PR dr. DINA

12
Nama : I Gusti Ayu Ary N.W 1.Biopsikososial Ilmu biopsikososial mempelajari bahwa faktor biologis, psikologis dan sosial memiliki peran yang penting dalam fungsi manusia. 2. Hierarki maslow Teori hierarki kebutuhan Maslow adalah teori yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Ia beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi. Maslow memberi hipotesis bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling bawah, individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Jika pada tingkat tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali pada tingkat kebutuhan yang sebelumnya. Menurut Maslow, pemuasan berbagai kebutuhan tersebut didorong oleh dua kekuatan yakni motivasi kekurangan ( deficiency motivation ) dan motivasi perkembangan ( growth motivation ). Motivasi kekurangan bertujuan untuk mengatasi masalah ketegangan mansuia karena berbagai kekurangan yang ada. Sedangkan motivasi pertumbuhan didasarkan atas kapasitas setiap manusia untuk tumbuh dan berkembang. Kapasitas tersebut merupakaan pembawaan dari setiap manusia. Kebutuhan Fisiologis

description

psikiatri

Transcript of PR dr. DINA

Page 1: PR dr. DINA

Nama : I Gusti Ayu Ary N.W

1. Biopsikososial

Ilmu biopsikososial mempelajari bahwa faktor biologis, psikologis dan sosial memiliki peran

yang penting dalam fungsi manusia.

2. Hierarki maslow

Teori hierarki kebutuhan Maslow adalah teori yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Ia

beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak

cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal

yang memotivasi.

Maslow memberi hipotesis bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling

bawah, individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Jika pada tingkat

tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali pada tingkat

kebutuhan yang sebelumnya. Menurut Maslow, pemuasan berbagai kebutuhan tersebut didorong

oleh dua kekuatan yakni motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motivasi

perkembangan (growth motivation). Motivasi kekurangan bertujuan untuk mengatasi masalah

ketegangan mansuia karena berbagai kekurangan yang ada. Sedangkan motivasi pertumbuhan

didasarkan atas kapasitas setiap manusia untuk tumbuh dan berkembang. Kapasitas tersebut

merupakaan pembawaan dari setiap manusia.

Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan paling dasar pada setiap orang adalah kebutuhan fisiologis yaknik kebutuhan

untuk mempertahankan hidupnya secara fisik.[1][5] Kebutuhan-kebutuhan itu seperti

kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen.[5] Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah potensi paling dasar dan besar bagi semua

pemenuhan kebutuhan di atasnya.[1] Manusia yang lapar akan selalu termotivasi untuk

makan, bukan untuk mencari teman atau dihargai.[1] Manusia akan mengabaikan atau

menekan dulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan fisiologisnya itu terpuaskan. [1] Di

masyarakat yang sudah mapan, kebutuhan untuk memuaskan rasa lapar adalah sebuah

gaya hidup.[1] Mereka biasanya sudah memiliki cukup makanan, tetapi ketika mereka berkata

lapar maka yang sebenarnya mereka pikirkan adalah citarasa makanan yang hendak dipilih,

Page 2: PR dr. DINA

bukan rasa lapar yang dirasakannya.[1] Seseorang yang sungguh-sungguh lapar tidak akan

terlalu peduli dengan rasa, bau, temperatur ataupun tekstur makanan.

Kebutuhan fisiologis berbeda dari kebutuhan-kebutuhan lain dalam dua hal. [1] Pertama,

kebutuhan fisiologis adalah satu-satunya kebutuhan yang bisa terpuaskan sepenuhnya atau

minimal bisa diatasi.[1] Manusia dapat merasakan cukup dalam aktivitas makan sehingga

pada titik ini, daya penggerak untuk makan akan hilang. [1] Bagi seseorang yang baru saja

menyelesaikan sebuah santapan besar, dan kemudian membayangkan sebuah makanan

lagi sudah cukup untuk membuatnya mual.[1] Kedua, yang khas dalam kebutuhan fisiologis

adalah hakikat pengulangannya.[1] Setelah manusia makan, mereka akhirnya akan menjadi

lapar lagi dan akan terus menerus mencari makanan dan air lagi.[1] Sementara kebutuhan di

tingkatan yang lebih tinggi tidak terus menerus muncul.[1] Sebagai contoh, seseorang yang

minimal terpenuhi sebagian kebutuhan mereka untuk dicintai dan dihargai akan tetap

merasa yakin bahwa mereka dapat mempertahankan pemeuhan terhadap kebutuhan

tersebut tanpa harus mencari-carinya lagi.[1]

