PPOK
-
Upload
coassprinting -
Category
Documents
-
view
61 -
download
1
Transcript of PPOK
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel. PPOK akhir-akhir ini menjadi penyakit yang semakin
menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang
terus meningkat (Riyanto, 2006).
PPOK merupakan penyakit paru-paru yang menghancurkan dan merampas
kemampuan seorang manusia untuk bernafas. WHO memperkirakan bahwa
PPOK membunuh lebih dari 2,75 juta jiwa per tahunnya. penyakit itu merupakan
penyebab kematian nomor empat di dunia bersama dengan HIV/AIDS. WHO
bahkan memprediksi pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab kematian
nomor tiga di dunia. Hal ini dikaitkan dengan seiring meningkatnya penggunaan
tembakau dan rokok di seluruh dunia (Riyanto, 2006).
Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan
119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK
menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit
serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24 milyar
per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya
akan meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian akan
meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga
Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki peringkat
ke-6 (Riyanto,2006).
Meningkatnya usia hidup manusia dan dapat diatasinya penyakit
degeneratif lainnya PPOK sangat mengganggu kualitas hidup diusia lanjut.
Bidang industri yang tidak dapat dipisahkan dengan polusi udara dan lingkungan
serta kebiasaan merokok merupakan penyebab utama.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersiffat progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun atau berbahaya, disertai efek
ekstra-paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2009).
Menurut WHO, PPOK merupakan penyakit paru-paru obstruksi kronis
yang ditandai oleh aliran udara paru-paru yang mengganggu pernapasan normal
dan tidak sepenuhnya reversibel. Sedangkan menurut American Thoracic Society
(ATS) tahun 1995, PPOK didefinisikan sebagai keadaan penyakit kronis yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara akibat bronkitis kronis dan emphysema.
Pada tahun 2009, The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai gangguan aliran udara yang kronis
dengan beberapa perubahan patologis pada baru disertai efek ekstra pulmonal dan
berbagai komorbiditas yang dapat berpengaruh terhadap derajat beratnya penyakit
(GOLD, 2009).
Bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua penyakit yang digolongkan
dalam PPOK, namun tidak dimasukkan dalam definisi PPOK karena bronkitis
kronik merupakan diagnosa klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosa
patologis. Selain itu, keduanya tidak selalu mencerminkan gangguan dalam aliran
udara pada saluran napas (PDPI, 2009).
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan
suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat tiga jenis
emfisema berdasarkan lokasinya, yaitu emfisema sentriasinar (sentrilobular),
2
emfisema panasinar (panlobular), dan emfisema paraseptal. (Robbins dan
Kumar,2007).
2.2 Prevalensi dan Insiden
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian
karena bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke 6 dari 10
penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam
peningkatan penyakit tersebut (Riyanto, 2006):
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an
Industrialisasi
Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di
pertambangan
Data menurut The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) pada tahun 2004 memperlihatkan PPOK diderita tiga kali lebih banyak
oleh warga dewasa yang usianya lebih dari 40 tahun. Paling tidak 10 persen dari
orang dewasa yang usianya lebih dari 40 tahun kemungkinan menderita PPOK.
Data baru itu memperlihatkan bahwa pengidap penyakit paru-paru lebih dari tiga
kali lipat dibandingkan perkiraan umum sebelumnya. Data yang disiarkan itu
merupakan hasil awal dari dua kajian internasional di Brazil, Chili, China,
Meksiko, Turki dan Uruguay (Riyanto, 2006).
Penemuan awal itu memperlihatkan bahwa PPOK menjangkiti antara 10
sampai 15 persen orang dewasa yang berusia di atas 40 tahun di Negara-negara
yang diteliti. Statistik sebelumnya yang disusun oleh (WHO) memperkirakan
bahwa kurang dari satu persen masyarakat yang berusia antara 45 sampai 60
3
tahun dan kurang dari empat persen masyarakat yang berusia 60 tahun menderita
PPOK (Riyanto, 2006).
2.3 Etiologi
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap
rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk
melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan
neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang
merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi
dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap
dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi
terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif
seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah
diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena
substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease (Fitriani, 2009).
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial,
hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula
disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus
yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai
bronkhitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru,
penghancuran elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema.
Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru
dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran
udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten
pada saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik
untuk PPOK (Fitriani, 2009).
