Preskas Tht Subang

48
PRESENTASI KASUS TONSILITIS KRONIK HIPERTROFI Oleh: Malen Saga Imartha 110.2009.164 Devy Andika 110.2010.068 Pembimbing: dr. Kresna Hadiputra, Sp.THT Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

description

tht

Transcript of Preskas Tht Subang

Page 1: Preskas Tht Subang

PRESENTASI KASUS

TONSILITIS KRONIK HIPERTROFI

Oleh:

Malen Saga Imartha

110.2009.164

Devy Andika

110.2010.068

Pembimbing:

dr. Kresna Hadiputra, Sp.THT

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

FK Universitas YARSI

Rumah Sakit Umum Daerah Subang

2015

Page 2: Preskas Tht Subang

STATUS PASIEN

KEPANITERAAN THT RSUD SUBANG

FK UNIVERSITAS YARSI

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. V

Usia : 13 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Suku / bangsa : Sunda

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Lampang Parung Kecamatan Subang

Tanggal Pemeriksaan : 10 September 2015

II. ANAMNESA ( ALOANAMNESIS DAN AUTOANAMNESIS )

Keluhan utama : terasa mengganjal di tenggorokannya

Keluhan Tambahan : demam, nafsu makan menurun, badan lemas.

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Subang dengan keluhan terasa ada yang

mengganjal di tenggorokannya sejak 3 hari SMRS. Keluhan dirasakan terutama bila

pasien sedang menelan makanan. Keluhan tersebut disertai dengan demam, nafsu makan

menurun dan badan lemas. Demam tersebut dirasakan naik turun terutama pada malam

hari. Menurut Ibunya pasien sering bernafas melalui mulut ketika pasien sedang tidur dan

terdengar suara ngorok.Nafsu makan pasien dirasakan menurun karena kesulitan menelan

makanan. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk dan pilek.

Page 3: Preskas Tht Subang

Keluhan adanya nyeri saat menelan ataupun sakit pada tenggorokannya. 2 bulan

sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan nyeri saat menelan, terasa bengkak dan

nyeri pada bagian tenggorokannya yang dirasakan terutama setelah pasien minuman

dingin dan terkadang keluhan tersebut hilang sendiri tanpa pengobatan. Menurut ibunya

belakangan ini pasien sering mengkonsumsi minuman dingin, makanan pedas,ceblak,dan

basreng hampir tiap hari. Pasien juga mempunyai kebiasaan jajan sembarangan di sekitar

sekolahnya. Riwayat pegal-pegal disangkal. Riwayat nyeri telinga disangkal. Riwayat

merokok disangkal

Riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat asthma disangkal.

- Riwayat alergi obat disangkal.

Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada penyakit dengan keluhan serupa pada keluarga pasien.

Riwayat Kebiasaan :Pasien senang mengkonsumsi minuman dingin, makanan pedas, ceblak dan basreng. Pasien senang jajan sembarangan di sekitar sekolahnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK A. STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis

Tanda vital :

- Suhu : 37,3 0 C- Nadi : 80 x / menit- Respirasi : 22 x/ menit- Tekanan darah : 110 / 70 mmHg

B. STATUS LOKALIS

1. TELINGA

TELINGA KANAN TELINGA KIRI

Page 4: Preskas Tht Subang

Daun telinga : Edema (-), hiperemis (-),

massa (-) massa (-)

Liang Telinga : Serumen (+), hiperemis (-) Serumen (-), hiperemis (-)

Gendang Telinga : Intak (+), hiperemis (-), Intak (+), hiperemis (-),

cone of light (+) cone of light (+)

Daerah Retro Aurikuler : Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),

massa (-) massa (-)

TEST PENALA :

RINNE : Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

WEBER : Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

SCHWABACH : Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

TEST BERBISIK : Dalam batas normal Dalam batas normal

AUDIOGRAM : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2. HIDUNG

2.1. Rhinoskopi Anterior

Hidung Luar : Edema (-/-), hiperemis (-/-),

massa (-/-)

Vestibulum : Tenang (+/+), rambut (+/+)

Lubang Hidung : Mukosa hiperemis (-/-)

Page 5: Preskas Tht Subang

Rongga Hidung : Sempit

Septum : Deviasi (-)

Konka Inferior : Hiperemis (-/-),

hipertrofi (-/-)

