang

terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan 2 macam garam yaitu garam organik atau

garam anorganik. Kadar abu yang sedikit menunjukkan baiknya proses pengolahan dan

kandungan gizi yang baik pada bahan makanan tersebut (Sudarmadji, 1989). Kadar abu

dalam bahan makanan merupakan sisa pembakaran bahan organik yang disebut juga

mineral. Dalam dunia pangan analisa kadar abu erat hubungannya dengan keberhasilan

produksi, keaslian bahan dan nilai gizi yang meliputi pencemar dalam bahan produksi

(James, 1995). Total abu adalah indeks pemurnian makanan yang diterima secara luas.

Penentuan abu total dapat ditentukan untuk berbagai tujuan : untuk penentuan baik

tidaknya suatu proses pengolahan, untuk mengetahui berbagai jenis bahan pangan yang

digunakan, sebagai parameter nilai gizi bahan makanan (Sudarmadji et al., 1989).

Dalam pengabuan sampel dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :

Pengabuan cara kering, yaitu bahan yang akan diabukan dikeringkan terlebih dahulu

sebelum dimasukkan ke dalam pemanas.

Pengabuan cara basah, yaitu pengabuan bahan pangan dengan mereaksikan bahan

pangan dengan bahan – bahan kimia untuk mempercepat oksidasi sebelum

pengeringan, pemanasan dalam metode ini tidak sepanas metode kering.

Pengabuan cara konduktrimetri, pengabuan ini dilakukan pada bahan yang tidak

bersifat elektrolit (James, 1995).

Pengabuan dilakukan dengan muffle yang dapat diatur suhunya. Kadangkala pada

proses pengabuan terlihat hasil pengabuan berwarna putih abu-abu dengan bagian

tengahnya terdapat noda hitam. Ini menunjukkan pengabuan belum sempurna maka

perlu diabukan lagi sampai noda hitam hilang dan diperoleh abu yang berwarna putih

keabu-abuan (Sudarmadji et al., 1996).

Page 20: Air Abu Noni

20

Pada percobaan ini pengabuan dilakukan dengan cara langsung atau biasa disebut

dengan cara kering. Penentuan kadar abu secara langsung (cara kering) adalah dengan

mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600oC dan

kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran

tersebut. Temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguh-sungguh karena banyak

element abu yang dapat menguap pada suhu tinggi, misalnya K, Na, S, Ca, Cl, P. Selain

itu, suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu. Mengingat

adanya berbagai komponen abu yang mudah mengalami dekomposisi atau bahkan

menguap pada suhu tinggi, maka suhu pengabuan untuk tiap-tiap bahan dapat berbeda-

beda tergantung komponen yang ada dalam bahan tersebut (Sudarmadji et al., 1989).

Metode kering memiliki kelebihan dan kelemahan. Menurut Muchtadi (1989),

Kelebihan pengabuan kering adalah bahwa metode ini relatif aman dan tidak

membutuhkan reagen apapun sehingga lebih mudah dilakukan. Hanya saja, metode ini

memakan waktu lama dan alat yang relatif lebih mahal. Disamping itu menurut Nielsen

(1998) akan ada kehilangan elemen volatil dan terjadi interaksi antara komponen

mineral jika menggunakan metode kering. Soeparno (1994) mengatakan bahwa tanur

dipakai untuk proses pengabuan karena lebih mudah dikontrol suhunya. Pengabuan

dilakukan dengan tanur yang dapat diatur suhunya, tetapi bila tidak tersedia dapat

menggunakan pemanas bunsen. Bila menggunakan bunsen sulit diketahui ataupun

dikendalikan suhunya, untuk ini dapat digunakan pengamatan secara visual yaitu bila

kelihatan membara merah berarti suhu lebih kurang 550  oC. Proses penentuan

kandungan mineral total dengan cara pengabuan yang dilakukan pada praktikum ini

sudah tepat, karena menurut Sudarmadji (1989), penentuan jumlah mineral sangatlah

sulit oleh karena itu biasanya dilakukan penentuan sisa–sisa pembakaran garam mineral

yang dikenal dengan pengabuan. Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasikan

semua zat organik pada suhu tinggi yaitu sekitar 500– 600oC dan kemudian melakukan

penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut.

