IMPLIKASI PRAGMATISME

32
IMPLIKASI PRAGMATISME : DEIDEOLOGISASI Oleh Rum Rosyid, Untan - Pontianak Pendahuluan : Titik Pangkal Sekulerisasi Wacana sekularisasi yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid selaku cendekiawan muslim sempat ramai diperbincangkan di negeri ini. Beliau pertama kali mempublikasikan ide pembaruannya itu di majalah Arena dan secara tegas dikemukakan dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta tahun 1970. Pengertian sekularisasi menurut Nurcholis Madjid berangkat dari pola pemikiran dan pemahamannya bahwa islam sebenarnya berawal dari bentuk perkembangan yang membebaskan. Pemikir yang akrab disapa Cak Nur ini kemudian menjelaskan bahwa sekularisasi merupakan istilah teknis dan tidak sama dengan sekularisme. menelusuri titik pangkal sekularisasi di Indonesia dari sudut pandang historis. Di negara-negara Islam di Asia dan Afrika, ideological broker dari proses sekularisasi tidak bisa terlepas dari modernisme islam dan sosialisme yang menggejala dari Turki era Mustafa Kemal Ataturk dan Mesir era Gamal Abdul Nasser. Kedua hal tersebut mengkonversi islam tradisional kepada suatu humanisme-pragmatisme sekuler yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Menurut Irsyad, arus besar gagasan sosialisme yang telah ada sejak awal abad dua puluh di Indonesia melapangkan jalan bagi pencarian legitimasi teoritis perjuangan nasional anti-imperialisme maupun penemuan identitas baru dalam islam. Sosialisme dengan cepat menginfiltrasi organisasi massa terbesar di Indonesia (Hindia-Belanda) seperti Sarekat Islam (SI) dan organisasi intelektual mahasiswa paling berpengaruh yakni Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda. Perpaduan modernisme Islam asal Timur Tengah dan sosialisme inilah yang kemudian hari juga membentuk ideologi partai politik islam seperti Masyumi, PSII, Perti, dan NU. Munculnya berbagai organisasi pergerakan pada awal abad XX di tanah air tidak selalu disertai oleh alasan-alasan yang bertujuan sebagai unifikasi komunitas kebangsaan (Indische

Transcript of IMPLIKASI PRAGMATISME

Page 1: IMPLIKASI PRAGMATISME

IMPLIKASI PRAGMATISME : DEIDEOLOGISASIOleh Rum Rosyid, Untan - PontianakPendahuluan : Titik Pangkal SekulerisasiWacana sekularisasi yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid selaku cendekiawan muslim sempat ramai diperbincangkan di negeri ini. Beliau pertama kali mempublikasikan ide pembaruannya itu di majalah Arena dan secara tegas dikemukakan dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta tahun 1970. Pengertian sekularisasi menurut Nurcholis Madjid berangkat dari pola pemikiran dan pemahamannya bahwa islam sebenarnya berawal dari bentuk perkembangan yang membebaskan. Pemikir yang akrab disapa Cak Nur ini kemudian menjelaskan bahwa sekularisasi merupakan istilah teknis dan tidak sama dengan sekularisme. menelusuri titik pangkal sekularisasi di Indonesia dari sudut pandang historis.

Di negara-negara Islam di Asia dan Afrika, ideological broker dari proses sekularisasi tidak bisa terlepas dari modernisme islam dan sosialisme yang menggejala dari Turki era Mustafa Kemal Ataturk dan Mesir era Gamal Abdul Nasser. Kedua hal tersebut mengkonversi islam tradisional kepada suatu humanisme-pragmatisme sekuler yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Menurut Irsyad, arus besar gagasan sosialisme yang telah ada sejak awal abad dua puluh di Indonesia melapangkan jalan bagi pencarian legitimasi teoritis perjuangan nasional anti-imperialisme maupun penemuan identitas baru dalam islam.

Sosialisme dengan cepat menginfiltrasi organisasi massa terbesar di Indonesia (Hindia-Belanda) seperti Sarekat Islam (SI) dan organisasi intelektual mahasiswa paling berpengaruh yakni Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda. Perpaduan modernisme Islam asal Timur Tengah dan sosialisme inilah yang kemudian hari juga membentuk ideologi partai politik islam seperti Masyumi, PSII, Perti, dan NU.Munculnya berbagai organisasi pergerakan pada awal abad XX di tanah air tidak selalu disertai oleh alasan-alasan yang bertujuan sebagai unifikasi komunitas kebangsaan (Indische Partij, Sarekat Islam, Perhimpunan Indonesia), etnisitas (Budi Utomo, Jong Java, Jong Celebes, dsb.), atau ideologi (ISDV, SI, PKI).

Kemunculan organisasi itu juga bisa dimaknai sebuah upaya subyektif para pendirinya untuk membentuk atau mengukuhkan komunitas baru. Pembentukan organisasi-organisasi tersebut lebih bertujuan mentransformasikan sebuah tradisi yang telah ada ke dalam bentuk yang lebih baru.  Hal ini menjadi ciri khas dari pergerakan-pergerakan yang muncul atas nama islam. Kemunculan organisasi tersebut ternyata mentransformasikan umat islam ke dalam identitas-identitas politik-kultural dan ideologi baru. Muhammadiyah yang muncul pada tahun yang sama dengan Sarekat Islam membentuk komunitas islam modernis bersama Persatuan Islam (1920), Persyarikatan Ulama (1911), Jam’iyat Khair (1905) dan Al-Irsyad (1913) di Jawa dan Persatuan Muslimin Indonesia (1929) di Sumatera. Di sisi lain, Nahdlatul Ulama (1926) di Jawa bersama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930) di Sumatera membentuk komunitas islam tradisional.

Page 2: IMPLIKASI PRAGMATISME

Umat Islam Indonesia sebelumnya tidak pernah terkotak dalam kelompok-kelompok yang pada gilirannya membentuk komunitas ideologis ini. Setidaknya ada tiga alasan yang menjadi latar belakang pembentukan kelompok-kelompok ini yakni kebutuhan akan eksistensi, tuntutan modernisasi dan konflik kepentingan. Pada awal kemerdekaan, konsolidasi politik untuk merumuskan bentuk negara mutlak diperlukan. Kelompok-kelompok islam baik yang dianggap “modernis” maupun “tradisional” sebagai wakil islam dengan kelompok nasionalis sekuler seperti PNI, PKI dan PSI dalam tataran praktiknya lebih mengedepankan pentingnya menegakkan negara baru yang multikultur daripada berkeras memaksakan syariat islam. Dengan bukti itulah, Irsyad menyimpulkan proses sekularisasi partai politik islam di Indonesia dalam rumusan bentuk negara merupakan bentuk nyata sekularisasi itu sendiri.

