PR MenBank

download PR MenBank

of 11

Transcript of PR MenBank

Statement of Authorship

Saya/kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan menggunakannya.

Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Nama NPM Tandatangan Mata ajaran

: Thomas Hensi Arindra : 0806352145 : : Manajemen Perbankan

Judul makalah/tugas : Perbankan Indonesia Tanggal Dosen : 22 Februari 2012 : Rofikoh Rokhim, Ph.D

A. Sejarah Perbankan Indonesia Harus diakui, penjajahan Belanda tidak melulu menggoreskan luka mendalam pada sejarah bangsa Indonesia, namun juga menularkan dan menanamkan berbagai kebudayaan dan peradaban yang lebih maju bagi bangsa kita. Salah satunya adalah sistem perbankan yang ditandai dengan didirikannya De Javasche Bank, NV di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828. Kemudian menyusul didirikan Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta beberapa bank lain yang memegang peranan penting di Hindia Belanda seperti De Escompto Bank NV, The Bank of China, NV Bank Boemi dan lainnya. Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 meniupkan angin segar kemajuan bagi perbankan Indonesia. Hal ini ditandai dengan beberapa Bank Belanda yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah De Javasche Bank yang kemudian diubah statusnya menjadi bank sentral dengan nama Bank Indonesia. Di zaman kemerdekaan ini pula lahir bank-bank nasional yang menjadi cikal-bakal bank-bank besar yang kita ketahui saat ini, misalnya Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI 46 dan Bank Timur NV yang didirikan di Semarang dan berganti nama menjadi Bank Gemari, kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.

B. Perkembangan Perbankan di Indonesia

1.

Periode 1983-1987

Perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru masih mengalami pasang-surut, dan kemampuan pemerintah untuk menopang dana pembangunan semakin berkurang. Hal ini salah satunya disebabkan kondisi perekonomian yang cenderung stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan sebagai dampak over-regulated terhadap perbankan. Oleh karena itu pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Kebijakan deregulasi diawali dengan dikeluarkannya Paket Juni 1983. Di dalam Paket Juni (Pakjun) 1983 itu diberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan campur tangan

Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit pun dihapuskan. Pakjun juga mulai memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Pakjun tersebut bertujuan merangsang pertumbuhan perbankan Indonesia. Langkah itu berhasil "menarik" dana masyarakat ke bank secara drastis karena bank swasta berani mematok suku bunga hingga 18%, lebih tinggi ketimbang suku bunga bank pemerintah yang hanya 14-15%. Paket ini diikuti paket lainnya seperti Paket 6 Mei 1986 (Pakem) yang menghapus sertifikat ekspor dan deregulasi 15 Januari 1987 tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. 2. Periode 1988-1996

Periode ini diawali dengan Paket Oktober 1988 (Pakto 88) yang merupakan aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia dan merupakan tahun booming bagi perbankan Indonesia. Betapa tidak, hanya dengan modal 10 milyar, siapapun bisa mendirikan bank. Bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Reserve requirement bank lokal diturunkan dari 15% menjadi 2%. Kebijakan agresif ekspansif ini dinilai berhasil mengubah wajah perbankan dan perekonomian nasional pada umumnya. Keberhasilan ini terlihat dalam angka-angka absolut seperti seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, dan pertumbuhan ekonomi. Contohnya saja hanya dalam selang 6 bulan sejak dikeluarkannya Pakto 88 jumlah bank komersial naik 50 persen dari 111 bank pada Maret 1989 menjadi 176 bank pada Maret 1991 (Statistik dalam lima puluh tahun Indonesia merdeka, 1995).Gambar 1: Pertumbuhan Ekonomi 1985-2002

