PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

download PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

of 24

Transcript of PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    1/24

    PRAGMATISME KEBERAGAMAAN : Kesadaran Normatif

    Oleh Rum Rosyid, Dosen Sosiologi Politik, FKIP Untan Pontianak

    Pragmatisme juga terdapat dalam mengemukakan ajaran agama. Hal ini terjadi berkenaan

    dengan keabsahan perempuan jadi presiden. Item ini dipertentangkan secara terbuka di

    hadapan umat dari suatu komunitas kultur keberagamaan yang sama. Hal ini diperparahdengan silat lidah untuk mendukung seseorang dan menghujat yang lainnya atas nama

    organisasi keagamaan terhadap person-person tertentu yang berasal dari komunitas yang

    sama juga. Hal ini semua menunjukkan bahwa ternyata banyak terminologi agamadipakai hanya untuk tujuan-tujuan mencapai kekuasaan semata. Pada sisi lain, lantaran

    ternyata membawa bendera agama tersebut berujung pada kekalahan, maka sebaiknya

    dipikirkan, masih relevankah membawa bendera agama ke dalam kegiatan politik? Bila

    melihat hasilnya, sepertinya umat ini sudah tidak tertarik lagi oleh partai yang membawabendera agama. Perhelatan Pilpres 2009 telah menggambarkan betapa umat Islam tak

    berdaya menentukan nasibnya sendiri. Mereka hanya menjadi obyek pemilu. Ini kian

    kentara ketika partai-partai yang mengaku Islam terjebur dalam lumpur kekuasaan dan

    dengan gegap gempita merapat ke partai sekuler. Padahal sebelumnya para petinggi-petinggi partai itu mengatakan haram memilih partai sekuler.

    Namun jangan disimpulkan bahwa umat tidak mau berpolitik dengan jiwa keagamaan.

    Umat justru sangat mengharapkan pemimpin politik yang agamis. Ideologi Islam itu

    sekecil apapun pasti melekat erat dalam keislaman seorang Muslim, apalagi pada diri

    seorang kyai atau ulama. Hanya saja kadang ideologi ini kalah dengan doronganpragmatisme politik demi kekuasaan dan uang. Karenanya, di tengah arus besar

    pragmatisme politik dalam tatanan yang sekularistik sekarang ini memang tidak mudah

    untuk kokoh memegang atau mengembang ideologi Islam, termasuk bagi seorang kyaiatau ulama sekalipun. Namun sebagaimana dikemukakan gambarannya di atas, umat

    agak kurang percaya terhadap para pemimpin politiknya. Karena pemilih memangmayoritas umat Islam.

    Apalagi faktanya parpol Islam seperti PKS, PPP, PBB dan PMB, maupun parpol berbasis

    massa Islam seperti PAN, PKB dan PBR semua mendukung SBY. Maka, perolehan suaraSBY berdasar hitung cepat yang sekitar 60 persen bisa dianggap cerminan dari tingginya

    dukungan umat Islam. Kenyataannya umat memilih SBY semata berdasarkan popularitas

    dan kesan atau citra sebagai sosok yang meyakinkan, yang dianggap cukup berhasil

    memimpin Indonesia serta memuaskan rakyat banyak. Ukurannya sederhana. SBY lahyang mengasih BLT, menurunkan BBM, bikin sekolah gratis, menaikkan gaji guru dan

    sebagainya. Dengan memilih SBY, rakyat berharap program-program tadi bisa

    dilanjutkan. Mereka tidak terlalu ambil peduli soal-soal ideologis seperti isu neoliberal,pengaruh dan intervensi asing dalam pemerintahan SBY dan sebagainya. Buat mereka itu

    terlalu canggih untuk dipahami. Umat juga merasa pilihannya tidak keliru secara

    ideologis mengingat pada faktanya SBY juga didukung oleh semua parpol Islam atauparpol berbasis massa Islam. Artinya, umat merasa pilihannya juga cukup Islami. Tapi

    apakah endorsment (dukungan. red) partai-partai itu benar-benar didasarkan pada

    pertimbangan ideologis yang Islami ataukah semata berdasar pertimbangan pragmatisme

    politis demi didapatnya kue kekuasaan bagi para elit partai, hal ini tampaknya tidak

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    2/24

    terlalu dipikirkan oleh umat. Yang mereka lihat, partai-partai itu semua mendukung

    SBY.

    Pernyataan ini membuktikan bahwa isu syariah dimata parpol Islam dan aktivisnya hanya

    akan melahirkan pro kontra bahkan mungkin penolakan di tengah masyarakat. Kemudian

    membuat logika sederhana lagi: toh seandainya kami mayoritas, kami bisa melakukanapapun, termasuk memberlakukan syariat Islam. Deideologisasi parpol Islam

    menunjukkan bahwa parpol Islam kian jauh dari amanah utamanya untuk menyeru agar

    syariat Islam diterapkan secara kffah melalui dukungan menyeluruh dari masyarakat(yang sudah sadar bahwa Islam sebaik-baik solusi problematika mereka). Oleh karena itu,

    bagaimana mungkin muncul kesadaran itu kalau syariat Islam tidak disampaikan secara

    terbuka kepada masyarakat sejak dini.

    Tepat 9 April 2009, serentak di seluruh daerah Indonesia melaksanakan pemilu untuk

    memilih anggota legislatif. Seperti perkiraan sebelumnya, parpol sekuler (walau

    sebenarnya kebanyakan parpol Islam peserta pemilu juga layak disebut parpol sekuler)

    tetap menjadi juara. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya tak ada perubahan mendasardalam pandangan masyarakat atas parpol Islam yang terjun dalam lingkaran demokrasi

    Indonesia. Padahal, kepercayaan masyarakat inilah yang menjadi indikasi seberapa besarparpol atau jamaah memiliki dukungan. Karena umat sudah punya pilihan sendiri dengan

    pertimbangan sendiri, dan pilihan itu dirasa lebih sesuai dengan selera mereka. Boleh saja

    para kyai atau tokoh umat menentukan pilihan dan menyerukan umat untuk juga memilih

    pilihan itu, tapi ketika arahan itu tidak sesuai dengan selera mereka, maka merekalebih cenderung kepada pilihannya sendiri. Apalagi pilihan para kyai dan tokoh umat

    juga masih bisa dipertanyakan keislamannya. Maksudnya, umat tentu boleh bertanya

    apakah betul pilihan para kyai dan tokoh umat itu adalah figur yang betul-betul Islami?Umat tahu, calon pilihan kyai dan tokoh umat itu akhirnya menjadi capres adalah setelah

    dirinya ditolak oleh SBY. Artinya, dia menjadi calon presiden itu bukan karena sejak dari

    awal memang hendak memperjuangkan sesuatu yang bersifat Islami, tapi lebih karenaketerpaksaan politik setelah dirinya tidak lagi bisa berpasangan dengan SBY.

    Karenanya, wajar jika dukungan para kyai dan tokoh umat itu dirasakan tidak cukup kuatmemberikan legitimasi akan keislaman dari calon tersebut. Hal-hal seperti ini dibaca

    oleh umat. Meski di sepanjang waktu kampanye ada usaha keras untuk menunjukkan

    bukti tentang peran beliau bagi kepentingan Islam di negeri ini, tapi tampaknya hal itu

    sekali lagi tidak cukup kuat menggeser selera umat dari SBY yang pada saat yangsama, bersama parpol-parpol Islam atau parpol-parpol berbasis Islam, juga berusaha

    menunjukkan keIslamannya.

    Dalam dunia politik Indonesia, ternyata ada beberapa kemajuan dari parpol Islam. Kini,

    parpol Islam tidak lagi menggunakan ayat alias isu Islam atau syariat Islam sebagai isu

    kampanyenya. Justru isu-isu moralitas dan isu-isu parsial seperti pemberantasan KKN,kehidupan serba gratis dan isu perubahan semu yang diobral. Karena itu, parpol Islam

    dikatakan lebih takut aturan KPU dibanding aturan Allah sang Pencipta manusia. Atau

    ironisnya lagi, mereka seolah mengamini dan mengikuti statement tokoh parpol Islam

    dengan jargon bersih, peduli, profesional yang mengatakan bahwa "Partai kami tak

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    3/24

    akan menjual isu syariat Islam pada pemilu 2009. Ini agar partai kami bisa menempatkan

    orangnya di kekuasaan. Soal syariat Islam dan sebagainya, sudah tidak relevan lagi bagi

    partai kami."

    Soal kecenderungan pragmatisme politik yang terjadi pada semua partai-partai Islam,

    sebenarnya itu tidak terlalu mengejutkan. Tapi di situlah memang letak tantangannya.Meletakkan idealisme di tengah pusaran arus pragmatisme yang demikian kuat. Bila

    berpegang pada idealisme Islam, sebenarnya kumpulan parpol Islam dan parpol berbasis

    massa Islam itu punya cukup suara untuk mengajukan calonnya sendiri. Tapi, karenadorongan pragmatisme politik maka semangat idealisme Islam itu pun tergusur. Saking

    pragmatisnya, cawapres Boediono yang sebelumnya dikecam habis-habisan toh akhirnya

    didukung juga dengan berbagai dalih. Bukan dalil. Dalil itu dari Alquran dan As Sunnah.