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau
kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan
hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah
4
(V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang
berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang
tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi
keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk
mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya prosesini
gagal, dan terjadilah retensi CO2 pada beberapa pasien dengan PPOK berat
(Fitriani, 2009).
2.4 Faktor Resiko
Merokok sekarang ini merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya PPOK di
negara maju. Sebanyak 85% hingga 90% pasien dengan PPOK memiliki riwayat
merokok. PPOK dapat terjadi pada perokok aktif maupun perokok pasif. Namun
dilain pihak, hanya 15% dari perokok yang akan mengidap PPOK,
mengindikasikan sepertinya terdapat faktor konstitusional atau genetik yang
menentukan resiko berkembangnya obstruksi saluran napas pada seseorang.
Defisiensi α1-anti-trypsin merupakan satu-satunya faktor resiko terkait genetik
yang diketahui sampai saat ini, namun kecenderungan PPOK untuk berkembang
pada keluarga tertentu mengindikasikan terdapat faktor herediter lainnya yang
belum teridentifikasi. Polusi udara seperti paparan okupansional terhadap debu
dan gas telah terkait dengan perkembangan PPOK.
Polusi udara dapat berasal dari dalam ruangan seperti asap rokok ataupun
kompor, dan dapat berasal dari luar seperti debu dan asap kendaraan bermotor.
Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk adanya infeksi saluran
napas berulang, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru pada janin,
dan status sosioekonomi rendah (Fitriani, 2009).
2.5 Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK ditemukan pada saluran napas proksimal, perifer,
parenkim, dan vaskular paru. Asap rokok dan berbagai partikel gas beracun
lainnya menyebabkan proses inflamasi kronis pada paru, ditandai oleh
5
peningkatan jumlah sel inflamasi berupa neutrofil, makrofag, dan sel T sitotoksik.
Proses inflamasi tersebut mengakibatkan perubahan struktur yang berbeda pada
setiap bagian paru, mengakibatkan cedera dan penyembuhan yang berulang.
Proses inflamasi pada paru ini juga diperberat oleh adanya stress oksidatif dan
peningkatan jumlah protease pada paru. Terjadinya eksaserbasi dapat
memperberat respon inflamasi pada PPOK, yang seringkali dipicu oleh adanya
infeksi bakteri atau virus (GOLD, 2009).
Perubahan fisiologis yang terjadi pada PPOK antara lain hipersekresi dari mukus,
keterbatasan aliran udara paru, air trapping, dan gangguan pertukaran gas.
Terdapat berbagai gangguan sistemik yang dapat berkaitan dengan bertambah
beratnya PPOK, antara lain yaitu anoreksia, muscle wasting, peningkatan resiko
penyakit kardiovaskuler, anemia, osteoporosis, dan depresi (GOLD, 2009)
2.6 Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2009, dibagi atas 4 derajat:
Derajat Klinis Faal paru
2.7 Gambaran Klinis
PPOK memiliki tiga gejala klinis utama adalah batuk kronis, produksi sputum,
dan sesak napas yang bertambah saat aktivitas (Reilly, et al., 2005).
6
Gejala awal yang ditemukan pada PPOK tahap awal (PPOK stage I)
adalah batuk kronis dan produksi sputum. Pada derajat ini pasien tidak menyadari
bahwa fungsi paru sudah menurun. Gejala-gejala ini dapat terjadi selama
bertahun-tahun sebelum timbulnya limitasi pada jalan napas, dan gejala-gejala ini
seringkali diabaikan oleh pasien, dan seringkali dianggap sebagai bagian dari
proses penuaan. Gejala pada tahap selanjutnya (PPOK stage II) adalah sesak yang
sering mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Pasien-pasien PPOK umumnya
mulai mencari pengobatan jika sudah dalam stage ini. Pada PPOK tahap yang
berat (PPOK stage III) terjadi jika obstruksi jalan napas sudah semakin parah,
dimana gejala-gejala yang terjadi antara lain batuk dan produksi sputum terus
berlanjut, sesak yang bertambah parah, yang amat berpengaruh dalam kualitas
hidup pasien. Pada tahap yang sangat berat (PPOK stage IV) dan muncul gejala-
gejala lain seperti gagal napas, gagal jantung kanan, dan penurunan berat badan.
Pada derajat ini kualitas hidup pasien sangat memburuk dan eksaserbasi dapat
mengancam jiwa (GOLD, 2009).
