Presentasi Kasus Anak

download Presentasi Kasus Anak

If you can't read please download the document

Transcript of Presentasi Kasus Anak

Presentasi Kasus Bedah AnakPeriode 8 Oktober 2012-10 Oktober 2012

SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA 2 BULAN DENGAN MEGACOLON CONGENITAL

Oleh : Margareta Grace (G9911112091)

Pembimbing: dr. Suwardi, Sp.B., Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH SMF ILMU BEDAH FK UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2012

STATUS PASIEN A. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS) 1. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Agama Alamat No RM Masuk RS Pemeriksaan : By. A : 2 bulan : Laki-laki : Islam : Telukan, Surakarta : 01142620 : 6 Oktober 2012 : 9 Oktober 2012

2. KELUHAN UTAMA Diare sejak umur 15 hari

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Sejak lahir, pasien mengeluhkan susah buang air besar sejak 3 hari. Dari umur 15 hari sampai umur 2 bulan, pasien mengeluhkan BAB cair (+). Demam (+), muntah (+), kuning (-), batuk (+), sesak (+). Pasien mondok ke RSUD Sukuharjo selama 3 hari dengan diagnosis diare cair akut, dehidrasi berat, dan anemia. Kemudian pasien dirujuk ke RSDM. Riwayat BAB pertama baru keluar pada hari ke 2 setelah lahir dengan bantuan colok dubur oleh bidan setempat. Setelah itu, BAB (+) setiap hari 2-3x dengan volume sedikit dan cair, warna kuning, lendir (-), darah (-).BAK lancar dan tidak ada kelainan. Pasien tetap rutin mengkonsumsi ASI eksklusif. Pasien lahir di RSUD Sukuharjo dengan usia kehamilan 9 bulan, berat badan lahir 3,4 kg, dan langsung menangis kuat. Riwayat biru sejak lahir (-), sesak sejak lahir (-).

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat alergi Riwayat asma Riwayat demam Riwayat mondok : disangkal : disangkal : disangkal : pernah mondok 3 hari di RSUD Sukuharjo dengan keluhan yang sama. Riwayat operasi : disangkal

5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Riwayat asma Riwayat hipertensi Riwayat DM Riwayat batuk lama Riwayat alergi Riwayat sakit serupa : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

6. RIWAYAT KEHAMILAN IBU Riwayat demam Riwayat merokok Riwayat konsumsi alkohol : disangkal : disangkal : disangkal

Riwayat ketuban pecah dini : disangkal Riwayat hipertensi kehamilan : disangkal

7. RIWAYAT PERSALINAN Pasien lahir secara sectio Caesar di RSUD Sukoharjo dengan usia kehamilan 9 bulan (aterm). Berat Badan lahir 3,4 kg dan langsung menangis kuat.

8. RIWAYAT GIZI Pasien mendapat ASI dengan BB= 3 kg

B. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan di Melati 2 Kamar 5F RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 09 Oktober 2012. KU: tampak sakit sedang, gizi kesan kurang, compos mentis Tanda Vital: Heart rate Respirasi Suhu Kulit : 160 x/menit : 62x/menit : 38 C : Warna sawo matang, turgor baik, petekie (-) sianotik (-) ikterik (-) Kepala Mata : Mesocephal : Conjungtiva anemis (+/+) sclera ikterik (-/-) Reflek cahaya (+/+), epicantal fold (+),pupil isokor (+/+) Hidung : Nafas cuping hidung (-) secret (-) darah (-) septum deviasi Telinga Mulut (-)

: Sekret (-/-) darah (-/-) : Sianosis bibir (-) mukosa basah (+) faring hiperemis (-)

Leher Thorax Jantung

: Deviasi trachea (-) pembesaran KGB (-) : Normochest, simetris, retraksi (-)

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak kuat angkat : batas jantung kesan tidak melebar : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Pengembangan dada kanan=kiri : Fremitus raba kanan=kiri : Sonor/sonor : SDV (+/+) ST (-/-)

Genitourinaria

: BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-).

Ekstremitas Akral dingin-

Edema

-

-

III.