Ada tiga aspek yang bisa jadikan untuk mengidentifikasi sekularisai partai politik islam di Indonesia. Pertama, yakni sekularisasi pada tataran basis legitimasi dengan mengurangi peran-peran ulama. Hal itu ditunjukkan oleh Masyumi saat mengerdilkan dewan syuro yang banyak dihuni oleh kiai NU. Selanjutnya dapat dilihat dalam tubuh PSII yang tidak memiliki lembaga khusus yang menampung suara ulama. Kedua, sekularisasi identitas kelompok yang merupakan jalan pembangunan identitas baru dalam partai politik islam. Pembangunan identitas itu ditegaskan dengan penyebutan istilah partai islam tradisionalis-lokal (PNU, Perti), kosmopolit-modernis serta modernis-konservatif. Ketiga, sekularisasi sebagai pragmatisasi sebagai akibat dari liberalisme politik selama era demokrasi parlementer. Sikap pragmatis tersebut seringkali diterapkan melalui visi dan ideologinya.  Partai islam kecil seperti Perti dan PSII karena tuntutan perluasan pengaruh akhirnya lebih menjadi petualang politik sehingga harus kompromi dengan PKI yang jelas secara ideologi berbeda. Sedangkan Masyumi lebih menonjolkan perbedaan pandangan yang bersifat individualis seperti kasus antara Natsir dan Soekiman dalam persoalan ekonomi. Sementara kasus NU seringkali para ulamanya menyiapkan diri mereka sebagai ”penjamin keabsahan” tindakan pragmatis para politisinya.

Relevansi IdeologiIdeologi sebagai istilah mulai diperkenalkan selama Revolusi Perancis oleh Antoine Destutt de Tracy dan pertama kali digunakan ke publik pada tahun 1796. Bagi Tracy, ideologi dimaksudkan dengan “ilmu tentang ide” yang diharapkan dapat mengungkap asal-muasal dari ide-ide dan menjadi cabang ilmu baru yang kelak setara dengan biologi atau zoologi. Namun, makna ideologi berubah di tangan Karl Mark melalui kerja awalnya dalam buku The German Ideology yang ditulis bersama F. Engels. Sebagaimana penjelasan Frank Bealey (Blackwell, 2000), kini ideologi lebih diartikan sebagai sistem berpikir universal manusia untuk menjelaskan kondisi mereka, berkaitan dengan proses dan dinamika sejarah, dalam rangka menuju masa depan yang lebih baik.

Daniel melihat ideologi sebagai praktek interpelasi. Baginya, ideologi tidak perlu dimatangkan atau disemai dulu demi menjadi dasar dari suatu praktek politik. Yang pertama adalah tujuan politik, baru dari situ para aktornya tinggal memetik ideologi apa yang cocok untuk dipakai demi mencapai tujuan politik tersebut. Dalam konteks Orde Baru, kebutuhan untuk menjatuhkan Sukarno dan memusnahkan komunisme hanya bisa dilakukan dengan metode yang diambil dari kegilaan fasis. Maka, itulah yang dipilih.

Page 3: IMPLIKASI PRAGMATISME

Jadi, secara implisit Daniel hendak mengatakan bahwa, terlepas dari argumen "melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen", pada awalnya Orde Baru sebenarnya adalah rezim yang sangat pragmatis, tidak menggubris dan memakai dasar-dasar normatif apa pun untuk praktek dan program politiknya. Hal tersebut semakin diperkuat dengan penjelasannya mengenai kemampuan trans-historisitas Orde Baru. Dengan seenaknya Orde Baru bisa keluar-masuk, memakai penafsiran sejarah, ideologi, norma, sejauh berguna untuk memperkuat berbagai tujuan kekuasaannya.

Berakar pada kaum liberalis, ideologi diartikan sebagai sistem kepercayaan individu tentang dunia yang lebih baik, sehingga tampak sebagai pola berpikir (mind-set) bagi penganutnya. Ideologi pun dapat dilihat sebagai “cara pandang dunia” (world view) penganutnya untuk menilai situasi keseharian mereka dalam rangka mencari jalan untuk mewujudkan kehidupan terbaik di masa yang akan datang.

Namun berdasarkan kecenderungan masyarakat masa kini, ideologi dipandang sebagai kumpulan ide atau konsep mengenai cara hidup (way of life) diwarnai oleh budaya dan tatanan masyarakat serta kehidupan politik. Ideologi memiliki unsur konsep atau ide yang diyakini serta diaplikasikan sebagai cara pandang menghadapi masa depan. Ideologi sarat dengan dimensi “keyakinan” dan “utopi”. Ideologi adalah sistem kepercayaan atau tata nilai yang diperjuangkan dan dijabarkan secara sadar oleh para pemeluknya dalam totalitas kehidupan, terutama dalam jagad sosial-politik. Ideologi menjadi visi yang komprehensif dalam memandang sesuatu, yang diformulasi secara sistemik dan ilmiah dari seseorang atau sekelompok orang mengenai tujuan yang akan dicapai dan segala metode pencapaiannya.

Trauma historis akan ideologi tertentu membuat kita menutup mata betapa banyak alternatif ideologis lain yang boleh jadi bisa ikut memperkaya khazanah perjuangan nilai kita menuju kesejahteraan tanpa harus mengabaikan kemajemukan kita. Kita melupakan betapa ideologi pada dasarnya merupakan perwujudan perjuangan nilai untuk ikut memberi warna terhadap bangunan imajiner sebuah bangsa; jadi, konsekuensi artikulatif perbedaan dan keragaman (kepentingan) di dalamnya.Tak mengherankan kalau dalam iklim politik semacam ini hanya parpol pragmatis dan parpol kepentingan yang bermunculan dan bertahan hidup. Ketika doktrin komprehensif tak ada atau tak memadai sebagai orientasi perjuangan nilai, tak mengherankan kalau strategi politik didegradasikan derajatnya menjadi sekadar taktik merebut dan berbagi kekuasaan, memperjuangkan kepentingan sempit golongan, dan bahkan mengeruk uang.

Ketika politik bukanlah ajang perebutan aksentuasi mewarnai imajineri sosial mengejewantahkan negara-bangsa ideal, maka bertiwikramalah menjadi ajang pengkaplingan kabinet, pengukuhan politik identitas, dan penggemukan kocek belaka.Tanpa ideologi yang sanggup memberi orientasi perjuangan nilai yang jelas lewat doktrin komprehensifnya, politik berkembang menjadi sekadar ajang bancakan kalangan oportunis yang tak tahu cara berpolitik lain selain membeli kekuasaan dan menjual kewenangan. Tudingan tak mau repot membangun karier kepemimpinan lewat partai dan lebih suka main duit membeli kekuasaan yang ditimpakan pada calon independen, sesungguhnya justru simptoma yang mudah dikenali pada calon jalur parpol. Seperti

Page 4: IMPLIKASI PRAGMATISME

santer diberitakan belakangan ini, perdagangan kursi pencalonan tersebut bahkan sampai menjurus pada modus penipuan karena secara serentak dijual kepada sekian calon sehingga menimbulkan keributan berdarah yang memalukan.