Terjadinya sesak pada PPOK, dapat dideskripsikan sebagai peningkatan
usaha napas, rasa berat untuk bernapas, atau terjadinya gasping, yang makin lama
makin memberat, terutama karena aktivitas. Peningkatan obstruksi aliran udara
pada PPOK juga diikuti bertambah seringnya serangan/eksaserbasi. Pasien juga
mungkin mengalami sesak saat isirahat dan membutuhkan terapi oksigen (Reilly,
et al., 2005).
2.8 Diagnosa
Diagnosis untuk PPOK dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan batuk kronis,
produksi sputum, sesak yang memberat dengan aktivitas, dan riwayat adanya
faktor-faktor resiko untuk terjadinya PPOK, seperti usia >40 tahun dan riwayat
merokok, atau riwayat terpapar polusi udara dalam waktu lama (PDPI, 2009).
Diagnosa untuk PPOK dapat diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan, dan
dibantu dengan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan radiologis dan
spirometri. Anamnesa untuk PPOK antara lain diarahkan kepada ada tidaknya
7
paparan faktor resiko seperti perokok aktif maupun pasif, paparan polusi udara
atau debu. Jenis aktivitas fisik yang dapat dilakukan pasien dan sejauh mana
penurunan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari juga perlu
ditanyakan, karena pasien PPOK umumnya mengalami penurunan kemampuan
untuk melakukan aktivitas fisik terutama yang membutuhkan kerja lengan dan
gerak bahu secara signifikan. Awalnya pasien PPOK hanya merasakan sesak
ketika melakukan aktivitas berat, dan seiring bertambahnya perjalanan penyakit,
pasien lama-kelamaan akan merasa sesak walaupun hanya melakukan aktivitas
ringan saja (Reilly, et al., 2005).
Adanya riwayat penyakit dahulu seperti gangguan jalan napas sejak kecil
juga perlu ditanyakan, seperti asma, riwayat alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi
saluran napas saat anak-anak. Adanya penyakit yang serupa dalam keluarga,
riwayat serangan terdahulu, adanya riwayat penyakit lain seperti penyakit jantung,
riwayat pengobatan sebelumnya, dan riwayat perubahan sosial yang terjadi
terhadap pasien setelah PPOK terjadi juga perlu ditanyakan (GOLD,2009).
Pada pemeriksaan fisik pada fase awal PPOK, mungkin tidak ditemukan
adanya kelainan sama sekali. Pada perokok dapat ditemukan tanda-tanda perokok
aktif, seperti nafas yang berbau rokok dan nicotine staining pada kuku-kuku jari
(Reilly, et al., 2005).
Gejala-gejala pada PPOK mulai terlihat seiring memberatnya perjalanan
penyakit. Dari inspeksi dapat ditemukan barrel chest, yang merupakan tanda
adanya hiperinflasi pada paru, pursed-lip breathing, dan posisi tripod, yaitu pada
pasien dengan obstruksi jalan napas yang berat. Posisi ini dapat memaksimalkan
penggunaan otot-otot tambahan pernapasan, antara lain otot
sternocleidomastoideus, scalenus, dan otot-otot intercostalis.
Dari palpasi dinding thoraks dapat ditemukan sela iga yang melebar dan
cekung. Perkusi paru menjadi hipersonor. Terjadi penambahan volume paru, letak
diafragma menjadi lebih rendah dan hepar tertekan ke bawah. Dari auskultasi
terdengar suara ekspirasi yang memanjang, suara napas melemah, dan bunyi
jantung yang menjauh. Pada pasien PPOK dapat terjadi sianosis yang tampak
8
pada bibir dan kuku jari. Pada pasien emfisema lebih jarang ditemukan sianosis,
sedangkan pada pasien bronkitis kronis, sianosis lebih sering ditemukan (Reilly,
et al., 2005).
Pada perjalanan penyakit yang lanjut dapat ditemukan keadaan penurunan
berat badan yang signifikan, wasting pada bitemporal, dan kehilangan lemak
subcutan secara menyeluruh. Hal ini dihubungkan dengan intake oral yang
seringkali tidak adekuat serta peningkatan sitokin inflamasi yaitu (TNF-a). Cor
pulmonale dapat terjadi bila pemberian terapi oksigen tidak adekuat (Reilly,et al.,
2005).