Langkah-langkah yang dilakukan pada praktikun analisa kadar mineral total adalah

mula-mula cawan porselen yang akan digunakan dipanaskan di dalam tanur yang

bersuhu 550°C. Tujuan pemanasan cawan dalam tanur adalah agar pada cawan tidak

terdapat uap air atau kotoran yang akan mempengaruhi hasil penimbangan. Setelah itu

Page 21: Air Abu Noni

21

cawan dimasukkan dalam oven selama 1 jam dilanjutkan dengan desikator selama 15

menit. Tujuan dimasukkannya cawan ke dalam oven adalah untuk menurunkan suhu

dari cawan supaya cawan porselin tidak pecah akibat penurunan suhu yang cukup

drastis, dan tujuan dimasukkannya cawan ke dalam desikator juga untuk menurunkan

suhu dan supaya cawan tidak menyerap uap air dari udara. Setelah proses pengeringan

selesai, cawan ditimbang dan diperoleh berat cawan kosong. Sampel dihaluskan lalu

ditimbang sebanyak 5 gram, berat cawan + sampel ditimbang. Penghalusan bahan

dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representatif, memperluas

kontak dengan pereaksi serta efisiensi pereaksi dan waktu pereaksi (Winarno, 1997). ,

Penghalusan bahan juga bertujuan untuk memperluas permukaan bahan agar pada

proses pengabuan akan didapatkan hasil yang sempurna, hal ini sesuai dengan pendapat

Winarno (1980), bahwa pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan

terjadi pada setiap tempat dari seluruh permukaan bahan tersebut, dan uap air yang

dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengeruhi

pengeringan terutama adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara dan

tekanan uap di udara. Sampel dan cawan yang sudah ditimbang dimasukkan dalam

tanur bersuhu 550°C dan dilakukan pemanasan secara bertahap selama 3-5 jam. Tujuan

dari penaikkan suhu secara bertahap ini adalah untuk meminimalkan penguapan unsur-

unsur yang mudah menguap pada suhu tinggi dan juga unsur-unsur yang bersifat volatil.

Hal tersebut sesuai dengan teori dari Sudarmadji (1989) yang menyatakan bahwa

temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguh–sungguh karena banyak elemen abu

yang dapat menguap pada suhu yang tinggi misalnya unsur K, Na, S, Ca, Cl, dan P.

Selain itu suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu.

Mengingat adanya berbagai komponen abu yang mudah mengalami dekomposisi atau

bahkan menguap pada suhu yang tinggi maka suhu pengabuan untuk tiap–tiap bahan

dapat berbeda–beda tergantung komponen yang ada dalam bahan tersebut. Dilakukan

pengabuan hingga diperoleh abu yang beratnya tetap serta telah terjadi pembakaran

yang sempurna. Abu yang sempurna adalah abu yang berwarna putih keabu-abuan.

Proses ini sesuai dengan teori dari Nielsen (1998) yang menyatakan bahwa abu

berwarna putih keabu–abuan. Cawan dan sampel dibiarkan dingin terlebih dahulu

kemudian dimasukkan dalam oven 100°C selama 1 jam. Tujuan dimasukkannya cawan

yang berisi abu ke dalam oven adalah untuk menurunkan suhu dari cawan dan abu,

Page 22: Air Abu Noni

22

menstabilkan suhu sehingga tidak terjadi perubahan suhu yang terlalu mencolok,

sehingga cawan porselin tidak pecah akibat penurunan suhu yang cukup drastis hal

tersebut sesuai dengan teori dari Sudarmadji (1989) yang menyatakan bahwa krus

maupun cawan yang berisi abu yang diambil dari dalam muffle harus terlebih dahulu

dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC agar suhunya turun baru kemudian