Dalam konteks ini, persoalan kejumbuhan kepentingan ekonomi dan politik, atau lebih gamblangnya antara kepentingan saudagar dan politikus, yang belakangan ini kerap dipergunjingkan, tidaklah tepat didekati dengan pertanyaan mengapa seorang saudagar tidak boleh berpolitik seperti pernah dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Persoalannya, dalam iklim politik oportunistis semacam ini privilese ekonomis dengan mudah ditransfer menjadi privilese politis, demikian pula sebaliknya. Inilah yang harus lebih dipersoalkan dan dikoridori karena lalu menyangkut pelanggaran prinsip keadilan dan kepantasan politik. Pada titik inilah kita berbicara pentingnya reideologisasi politik. Kehidupan politik yang sehat tak mungkin mewujud tanpa dinamika ideologis. Para pendiri bangsa ini telah jauh-jauh hari menempatkan bhinneka tunggal ika sebagai koridor ideologis bangsa ini; sayang, rekam jejak sejarah memperlihatkan kita belum terlalu menginsafi kandungan makna pluralitasnya.

Elan vital sebagai efek ideologyOleh Rum RosyidIdeologi berisi pemikiran dan konsep yang jelas mengenai Tuhan, manusia dan alam semesta serta kehidupan, dan mampu diyakini menyelesaikan problematika kehidupan. Dalam konsep ini, maka tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa ideologi. Manusia tanpa ideologi hanya akan mengejar kemajuan material, namun mengalami kehampaan dalam aspek emosional dan spiritual, sehingga teralienasi dan kehilangan identitasnya yang sejati, lalu mereka mengalami disorientasi dan kegersangan hidup. Ideologi menyediakan kejelasan arah bagi manusia, dorongan, pembenaran dan dasar bagi aktivis untuk bergerak menggulirkan agenda dan aksi-aksinya. Karenanya, ideologi menyediakan elan vital, etos, dan bahkan militansi perjuangan. Semangat rela berkorban adalah refleksi keyakinan ideologis.

Dimensi “ide” dari ideologi memberikan bingkai konsepsi bagi pemahaman, arah perjuangan, dan dasar pergerakan bangsa. Sementara dimensi “keyakinan” dan “utopi” memunculkan komitmen, militansi, dan fanatisme positif yang memicu gairah dan darah perjuangan, sekaligus memompakan api semangat rela berkorban. Itulah yang terjadi di awal-awal kemerdekaan atau masa jauh sebelum kemerdekaan di era para pendiri bangsa ini berjuang bahu-membahu merebut kemerdekaan. Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin, yang kemudian dilanjutkan Orde Baru dengan pragmatisme politiknya, praktis memandulkan ruh ideologi dari hati manusia-manusia Indonesia. Orde Baru dengan jargon pembangunan-isme telah mengarahkan mata bangsa Indonesia hanya pada pembangunan ekonomi. Moderenisasi, pasar bebas, hubungan-hubungan pembangunan yang lebih mementingkan tujuan jangka pendek, tumbuhnya elit kelas menengah yang sibuk dengan profesi, serta kompromi-kompromi pragmatis, meminimalkan perhatian orang pada aspek ideologi. Jargon yang diadopsi adalah seperti apa yang dikatakan Deng Xiao Ping, “Tidak penting apakah kucing berwarna hitam atau abu-abu, yang penting dapat menangkap tikus.”

Page 5: IMPLIKASI PRAGMATISME

Di sisi lain, asas tunggal Pancasila yang dipaksakan penguasa melalui indoktrinasi, tafsir tunggal dan sakralisasi terbukti tidak membawa kebaikan bagi bangsa ini. Stigma anti-Pancasila sebagai alat penghalau musuh-musuh politik Orde Baru secara represif telah menjadi trauma politis-ideologis yang masih membekas. Kondisi itu menjadi sangat mengenaskan ketika praktek sehari-hari rezim Orde Baru justru sama sekali tidak mencerminkan, bahkan mengingkari jiwa Pancasila. Pancasila menjadi mantra yang indah diucapkan, namun tidak pernah dipraktekkan. Maka, badai yang dituai kemudian adalah kemunafikan massal yang dipertontonkan penguasa otoritarian-militeristik. Berbeda dengan China yang merasa sebagai bangsa besar dan dengan budaya kuno tinggi warisan ribuan tahun, atau Jepang yang melalui jalur tenno heika merasa sebagai bangsa keturunan Dewa Matahari (Amaterasu), maka Indonesia kontemporer Tampak merunduk lesu secara ideologis. Tidak ada cita-cita besar dan heroisme untuk membangun peradaban adiluhung sebagai bangsa besar.

Budayawan Koentjaraningrat menyebut kita mengidap budaya “menerabas” budaya potong-kompas, budaya miopis (rabun dekat). Ingin cepat sukses, kaya, atau berkuasa dengan usaha sedikit, dan kalau perlu tabrak aturan. Tak mampu melihat masa depan yang jauh, paling banter melihat dalam periode “lima tahunan”. Budaya “menanam jagung” yang tiga bulanan, ketimbang budaya “menanam jati” yang harus menunggu puluhan tahun. Budaya “jalur cepat” menuju sasaran, kalau perlu melangkahi kepala orang. Budaya selebritis instan yang ingin populer dalam sekejap. Atau, budaya “satu hari untung beliung”. Penyakit kronis yang kita idap adalah kurang menghargai mutu, memburu rente dalam ekonomi, politik uang dalam kekuasaan, gelar palsu dalam pendidikan, barang tiruan dalam perdagangan, serta budaya judi di kampung-kampung.

Budaya Pragmatis Hedonistik : isolasi IdeologisTransisi ideologi mengkristal melalui penyilangan secara vertikal, horizontal, dan diagonal ideologi sekuler, nasionalis, dan islami, kultur abangan, priayi, dan santri, membentuk konfigurasi baru ideologi. Gejala ini merupakan proses lanjut pemudaran ideologi partai yang sudah berlangsung sejak awal Orde Baru. Sekularisasi pragmatis tampak merupakan gelombang besar perpolitikan nasional pascapilpres 2004 di era reformasi walaupun berjalan tersendat sejak runtuhnya Orde Baru pada 21 Mei 1998.

Dalam budaya pragmatis dan hedonis itu, ideologi tak mendapat tempat, idealisme hanya tersisa di pojok-pojok sempit ruang kuliah atau kelompok diskusi publik. Kita sempat bangga ketika pesawat N-250 diluncurkan, seratus prosen buatan anak bangsa, terbang fly by wire di atas dirgantara pertiwi. Rasa percaya diri dan nasionalisme produktif menyembul di balik baling-balingnya. Namun, emosi itu segera padam bersama diobralnya industri unggulan kita ke pihak asing serta dicabutnya subsidi bagi berbagai industri strategis. Selanjutnya, satu pertanyaan harus kita ajukan, apakah bangsa ini masih punya ”mimpi” untuk menjadi negara besar? Atau sekedar menjadi soft nation, bangsa yang lembek tanpa militansi. Atau hari-hari berjalan business as usual, rutin, tanpa digerakkan oleh ”masa depan” yang menantang.