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung diagnosa PPOK
antara lain pemeriksaan faal paru, pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan
radiologis, baik foto thoraks konvensional maupun CT scan, dan spirometri. Dari
pemeriksaan faal paru dapat ditemukan tanda adanya obstruksi aliran udara paru
berupa penurun VEP1 dan VEP1/KVP. Seiring bertambah buruknya perjalanan
penyakit, volume paru meningkat, menyebabkan peningkatan kapasitas total paru,
kapasitas residu fungsional paru, dan volume residu. Pada pasien emfisema,
kapasitas paru secara menyeluruh dapat berkurang, karena terjadinya destruksi
dari alveoli. Derajat dari obstruksi aliran udara paru menjadi factor penentu
prognosis pada PPOK (Reilly, et al., 2005).
Pemeriksaan analisis gas darah (BGA) tidak sensitif untuk PPOK. BGA
hanya memberi informasi tambahan tentang ventilasi alveolar dan status asam
basa darah. Meskipun begitu, pemeriksaan BGA penting bagi pasien yang
mengalami eksaserbasi pada PPOK (Reilly, et al., 2005).
Pemeriksaan radiologis dapat membantu penegakan diagnosa PPOK bila
didapatkan kecurigaan dari gejala klinis yang timbul pada pasien. Dari
pengamatan foto thoraks, pada emfisema terjadi pembesaran volume paru, sela
iga yang melebar dan menjadi datar, diafragma menjadi rendah dan terjadi
pendataran, vascular yang menipis, gambaran jantung yang menggantung, serta
dapat ditemukan adanya bulla, sedangkan pada bronkitis kronis gambaran
radiologis lebih dominan adalah bertambahnya corakan bronkovaskuler pada
9
paru, penebalan bronkiolus, dan peningkatan liner marking pada paru.
Pemeriksaan CT scan lebih sensitif untuk menegakkan diagnose emfisema pada
pasien PPOK daripada foto thorax konvensional (Gunderman, 2006).
Gambaran Radiologis Emfisema: gambaran hiperlusen pada paru, area yang
avaskuler, arteri pulmonalis yang prominen dan pendataran dari diafragma
(Shakeel, 2008)
Gambaran Radiologis Bronkitis Kronis:Corakan yang ramai dibagian basal paru
(Shakeel, 2008).
10
Spirometri adalah metode yang dipilih sebagai gold standard dalam
menegakkan diagnosa PPOK. Adanya VEP1/KVP post bronkodilatasi yang <70%
dan VEP1<80% mengkonfirmasi adanya limitasi pada jalan napas yang tidak
sepenuhnya reversibel (GOLD, 2009). Pada tempat-tempat dimana fasilitas
spirometri tidak tersedia diagnosa PPOK dapat ditegakkan secara klinis
(PDPI,2009).
2.9 Diagnosa Banding
PPOK merupakan penyakit paru yang onsetnya umumnya terjadi di usia
pertengahan (>40 tahun), dengan gejala progresiif yang lambat, ditemukan
riwayat merokok pada pasien, adanya sesak yang memberat dengan aktivitas, dan
hambatan aliran udara yang umumnya ireversibel (PDPI, 2009).Beberapa
diagnosa banding untuk PPOK antara lain (PDPI, 2009):
11
2.10 Komplikasi
Komplikasi PPOK dapat bermacam-macam, diantaranya:
1. Gagal nafas
Akibat obstruksi jalan nafas maka terjadilah ketidakmampuan paru-paru untuk
menghirup oksigen yang cukup dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Akibatnya dapat mengganggu keseimbangan asam dan basa (Leader, 2008).
Gagal nafas juga dapat terjadi selama eksaserbasi akut (Swierzewski, 2007).
12
2. Polisitemia Sekunder
Polisitemia pada penderita PPOK terjadi karena tubuh berusaha untuk
menyesuaikan terhadap penurunan jumlah oksigen di darah yaitu dengan
meningkatkan produksi sel darah merah, yang mana sel darah merah berfungsi
untuk mengangkut oksigen. Hal ini mungkin dapat membantu untuk sementara
waktu, namun produksi berlebihan bisa menyebabkan darah menjadi kental,
pada akhirnya bisa menyumbat pembuluh darah kecil. Tanda dan gejala
polisitemia sekunder adalah kelemahan, sakit kepala, kelelahan, napas pendek,
gangguan penglihatan, wajah kemerahan, kebingungan, tinnitus, dan rasa
terbakar di tangan dan kaki (Swierzewski, 2007).
