pr dr.agustin, Sp.M.docx

download pr dr.agustin, Sp.M.docx

of 6

description

mata cermelang

Transcript of pr dr.agustin, Sp.M.docx

1

1. Limbal Stem Cell DefisiensiLimbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Epitel kornea mempunyai ciri cepat memperbaiki diri. Proses ini penting untuk menjaga struktur konstan dari sel epitel kornea.Limbal stem cell ini dapat dirusak oleh beberapa mekanisme, seperti trauma kimia atau termis, penyakit-penyakit inflamasi seperti Steven-Johnson Syndrome dan cicatricial pemphigoid. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea yang merupakan efek dari gangguan kapasitas memperbaiki diri pada epitel kornea sehingga tumbuh sel goblet pada permukaan kornea. Pada situasi ini, epitel kornea menjadi rusak dan permukaan kornea diinvasi oleh konjungtiva.Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. 1,2

321Gambar 1 : Gambaran klinis limbal stem cell deficiency.2Keterangan : 1.Gambaran inflamasi kronis pada kornea, terlihat neovaskularisasi pada kornea, 2. Pembentukan jaringan seperti konjungtiva yang menutupi sebagian kornea, 3. Pembentukan jaringan seperti konjungtiva yang menutupi seluruh bagian kornea.

2. Reaksi Hipersensitivitas tipe I-IV2.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I 3Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang dari 1 jam sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini, yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang cendrung terkena alergi (atopi). Prosesnya adalah sebagai berikut: Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh makrofag. Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke permukaannya, sehingga makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells (APC). APC akan mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel Th2 mengeluarkan mediator IL-4 (interleukin-4) untuk menstimulasisel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini akan berikatan di reseptor FC-R di sel Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa minggu karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih normal. Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE yang melekat di reseptor FC-R sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa sehingga membuat semacam jembatan silang(crosslinking)antar dua IgE di permukaan (yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak bekerja jika igE ini univalen). Hal inilah yang akan menginduksi serangkaian mekanisme biokimiawi intraseluler secara kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini mengakibatkan pelepasan mediator-mediator alergik yang terkandung di dalam granulnya seperti histamin, heparnin, faktor kemotaktik eosinofil, danplatelet activating factor(PAF). Selain itu, peristiwacrosslinkingtersebut ternyata juga merangsang sel Mast untuk membentuk substansi baru lainnya, seperti LTB4, LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama yang dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi otot polos, bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas vaskular, edema pada mukosa dan hipersekresi. Gejala yang ditimbulkan: bisa berupa urtikaria, asma, reaksi anafilaksis, angioedema dan alergi atopik.

2.2 Reaksi Hipersensitifitas Tipe II 4Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigenyang terdapat di permukaan sel atau jaringan tertentu.Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba atau molekul2 kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito=sel, toksik=merusak, lisis=menghancurkan). Prosesnya ada 3 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu:1. Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan antigen sasaran, jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi) akan berinteraksi dengan reseptor Fc yang terdapat di permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat toksik yang akan menginduksi kematian sel sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC (Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity).2. Proses sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan dan merangsang terjadinya aktivasi komplemen jalur klasik yang akan berujung kepada kehancuran sel.3. proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen. Komplemen C3b yang berikatan dengan antibodi akan berikatan di reseptor C3 pada pemukaan sel efektor. Hal ini akan meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.Keseluruhan reaksi di atas terjadi dalam waktu 5-8 jam setelah terpajan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang ditimbulkan: Reaksi transfusi, Rhesus Incompatibility, Mycoplasma pneumoniae related cold agglutinins, Tiroiditis Hashimoto, Sindroma Goodpastures, Delayed transplant graft rejection.

2.3 Reaksi Hipersensitifitas Tipe III 1, 5Reaksi hipersensitifitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang melibatkan antibodi IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen yang terlarut dalam serum.Prosesnya adalah sebagai berikut:Seperti tipe yang lainnya, ketika antigen pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan IgM yang spesifik. Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan IgM spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum membentuk ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu tempat dalam jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan ekstraseluler) sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun akan aktif sehingga dihasilkanlah mediator-mediator inflamasi seperti anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya juga akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat kerusakan dan menimbulkan gejala klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam jangka waktu 2-8 jam setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang ditimbulkan: Systemic Lupus Erythematosus, Erythema Nodosum, Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis, Elephantiasis (Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.

2.4 Re Aksi Hipersensitifitas Tipe IV 6, 7Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini timbul lebih dari 12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain.Prosesnya secara umum adalah sebagai berikut: Ketika tubuh terpajan alergen pertama kali, ia akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke limfonodus regional. Disana ia akan mensensitasi sel Th untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (Delayed Type Hypersensitivity). Bila sel DTH yang disensitasi terpajan ulang dengan antigen yang sama, ia akan melepas sitokin (berupa IFN-, TNF-, IL-2,IL-3) dan kemokin (berupa IL-8, MCAF, MIF) yang akan menarik dan mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitifitas. 3, 4, 5, 6, 7

3. Prevalensi Konjungtivitis KronisKonjungtivitis kronis merupakan konjungtivitis yang terjadi lebih dari 3 minggu. 8 konjungtivitis kronis bisa disebabkan oleh bakteri, virus, klamidia, dan reaksi alergi. Berdasarkan angka kejadiannya, konjungtivitis kronis paling banyak disebabkan oleh klamidia, reaksi alergi, dan bakteri. 81. Infeksi Clamidya Trachomatis, merupakan reaksi alergi yang disebabkan oleh klamidia, yang merupakan penyebab paling umum kebutaan yang dapat dicegah di dunia. Infeksi ini jarang terjadi di Amerika Utara, tetapi pasien dari Afrika, Asia, dan Timur Tengah dengan kondisi ini mungkin mengalami pertumbuhan parut pada permukaan mata dan kelopak mata, yang menyebabkan penglihatan menurun.82. Reaksi alergi pada konjungtiva hampir selalu menyebabkan terjadinya konjungtivitis kronis, yang terjadi sepanjang musim atau bahkan sepanjang tahun dengan angka rekuren yang tinggi. Reaksi alergi konjungtiva umumnya terjadi pada orang dengan riwayat alergi.93. Infeksi bakteri kronis yang umumnya disebabkan oleh stafilokokus aureus, namun juga bisa disebabkan oleh bakteri lainnya. Jenis konjungtivitis ini sering dikaitkan dengan blefaritis. Gejalanya bisa berupa kemerahan pada konjungtiva, rasa terbakar, sensasi benda asing dan bulu mata lengket pada pagi hari atau kehilangan bulu mata.8

DAFTAR PUSTAKA1. Tauber J, 2002. Autoimmune Dissease Affecting the Ocular Surface. In ( Edward. JH, Mark JM, eds ) Ocular Surface Dissease : Medical and Surgical Management , New york : Springer Verlag.pp, 113 121.2. Daya SM, Holland EJ, Mannis MJ, 2002. Living Related conjunctival Limbal allograft . In ( Edward. JH, Mark JM, eds ) Ocular Surface Dissease : Medical and Surgical Management , New york : Springer Verlag.pp, 201-2073. Bratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010.p.383-389.4. Subowo. Imunologi Klinik : Hipersensitivitas. 2nd ed. Jakarta : Sagung Seto; 2010. P, 31-845. Kumar, Abbas, Fausto, Aster, Robins, and Cotran : Disease of the Immune System. 8th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier; 2010.p.198-201, 204-205.6. Abbas. AK, Litchman AH Pilai S. Cellular and Mollecular Immunology. 6th ed. Philadelphia : Saunders Alsevier ; 2010.p. 423-425.7. Widowati R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Pengetahuan Dasar Imunologi. 5th ed. Jakarta : Penerbit FKUI ; 2009.p. 45-46.8. Chronic onjungtivitis, Varieties of. Diakses dari http://www. hopkinsmedicine.org /wilmer/conditions/chronic_conjunctivitis.html tanggal 17 Mei 20149. Bloch, ME. Verin F. Dibie A. [Observatoire des Allergies Oculaires. National epidemiological survey of chronic (perennial) allergic conjunctivitis and/or keratoconjunctivitis seen in ophthalmology]. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8983239 tanggal 17 Mei 2014