dimasukan ke dalam eksikator sampai dingin. Kemudian disimpan 15 menit dalam

desikator dan ditimbang sehingga diperoleh berat abu. Sampel yang dimasukkan

kedalam desikator mencegah masuknya uap air kedalam sampel. Hal ini dikarenakan

bahan yang telah mengalami pengeringan akan lebih bersifat higroskopis daripada

bahan asalnya. Pada desikator terdapat zat penyerap uap air yang berfungsi untuk

menyerap uap air yang terdapat pada desikator sehingga uap air tersebut tidak terserap

oleh sampel. Hal ini sesuai dengan Sudarmadji (1989), bahwa suatu bahan yang telah

mengalami pengeringan ternyata lebih bersifat higroskopis daripada bahan asalnya.

Oleh karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan selalu ditempatkan

dalam ruang tertutup yang kering misalnya dalam desikator yang telah diberi zat

penyerap air. Penyerap air/uap air ini dapat menggunakan kapur aktif; silika gel;

allumunium oksida; kalium khlorida; kalium hidroksida; kalsium sulfat atau barium

oksida. Silika gel yang digunakan sering diberi warna guna memudahkan apakah bahan

tersebut sudah jenuh dengan air atau belum. Bila sudah jenuh akan berwarna merah

muda dan bila dipanaskan menjadi kering berwarna biru.

Suhu tanur yang digunakan untuk pengabuan adalah 550°C, tidak lebih ataupun kurang.

Jika suhu kurang dari itu, pengabuan tidak akan berlangsung sempurna sementara jika

suhu lebih tinggi lagi, akan banyak komponen lain yang ikut hilang karena pemanasan

yang berlebihan. Hal ini sesuai dengan teori Sudarmadji et.al ( 1989 ), pengabuan baik

dilakukan pada suhu 5500C. Pengabuan diatas 6600C tidak dianjurkan karena

menyebabkan hilangnay zat tertentu misalnya garam klorida ataupun oksida dari logam

alkali. Pengabuan dengan tanur juga memakan waktu yang lama. Hal ini merupakan

kelemahan metode pengeringan dengan tanur. Pengabuan kurang dari atau lebih dari

suhu tersebut dapat berefek menguapnya banyak elemen abu misalnya unsur K, Na, S,

Ca, Cl, dan P. Selain itu suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi

senyawa tertentu dan hilangnya zat tertentu misalnya garam klorida ataupun oksida dari

Page 23: Air Abu Noni

23

garam alkali. Lama pengabuan berkisar antara 3 – 5 jam. Penimbangan terhadap bahan

dilakukan dalam keadaan dingin untuk itu maka krus yang berisi abu yang diambil dari

dalam muffle harus terlebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 0C agar

supaya suhunya turun baru kemudian dimasukan ke dalam eksikator sampai dingin.

Pendinginan dilakukan untuk mencegah pemuaian tekstur yang dapat memungkinkan

masuknya uap air. Eksikator yang digunakan dilengkapi dengan zat penyerap uap air

Agar eksikator dapat mudah digeser tutupnya maka permukaan gelas diolesi dengan

vaselin.

Penggunaan cawan porselin sebagai tempat untuk mengabukan bahan pada praktikum

ini sudah sesuai dengan teori dari Sudarmadji (1989) yang menyatakan bahwa bahan

yang akan diabukan ditempatkan dalam wadah khusus yang disebut krus yang dapat

dibuat dari porselin, silika, quartz, nikel, atau platina dengan berbagai kapasitas (25 –

100 ml). Di mana pemilihan wadah ini disesuaikan dengan bahan yang akan diabukan.

Penggunaan cawan porselin dianggap paling tepat karena dapat mencapai berat konstan

yang cepat dan harganya relatif murah. Penggunaan krus porselin sangat luas karena

dapat mencapai berat konstan yang cepat dan murah tetapi mempunyai kelemahan

sebab mudah pecah pada perubahan suhu yang mendadak. Hal ini yang menyebabkan

setelah dikelaurkan dari tanur dengan suhu yang sangat tinggi, cawan porselin tidak

langsung dimasukkan kedalam desikator tetapi dimasukkan dulu kedalam oven.