    Sementara dalih, dicari-cari atau diada-adakan untuk melegalkan pilihan politik itu. Jadi,kalau kita boleh menyebut, sekarang ini lebih deras mengalir arus politisasi Islam dari

    pada Islamisasi politik. Politisasi Islam itu menjadikan (massa) Islam sebagai alat untuk

    meraih tujuan politik, sedang Islamisasi politik itu menjadikan politik sebagai alat untuk

    meraih tujuan Islam.

    Dalam politik praktis di mana tujuan utamanya meraih kursi kekuasaan, sementarapilihan-pilihan politik yang ada secara faktual terbatas, misalnya dalam Pilpres lalu yang

    hanya dengan tiga pasang pilihan, memang akan cenderung membawa siapapun untuk

    bersikap lebih pragmatis. Bagaimana mau mempertahankan idealisme bila pilihan untuk

    itu menurutnya tidak ada. Maka, politik idealistik dalam konteks seperti itu akandianggap tidak realistik. Meski demikian, Politik aliran dalam arti politik Islam tidak

    pernah dan tidak akan pernah hilang. Buktinya, parpol Islam masih ada, dan masih cukup

    mendapat dukungan. Gabungan suara PKS, PPP, PBB, PMB dan PKNU dalam pemilulalu saya kira masih mendekati angka 20 persen.

    Buktinya lagi, parpol seperti PAN dan PKB juga tetap terus berusaha menjagaindentifikasi diri sebagai partainya orang-orang Muhammadiyah atau NU, karena mereka

    tahu di situlah basis utama mereka. Dan gabungan suara kedua partai itu dalam Pileg lalu

    masih mendekati angka 10 persen. Bila angka ini digabung dengan perolehan suaraparpol Islam, masih pada kisaran 30 persen. Itu artinya, 1 dari 3 orang di Indonesia masih

    melekatkan pilihan politiknya pada sesuatu yang berbau Islam. Jadi, politik aliran dalam

    arti politik yang disemangati oleh Islam itu masih ada. Hanya ekspresinya saja yang

    berubah-ubah, atau berbeda-beda dari waktu ke waktu. Di masa Orde Baru atau di awalera reformasi, sikap idealisme masih cukup tampak. Tapi sekarang ini, ekspresi

    pragmatisme yang lebih dominan. Mungkin para elit parpol merasa, bila berpolitik itu

    untuk mendapatkan kekuasaan, maka sikap seperti ini (pragmatis) lah yang paling tepat.Contohnya, dalam Pilpres lalu. Mereka mendukung calon presiden dengan prinsip yang

    paling mungkin menang. Bukan mana yang lebih Islami. Karena dalam berbagai survai,

    SBY lah yang paling banyak mendapat dukungan, maka ke sanalah dukungan itudiberikan. Dan ternyata pilihan itu tidak keliru. SBY menang. Satu putaran lagi, dengan

    angka yang cukup telak pula.

    Pragmatisme Keberagamaan : MUI

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    4/24

    Sebagai pemandu umat, posisi ulama dalam perubahan sangatlah sentral. Bila ulama

    adalah pewaris nabi, dan yang diwariskan nabi adalah risalah Islam dengan dakwahnya

    itu di mana inti dari dakwah adalah perubahan, maka ulama harus mampu menjadiinspirator dan motivator bagi umat untuk selalu berubah ke arah yang lebih baik

    menurut tolok ukur Islam. Seperti sering disebut, bahwa tidak ada yang tetap di dunia ini

    kecuali perubahan itu sendiri. Tentu bukan asal berubah, tapi perubahan yang terarah.Dari yang tidak Islami menuju yang Islami. Dari yang sudah Islami menuju ke arah yang

    lebih Islami lagi. Begitu seterusnya. Maka, bagi seorang ulama sejati, sesungguhnya tidak

    ada sesuatu yang final, kecuali kebenaran dari risalah Islam itu sendiri. Jadi aneh kalauada yang bilang bahwa misalnya NKRI itu final. Masak negara dengan segudang problem

    seperti ini disebut final? UUD 45 saja masih terus berubah. Sudah empat kali

    diamandemen, dan kini sedang disiapkan amandemen yang kelima. Bagaimana sesuatu

    yang masih terus memerlukan perubahan itu disebut final?

    Para ulama juga bisa harus menjadi teladan bagi umat. Bila perjuangan ini memerlukan

    kesabaran dan konsistensi serta menjauhi sikap pragmatisme yang bakal mengaburkan

    arah perjuangan, maka umat melihat kesabaran dan konsistensi itu pada diri para ulama.Bila untuk itu diperlukan pengorbanan, umat juga melihat ulama telah melakukan itu.

    Dengan keteladanan semacam ini, maka jiwa atau ruh perjuangan yang murni akanmerembas kepada umat. Dan ini akan menjadi kekuatan dahsyat bagi dakwah itu sendiri,

    karena dakwah dipimpin oleh ulama yang dipercaya oleh umat.

    Menurut penelitian Siti Musdah Mulia, selama kurun waktu 22 tahun ( 1975 s.d. 1997)MUI telah mengeluarkan sebanyak 76 fatwa. Isi fatwa itu dapat dikelompokkan ke daam

    lima kategori, yakni ibadah, paham keagamaan, masalah sosial kemasyarakatan, ilmu

    pengetahuan dan teknologi, serta penerapan status halal makanan dan minuman. Rincianfatwa tersebut, berkaitan masalah sosial kemasyarakatan ada sebanyak 29 fatwa, masalah

    ibadah 19 fatwa, masalah penetapan makanan dan minuman halal 14 fatwa, dan masalah

    paham keagamaan dan yang menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi masing-masing7 fatwa. Dapat dilihat di sini, masalah keagamaan yang paling banyak mendapat respons

    dari MUI adalah masalah sosial-kemasyarakatan, seperti masalah perkawinan, adopsi

    anak, keluarga berencana, panti pijat, HIV/AIDS, perjudian, dan reksadana syariah.Setelah tahun 1997, fatwa-fatwa MUI lebih banyak menyoroti soal status hukum

    makanan, minuman, obat, dan produk kosmetik. Masalah giro, tabungan, asuransi haji,

    dan pasar modal masuk ke dalam kategori masalah ekonomi atau fiqh muamalah yang

    disoal oleh fatwa MUI.

    Terdapat sebelas fatwa yang dikeluarkan MUI dalam Munas-nya yang ketujuh yang

    berlangsung di Jakarta akhir Juli 2005 lalu. Dalam buku kumpulan hasil MusyawarahNasional MUI (2005) menyebutkan kesebelas fatwa tersebut menyangkut masalah

    perlingungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), perdukunan (kahanah) dan peramalan

    (irafah), doa bersama, perkawinan beda agama, kewarisan beda agama, kriteriamaslahat, pluralisme-liberalisme dan sekularisme agama, pencabutan hak milik pribadi

    untuk kepentingan umum, wanita menjadi imam shalat, hukuman mati dalam tindak

    pidana tertentu dan kelompok Ahmadiyah. Soal fatwa terhadap Ahmadiyah ini sangat

    getol dilontarkan Maruf Amin, seorang pimpinan syuriah (penasehat) PBNU, yang juga

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    5/24

    termasuk jajaran pengurus MUI pusat. Posisinya yang mendua (double standart), yakni

    antara MUI dan PBNU sempat membuat ricuh suasana Rapat Kerja (Raker) PBNU

    akhir September 2005 yang berlangsung di Bogor.

    Menurut sebuah sumber yang dapat dipercaya, yang juga merupakan peserta raker

    tersebut, Maruf Amin mendesak agar PBNU mengeluarkan fatwa sesat terhadapAhmadiyah. Kontan, pernyataan Maruf Amin mendapat tentangan keras dari jajaran

    pengurus PBNU lainnya yang tidak sependapat, termasuk Ketua Umum PBNU Hasyim

    Muzadi. Dalam pernyataannya merespon silang pendapat itu, terutama menyikapi ataslontaran Maruf Amin, Hasyim Muzadi menekankan bahwa soal pelarangan aliran Islam

    lain bukan merupakan persoalan PBNU secara organisatoris. Menyangkut aliran Islam

    lain, PBNU menyerahkan sepenuhnya kepada pihak pemerintah untuk memutuskannya.

    Atas respon demikian, forum Raker PBNU itupun bersepakat dengan pernyataan ketuaumum-nya, dan tuntutan keluarnya pernyataan PBNU atas soal ahmadiyah bisa

    digagalkan.

    Menurut Musdah Mulia, ada dua bentuk keberadaan hukum Islam di Indonesia, hukumnormatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam, dan hukum formal yang

    dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Yang pertama menggunakanpendekatan kultural, sementara yang kedua menggunakan penghampiran struktural.

    Proses legislasi hokum Islam mengambil dua cara. Pertama, hukum Islam dilegislasikan

    secara formal untuk umat Islam, seperti UU Pengadilan Agama, Kompilasi Hukum

    Islam (KHI), UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan UU Pengelolaan Zakat.Kedua, materi-materi hukum Islam diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa

    menyebutkan detail-detail hukum Islam secara formal, seperti UU Perkawinan No.1

    Tahun 1974. Akan halnya dengan fatwa, masih menurut Musdah, sebetulnya bisadigolongkan sebagai hukum normatif.

    Pragmatisme Syariah : Tarik Menarik modernisme dan tradisionalisme

    Secara historis, bangsa Indonesia menganut berbagai macam agama dan keyakinan.