Sumber: Statistik dalam lima puluh tahun Indonesia merdeka, 1995

Di sisi lain Pakto 88 ternyata juga memberikan dampak yang tidak diinginkan seperti: (1) munculnya pedagang dan konglomerat yang mendadak menjadi bankir yang tidak berjiwa prudent (bijaksana dan berhati-hati), terutama dalam hal penyaluran kredit. Misalnya saja investasi mubazir yang banyak dikucurkan ke sektor mewah, seperti apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf. Selain itu suku bunga kredit yang kelewat tinggi, sekitar 30% menyebabkan banyaknya kredit macet (2) terciptanya jurang kemiskinan dimana konglomerat yang kaya semakin kaya dan yang melarat dan semakin melarat; (3) dan Praktik-praktik KKN dan kejahatan perbankan mulai menjamur, misalnya saja praktik insider lending yang menyebabkan kolapsnya Bank Summa di tahun 1992. Untuk mengkoreksi akibat buruk Pakto 88, pemerintah meluncurkan Paket 25 Maret 1989 yang antara lain memuat ketentuan-ketentuan penilaian kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk perhitungan capital adequacy lebih diperjelas, ketentuan mengenai lending limit dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka menengah dan panjang. Selain itu Pemerintah juga mengeluarkan Paket Pebruari 1991 (Paktri) yang keluar tanggal 28 Pebruari 1991. Paktri utamanya mengatur syarat bahwa bank haruslah memiliki modal sendiri sebesar 8 % dari seluruh aset. Sekarang ini ketentuan itu lazim disebut dengan CAR (Capital Adequacy Ratio) atau perbandingan antara modal sendiri dengan aset. Terbitnya paket itu ditandai dengan berbagai kejadian pahit di dunia perbankan Indonesia. Misalnya tragedi Bank Duta yang kolaps gara-gara permainan valuta asing, juga ambruknya Bank Umum Majapahit. Sejak 1995, BI mulai memperketat syarat ketentuan untuk menjadi bank devisa, yang menghambat terciptanya sistem perbankan yang sehat. Namun langkah ini belum bisa menahan laju pertumbuhan perbankan. Pada 1996, sebagai upaya untuk menekan ekspansi kredit perbankan yang dianggap sebagai pemicu memanasnya mesin perekonomian, diterapkan kembali kebijakan moral suasion dengan cara menghimbau bank untuk menekan laju ekspansi kreditnya.

3.

Periode 1997-sekarang

Periode ini ditandai dengan krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand, kemudian menular ke Malaysia, Filipina, Korea dan Indonesia. Pasar saham dan kurs uang tersungkur secara dahsyat. Bank sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang baru, melakukan transaksi forward dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis menimbulkan badai yang kuat yang menggoncang sistem perbankan yang rapuh. Padahal lembaga perbankan merupakan tulang punggung perusahaan manufaktur yang mengandalkan bunga rendah. Selama tahun pertama krisis kurs rupiah terdepresiasi mencapai 400%. Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp 2.000-an, meningkat secara tajam menjadi Rp 17.000-an. Dalam masa yang panjang, nilai rupiah ini bertenggger di atas Rp 10.000.-. Kondisi ini membuat lembaga perbankan terpaksa menaikkan suku bunga secara tajam pula, yaitu mencapai 70 %. Akibatnya lembaga perbankan konvensional kesulitan mengembalikan bunga tabungan/deposito nasabah, sementara pendapatannya lebih kecil dari kewajibannya untuk membayar bunga, ditambah lagi kredit macet akibat krisis moneter. Inilah yang disebut dengan negative spread yang berarti lembaga perbankan terusmenerus merugi dan modalnya semakin terkuras yang pada gilirannya berakibat pada likuidasi sejumlah bank. Bank-bank besar yang memiliki nasabah jutaan orang, yang kekurangan modal, terpaksa direkap (disuntik modal) oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sejumlah sekitar Rp.430,4 Triliun1. Karena pemerintah tidak memiliki uang kas, maka pemerintah membantu modal bank-bank konvensional tersebut dalam bentuk obligasi yang disebuj juga obligasi rekap. Obligasi Rekap merupakan penyertaan modal negara dibarengi dengan transfer obligasi tersebut ke dalam aset bankbank yang disertakan Program Rekapitalisasi Perbankan, yaitu:

1

Laporan Tahunan Surat Utang Negara Tahun 2002, Direktorat Pengelolaan Moneter BI

1. Bank Umum, diantaranya PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank Internasional Indonesia

Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum Koperasi Indonesia, PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima Express, PT. Bank Arta Media, PT. Bank Patriot, PT. Bank Central Asia, PT. Bank Danamon Indonesia Tbk., PT. Bank Tiara Asia Tbk., PT. Bank PDFCI Tbk. dan PT. Bank Niaga Tbk; 2. Bank BUMN, diantaranya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., dan PT. Bank Mandiri;3. Bank Pembangunan Daerah, di antaranya BPD Daerah Istimewa Aceh, BPD

Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Maluku, BPD Nusa Tenggara Barat dan BPD Nusa Tenggara Timur. Berikut tabel distribusi obligasi pemerintah rekap pada beberapa bank di Indonesia :Tabel 1: Distribusi Obligasi Pemerintah (Rekap) di Beberapa Bank (Rp Triliun) No . 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Bank PT Bank Mandiri Tbk PT Bank Negara Indonesia Tbk PT Bank Rakyat Indonseia Tbk PT Bank Tabungan Negara Tbk PT Bank Central Asia Tbk PT Bank Permata Tbk PT Bank CIMB Niaga Tbk* PT Bank Internasional Indonesia Tbk PT Bank Danamon Tbk Total 1999 155.5 54.71 28.59 14.32 53.72 11.69 6.75 23.65 20.12 369.05 2008 88.26 34.66 20.93 7.58 39.81 2.08 8.26 7.25 99.23 308.06 2009 89.13 31.04 20.24 7.38 42.49 0.07 6.61 6.22 90.02 293.21

Sumber: Tesis dengan judul : Dampak Kebijakan Obligasi Rekap terhadap Kinerja Perbankan dan Anggaran Negara, Ahmad Iskandar, FISIP UI, 2010 Hal.87

*Sebelum merger pada 2009, Pada tahun 1999, Bank Lippo dan Bank Niaga masingmasing menerima obligasi rekap masing-masing sebesar Rp 5,69 triliun dan 6,75 triliun. Kucuran likuiditas melalui obligasi rekap ini menuai banyak dikritik dibandingkan pujian. Pasalnya bank besar telanjur nyaman menikmati keuntungan dari pendapatan kupon obligasi rekap yang diberikan pemerintah sekitar 13,175% - 14,275% per tahun. Oleh karena itu, bank yang menghimpun dana masyarakat tersebut enggan menjalankan fungsi utama sebagai penyalur kredit untuk menggerakkan sektor riil. Mereka lebih menikmati subsidi bunga dari APBN dari instrumen yang bebas risiko ketimbang mengucurkan kredit ke masyarakat yang dianggap lebih berisiko. Akibatnya laba yang tercermin dalam laporan keuangan pun hanyalah laba semu dan bank-bank tersebut menjadi kurang kompetitif dibandingkan bank-bank lain yang tidak memiliki obligasi rekap. Dikarenakan obligasi rekap pula, kebijakan BI yang menurunkan tingkat suku bunga menjadi seperti percuma. Penyaluran kredit tetap berjalan lamban. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, BI akhirnya mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/ 19 /PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing untuk mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan. Melalui penerapan LDR-GWM, Loan to Deposit Ratio (LDR) yang dimiliki bank harus berada pada kisaran 78%-100% yang berarti perbankan harus meningkatkan penyaluran kredit untuk mendapatkan persentase di atas 78%, dan apabila nilai LDR dibawah itu maka bank akan mendapatkan denda setiap kekurangan 1% sebesar 0,1% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) nasabah. Dipihak lain, apabila LDR lebih dari 100% dan rasio kecukupan modal (CAR) kurang dari 14%, bank akan diminta untuk menambah setoran GWM atau reserve requirement primer setiap kelebihan 1% LDR sebesar 0,2% dari jumlah DPK. GWM primer dinaikkan dari semula 5% menjadi 8%, sedangkan GWM sekunder tetap 2,5%. Tujuannya adalah agar bank tidak melakukan ekspansi kredit yang berlebihan tanpa didukung oleh permodalan yang memadai. Pengaitan GWM dengan LDR ini merupakan kombinasi kebijakan makro-mikro, yakni mendorong ekspansi kredit bagi bank yang LDR-nya rendah di sisi makro dan menjaga bank agar tetap prudent di

sisi mikro. Akan tetapi BI memberikan himbauan agar pemberian kredit tidak hanya terfokus pada sektor konsumtif karena pada sektor ini sangat rentan terjadi guncangan meskipun penggarapannya bisa sangat mudah. Berikut daftar tingkat LDR beberapa bank di Indonesia : No 1 2 3 4 5 Nama Bank Mandiri BCA BNI BRI CIMB Niaga LDR per Juni 201066,3% 51,4%. 68,2% 88,4% 85,5%

Sumber: www.bi.go.id/

C. Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi Bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah Bank. SBDK dihitung dari 3 komponen yaitu (1) Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK); (2) biaya overhead yang dikeluarkan Bank dalam proses pemberian kredit; dan (3) profit margin yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan. SBDK belum memperhitungkan komponen premi risiko individual nasabah Bank dalam perhitungannya. SBDK dihitung untuk 3 jenis kredit yaitu (1) kredit korporasi; (2) kredit retail; dan (3) kredit konsumsi (KPR dan Non KPR). Untuk kredit konsumsi non KPR tidak termasuk penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa agunan. Perhitungan SBDK dalam rupiah yang wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia dan dipublikasikan (publikasi wajib bagi bank yang berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10 Triliun per tanggal 28 Februari 2011). Berikut SBDK Bank-Bank di Indonesia yang dimuat di website BI untuk posisi akhir Desember 2011 :

Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Posisi Akhir Desember 2011 Suku Bunga Dasar Kredit (%) Kredit Kredit Kredit Konsumsi Korporasi Ritel KPR Non KPR 10.50 12.50 11.25 12.29 10.00 11.75 10.25 12.25 9.00 10.50 7.50 8.64 10.45 12.95 11.00 12.25 11.00 11.50 11.30 11.50 11.00 13.00 12.25 12.49 11.25 11.25 11.75 11.75 10.75 11.00 12.00 10.50 10.59 10.56 11.50 9.50 8.50 10.50 9.75 10.50 7.70 10.55 9.87 9.15 9.34 10.06 11.34 9.33 10.73 6.01 8.65 7.55 10.75 12.22 8.92 10.50 11.43 10.68 17.75 10.50 8.25 11.25 9.75 12.90 12.02 9.93 20.60 10.76 9.95 12.99 11.34 9.94 10.73 12.50 13.22 10.43 11.05 10.67 11.08 12.50 11.50 10.00 8.75 12.33 9.14 9.17 10.68 10.06 11.34 9.18 10.73 11.25 11.52 9.51 10.25 10.37 11.38 12.50 11.50 12.25 12.64 11.47 19.71 10.93 12.99 15.25 10.73 13.25 15.22 13.55 11.50

Nama Bank BANK MANDIRI BANK RAKYAT INDONESIA BANK CENTRAL ASIA BANK NEGARA INDONESIA BANK CIMB NIAGA BANK DANAMON INDONESIA PANIN BANK BANK PERMATA BANK INTERNASIONAL INDONESIA BANK TABUNGAN NEGARA BANK MEGA BANK OCBC NISP CITIBANK BANK UOB INDONESIA HSBC BANK BUKOPIN BANK OF TOKYO-MITSUBISHI BANK JABAR BANTEN STANDARD CHARTERED BANK BANK TABUNGAN PENSIUNAN NASIONAL BANK DBS INDONESIA ANZ PANIN BANK BANK JATIM BANK EKONOMI RAHARJA BANK JATENG BANK KALTIM BANK MIZUHO INDONESIA DEUTSCHE BANK BANK SUMITOMO MITSUI INDONESIA BANK DKI BANK ARTHA GRAHA BANK SUMUT BANK ICBC INDONESIA

BANK RIAU KEPRI BANK SINARMAS BANK COMMONWEALTH BANK PAPUA BANK MUTIARA RABOBANK BANK SUMSEL BABEL BPD ACEH BANK MAYAPADA INTERNASIONAL BANK NAGARI BANK VICTORIA INTERNATIONAL BANK OF CHINA BPD BALI PT BANK RESONA PERDANIA JP. MORGAN BANK

8.86 10.49 10.75 11.58 11.85 11.00 11.25 11.98 11.90 11.12 12.56 10.42 8.79 8.47 5.57

9.10 10.49 11.00 11.81 12.85 12.00 13.88 11.98 12.80 12.12 12.81 10.42 9.43 -

8.82 12.00 12.31 11.85 12.00 10.70 12.48 11.90 12.25 10.81 8.72 -

10.95 10.49 15.00 13.46 13.35 12.75 10.63 12.48 13.10 12.25 12.56 10.41 -

Sumber: http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Suku+Bunga+Dasar+Kredit/

Referensi

Ali, Abdullah. Liku-Liku Sejarah Perbankan Indonesia: Memoar Abullah Ali. Jakarta: PT Grasindo. 1995. Bank Indonesia. Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-1997. Jakarta: Unit Khusus Museum Bank Indonesia. 2009. Bank Indonesia . Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. http://www.bi.go.id/ web/id/Peraturan/Perbankan/se_130511.htm. Diakses pada tanggal 22 Februari 2012 Biro Pusat Statistik. Statistik dalam 50 tahun Indonesia merdeka. Jakarta: Biro Pusat Statistik. 1995 Edwin. "Pakto 1988 dan Dampaknya Terhadap Perekonomian". http://businessknowledges. blogspot.com/2009/10/pakto-1988-dan-dampaknya-terhadap.html. Diakses tanggal 22 Februari 2012 Sipahutar, Mangasa Augustinus. Persoalan-Persoalan Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Niaga Swadaya. 2007 Wahib, Ahmad. Implikasi PBI 12/19/2010 Tentang GWM Terhadap Operasional Perbankan. http://lilspace4dreams.wordpress.com/tugas-kampus-2/implikasi-pbi-12192010-tentanggwm-terhadap-operasional-perbankan/. Diakses tanggal 22 Februari 2011