Jika dalam abu yang dihasilkan masih terdapat noda hitam di tengah, hal itu

menandakan pengabuan belum sempurna sehingga perlu dilakukan pengovenan lagi.

Menurut Sudarmadji (1989) kadangkala pada proses pengabuan terlihat bahan hasil

pengabuan berwarna putih abu-abu dengan bagian tengahnya terdapat noda hitam. Ini

menunjukkan pengabuan belum sempurna. Abu berwarna putih keabu-abuan

menunjukkan pengabuan telah sempurna dan juga beratnya konstan dengan selang

waktu pengabuan selama 30 menit.

Kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus :

Page 24: Air Abu Noni

24

Dari tabel 2 dapat diketahui berat cawan kosong, berat sampel yang digunakan, berat

cawan+sampel setelah diabukan, berat abu, serta kadar abu. Kelompok 1 yang

menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 19,00 gram

dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel

sebesar 19,094 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,094 gram dan kadar abu

1,88 %. Kelompok 2 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang

digunakan adalah 20,45 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan,

diperoleh berat cawan + sampel sebesar 20,544 gram sehingga diperoleh berat abu

sebesar 0,094 gram dan kadar abu 1,88 %. Kelompok 3 yang menggunakan sampel

Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 25,30 gram dengan berat sampel

5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 25,393 gram

sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,093 gram dan kadar abu 1,86 %. Kelompok 4

yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 26,71

gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan +

sampel sebesar 26,788 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,078 gram dan kadar

abu 1,56 %. Kelompok 5 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang

digunakan adalah 21,31 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan,

diperoleh berat cawan + sampel sebesar 21,412 gram sehingga diperoleh berat abu

sebesar 0,102 gram dan kadar abu 2,04 %. Kelompok 6 yang menggunakan sampel

Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,22 gram dengan berat sampel

5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 20,291 gram

sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,071 gram dan kadar abu 1,42 %.

Dari data di atas, dapat diketahui meskipun menggunakan sampel yang sama, kadar abu

yang diperoleh bisa berbeda. Sama halnya dengan kadar air, hal tersebut mungkin

disebabkan sesaat setelah keluar dari oven, sampel tidak langsung dimasukkan dalam

desikator sehingga menyerap air di sekitarnya, dan ada zat lain yang menempel pada

cawan atau sampel, bisa juga cawan terpegang oleh tangan sehingga air yang ada di

tangan menempel di cawan sehingga mempengaruhi hasil penimbangan akhir. Dalam

pengukuran kadar abu, setelah dimasukkan dalam tanur, sampel harus dimasukkan dulu

ke dalam oven untuk menurunkan suhunya baru dimasukkan dalam desikator. Menurut

Sudarmaji et al (1989) sebelum penimbangan, harus dipastikan cawan porselen benar-

Page 25: Air Abu Noni

25

benar sudah kering. Atau bisa juga karena kekurang telitian saat penimbangan sehingga

kadar abu yang terukur kurang tepat. Kadar abu pada percobaan tidak dapat

dibandingkan dengan kemasan karena pada kemasan tidak mencantumkan kadar abu

yang terkandung di dalamnya.

Meskipun hasil perhitungan kadar abu dari keripik singkong merk Kusuka dan merk

Qtela pada praktikum ini berbeda-beda tetapi semuanya sudah sesuai dengan SNI 01-

4305-1996, yaitu SNI dari keripik singkong Di mana di dalam SNI tersebut dinyatakan

bahwa kandungan abu maksimal yang diperbolehkan pada keripik singkong adalah

2,5%. Dan juga sesuai dengan SNI.01-2891-1992 yang menyatakan bahwa secara

umum untuk keripik kadar air maksimumnya sebesar 3%. Sedangkan dari hasil

praktikum nilai kadar abu yang paling tinggi adalah 2,04%. Maka dapat disimpukan

bahwa keripik singkong Kusuka dan Qtela jika dilihat dari kadar abunya maka kedua

merk ini sudah memenuhi standar mutu dari SNI.