    Karena itu, pluralitas secara keseluruhan merupakan realitas eksistensial dan historis serta

    lebih sebagai faktor pemersatu perpecahan. Platform nasional Bhinneka Tunggal Ika kitamempertegas truisme ini. Tidak berlebihan kalau pluralitas kita juga merepresentasikan

    pluralitas global. Ratusan suku dengan masing-masing bahasa, budaya, institusi sosial,

    dan keberagamaan yang ada memberi makna pentingnya saling menghormati. Dalam

    konteks Islam, meski Indonesia berada dalam titik koordinat terjauh dari lokus lahirnyaIslam (Arab), Islam merupakan mayoritas secara kuantitatif.

    Secara sosiologis, hal ini dimungkinkan bukan karena pendekatan klerikal ataupun

    skriptural, melainkan proses proselitisasi Islam nusantara yang lebih disebabkan olehproses budaya. Dengan ini, dimaksudkan bahwa penerimaan Islam oleh bangsa

    Indonesia, secara pos-faktum, disebabkan Islam mengambil bentuk budaya bercorak

    isoterisyang saling beradaptasi dengan dialektika budaya lokal sehingga terjadienkulturasi antara keduanya. Belakangan, sejalan dengan perkembangan dunia baru

    Islam (LS Stoddard), menyeruak kontroversi di kalangan umat Islam yang mulanya

    menyangkut spektrum pemahaman Islam. Kemudian, secara tak terhindarkan merepre-

    sentasi dua blok besar paradigma Islam Indonesia, yaitu blok yang tetap meneruskan

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    6/24

    traditional Islam vis-vis purified Islam atau puritant Islam, yaitu blok yang ingin

    menimbang kembali Islam yang bercampur tradisi berdasarkan ortodoksi (Alquran dan

    Alsunnah al Na-bawiyah).Konstruktivisme paradigma tik tradislam di atas kiranya memperjelas proses tradision-

    alisasi Islam yang dimulai dengan gerak Islam ke kanan dan ke kiri (oscillation) yang

    secara resiprokal terjadi pula pada tradisi lokal. Akomodasi Islam terhadap kultur lokalmengandalkan ter-jadinya transformasi Islam Indonesia secara tipikal, bukan Islam Arab,

    Iran, Pakistan, atau mana pun.

    Bahkan, secara kategoris dan dalam batas tertentu, bukan pula Islamnya NabiMuhammad dan para sahabat, melainkan Islam dengan kemungkinan modifikasi pada

    aspek-aspek artifisial (furuyah) yang dilulur dengan kaidah ushuliyah/-fiqhiyak yang

    mapan.

    Secara konseptual, konteks inilah yang lebih relevan karena label tradislam seringdilekatkan pada Nahdlatul Ulama (NU) selama ini, di luar pengamannya dengan doktrin

    Ahl al-Sunnah wal Jamaah (ASWAJA). Berbeda dengan NU dengan varian Islam

    Indonesia, Muhammadiyah memandang bahwa Islam itu universal dan tunggal.

    Pengaitan Islam dengan menyertakan faktor budaya di luar sunnnah Nabi Muhammad,termasuk model tradislam atau apa pun, bukan lagi islam, melainkan Islam yang telah

    terkontaminasi dan secara radikal harus direforrnasi sesuai dengan petunjuk Alquran danpraktik Nabi Muhammad.

    Konstruksi Paradigma : menuju persaudaraan kemanusiaan

    Konstruktivisme paradigmatik purislam tampak merupakan antitesis terhadap tradislam.Dalam paradigma purislam, Muhammadiyah meng-andaikan terjadinya transformasi

    Indonesia yang Islami untuk tidak mengatakan Isla-misasi Indonesia. Proses yang

    berlangsung adalah dekonstruksi atas tradislam yang notabene telah ada jauh sebelumlahirnya NU untuk dikoreksi dan direkonstruksi menjadi (ringkasnya) Islam Alquran-

    hadis. Di sinilah letak pengertian bahwa purislam Muhammadiyah tidak berwatak Is-

    lamisasi Indonesia secara kategoris ataupun secara radikal.Hal itu telah terbukti dalam sejarah. Ahmad Syafei Maarif dalam hal ini adalah tokoh

    sen-trifugal Muhammadiyah yang dalam perannya tidak jarang dikritik dan dihujat oleh

    sesama kalangan Muhammadiyah sendiri dan di luar itu. Akan tetapi, keduanya secara

    fundamental berada pada basis yang sama Islam Sunn. Malahan, pendiri Muhammadiyahdan NU ini adalah murid dari guru yang sama (al-Syekh Ahmad Khatib).

    Saat ini, baik Muhammadiyah maupun NU mengeksplorasi trilogi persaudaraan ukhuwah

    Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama Islam,sesama anak bangsa, dan sesama anak manusia).

    Kita berharap bahwa trilogi persaudaraan ini tidak dicederai lagi oleh mental korup daripara pelaksana negara ini. Korupsi yang masih berlangsung di negeri ini merupakan

    pengkhianatan terburuk dari pernyataan kepercayaan pada kepribadian nurani bangsa.

    Kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian adalah harga dan arti yang

    sebenarnya mengapa kita ingin merdeka. Muhammadiyah dan NU serta seluruh eksponen

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    7/24

    kaum beragama yang ada semakin percaya bahwa disharmoni, konflik, dan bentrok

    antarsesama untuk beberapa kurun terakhir bukan disebabkan oleh faktor agama,

    melainkan karena kohabitasi kemiskinan, ketidakadilan hukum, moralitas yang rendahdari aparat penegak hukum, korupsi oleh para pelaksana pemerintahan negara.

    Kita semua adalah kaum demokrat. Tetapi, jika demokrasi yang dijalankan oleh para

    pelaksana negara kita tidak mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan lahirbatin bagi rakyat; klaim demokrasi kita hanya melahirkan para otoritarian berjubah

    demokrat. Lagi-lagi, agama dipersalahkan untuk tidak mengatakan Tuhan dipersalahkan.

    Kemaslahatan ummat : sebagai mazhab pemerintah

    Meski tidak mengikat secara bukum, fatwa UI pada kenyataannya selalu menjadi

    pedoman berperilaku bagi umat Islam Indonesia, pemerintah maupun masyarakat.

    Bahkan, pada masa Orde Baru fatwa MUI identik dengan suara pemerintah. Hal itudiakui sendiri oleh MUI. Selain itu, fatwa MUI merupakan hasil seleksi dari fiqh yang

    memang berwatak khilafiyyah (mengandung perbedaan pendapat), yang oleh Nabi Saw.

    dipandang sebagai rahmat. Walaupun fatwa MUI itu dijadikan pedoman oleh pemerintah,

    yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa dalam soal-soal kemasyarakatan,pemerintah diberi hak oleh hukum Islam untuk memilih dan memberlakukan satu dari

    sekian pendapat yang paling dekat membawa kemaslahatan, meskipun yang palingdekat ini dalilnya lemah. Karena mazhab pemerintah adalah kemaslahatan. Yang dipilih

    dan ditetapkan oleh pemerintah ini kemudian mengikat bagi umat Islam yang ada di

    wilayah pemerintahannya, dan umat Islam wajib mematuhinya.

    Pemerintah boleh memilih satu pendapat tertentu yang akan dijadikan pedoman dalam

    kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks inilah, fatwa diperlukan. Sehingga

    dengan demikian, fatwa MUI boleh saja diabaikan pemerintah jika melanggarkemaslahatan umum bagi warganya. Namun sayangnya, dalam perumusan suatu fatwa,

    MUI hampir tidak pernah melibatkan partisipasi umat Islam secara luas. Selama ini, MUI

    hanya melibatkan organisasi Islam yang besar, seperti Muhammadiyah, NU, Al-Wasliyah, PERSIS, itu pun yang pro MUI dan sejumlah organisasi berbasis Islam yang

    dibuat pemerintah, seperti MDI dan GUPPI. MUI juga tidak mendengar suara tuntutan

    atau aspirasi dimasukkannya perwakilan kelompok Islam lain, sebagaimana dituturkanDawam Raharjo di Gedung PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, 21 Juli 2005.

    Studi tentang sejarah hukum Islam selama ini memperkenalkan sedikitnya empat jenis

    produk pemikiran hukum atau yurisprudensi Islam, yaitu fatwa, kitab-kitab fiqih,keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di negeri-negeri

    Muslim. Semua jenis produk tersebut, termasuk fatwa, tidak bisa melepaskan diri dari

    berbagai pengaruh yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, baik pengaruh faktorsosial-budaya maupun pengaruh faktor sosial-politik. Dengan kata lain, setiap fatwa tidak

    lahir di ruang hampa. Demikian pula halnya dengan fatwa MUI. Ia selalu muncul sebagai

    respons terhadap problem sosial yang muncul di tengah masyarakat. Perumusannyapun kemudian sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, kultural dan politik. Juga

    dipengaruhi pandangan keagamaan para ulama yang merumuskannya. Tak bisa

    dimungkiri juga, pengaruh intervensi pemerintah sehingga ada kesan MUI tidak

    independen, seperti tampak pada fatwa tentang keluarga berencana atau KB (terbit 1983),

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    8/24

    tentang miqat haji dan umrah (1981), soal makan daging kelinci (1983), panti pijat

    (1982), dan soal prosedur perkawinan (1996).

    Sebetulnya melihat ini dapat disimpulkan, hukum Islam pada dasarnya adalah produk

    interaksi antara ulama sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Amar makruf nahi

    mungkar terhadap penguasa sekuler tentu akan mengundang risiko. Para ulama tentutidak boleh takut terhadap kemungkinan risiko yang bakal dihadapi, karena ini adalah

    kewajiban tertinggi dari seorang ulama. Siapa saja yang dalam melaksanakan kewajiban

    itu mengalami risiko tertinggi, kedudukannya setara dengan orang yang mati syahid.Nabi Muhammad berkata, penghulu para syuhada adalah Hamzah, dan seorang lelaki

    yang menasihati penguasa yang lalim tapi kemudian ia dibunuh. Terhadap semua

    kemungkinan risiko itu, baik kita perhatikan nasihat Ibnu Taimiyah, Kalau aku

    dipenjara, maka itu khalwatku dengan Allah SWT. Kalau aku dibuang atau diusir keluardaerah maka itu adalah siyahah atau pesiar buatku. Dan kalau aku dibunuh, maka itu

    syahid buatku. Jadi apapun yang bakal terjadi, buat seorang ulama pejuang tidak ada

    yang buruk.

    Semuanya bernilai baik, asal dakwah dan perjuangan ini dijalankan dengan benar dan

    ikhlas. Hal-hal seperti ini tentu hanya mungkin dilakukan oleh para ulama yang konsistenberpegang teguh pada prinsip-prinsip dakwah dan perjuangan yang benar, serta tidak

    mudah terjebak pada pragmatisme politik dengan berbagai dalih. Dan dari keteguhan

    seperti ini, para ulama akan memiliki kekuatan moral untuk membawa umat kepada arah

    yang benar. Hanya dari ulama yang konsisten akan lahir perjuangan yang konsisten. Dandari ulama yang konsisten pula, seruan-seruannya akan didengar oleh umat. Ulama yang

    sudah tercemar oleh pragmatisme duniawi, akan mudah kehilangan kewibawaan di

    hadapan umat. Meskipun Al-Quran dan hadis mengandung aturan-aturan hukum,jumlahnya amat sedikit dibandingkan jumlah persoalan-persoalan hidup yang

    memerlukan kepastian status hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu, para ulama

    melakukan ijtihad, mengerahkan segenap kemampuan dan daya pikir mereka untukmenggali hukum-hukum keagamaan dari sumbersumbernya yang valid. Hasilnya adalah

    produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Dilema MUI di Mata Umat Islam

    Indonesia.

    Secara kelembagaan MUI mendapat dukungan penuh pemerintah, dalam hal ini tampak

    sekali kontribusi dari Departemen Agama (DEPAG). Bukti dukungan itu dengan

    diberikannya salah satu ruangan di Masjid Istiqlal, masjid yang dibangun pemerintahpada jaman Soekarno untuk kantor MUI. Begitu pula dengan kucuran dana-dana rutin

    dari pemerintah, seperti Dana Abadi Umat (DAU) dan dana-dana lain seperti yang pernah

    disinyalir mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Bagaimana agar mereka terhindar dariaspek pragmatisme politik.

    Pertama, para ulama dengan landasan akidah Islam yang kokoh harus setia kepada fikrahdan thariqah Islam. Termasuk harus setia kepada fikrah dan thariqah dakwah yang akan

    menentukan arah, visi dan misi serta tujuan dari dakwah ini. Yakni untuk mengembalikan

    hukum-hukum Islam di tengah masyarakat. Kemudian kedua, para ulama harus selalu

    berusaha menghilangkan seluruh faktor-faktor, di antaranya adalah soal harta dan

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    9/24

    kekuasaan, yang biasa membuat orang menjadi pragmatis. Caranya, di antaranya dengan

    menciptakan kemandirian ekonomi. Ketiga, para ulama harus berjuang secara berjamaah

    dalam sebuah jamaah yang benar agar terlindungi dari kecenderungan sikap pragmatis.Bila jamaah itu kokoh dalam perjuangan, maka insya Allah para ulama yang ada di

    dalamnya juga akan turut menjadi kokoh.

    Menurut sebuah sumber, konon MUI juga tidak tertutup menerima sokongan dari

    kelompok pengusaha. Sokongan-sokongan dana kepada MUI ini beberapa kali justru

    memancing persoalan di masyarakat karena dampak dari kucuran dana itu sendiri yangmelahirkan bias keputusan maupun fatwa di masyarakat. Salah satu bukti adanya

    keinginan MUI mendapatkan dana dari pemerintah, Majalah Gatra, April 2005

    menampilkan Menteri Agama Maftuh Basyuni menjelang penyelenggaraan Kongres

    Umat Islam II di Jakarta mengeluh atas permohonan Din Syamsuddin (sebelum menjabatKetua Umum PP Muhammadiyah) yang meminta dana dari pemerintah dengan alasan

    untuk kepentingan umat Islam.

    Sebelumnya, pada tahun 2000 keluarlah fatwa tentangnya haramnya Ajinomoto, sebuahmerek MSG penyedap rasa yang dikenal luas di masyarakat. MUI menuding di balik

    ingredient MSG tersebut terkandung bahan yang diolah dari salah satu organ babi. Atasalasan itu MUI mengeluarkan fatwa haram. Imbas dari fatwa tersebut di masyarakat

    berkembang opini yang membingungkan, terutama para pengguna merek MSG tersebut.

    Perdebatan pun kian berlanjut hingga akhirnya, pemerintah Jepang mengutus Menteri

    Luar Negerinya untuk menghadap Presiden Abdurrahman Wahid. Konflik baru meredasetelah produk Ajinomoto untuk sementara ditarik dari peredaran.

    Melihat fakta ini, MUI seperti diibaratkan dalam sejarah awal masuknya Islam di PulauJawa yang digambarkan dalam novel Agus Sunyoto, Suluk Malang Sungsang (2005),

    menempati posisi sebagai pemegang otoritas yang dapat disimak pada bagaimana Dewan

    Wali yang terdiri dari Wali Sembilan memegang otoritas keagamaan pada jamannya.Wali Sembilan (Wali Sanga) ini mewakili otoritas kebenaran tunggal dan mengikis

    kebenaran yang dianggap sempalan. Dewan wali waktu itu misalnya, memvonis sesat

    kepada ajaran thoriqoh yang dibawa Abdul Jalil alias Syaikh Lemah Abang alias SyaikhSiti Jenar.

    Bagaimana sikap ulama terhadap penguasa sekuler. Penguasa sekuler adalah penguasa

    yang tidak mau menjalankan syariah Islam. Sekularisme adalah sebuah kemungkaranyang amat besar. Satu kemaksiatan yang dilakukan oleh rakyat biasa dampaknya

    mungkin hanya pada dirinya saja. Tapi bila kemaksiatan itu dilakukan oleh seorang

    penguasa, dampaknya luar biasa. Tidak hanya akan mengenai dirinya, tapi juga kepadabangsa dan negara. Karenanya, terhadap penguasa seperti ini, para ulama wajib

    melakukan amar makruf nahi mungkar. Bahkan bukan hanya sekadar wajib melakukan

    amar makruf nahi mungkar, para ulama sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah,semestinya juga wajib menyadarkan penguasa sekuler itu untuk turut serta mengubah

    negeri sekuler itu menjadi negeri Islam di mana di dalamnya diterapkan syariah. Dengan

    kekuasaan dan kewenangan serta kekuatan yang dimiliki, peran seorang penguasa dalam

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    10/24

    perubahan menuju masyarakat Islam akan sangat menentukan. Fakta sejarah

    membuktikan hal itu.

    Serangkaian fatwa yang dikeluarkan MUI seperti amunisi yang muntah dari senapan.

    Bertubi-tubinya MUI memberi fatwa, sehingga sudah tentu sangat sulit memilih dari

    sekian fatwa itu mana saja fatwa yang signifikan dan berkorelasi positif pada umat IslamIndonesia khususnya. Begitu pula apakah fatwa itu merupakan sesuatu yang signifikan

    dengan konteks situasi umat Islam yang masih dilanda berbagai persoalan

    keterbelakangan dan ketertinggalan dalam membangun bangsanya. Yang agak aneh,terkadang MUI terkesan mencari-cari persoalan untuk tidak dikatakan mencari sensasi.

    Dengan alasan tugasnya hanya memberi fatwa, hasil pertanyaan dari seseorang yang

    mengirim surat minta fatwa hukumnya makan daging kodok ke MUI pun misalnya,

    kontan MUI mengeluarkan fatwa hukumnya beternak kodok.

    Agama sebagai Merek dagang

    Berdasarkan realitas kepercayaan umat terhadap para pemimpin politiknya, jangan-

    jangan teriakan ingin menegakkan syariat Islam, hanyalah merupakan "merek dagang"supaya lapisan masyarakat tertentu membeli atau tetap terikat pada merek jualan politik

    tersebut. Artinya, parpol tersebut bukan sungguh-sungguh ingin memperjuangkan syariat.Sebab kenyataannya kalau dahulu atas nama syariat Islam mengharamkan perempuan

    jadi presiden, namun saat ada kesempatan jadi wakil presiden untuk bersanding dengan

    yang diharamkan tersebut, dia enjoy saja. Bendera Islam Dalam suasana parpol (termasuk

    ke dalamnya partai yang berasaskan Islam dan dengan lantang menyuarakan tegaknyasyariat Islam) begitu tergila-gila rebutan kekuasaan, saya melihat perlunya reformulasi

    posisi agama dalam dunia kepartaian.

    Sepanjang belum ada kesepakatan para ulama, para ustaz, dan para kiai tentang hal-hal

    yang fundamental dalam kegiatan politik, apa tidak sebaiknya parpol-parpol tersebut

    menghentikan menjadikan Islam sebagai merk politik? Ungkapan "isyhaduu biannaamuslimun" (Q.S. 3:64) tidak harus diterjemahkan formalisasi asas partai dengan term

    Islam, tapi diterjemahkan sebagai tauhidullah yakni ideologi, prinsip, konsep, serta

    perilaku aktivis partai berjiwa Islam. Artinya tanpa label Islam pun manakala ideologisampai perilakunya berwarna Islam, hal itu sudah memenuhi ketentuan ayat tersebut

    (baca phrase sebelumnya).

    Masih relevankah Islam dijadikan merek dagang bagi parpol-parpol untuk meraihkeuntungan dalam bentuk kekuasaan. Yang perlu dijawab adalah pertanyaan mengapa

    masyarakat lebih banyak memilih partai sekuler bukan partai Islam? Setidaknya ada dua

    kemungkinan. Pertama, masyarakat tidak paham bahwa semestinya pilihan merekaadalah partai yang memperjuangkan Islam. Mereka memahami bahwa agama tidak ada

    hubungannya dengan partai. Ketidakpahaman ini menggambarkan tugas partai

    melakukan pendidikan politik pada masyarakat (edukasi) tidak berjalan. Padahal,pemahaman akan melahirkan kesadaran yang berujung pada menentukan mana yang akan

    dipilih. Di sinilah pentingnya pembinaan (tasqif) bagi masyarakat. Kedua, masyarakat

    memandang semua partai, termasuk partai Islam, sama saja. Survei yang dilakukan oleh

    beberapa lembaga menunjukkan hal ini. Lebih dari 50 persen masyarakat memandang

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    11/24

    bahwa partai Islam baik dari segi platform, tawaran solusi, maupun perilaku elitnya sama

    saja dengan partai umumnya.

    Adapun dari sisi partai Islam itu sendiri kelihatannya ragu atau tidak mau terbuka apa

    adanya memproklamirkan diri sebagai pembela Islam. Rakyat dapat melihatnya saat

    acara debat di TV, misalnya. Konsekuensinya, yang dibicarakan hanyalah apa yangmereka sebut sebagai substansi Islam seperti keadilan, kesetaraan, kebersamaan,

    kesejahteraan, dll. Padahal, semua ini juga diusung oleh partai sekuler. Kalaupun ada

    yang menyuarakan syariat Islam itupun hanya sedikit. Lebih dari itu, tidak diimbangidengan program-program yang dirasa menyentuh jantung masyarakat seperti kebutuhan

    pokok, pendidikan, dll. Hal ini diperparah oleh sikap pragmatisme partai dan perilaku

    elite partai yang dipandang rakyat tidak mencerminkan akhlak Islam seperti ada partai

    Islam atau berbasis masa Islam yang korupsi, adegan syur beredar di mana-mana,tertangkap basah di panti pijat, dll. Hal lain yang sering juga menyakitkan hati rakyat

    adalah perpecahan yang terjadi di dalam tubuh beberapa partai Islam. Semua ini

    menumpuk hingga memudarkan kepercayaan kepada partai Islam. Semua ini mutlak jadi

    pelajaran berharga bagi umat dan partai Islam.

    Mana yang lebih baik bermerek Islam, tapi tidak punya fatsoen Islam atau tidak memakaimerek Islam, tapi berideologi dan berperilaku Islami. Oke, yang ideal adalah bermerek

    Islam dan berjiwa Islam. Namun adakah itu? Jawabannya ada, dan itu adalah PKS?

    Tatkala Hidayat Nurwahid Presiden PKS selalu menyuarakan kepedulian terhadap

    masyarakat miskin, bangsa tertindas, serta keharusan memberantas KKN, dan malahdengan lantang tidak akan berpihak kepada PDIP dengan berbagai argumen sosial politik

    yang berjubah keagamaan, umat penuh harap inilah partai harapan umat masa depan.

    Beginilah seharusnya partai berasas Islam, demikian sanjungan umat. Namun tatkalapartai berasas Islam ini harus dihadapkan kepada pilihan Amin Rais atau Wiranto dalam

    pilpres putaran pertama, umat pun bingung menanti putusan PKS. Keputusan dijatuhkan

    saat injury time, saat air sungai tenaga umat ini sudah dialirkan ke berbagai arah olehpemain-pemain tingkat bawah (atau juga malah di tingkat atas?).

    Subyektivikasi, Obyektivikasi agama: menghindari merk dagang

    Realitas bahwa umat Muslim merupakan aktor dominan dalam bangunan negara-bangsa

    Indonesia perlu aktualisasi peran yang besar sebagai wujud tanggung jawab yang besar

    pula. Sejak awal kebangkitan Indonesia, tak bisa dimungkiri, banyak elemen kebangsaan

    secara formal ataupun substantif bersimbol Islam menjadi avant-garde dalammemperjuangkan nilai-nilai kemerdekaan dan emansipasi radikal, justru melampaui

    zamannya.

    Tentu juga tidak bisa dinafikan peran figur yang menjadi ikon perjuangan, cendekiawan,

    atau tokoh masyarakat. Misalnya, Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Hasyim Asy'ari,

    Kasman Singodimedjo, Natsir, hingga Soekarno, Hatta, Sjahrir. Tampilnya parapunggawa politik terkemuka tersebut tak diragukan sebagai lokomotif bagi pergerakan

    Indonesia secara progresif, baik pra maupun pascakolonialisme.

    Meskipun secara entitas bisa terjadi dikotomi yang tajam, seperti dikotomi Muslim

    tradisionalis dan modernis, konservatif atau progresif, rejeksionis atau akomodatif, toh

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    12/24

    secara umum perhelatan ideologis tidak sedikit pun mengurangi komitmen kebangsaan

    secara konsisten. Perhelatan tahun 1930-an mengenai Islam, sosialisme, dan demokrasi,

    malah menjadi pikiran maju untuk meraih cita-cita dan common platform bersama.Pascakemerdekaan Republik Indonesia (RI), pertarungan mengenai apakah perlu

    Indonesia mendirikan negara Islam (formal) atau tidak, juga berlangsung seru, terutama

    antara kubu Natsir dan Soekarno. Natsir secara jelas menghendaki negara Islam yangkontekstual dengan Masyumi sebagai kuda troya politiknya, sedangkan Soekarno

    mengidealkan negara sekuler model Turki.

    Namun, lagi-lagi, pertarungan ide-ide dan perbedaan itu tidak menimbulkan friksi

    perjuangan nation-state character building. Faktanya, Pancasila pada akhirnya menjadi

    titik temu kebangsaan yang sangat representatif, yang dalam bahasa Robert Bellah

    disebut civil religion. Secara institusional, masa ideologisasi Islam politik memang sangatkuat mewarnai politik Muslim era pascakemerdekaan. Baik itu yang berlatar

    tradisionalis-moderat, modernis-moderat, modernis-sekuler, bahkan kecenderungan

    sekularisme utuh. Yang pasti, tidak anti terhadap paham seperti demokrasi, malah

    memasukkannya menjadi ajaran agama yang substantif.

    Ketokohan personal serta kredibilitas intelektual masa itu tidak dapat diragukankesahihannya, terutama para founding fathers yang berjuang dengan jiwa-raga demi

    bangsa. Penjelasan panjang lebar tentu dibutuhkan secara analitik-komparatif tentang

    Islam politik dalam durasi waktu historis yang memanjang dan melebar (diakronik-

    anakronik). Tampaknya telah terjadi kesenjangan yang amat dalam tentang realitaspolitik Muslim saat ini. Secara umum, memang terjadi de-ideologisasi yang radikal,

    terutama dalam tubuh parpol. Wabah de-ideologisasi itu juga mengenai parpol Islam atau

    yang bermassa umat Muslim. Yakni, label "Islam", baik yang dijadikan asas maupuntidak, sebetulnya bukan merupakan ideologisasi yang "perfeksionis".

    Menjelang pemilu presiden 8 Juli 2009, panggung politik Indonesia diramaikan gegap-gempita koalisi parpol. Kita semua berharap koalisi ini bisa menghasilkan bangunan

    pemerintah yang kuat, kokoh dan efektif dalam mencapai cita-cita bangsa.

    Terkait hal ini Eko Prasojo, Guru Besar Fisip UI dalam opininya di Kompas (Senin,27/4/010) menelisik fenomena koalisi antarparpol . Menurutnya, kolasi tersebut tak boleh

    hanya didasarkan hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi

    parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform ideologi. Hal serupa terlihat dalam

    koalisi yang dibangun Demokrat dengan PKS dan PKB. Yudi memaparkan, "Jika dilihatsecara ideologi, cukup aneh PKS bisa bersatu dengan PKB," Pragmatisme dalam

    pembangunan koalisi, lanjut Yudi, makin terlihat dari mudahnya perubahan sikap, seperti

    yang diperlihatkan Partai Golkar.

    Banyak muncul Islam politik cenderung fundamentalistik mempertahankan bentuk

    negara Islam, yang sebetulnya bertentangan dengan bentuk RI sekarang yang sudah final.Hal itu merupakan implikasi atas terbukanya pluralisme politik era Reformasi dari

    kekangan Orde Baru yang membungkam Islam politik yang dianggap sebagai ancaman.

    Ideologisasi Islam hanya merupakan fenomena eufora dari kegelapan politik Orde Baru.

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    13/24

    Hampir tidak ada pertarungan wacana yang progresif bagi kemajuan bangsa. Selama

    reformasi, wacana yang muncul lagi-lagi menegakkan negara berdasarkan agama Islam

    secara kaku dan rigid. Semestinya energi yang potensial itu lebih diaktualisasikanberdasarkan spirit zaman reformis sekarang, melalui artikulasi politik yang lebih elegan

    dan emansipatoris. Entitas politik yang ada tak lebih dari perebutan kekuasaan pragmatis.

    Pada Pemilu 1999 dan 2004, kubangan pragmatisme politik menunjukkan bukti bahwalabel atau ideologi di belakang parpol hanya semu belaka. Substansi yang dipraktikkan

    hanya berkutat dalam masalah who gets what. Kalaupun ada yang menyuarakan politik

    yang bersih, dalam sisi lain masih berkutat dalam involusi politik: pragmatisme-oportunistik.

    Runtuhnya Islam Politik: jerat sekularisme pragmatis

    Francis Fukuyama mewartakan kemenangan kaum kapitalisme.Kita dapatmenyaksikan, demikian katanyaakhir sejarah yang sedemikian itu: yakni akhir dari

    evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal barat sebagai bentuk

    final dari sistem pemerintahan umat manusia. Sedangkan,ilmu pengetahuan modern

    (teori modernisasi) telah menghasilkan pandangan seragam tentang corak produksi secaraekonomis (kapitalisme). George Ritzer,dari kubu sosialis ,jauh-jauh hari telah mengkritisi

    paradigma ini dengan mengatakan kemenangan kapitalisme disebabkan karenapendukungnya lebih mempunyai kekuatan dan kekuasaan, bukan karena teori ini lebih

    manusiawi,lebih baik,apalagi lebih benar. Apakah pesimisme ini mengakhiri pertarungan

    dan juga sejarah ideologi manusia.

    Pertarungan ideologi mungkin berakhir,tetapi bagi masyarakat dunia ancaman pertikaian

    yang lebih besar akan terjadi. Samuel P. Huntington,menulis sebuah artikel yang

    kemudian menjadi buku, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order.Sejak tahun 1993,ia mengingatkan kemungkinan benturan antar peradaban dunia,yang

    antara lain meliputi budaya,dan agama akan mewarnai dunia di masa depan. Bom di

    WTC, konflik-konflik etnis, dan agama diseluruh dunia,hingga tragedi Bom Balimungkin bisa menyadarkan betapa kita manusia, makhluk yang mulia ciptaan Tuhan

    menjadi sangat kejam akibat dari kesadaran palsu.

    Sebagian parpol Islam memang menyuarakan dengan keras antikorupsi sebagai

    perjuangan pro-rakyat, namun berhenti pada pencegahan preventif saja. Energi politik

    untuk menekan dan memberantas kejahatan, seperti korupsi, belum terwujud. Selain

    karena kuatnya korupsi sistemik, daya tawar politik Islam juga terkesan lembek,akomodatif, dan tak mampu menjadi aktor posisi atau oposisi yang bergengsi.

    Bahkan lebih ironis lagi, ketika parpol Islam ikut berkecimpung dalam kuasa korupsi,

    terutama dalam format konflik kepentingan yang friksional. Beberapa parpol yangmemainkan simbol ke-Islaman terjebak dalam perpecahan, justru di tengah banalitas

    politik yang membosankan. Permainan politik yang permisif itu justru mereduksi aksi

    kerakyatan, sekaligus jatuh dalam lubang formalisme yang sangat kaku.Alhasil, simpati rakyat menjadi hilang dan malah akan berdampak negatif bagi

    pengurangan suara parpol Islam pada Pemilu 2009. Ditambah lagi dengan lemahnya

    posisi terhadap pemerintah di parlemen, seperti kebijakan yang tidak populis dan

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    14/24

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    15/24

    Kedua, tentu ini otokritik terhadap para elit parpol Islam, terutama karena sudah terjadi

    pembelokan yang relatif jauh antara cita-cita politik Islam dengan pragmatisme politik

    elit parpol Islam. Jika para politisi Islam pada zaman Pemilu 1955 menjadikan partaipolitik dan kekuasaan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam, maka

    ditengarahi kini para politisi Islam menjadikan parpol Islam sebagai kendaraan untuk

    memperebutkan kekuasaan. Sejarah membeberkan bagaimana fatsoen politisi Islam di eraPemilu 1955, yang penuh kebersahajaan, santun, tapi gigih memperjuangkan idealisme.

    M. Natsir dan Kasman Singodimedjo adalah beberapa teladan yang bisa disebut. Nah,

    kini sejarah mencatat bagaimana keglamoran dan tuna-idealisme sebagian besar politisiIslam.

    Mengingat undang-undang membatasi gerak partai Islam, tidak sedikit partai Islam yang

    melakukan penyesuaian-penyesuaian. Berdasarkan Keputusan KPU No. 07 tahun 2004tentang petunjuk pelaksanaan kampanye 2004, partai peserta Pemilu dilarang

    mempermasalahkan ideologi negara dan UUD 1945; juga menghina suku, ras, agama,

    dan antargolongan. Dalam berbagai penjelasan, membawa agama dalam kampanye pun

    dilarang. Penyesuaian akhirnya dilakukan. Terjadilah proses deideologisasi Islam. Partai-partai Islam tidak lagi menyuarakan konsep-konsep Islam dalam mengatasi problematika

    masyarakat, namun menyuarakan ide-ide umum yang diusung oleh partai dan masyarakatyang notabene berpaham sekular.

    Para elit politik begitu bernafsu membentuk parpol sendiri-sendiri. Tidak bisakah

    meleburkan ego pribadi dan kelompok demi membentuk kekuatan politik Islam yangkuat. Peta pembentukan koalisi pascapemilu legislatif 2009 juga menjadi jawaban

    lainnya. Apa sebenarnya yang mereka cari. Sebab menjadi aneh jika parpol-parpol Islam

    justru merapat ke parpol yang sekuler, yang asas dan paltformnya tentu berbeda jauh.Tidak-bisakah mereka bersatu membentuk koalisi parpol Islam, setidaknya dengan

    sesama parpol yang menjadi representasi lain dari kekuatan politik Islam seperti PKB dan

    PAN. Jika parpol Islam bergabung dengan PKB dan PAN maka terakumulasi 29,12%suara dan cukup menjadi syarat pencalonan presiden tersndiri. Harapan seperti ini yang

    disuarakan oleh beberapa tokoh Islam seperti politisi gaek PPP AM Saefuddin atau

    Muhammad Al Khaththath, Sekjen FUI. Dalam bingkai kaca mata optimisme,sebenarnya angka 17,9% bagi gabungan parpol Islam atau 29,12% plus PAN dan PKB,

    itu merupakan angka yang cukup berharga jika dimiliki oleh satu parpol (bandingkan

    dengan PD 20,85%, PG 14,45%, dan PDIP 14,03%). Seandainya parpol Islam melebur

    jadi satu, tentu menjadi kekuatan yang signifikan. Tapi ini adalah optimisme yangngawang. Betapa susahnya membayangkan mereka bisa bersatu, apalagi meleburkan

    dalam satu kekuatan parpol Islam. Mungkin hanya kekuasaan otoriter yang bisa memaksa

    mereka bersinergi menjadi satu parpol, seperti ketika pada Pemilu 1977 PemerintahOtoriter Orde Baru memaksa 4 parpol Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) menjadi

    Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi, masak harus menunggu kedatangan

    otoritarianisme jilid berikutnya untuk mempersatukan diri.

    Seruan mengenai syariat Islam dan Daulah Khilafah Islam pun nyaris tidak terdengar.

    Gantinya adalah istilah-istilah demokrasi atau istilah kabur lainnya seperti nilai-nilai

    Islam, masyarakat madani, substansi Islam, dan lain-lain. Alasan yang sering muncul

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    16/24

    adalah karena syariat Islam masih kontroversial dan tidak laku. Bahkan ada calon

    presiden yang menolak penerapan syariat Islam dengan alasan syariat Islam itu bisa

    memecah-belah. Keikutsertaan partai-partai Islam ke dalam sistem yang ada kemudiandiikuti oleh upaya untuk menyukseskan Pesta Demokrasi. Tidak aneh jika kemudian

    muncul fatwa yang mewajibkan umat Islam menggunakan hak pilihnya dan

    mengharamkan sikap golput. Bersamaan dengan itu, keluarlah propaganda untukmemobilisasi massa seperti, Kalau umat Islam golput maka orang kafir akan berkuasa,

    atau beredarnya SMS, Vatikan memerintahkan umat Kristen untuk memilih PDS, dan

    sebagainya; seakan-akan Pemilu kemudian menjadi persoalan hidup dan matinya umat,dengan alasan, Pemilu untuk memilih anggota legislatif sangat strategis.

    Sebenarnya harapan bersatunya kekuatan politik Islam dalam satu wadah mulai muncul

    saat era reformasi digulirkan. Mulanya Amien Rais sebagai tokoh reformasi saat itudidorong untuk memimpin PPP sehingga menjadi gerbong politik umat Islam yang kuat.

    Tapi keinginan itu gagal. Lantas muncul ide membentuk partai politik baru, tapi gagal

    disatukan seiring dengan perbedaan pandangan di antara kader-kader M. Natsir, politikus

    Masyumi yang sangat disegani. Semula memang digagas pembentukan parpol sebagaipenerus perjuangan Masyumi yang pernah berjaya di era Pemilu 1955. Tapi kubu yang

    dimotori Amien Rais kemudian mendirikan PAN dan kubu Yusril Ihza Mahendraakhirnya membentuk PBB. Di luar skenario itu, muncul pula PKB yang mencoba

    meneruskan tradisi politik NU, juga sempalan-sempalan penerus tradisi politik

    Masyumi seperti Partai Keadilan (PK) pimpinan Nur Mahmudi, Masyumi pimpinan

    Abdullah Hehamahua, Partai Umat Islam (PUI) pimpinan Deliar Noer, dan beberapalainnya.

    Maka, dengan berdirinya berbagai parpol dari kalangan Islam politik tersebut, pupussudah harapan munculnya kekuatan politik umat Islam yang tangguh. Dan bisa ditebak,

    jika tidak ada dari mereka yang menjadi pemenang pemilu, setidaknya yang menjadi dua

    besar. Bahkan banyak yang gagal memenuhi ambang batas minimal electoral threshold(ET) sebagai persyaratan ikut pemilu berikutnya. Padahal, sekali lagi jika boleh berandai-

    andai, jika perolehan suara parpol Islam saat itu digabung maka akan di dapatkan 16,25%

    suara dan jika digabung dengan PKB dan PAN bisa mencapai 35,98%. Sementara PDIPsebagai pemenang pemilu hanya memperoleh 33,73% suara.

    Ketiga, kekalahan parpol Islam dan juga tingginya angka golput 39,2 % pada Pemilu

    2009 (dihitung dari suara tidak sah sebesar 17.488.581 dan suara yang tidak digunakansebesar 49.677.076), ibarat terperosoknya mereka pada lubang yang dibuat para

    politisinya sendiri. Dikepung citra buruk oleh berbagai kasus suap, skandal seks, dan

    kinerjanya yang buruk sebelumnya, parpol dan DPR dihajar rakyat dengan cara tidakmemilihnya.

    Keempat, satu-satunya yang membuat kita gembira atas kekalahan parpol Islam padaPemilu 2009 adalah karena kekalahan itu terjadi dalam petarungan tidak sehat yang

    penuh dengan (isu) money politic dan kecurangan-kecurangan lainnya. Mungkin para

    politisi Islam tidak cukup gizi untuk melakukan hal serupa, atau setidaknya saya yakin

    bahwa mereka masih memegang prinsip anti-politik uang. Sebab tidak bisa dibayangkan

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    17/24

    jika parpol Islam menang dan atau ikut terlibat pemilu dengan cara-cara menghalalkan

    segala cara.

    Dalam keadaan ini, yang terjadi bukan hanya pragmatisme, tetapi juga menciderai

    kepentingan masyarakat. Yang namanya masyarakat akan mendapatkan pepesan kosong

    karena yang akan mendapatkan kekuasaan dan kedudukan adalah mereka yangmenyatakan diri membawa suara masyarakat itu. Pelajaran pahit pragmatisme politik

    yang dikembangkan secara tidak terkendali oleh parpol ini seharusnya menjadi pelajaran

    pahit kepada masyarakat untuk kelak berhati-hati dalam memberikan dukungan politikkepada parpol. Pragmatisme politik telah menyebabkan elit politik menghalalkan segala

    cara demi kekuasaan dan kedudukan mereka sendiri.

    Replika permasalahan tersebut ialah bagian dari ragam masalah politik yang perludicarikan solusi cerdas. Umat Muslim seyogianya membangun basis politik yang lebih

    substantif, yakni lebih mengedepankan solusi kebangsaan untuk keluar dari krisis akut

    bangsa yang kontekstual: korupsi, kolusi, kemiskinan, bencana alam, kebodohan, dan

    keterbelakangan. "Politik garam" seperti kata Bung Hatta menjadi lebih konkret daripadaterus menampilkan eksotisme "politik gincu". Teleologi politiknya, agar beban sejarah

    umat tidak terlalu berat menanggung dosa politik yang tidak produktif.

    Isu Presiden Wanita: pragmatisme reinterpretasi teologis

    Sikap pragmatis lain sangat kentara saat berbicara tentang wanita menjadi presiden.

    Haramnya wanita menjadi presiden dipropagandakan untuk mencegah naiknya presidendari lawan politiknya. Formula ideologi dari dua atau tiga partai koalisi pascapilpres 2004

    cenderung lebih rasional dan pragmatis ketika didasari pertimbangan perilaku mayoritas

    pemilih dan peluang memperoleh dukungan mayoritas suara rakyat. Nilai sakral teologisdireinterpretasikan berdasar kepentingan praktis rakyat dari kelas proletar dalam suatu

    rancangan program peningkatan ekonomi rakyat.

    Fatwa hukum haram memilih pemimpin perempuan atau fatwa-fatwa fikih lainnya di

    dalam dunia sosial, ekonomi, dan politik akan kehilangan makna praktis ketika harus

    berhadapan dengan berbagai kepentingan sekuler mayoritas rakyat pemilih. Kesalehanhanya bermakna politik jika diikuti komitmen membela kepentingan rakyat yang bukan

    pengikut NU atau Muhammadiyah. Rekonstruksi ajaran bagi pemecahan problem sosial,

    ekonomi, dan politik yang dihadapi rakyat dipandang kebutuhan yang semakin urgen.

    PEMILU presiden 2004 "memaksa" nilai sakral teologi dan ideologi mulai berhadapandengan kepentingan pragmatis dan sekuler. Elite sosial-politik harus belajar bagaimana

    hukum besi demokrasi vox populi vox Dei (suara rakyat sebagai suara Tuhan) berfungsi.

    Peta ideologi politik berubah lebih rasional dan pragmatis, tetapi sebaliknya bisamengkristalkan kembali politik aliran ketika elite partai gagal membangun ideologi baru

    berdasarkan hukum besi demokrasi.

    Gejala ini terlihat dari aksi cap jempol berdarah sebagai reaksi fatwa haram memilih

    pemimpin perempuan. Kiblat politik akan segera terlihat dalam putaran kedua pemilihan

    presiden (pilpres) nanti. Namun, saat situasi politik berubah dan tidak ada pilihan lain

    kecuali wanita, dibuatlah pembenaran-pembenaran untuk menerima wanita sebagai

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    18/24

    presiden. Alasannya sama, yakni kemaslahatan. Berbeda dari pemilu legislatif, aktivis

    santri pimpinan partai atau organisasi Islam secara terbuka mendukung calon presiden

    (capres) yang nasionalis atau sekuler dalam pilpres 2004. Kepentingan pragmatis bagijaminan pencapaian tujuan-tujuan universal Islam atau kepentingan individual aktivis

    santri itu sendiri. Gejala ini menandai sedang berubahnya basis pengetahuan kaum santri

    yang selama ini dikenal memiliki keterikatan kuat terhadap ideologi dan budaya islamiyang diyakini bersumber dari nilai-nilai sakral.

    Pada gilirannya pertimbangan pragmatis memperoleh dukungan mayoritas rakyat itumemerlukan landasan nilai yang tidak mudah ditemukan dalam ideologi islami dan

    budaya santri. Kecenderungan tersebut sekaligus menunjukkan sekularisasi besar-besaran

    teologi politik santri yang selama ini direpresentasikan, terutama oleh organisasi Islam

    terbesar: NU dan Muhammadiyah. Vox populi vox Dei mulai mengubah konfigurasi danpeta politik nasional ketika disadari "takdir" politik kelima pasang capres dan cawapres

    serta nasib suatu partai ada di tangan rakyat. Namun, orientasi pragmatis tanpa basis

    ideologi yang jelas bisa membuat presiden terpilih terperangkap pada pragmatisme

    kekuasaan. Konflik nilai itu terlihat pada fatwa haram memilih pemimpin perempuan darikalangan nahdliyin (Nahdlatul Ulama), seperti juga kesulitan Partai Keadilan Sejahtera

    untuk menentukan pilihan mendukung calon presiden (capres) Wiranto atau Amien Rais.Gejala serupa bisa dibaca dari dukungan terbuka Partai Bulan Bintang pada capres

    Soesilo Bambang Yudhoyono, seperti dihadapi Partai Damai Sejahtera di saat elite partai

    ini mendukung capres Megawati.

    Kontroversi kemenangan mutlak Partai Demokrat menimbulkan banyak pertanyaan bagi

    sebagian orang. Para elit bersitegang dengan mulai melontarkan pernyataan adanya

    kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya pada tataran Daftar Pemilih Tetap(DPT) dan setumpuk aturan elektoral yang menimbulkan kerancuan. Dugaan kuat tentang

    kemungkinan meningkatnya angka golongan putih (golput) dalam Pileg 2009 dan Pilpres

    2009 sebagai akibat langsung dari kekecewaan masyarakat terhadap kinerja politisiparpol dan lain-lain. Yang terus dikeprak-dikepruk mengapa hanya masyarakat,

    bukannya parpol-parpol yang diingatkan agar bekerja dengan baik.

    Disfungsi, disreputasi, distrust (ketidakpercayaan) terhadap parpol sudah termasuk

    berbahaya (lampu merah). Akan semakin berbahaya lagi kalau ketidakpercayaan tersebut

    meningkat menjadi ketidakpercayaan terhadap nilai-nilai demokrasi karena dari "rezim

    militer" ke "rezim parpol", nasib rakyat justru tidak bertambah baik. Pasca reformasi1998 memang wadah yang paling kondusif dalam sejarah negeri kita untuk tampil ke

    depan. Berbeda dari pemilu legislatif, aktivis santri pimpinan partai atau organisasi Islam

    secara terbuka mendukung calon presiden (capres) yang nasionalis atau sekuler dalampilpres 2004. Kepentingan pragmatis bagi jaminan pencapaian tujuan-tujuan universal

    Islam atau kepentingan individual aktivis santri itu sendiri. Gejala ini menandai sedang

    berubahnya basis pengetahuan kaum santri yang selama ini dikenal memiliki keterikatankuat terhadap ideologi dan budaya islami yang diyakini bersumber dari nilai-nilai sakral.

    Mereduksi aspirasi masyarakat

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    19/24

    Sementara itu, Sekretaris Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat

    Masykurudin Hafidz menilai, aspirasi rakyat direduksi dengan hanya dijadikan modal

    dalam tawar-menawar kekuasaan. Seharusnya paparan rancangan program kebijakansebagai sarana negosiasi mendahului proses tawar-menawar tersebut. Dalam berbagai

    kesempatan para elit, termasuk para kandidat presiden dan wakil presiden selalu

    mewacanakan perubahan. Persoalannya, akankah perubahan dimaksud menjadi impianyang sesungguhnya dari elit partai dan sang kandidat? Ataukah hanya sebuah tipologi

    politik dari elit untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan?

    Pengalaman menjadi guru yang terbaik. Karena itu, berkaca dari pengalaman kita, bahwadalam segala bentuk kompetisi politik, hasrat, cita-cita, angan dan juga suka cita itu

    barangkali harus dipendam. Sebagaimana kita saksikan, bahwa ada banyak hal yang

    menggambarkan bahwa keinginan mulia itu sulit tercapai. Misalnya, masih samarnya

    kepentingan rakyat dalam agenda partai politik, atau kurang terjamahnya rakyatdalam proses-proses politik pasca pemilu itu sendiri.

    Tak boleh dimungkiri, bahwa rakyat kita sudah sejak lama mengimpikan adanya

    perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang dimaksud

    adalah perubahan yang berkaitan dengan perbaikan nasib rakyat, misalnya melaluipemerataan kue keadilan, penghargaan atas hak-hak orang kecil, mengembangkan

    proyek demokrasi, dan selanjutnya upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN). Artinya, pemimpin adalah perangkat yang berpengaruh di dalamnya.

    Masyarakat pemilih yang telah memberikan suara dalam pemilu legislatif mesti sejak

    awal mengetahui rencana program sebagai landasan proses koalisi. Langkah itumerupakan wujud pendidikan politik rakyat yang dilakukan partai politik serta menjadi

    catatan janji yang bakal ditagih nanti. Dengan kata lain, menurut Qodari, koalisi parpol

    idealnya memang didasari kesamaan ideologi atau platform politik. Hanya saja, saat inikoalisi lebih didasari pada upaya memenuhi syarat pencalonan serta kalkulasi untuk

    menang dalam pilpres.

    Tampaknya, ketidakkonsistenan dalam penggunaan sistem presidensial membuat

    pemerintahan lima tahun ke depan tidak akan banyak berubah dibandingkan sekarang.

    Kabinet akan dibentuk berdasarkan perhitungan pembagian kekuasaan dan bukankeahlian. Pengisian kabinet pemerintahan hendaknya tidak hanya didasarkan

    pertimbangan politis, tetapi juga kapabilitas, kompetensi, komitmen, dan pengalaman

    seseorang. Bisa saja syarat-syarat itu berasal dari kalangan parpol yang tergabung dalam

    koalisi, tetapi apabila diperlukan dan hanya bisa ditemukan di luar parpol, tidak ditutupkemungkinan untuk mengambil kalangan profesional di luar partner koalisi.

    Sejatinya pertimbangan profesionalisme ini penting agar koalisi pemerintahan tidak

    hanya menjadi ajang politisasi pemerintahan, tetapi merupakan upaya untuk mewujudkantujuan-tujuan bernegara.

    Semoga setiap keputusan koalasi yang dilakukan parpol senantiasa menjunjung tinggitujuan luhur berbangsa dan bernegara, bukan kepentingan individu maupun kelompoknya

    masing masing. Kita harus realistis. Begitulah kalimat yang sering diucapkan oleh para

    analis dan politikus dalam kancah perpolitikan negeri ini. Sepintas kalimat itu biasa saja.

    Padahal kalau dicermati secara mendalam, kalimat itu membawa implikasi yang sangat

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    20/24

    mendasar. Kita harus realistis lalu menjadi argumentasi dalam setiap tindakan politik,

    yang kemudian menimbulkan sikap pragmatis dalam kancah politik. Akan tetapi

    anehnya, saat melihat tidak ada lagi kepentingan dalam Pemilu Presiden; tidak lagiterdengar propaganda yang dengan gencar mengatakan Pemilu Presiden itu wajib.

    Padahal, kalau dilihat dari segi strategisnya, jelas baik Pemilu legeslatif maupun Presiden

    sama-sama strategisnya. Bahkan posisi presiden bisa jadi lebih strategis karena akanmenentukan siapa menteri dan bagaimana kebijakan yang ditempuh. Tidak seperti

    menjelang Pemilu Legislatif, tidak ada lagi fatwa larangan golput. Malah, ada partai yang

    dulunya mengharamkan golput, justru menjadikan sikap tersebut sebagai salah satupilihan.

    KEPUSTAKAAN

    Achmad An'am Tamrin Demokrasi voorskot: strategi resistensi terhadap politik uang,

    Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politikaAchwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010

    Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009,http://www.hmifebugm.com

    Admin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme,Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/

    Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSS

    Jakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute.

    Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.net

    Alfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007

    ariedjito, Orde (paling) Baru , Wednesday, 07 May 2008Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010.

    Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis,

    17/07/2008 08:49 WIBDimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October

    2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/

    Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita,

    27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/idEdiwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme,

    ediwahyu.multiply.com/journal

    Endrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP ErlanggaIda Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010

    Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.com

    Makmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01Kompas

    Marinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009)

    Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , :

    http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm

    M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan

    Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001.

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    21/24

    Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik 09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's Weblog

    NU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu

    Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia",

    Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 83

    Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8.

    Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15

    October.Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20.

    VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah

    format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009,

    10:05 WIBWishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, Jakarta

    Wemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33

    Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy"

    SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24

    Pebruari 2006M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009

    Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System,

    Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

    A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta

    2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in

    Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.

    Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987.

    Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya padaBab I)

    Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret

    1998.Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada

    Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.

    Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.

    Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam JurnalResonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.

    Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen

    Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth,Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono (penerjemah), Ekonomi Orde Baru: The

    Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold,

    The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.Hill, Hal (ed), Indonesias New Order: The Dynamics of Socio-Economic

    Transformation.

    Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI

    dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan

    http://hariansib.com/?p=73497http://hariansib.com/?p=73497http://hariansib.com/?p=73497
  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    22/24

    Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William,

    Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute of

    Southeast Asian Studies, 1977.Masoed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.

    Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds),

    Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika,1995.

    Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan

    Ilmu-IlmuSosial & FIS-UI, 1980.

    Van Der Kroef, J.M., Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia

    Press, 1971.

    Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

    Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar

    Maju, hlm 264.

    Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 Cetakan 1.Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828.

    Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: ABiographical Approach. New York:The Free Press.

    West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan

    Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia

    Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.

    Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.

    Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

    A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996

    Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS,Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and

    Practice in Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.

    Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia, LP3S, Jakarta 1987.

    Max Weber. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya

    pada Bab I)

    Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik?, (Artikel), Harian Kompas, 12Maret 1998.

    Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi)

    pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.

    Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal

    Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AM

    http://adetaris.multiply.com

    Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    23/24

    Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster

    University Press

    Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The PoliticalEconomy of the Mass Media. New York:Pantheon

    Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward

    ArnoldCurran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader.

    London:Sage Publication

    Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:SagePublic

    Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS

    Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.

    London:LongmanFairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold

    Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge

    Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books

    Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:RoutledgeHardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan

    Kepentingan. Yogyakarta:KanisiusKolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press

    Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana

    di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan

    Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:WadsworthPublishing Company

    Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global.

    Jakarta:YOIMagnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius

    Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan

    modern. Jakarta:GramediaMannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of

    Knowledge. London:Routledge

    Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:BasilBlackwall

    Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuails Reader in Mass Communication Theory.

    London:Sage Publications

    Mills, Sara. 1991. Discourse. London:RoutledgeNeuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon

    Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass

    Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage PublicationReese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher

    Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse.

    London:Sage PublicationRogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free Press

    Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the

    Mass Media. New York:Longman

  • 8/8/2019 PRAGMATISME KEBERAGAMAAN

    24/24

    Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia.

    Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara

    Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences onMass Media Content. London:Longman Group

    Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on

    Mass Media Content. London:Longman GroupSobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

    Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya

    Wimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:WadsworthPC

    Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development

    and Pressure for Change. New York:Routledge

    Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH

    Publishing Co, 1976

    Anderson, Benedict, R. OG., Language and Power: Exploring Political Cultures in

    Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.Emmerson, Donald, K., Indonesias Elite: Political Culture and Cultural Politics.

    London: Cornell University Press, 1976.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan

    pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI,

    1987.

    Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES,

    1992.

    Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982