3. Cor Pulmonale ( Gagal jantung Kanan )
Pertukaran udara yang jelek pada penderita PPOK menyebabkan menurunnya
jumlah oksigen di darah sehingga timbul refleks spasme percabangan-
percabangan kecil arteri pulmonalis (hypoxic vasoconstriction). Kesemuanya
ini akan lebih meningkatkan tahanan perifer dalam paru. Maka ventrikel kanan
harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Bila
sudah tidak mampu lagi mengkompensasi meningkatnya tahanan perifer
intrapulmonal, maka akan terjadi kegagalan jantung kanan (Danusantoso,
2000). Tanda dan gejala gagal jantung kanan antara lain pembengkakan
ekstemitas bawah yaitu kaki, dispneu, tidak mampu mentoleransi latihan,
sianosis, meningkatnya vena leher (Leader, 2008).
4. Pneumothoraks
Pneumothoraks terjadi karena adanya lubang yang berkembang di paru-paru,
menyebabkan udara keluar menuju rongga antara paru dan dinding dada dan
menyebabkan paru-paru kolaps. Pada penderita PPOK terjadi peningkatan
risiko untuk terjadinya perkembangan lubang secara spontan karena lemahnya
struktur paru (Swierzewski, 2007). Tanda dan gejala pneumothoraks antara lain
nyeri dada yang mendadak dan tajam, tambah parah apabila batuk atau
bernafas dalam, dispneu, sesak, takikardi, dan sianosis (Leader, 2008).
13
5. Hipertensi Pulmonal
Normalnya, darah yang mengalir melalui pembuluh darah paru mempunyai
tahanan yang kecil, dan secara normal melebar untuk mengalirkan darah dari
jantung ke paru untuk mengambil oksigen dan mengalirkannya ke seluruh
tubuh. Pada hipertensi pulmonal, pembuluh darahnya konstriksi manjadi
sempit dan tebal. Hal tersebut menyebabkan sedikit darah yang mengalir di
pembuluh darah, tekanan dalam pembuluh darah menjadi meningkat dan otot
jantung bekerja keras untuk memompa darah. Tanda dan gejala hipertensi
pulmonal antara lain nafas pendek ketika pertama kali beraktivitas dan bahkan
waktu istirahat, nyeri dada, kelemahan, kelelahan, pingsan, bengkak pada kaki
(Leader, 2008).
6. Malnutrisi
Malnutrisi menjadi komplikasi PPOK yang dapat disebabkan karena dispneu,
yang merupakan gejala utama PPOK membuat penderita sangat sulit untuk
menyelesaikan makannya, dan penderita menjadi kehilangan nafsu makan.
Tanda dan gejala bisa bermacam-macam mulai dari yang ringan sampai sangat
berat. Gejala umum berupa kelelahan, pusing, penurunan berat badan, dan
kelemahan sistem imun (Leader, 2008).
7. Penyakit paru tahap akhir
Saat gagal nafas terjadi pada pasien yang mempunyai penyakit paru tahap
akhir, akan terjadi penurunan dengan lambat fungsi paru dan meningkatnya
kadar karbondioksida dalam darah. Meningkatnya karbondioksida
menyebabkan efek narkotik pada pasien, sehingga pasien hilang kesadaran dan
berhenti bernafas Mayo Clinic Staff. 2009).
2.11 Penatalaksaan
Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu (1)
evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3)
tatalaksana PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan
eksaserbasi. Manajemen utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain
14
dengan menghindari faktor resiko, mencegah progresivitas PPOK, dan
penggunaan obat-obatan untuk mengontrol gejala dari PPOK, sedangkan
untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan manajemen terapi yang lebih
terpadu dengan berbagai pendekatan untuk membantu pasien dalam
melewati perjalanan penyakitnya. Selain pendekatan farmakologis, edukasi
dan nasihat pada pasien, diperlukan juga konseling untuk penghentian
rokok, olahraga, kebutuhan nutrisi, dan perawatan untuk pasien. Setelah
pasien didiagnosa PPOK, ada beberapa tujuan terapi yang ingin dicapai,
antara lain (PDPI, 2009):
1. Mengurangi gejala penyakit
2. Mencegah progresivitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi aktivitas
4. Meningkatkan kualitas hidup penderita
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi ulang
7. Menurunkan angka kematian
2.11.1 Evaluasi dan Monitoring Penyakit
Kunjungan pada fasilitas kesehatan akan diperlukan lebih sering seiring dengan
bertambah beratnya penyakit. Beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam
perjalanan PPOK antara lain (1) paparan pasien terhadap faktor resiko, (2)
perjalanan penyakit dan timbulnya komplikasi, (3) perjalanan pengobatan yang
telah dilakukan pasien, (4) riwayat terjadinya eksaserbasi, dan (5) adanya
penyakit lain yang menyertai. Monitor penting yang harus dilakukan pada PPOK
adalah gejala klinis dan fungsi paru. Timbulnya gejala klinis yang baru dan
perubahan keterbatasan pada aliran udara dapat menyebabkan perubahan pada
terapi (GOLD, 2009).
Beberapa monitoring yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
kemungkinan timbulnya komplikasi pada pasien PPOK antara lain (GOLD,2009):
15
1. Pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri bila timbul gejala baru atau
komplikasi
2. Pemeriksaan BGA
3. Evaluasi hemodinamik paru, untuk mencari kemungkinan timbulnya
hipertensi pulmonal
4. Evaluasi ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung kanan atau corpulmonal
5. Pemeriksaan hematokrit untuk mengetahui adanya tanda-tanda polisitemia
6. Pemeriksaan fungsi otot-otot pernapasan
7. Pemeriksaan kualitas tidur
8. Pemeriksaan ketahanan fisik dalam latihan
2.11.2 Menurunkan Faktor Resiko
Dalam mencegah berkembangnya PPOK maupun mencegah progresivitas PPOK,
terdapat beberapa faktor resiko yang dapat dihindari, antara lain dengan cara
berhenti merokok, menghindari polusi dan debu di tempat kerja dan tempat
terbuka. Berhenti merokok merupakan intervensi yang paling efektif dalam
menanggulangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas
penyakit. Selain dari kesadaran individu untuk berhenti merokok, hal ini dapat
pula didukung oleh kebijakan pemerintah pusat atau daerah dalam bentuk
peraturan tentang merokok di tempat umum. Masyarakat perlu disadarkan bahaya
merokok baik untuk perokok itu sendiri maupun terhadap orang-orang di
sekitarnya. Kebijakan terhadap penanggulangan polusi juga mendukung terhadap
program pencegahan PPOK di masyarakat (GOLD, 2009).
2.11.3 Penatalaksanaan PPOK Stabil
Kriteria PPOK stabil adalah pasien tidak dalam kondisi gagal napas akut
pada gagal napas kronik, dapat pula dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu
hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg,
dahak jernih tidak berwarna, aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat
berat PPOK (hasil spirometri), penggunaan bronkodilator sesuai rencana
16
pengobatan dan tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan. Tujuan
penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk mempertahankan fungsi paru,
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK
stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala, sedangkan
penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus
menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.
Obat-obatan bronkodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi
gejala yang timbul pada PPOK. Bronkodilator dapat berfungsi untuk meredakan
gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan bronkodilator yang
dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis, antikolinergik, dan xantin, yang
dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan (GOLD, 2009). Pengobatan diini
dengan bronkodilator anti kolinergik kerja lama pada PPOK derajat II/sedang
dapat memperlambat laju penurunan fungsi paru Penggunaan bronkodilator long
acting (LABA) terbukti lebih efektif untuk PPOK dibandingkan yang short acting
(SABA). Kombinasi antara LABA dan glukokortikosteroid lebih efektif
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru serta kualitas hidup (PDPI,
2009). Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang harus dihindari karena
buruknya efek samping yang dapat ditimbulkan (GOLD, 2009).
Pemberian vaksinasi influenza dan pneumonia dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan usia diatas 60 tahun dan pasien PPOK derajat sedang, berat,
dan sangat berat. Pemberian mukolitik pada eksaserbasi dapat memberperbaikan,
dan pemberian antioksidan dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi. Terapi
oksigen jangka panjang pada pasien gagal napas dapat meningkatkan harapan
hidup. Rehabilitasi medis juga disarankan untuk dilakukan mulai PPOK derajat II,
dengan tujuan mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien (PDPI,
2009).