Kebutuhan Akan Rasa Aman

Setelah kebutuhan-kebutuhan fisiologis terpuaskan secukupnya, muncullah apa yang

disebut Maslow sebagai kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman.[5]Kebutuhan-kebutuhan

akan rasa aman ini diantaranya adalah rasa aman fisik, stabilitas, ketergantungan,

perlindungan dan kebebasan dari daya-daya mengancam seperti perang, terorisme,

penyakit, takut, cemas, bahaya, kerusuhan dan bencana alam. [1] Kebutuhan akan rasa aman

berbeda dari kebutuhan fisiologis karena kebutuhan ini tidak bisa terpenuhi secara total.[1] Manusia tidak pernah dapat dilindungi sepenuhnya dari ancaman-ancaman meteor,

kebakaran, banjir atau perilaku berbahaya orang lain.

Menurut Maslow, orang-orang yang tidak aman akan bertingkah laku sama seperti anak-

anak yang tidak aman.[5] Mereka akan bertingkah laku seakan-akan selalu dalam keadaan

terancam besar.[5] Seseorang yang tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan

stabilitas secara berelebihan serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat

asing dan yang tidak diharapkannya.[5]

Kebutuhan Akan Rasa Memiliki Dan Kasih Sayang

Jika kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka muncullah

kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki.[5]Kebutuhan-kebutuhan ini

meliputi dorongan untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan,

Page 3: PR dr. DINA

kebutuhan untuk dekat pada keluarga dan kebutuhan antarpribadi seperti kebutuhan untuk

memberi dan menerima cinta.[5][1] Seseorang yang kebutuhan cintanya sudah relatif

terpenuhi sejak kanak-kanak tidak akan merasa panik saat menolak cinta.[1] Ia akan memiliki

keyakinan besar bahwa dirinya akan diterima orang-orang yang memang penting bagi

dirinya.[1] Ketika ada orang lain menolak dirinya, ia tidak akan merasa hancur.[1] Bagi

Maslow, cinta menyangkut suatu hubungan sehat dan penuh kasih mesra antara dua orang,

termasuk sikap saling percaya.[5] Sering kali cinta menjadi rusak jika salah satu pihak

merasa takut jika kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahannya.[5]Maslow juga

mengatakan bahwa kebutuhan akan cinta meliputi cinta yang memberi dan cinta yang

menerima.[5] Kita harus memahami cinta, harus mampu mengajarkannya, menciptakannya

dan meramalkannya.[5] Jika tidak, dunia akan hanyut ke dalam gelombang permusuhan dan

kebencian.[5]

Kebutuhan Akan Penghargaan

Setelah kebutuhan dicintai dan dimiliki tercukupi, manusia akan bebas untuk mengejar

kebutuhan akan penghargaan.[1] Maslow menemukan bahwa setiap orang yang memiliki dua

kategori mengenai kebutuhan penghargaan, yaitu kebutuhan yang lebih rendah dan lebih

tinggi.[2] Kebutuhan yang rendah adalah kebutuhan untuk menghormati orang lain,

kebutuhan akan status, ketenaran, kemuliaan, pengakuan,

perhatian, reputasi, apresiasi, martabat, bahkan dominasi.[2] Kebutuhan yang tinggi adalah

kebutuhan akan harga diri termasuk perasaan, keyakinan, kompetensi, prestasi,

penguasaan, kemandirian dan kebebasan.[2] Sekali manusia dapat memenuhi kebutuhan

untuk dihargai, mereka sudah siap untuk memasuki gerbang aktualisasi diri, kebutuhan

tertinggi yang ditemukan Maslow.[1]

Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri

Tingkatan terakhir dari kebutuhan dasar Maslow adalah aktualisasi diri.[2] Kebutuhan

aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan

keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi.[2] Maslow melukiskan kebutuhan ini

sebagai hasrat untuk semakin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa

saja menurut kemampuannya.[5] Awalnya Maslow berasumsi bahwa kebutuhan untuk

aktualisasi diri langsung muncul setelah kebutuhan untuk dihargai terpenuhi.[1] Akan tetapi

selama tahun 1960-an, ia menyadari bahwa banyak anak muda di Brandeis memiliki

Page 4: PR dr. DINA

pemenuhan yang cukup terhadap kebutuhan-kebutuhan lebih rendah seperti reputasi dan

harga diri, tetapi mereka belum juga bisa mencapai aktualisasi diri.[1]

3. Coping mechanism

Menyatakan koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk

mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber

individu. Mekanisme koping adalah pembawaan atau cara merespon untuk mengubah

lingkungan, masalah atau situasi khusus.

Bentuk Mekanisme Koping

a. Koping berfokus pada emosi

Upaya atau variabel yang termasuk dalam mekanisme koping berfokus pada emosi yaitu :

1) Dukungan sosial (social support).

Dukungan sosial dapat diperoleh di rumah, lingkungan kerja atau pada saat terjadinya trauma

berat di suatu wilayah.

a) Dukungan sosial di rumah merupakan dukungan yang diperoleh dari jalinan pertemanan

dan sanak keluarga yang bersedia memberikan bantuan secara psikologis meskipun

hanya menjadi pendengar. Penelitian telah membuktikan dukungan sosial yang kuat,

akan mampu meredakan stres walaupun ekstrim. Wanita umumnya mempunyai

kemampuan berbagi perasaan yang lebih baik dibandingkan pria sehingga memiliki

jaringan dukungan sosial lebih kuat.

b) Dukungan sosial di tempat kerja.

Dukungan ini ditemukan lebih kuat di lapisan pekerja tingkat bawah dibandingkan di

lapisan tingkat atas (manajer). Dukungan sosial di tempat kerja tidak dapat digeneralisasi

fungsinya seperti dukungan sosial di rumah, demikian pula sebaliknya.

c) Dukungan sosial pada saat trauma

Kejadian traumatik seperti perang atau gempa bumi, menimbulkan perasaan kuat untuk

saling menolong terutama terhadap korban yang selamat sehingga tingkat stres menjadi

dapat ditolerir.

2) Mekanisme pertahanan (defence mecanisms)

Mekanisme pertahanan menurut Freud merupakan cara manusia untuk mengatasi kecemasan

dan masalah yang tidak ingin dihadapi secara langsung. Cara ini melibatkan distorsi realita,

sehingga seseorang yang menggunakan mekanisme pertahanan tidak mengetahui inti

masalah dan mampu mengatasinya yang mengakibatkan pemulihan sesaat.

Page 5: PR dr. DINA

3) Koping maladaptif (maladaptive koping methods)

Cara ini termasuk penggunaan obat-obatan, minum-minuman beralkohol, yang

menghindarkan individu dari masalah dalam waktu terbatas.

b. Koping berfokus pada masalah

Cara menghilangkan stres dengan metoda ini adalah dengan berusaha memahami masalah lebih

baik dan mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Jenis koping yang fokus pada

masalah terdiri atas beberapa bentuk manajemen stres yaitu:

1) Penilaian Kognitif (cognitive appraisal).

Cara mereduksi stres dilakukan dengan memikirkan tentang situasi yang menimbulkan stres

dan mencoba mendapatkan jalan memecahkan masalah.

2) Manajemen waktu (time management)

Manajemen waktu secara efektif akan mencegah seseorang mengalami stress. Individu

berusaha mengorganisir waktu dan kegiatannya seperti hal-hal yang harus dikerjakan saat

ini, kegiatan yang harus dijalani selama satu minggu serta berusaha menemukan cara bekerja

lebih efektif sehingga tidak mengalami kemunduran atau membuang waktu.