Page 6: IMPLIKASI PRAGMATISME

PILPRES 2004 merupakan pelajaran demokrasi paling riil tentang hak setiap orang menentukan pilihan, selain hukum besi demokrasi vox populi vox Dei. Sebaliknya ketika tak tersedia alternatif ideologi transisi tanpa program yang jelas, pilpres-terutama pada putaran kedua-bisa menjadi ajang pertarungan ideologis dan teologis yang sengit yang jejaknya bisa meluas dan panjang pascapilpres. Perubahan sistem pemilu tersebut memberikan konsekuensi-konsekuensi tersendiri. Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2009 aturan main (electoral law) yang ada, sebagaimana sebelum-sebelumnya, tak lepas dari dinamika politik para pengambil keputusan. Pihak DPR, yang tentu saja didominasi oleh kepetingan partai-partai politik, khususnya yang sudah “mapan”, telah bekerja sedemikian rupa dalam “menyempurnakan” paket UU bidang politik. Walhasil, disepakatilah UU tentang Pemilu yang mencatatkan adanya derivasi sistem proporsional yang disebut sebagai sistem proporsional terbuka terbatas. Intinya, sama dengan sistem sebelumnya, hanya angka dukungan keterpilihan atas bilangan pembagi pemilih (BPP) diturunkan dari 100 persen menjadi 30 persen.

DPR juga menyepakati, dan tentu ini bagian dari suatu kompromi politik antara “fraksi-fraksi besar” dan “fraksi-fraksi kecil” (berisi wakil-wakil rakyat dari partai-partai politik yang pada Pemilu 2004 tidak cukup memperoleh angka electoral threshold), bahwa semua partai politik peserta Pemilu 2004 otomatis merupakan peserta Pemilu 2009. DPR telah inkonsisten dengan UU sebelumnya yang secara tegas mengamanatkan agar partai-partai plitik di bawah angka electoral threshold, tidak boleh lagi menjadi peserta pemilu.

Namun, demokrasi adalah media belajar yang membuat banyak hal yang dulu mustahil kini mungkin. Transisi demokrasi lebih mulus apabila kita benar-benar menyadari "takdir" politik suara rakyat proletar. Pada tahap lanjut, politik aliran akan memudar memunculkan ideologi baru yang lebih rasional sebagai basis penyusunan program partai bagi kepentingan praktis rakyat pemilih.

Bangsa ini perlu kembali menata cara pandang, membiakkan mimpi, memfokuskan masa depan, membangun gairah dan militansi, serta menancapkan cita-cita besar yang hidup dan terasakan di dalam hati. Sehingga energi bangsa ini tidak terbuang dalam gerak chaotic melingkar, namun mengalir sinergis dan fokus. Untuk itu, kita butuh kehangatan ideologi. Tanpa ideologi manusia hanya berlari mengejar peradaban materi, namun hampa dalam aspek emosi dan spirit. Secara kolektif jadilah kita bangsa yang adem-ayem, miskin romantika negara besar, namun dipenuhi dengan manusia kerdil yang tidak punya utopi.

Pemilu 2009, baik pemilihan anggota legislatif (DPR, DPRD dan DPD), maupun pemilihan presiden (pilpres) merupakan bagian integral dari proses demokrasi politik nasional, khususnya sejak pasca Orde Baru. Pemilu 2009, adalah yang ketiga setelah 1999 dan 2004. Dibandingkan dengan sebelum 1999, politik Indonesia sudah banyak berubah. Pemilu-pemilu era reformasi berbeda jauh dengan pemilu-pemilu di masa Orde Baru. Selain bersifat multipartai, pemilu-pemilu pasca Orde Baru boleh dikatakan berkembang dinamis.

Sistem pemilu yang diterapkan memang masih merupakan sistem proporsional, yang

Page 7: IMPLIKASI PRAGMATISME

membedakan dengan sistem distrik. Tetapi, pada praktiknya semakin mengarah ke sistem distrik, sebagai konsekuensi dari derivasi sistem proporsional tertutup (1999) ke “setengah terbuka” atau sistem proporsional dengan daftar calon terbuka (2004), hingga ke sistem proporsional terbuka murni (2009). Sampai pada titik ini, Mahkamah Konstitusi (MK) lantas turut ambil bagian. MK membatalkan pasal keotomatisan partai-partai politik di bawah angka electoral threshold untuk menjadi peserta pemilu. Tetapi, karena keputusan itu ditetapkan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melangkah jauh dengan tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu yang terjadwal, MK dengan pertimbangannya tersendiri pula, tidak membatalkan kepesertaan mereka pada Pemilu 2009. Sehingga jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 tercatat 38 buah di tingkat nasional dan 6 buah khusus untuk pemilu DPRD di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Lantas, MK juga membatalkan pasal yang menegaskan bahwa pemilu akan menerapkan sistem proporsional terbuka terbatas, dan menetapkan bahwa keterpilihan calon anggota legislatif ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian, MK telah berperan sangat penting dalam merubah electoral law ke arah penerapan sistem proporsional terbuka murni. Lagi-lagi, keputusan MK itu mengecewakan banyak partai politik yang kadung mengagungkan nomor urut, dan meletak-letakkan caleg mereka ke “sembarang tempat”, akibatnya banyak caleg yang “salah letak” karena tak punya akar kuat di daerah pemilihan (dapil) di mana ia berada.

Pengalaman paling berharga dari proses pemilu 5 April dan 5 Juli 2004 lalu adalah pemahaman akan realitas politik Indonesia, betapa kuatnya sikap pragmatisme para petinggi parpol, tidak terkecuali parpol yang mengusung bendera, simbol, dan idiom-idiom Islam. Keputusan MK tentang perolehan suara terbanyak bagi caleg ke Senayan kian menegaskan format demokrasi langsung kita dan kian meneguhkan, demokrasi kita ekstra liberal berbasis individu atau “demokrasi pilihlah aku”. Konsekuensi utama atas keputusan itu, semua parpol peserta pemilu tidak lagi memiliki kontrol ketat penentu terpilihnya calon anggota legislatif (caleg). Nomor urut caleg menjadi tak relevan, tergantikan oleh kekuatan tiap individu caleg. Partai hanya berfungsi sebagai kendaraan dan simbol (merek) politik.

Iklan-iklan partai di televisi dan media cetak hanya memperkuat merek politik para caleg. Sebanyak 38 parpol nasional dan enam di tingkat lokal untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah saling beradu merek. Partai-partai lama, khususnya lima besar hasil Pemilu 2004, bersanding dan bersaing satu sama lain, termasuk dengan yang baru. Persaingan simbolik (baik simbol “agama” maupun “non-agama”) dan mengemukanya berbagai jargon dan tema kampanye, tersembul ke dalam berbagai media dan ruang publik.

Pragmatisme ini ditandai kultur dalam pembuatan keputusan politik yang selalu dilandasi oleh pertimbangan posisi atau konsesi kekuasaan yang akan dicapai. Modal minimal para caleg “demokrasi pilihlah aku” untuk merebut publik adalah stiker dan spanduk. Ekspresi ketatnya kompetisi politik terpancar dari ribuan wajah caleg plus vote getter masing-masing, terpampang di aneka stiker dan spanduk yang tersebar di mana-mana.

Page 8: IMPLIKASI PRAGMATISME

Pemandangan ini amat berbeda dengan jalan-jalan Indonesia pada 1955 dan kampanye pada enam kali pemilu Orde Baru serta dua pemilu era reformasi.