17
Berikut adalah tabel karakteristik dan rekomendasi pengobatan berdasarkan
derajat PPOK (PDPI, 2009) :
2.11.4 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi
Gejala eksaserbasi adalah seperti batuk semakin sering/hebat, produksi
sputum bertabah banyak, sputum berubah warna,sesak napas bertambah,
keterbatasan aktivitas bertambah, terdapat gagal napas akut pada gagal napas
19
kronik, dan kesadaran menurun. Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga yaitu
tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas, tipe II (eksaserbasi sedang),
memiliki 2 gejala di atas dan tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di
atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >
20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline. Penyebab eksaserbasi akut
terbagi kepada primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus) dan
sekunder yaitu pneumonia, gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia, emboli
paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat penggunaan
obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (DM,
gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkunagn memburuk/polusi udara, aspirasi
berulang dan stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di poliklinik rawat
jalan, unit gawat darurat, ruang rawat dan ruang Intensive Care Unit (ICU).
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK adalah dengan enam cara yaitu
optimalisasi penggunaan obat-obatan, terapi oksigen, terapi nutrisi, rehabilitasi
fisis dan respirasi, evaluasi progresifiti penyakit, dan edukasi. Optimalisasi
penggunaan obat-obatan seperti bronkodilator yaitu agonis β2 kerja singkat
kombinasi dengan antikolinergik melalui inhalasi (nebulizer),kortikosteroid
sistemik, antibiotik yaitu golongan akrolid baru (Azitromosin, Roksitromisin,
Klaritromisin), golongan kuinolon.
Indikasi rawat yaitu jika ada peningkatan gejala seperti sesak dan batuk
saat tidak beraktivitas, PPOK dengan derajat berat, terdapat tanda-tanda sianosis
dan atau edema, disertai penyakit komorbid yang lain, sering eksaserbasi,
didapatkan aritmia, diagnostik yang belum jelas, usia lanjut, infeksi saluran napas
berat dan gagal napas akut pada gagal napas kronik. Indikasi rawat ICU adalah
apabila pasien merasakan sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat
darurat atau ruang gawat, kesadaran menurun, letargi atu kelemahan otot-otot
respirasi, setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau pemburukan
PO2 < 50mmHg atau PCO2 > 50mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasif
20
atau non invasif), memerlukan penggunaan ventilasi mekanis invasif, dan terjadi
ketidakstabilan hemodinamik.
Tujuan perawatan ICU adalah sebagai pengawasan dan terapi intensif,
hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang
tepat dan mencegah kematian.
21
BAB III
PENUTUP
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik
yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk
dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus
meningkat. Penting bagi dokter umum untuk memahami penegakan diagnosis
PPOK, yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta didukung oleh
pemeriksaan penunjang yang tepat.
Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu (1)
evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3) tatalaksana
PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan eksaserbasi. Manajemen
utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain dengan menghindari faktor resiko,
mencegah progresivitas PPOK, dan penggunaan obat-obatan untuk mengontrol
gejala dari PPOK, sedangkan untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan
manajemen terapi yang lebih terpadu dengan berbagai pendekatan untuk
membantu pasien dalam melewati perjalanan penyakitnya.
Penggunaan bronkodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi
gejala yang timbul pada PPOK, dimana bronkodilator dapat berfungsi untuk
meredakan gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan
bronkodilator yang dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis,
antikolinergik, dan xantin, yang dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan.
Selain pendekatan farmakologis, edukasi dan nasihat pada pasien,
diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok, olahraga, kebutuhan nutrisi,
dan perawatan untuk pasien. Manajemen yang tepat dapat menurunkan morbiditas
dan mortalitas pada pasien PPOK, serta sangat berperan dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates.
Jakarta, hal 178-179.
2. Fitriani, Feni dkk. 2009. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sebagai
Penyakit Sistemik. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Perspirasi FKUI. Jakarta. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD). Global Strategy for The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. National Institutes
of Health. National Heart, Lung and Blood Institute, Update 2009.
3. Gunderman, RB. 2006. Essential Radiology, Second Edition. New
York:Thieme Medical Publisher
4. PDPI. 2009. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Jakarta
5. Reilly JJ, Silverman EK, Shapiro SD. 2005. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 16th Edition: Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
New York: McGraw Hill Professional.
6. Riyanto BS, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi
Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI, 2006. p.984-5.
7. Robbins dan Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC
8. Swierzewski, SJ. 2007.Chronic Obstructive Pulmonary Disease.(online)
(http://www.pulmonologychannel.com/PPOK/complications.shtml.
23