Page 26: Air Abu Noni

5. KESIMPULAN

Air mempengaruhi penampakan, tesktur, serta cita rasa pada makanan.

Penentuan kadar air dapat dilakukan dengan metode pengeringan

(thermogravimetri), metode destilasi (thermovolumetri), metode khemis, metode

fisis, dan metode khusus (misalnya kromatografi, nuclear, magnetic resonance).

Metode yang dipilih untuk penentuan kadar air tergantung pada sifat bahannya.

Kadar air yang terukur ada 3 macam yaitu wet basis, dry basis, dan total padatan.

Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode pengeringan dalam

oven.

Prinsip metode ini adalah menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan

pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua

air sudah diuapkan.

Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang

diuapkan.

Pengeringan bahan pangan bertujuan untuk mengawetkan, dan mempermudah

transportasi dan pengepakan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan

bahan, suhu pengeringan, aliran udara, dan tekanan uap di udara.

Kelemahan metode pengeringan ialah bahan dapat berubah bentuk, warna, sifat

fisik, dan sifat kimia; bahan volatil selain air ikut menguap; dapat terjadi reaksi

selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain; serta

bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit

melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.

Kelebihan metode pengeringan ialah tergolong mudah dan murah, bahan menjadi

lebih awet, memudahkan proses pengangkutan dan pengepakan, memudahkan

transportasi, dan biaya produksi lebih murah.

Kadar air dapat dihitung berdasarkan dry basis, yaitu perbandingan antara berat air

dalam bahan tersebut dengan berat bahan keringnya dan wet basis, yaitu

perbandingan antara berat air dalam bahan tersebut dengan berat bahan mentah.

Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 %,

sedangkan kadar air berat kering dapat lebih dari 100 %.

26

Page 27: Air Abu Noni

27

Penghalusan bahan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang

representatif, memperluas kontak dengan pereaksi serta efisiensi pereaksi dan

waktu pereaksi

Sesaat setelah dikeluarkan dari oven, sampel harus dimasukkan dalam desikator

untuk mencegah mencegah cawan dan sampel menyerap uap air dari lingkungan

sekitar,karena sifat bahan yang telah mengalami pengeringan lebih bersifat

higroskopis daripada bahan asalnya.

Dalam desikator terdapat silika gel yang berfungsi menguapkan air yang terdapat

dalam bahan

Semakin tinggi wet basis dan dry basis maka total padatan semakin rendah

Kadar air pada keripik singkong Qtela lebih tinggi daripada keripik singkong

Kusuka.

Semakin rendah kadar air maka semakin tinggi daya simpannya

Kadar air berdasarkan dry basis akan selalu lebih tinggi dibanding wet basis.

Pengabuan bertujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan dan

mengetahui jenis bahan yang digunakan.

Kadar abu dapat digunakan untuk menentukan jumlah mineral yang terkandung

dalam suatu bahan makanan.

Dalam menentukan kadar abu, sampel yang digunakan harus dihaluskan dahulu

agar diperoleh hasil yang lebih representetif

Kadar abu dapat diukur dengan metode pengeringan dalam tanur suhu 550°C

Penentuan kadar abu dimulai dengan mengoksidasikan semua zat organik pada

suhu tinggi yaitu 550 0C selama 3-5 jam dan kemudian melakukan penimbangan zat

yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut.

Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang

diuapkan.

Metode pengeringan mudah dilakukan karena tidak memerlukan reagen, tetapi

membutuhkan waktu yang lama serta alat yang mahal

Suhu tanur tidak boleh terlalu rendah maupun terlalu tinggi

Tujuan dari penaikkan suhu secara bertahap ini adalah untuk meminimalkan

pengupan unsur-unsur yang mudah menguap pada suhu tinggi dan juga unsur-unsur

yang bersifat volatil.

Page 28: Air Abu Noni

28

Tujuan dimasukkannya cawan ke dalam oven adalah untuk menurunkan suhu

cawan.

Pengabuan dilakukan sampai didapat abu yang berwarna putih atau abu-abu atau

sampai beratnya tetap.