3) Sikap asertif (Assertiveness)

Cara ini melatih individu untuk belajar tegas menolak sehingga kemungkinan untuk bekerja

melebihi kapasitas sangat kecil. Belajar mengetahui keinginan, tanpa bersikap agresif atau

menonjolkan diri. Teknik asertif sering sangat efektif untuk menetralkan kembali harga diri

rendah. Kemampuan mengetahui keinginan diri sendiri akan menimbulkan rasa bahagia

terhadap situasi yang ada. Individu akan melihat dirinya lebih efektif sehingga timbul

perasaan nyaman terhadap diri sendiri.

4) Relaksasi dan meditasi (relaxation and meditation)

Teknik relaksasi dan meditasi merupakan cara yang memungkinkan manusia memfokuskan

perhatiannya terhadap gagasan khusus. Perhatian yang fokus dan latihan mental secara terus-

menerus menghadapi kecemasan dan ketakutan akan membuat seseorang mencapai tingkat

otonomi terhadap diri sendiri. Relaksasi berdampak pula pada penurunan detak jantung,

tekanan darah dan kontrol pernafasan.

5) Olah raga (exercise)

Olah raga telah terbukti merupakan manajemen stres yang sangat efektif. Dua keuntungan

utama yang akan diperoleh dengan melakukan olah raga dalam memulihkan stres yaitu :

a) Manfaat bagi fisik, olah raga membantu tubuh agar tetap mampu untuk beraktifitas.

Page 6: PR dr. DINA

b) Manfaat bagi situasi, olah raga mampu membantu individu keluar dari situasi yang

memprovokasi stres.

6) Biofeedback

Anjuran untuk mengajarkan orang lain cara menurunkan tekanan darah dan gejala-gejala

fisik lain yang disebabkan stres, sehingga dampak buruk dari stres dapat ditiadakan, telah

terbukti mampu memelihara efek positif dari melakukan serangkaian tindakan untuk

menghilangkan stres.

Karakteristik Mekanisme Koping

1. Koping adaptif

Koping adaptif mempunyai karakterisitk tertentu yang dapat diketahui karena :

a. Mendukung proses delajar individu

b. Mendukung pertumbuhan.

c. Mendukung fungsi integratif.

d. Mendukung pencapaian tujuan individu.

Metode koping adaptif seperti berbicara pada orang lain, memecahkan masalah secara

efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan konstruktif.

2. Koping maladaptif

Koping jenis maladaptif mempunyai ciri-ciri bertentangan dengan koping adaptif yaitu :

a. Menghambat fungsi integrasi.

b. Memecah pertumbuhan.

c. Menurunkan otonomi

d. Cenderung menguasai lingkungan.

Teknik metode koping maladaptif seperti makan berlebihan atau tidak makan, bekerja secara

berlebihan, menghindar dan sebagainya.

4. Resiliensi

Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan

Shatté,2002. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada

satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik

Kemampuan ini terdiri dari:

1. Regulasi emosi Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk

tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat

Page 7: PR dr. DINA

mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah

sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif

ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat.

Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu

kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting

yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu

yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada,

memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.

2. Pengendalian impuls Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai

kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari

dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan

emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti

itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada

situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa

kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.

3. Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan

pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian

yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih

sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif

dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme

mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang

muncul pada masa yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002).

4. Empati Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis

dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan

psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan

Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu

mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari

lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan

sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2002).

5. Analisis penyebab masalah Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan

sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir.

Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang

baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.

Page 8: PR dr. DINA

Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan

gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak

berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini

penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu)  :

individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan

terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat

melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai

ketidakberhasilan sementara. 3)Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir

‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area

kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci

penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang

memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam

permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.

6. Efikasi diri Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada

kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri

juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi

memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan

bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang

memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak

merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu

ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan

yang ia alami. 7. Peningkatan aspek positif Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi

merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang

meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1)

mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan

hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan

aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam

meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002)