Status Lokalis Regio Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi Regio Anal Rectal Toucher : TMSA normal, mukosa licin, tidak teraba massa, feces (+), BAB nyemprot (+) : Dinding perut // dinding dada, distensi (+) : Bising usus (+) batas normal : hipertympani : supel, nyeri tekan (-)

C. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Pemeriksaan Laboraturium tanggal 06 Oktober 2012: Hematologi rutin Hb Ht E L T Elektrolit Natrium Kalium Serologi HbsAg : (-) : 132 mmol/l : 3,4 mmol/l : 5,9 : 18 g/dl %

: 2,09 x 106/l : 20,6 x 103/l : 105 x 103/l

Hasil Foto Abdomen tanggal 06 Oktober 2012:

Tampak bayangan gas usus prominent di colon hingga rectum disertai dengan gambaran dilatasi colon Tampak terpasang marker berbentuk segitiga di anus

Kesan : Suspek Megacolon

Hasil Colon in Loop tanggal 09 Oktober 2012:

Kontras Study: Pada pengisian kontras tampak aganglioner segmen di sigmoid dengan dilatasi kaliber colon di proksimalnya Kesan : Megacolon Congenital

D. ASSESMENT Megacolon Congenital

E. PLANNING Injeksi Cefotaxim 150 g/ 12 jam Infus D5 N5 10 tpm Diet ASI on demand Pro TAERP

TINJAUAN PUSTAKA

MEGACOLON CONGENITAL

Pendahuluan Megacolon congenital merupakan kelainan yang sering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kelainan ini pleksus mienterikus (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak ada, sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Keadaan ini bisa muncul sesaat setelah kelahiran, dan menyebabkan konstipasi yang hebat, distensi abdomen, kadang muntah, serta gangguan pertumbuhan pada keadaan yang berat. Megacolon congenital juga dikenal sebagai congenital aganglionesis, aganglionic megacolon, atau Hirschsprungs disease (Wylie, 2007). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Insidens penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan (Kartono, 2004). Definisi Megacolon congenital (Hirschsprungs disease) adalah dilatasi kolon yang abnormal yang disebabkan tidak adanya sel ganglion mienterik pada segmen distal usus besar secara kongenital. Kehilangan fungsi motorik pada segmen ini akan menyebabkan dilatasi hipertrofik massif pada kolon proksimal yang normal. Segmen yang aganglioner biasanya tetap menyempit, tetapi bisa berdilatasi secara pasif (Dorland, 2002).

Gambar 1. Ilustrasi megacolon congenital Etiologi Secara genetis, megacolon congenital bersifat heterogen, dan diketahui terdapat beberapa defek yang berlainan serta menimbulkan akibat yang sama. Sekitar 50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena merupakan jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf mienterikus. Banyak kasus sisanya terjadi akibat mutasi endotelin 3 dan reseptor endotelin (Kumar, 2007). Teori lain mengenai etiologi yang mendasari megacolon congenital ini adalah defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Namun, ada yang menyatakan bahwa neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi gagaluntuk bertahan, berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut (Lee, 2009). Patofisiologi Penyakit Hirschsprung (megacolon congenital) merupakan penyakit kongenital. Kelainan yang ada pada megacolon congenital yaitu ketiadaan ganglion atau aganglionosis saraf intrinsik usus, mulai dari muskulus sfingter ani internum sampai ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu. Paling banyak, yaitu 80% dari keadaan aganglionosis ini terjadi pada segmen rektosigmoid. Selain aganglionosis, kelainan yang ditemui pada penyakit ini adalah hipertrofi persarafan usus eksterna terutama saraf kolinergik.

Tidak adanya pleksus mienterikus (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meisner) menyebabkan berkurangnya fungsi usus dan peristaltik. Sel ganglion usus berkembang dari neural crest. Pada perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan pada usus kecil pada usia gestasi 7 minggu dan mencapai kolon pada usia 12 minggu. Defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Teori lain menyatakan bahwa neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi terjadi kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut. Teori ini dapat disebabkan karena kurangnya komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel neuron seperti fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor neurotropik. Ada dua pleksus yang mempersarafi usus, yaitu pleksus submukosa (Meisner) dan pleksus mienterikus (Auerbach) serta pleksus mukosa yang kecil. Pleksus-pleksus ini terintegrasi dan terlibat dalam berbagai aspek dari fungsi usus meliputi absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas normal terutama dikontrol oleh neuron interinsik. Ganglion sebagai neuron interinsikberfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari usus halus. Kontrol eksterinsik terutama melalui persarafan kolinergik dan adrenergik. Kolinergik menyebabkan kontraksi dan adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada pasien megacolon congenital, sel ganglion tidak ada sehingga menyebabkan meningkatnya inervasi ekstrinsik. Inervasi dari sistem kolinergik maupun adrenergik meningkat 2-3 kali dari inervasi normal sehingga menyebabkan meningkatnya tonus usus halus. Dengan hilangnya inervasi intrinsik dan meningkatnya tonus usus halus yang tidak dihambat, menyebabkan terjadinya kontraksi otot tidak seimbang, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. Obstruksi ini mengakibatkanusus tidak mampu meneruskan gerakan peristaltikke bagian yang lebih distal yang tidak mengandung sel ganglion dan juga tidak ada reflek membuka pada muskulus sfingter ani internum(Lee, 2009).

