PPOK

35
BAB I PENDAHULUAN Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. PPOK akhir-akhir ini menjadi penyakit yang semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat (Riyanto, 2006). PPOK merupakan penyakit paru-paru yang menghancurkan dan merampas kemampuan seorang manusia untuk bernafas. WHO memperkirakan bahwa PPOK membunuh lebih dari 2,75 juta jiwa per tahunnya. penyakit itu merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia bersama dengan HIV/AIDS. WHO bahkan memprediksi pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab kematian nomor tiga di dunia. Hal ini dikaitkan dengan seiring meningkatnya penggunaan tembakau dan rokok di seluruh dunia (Riyanto, 2006). Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya 1

Transcript of PPOK

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik yang

ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak

sepenuhnya reversibel. PPOK akhir-akhir ini menjadi penyakit yang semakin

menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang

terus meningkat (Riyanto, 2006).

PPOK merupakan penyakit paru-paru yang menghancurkan dan merampas

kemampuan seorang manusia untuk bernafas. WHO memperkirakan bahwa

PPOK membunuh lebih dari 2,75 juta jiwa per tahunnya. penyakit itu merupakan

penyebab kematian nomor empat di dunia bersama dengan HIV/AIDS. WHO

bahkan memprediksi pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab kematian

nomor tiga di dunia. Hal ini dikaitkan dengan seiring meningkatnya penggunaan

tembakau dan rokok di seluruh dunia (Riyanto, 2006).

Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat

mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan

119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK

menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit

serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24 milyar

per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi

PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya

akan meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian akan

meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga

Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki peringkat

ke-6 (Riyanto,2006).

Meningkatnya usia hidup manusia dan dapat diatasinya penyakit

degeneratif lainnya PPOK sangat mengganggu kualitas hidup diusia lanjut.

Bidang industri yang tidak dapat dipisahkan dengan polusi udara dan lingkungan

serta kebiasaan merokok merupakan penyebab utama.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat

dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak

sepenuhnya reversibel, bersiffat progresif, dan berhubungan dengan respon

inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun atau berbahaya, disertai efek

ekstra-paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2009).

Menurut WHO, PPOK merupakan penyakit paru-paru obstruksi kronis

yang ditandai oleh aliran udara paru-paru yang mengganggu pernapasan normal

dan tidak sepenuhnya reversibel. Sedangkan menurut American Thoracic Society

(ATS) tahun 1995, PPOK didefinisikan sebagai keadaan penyakit kronis yang

ditandai dengan keterbatasan aliran udara akibat bronkitis kronis dan emphysema.

Pada tahun 2009, The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai gangguan aliran udara yang kronis

dengan beberapa perubahan patologis pada baru disertai efek ekstra pulmonal dan

berbagai komorbiditas yang dapat berpengaruh terhadap derajat beratnya penyakit

(GOLD, 2009).

Bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua penyakit yang digolongkan

dalam PPOK, namun tidak dimasukkan dalam definisi PPOK karena bronkitis

kronik merupakan diagnosa klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosa

patologis. Selain itu, keduanya tidak selalu mencerminkan gangguan dalam aliran

udara pada saluran napas (PDPI, 2009).

Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh

batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua

tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan

suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal

bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat tiga jenis

emfisema berdasarkan lokasinya, yaitu emfisema sentriasinar (sentrilobular),

2

emfisema panasinar (panlobular), dan emfisema paraseptal. (Robbins dan

Kumar,2007).

2.2 Prevalensi dan Insiden

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 bronkitis kronik dan emfisema

menduduki peringkat ke 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10

penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian

karena bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke 6 dari 10

penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam

peningkatan penyakit tersebut (Riyanto, 2006):

Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

Pertambahan penduduk

Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an

menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an

Industrialisasi

Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di

pertambangan

Data menurut The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) pada tahun 2004 memperlihatkan PPOK diderita tiga kali lebih banyak

oleh warga dewasa yang usianya lebih dari 40 tahun. Paling tidak 10 persen dari

orang dewasa yang usianya lebih dari 40 tahun kemungkinan menderita PPOK.