Tujuan dari dimasukkannya cawan yang sudah berisi abu ke dalam desikator adalah

untuk mencegah abu menyerap uap air dari lingkungan sekitar.

Penggunaan cawan berbahan porselin sebagai tempat untuk mengabukan bahan

sudah tepat karena dapat mencapai berat konstan yang cepat dan harganya relatif

murah.

Hasil perhitungan dari kadar air dan abu pada keripik singkong merek Kusuka dan

Qtela sudah sesuai dengan SNI

Berdasarkan SNI kandungan air maksimal yang diperbolehkan pada keripik

singkong adalah 6%, dan kadar abu maksimal yang diperbolehkan adalah 2,5%.

Semarang, 11 Desember 2011 Asisten Dosen

Praktikan, - Christina Vania Utami

Destama Nanda 09.70.0108 - Novita Ika Putri

Noni Jouvita 10.70.0062

Silviana Mulyo 10.70.0108

Manar Fathulhanifah 10.70.0131

Wahyu Putri Sari 10.70.0138

Page 29: Air Abu Noni

6. DAFTAR PUSTAKA

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Badan Standarisasi Nasional.(__) SNI Keripik Singkong. http://pphp.deptan.go.id/xplore/files/MUTU-STANDARISASI/STANDAR-MUTU/Standar_nasional/SNI_Horti/Produk%20olahan/SNI%2001-4305%20%20-1996.pdf. Diakses tanggal 9 Desember 2011.

Day, R.A. & A.L. Underwood. (1986). Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.

DeMan, J. M. (1997). Kimia Makanan Edisi Kedua. ITB. Bandung.

James, C. S. (1995). Analitical Chemistry of Food. Chapman & Hall. Glasgow.

Muchtadi, D. ( 1989 ). Evaluasi Nilai Gizi Pangan. IPB. Bogor.

Nielsen, S. (1998). Food Analysis 2nd Ed. Aspen Publication. Gaithersburg Maryland.

Soeparno. (1994). Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Sudarmadji, S; B, Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Sudarmadji, S; Bambang Haryono & Suhardi. (1989). Prosedur untuk Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Syarief, R & H, Halid. (1991). Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta.

Winarno, F. G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F. G.; S. Fardiaz & F. Dedi. (1980). Pengantar Teknologi Pertanian. PT Gramedia. Jakarta.

29

Page 30: Air Abu Noni

30

Winarno, F.G & S. Fardiaz. (1984). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 31: Air Abu Noni

7. LAMPIRAN

7.1 Perhitungan

7.1.1. Penentuan Kadar Air

Rumus

o W3 = W1-W2

o Wet Basis =

o Dry Basis = x 100%

o Total Padatan =

Kelompok D1

o W3 = 6,00-5,975 = 0,025 g

o Kadar air (wet basis) =

o Kadar air (dry basis) =

o Total padatan =

Kelompok D2

o W3 = 6,00-5,985 = 0,015 g

o Kadar air (wet basis) =

o Kadar air (dry basis) =

o Total padatan =

Kelompok D3

o W3 = 6,00-5,957 = 0,043 g

31

Page 32: Air Abu Noni

32

o Kadar air (wet basis) =

o Kadar air (dry basis) =

o Total padatan =

Kelompok D4

o W3 = 6,00-5,911 = 0,089 g

o Kadar air (wet basis) =

o Kadar air (dry basis) =

o Total padatan =

Kelompok D5

o W3 = 6,00-5,908 = 0,092 g

o Kadar air (wet basis) =

o Kadar air (dry basis) =

o Total padatan =

Kelompok D6

o W3 = 6,00-5,889 = 0,111 g

o Kadar air (wet basis) =

o Kadar air (dry basis) =

o Total padatan =

Page 33: Air Abu Noni

33

7.1.2. Kadar Abu

Rumus

Kelompok D1

Kadar abu=

Kelompok D2

Kadar abu=

Kelompok D3

Kadar abu=

Kelompok D4

Kadar abu=

Kelompok D5

Kadar abu=

Kelompok D6

Kadar abu=

7.2. Laporan Sementara