Eksperimentasi “demokrasi pilihlah aku” memang masih amat awal. Pada Pemilu 2004, model ini diterapkan untuk pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), selain pemilihan presiden (pilpres) dan berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dasarnya adalah persaingan antar-individu politik yang didukung partai. Pada pilkada, calon perseorangan dibolehkan dan kelak tak menutup kemungkinan pilpres akan mengakomodasinya sebagai konsekuensi pengejawantahan hak politik individu.

Lebih dari itu malah hitung-hitungan materi berupa uang atau barang-barang. Hal ini terjadi, baik pada tindakan individu maupun institusi. Penilaian secara institusi di-suarakan hampir oleh semua tim sukses capres dan cawapres, yang menyatakan bahwa mesin parpol saat pemilu capres-cawapres 5 Juli 2004 tidak jalan. Apa konsekuensi atas praktik “demokrasi pilihlah aku”. Pertama, persaingan antar individu caleg, bahkan dalam masing-masing partai politik, amat ketat. Masing-masing berebut simpati untuk saling mengungguli. Siapa yang paling aktif mengampanyekan diri (tampil ngepop), dialah yang berpeluang lebih besar daripada yang pasif. Diperlukan banyak modal, khususnya finansial, untuk mendongkrak citra, terutama bagi yang kadar popularitasnya rendah. Pendekatan pragmatis akan banyak digunakan, sepaket dengan politik uang (money politics).

Kedua, jor-joran antarcaleg berisiko menghadirkan aneka intrik dan politiking, antara lain dengan mengemukanya kampanye negatif, bahkan kampanye hitam (black campaign). Soal saling menjatuhkan, mencerminkan egoisme politik “pilihlah aku, jangan yang lain”. Urusannya akan jadi panjang jika terbentur konflik politik yang terbawa-bawa hingga pascapemilu.

Ketiga, karena modal finansial dianggap paling penting, maka terbuka kemungkinan pola “bosisme politik”. Bosisme politik merupakan fenomena yang pernah menggejala di AS, Amerika Latin, dan Filipina. Saat itu, para politisi yang berlaga dibandari para “cukong” dan “mafia”. Mereka memanfaatkan persaingan bebas politik, dengan kekuatan finansial dan jaringan “mafia”, guna memengaruhi secara lembut (politik uang) maupun keras (intimidasi) kepada pemilih (voters). Politik yang keras dan berdarah-darah harus dijauhkan, tetapi apa daya jika egoisme politik lepas kendali.

Keempat, “demokrasi pilihlah aku” juga amat diwarnai adat kebiasaan pemilih. Jika adat kebiasaan itu diwarnai persepsi politik yang bias jender, para caleg perempuan tentu dirugikan. Pertimbangan primordial juga akan mengemuka, khususnya dalam masyarakat tradisional yang preferensi politiknya terbatas. Kelima, kelihatannya model kampanye “door to door” juga marak. Para caleg dan timnya akan turun dari pintu ke pintu, menyapa calon pemilihnya. Kampanye model ini atau yang menyapa langsung masyarakat memang melelahkan, tetapi barangkali lebih efektif ketimbang bentuk kampanye lain.

Keenam, jika sudah terpilih, diperkirakan akan muncul bentuk-bentuk “kesombongan

Page 9: IMPLIKASI PRAGMATISME

politik baru” dari para elite politik di DPR. Mereka merasa telah begitu ngos-ngosan berebut dukungan dan legitimasi. Bila tersindir sedikit, mereka bisa langsung mengatakan, “Aku ini anggota DPR yang terpilih dengan suara terbanyak.” Ketujuh, dalam jangka panjang, anggota DPR terpilih dituntut untuk pandai-pandai merawat dukungan (konstituen). Kompetensi, kapasitas, dan integritas mereka akan menentukan popularitas, akseptabilitas, dan reelektabilitas kelak. Setelah terpilih, what next? Arena DPR tentu merupakan arena ujian, bukan “bancakan”.

Kedelapan, meski banyak pilihan, bukan berarti membuat kelompok golput (non-voters) menipis. Ada lapisan masyarakat yang apatis terhadap banyaknya pilihan dengan alasan substansial maupun teknis. Ini tantangan bagi para caleg dan partai.

Sebagai parpol Islam yang berwatak mandiri dan self-financing, kata pengamat politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ary Dwipayana, PKS selalu menjadi sorotan lawan-lawan politiknya maupun publik. Mereka, misalnya, konsisten membiayai segala aktivitas politiknya dengan sumbangan dan kontribusi anggota, simpatisan, serta pengurusnya. "PKS relatif masih dalam sorotan publik dibandingkan parpol Islam lainnya," kata Ary. Ia berharap, PKS benar-benar menjadi partai politik yang tetap terbuka, jujur, dan kritis. "Jangan terjebak pada budaya politik yang mengejar kekuasaan semata," katanya. Namun jika PKS melakukan kekeliruan dalam koalisi politik, basis massanya bisa bubar; dan partai ini akan kehilangan kepercayaan. Semua itu, kata Ary, harus menjadi pertimbangan kembali oleh PKS karena ini menyangkut kepercayaan publik yang bakal menentukan hidup-matinya PKS sendiri.

Iklan PKS yang menampilkan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari mendapat tanggapan dari kalangan di Muhammadiyah dan NU. Pendukung dua ormas besar itu menuding PKS mengincar warga mereka. Padahal, pandangan keagamaan PKS tidak sejalan dengan ajaran dua tokoh tersebut. Terlebih lagi ketika sebuah sekuel iklan PKS menampilkan mantan Presiden Soeharto. Kritik pedas berdatangan silih berganti. PKS dituding berbalik langkah, dari partai yang reformis menjadi parpol yang pragmatis. Menghalalkan segala cara untuk menarik massa. Reaksi keras itu tidak sulit dipahami. Ingatan orang belum kering, bagaimana reformasi merupakan gerakan bersama untuk menolak politik otoritarian Orde Baru. Ketika itu, PKS termasuk yang paling lantang berteriak reformasi.

Tapi kini, baru 10 tahun berlalu, PKS seolah melupakan semangat itu demi meraup kekuasaan. Sebenarnya pragmatisme PKS bukan fenomena baru. Kemauan dan kemampuan mengambil langkah politik taktis terlihat sejak Pemilu 2004. Ilmuwan politik membagi perilaku partai politik ke dalam tiga kategori: perilaku dalam organisasi, perilaku dalam pemilu, dan perilaku dalam pemerintahan. Dalam ketiga ranah ini, perlahan tapi pasti PKS makin taktis, rasional, pragmatis.

Gejala De-Ideologisasi ParpolTampak tren de-ideologisasi parpol. Ciri ideologis parpol tenggelam seiring dengan mengentalnya pragmatisme yang ada. Memang parpol-parpol masa kini berbeda dengan

Page 10: IMPLIKASI PRAGMATISME

tempo dulu (1950-an) yang kental nuansa ideologisnya. Mungkin karena karakter masyarakat yang berkembang semakin pragmatis, maka tawaran-tawaran ideologis yang diberikan oleh beberapa partai yang berciri ideologis tertentu (Islam, misalnya), tampak mental (berbalik). Buktinya parpol-parpol yang menang dalam pemilu, adalah yang berideologi pragmatis. Orang tidak memilih berdasarkan pertimbangan ideologis. Karena realitas inilah, maka dapat dipahami, PKS misalnya ingin mengubah jargon dari partai moral (ideologis) menjadi partai profesional.

Pasca pemilu nasional, konstelasi politik di Indonesia secara alamiah menata ulang dirinya sendiri. Kutub-kutub politik yang saling menguat dan menjauh satu sama lainnya semasa pemilu, mulai mencair kembali. Fenomena ini terlihat jelas pada perilaku elite politik. Gelombang pertama reposisi ini tentu saja saat pemilu anggota legislatif selesai dan pemilu presiden dan wakil presiden hendak dimulai. Pasangan capres dan cawapres mengumpulkan partai-partai politik yang berkenan menyokong pencalonan diri mereka.

Pada fase ini keganjilan mulai terlihat. Partai-partai yang berbeda “platform” bergabung mendukung kandidat sama. Calon dari Parta Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, didukung baik oleh partai yang dikenal bersifat nasionalis atau plural (PKPI, PPIB, PAN) dan partai yang berbasis sentimen keagamaan (PDS, PKS, PBB, PPP, PBR). Disebut keganjilan karena partai yang mewacanakan syariah Islam pada masa kampanye duduk bersama dengan partai nasionalis, atau partai Kristen. Isu-isu yang sepertinya prinsipil ternyata bukanlah wilayah hitam-putih bagi para elite politik.

Studi yang dilakukan Kuskhirdo Ambardi mendeskripsikan sejarah politik kontemporer Indonesia ada pembelahan sosial (cleavage): agama-sekuler, kelas sosial, kesatuan-federal, etnisitas, dll. Dia menjadi ranah pembeda antar kelompok politik, sekaligus pula medan perdebatan. Uraian ini tidak cukup memetakan politik Indonesia karena dengan mudahnya para elite politik menegosiasikan identitas politiknya. Kita menyaksikan banyak kegagalan pencalonan kader kuat sebuah partai yang sanggup mencalonkan sendiri bahkan berpeluang memenangi karena besaran penguasaan konstituen partainya, justru akibat partainya sibuk mendagangkan suaranya kepada calon parpol lain. Kecenderungan ini tampak lebih gamblang lagi pada periode transisi sebelumnya ketika pilkada masih bersandar pada mayoritas perwakilan.

Jadi, fenomena ini sebaliknya justru lebih baik dikenali sebagai luapan alternatif mengatasi kesenantiasaan ketaktertampungan politikal yang bersifat konstitutif dalam politik; betapapun salah satu penyebabnya boleh jadi bisa saja politik asongan parpol. Sementara musabab politik dagang perparpolan kita jelas mempunyai sejarah lebih jauh, yakni pada deideologisasi parpol sejak masa Orde Baru dengan massa mengambangnya, atau bahkan Orde Lama dengan demokrasi terpimpinnya. Merujuk ke periode tahun 1999, betapa Megawati dengan PDIP-nya sebagai pemenang pemilu tidak mendapat amanat dari MPR karena sentimen agama dan gender oleh kelompok poros tengah, tapi pada tahun-tahun berikutnya, kelompok sama pula yang mendaulatnya menjadi presiden.

Dinamika politik kepartaian bukanlah ditentukan banyaknya jumlah partai melainkan polaritas ideologisnya. Semakin ragam kutub-kutub ideologisnya dan semakin jauh jarak

Page 11: IMPLIKASI PRAGMATISME

ideologis antarkutub-kutubnya, akan semakin riuh dinamika politiknya.Tentu saja polaritas majemuk dan tajam akan menghadirkan pluralisme ekstrem yang mempunyai kerepotan tersendiri, seperti kenangan pahit sekaligus manis era demokrasi parlementer sebelum diberangus Bung Karno dengan demokrasi terpimpinnya. Betapapun, kita juga telah merasakan tidak produktif dan bahkan lebih berbahayanya perparpolan yang sunyi senyap pada masa totaliterisme Pak Harto dengan Golkarnya. Ketika itu, segenap kutub ideologis dilindas habis sampai diguraukan hanya menyisakan satu kutub, yakni... beruang kutub. Yang dimaksud, tentu bukan yang dipelihara di Taman Safari, walau di sana juga kebetulan hanya seekor dan kesepian. Pasti kenangan pahit ini yang membuat Orde Reformasi membuka pintu pembatasan kepartaian. Kalau yang keguguran dan mati suri ikut dihitung, orde ini jelas telah menambah kerepotan luar biasa bagi sejarawan kepartaian dengan ratusan nama baru. Betapapun, psikososial totaliterisme era massa mengambang, ketika akar ideologis kepartaian dipangkas habis sampai ke serabutnya, rupanya telanjur berkerak.

Karat paradigma kehadiran parpol sebagai sekadar formalitas supaya disebut demokratis dan bukan pertanda keterwakilan ideologis konstituennya, masih lekat mengerak.Bukan hanya partai-partai lama tetap mendominasi dengan ketidakjelasan ideologisnya, namun juga kebiasaan lama tak menyangkutpautkan parpol dengan tawaran ideologis tertentu untuk ikut mewarnai sosok negara-bangsa ini. Dinamika politik kepartaian macet karena salah memahami Pancasila dari sebuah "ideologi" bangsa, yakni sebuah konsensus yang mencakup (overlaping consensus) segenap keragaman doktrin komprehensif yang hidup dalam ranah publik bernama Indonesia, menjadi satu-satunya ideologi bagi segenap parpol.Lebih dari ketaktertampungan politikal, fenomena ini juga jelas menggejalakan ketakterwakilan konstituen pada tataran praksis politik. Fenomena ini tampak jelas lewat paradoks politik perparpolan kita belakangan ini, yakni di satu sisi memperlihatkan terus bertumbuhnya parpol baru sementara di sisi lain ketidakpuasan terhadap parpol justru mewacana dan masyarakat luas bahkan cenderung lebih memercayakan aspirasi politiknya lewat jalur nonparpol, baik media massa, LSM, aksi protes dan demonstrasi, maupun pengadilan.

Pragmatisme Partai sebagai alatDalam hal ini, pengamat politik Daniel Dhakidae PhD mengingatkan bahwa ideologilah yang membuat sebuah parpol politik mampu mengumpulkan suara dari konstituennya. "Tanpa ideologi sebuah partai bisa ditinggalkan pemilih," katanya. Sayangnya, dalam perkembangannya akhir-akhir ini, banyak politisi yang bersikap sangat pragmatis, hanya menjadikan partai sebagai alat tunggangan belaka. Jika kecenderungan buruk ini terjadi pada PKS, maka partai ini tidak akan peduli lagi pada ideologi dan kemajuan, kecuali untuk kepentingan pribadi atau kelompok. "Gejala pragmatisme partai yang meluas dan meninggalkan ideologi itu membuat partai, termasuk PKS, bisa kehilangan konstituennya terutama swing voters yang relatif besar,'' kata Arbi Sanit, pengamat politik dari Fisip Universitas Indonesia.

Dalam organisasi, contohnya, parpol yang banyak diawaki mantan aktivis masjid kampus ini terkena apa yang oleh Robert Michels murid Max Weber yang kemudian menjadi penasihat politik Benitto Mussolini disebut sebagai “hukum besi oligarki”. Menurut

Page 12: IMPLIKASI PRAGMATISME

Michels, pada masa-masa awal kelahirannya, kendali partai politik berada di tangan anggotanya (demokratis). Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kepemimpinan akan beralih ke tangan segelintir pimpinan (oligarki) karena tuntutan efektivitas organisasi.Ini dialami PKS. Pada awal sejarah partai ini ketika itu bernama Partai Keadilan (PK) anggaran dasar partai menyebutkan, lembaga pengambil keputusan tertinggi adalah musyawarah nasional. Artinya, setiap keputusan penting selalu dirembuk dan dibicarakan bersama oleh anggota partai. Perkembangan berikutnya, setelah berubah menjadi PKS, anggaran dasar partai menyatakan, lembaga pengambil keputusan tertinggi adalah Majelis Syuro. Keputusan tertinggi cukup di tangan sekelompok pimpinan.

Mark Woodward (2001), misalnya, mengelompokkan respon Islam atas perubahan paska Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru. Pertama, indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.

Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.

Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”. Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.

Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru

Page 13: IMPLIKASI PRAGMATISME

terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.

Sikap pragmatisme yang kini membudaya di kalangan partai politik, dalam jangka panjang, sangat membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Oleh karena itu, kultur pragmatisme itu harus diputus. Jika tidak, bangsa ini terancam oleh politik. Penilaian tersebut dikemukakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Rabu (7/4/010), menanggapi pidato autokritik Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekamoputri dalam pembukaan kongres ke-3 partai itu di Bali. Maarif yang kerap disebut sebagai guru bangsa itu menegaskan bahwa partai-partai, termasuk PDIP, terjerat pragmatisme, yakni suatu sikap yang mengutamakan kepentingan sesaat dan mengabaikan kepentingan jangka panjang, khususnya menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Mengubah Peta Kemiskinan : peran kekuasaanSoal kemerosotan kualitas politik dan ekonomi di era reformasi kian membuat daya tarik yang memudar masyarakat pada demokrasi. Jika demokrasi kehilangan pesona karena gagalnya praktik politik sebagaimana dijelaskan di depan, maka kekhawatiran mengenai baliknya orde baru makin besar. Sampai saat ini, tanda dan gejalanya dapat dirasakan sebagai ancaman serius. Sebut saja paling gampang adalah, romantisme orbais makin membesar, mengisi wacana gagalnya konsolidasi demokrasi. Seolah orde baru lebih baik dibanding era reformasi. Demokrasi yang tercabik-cabik, makin menebalkan keyakinan bahwa reformasi sudah melenceng dari cita-cita mewujudkan politik yang demokratis, berkeadilan serta masyarakat yang sejahtera.

Siapapun yang akan memperoleh kekuasaan, mereka akan memiliki beban tanggung jawab yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Jika demikian halnya, demokrasi seharusnya tidak sekadar dipahami dalam ukuran bagaimana membuat peta-peta kekuasaan menjadi sangat dinamis. Lebih dari itu, peta-peta kekuasaan dinamis yang dilahirkan oleh demokrasi itu seharusnya memiliki agenda untuk mengubah peta kemiskinan. Namun, upaya untuk mewujudkan gagasan ideal ini bukanlah semudah membalik tangan. Mengubah peta kemiskinan melalui peta kekuasaan hanya bisa dilakukan jika terdapat kejelasan ideologis setiap partai politik. Itu artinya, pragmatisme politik (baca: kekuasaan adalah demi kekuasaan itu sendiri) haruslah ditinggalkan. Itu juga berarti bahwa ”koalisi untuk kemuliaan koalisi” haruslah menjadi pantangan politik (political taboo).

Pada titik ini, pertanyaan praktis yang harus dijawab oleh setiap politikus adalah bagaimanakah kekuasaan negara itu nantinya diperlakukan oleh politisi untuk mengatasi kemiskinan itu. Dalam konteks ini, hampir tidak mungkin dibayangkan pengubahan peta kemiskinan tanpa membicarakan seberapa jauh dan seberapa besar intervensi kekuasaan negara itu harus dilakukan. Instrumen untuk melakukan intervensi ini tentu saja berbaku kait dengan kapasitas keuangan negara, seperti APBN, maupun dengan kapasitas badan-badan usaha publik yang dimiliki negara. Isu besarnya adalah apakah negara akan menjadi maksimalis atau minimalis. Jika pilihan maksimalis diambil, bagaimana dampaknya terhadap besaran APBN (magnitude of the state budget). Dari manakah dana

Page 14: IMPLIKASI PRAGMATISME

itu harus diperoleh. Apakah melalui pajak atau melalui pinjaman Negara. Demikian juga sebaliknya, jika pilihan minimalis diambil, apakah akan terdapat penjualan aset negara yang lebih besar.

"Selain elite politik, kader atau konstituennya juga pragmatis. Jadi, dari sudut idealisme, merosot tajam politik kita. Harapan kini tertuju pada generasi muda yang akan memimpin partai dan memutus mata rantai pragmatisme" ujar Maarif. Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, juga menilai saat ini terjadi kesalahan pola pikir dalam partai politik di Indonesia. Partai itu melihat konstituen untuk dimanfaatkan pada arena pemilihan lima tahun sekali. "Parpol itu melihat konstituen cuma komoditas yang digunakan untuk mengatasnamakan rakyat. Sebab kegiatan partai apa selain kongres dan pemilu, tidak pernah mendidik masyarakat," keluhnya. Hal itu seolah-olah memperbodoh masyarakat dan menjadikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai rendah. Pada pidato pembukaan Kongres ke-3 PDIP, Megawati menegaskan, partai yang dipimpinnya ditinggalkan rakyat selama dua kali pemilu sebab elite partai telah meninggalkan rakyat. Selain itu, dia mengingatkan elite dan partai untuk tidak menerapkan sikap-sikap yang pragmatis.

Otonomi Daerah : mengaca dari desaKetika kebijakan otonomi daerah dan otonomi desa diterapkan pada tahun 2001, desa sebagai basis pemerintahan paling bawah mulai melakukan proses adaptasi. Langkah-langkah restrukturisasi mulai dilakukan, meskipun mempunyai derajat yang bervariasi antara satu desa dengan desa yang lain. Masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama mulai menciptakan good governance, suatu tatanan pemerintahan yang bersih dan terkontrol. Bagi mereka yang punya cita-cita membangun kehidupan sosial politik yang baik, sepertinya sekaranglah waktu yang tepat untuk mempraktikkan the real democracy.