Data baru itu memperlihatkan bahwa pengidap penyakit paru-paru lebih dari tiga

kali lipat dibandingkan perkiraan umum sebelumnya. Data yang disiarkan itu

merupakan hasil awal dari dua kajian internasional di Brazil, Chili, China,

Meksiko, Turki dan Uruguay (Riyanto, 2006).

Penemuan awal itu memperlihatkan bahwa PPOK menjangkiti antara 10

sampai 15 persen orang dewasa yang berusia di atas 40 tahun di Negara-negara

yang diteliti. Statistik sebelumnya yang disusun oleh (WHO) memperkirakan

bahwa kurang dari satu persen masyarakat yang berusia antara 45 sampai 60

3

tahun dan kurang dari empat persen masyarakat yang berusia 60 tahun menderita

PPOK (Riyanto, 2006).

2.3 Etiologi

Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap

rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk

melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan

neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang

merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi

dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap

dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi

terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif

seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah

diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena

substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease (Fitriani, 2009).

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial,

hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula

disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus

yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai

bronkhitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru,

penghancuran elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema.

Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru

dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran

udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten

pada saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik

untuk PPOK (Fitriani, 2009).

Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau

kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan

hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah

4

(V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang

berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang

tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi

keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk

mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya prosesini

gagal, dan terjadilah retensi CO2 pada beberapa pasien dengan PPOK berat

(Fitriani, 2009).

2.4 Faktor Resiko

Merokok sekarang ini merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya PPOK di

negara maju. Sebanyak 85% hingga 90% pasien dengan PPOK memiliki riwayat

merokok. PPOK dapat terjadi pada perokok aktif maupun perokok pasif. Namun

dilain pihak, hanya 15% dari perokok yang akan mengidap PPOK,

mengindikasikan sepertinya terdapat faktor konstitusional atau genetik yang

menentukan resiko berkembangnya obstruksi saluran napas pada seseorang.

Defisiensi α1-anti-trypsin merupakan satu-satunya faktor resiko terkait genetik

yang diketahui sampai saat ini, namun kecenderungan PPOK untuk berkembang

pada keluarga tertentu mengindikasikan terdapat faktor herediter lainnya yang

belum teridentifikasi. Polusi udara seperti paparan okupansional terhadap debu

dan gas telah terkait dengan perkembangan PPOK.

Polusi udara dapat berasal dari dalam ruangan seperti asap rokok ataupun

kompor, dan dapat berasal dari luar seperti debu dan asap kendaraan bermotor.

Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk adanya infeksi saluran

napas berulang, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru pada janin,

dan status sosioekonomi rendah (Fitriani, 2009).

2.5 Patofisiologi

Perubahan patologi pada PPOK ditemukan pada saluran napas proksimal, perifer,

parenkim, dan vaskular paru. Asap rokok dan berbagai partikel gas beracun

lainnya menyebabkan proses inflamasi kronis pada paru, ditandai oleh

5

peningkatan jumlah sel inflamasi berupa neutrofil, makrofag, dan sel T sitotoksik.

Proses inflamasi tersebut mengakibatkan perubahan struktur yang berbeda pada

setiap bagian paru, mengakibatkan cedera dan penyembuhan yang berulang.

Proses inflamasi pada paru ini juga diperberat oleh adanya stress oksidatif dan

peningkatan jumlah protease pada paru. Terjadinya eksaserbasi dapat

memperberat respon inflamasi pada PPOK, yang seringkali dipicu oleh adanya

infeksi bakteri atau virus (GOLD, 2009).

Perubahan fisiologis yang terjadi pada PPOK antara lain hipersekresi dari mukus,

keterbatasan aliran udara paru, air trapping, dan gangguan pertukaran gas.