Manifestasi Klinis Tiga tanda khas darimegacolon congenital, yaitu: 1. Keterlambatan evakuasi mekoneum lebih dari 24-48 jam pertama Pada 99% bayi yang lahir cukup bulan (aterm) mekoneum keluar dalam 48 jam pertama setelah kelahiran. Megacolon congenitalperlu dicurigai pada bayi yang lahir cukup bulan yang mengalami keterlambatan evakuasi mekoneum. Meskipun pada beberapa bayi dapat mengeluarkan mekoneum secara normal, tetapi pada akhirnya akan berlanjut menjadi konstipasi kronik. Gejala lain yang mungkin terjadi pada neonatus lainnya seperti konstipasi yang diikuti diare berlebih yang sering teridentifikasi sebagai enterokolitis, abdomen yang meregang, dan kegagalan perkembangan. 2. Distensi abdomen Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tanda-tanda edema, bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan sekitar genitalia ditemukan bila terjadi komplikasi peritonitis. Gambaran abdomen tersebut mirip dengan gambaran abdomen pada penyakit lain seperti enterokolitis nekrotikans neonatal, atresia ileum dengan komplikasi perforasi, atau peritonitis intrauterin. 3. Muntah yang berwarna hijau Muntah berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat terjadi pula karena gangguan pasase usus, seperti atresia ileum, enterokolitis nekrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine (Kartono, 2004). Diagnosis A. Anamnesis Anamnesis (alloanamnesis) didapatkan riwayat keterlambatan evakuasi mekoneum. Mekoneum normal berwarna hijau, sedikit lengket, dan dalam jumlah yang cukup. Selain itu, didapatkan keluhan lainnya seperti distensi abdomen (kembung) dan muntah hijau sebagai akibat dari obstruksi usus letak rendah. Megacolon congenital dengan komplikasi enterokolitis menampilkan distensi abdomen disertai diare dengan fases cair becampur mucus dan berbau busuk, dengan atau tanpa darah, dan umumnya berwarna kecoklatan. Pada anak

yang sudah besar terdapat keluhan konstipasi kronik sejak lahir dan menunjukkan kesan gizi kurang. Biasanya pasien mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit yang sama. B. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen yang membuncit, kembung, dan tampak pergerakan usus. Pada Pemeriksaan rectal toucher ketika jari ditarik keluar diikuti keluarnya fases yang menyemprot. C. Pemeriksaan penunjang Untuk mendeteksi megacolon congenitalsecara dini pada neonatus dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium. 1. Foto polos abdomen Megacolon congenitalpada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Jarang terlihat udara bebas intraperitonial yang menginisiasi adanya perforasi usus proksimal karenamegacolon congenital. Gambaran obstruksi letak rendah seperti pada atresia ileum, sindrom sumbatan mekoneum, atau sepsis. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi ileum dan distensi kolon sulit dibedakan. Pada pasien bayi dan anak, gambaran distensi kolon dan massa fases lebih terlihat jelas (Andrassy, 2000). 2. Foto enema barium Enema barium berisi kontras cairan yang larut dalam air dan memiliki reliabilitas yang tinggi. Gambaran yang karakteristik pada aganglionosis kolon adalah barium akan masuk ke dalam rectum yang tidak mengembang, kemudian masuk ke area yang berbentuk corong, dan selanjutnya masuk ke dalam kolon yang melebar (megakolon), ini adalah gambaran dari aganglionosis segmen pendek. Pada aganglionosis segmen panjang akan tampak seluruh kolon menyempit sehingga tidak dapat dilihat area berbentuk corong (Hasmija, 2007).

3. Pemeriksaan Patologi Anatomi Biopsi rektal merupakan gold standar untuk diagnosismegacolon congenital. Swenson pada tahun 1955 mengeksisi seluruh tebal dinding muskulus rectum sehingga pleksus meinterikus dan bagian submukosa dapat diperiksa. Terdapatnya ganglion dalam specimen biopsi menyingkirkan diagnosismegacolon congenital, begitu juga sebaliknya (Kartono, 2004). Penatalaksanaan Pada dasarnya terapi untuk megacolon congenitaladalah pembedahan dengan mengangkat segmen usus yang aganglioner, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada megacolon congenitalberupa bedah sementara dan bedah definitif. A. Tindakan bedah sementara Tindakan dekompresi dengan pembuatan kolostomi di kolon berganglion normal yang paling distal merupakan tindakan bedah pertama yang harus dilakukan. Tindakan ini dilakukan untuk menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis yang dikenal sebagai penyebab utama kematian. Kolostomi tidak dilakukan bila tindakan dekompresi secara medik berhasil dan langsung direncanakan bedah definitif. Kolostomi dilakukan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, dan pasien dengan enterokolitis yang berat disertai keadaan umum yang memburuk (Kartono, 2004). B. Tindakan bedah definitif Ada beberapa cara pembedahan untuk tindakan bedah definitif, antara lain: 1. Prosedur Swenson Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi megacolon congenitaldengan metode pull-through. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan

sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I. Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I (Kartono , 2004). 2. Prosedur Duhamel. Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi kerusakan nervi erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah pelvis. Duhamel melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan tersebut dengan cara melakukan penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui bagian posterior rektum. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, dipasang kateter sehingga vesika urinaria kosong dengan maksud agar visualisasi rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan secara paramedian atau transversal. Arteria hemorrhoidalis superior dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan rektum. Kolon proksimal dimobilisir sehingga panjang kolon akan mencapai anus. Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembuluh darah dan kolon proksimal dengan cara menghindari regangan yang berlebihan. Setelah segmen kolon yang aganglionik direseksi, puntung rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar refleksi peritonium dan ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal dibuka sehingga seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan. Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat sayatan endoanal setengah lingkaran dan dari lubang sayatan ini segmen kolon proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang anus dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian dilakukan anastomosis end to side setinggi sfingter ani internus. Anastomosis dilakukan dengan

pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemotongan septum yang tidak sempurna (Holschneider, 2005). 3. Prosedur ENDORECTAL PULL THROUGH ( SOAVE ). Prinsip teknik ini adalah diseksi ekstramukosa rektosigmoid yang mulamula dipergunakan untuk operasi atresia ani letak tinggi. Persiapan preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi rektum, dilatasi anorektal manual serta pemberian antibiotik. Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal, dengan membuang lapisan mukosa

rektosigmoid. Posisi pasien terlentang dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen pararektal kiri melewati lubang kolostomi dan dipasang kateter. Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik kedistal melewati cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong setelah 21 hari. ( Kartono, 2004 ). 4. Prosedur Boley. Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih dulu ( Kartono, 2004 ). 5. Prosedur Rehbein. Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian dilakukan anastomosis end to end antara kolon yang berganglion dengan sisa rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Teknik ini sering menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih panjang (Holschneider dan Ure, 2005).

6. Prosedur miomektomi anorektal. Pada pasien-pasien dengan megacolon congenitalsegmen ultra pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion ( Teitelbaum at al, 2006 ). 7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through. Teknik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidone-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa. Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konstipasi dan striktur anastomosis (Langer, 2004). Komplikasi Komplikasi bedah pasca operasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, infeksi, perlukaan pada organ sekitar serta risiko anaestesi. Pada penderita yang dilakukan kolostomi dapat terjadi komplikasi retraksi stoma, striktur, prolaps dan ekskoriasis kulit. Komplikasi kebocoran usus, striktur dan retraksi setelah tindakan anastomosis dapat dicegah dengan cara pengamatan yang teliti pada keadaan vaskularisasi kolon yang akan dilakukan pull-through serta menjaga agar anastomosis usus tidak dalam keadaan teregang. Komplikasi-komplikasi lain dapat muncul terlambat antara lain obstruksi, inkontinensi serta enterokolitis yang dapat terjadi pada 50% kasus (Langer, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Andrassy RJ, Isaacs H, Weitzman JJ. 2000.Rectal Suction Biopsy for the Diagnosis of Hirschsprungs Disease.http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=13450 Hasmija MH, Nunik A. 2007. Total Megacolon Congenital Aganglionesis Colon/ Penyakit Hirschsprung. Berkala Kesehatan Klinik. 13: 118-122 Holschneider A, Ure BM. 2005. Pediatric Surgery: Hirschsprungs Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto Kumar V, James M C. 2007. Buku Ajar Patologi: Penyakit

Hirschsprung/Megakolon Kongenital. Jakarta: EGC Langer JC. 2004. Persistent obstructive symptoms after surgery for Hirschsprung's disease: development of a diagnostic and therapeutic algorithm. J Pediatr Surg. 39:1458. Lee SL, Shekerdimian S, DuBois. 2009. Hirschsprungs Disease. http://www.emedicine.medscape.com Teitelbaum DH and Coran AG. Pediatric Surgery: Hirschsprungs Disease and Related Muscular Disorders of the Intestine. Philadelphia: Mosby Elsivier Wylie R. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics: Motility Disorder and Hirschsprungs Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders