PR dr. DINA
-
Upload
igustibagusadhista -
Category
Documents
-
view
218 -
download
4
description
Transcript of PR dr. DINA
Nama : I Gusti Ayu Ary N.W
1. Biopsikososial
Ilmu biopsikososial mempelajari bahwa faktor biologis, psikologis dan sosial memiliki peran
yang penting dalam fungsi manusia.
2. Hierarki maslow
Teori hierarki kebutuhan Maslow adalah teori yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Ia
beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak
cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal
yang memotivasi.
Maslow memberi hipotesis bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling
bawah, individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Jika pada tingkat
tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali pada tingkat
kebutuhan yang sebelumnya. Menurut Maslow, pemuasan berbagai kebutuhan tersebut didorong
oleh dua kekuatan yakni motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motivasi
perkembangan (growth motivation). Motivasi kekurangan bertujuan untuk mengatasi masalah
ketegangan mansuia karena berbagai kekurangan yang ada. Sedangkan motivasi pertumbuhan
didasarkan atas kapasitas setiap manusia untuk tumbuh dan berkembang. Kapasitas tersebut
merupakaan pembawaan dari setiap manusia.
Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan paling dasar pada setiap orang adalah kebutuhan fisiologis yaknik kebutuhan
untuk mempertahankan hidupnya secara fisik.[1][5] Kebutuhan-kebutuhan itu seperti
kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen.[5] Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah potensi paling dasar dan besar bagi semua
pemenuhan kebutuhan di atasnya.[1] Manusia yang lapar akan selalu termotivasi untuk
makan, bukan untuk mencari teman atau dihargai.[1] Manusia akan mengabaikan atau
menekan dulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan fisiologisnya itu terpuaskan. [1] Di
masyarakat yang sudah mapan, kebutuhan untuk memuaskan rasa lapar adalah sebuah
gaya hidup.[1] Mereka biasanya sudah memiliki cukup makanan, tetapi ketika mereka berkata
lapar maka yang sebenarnya mereka pikirkan adalah citarasa makanan yang hendak dipilih,
bukan rasa lapar yang dirasakannya.[1] Seseorang yang sungguh-sungguh lapar tidak akan
terlalu peduli dengan rasa, bau, temperatur ataupun tekstur makanan.
Kebutuhan fisiologis berbeda dari kebutuhan-kebutuhan lain dalam dua hal. [1] Pertama,
kebutuhan fisiologis adalah satu-satunya kebutuhan yang bisa terpuaskan sepenuhnya atau
minimal bisa diatasi.[1] Manusia dapat merasakan cukup dalam aktivitas makan sehingga
pada titik ini, daya penggerak untuk makan akan hilang. [1] Bagi seseorang yang baru saja
menyelesaikan sebuah santapan besar, dan kemudian membayangkan sebuah makanan
lagi sudah cukup untuk membuatnya mual.[1] Kedua, yang khas dalam kebutuhan fisiologis
adalah hakikat pengulangannya.[1] Setelah manusia makan, mereka akhirnya akan menjadi
lapar lagi dan akan terus menerus mencari makanan dan air lagi.[1] Sementara kebutuhan di
tingkatan yang lebih tinggi tidak terus menerus muncul.[1] Sebagai contoh, seseorang yang
minimal terpenuhi sebagian kebutuhan mereka untuk dicintai dan dihargai akan tetap
merasa yakin bahwa mereka dapat mempertahankan pemeuhan terhadap kebutuhan
tersebut tanpa harus mencari-carinya lagi.[1]
Kebutuhan Akan Rasa Aman
Setelah kebutuhan-kebutuhan fisiologis terpuaskan secukupnya, muncullah apa yang
disebut Maslow sebagai kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman.[5]Kebutuhan-kebutuhan
akan rasa aman ini diantaranya adalah rasa aman fisik, stabilitas, ketergantungan,
perlindungan dan kebebasan dari daya-daya mengancam seperti perang, terorisme,
penyakit, takut, cemas, bahaya, kerusuhan dan bencana alam. [1] Kebutuhan akan rasa aman
berbeda dari kebutuhan fisiologis karena kebutuhan ini tidak bisa terpenuhi secara total.[1] Manusia tidak pernah dapat dilindungi sepenuhnya dari ancaman-ancaman meteor,
kebakaran, banjir atau perilaku berbahaya orang lain.
Menurut Maslow, orang-orang yang tidak aman akan bertingkah laku sama seperti anak-
anak yang tidak aman.[5] Mereka akan bertingkah laku seakan-akan selalu dalam keadaan
terancam besar.[5] Seseorang yang tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan
stabilitas secara berelebihan serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat
asing dan yang tidak diharapkannya.[5]
Kebutuhan Akan Rasa Memiliki Dan Kasih Sayang
Jika kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka muncullah
kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki.[5]Kebutuhan-kebutuhan ini
meliputi dorongan untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan,
kebutuhan untuk dekat pada keluarga dan kebutuhan antarpribadi seperti kebutuhan untuk
memberi dan menerima cinta.[5][1] Seseorang yang kebutuhan cintanya sudah relatif
terpenuhi sejak kanak-kanak tidak akan merasa panik saat menolak cinta.[1] Ia akan memiliki
keyakinan besar bahwa dirinya akan diterima orang-orang yang memang penting bagi
dirinya.[1] Ketika ada orang lain menolak dirinya, ia tidak akan merasa hancur.[1] Bagi
Maslow, cinta menyangkut suatu hubungan sehat dan penuh kasih mesra antara dua orang,
termasuk sikap saling percaya.[5] Sering kali cinta menjadi rusak jika salah satu pihak
merasa takut jika kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahannya.[5]Maslow juga
mengatakan bahwa kebutuhan akan cinta meliputi cinta yang memberi dan cinta yang
menerima.[5] Kita harus memahami cinta, harus mampu mengajarkannya, menciptakannya
dan meramalkannya.[5] Jika tidak, dunia akan hanyut ke dalam gelombang permusuhan dan
kebencian.[5]
Kebutuhan Akan Penghargaan
Setelah kebutuhan dicintai dan dimiliki tercukupi, manusia akan bebas untuk mengejar
kebutuhan akan penghargaan.[1] Maslow menemukan bahwa setiap orang yang memiliki dua
kategori mengenai kebutuhan penghargaan, yaitu kebutuhan yang lebih rendah dan lebih
tinggi.[2] Kebutuhan yang rendah adalah kebutuhan untuk menghormati orang lain,
kebutuhan akan status, ketenaran, kemuliaan, pengakuan,
perhatian, reputasi, apresiasi, martabat, bahkan dominasi.[2] Kebutuhan yang tinggi adalah
kebutuhan akan harga diri termasuk perasaan, keyakinan, kompetensi, prestasi,
penguasaan, kemandirian dan kebebasan.[2] Sekali manusia dapat memenuhi kebutuhan
untuk dihargai, mereka sudah siap untuk memasuki gerbang aktualisasi diri, kebutuhan
tertinggi yang ditemukan Maslow.[1]
Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri
Tingkatan terakhir dari kebutuhan dasar Maslow adalah aktualisasi diri.[2] Kebutuhan
aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan
keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi.[2] Maslow melukiskan kebutuhan ini
sebagai hasrat untuk semakin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa
saja menurut kemampuannya.[5] Awalnya Maslow berasumsi bahwa kebutuhan untuk
aktualisasi diri langsung muncul setelah kebutuhan untuk dihargai terpenuhi.[1] Akan tetapi
selama tahun 1960-an, ia menyadari bahwa banyak anak muda di Brandeis memiliki
pemenuhan yang cukup terhadap kebutuhan-kebutuhan lebih rendah seperti reputasi dan
harga diri, tetapi mereka belum juga bisa mencapai aktualisasi diri.[1]
3. Coping mechanism
Menyatakan koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk
mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber
individu. Mekanisme koping adalah pembawaan atau cara merespon untuk mengubah
lingkungan, masalah atau situasi khusus.
Bentuk Mekanisme Koping
a. Koping berfokus pada emosi
Upaya atau variabel yang termasuk dalam mekanisme koping berfokus pada emosi yaitu :
1) Dukungan sosial (social support).
Dukungan sosial dapat diperoleh di rumah, lingkungan kerja atau pada saat terjadinya trauma
berat di suatu wilayah.
a) Dukungan sosial di rumah merupakan dukungan yang diperoleh dari jalinan pertemanan
dan sanak keluarga yang bersedia memberikan bantuan secara psikologis meskipun
hanya menjadi pendengar. Penelitian telah membuktikan dukungan sosial yang kuat,
akan mampu meredakan stres walaupun ekstrim. Wanita umumnya mempunyai
kemampuan berbagi perasaan yang lebih baik dibandingkan pria sehingga memiliki
jaringan dukungan sosial lebih kuat.
b) Dukungan sosial di tempat kerja.
Dukungan ini ditemukan lebih kuat di lapisan pekerja tingkat bawah dibandingkan di
lapisan tingkat atas (manajer). Dukungan sosial di tempat kerja tidak dapat digeneralisasi
fungsinya seperti dukungan sosial di rumah, demikian pula sebaliknya.
c) Dukungan sosial pada saat trauma
Kejadian traumatik seperti perang atau gempa bumi, menimbulkan perasaan kuat untuk
saling menolong terutama terhadap korban yang selamat sehingga tingkat stres menjadi
dapat ditolerir.
2) Mekanisme pertahanan (defence mecanisms)
Mekanisme pertahanan menurut Freud merupakan cara manusia untuk mengatasi kecemasan
dan masalah yang tidak ingin dihadapi secara langsung. Cara ini melibatkan distorsi realita,
sehingga seseorang yang menggunakan mekanisme pertahanan tidak mengetahui inti
masalah dan mampu mengatasinya yang mengakibatkan pemulihan sesaat.
3) Koping maladaptif (maladaptive koping methods)
Cara ini termasuk penggunaan obat-obatan, minum-minuman beralkohol, yang
menghindarkan individu dari masalah dalam waktu terbatas.
b. Koping berfokus pada masalah
Cara menghilangkan stres dengan metoda ini adalah dengan berusaha memahami masalah lebih
baik dan mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Jenis koping yang fokus pada
masalah terdiri atas beberapa bentuk manajemen stres yaitu:
1) Penilaian Kognitif (cognitive appraisal).
Cara mereduksi stres dilakukan dengan memikirkan tentang situasi yang menimbulkan stres
dan mencoba mendapatkan jalan memecahkan masalah.
2) Manajemen waktu (time management)
Manajemen waktu secara efektif akan mencegah seseorang mengalami stress. Individu
berusaha mengorganisir waktu dan kegiatannya seperti hal-hal yang harus dikerjakan saat
ini, kegiatan yang harus dijalani selama satu minggu serta berusaha menemukan cara bekerja
lebih efektif sehingga tidak mengalami kemunduran atau membuang waktu.
3) Sikap asertif (Assertiveness)
Cara ini melatih individu untuk belajar tegas menolak sehingga kemungkinan untuk bekerja
melebihi kapasitas sangat kecil. Belajar mengetahui keinginan, tanpa bersikap agresif atau
menonjolkan diri. Teknik asertif sering sangat efektif untuk menetralkan kembali harga diri
rendah. Kemampuan mengetahui keinginan diri sendiri akan menimbulkan rasa bahagia
terhadap situasi yang ada. Individu akan melihat dirinya lebih efektif sehingga timbul
perasaan nyaman terhadap diri sendiri.
4) Relaksasi dan meditasi (relaxation and meditation)
Teknik relaksasi dan meditasi merupakan cara yang memungkinkan manusia memfokuskan
perhatiannya terhadap gagasan khusus. Perhatian yang fokus dan latihan mental secara terus-
menerus menghadapi kecemasan dan ketakutan akan membuat seseorang mencapai tingkat
otonomi terhadap diri sendiri. Relaksasi berdampak pula pada penurunan detak jantung,
tekanan darah dan kontrol pernafasan.
5) Olah raga (exercise)
Olah raga telah terbukti merupakan manajemen stres yang sangat efektif. Dua keuntungan
utama yang akan diperoleh dengan melakukan olah raga dalam memulihkan stres yaitu :
a) Manfaat bagi fisik, olah raga membantu tubuh agar tetap mampu untuk beraktifitas.
b) Manfaat bagi situasi, olah raga mampu membantu individu keluar dari situasi yang
memprovokasi stres.
6) Biofeedback
Anjuran untuk mengajarkan orang lain cara menurunkan tekanan darah dan gejala-gejala
fisik lain yang disebabkan stres, sehingga dampak buruk dari stres dapat ditiadakan, telah
terbukti mampu memelihara efek positif dari melakukan serangkaian tindakan untuk
menghilangkan stres.
Karakteristik Mekanisme Koping
1. Koping adaptif
Koping adaptif mempunyai karakterisitk tertentu yang dapat diketahui karena :
a. Mendukung proses delajar individu
b. Mendukung pertumbuhan.
c. Mendukung fungsi integratif.
d. Mendukung pencapaian tujuan individu.
Metode koping adaptif seperti berbicara pada orang lain, memecahkan masalah secara
efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan konstruktif.
2. Koping maladaptif
Koping jenis maladaptif mempunyai ciri-ciri bertentangan dengan koping adaptif yaitu :
a. Menghambat fungsi integrasi.
b. Memecah pertumbuhan.
c. Menurunkan otonomi
d. Cenderung menguasai lingkungan.
Teknik metode koping maladaptif seperti makan berlebihan atau tidak makan, bekerja secara
berlebihan, menghindar dan sebagainya.
4. Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan
Shatté,2002. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada
satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik
Kemampuan ini terdiri dari:
1. Regulasi emosi Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk
tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat
mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah
sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif
ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat.
Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu
kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting
yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu
yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada,
memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
2. Pengendalian impuls Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai
kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari
dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan
emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti
itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada
situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa
kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.
3. Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan
pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian
yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih
sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif
dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme
mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang
muncul pada masa yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002).
4. Empati Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis
dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan
psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan
Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu
mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari
lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan
sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2002).
5. Analisis penyebab masalah Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan
sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir.
Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang
baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan
gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak
berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini
penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu) :
individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan
terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat
melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai
ketidakberhasilan sementara. 3)Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir
‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area
kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci
penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang
memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam
permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.
6. Efikasi diri Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri
juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi
memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan
bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang
memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak
merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu
ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan
yang ia alami. 7. Peningkatan aspek positif Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi
merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang
meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1)
mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan
hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan
aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam
meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002)