Terdapat berbagai gangguan sistemik yang dapat berkaitan dengan bertambah

beratnya PPOK, antara lain yaitu anoreksia, muscle wasting, peningkatan resiko

penyakit kardiovaskuler, anemia, osteoporosis, dan depresi (GOLD, 2009)

2.6 Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

2009, dibagi atas 4 derajat:

Derajat Klinis Faal paru

2.7 Gambaran Klinis

PPOK memiliki tiga gejala klinis utama adalah batuk kronis, produksi sputum,

dan sesak napas yang bertambah saat aktivitas (Reilly, et al., 2005).

6

Gejala awal yang ditemukan pada PPOK tahap awal (PPOK stage I)

adalah batuk kronis dan produksi sputum. Pada derajat ini pasien tidak menyadari

bahwa fungsi paru sudah menurun. Gejala-gejala ini dapat terjadi selama

bertahun-tahun sebelum timbulnya limitasi pada jalan napas, dan gejala-gejala ini

seringkali diabaikan oleh pasien, dan seringkali dianggap sebagai bagian dari

proses penuaan. Gejala pada tahap selanjutnya (PPOK stage II) adalah sesak yang

sering mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Pasien-pasien PPOK umumnya

mulai mencari pengobatan jika sudah dalam stage ini. Pada PPOK tahap yang

berat (PPOK stage III) terjadi jika obstruksi jalan napas sudah semakin parah,

dimana gejala-gejala yang terjadi antara lain batuk dan produksi sputum terus

berlanjut, sesak yang bertambah parah, yang amat berpengaruh dalam kualitas

hidup pasien. Pada tahap yang sangat berat (PPOK stage IV) dan muncul gejala-

gejala lain seperti gagal napas, gagal jantung kanan, dan penurunan berat badan.

Pada derajat ini kualitas hidup pasien sangat memburuk dan eksaserbasi dapat

mengancam jiwa (GOLD, 2009).

Terjadinya sesak pada PPOK, dapat dideskripsikan sebagai peningkatan

usaha napas, rasa berat untuk bernapas, atau terjadinya gasping, yang makin lama

makin memberat, terutama karena aktivitas. Peningkatan obstruksi aliran udara

pada PPOK juga diikuti bertambah seringnya serangan/eksaserbasi. Pasien juga

mungkin mengalami sesak saat isirahat dan membutuhkan terapi oksigen (Reilly,

et al., 2005).

2.8 Diagnosa

Diagnosis untuk PPOK dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan batuk kronis,

produksi sputum, sesak yang memberat dengan aktivitas, dan riwayat adanya

faktor-faktor resiko untuk terjadinya PPOK, seperti usia >40 tahun dan riwayat

merokok, atau riwayat terpapar polusi udara dalam waktu lama (PDPI, 2009).

Diagnosa untuk PPOK dapat diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan, dan

dibantu dengan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan radiologis dan

spirometri. Anamnesa untuk PPOK antara lain diarahkan kepada ada tidaknya

7

paparan faktor resiko seperti perokok aktif maupun pasif, paparan polusi udara

atau debu. Jenis aktivitas fisik yang dapat dilakukan pasien dan sejauh mana

penurunan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari juga perlu

ditanyakan, karena pasien PPOK umumnya mengalami penurunan kemampuan

untuk melakukan aktivitas fisik terutama yang membutuhkan kerja lengan dan

gerak bahu secara signifikan. Awalnya pasien PPOK hanya merasakan sesak

ketika melakukan aktivitas berat, dan seiring bertambahnya perjalanan penyakit,

pasien lama-kelamaan akan merasa sesak walaupun hanya melakukan aktivitas

ringan saja (Reilly, et al., 2005).

Adanya riwayat penyakit dahulu seperti gangguan jalan napas sejak kecil

juga perlu ditanyakan, seperti asma, riwayat alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi

saluran napas saat anak-anak. Adanya penyakit yang serupa dalam keluarga,

riwayat serangan terdahulu, adanya riwayat penyakit lain seperti penyakit jantung,

riwayat pengobatan sebelumnya, dan riwayat perubahan sosial yang terjadi

terhadap pasien setelah PPOK terjadi juga perlu ditanyakan (GOLD,2009).

Pada pemeriksaan fisik pada fase awal PPOK, mungkin tidak ditemukan

adanya kelainan sama sekali. Pada perokok dapat ditemukan tanda-tanda perokok

aktif, seperti nafas yang berbau rokok dan nicotine staining pada kuku-kuku jari

(Reilly, et al., 2005).

Gejala-gejala pada PPOK mulai terlihat seiring memberatnya perjalanan

penyakit. Dari inspeksi dapat ditemukan barrel chest, yang merupakan tanda

adanya hiperinflasi pada paru, pursed-lip breathing, dan posisi tripod, yaitu pada

pasien dengan obstruksi jalan napas yang berat. Posisi ini dapat memaksimalkan

penggunaan otot-otot tambahan pernapasan, antara lain otot

sternocleidomastoideus, scalenus, dan otot-otot intercostalis.

Dari palpasi dinding thoraks dapat ditemukan sela iga yang melebar dan

cekung. Perkusi paru menjadi hipersonor. Terjadi penambahan volume paru, letak

diafragma menjadi lebih rendah dan hepar tertekan ke bawah. Dari auskultasi

terdengar suara ekspirasi yang memanjang, suara napas melemah, dan bunyi

jantung yang menjauh. Pada pasien PPOK dapat terjadi sianosis yang tampak

8

pada bibir dan kuku jari. Pada pasien emfisema lebih jarang ditemukan sianosis,

sedangkan pada pasien bronkitis kronis, sianosis lebih sering ditemukan (Reilly,

et al., 2005).

Pada perjalanan penyakit yang lanjut dapat ditemukan keadaan penurunan

berat badan yang signifikan, wasting pada bitemporal, dan kehilangan lemak

subcutan secara menyeluruh. Hal ini dihubungkan dengan intake oral yang

seringkali tidak adekuat serta peningkatan sitokin inflamasi yaitu (TNF-a). Cor

pulmonale dapat terjadi bila pemberian terapi oksigen tidak adekuat (Reilly,et al.,

2005).

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung diagnosa PPOK

antara lain pemeriksaan faal paru, pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan

radiologis, baik foto thoraks konvensional maupun CT scan, dan spirometri. Dari

pemeriksaan faal paru dapat ditemukan tanda adanya obstruksi aliran udara paru

berupa penurun VEP1 dan VEP1/KVP. Seiring bertambah buruknya perjalanan

penyakit, volume paru meningkat, menyebabkan peningkatan kapasitas total paru,

kapasitas residu fungsional paru, dan volume residu. Pada pasien emfisema,

kapasitas paru secara menyeluruh dapat berkurang, karena terjadinya destruksi

dari alveoli. Derajat dari obstruksi aliran udara paru menjadi factor penentu

prognosis pada PPOK (Reilly, et al., 2005).

Pemeriksaan analisis gas darah (BGA) tidak sensitif untuk PPOK. BGA

hanya memberi informasi tambahan tentang ventilasi alveolar dan status asam

basa darah. Meskipun begitu, pemeriksaan BGA penting bagi pasien yang

mengalami eksaserbasi pada PPOK (Reilly, et al., 2005).

Pemeriksaan radiologis dapat membantu penegakan diagnosa PPOK bila

didapatkan kecurigaan dari gejala klinis yang timbul pada pasien. Dari

pengamatan foto thoraks, pada emfisema terjadi pembesaran volume paru, sela

iga yang melebar dan menjadi datar, diafragma menjadi rendah dan terjadi

pendataran, vascular yang menipis, gambaran jantung yang menggantung, serta

dapat ditemukan adanya bulla, sedangkan pada bronkitis kronis gambaran

radiologis lebih dominan adalah bertambahnya corakan bronkovaskuler pada

9

paru, penebalan bronkiolus, dan peningkatan liner marking pada paru.

Pemeriksaan CT scan lebih sensitif untuk menegakkan diagnose emfisema pada

pasien PPOK daripada foto thorax konvensional (Gunderman, 2006).

Gambaran Radiologis Emfisema: gambaran hiperlusen pada paru, area yang

avaskuler, arteri pulmonalis yang prominen dan pendataran dari diafragma

(Shakeel, 2008)

Gambaran Radiologis Bronkitis Kronis:Corakan yang ramai dibagian basal paru

(Shakeel, 2008).

10

Spirometri adalah metode yang dipilih sebagai gold standard dalam

menegakkan diagnosa PPOK. Adanya VEP1/KVP post bronkodilatasi yang <70%

dan VEP1<80% mengkonfirmasi adanya limitasi pada jalan napas yang tidak

sepenuhnya reversibel (GOLD, 2009). Pada tempat-tempat dimana fasilitas

spirometri tidak tersedia diagnosa PPOK dapat ditegakkan secara klinis

(PDPI,2009).

2.9 Diagnosa Banding

PPOK merupakan penyakit paru yang onsetnya umumnya terjadi di usia

pertengahan (>40 tahun), dengan gejala progresiif yang lambat, ditemukan

riwayat merokok pada pasien, adanya sesak yang memberat dengan aktivitas, dan

hambatan aliran udara yang umumnya ireversibel (PDPI, 2009).Beberapa

diagnosa banding untuk PPOK antara lain (PDPI, 2009):

11

2.10 Komplikasi

Komplikasi PPOK dapat bermacam-macam, diantaranya:

1. Gagal nafas

Akibat obstruksi jalan nafas maka terjadilah ketidakmampuan paru-paru untuk

menghirup oksigen yang cukup dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.

Akibatnya dapat mengganggu keseimbangan asam dan basa (Leader, 2008).

Gagal nafas juga dapat terjadi selama eksaserbasi akut (Swierzewski, 2007).

12

2. Polisitemia Sekunder

Polisitemia pada penderita PPOK terjadi karena tubuh berusaha untuk

menyesuaikan terhadap penurunan jumlah oksigen di darah yaitu dengan

meningkatkan produksi sel darah merah, yang mana sel darah merah berfungsi

untuk mengangkut oksigen. Hal ini mungkin dapat membantu untuk sementara

waktu, namun produksi berlebihan bisa menyebabkan darah menjadi kental,

pada akhirnya bisa menyumbat pembuluh darah kecil. Tanda dan gejala

polisitemia sekunder adalah kelemahan, sakit kepala, kelelahan, napas pendek,

gangguan penglihatan, wajah kemerahan, kebingungan, tinnitus, dan rasa

terbakar di tangan dan kaki (Swierzewski, 2007).

3. Cor Pulmonale ( Gagal jantung Kanan )

Pertukaran udara yang jelek pada penderita PPOK menyebabkan menurunnya

jumlah oksigen di darah sehingga timbul refleks spasme percabangan-

percabangan kecil arteri pulmonalis (hypoxic vasoconstriction). Kesemuanya

ini akan lebih meningkatkan tahanan perifer dalam paru. Maka ventrikel kanan

harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Bila

sudah tidak mampu lagi mengkompensasi meningkatnya tahanan perifer

intrapulmonal, maka akan terjadi kegagalan jantung kanan (Danusantoso,

2000). Tanda dan gejala gagal jantung kanan antara lain pembengkakan

ekstemitas bawah yaitu kaki, dispneu, tidak mampu mentoleransi latihan,

sianosis, meningkatnya vena leher (Leader, 2008).

4. Pneumothoraks

Pneumothoraks terjadi karena adanya lubang yang berkembang di paru-paru,

menyebabkan udara keluar menuju rongga antara paru dan dinding dada dan

menyebabkan paru-paru kolaps. Pada penderita PPOK terjadi peningkatan

risiko untuk terjadinya perkembangan lubang secara spontan karena lemahnya

struktur paru (Swierzewski, 2007). Tanda dan gejala pneumothoraks antara lain

nyeri dada yang mendadak dan tajam, tambah parah apabila batuk atau

bernafas dalam, dispneu, sesak, takikardi, dan sianosis (Leader, 2008).

13

5. Hipertensi Pulmonal

Normalnya, darah yang mengalir melalui pembuluh darah paru mempunyai

tahanan yang kecil, dan secara normal melebar untuk mengalirkan darah dari

jantung ke paru untuk mengambil oksigen dan mengalirkannya ke seluruh

tubuh. Pada hipertensi pulmonal, pembuluh darahnya konstriksi manjadi

sempit dan tebal. Hal tersebut menyebabkan sedikit darah yang mengalir di

pembuluh darah, tekanan dalam pembuluh darah menjadi meningkat dan otot

jantung bekerja keras untuk memompa darah. Tanda dan gejala hipertensi

pulmonal antara lain nafas pendek ketika pertama kali beraktivitas dan bahkan

waktu istirahat, nyeri dada, kelemahan, kelelahan, pingsan, bengkak pada kaki

(Leader, 2008).

6. Malnutrisi

Malnutrisi menjadi komplikasi PPOK yang dapat disebabkan karena dispneu,

yang merupakan gejala utama PPOK membuat penderita sangat sulit untuk

menyelesaikan makannya, dan penderita menjadi kehilangan nafsu makan.

Tanda dan gejala bisa bermacam-macam mulai dari yang ringan sampai sangat

berat. Gejala umum berupa kelelahan, pusing, penurunan berat badan, dan

kelemahan sistem imun (Leader, 2008).

7. Penyakit paru tahap akhir

Saat gagal nafas terjadi pada pasien yang mempunyai penyakit paru tahap

akhir, akan terjadi penurunan dengan lambat fungsi paru dan meningkatnya

kadar karbondioksida dalam darah. Meningkatnya karbondioksida

menyebabkan efek narkotik pada pasien, sehingga pasien hilang kesadaran dan

berhenti bernafas Mayo Clinic Staff. 2009).

2.11 Penatalaksaan

Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu (1)

evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3)

tatalaksana PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan

eksaserbasi. Manajemen utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain

14

dengan menghindari faktor resiko, mencegah progresivitas PPOK, dan

penggunaan obat-obatan untuk mengontrol gejala dari PPOK, sedangkan

untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan manajemen terapi yang lebih

terpadu dengan berbagai pendekatan untuk membantu pasien dalam

melewati perjalanan penyakitnya. Selain pendekatan farmakologis, edukasi

dan nasihat pada pasien, diperlukan juga konseling untuk penghentian

rokok, olahraga, kebutuhan nutrisi, dan perawatan untuk pasien. Setelah

pasien didiagnosa PPOK, ada beberapa tujuan terapi yang ingin dicapai,

antara lain (PDPI, 2009):

1. Mengurangi gejala penyakit

2. Mencegah progresivitas penyakit

3. Meningkatkan toleransi aktivitas

4. Meningkatkan kualitas hidup penderita

5. Mencegah dan mengobati komplikasi

6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi ulang

7. Menurunkan angka kematian

2.11.1 Evaluasi dan Monitoring Penyakit

Kunjungan pada fasilitas kesehatan akan diperlukan lebih sering seiring dengan

bertambah beratnya penyakit. Beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam

perjalanan PPOK antara lain (1) paparan pasien terhadap faktor resiko, (2)

perjalanan penyakit dan timbulnya komplikasi, (3) perjalanan pengobatan yang

telah dilakukan pasien, (4) riwayat terjadinya eksaserbasi, dan (5) adanya

penyakit lain yang menyertai. Monitor penting yang harus dilakukan pada PPOK

adalah gejala klinis dan fungsi paru. Timbulnya gejala klinis yang baru dan

perubahan keterbatasan pada aliran udara dapat menyebabkan perubahan pada

terapi (GOLD, 2009).

Beberapa monitoring yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya

kemungkinan timbulnya komplikasi pada pasien PPOK antara lain (GOLD,2009):

15

1. Pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri bila timbul gejala baru atau

komplikasi

2. Pemeriksaan BGA

3. Evaluasi hemodinamik paru, untuk mencari kemungkinan timbulnya

hipertensi pulmonal

4. Evaluasi ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung kanan atau corpulmonal

5. Pemeriksaan hematokrit untuk mengetahui adanya tanda-tanda polisitemia

6. Pemeriksaan fungsi otot-otot pernapasan

7. Pemeriksaan kualitas tidur

8. Pemeriksaan ketahanan fisik dalam latihan

2.11.2 Menurunkan Faktor Resiko

Dalam mencegah berkembangnya PPOK maupun mencegah progresivitas PPOK,

terdapat beberapa faktor resiko yang dapat dihindari, antara lain dengan cara

berhenti merokok, menghindari polusi dan debu di tempat kerja dan tempat

terbuka. Berhenti merokok merupakan intervensi yang paling efektif dalam

menanggulangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas

penyakit. Selain dari kesadaran individu untuk berhenti merokok, hal ini dapat

pula didukung oleh kebijakan pemerintah pusat atau daerah dalam bentuk

peraturan tentang merokok di tempat umum. Masyarakat perlu disadarkan bahaya

merokok baik untuk perokok itu sendiri maupun terhadap orang-orang di

sekitarnya. Kebijakan terhadap penanggulangan polusi juga mendukung terhadap

program pencegahan PPOK di masyarakat (GOLD, 2009).

2.11.3 Penatalaksanaan PPOK Stabil

Kriteria PPOK stabil adalah pasien tidak dalam kondisi gagal napas akut

pada gagal napas kronik, dapat pula dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu

hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg,

dahak jernih tidak berwarna, aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat

berat PPOK (hasil spirometri), penggunaan bronkodilator sesuai rencana

16

pengobatan dan tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan. Tujuan

penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk mempertahankan fungsi paru,

meningkatkan kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK

stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala, sedangkan

penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus

menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.

Obat-obatan bronkodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi

gejala yang timbul pada PPOK. Bronkodilator dapat berfungsi untuk meredakan

gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan bronkodilator yang

dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis, antikolinergik, dan xantin, yang

dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan (GOLD, 2009). Pengobatan diini

dengan bronkodilator anti kolinergik kerja lama pada PPOK derajat II/sedang

dapat memperlambat laju penurunan fungsi paru Penggunaan bronkodilator long

acting (LABA) terbukti lebih efektif untuk PPOK dibandingkan yang short acting

(SABA). Kombinasi antara LABA dan glukokortikosteroid lebih efektif

menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru serta kualitas hidup (PDPI,

2009). Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang harus dihindari karena

buruknya efek samping yang dapat ditimbulkan (GOLD, 2009).

Pemberian vaksinasi influenza dan pneumonia dapat dipertimbangkan

pada pasien dengan usia diatas 60 tahun dan pasien PPOK derajat sedang, berat,

dan sangat berat. Pemberian mukolitik pada eksaserbasi dapat memberperbaikan,

dan pemberian antioksidan dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi. Terapi

oksigen jangka panjang pada pasien gagal napas dapat meningkatkan harapan

hidup. Rehabilitasi medis juga disarankan untuk dilakukan mulai PPOK derajat II,

dengan tujuan mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien (PDPI,

2009).

17

Berikut dibawah ini merupakan algoritmen manajemen pada PPOK stabil

(PDPI,2009) :

18

Berikut adalah tabel karakteristik dan rekomendasi pengobatan berdasarkan

derajat PPOK (PDPI, 2009) :

2.11.4 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi

Gejala eksaserbasi adalah seperti batuk semakin sering/hebat, produksi

sputum bertabah banyak, sputum berubah warna,sesak napas bertambah,

keterbatasan aktivitas bertambah, terdapat gagal napas akut pada gagal napas

19

kronik, dan kesadaran menurun. Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga yaitu

tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas, tipe II (eksaserbasi sedang),

memiliki 2 gejala di atas dan tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di

atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,

peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >

20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline. Penyebab eksaserbasi akut

terbagi kepada primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus) dan

sekunder yaitu pneumonia, gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia, emboli

paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat penggunaan

obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (DM,

gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkunagn memburuk/polusi udara, aspirasi

berulang dan stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).

Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di poliklinik rawat

jalan, unit gawat darurat, ruang rawat dan ruang Intensive Care Unit (ICU).

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK adalah dengan enam cara yaitu

optimalisasi penggunaan obat-obatan, terapi oksigen, terapi nutrisi, rehabilitasi

fisis dan respirasi, evaluasi progresifiti penyakit, dan edukasi. Optimalisasi

penggunaan obat-obatan seperti bronkodilator yaitu agonis β2 kerja singkat

kombinasi dengan antikolinergik melalui inhalasi (nebulizer),kortikosteroid

sistemik, antibiotik yaitu golongan akrolid baru (Azitromosin, Roksitromisin,

Klaritromisin), golongan kuinolon.

Indikasi rawat yaitu jika ada peningkatan gejala seperti sesak dan batuk

saat tidak beraktivitas, PPOK dengan derajat berat, terdapat tanda-tanda sianosis

dan atau edema, disertai penyakit komorbid yang lain, sering eksaserbasi,

didapatkan aritmia, diagnostik yang belum jelas, usia lanjut, infeksi saluran napas

berat dan gagal napas akut pada gagal napas kronik. Indikasi rawat ICU adalah

apabila pasien merasakan sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat

darurat atau ruang gawat, kesadaran menurun, letargi atu kelemahan otot-otot

respirasi, setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau pemburukan

PO2 < 50mmHg atau PCO2 > 50mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasif

20

atau non invasif), memerlukan penggunaan ventilasi mekanis invasif, dan terjadi

ketidakstabilan hemodinamik.

Tujuan perawatan ICU adalah sebagai pengawasan dan terapi intensif,

hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang

tepat dan mencegah kematian.

21

BAB III

PENUTUP

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik

yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak

sepenuhnya reversible. Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk

dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus

meningkat. Penting bagi dokter umum untuk memahami penegakan diagnosis

PPOK, yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta didukung oleh

pemeriksaan penunjang yang tepat.

Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu (1)

evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3) tatalaksana

PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan eksaserbasi. Manajemen

utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain dengan menghindari faktor resiko,

mencegah progresivitas PPOK, dan penggunaan obat-obatan untuk mengontrol

gejala dari PPOK, sedangkan untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan

manajemen terapi yang lebih terpadu dengan berbagai pendekatan untuk

membantu pasien dalam melewati perjalanan penyakitnya.

Penggunaan bronkodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi

gejala yang timbul pada PPOK, dimana bronkodilator dapat berfungsi untuk

meredakan gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan

bronkodilator yang dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis,

antikolinergik, dan xantin, yang dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan.

Selain pendekatan farmakologis, edukasi dan nasihat pada pasien,

diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok, olahraga, kebutuhan nutrisi,

dan perawatan untuk pasien. Manajemen yang tepat dapat menurunkan morbiditas

dan mortalitas pada pasien PPOK, serta sangat berperan dalam meningkatkan

kualitas hidup pasien.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates.

Jakarta, hal 178-179.

2. Fitriani, Feni dkk. 2009. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sebagai

Penyakit Sistemik. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran

Perspirasi FKUI. Jakarta. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung

Disease (GOLD). Global Strategy for The Diagnosis, Management, and

Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. National Institutes

of Health. National Heart, Lung and Blood Institute, Update 2009.

3. Gunderman, RB. 2006. Essential Radiology, Second Edition. New

York:Thieme Medical Publisher

4. PDPI. 2009. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Jakarta

5. Reilly JJ, Silverman EK, Shapiro SD. 2005. Harrison’s Principles of

Internal Medicine 16th Edition: Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

New York: McGraw Hill Professional.

6. Riyanto BS, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi

Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD

FKUI, 2006. p.984-5.

7. Robbins dan Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC

8. Swierzewski, SJ. 2007.Chronic Obstructive Pulmonary Disease.(online)

(http://www.pulmonologychannel.com/PPOK/complications.shtml.

23