Ada dua isu penting berkaitan dengan good governance dan demokrasi desa adalah partisipasi dan profesionalisasi. Secara normatif, keterlibatan masyarakat dalam proses politik menjadi syarat mutlak, karena dengan partisipasi akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan. Jika masyarakat memiliki ruang dan kapasitas untuk melakukan kontrol yang dilandasi oleh aturan main yang jelas dan tegas, maka penyalagunaan wewenang dalam pengelolaan pemerintahan relatif dapat dieliminasi. Disinilah persoalan itu muncul. Seberapa besar kapasitas yang dimiliki masyarakat untuk menggunakannya sebagai mekanisme control. Faktanya mekanisme kontrol masyarakat hanya sebatas horisontal sedangkan kran pada relasi vertikal tidak terbuka lebar kendati potensi dan kapasitas sudah tersedia. Meskipun atmosfir perubahan telah merebak dan menemukan momentumnya di era reformasi pada level grassroot, eksperimentasi secara praksis belum bisa dilakukan. Kultur feodal seringkali dianggap sebagai faktor penghambat, selain problem struktural seperti ketidakjelasan sistem kontrol yang disepakati. Kekuasaan dominatif yang terwujud dalam relasi patron-client masih mendapatkan toleransi untuk hidup, terutama dalam urusan politik. Misalnya sistem “penokohan” dalam pemimpin desa tidak dibarengi oleh kesadaran kritis masyarakat, dan menjadi ladang kemapanan kultur harmoni atau anti konflik.

Diluar ketidakoptimalan fungsi institusi sosial dalam proses politik di tingkat desa,

Page 15: IMPLIKASI PRAGMATISME

dengan terbentuknya Badan Perwakilan Desa (BPD), sebenarnya telah menumbuhkan harapan baru. BPD dianggap sebagai urat nadi perwujudan demokratisasi di tingkat desa. Memang agak sulit mewujudkan demokratisasi jika hanya mengandalkan partisipasi warga baik secara personal maupun kelembagaan, tanpa diikuti secara integral kemampuan eksekutif secara memadai. Disinilah problem profesionalisme patut kita koreksi. Dimana sistem kontrol sebagai landasan akuntabilitas lembaga publik yang memadai sebenarnya tidak secara positif berkolerasi bagi lahirnya kesejahteraan warganya, jika pengelolaan sistem pemerintahan tidak dibarengi dengan kemampuan aparat birokrasi desa didalam menjawab segala kebutuhan warga. Tentunya profesionalisme disini tidak hanya dipahami sekedar pemenuhan sumber daya manusia yang kapabilitas. Misal; faktor pendidikan. Tetapi lebih sekedar itu adalah aparat pemerintahan hendaknya mendapatkan legitimasi kuat dari warga desa pemilihnya, memiliki visi dan atau wawasan pemberdayaan dan demokratisasi, merintis dan membangun jaringan diluar desa dalam rangka pertarungan kapasitas yang kooperatif, serta memiliki keberanian dalam melakukan perubahan dihadapkan pada sikap konservatisme yang hingga saat ini masih mengakar dalam kesadaran aparat birokrasi itu sendiri.

Konservatisme sendiri terwujud dari keengganan aparat untuk melakukan perubahan sistem menuju struktur dan mekanisme yang demokratis. Sisa-sisa kultur lama memang menjadi kendala tersendiri bagi reformasi birokrasi. Kendati kepala desa yang konon mempunyai segudang visi perubahan untuk membawa institusi pemerintahan desa ke arah yang profesional, tapi kenyataannya hampir semua institusi itu terbukti tidak didukung oleh kemampuan staf aparat yang secara integral mampu mengadaptasikannya. Dimana acapkali langkah-langkah personal selalu terbentur oleh mekanisme formal. Akibatnya, one man show oleh sang kepala desa tidak dapat dihindarkan. Jikalau demokrasi dipahami sebagai proses transformasi kelembagaan dan bukan personal, tentunya langkah-langkah “jalan pintas “ tersebut tidak cukup prospektif.

Sikap pragmatisme menjadi fakta lain yang menjadi penghambat proses demokratisasi. Pragmatisme banyak terjadi dalam bentuk pelembagaan money politic, yang saat ini sedang gencar diserang oleh kaum reformis. Harus diakui secara jujur, meskipun pilihan memberantas Korupsi, Kolosi dan Nepostisme (KKN) telah menjadi good will secara kolektif, namun semua itu masih dalam kesadaran semu. Dalam berbagai kasus ditunjukkan bahwa pada setiap pemilihan pemimpin masih disertai “sogokan” sebagai tiket untuk menduduki jabatan politik formal. Disini kita butuh solusi strategis untuk mengikis budaya dan sikap konservatisme dan pragmatisme di masyarakat.KEPUSTAKAANAchmad An'am Tamrin Demokrasi “voorskot”: strategi resistensi terhadap politik uang, Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politikaAchwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009, http://www.hmifebugm.comAdmin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010 admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme, Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/

Page 16: IMPLIKASI PRAGMATISME

Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSSJakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute.Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.netAlfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007ariedjito, Orde (paling) Baru   , Wednesday, 07 May 2008 Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010.Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis, 17/07/2008 08:49 WIBDimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October 2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita, 27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/idEdiwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme, ediwahyu.multiply.com/journalEndrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP Erlangga Ida Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.comMakmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01 KompasMarinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009)Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001.

Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik ‘09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's WeblogNU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009 Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia", Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 – 83Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8.Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15 October.Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20.VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009, 10:05 WIBWishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, JakartaWemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33 Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy" SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37. Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24 Pebruari 2006

Page 17: IMPLIKASI PRAGMATISME

M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987.Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.),  Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth, Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono  (penerjemah),   Ekonomi Orde Baru: The Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation.Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William,   Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute ofSoutheast Asian Studies, 1977.Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds),Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika, 1995.Sanit, Arbi,  Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Ilmu-IlmuSosial & FIS-UI, 1980.Van Der Kroef, J.M.,  Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia Press, 1971.Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.              Bandung: Simbiosa Rekatama Media.Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar              Maju, hlm 264. Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.           Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828. Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A 

Page 18: IMPLIKASI PRAGMATISME

Biographical Approach. New York:The Free Press.West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia            Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika. Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.             Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.Max Weber. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AMhttp://adetaris.multiply.comBerger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage PublicationBignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster University PressChomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York:PantheonCurrant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward ArnoldCurran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. London:Sage PublicationDenzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage PublicEriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKISFairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:LongmanFairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward ArnoldFiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:RoutledgeGuba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage BooksHall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:RoutledgeHardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:KanisiusKolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press

Page 19: IMPLIKASI PRAGMATISME

Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Jakarta:MizanLittlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth Publishing CompanyLull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global. Jakarta:YOIMagnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:KanisiusMagnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:GramediaMannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge. London:RoutledgeMcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil BlackwallMcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London:Sage PublicationsMills, Sara. 1991. Discourse. London:RoutledgeNeuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and BaconRaboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage PublicationReese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum PublisherRiggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse. London:Sage PublicationRogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free PressSaverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media. New York:LongmanSen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta:PT Media Lintas Inti NusantaraShoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman GroupShoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman GroupSobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja RosdakaryaWimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth PCVatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development and Pressure for Change. New York:RoutledgeAlmond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.Emmerson, Donald,  K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976.

Page 20: IMPLIKASI PRAGMATISME

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,  Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan  Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987.Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.Suryadinata, Leo,  Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES, 1992.Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982