Meatus Inferior : Sekret (-/-), polip (-/-)

Pasase Udara : +/+

2.2. Rhinoskopi Posterior

Koana : Dalam Batas Normal

Septum Bagian Belakang : Tidak ada deviasi

Sekret : Tidak ada

Konka : Dalam Batas Normal

Muara Tuba Eustachius : Dalam Batas Normal

Torus Tubarius : Dalam Batas Normal

Fossa Rosenmuller : Dalam Batas Normal

Adenoid : Dalam Batas Normal

3. FARING

Arkus faring : Simetris, hiperemis (-)

Uvula : Berada di tengah

Dinding Faring : Hiperemis (-)

Tonsil : T3-T3, kripta melebar +/+,

detritus +/+ , hiperemis +/+

Palatum : Tenang

Post Nasal drip : (-)

Reflek Muntah : (+)

4. LARING

Laringoskopi Indirek

Epiglotis : Dalam batas normal

Plika Ariepiglotika : Dalam batas normal

Pita Suara Asli : Dalam batas normal

Page 6: Preskas Tht Subang

Pita Suara Palsu : Dalam batas normal

Aritenoid : Dalam batas normal

Rima Glotis : Dalam batas normal

Fossa Piriformis : Dalam batas normal

Trakhea : Dalam batas normal

5. MAKSILOFASIAL

Simetris

Nyeri tekan pada sinus (-)

6. LEHER DAN KEPALA

KGB : -

Letak : -

Massa : -

IV. RESUME

Telah diperiksa pasien perempuan berumur 13 tahun, seorang pelajar datang ke

Poliklinik THT RSUD Subang dengan keluhan terasa ada yang mengganjal di

tenggorokannya sejak 3 hari SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan demam yang naik

turun, nafsu makan menurun dan badan lemas. Menurut Ibunya pasien sering bernafas

melalui mulut saat tidur dan terdengar suara ngorok. Keluhan disertai dengan batuk dan

pilek.

Keluhan adanya nyeri saat menelan ataupun sakit pada tenggorokannya disangkal. 2

bulan lalu pasien pernah mengalami keluhan nyeri saat menelan, terasa bengkak dan nyeri

pada bagian tenggorokannya yang dirasakan terutama setelah pasien minuman dingin dan

terkadang keluhan tersebut hilang sendiri tanpa pengobatan. Menurut ibunya pasien sering

mengkonsumsi minuman dingin, makanan pedas , ceblak dan basreng. Pasien juga senang

jajan sembarangan di sekitar sekolah. Riwayat pegal-pegal disangkal. Riwayat nyeri

telinga disangkal. Riwayat merokok disangkal

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang

dengan kesadaran compos mentis. Suhu : 37.3 0C , nadi 80 x/ menit , respirasi : 22x/menit

Page 7: Preskas Tht Subang

dan tekanan darah : 110/70 mmHg. Pada pemeriksaan fisik telinga dan hidung dalam batas

normal. Sedangkan dalam pemeriksaan tenggorok didapatkan arkus faring, uvula, dinding

faring dan palatum dalam batas normal. Pada inspeksi tonsil didapatkan T3-T3 terdapat

kripta melebar, terlihat detritus pada penekanan dan hiperemis. Refleks muntah positif.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Pemeriksaan darah rutin

- Usap tonsil

- Kultur resistensi

VI. DIAGNOSA KERJA

Tonsilitis Kronik Hipertrofi

VII. DIAGNOSA BANDING

-

VIII. PENATALAKSAAAN

Non medikamentosa:

o Kurangi atau hindari konsumsi gorengan, makanan pedas dan minum es.

o Hindari jajan sembarangan, membiasakan membawa bekal dari rumah

o Memperbaiki hygiene mulut

o Istirahat yang cukup

o Minum obat yang teratur

o Mengkonsumsi makanan bergizi seperti buah-buahan dan sayuran

Medikamentosa :

o Clindamycin 3 x 150 mg/ hari

o Paracetamol 3 x 500 mg/ hari

Operatif : Tonsilektomi

IV. PROGNOSA

Quo ad Vitam : ad bonam

Page 8: Preskas Tht Subang

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

Page 9: Preskas Tht Subang

TINJAUAN PUSTAKATONSILITIS KRONIK

I. PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga

mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila

pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).

Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran

infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada

semua umur, terutama pada anak.1,2

Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain

bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, dan virus

herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri grup A

Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan

juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3

Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang

berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan antara

nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik.5 Tonsilitis

kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan

terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data

dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi

berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi

ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam

berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan

submandibula.6

Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun

dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan

fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1

II. ANATOMI

PHARYNX

Page 10: Preskas Tht Subang

Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Bentuknya mirip

corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya

yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding

pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa, dan muscular.7

Gambar 1. Anatomi Pharinx

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasopharynx, oropharynx,

dan laringopharynx.7

1. Nasopharynx

Nasopharynx terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.

Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dandinding

lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis

occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat

didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang

miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir

posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang

berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding

lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Kumpulan jaringan

limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.7

Page 11: Preskas Tht Subang

Gambar 2. Pembagian Pharinx

2. Oropharynx

Oropharynx disebut juga mesopharynx, dengan batas atasnya adalah palatum

mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan

kebelakang adalah vertebra servikal.1

Oropharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan

dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus

pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa permukaan

bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah

antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga

posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid

dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari lidah menuju ke

epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso epiglotica

mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso

epiglotica mediana disebut vallecula.7

Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx

(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding

posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra

cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan

tonsila palatina diantaranya.7

Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,

tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila

lingual dan foramen sekum.1

Page 12: Preskas Tht Subang

Fossa Tonsilaris

Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral

oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus

dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 7

Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut

kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila.

Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah

keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari

fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul

yang sebenarnya.1

Gambar 3. Struktur pada Oropharynx

Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat

dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal

(adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk

lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil

saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah

intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil

biasanya melekat pada dasar lidah.1

Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut.

Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang

dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.8

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang

disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi

Page 13: Preskas Tht Subang

kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,

bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang

sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx,

sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1

Gambar 4. Cincin Waldeyer

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens, cabang

tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis dorsal.

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum

pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-

kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan

tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus

tiroglosus.1

Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena

palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-

pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting

dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan

belakang angulus mandibulae.7

3. Laryngopharynx

Laryngopharynx terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior

larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilage

cricoidea. Laryngopharynx mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding

anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang meliputi permukaan

Page 14: Preskas Tht Subang

posterior larynx. Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga,

keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan

membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa

piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.7

Gambar 5. Neurovaskularisasi pharynx

PERSARAFAN PHARYNX

Persarafan pharynx berasa ldari plexus pharyngeus yang dibentuk oleh cabang-

cabang nervus glossopharyngeus, nervus vagus, dan nervus symphaticus. Persarafan motorik

berasal dari pars cranialis nervus acessorius, yang berjalan melalui nervus vagus menuju ke

plexus pharyngeus, dan mempersarafi semua otot pharynx, kecuali m.stylophryngeuus yang

dipersarafi oleh nervus glossopharyngeus.7

Persarafan sensorik membran mukosa nasopharynx terutama berasal dari nervus

maxillaris. Membrana mukosa di sekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh nervus ramus

laryngeus internus nervus vagus.7

VASKULARISASI PHARYNX

Suplai arteri pharynx berasal dari cabang-cabang arteri pharyngea ascendens,

arteri palatina ascendens, arteri facialis, arteri maxillaris, dan arteri lingualis. Vena bermuara

ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian bermuara ke vena jugularis interna.7

SISTEM LIMFATIK PHARYNX

Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media dan

inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelanjar

getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening

jugulo-digastrik dan kelanjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir

ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.1

Page 15: Preskas Tht Subang

Gambar 6. Sistem Limfatik Pharynx

III. IMUNOLOGI

Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di

kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila

palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh

kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan

limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein

asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan

antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila

patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan

mengenal dan mengeliminasi antigen.9

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang

mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.

Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%.

Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,

sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke

sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel

limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik

sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.

Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing

dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen spesifik.9,10

Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada

kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah

Page 16: Preskas Tht Subang

terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang

masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk

memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan

panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam

jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong

diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara

mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum

(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi tonsil

sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel

limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.9,10

IV. EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab

tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan temuan

penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan pada

penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ; sebagai salah satu penyebab adalah

rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga

disebabkan ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering

menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.9

Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika

Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi

penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik

sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–

Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada

periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh

657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315

(48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India

dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%)

berjenis kelamin wanita.9

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-

anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies

Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih

Page 17: Preskas Tht Subang

sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit

Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa

muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang

asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 %

usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering

penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % .

Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak

sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9

Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang

dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh

38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.9

V. ETIOLOGI

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara

aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring

terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan9.

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang

mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase

resolusi tidak sempurna.13

Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri

aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman

yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus

grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen

infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan

Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella

catarrhalis.8,14

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok

didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu

Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus

grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,

Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.9

Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan

pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab

Page 18: Preskas Tht Subang

penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja).

Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan

timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi

mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan

obstruksi jalan napas yang akut. 14

Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi

atau pada anak-anak dengan immunocompromised.14

VI. PATOMEKANISME

Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman

menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu

waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di

tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang

infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh

misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid

superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit

polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa

juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga

kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus

sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di

sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1

VII.FAKTOR PREDISPOSISI

Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik

maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis

Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan

lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya

keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15

Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1

1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan

2. Higiene mulut yang buruk

3. Pengaruh cuaca

4. Kelelahan fisik

5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

Page 19: Preskas Tht Subang

VIII. GEJALA KLINIK

Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri

tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas.

Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.16

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,

kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di

tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga

sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua

gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik

berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,

kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya

mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya

hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17

Gambar 7. Tonsillitis kronik

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak

antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka

gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :10,18,19

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Page 20: Preskas Tht Subang

T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 8. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring

Gambar 9. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-

IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:

Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen

dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme

patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang

inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari

dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis

Page 21: Preskas Tht Subang

Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan

dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora

bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang

ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.20

Histopatologi

Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480

spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan

berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan

ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.

Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas

menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.20

X. DIAGNOSIS

Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis

secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk

menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan

diagnosis.

Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang

berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada

rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran

cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-

gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat

ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,16,17

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,

kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat dua

gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.17

Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa

organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan

streptokokus beta hemolitikus.8,17

XI. DIAGNOSIS BANDING

1. Tonsillitis difteri

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang yang

terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam

Page 22: Preskas Tht Subang

darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat dianggap cukup memberikan dasar

imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun

dan frekuensi tertinggi pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu:

umum, local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi

lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,

badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak

berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas

dan bersatu membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat erat pada

dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus,

kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai

leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan

tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, pada

saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan

dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1

Gambar 10. Tonsila Difteri

2. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala pada penyakit

ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut,

hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan

faring hiperemis, membran putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta

prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular

membesar.1

Page 23: Preskas Tht Subang

Gambar. 11 Angina Plaut Vincent

3. Faringitis

Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,

trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat,

karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam

reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus

terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala klinis secara umum

pada faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala.Pada

pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat

di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan

faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1

Gambar 12. Faringitis

4. Faringitis Leutika

Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada

penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan

dinding posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada

daerah faring yang tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar

mandibula yang tidak nyeri tekan.1

5. Faringitis Tuberkulosis

Page 24: Preskas Tht Subang

Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis

tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan

odinofagia.Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta

pembesaran kelanjar limfa servikal.1

Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok

dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan

jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.

XII.PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan

operatif.

1. Medikamentosa

Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,

pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral. 1,8

Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada

penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama

jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika

bukan disebabkan mononukleosis).9

2. Operatif

Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).

Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.

Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada penelitian Khasanov et al mengenai

prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa

sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak

36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi.9

Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap

15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki gejala

Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat penanganan dari

dokter umum dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke rumah sakit.9

Indikasi Tonsilektomi

Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum dievaluasi

secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan Tonsilitis akut

atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan

klinisi dalam memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak

ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas

Page 25: Preskas Tht Subang

tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT (Mawson 1967; McKee

1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang diikutkan dalam

review hanya 2 studi (Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak

memenuhi kriteria. Studi pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang

dengan infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang

tegas tentang tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya

perbedaan kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode

infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit

yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status

sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsilo-

adenoidektomi dilaporkan sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu, studi ini

meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak

kelompok kontrol yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi

kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak dapat

dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari desain dan

bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk abstrak).9

Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi

tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif

tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini

masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak

menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi. Indikasi absolut: a) Hiperplasia

tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang terkait dengan cor

pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral). c) Tonsilitis yang

menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan

tonsil yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang

(Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).

tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau adenitis

cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada orofacial atau gigi

(mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier streptococcus tidak berespon

terhadap terapi). h). otitis media recuren atau kronik.8,9,10

Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head and

Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 1

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang

adekuat

Page 26: Preskas Tht Subang

b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan

pertumbuhan orofacial

c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,

sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale.

d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak

berhasil hilang dengam pengobatan

e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan

f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta

hemolitikus

g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan

h. Otitis media efusa/otitis media supuratif

Kontraindikasi Tonsilektomi

Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila

sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan

imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko

anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 9,18

Persiapan Pasien Tonsilektomi

Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa

mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi

pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan

dengan perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama

kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang

mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab seperti

waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung

darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan

antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta

sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu

pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi.

Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200

IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya

dilakukan sebelum pembedahan.5,6,8

Page 27: Preskas Tht Subang

Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1

Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di

Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik

Guillotine dan diseksi.9, 21

Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil

dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran

mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai

mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk

menggangkat tonsil.

Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila

tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.

Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan

pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat

menyebabkan terjadinya luka bakar.

Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser

KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag

dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi.

Komplikasi Tonsilektomi

Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.

Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor

operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang

berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator

yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan

kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang

terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan

atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari

pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila

dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam

kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan

ligasi arteri karotis eksterna.21

Page 28: Preskas Tht Subang

Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara

guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan

jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi

patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21

Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu

immediate, intermediate dan late complication. 21

Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan

komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga

perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.

Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk

belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi.

Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan. 21

perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan

mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 22

Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate complication) dapat berupa

perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia

Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya

terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma

akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang

menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di

bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya

berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan

primer.21

Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis

uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah

yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat

mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis.

Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang-

kadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius.

Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil

berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru

jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. 21

Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila

berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya

Page 29: Preskas Tht Subang

sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup

banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 21

Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18

Immediate and Delayed Hemorrhage

Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh

terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi edema

oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.

Dehidrasi

Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang

obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan penurunan

mendadak tekanan intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan peningkatan

tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan

jalan napas.

Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut

Eustachian Tube Dysfunction

Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah

I. KOMPLIKASI

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa

rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi

secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis,

uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1

Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23

a) Abses peritonsil.

Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses

biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi

faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.

Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus.

Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.

Page 30: Preskas Tht Subang

Gambar. Abses peritonsil

b) Abses parafaring.

Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,

demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah

medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.

c) Abses intratonsilar.

Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan

penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang

bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian

antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.

d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).

Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari

debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu

terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat

terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah

rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah

dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.

e) Kista tonsilar.

Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas

tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.

f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.

Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada

43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus

beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan

Page 31: Preskas Tht Subang

faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa

terjadinya penyakit Glomerulonefritis.

II. PROGNOSIS

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan

pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita

Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika

tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila

penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada

dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi

yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang,

Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.9

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.

2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan 18).

Available from URL: http://emedicine.medscape.com/

3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan

18). Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/

4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited, 2012 Jan

17). Available from: URL: http://www.medicinenet.com

5. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The

Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58

6. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and

Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.

Page 32: Preskas Tht Subang

7. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:

ECG, 2006. p795-801.

8. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,

1997. p263-340

9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan

Tahun 2009. 2011.pdf

10. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:

Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.

11. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran

Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum

Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.

12. Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of Otolaryngology-

Head & Neck Surgery. Pdf.

13. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20). Available from: URL:

http://www.entfastbleep.com

14. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. [online].2000.

[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.pediatricsinrewiew.com

15. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of Reccurent

Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.

Archotolaryngelheadnecksurg.com

16. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu Kesehatan

Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4

17. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2.

Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.

18. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck

Surgery. p158-165

19. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck

Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508

20. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With

Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.

[online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline

International .com

Page 33: Preskas Tht Subang

21. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. [online].1993.[cited,

2012 Jan 25]. Available from: URL: http://www. cerminduniakedokteran .com

22. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:

Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.

23. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current

Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.